Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 12 Oktober 2025

QODHO SHOLAT

Adakah Qadha' Sholat?

Jika seseorang meninggalkan sholat secara sengaja, apakah ia wajib mengqadha'-nya? Ataukah cukup dengan bertaubat saja tanpa harus mengqadha'-nya?
Dalam hal meninggalkan sholat, semua ulama sepakat bahwa yang meninggalkannya harus mengqadha’-nya kalau ia meninggalkannya karena lupa atau tertidur. Ini bedasarkan hadits Nabi saw yang memamng secara eksplisit menyebutkan itu.

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Siapa yang lupa sholat (dan meninggalkannya), atau tertidur, maka kafaratnya ialah ia harus mengerjakannya ketika ia ingat” (HR Muslim)

Sampai sini tidak ada masalah, tapi kemudian ulama berselisih paham tentang orang yang meninggalkan sholat karena sengaja tanpa udzur, apakah ia harus meng-qadha’-nya atau tidak.

[1] Tidak Ada Qadha’. Ini adalah pendapat madzab Zohiri dan didukung oleh Sheikh Ibnu Taimiyyah.[1]

[2] Wajib Qadha’. Ini pendapat ulama fiqih 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).[2]

Kita akan bahasa dalil masing-masing kelompok ini mulai dari kelompok yang mengatakan bahwa tidak ada qadha sholat, yaitu pendapat Imam Abu Daud Al-Zohiri yang kemudian direkam oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, dan juga pendapat Sheikh Ibnu Taimiyyah.

[1] Tidak Ada Qadha’

Secara tegas, Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi mengatakan dalam kitabnya Al-Muhalla, bahwa tidak ada yang namanya syariat qadha sholat kecuali bagi yang lupa dan tertidur. Lalu apa yang harus dilakukan?

Yang harus dilakukan ialah memperbanyak istighfar, berbuat kebajikan, memperbanyak sholat sunnah agar nanti timabangan kebaikannya meningkat diakhirat.  

Pekerjaan Sia-sia dan Tidak Diterima

Imam Ibnu Hazm dengan yakin bahwa tidak ada qadha sholat, karena tidak ada syariatnya, dan itu hanya pekerjaan yang sia-sia. Bahkan, Sheikh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan bahwa jika ia melakukan qadha sholat, secara zahir itu sah dan bisa dikerjakan, tapi sayangnya sholatnya secara diterima. Beliau mengatakan:

فَالْكَلَامُ فِي هَذَا مُتَّصِلٌ بِالْكَلَامِ فِيمَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ نِفَاقًا أَوْ رِيَاءً ، فَإِنَّ هَذَا يُجْزِئُهُ فِي الظَّاهِرِ ، وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ فِي الْبَاطِنِ

“Pembahasan masalah ini berhubungan dengan orang yang sholat dan membayar zakat namun secara nifaq (munafiq) dan riya’, secara zahir itu sah, tapi secara bathin itu tidak diterima!”[3]      

Kemudian, apa dalil kelompok ini sehingga mengatakan bahwa qadha sholat itu tidak ada?

Pertama: dengan dalil hadits diatas, bahwa yang dibolehkan qadha itu ialah orang yang lupa dan tertidurm sedangkan orang yang sengaja itu tidak termasuk dalam 2 golongan yang disebutkan dalam hadits tersebut, maka tidak ada qadha baginya.

Kedua:  Allah swt telah menentukan waktu bagi setiap sholat, seperti waktu ashar sampai terbenam matahari, subuh sejak terbit fajar sampai terbit matahari, dan seterusnya. Allah berfirmam:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya sholat bagi orang mukim ialah kewajiban yang sudah terwaktu” (An-Nisa’ 103)

Kalau orang dibolehkan meng-qadha’ sholat, lalu buat apa Allah swt membuat batasan-batasan waktu masing-masing sholat? Seperti halnya haji atau puasa, itu semua sudah ada waktunya tertentu. Tidak sah orang berhaji kecuali di bulan dzulhijjah, dan tidak sah seorang berpuasa di malam hari. Maka begitu juga sholat.

Ketiga: Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa semua sepakat kalau mengerjakan sholat pada waktunya itu adalah sebuah ketaatan, dan meninggalkannya ialah sebuah kemaksiatan. Jadi orang yang meninggalkan sholat secara sengaja, ia berdosa karena itu maksiat.

Lalu bagaimana bisa sebuah maksiat diganti dengan sebuah ketaatan, yaitu sholat di selain waktunya?

Keempat: Allah swt dalam surat Al-Ma’un (4-5) mengancam orang-orang yang meninggalkan sholat dengan wail (kecelakaan), bahkan dalam beberapa tafsir dikatakan bahwa wail itu ialah nama salah satu lembah di neraka jahannam.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (.) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka Wail (celaka) bagi mereka yang sholat. Yang sholat tapi lalai akan sholatnya”

Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang makna wail itu sendiri, tapi yang pasti bahwa mereka yang mengerjakan sholat tapi di luar waktu, takni orang lalai itu mendapat ancaman. Dan kalau ada ancaman berarti pekerjaan itu tidak diridhoi Allah swt, dan yang tidak diridhoi Allah itu ialah pekerjaan yang haram.

Di akhir pembahasan, beliau (IbnuHazm) mengaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang juga dipegang oleh beberapa sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqosh, dan dari tabi’in Muhammad bin Sirin serta Umar bin Abdul Aziz.[4]

[2] Wajib Qadha Sholat

Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama madzhab fiqih yang muktamad, bahkan Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menyebutkan bahwa adanya qadha sholat bai orang yeng meninggalkannya secara sengaja ialah Ijma’ (Konsensus). Karena ini Ijma’, maka tidak ada yang boleh menyelisihinya.[5]

Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal pun yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja itu kafir, status kafirnya masih terhalang jika ia mau mengqadha sholatnya ketika sang Imam memerintahkan, kalau tidak mau baru lah ia dihukumi kafir dan di bunuh. Jadi ia masih harus meng-qadha sholatnya.[6]

Imam Al-Showi dari kalangan Malikiyah mengatakan bahwa pendapat tidak adanya qadha sholat bagi yang meninggalkan sholat secara sengaja ialah pendapat yang syaadz (aneh) dalam litelatur fiqih.[7]

Dalil kelompok ini ialah;

Pertama: Dengan hadits yang sudah disampaikan di atas tadi bahwa yang lupa dan tertidur sehingga meninggalkan sholat maka ia harus menggantinya ketika ingat. Dan hadits seperti ini banyak diriwayatkan oleh semua ahli Sunan (Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah) termasuk Imam Al-bukhori dan Imam Muslim walau dengan lafadz yang berbeda.

Memang benar yang diwajibkan qadha itu hanya orang yang lupa atau tertidur, dan yang sengaja tidak ada. Tapi ingat bahwa dalam syariah adalah Dalalah Al-Manthuq [دلالة المنطوق] dan Dalalah Al-Mafhuum [دلالة المفهوم].

Manthuq (Teks)-nya memang tidak disebutkan, tapi Mafhuum (yang dipahami dari konteks)-nya justru yang meninggalkan sholat dengan sengaja lebih wajib meng-qadha. Ini yang disebut dengan Qiyas Jaliy [قياس جلي], kalau yang meninggalkan karena lupa dan tertidur aja harus meng-qadha, padahal itu tak sengaja, apalagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Maka kewajiban qadha jauh lebih berat untuknya.

Sama seperti keharaman memukul orang tua, yang telah menjadi kesepakat oleh seluruh ulama sejagad raya. Tapi apakah ada dalil keharamannya? Tidak ada! Yang ada itu ialah haram berucap “Ah” kepada orang tua, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Isra ayat 23.

Tapi ulama kemudian mengambil kesimpulan dengan memahami konteks teks yang ada, bukan hanya teks-nya saja. Kalau berkata “Ah” saja tidak boleh, apalagi memukul yang jauh lebih menyakitkan.

Kenapa Hanya Orang Lupa dan Tertidur Yang Disebut?

Imam Badr Al-Diin Al-‘Ainy, seorang faqih Hanafiyah menjelaskan kenapa sebab Nabi saw hanya menyebutkan orang tertidur dan lupa dalam hadits tersebut, kenapa tidak langsung saja Nabi saw mengatakan; [من تركها]“Siapa yang meninggalkan”, bukan dengan redaksi; “lupa atau tertidur”?   

Itu karena Nabi saw memperhatikan adab, karena meninggalkan sholat secara sengaja bukanlah prilaku seorang muslim. Karena itu nabi mengatakan seperti itu sebagai bentuk husnudzon (prasangka baik) kepada muslim. Akan tetapi hukum yang terkandung di dalam hadits tersebut tidak terbatas hanya untuk orang yang lupa atau tertidur, tapi justru untuk semua yang meninggalkan sholat, sengaja atau tidak.[8]  

Kedua: Seorang muslim ketika masuk waktu sholat, maka sholat itu menjadi kewajiban buat dirinya, menjadi tanggungan yang harus diselesaikan, dan kewajiban itu tidak akan gugur sampai ia melaksanakannya. Walaupun waktunya telah lewat, kewajiban sholat masih menempel kepadanya karena itu sama sekali ia belum melaksanakannya.

Sama seperti hutang, kewajiban menlunasi hutang tersebut tidak gugur sampai ia melunasinya, walaupun telah lewat temponya lama. Sholat pun demikian, ia menempel dalam diri seorang muslim dan tidak gugur sampai ia melaksanakannya.

Kenapa disamakan dengan hutang?

Nabi saw yang menyamakannya dengan hutang. Ingat bagaimana hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Muslim dalam kitab shahihnya? Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seseorang datang ke Nabi dan mengatakan bahwa saudarinya bernadzar untuk haji namun belum sempat melaksanakan, ia meninggal dunia.(HR Al-Bukhori 6205)

Ia menanyakan perihal kewajibannya tersebut, karena ketika seorang sudah bernadzar, maka ia sama saja mewajibkan sesuatu yang dinadzarinya itu untuk dilakukan walaupun sejatinya tidak wajib.

Dalam riwayat lain di Shahih Muslim disebutkan dengan redaksi cerita yang berbeda tapi sama tentang kewajiban, yaitu tentang kewajiban puasa yang ditinggal oleh ibunya, kemudian nabi menjawab dengan jawaban yang sama pada hadits diatas.

أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ

“Bagaimana jika ibumu itu punya hutang, apakah kau akan melunasinya?”, ia menjawab: “ya!”, Nabi meneruskan: “Maka begitu juga hutang kepada Allah, itu jauh lebih berhak untuk dilunasi!” (HR Muslim 1936)

Jadi kewajiban itu sama seperti hutang, yang tidak bisa dilunasi kecuali dengan melunasinya yaitu dengan melaksanakannya. Dan menganalogikan kewajiban dengan hutang bukanlah karangan ulama, akan tetapi Nabi saw sendiri yang mencontohkan.

Ketiga: Meng-Qadha’ ­sholat di luar waktunya ialah bukan dimaksud dengan mengganti maksiat dengan ketaatan. Bukan itu! Meng-qadha’ sholat ialah melakukan kewajiban, yaitu kewajiban ketika seeorang tidak bisa melakukan kewajiban di waktunya yang tepat. Karena tidak bisa melakukan sholat pada waktunya, ia berdosa. Tapi ia berkewajiban qadha’.

Kalau memang mengganti kemaksiatan dengan ketaatan tercela sebagaimana disebutkan oleh kelompok pertama, tapi kenapa mereka mengharuskan orang yang meninggalkan sholat dengan perbanyak istighfar dan sholat sunnah?

Bukankah itu juga ketaatan? Kalau begitu ini menjadi pertanyaan balik kepada mereka. Kenapa mereka mengganti kemaksiatan (meninggalkan sholat) dengan istighfar yang merupakan sebuha ketaatan?

Keempat: Allah swt berfirman dalam Thaha ayat 14:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“dan dirikanlah sholat untuk mengingatku”.

Imam Al-Qurthubi, seorang Ahli tafsir bermadzhab Malikiyah yang membahas tafsir dalam kitabnya dengan pendekatan hukum fiqih ini menjelaskan bahwa ayat ini secara jelas mewajibkan seseorang yang meninggalkan sholat secara sengaja untuk meng-qadha’-nya.

Karena ini perintah yang jelas untuk mengingat Allah swt, maksudnya ialah mengingat Allah swt dengan sholat. Maka yang belum sholat belum mengingat Allah swt. Seorang muslim tidak dikatakan mengingat Allah swt sampai ia sholat, karena itu sholat menjadi wajib, walapun sudah di luar waktu.

Adapun pengkhususan orang yang tidur dan lupa sebagaimana dalam hadits, itu bukan pengkhususan kewajiban, akan tetapi itu khusus peniadaan dosa. Orang yang tertidur atau lupa, mereka tidak berdosa akan tetapi tetap wajib qadha’, dan yang meninggalkan sholat dengan sengaja, ia berdosa karena itu maksiat, dan tetap wajib qadha. Bagaimana tidak? toh yang lupa dan tertidur saja wajib qadha, apalagi yang sadar![9]

Wallahu A’lam  

[1] Al-Muhalla 2/10, Majmu’ Al-Fatawa 22/18

[2] Al-Binayah Syarhu Al-Hidayah 2/583, Hasyiyah Al-Showi 1/364, Al-Majmu’ 3/71, Al-Mubdi’ fi Syarhi Al-Muqni’ 1/313

[3] Majmu’ Al-Fatawa 22/19

[4] Al-Muhalla 2/13

[5] Al-Majmu’ 3/71

[6] Al-Mughni 2/297

[7] Hasyiyah Al-Showi 1/364

[8] Al-Binayah Syarhu Al-Hidayah 2/583

[9] Tafsir Al-Qurthubi 11/178"

Jumat, 05 September 2025

PEMBATAL ISLAM

Pembatal Islam.

نَوَاقِـضُ الإِسْلَامِ

لِإِمَامِ الدَّعْوَةِ الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الوَهَّابِ بْنِ سُلَيْمَانِ التَّمِيمِيِّ


Nawaqidhul Islam – Pembatal Islam: 
Matan dan Terjemah

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اعْلَمْ أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ نَوَاقِضِ الإِسْلَامِ عَشَرَة:

الأَوَّلُ: الشِّرْكُ فِي عِبَادَةِ اللهِ، وَالدَلِيلُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء﴾ وَمِنْهُ الذَّبْحُ لِغَيْرِ اللهِ، كَمَنْ يَذْبَحُ لِلْجِنِّ أَوْ لِلْقَبْرِ.

Ketahuilah bahwa termasuk pembatal keislaman terbesar ada 10 yaitu:

Pertama: syirik dalam beribadah kepada-Nya. 
Dalilnya adalah firman-Nya:“Sesungguhnya Allâh tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki-Nya?” (QS. An-Nisâ [4]: 48)

Di antara syirik adalah menyembelih untuk selain Allâh seperti orang yang menyembelih untuk jin atau orang mati.

الثَّانِي: مَنْ جَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ وَسَائِطَ يَدْعُوهُمْ وَيسْأَلُهُمْ الشَّفَاعَةَ، وَيَتَوَكَّلُ عَلَيْهِمْ كَفَرَ إِجْمَاعًا.
Kedua: siapa menjadikan perantara-perantara antara dirinya dengan Allâh di mana dia berdoa kepada mereka, meminta syafaat kepada mereka, dan bertawakkal kepada mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.

الثَّالِثُ: مَنْ لَمْ يُكَفِّرِ المُشْرِكِينَ أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُم،ْ كَفَرَ.
Ketiga: siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan keyakinan mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.

الرَّابِعُ: مَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ غَيْرَ هَدْي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِ وَأَنَّ حُكْمَ غَيْرِهِ أَحْسَنُ مِنْ حُكْمِهِ كَالذِينَ يُفَضِّلُونَ حُكْمَ الطَّوَاغِيتِ عَلَى حُكْمِهِ فَهُوَ كَافِرٌ.
Keempat: siapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna daripada petunjuk beliau, atau selain hukum beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukum beliau seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut daripada hukum beliau, maka dia kafir.

الخَامِسُ: مَنْ أَبْغَضَ شَيْئًا مِمَّا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم - وَلَوْ عَمِلَ بِهِ -، كَفَرَ،وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ﴾
Kelima: siapa membenci apa pun dari apa yang dibawa Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun mengerjakannya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Demikian itu karena mereka membenci apa yang Allâh turunkan sehingga Dia menghapus amal kebaikannya.” (QS. Muhammad [47]: 9)

السَّادِسُ: مَنِ اسْتَهْزَأَ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِ اللهِ، أَوْ ثَوَابِهِ، أَوْ عِقَابِهِ، كَفَرَ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾ 
Keenam: siapa yang mengolok-olok apa pun dari agama Allâh, atau pahala-Nya, atau siksa-Nya adalah kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Katakanlah: apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-ngolok. Tidak perlu meminta maaf karena sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)

السَّابِعُ: السِّحْرُ - وَمِنْهُ: الصَّرْفُ وَالعَطْفُ-، فَمَنْ فَعَلَهُ أَوْ رَضِيَ بِهِ كَفَرَ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى:﴿وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ﴾
Ketujuh: sihir misalnya sharf dan ‘athf. Siapa yang melakukannya atau ridha terhadapnya maka kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Keduanya tidak mengajari seorangpun kecuali mengatakan: kami hanyalah fitnah maka janganlah kamu kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)

الثَّامِنُ: مُظَاهَرَةُ المُشْرِكِينَ وَمُعَاوَنَتُهُمْ عَلَى المُسْلِمِينَ وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾
Kedelapan: menolong orang-orang musyrik dan membantu mereka dalam melawan kaum muslimin. Dalilnya adalah firman-Nya: “Siapa dari kalian yang berloyal kepada mereka maka ia bagian dari mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 51)

التَّاسِعُ: مَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَسَعُهُ الخُرُوجُ عَنْ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم كَمَا وَسِعَ الخَضِرُ الخُرُوجَ عَنْ شَرِيعَةِ مُوسَى عَلَيهِ السَّلَامُ، فَهُوَ كَافِرٌ.
Kesembilan: siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia boleh keluar dari syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Khidhir keluar dari syariat Musa‘alaihissalam, maka ia kafir.

العَاشِرُ: الإِعْرَاضُ عَنْ دِينِ اللهِ تَعَالَى لَا يَتَعَلَّمُـهُ وَلَا يَعْمَـلُ بِهِ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ﴾
Kesepuluh: berpaling dari agama Allâh dengan tidak mempelajarinya atau mengamalkannya. Dalilnya firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada seseorang yang dibacakan kepadanya ayat-ayat Rabb-nya lalu dia berpaling darinya. Sesungguhnya Kami akan menghukum orang-orang pendosa.”(QS. As-Sajdah [32]: 22)

وَلَا فَرْقَ فِي جَمِيعِ هَذِهِ النَّوَاقِضِ بَيْنَ الهَازِلِ وَالجَادِّ وَالخَائِفِ إِلَّا المُكْرَهِ.
Tidak ada perbedaan dalam pembatal-pembatal ini antara orang yang bercanda, serius, atau takut kecuali orang yang dipaksa.

وَكُلُّهَا مِنْ أَعْظَمِ مَا يَكُونُ خَطَرًا، وَأَكْثَرِ مَا يَكُونُ وُقُوعًا، فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْذَرَهَا وَيَخَافَ مِنْهَا عَلَى نَفْسِهِ. نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ مُوجِبَاتِ غَضَبِهِ، وَأَلِيمِ عِقَابِهِ.
Semua pembatal ini termasuk perkara besar yang perlu diwaspadai dan termasuk perkara yang sering terjadi. Wajib bagi setiap muslim untuk mewaspadainya dan takut menimpa dirinya. Kita berlindung kepada Allâh dari mendapatkan kemurkaan-Nya dan pedihnya siksa-Nya.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Kamis, 28 Agustus 2025

HUBUNGAN INTIM DIPAGI HARI JUM'AT

Anjuran Hubungan Intim pada Malam Jumat.

Di kalangan awam, terjadi pemahaman bahwa pada malam Jum’at itu disunnahkan untuk hubungan intim. 
Bahkan inilah yang dipraktekkan. 
Memang ada hadits yang barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang dipahami oleh mereka.

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud  hadits penyebutan mandi dengan ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah makna yang lebih tepat.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,

قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع

Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.

Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.

Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya.

Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam Jum’at.

وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة.

As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut berkata: 
Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari) ...? 
Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: 
(1) pahala mandi Jum’at, 
(2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). 
Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

"Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub".

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al-Majmu’, 1: 326)

Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat awam. Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari. Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami bawakan di awal.

Wallahu a’lam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad."

ULAMA DAN PEMERINTAH



عن عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ ، حَدَّثَنِي أَبِي ، حدثنا مَعْمَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ ، عَنْ فُرَاتِ بْنِ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ ، قَالَ : “ 
ثَلاثٌ لا تَبْلُوَنَّ نَفْسَكَ بِهِنَّ : 
لا تَدْخُلْ عَلَى السُّلْطَانِ وَإِنْ قُلْتَ آمُرُهُ بِطَاعَةِ اللَّهِ ، 
وَلا تَدْخُلْ عَلَى امْرَأَةٍ وَإِنْ قُلْتَ أُعَلِّمُهَا كِتَابَ اللَّهِ ، 
وَلا تُصْغِيَنَّ بِسَمْعِكَ لِذِي هَوًى ، فَإِنَّكَ لا تَدْرِي مَا يَعْلَقُ بِقَلْبِكَ مِنْهُ ”  
اه حلية الأولياء لأبي نعيم.

وأيضا عن عبد الله بن أحمد بن حنبل: حدثنا إبراهيم بن الحسن الباهلي ، حدثنا حماد بن زيد قال : قَالَ يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ : “ ثَلاثَةٌ احْفَظُوهُنَّ عَنِّي : 
لا يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ عَلَى سُلْطَانٍ يَقْرَأُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ ، 
وَلا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ مَعَ امْرَأَةٍ شَابَّةٍ يَقْرَأُ عَلَيْهَا الْقُرْآنَ ، 
وَلا يُمَكِّنْ أَحَدُكُمْ سَمْعَهُ مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ “ اهـ حلية الأولياء لأبي نعيم.
Islam Memandang Ulama di Pemerintahan

Ulama mengemban amanah dari para rasul untuk membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Ketika mereka sangat dekat dengan kekuasaan, maka mereka dikhawatirkan kehilangan peran sebagai pembawa kemaslahatan karena menjadi bagian dari penguasa yang zalim.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

الْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ عَلَى عِبَادِ اللهِ تَعَالَى مَالَمْ يُخَالِطُوا السَّلاَطِيْنَ. فَإِنْ خَالَطُوْهُمْ وَفَعَلُوْا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ وَخَانُوْهُمْ فَاحْذَرْهُمْ وَاعْتَزِلُوْهُمْ

Artinya, “Para ulama adalah kepercayaan para rasul atas para hamba Allah selama mereka tidak bergaul dengan para penguasa. Tetapi kalau mereka bergaul dan berbuat demikian, maka sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul dan para hamba Allah, maka takut dan hindarilah mereka,” (HR Ad-Dailami).

Meskipun para ulama hadits memandang sebagian perawi hadits ini bermasalah, konten atau semangat hadits ini cukup baik sebagai kaidah etis bagi para intelektual dan juga pemuka agama untuk tidak menjadi bagian dalam sistem kekuasaan tanpa kontrol seperti kekuasaan yang berlangsung beberapa abad lalu, yaitu di zaman raja-raja di mana hukum tidak menjadi supremasi karena politik yang memegang kekuasaan tertinggi.

Lalu dengan ulama atau pemuka agama yang menjabat kekuasaan tertentu atau merapat dengan pemerintah di era demokrasi seperti ini?

Masalah ini tidak bisa dipandang secara hitam dan putih di mana ulama yang mendekat kepada penguasa adalah ulama su’, ulama munafik, ulama zalim, atau intelektual yang melacurkan diri. Sebaliknya, ulama yang menjauh dari kekuasaan atau ulama yang mengambil sikap oposisi terhadap penguasa dianggap sebagai ulama yang zuhud, ulama yang haq, ulama yang adil, ulama pewaris nabi dan rasul, ulama ikhlas, dan seterusnya.

Masalah ini pernah dibahas dalam Konferensi Besar Ke-1 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta pada 21-25 Syawal 1379 H/18-22 April 1960 M. Para kiai NU ketika itu yang menerima usulan pertanyaan dari PCNU Kudus menjawab bahwa para ulama pejabat pemerintah itu tidak termasuk dalam hadits jika menjabatnya karena ada hajat/darurat/kemaslahatan agama, dan dengan niat yang baik.

Para kiai NU ketika itu mencoba menjawab persoalan ini dengan hati-hati. Mereka mengutip apa yang dikemukakan oleh Muhammad Babashil dalam karyanya Is’adur Rafiq berikut ini:

وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ مُتَرَدِّدًا عَلَى السَّلاَطِيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَرْبَابِ الرِّيَاسَةِ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ لِحَاجَةٍ وَضَرُوْرَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ دِيْنِيَّةٍ رَاجِحَةٍ عَلَى الْمَفْسَدَةِ إِذَا كَانَتْ بِنِيَّةٍ حَسَنَةٍ صَالِحَةٍ. وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ مَا جَاءَ لِبَعْضِهِمْ مِنَ الْمَشْيِ وَالتَّرَدُّدِ إِلَيْهِمْ كَالزُّهْرِي وَالشَّافِعِي وَغَيْرِهِمَا لاَ عَلَى أَنَّهُمْ قَصَدُوْا بِذَلِكَ فُضُوْلَ اْلأَغْرَاضِ الدُّنْيَوِيَّةِ قَالَهُ السَّمْهُوْدِي

Artinya, “Dan hendaknya tidak bolak-balik pergi ke sultan dan para penguasa dunia lainnya kecuali karena hajah, darurat, atau maslahat agama yang lebih besar daripada mafsadatnya,  jika disertai niat baik. Pada konteks seperti inilah pergaulan para ulama seperti Az-Zuhri, As-Syafi’I, dan selainnya dengan para penguasa dipahami bukan dalam konteks mereka mencari kepentingan duniawi. Demikian kata As-Samhudi,” (Lihat Muhammad Babashil, Is’adur Rafiq ‘ala Sullamit Taufiq, [Indonesia, Dar Ihya’il Kutubil Arabiyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 31).

Dari keterangan ini, kami menyarankan agar kita semua hati-hati memandang ulama atau pemuka agama yang dekat dengan kekuasaan agar tidak jatuh dalam buruk sangka. Kami juga menyarankan agar kita berhati-hati dalam komentar di media sosial perihal fenomena ulama atau pemuka agama yang duduk dalam jabatan tertentu atau mendapat amanat tertentu.

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

HUKUM ZAKAT FITRAH BENTUK UANG

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG

حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 

وقد اختلف العلماء في حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة بدلاً عن أعيانها على المذهبين:

المذهب الأوّل : مذهب جمهور العلماء وهو ما ذهب إليه الأئمة الثلاثة مالك والشافعي وأحمد رحمهم الله تعالى من أنه لا يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات، مستدلين بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في إخراج زكاة الفطر بأعيانها من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها . 
فعن عبدالله بن عمر رضي الله عنه، قال : »فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ زَكاةَ رَمَضاَنَ عَلىَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ ، وَالذَّكِرِ وَاْلأُنْثىَ ، صاَعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صاَعًا مِنْ شَعِيْرٍ . فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صاَعٍ مِنْ بُرٍّ «. أخرجه النسائي (2500) واللفظ له، وأخرجه البخاري (1511)، ومسلم (984).

وأما المذهب الثاني فهو ما ذهب إليه بعض الأئمة سفيان الثوري وأبوحنيفة وأصحابه والبخاري في صحيحه رحمهم الله تعالى من أنه يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات. 
وقد روى ذلك عن عمر بن عبد العزيز والحسن البصري كما ورد في مصنَّف ابن أبي شيبة. فعن عون قال سمعت كتاب عمر بن عبد العزيز يقرأ إلى عدي (يعني الوالي) بالبصرة :( يؤخذ من أهل الديوان من أعطياتهم من كل إنسان نصف درهم). 

وعن الحسن البصري قال: (لا بأس أن تعطي الدراهم في صدقة الفطر). 
وعن أبي إسحاق قال: (أدركتهم وهم يؤدون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام). 
وعن عطاء: (أنه كان يعطي في صدقة الفطر وَرِقًا – دراهم فضية). (مصنَّف ابن أبي شيبة، باب إعطاء الدراهم في زكاة الفطر، ج 3 ص 37-38). 
قال الإمام النووي: (وهو الظاهر من مذهب البخاري في صحيحه وهو وجه لنا كما سبق). انتهى (محيى الدين النووي، المجموع شرح المهذّب، ج ٥ ص ٤٢٩).

 وقد أفتى الإمام الرملي من الشافعية بجواز دفع القيمة في زكاة الفطر، تقليداً للإمام أبي حنيفة في إخراج بدل زكاة الفطر دراهم. (فتاوى الرملي على هامش كتاب الفتاوى الكبرى للإمام ابن حجرالهيتمي، ج 1 ص 56). 
فهذا كله يدل على أن القيمة معتبرة عندهم في أداء زكاة الفطر.

ويستدل هذا المذهب الثاني بالأدلة منها قول الله سبحانه وتعالى : ﴿ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً ﴾. سورة التوبة : 103.
وقال المجوّزون في إخراج زكاة الفطر بالقيمة :( فهو تنصيص على أن المأخوذ مال، والقيمة مال فأشبهت المنصوص عليه) ،أي الأعيان في صدقة الفطر من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها).
(فتوى قضاة المحكمة الإستئناف العليا الشرعية دولة البحرين في جوازإخراج زكاة الفطر بالقيمة، ملحق في كتاب تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، للشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ص 51).

ويستدل أيضاً بقول النبي صلى الله عليه وسلم : »أَغْنُوْهُمْ (يعني المساكين) عَنِ الطَّواَفِ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ«. رواه البيهقي في السنن الكبرى، عن عبدالله بن عمر، ج 4 ص 175. 
والإغناء يحصل بالقيمة كما يحصل بالطعام.

والمذهب الراجح عندي هو المذهب الثاني الذي يجوّز إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 
ووجه الترجيح هو : بالرغم من وجود أمرمن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل الذي أرسله إلى اليمن لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، لكنه عليه الصلاة والسلم قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
والتقرير من النبي صلى الله عليه وسلم دليل شرعي كقوله وفعله عليه الصلاة والسلام سواء بسواء. فعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ وَقَالَ لَهُ: » خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه (1814) وأبو داود (1599).

ففي هذا الحديث قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم معاذا بن جبل لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، إلاّ أنه عليه الصلاة والسلم مع ذلك، قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
وقد قال الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في كتابه تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال :( إن أخذ القيمة في الزكاة ثابة عن النبي صلى الله عليه وسلم عن جماعة من الصحابة في عصره وبعد عصره). انتهى. 
(الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ،تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10).

ثم بعد ذلك أورد الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في الكتاب المذكور أعلاه (ص 10-11) روايات من جماعة من الصحابة تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، من ثلاثة كتب : الخراج ليحيى بن آدم القرشي، المصنّف لابن أبي شيبة، والأموال لأبي عبيد. 
وأنقل إليكم ذلك كما هو بكماله للفائدة ما يلي :

قال يحيى بن آدم القرشي في كتاب الخراج (تحقيق الشيخ أحمد شاكر، ص 138) : 
حدثنا سفيان بن عيينة، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : 
(ائتوني بعرض ثياب آخذه منكم مكان الذرة والشعير، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال يحيى بن آدم القرشي أيضاً : حدثنا سفيان بن عيينة، عن إبراهم بن ميسرة، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : (ائتوني بخميس أو لبيس (أي ملبوس) آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال بن أبي شيبة في المصنَّف : حدثنا عبد الرحيم، عن الحجاج، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال : (بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معاذاً إلى اليمن فأمره أن يأخذ الصدقة من الحنطة والشعير،فأخذ العروض والثياب بدل الحنطة والشعير).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا جرير بن عبد الحميد، عن ليث، عن عطاء : (أن عمر كان يأخذ العروض في الصدقة من الوَرِقِ وغيرها).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا بن عيينة، عن إبراهيم بن ميسرة، فذكر مثل ما رواه يحيى بن آدم القرشي عن سفيان في الخميس واللبيس ثم قال :
حدثنا وكيع، عن سفيان، عن إبراهيم بن ميسرة، عن طاوس : (أن معاذاً كان يأخذ العروض في الصدقة).

وقال بن أبي شيبة : حدثنا وكيع، عن أبي سنان، عن عنترة، (أن علياًّ عليه السلام كان يأخذ العروض في الجزية من أهل الابر الابر، ومن أهل المال المال، ومن أهل الحبال الحبال).

وقال أبو عبيد في الأموال : (وقد جاء الثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمرمعاذاً حين خرج إلى اليمن بالتيسير على الناس، وأن لا يأخذ كرائم أموالهم. ثم جاء مفسراً عن معاذ في حديث آخر، أنه قال هناك : ائتوني بخميس أو لبيس آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أيسر عليكم، وأنفع للمهاجرين بالمدينة. فالأسنان بعضها ببعض أشبه من العروض بها، وقد قبلها معاذ).

وروى عن عمر وعلي مثله في الجزية، (أنهما كانا يأخذان مكانها غيرها).

حدثني يحيى بن بكير، عن مالك، عن زيد بن أسلم، عن أبيه، عن عمر: (إنه كان يأتيه من الشام نعم كثيرة من الجزية).

حدثنا محمد بن ربيعة، وأبو نعيم، عن سعيد بن سنان، عن عنترة، عن علي عليه السلام : 
(أنه كان يأخذ الجزية من أصحاب الابر الابر)...فذكر مثل ما رواه ابن أبي شيبة، ثم قال : (قد رخّصا في أخذ العروض والحيوان مكان الجزية، وإنما أصلها الدراهيم والدنانير والطعام). 
قال : (وكذلك رأيهما في الديات من الذهب والوَرِق والإبل والبقر والغنم والخيل. إنما أرادا التسهيل على الناس، فجعلا على أهل كل بلد ما يمكنهم). انتهى (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10-11).

فجميع هذه الروايات تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، وذلك أن من المعلوم أن معاذا كان يُرسل ذلك (أي المأخوذات من الزكاة) من اليمن إلى النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة، لأنه متولي الصدقة يأخذها من اليمن ومفرّقها على الفقراء بالمدينة، وقد قبل ذلك النبيُّ صلى الله عليه وسلم بالمدينة وقد أقره النبي صلى الله عليه وسلم ذلك، أي أخذ الزكاة بالقيمة. مع العلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قال لمعاذ لأخذ الزكاة بأعيانها حين أرسله إلى اليمن : »خُذْ الْحَبَّ مِنْ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنْ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنْ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه وأبو داود.

ومع ذلك، قد أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم في أخذ الزكاة بالقيمة. والإقرار من النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك دليل الجواز في أخذ الزكاة بالقيمة شرعاً، إذ لو كان ما فعله معاذ في اليمن يخالف الشرع لَماَ أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم ذلك ولَأَمَرَ معاذا بردّ ذلك إلى أهله في اليمن ونهاه عنه. ولم يحصل شيءٌ من ذلك. (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 12).

وبناءً على ذلك كلّه، فالخلاصة أن المذهب الراجح عندي هو القول بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات كذلك، وإن كان الأفضل هو إخراج زكاة الفطر بأعيناها تمسّكاً بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك. فمن أخرج زكاة الفطر بأعيناها فقد اختار بالأفضل، ومن أخرجها بالقيمة فلا بأس به ولا حرج.

وقد كنت أنا أرى منذ سنة 2010 أن إخراج زكاة الفطر بالقيمة لا يجوز شرعاً، مرجحاً مذهب الجمهور. وها أنا الآن في سنة 2024  أي في سنة 1445 في اليوم الخامس من شهر شوال قد تركت ذلك القول وأميل الآن إلى القول الجديد بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة، بعد الدراسة والتدقيق والتمحيص في هذا الأمر، بعون الله وتوفيقه، والله أعلم.

BENARKAH TIDAK DIANJURKAN SHALAT ROWATIB KETIKA SAFAR,,,?

Benarkah Tidak Dianjurkan Shalat Sunnah Rawatib Ketika dalam Perjalanan?

shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan
Dalam sebuah pengajian, ada seorang ustadz yang menjelaskan bahwa ketika kita dalam perjalanan, kita tidak dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah shalat wajib. Hal ini karena dalam perjalanan, kita dianjurkan untuk meringankan shalat dengan jamak dan qashar, termasuk juga dengan tidak melakukan shalat sunnah rawatib. Benarkah tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan? (Baca: Doa Nabi Setelah Shalat Sunah Rawatib)

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut ulama Syafiiyah dan kebanyakan ulama yang lain, shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya tetap dianjurkan untuk kita kerjakan selama dalam perjalana. Meskipun kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, namun hal itu tidak menggugurkan anjuran melakukan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah yang lain.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

قال أصحابنا يستحب صلاة النوافل في السفر سواء الرواتب مع الفرائض وغيرها

Ulama kami berkata, ‘Dianjurkan melaksanakan shalat-shalat sunnah ketika dalam perjalanan, baik shalat sunnah rawatib maupun shalat sunnah lainnya.

Di antara dalil yang dijadikan dasar adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

كان يصلي النوافل على راحلته في السفر حيث توجهت به

Nabi Saw melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dalam perjalanan dengan menghadap sesuai kendaraannya melaju.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم الظهر في السفر ركعتين وبعدها ركعتين

Saya bersama Nabi Saw melaksanakan shalat Dzuhur dua rakaat, kemudian setelahnya melakukan shalat dua rakaat.

Adapun menurut sebagian ulama, tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah dalam perjalan, baik shalat sunnah rawatib dan lainnya. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

وقالت طائفة لا يصلي الرواتب في السفر

Sebagian kelompok ulama berkata, ‘Tidak dianjurkan melakukan shalat rawatib dalam perjalanan.’

Dari dua pendapat di atas, yang banyak diikuti oleh para ulama adalah pendapat pertama. Oleh karena itu, meskipun dalam perjalanan kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, kita tetap dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudah shalat wajib.

Lalu bagaimana cara shalat rawatib bagi orang yang menjamak ketika mukim?

Kita simak beberapa keterangan ulama yang menjelaskan urutan dan tata caranya, sebagai berikut,

[Pertama] Keterangan An-Nawawi

Dalam kitabnya – Raudhah at-Thalibin  – beliau menjelaskan teknis jamak dan shalat rawatib bagi orang yang mukim,

في جمع العشاء والمغرب يصلي الفريضتين ثم سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر .وأما في الظهر : فالصواب الذي قاله المحققون أنه يصلي سنة الظهر التي قبلها ثم يصلي الظهر ثم العصر ثم سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر

Untuk jamak isya dan maghrib, yang dilakukan adalah mengerjakan kedua shalat wajib (maghrib dan isya) terlebih dahulu, kemudian sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. Sementara untuk jamak shalat dzuhur, yang benar adalah keterangan para ulama peneliti (ahlu Tahqiq), yaitu dengan cara melaksanakan shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur, kemudian shalat asar, kemudian shalat bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar. (Raudhah at-Thalibin, 1/402).

[kedua] Keterangan Imam Zakariya al-Anshari – ulama Syafiiyah –,

وإن جمع تقديما بل أو تأخيرا في الظهر والعصر صلى سنة الظهر التي قبلها ثم الفريضتين الظهر ثم العصر ثم باقي السنن مرتبة أي سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر وفي المغرب والعشاء يصلي الفريضتين ثم السنن مرتبة سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر

Jika ada orang yang melakukan jamak taqdim atau ta’khir untuk shalat dzuhur dan asar, maka yang dia lakukan adalah shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur dan asar, kemudian shalat sunah rawatib lainnya secara berurutan, yaitu shalat sunah bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar.

Untuk maghrib dan isya, dia kerjakan shalat maghrib dan isya, kemudian shalat sunah setelahnya secara berurutan, shalat sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. (Asna al-Mathalib, 1/245)

[Ketiga] Keterangan Ibnu Qudamah

وإذا جمع في وقت الأولى فله أن يصلي سنة الثانية منهما ويوتر قبل دخول وقت الثانية لأن سنتها تابعة لها فيتبعها في فعلها ووقتها والوتر وقته ما بين صلاة العشاء إلى صلاة الصبح وقد صلى العشاء فدخل وقته

Jika ada orang telah melakukan jamak taqdim (maghrib dan isya), selanjutnya dia bisa melakukan shalat sunah rawatib keduanya (bakdiyah maghrib dan isya), kemudian melakukan shalat witir (meskipun) belum masuk waktu shalat isya. Karena shalat sunah witir mengikuti shalat isya. 
Sehingga waktu dan pelaksanaannya mengikuti pelaksanaan shalat isya. Sementara witir waktunya antara shalat isya sampai subuh. 
Dan dia melaksanakan shalat isya, sehingga telah masuk waktunya. (al-Mughni, 2/124).

[Keempat] keterangan al-Mardawi dalam al-Inshaf,

يصلي سنة الظهر بعد صلاة العصر من غير كراهة قاله أكثر الأصحاب

Orang yang melakukan jamak dzuhur dengan asar maka dia mengerjakan shalat sunah bakdiyah dzuhur setelah shalat asar, dan tidak makruh. 
Ini merupakan pendapat mayoritas hambali. (al-Inshaf, 2/241)."
ALLAHU A'LAM..

BOLEHKAH MENGGABUNGKAN THOWAF WADA' DAN IFADHOH.

Bolehkah Mengabungkan Thawaf Wada' dengan Ifadhah?

Semakin membludak jamaah haji dari seluruh penjuru dunia desak-desakan ekstrim tidak lagi dapat dihindari, utamanya saat thawaf. 
Ibadah haji adalah ibadah badaniyah yang membutuhkan kondisi tubuh dalam keadaan fit. 
Kenyataannya ada beberapa kondisi seseorang merasa berat atau bahkan tidak mampu melaksanakan thawaf, padahal dalam ibadah haji setidaknya ada tiga kali thawaf yakni, thawaf qudum, ifadhah dan wada'. 

Karenanya bolehkan orang menggabungkan thawaf ifadhah dan thawaf wada' menjadi satu kali thawaf dengan dua niat dengan tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisi tubuh yang sedang tidak fit?  
 
Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum thawaf wada' diperselisihkan oleh ulama se​​​​​​bagai berikut: 

Pertama, menurut mazhab Syafi'i thawaf wada' hukumnya wajib menurut pendapat ashah dan sunah menurut pendapat lain. 
Terkait pendapat madzhab Syafi'i dapat dilihat misalnya dalam kitab Al-Majmu' :
 
وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

Artinya, “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama—dan ini yang paling sahih—adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. 
Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. 
Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

Kedua, menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra: 

بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

Artinya, "Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

Abu Barakat Ad-Dardiri (wafat 1230 H) yang bermazhab Maliki dalam kitabnya As-Syarhul Kabir mengatakan:

وتَأَدَّى الوداعُ (بالإفاضة و) بطواف (العمرة) أي سقط طلبه بهما ويحصل له ثواب طواف الوداع إن نواه بهما.
 
Artinya, "Telah memenuhi thawaf wada' dengan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah. Maksudnya telah gugur tuntutan thawaf wada' dengan melakukan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah, dan telah hasil baginya pahala thawaf wada' jika ia meniatkannya dalam thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah." (Abu Barakat Ad-Dardiri, As-Syarhul Kabir, [Bairut, Dar-Fikr: tt], juz II, halaman 53). 

Kemudian, Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya: 

فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

Artinya, " Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. 
Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

Ulama lain dari mazhab hambali, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata: 
 
 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع.
 
Artinya, "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).
 
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa thawaf wada' hukumnya wajib menurut mazhab Syafi'i, sedangkan menurut mazhab Maliki, satu pendapat dalam mazhab Imam As-Syafi'i dan Mazhab Imam Ahmad, thawaf wada' hukumnya sunah.

Kemudian Madzhab Maliki dan Hanbali memperbolehkan mengumpulkan antara thawaf ifadhah dan wada' dalam satu kali thawaf. 
Hal ini berdasar pada tujuannya adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah, dan hal ini telah terlaksana dengan thawaf ifadhah.
 
Walhasil, mengingat dalam kondisi tertentu, pelaksanaan thawaf dua kali, yaitu thawaf ifadhah dan wada' secara terpisah akan sangat memberatkan (masyaqqah) terutama bagi jamaah haji dengan risiko tinggi, sakit dan lemah secara fisik, untuk meminimalisir risiko, maka dimungkinkan untuknya memilih teknis yang lebih mudah yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu waktu dengan dua niat, dan telah ia dapatkan pahala keduanya sekalipun hanya dengan satu kali thawaf. 
Wallahu a'lam bisshawab.