Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 05 Desember 2025

7 Kewajiban Orang Tua Pada Anak

7 Kewajiban Orang Tua pada Anak

Tangis bayi yang pecah saat proses persalinan usai merupakan hal yang didamba-dambakan oleh seorang ayah dan ibu. 
Seluruh keluarga menyambutnya dengan riang gembira. Bahkan di dalam Al-Qur'an menjelaskan pada manusia bagaimana Allah SWT menyampaikan kabar gembira atas kelahiran para nabi secara langsung lewat malaikat.

Kelahiran Nabi Ishaq as dan Nabi Ya'qub as ada di dalam surat Hud ayat 71.
  
وَامْرَاَتُهٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ

Artinya: "Istrinya berdiri, lalu tersenyum. 
Kemudian, Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya‘qub (putra Ishaq)."
 
Kelahiran Nabi Yahya as ada di dalam surat Maryam ayat 7.
 
يٰزَكَرِيَّآ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ  ࣙاسْمُهٗ يَحْيٰىۙ لَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
 
Artinya: "(Allah berfirman,) “Wahai Zakaria, Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya yang nama itu tidak pernah Kami berikan sebelumnya.”

Sebelum melangkah lebih jauh, kelahiran anak ke dunia yang disambut dengan ekspresi syukur itu, ternyata ada tanggung jawab besar yang harus dijalankan oleh orang tua, antara lain.
  
1. Mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi oleh ayahnya setelah bayi dinyatakan bersih dan suci.

 
2. Tahnik. Memasukkan makanan yang mengandung zat gula ke dalam mulut bayi secara merata (madu, kurma, dan sejenisnya) dengan jari-jari tangan.
 
3. Menyusuinya dengan Air Susu Ibu (ASI). 
Karena secara medis, baik bagi pertumbuhan anak. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 233 (Juz 2)

 
۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ  لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَاۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 
Artinya: Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. 
Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. 
Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. 
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. 
Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
 
4. Memberi nama pada anaknya. 
Dengan harapan nama tersebut menjadi doa bagi anak dalam perkembangannya kelak.

إِنَّكُمْ تَدْعُونَ يَومَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ

Artinya: Sesungguhnya di hari kiamat nanti kalian akan dipanggil nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian. Oleh karena itu buatlah nama-nama yang baik untuk kalian. (HR. Abu Dawud)

5. Mengaqiqahi anak dengan menyembelih kambing (2 ekor untuk bayi laki-laki dan 1 ekor untuk bayi perempuan). Kemudian mencukur rambut. Semua itu bagian dari rasa syukur atas kelahiran anaknya.

كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى
الراوي : سمرة بن جندب | المحدث : الألباني | المصدر : صحيح ابن ماجه | الصفحة أو الرقم : 2580 | خلاصة حكم المحدث : صحيح | التخريج : أخرجه ابن ماجه (3165) واللفظ له، وأخرجه أبو داود (2838)، والترمذي (1522) باختلاف يسير.
 
Menurut Jumhur, Q.S. Al-Baqarah [2]: 233.
Menegaskan penyusuan secara sempurna, dua tahun. 
Dengan demikian, status ibu-ibu yang tidak bersedia memberikan ASI kepada bayinya adalah khianat.

Menyusui bayi sendiri hingga bayi berusia dua tahun hanyalah sebatas anjuran. Sebagaimana diterangkan dalam penghujung ayat tersebut. 
"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya." (Qs Al Baqoroh: 233).

6.Khitan


وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim”. [al Baqarah/2 : 124].

Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur.


7.Memberikan pendidikan yang layak pada anak, mulai sejak kecil hingga dewasa. 
Juga memberinya nafkah yang halal dan memberinya tempat tinggal.

8.Menikahkan anak dengan orang yang shalih atau shalihah. Sebagaimana dalam QS. An-Nur: 32 (Juz 18)
 
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
 
Artinya: Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. 
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dengan demikian, lahirnya anak/keturunan ke dunia sebagai khalifah fil ardhi harus dipahami betul oleh orang tua. Karena masa depan agama dan bangsa ada di tangan anak-anaknya.
Semoga bermanfa'at...
Wallahu a'lam.

Rabu, 03 Desember 2025

HUKUM KPR/NYICIL RUMAH DALAM ISLAM

Hukum KPR dalam Islam, 
Boleh atau Tidak?

Hukum KPR dalam Islam terbagi menjadi dua macam, yakni KPR yang diperbolehkan dan KPR yang diharamkan. KPR sendiri merupakan sebuah mekanisme kredit yang diberikan kepada nasabah untuk mempermudah mereka dalam memiliki rumah.

Mengutip laman OJK, KPR adalah fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah. Pihak perbankan akan menentukan sendiri mengenai jumlah besaran kredit dan bunga yang dibayarkan oleh nasabah.

Dalam sistem muamalah Islam, bunga bank merupakan produk perbankan yang diharamkan karena mengandung sistem riba di dalamnya. Lalu, bagaimana dengan hukum bunga KPR dalam Islam?

Hukum KPR dalam Islam
Mengutip jurnal Hukum Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Dalam Perspektif Islam karya Ira Apriyanti, hukum KPR dalam Islam terbagi menjadi dua macam, yakni:

1. Hukum KPR dalam Islam Melalui Bank Konvensional
Pada Produk KPR pada perbankan konvensional, akadnya didasarkan pada prinsip pinjam-meminjam dengan memanfaatkan bunga sebagai variabelnya. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.

Pihak bank akan memberikan pinjaman kepada nasabah untuk membayar hunian kepada pihak developer atau pemilik bangunan. Setelah itu, nasabah berkewajiban untuk mencicil pembayaran KPR dan bunga pinjaman uang kepada pihak bank.

Dikarenakan ada unsur bunga di dalamnya, maka hukum KPR melalui bank konvensional adalah haram. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni, ia berkata, "Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.”

Hukum haram ini tidak hanya mencakup pihak bank sebagai debitur, namun juga kepada nasabah sebagai kreditur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits. Diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598)

2. Hukum KPR dalam Islam Melalui Bank Syariah
Ada banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk membeli rumah tanpa menggunakan sistem riba, salah satunya adalah dengan KPR melalui bank syariah. Sistem dalam KPR Syariah berbeda dengan KPR konvensional.

Dalam KPR syariah, yang menjadi dasar transaksi adalah mekanisme jual beli yang disebut dengan ‘Bai’ al Murabahah lil Aamir bi asy Syira’. Sistem jual beli dalam KPR syariah diawali dengan adanya akad yang disampaikan oleh nasabah dan pihak perbankan.

Pihak perbankan akan membeli rumah yang diinginkan oleh nasabah kepada pihak developer. Setelah itu, pihak bank akan menjual kembali rumah tersebut kepada nasabah dengan harga lebih tinggi daripada harga beli dari developer/pemilik rumah. Selanjutnya, nasabah akan membayar kepada bank Syariah dengan cara mengangsur dengan waktu yang telah disepakati kedua belah pihak.

Keuntungan yang didapat dari KPR syariah berasal dari nilai margin yang ditetapkan di awal sesuai dengan jangka waktu yang dipilih oleh nasabah untuk melunasi utangnya. Semakin lama jangka waktu yang dipilih, maka nilai margin yang dikenakan semakin besar.

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa DSN-MUI Nomor 73 Tahun 2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah menyatakan bahwa kebolehan melakukan transaksi dengan menggunakan KPR Syariah adalah boleh. Dasar hukum yang diambil adalah surat Al-Baqarah ayat 275.

Allah berfirman: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs. Al-Baqarah: 275)

Menurut MUI, prinsip sistem KPR syariah pada dasarnya sama dengan prinsip jual beli, yakni asas tolong menolong. Oleh karenanya, sistem angsuran melalui KPR syariah diperbolehkan menurut fatwa MUI karena tidak mengandung riba.
 Semoga bermanfaat
Wallahu A'lam.

Minggu, 30 November 2025

HAROKAT DOA DIBULAN ROJAB

Dua Versi Doa Bulan Rajab: ‘Fi Rajaba’ dan ‘Fi Rajabin’

Baik fi rajaba atau fi rajabin, masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. 

Menjelang dan selama bulan Rajab, ada sebuah doa populer dan banyak dipanjatkan umat Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah shallalhu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits beliau yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhuma. 
Lafal doa dimaksud adalah sebagai berikut:

 اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغنَا رَمَضَانَ.
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Permasalahannya adalah kata رجب pada lafal doa tersebut seharusnya dibaca atau diucapkan bagaimana, apakah رَجَبَ (rajaba) ataukah رَجَبٍ (rajabin)? 

Permasalahan tersebut mucul sebab di masyarakat memang berkembang dua versi. Ada yang mengucapkan رَجَبَ  (rajaba) sebagaimana lafal doa di atas, ada pula yang mengucapkan رَجَبٍ (rajabin) sebagaimana lafal doa di bawah ini:
 
  اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
 
(Allâhumma bâriklanâ fî rajabin wa sya’bâna wa ballighnâ ramadhâna) 
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Berkembangnya dua versi yang berbeda tersebut di masyarakat wajar sebab apa yang tertulis di buku-buku atau kitab-kitab dan apa yang terekam dalam bentuk audio atau audio-visual seperti di YouTube, juga menyajikan kedua versi tersebut. 

Pertanyaannya adalah versi manakah di antara keduanya yang lebih baik menurut aturan nahwu atau tata bahasa Arab?

Jawabnya, kedua versi tersebut masing-masing memiliki argumentasinya sendiri sebagai berikut:

1. Versi رَجَبَ (rajaba) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبَ (rajaba) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca fathah (a) رَجَبَ sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim ghairu munsharif (yakni suatu isim yang tidak boleh ditanwin dan dikasrah). Kata tersebut menolak tanwin dan kasrah karena termasuk isim ‘alamiah dan mengikuti wazan fi’il فَعَلَ (fa’ala). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبَ (rajaba).  

2. Versi رَجَبٍ (rajabin) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca kasrah tawin رَجَبٍ (rajabin) sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim munsharif (yakni suatu isim yang boleh ditanwin dan dikasrah). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبٍ (rajabin).  

Perbedaan pendapat tersebut dapat dipertemukan dengan merujuk pada kitab karangan Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i sebagai berikut:

  أن رجب وصفر من الشهور إذا أريد بهما معين يمنع صرفهما للعلمية، والعدل عن الرجب والصفر.... وفي المصباح أن رجب الشهر مصروف وإن أريد به معين. اهـ 

Artinya: “Bahwa Rajab dan Shafar adalah bulan-bulan yang jika dimaksudkan sebagai bulan Rajab dan Shafar tertentu (misalnya tahun ini-pen.), maka keduanya merupakan isim ghairu munsharif. Yang menjadi mani’ sharif-nya adalah alamiyah; dan ‘udul-nya disebabkan masing-masing berasal dari kata ar-Rajab (الرجب), dan as-Shafarالصفر) ). Dalam kitab al-Mishbah dikatakan bahwa Rajab adalah nama bulan yang termasuk isim munsharif meski yang dimaksud adalah bulan Rajab tertentu.” (Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i, Hasyiyah Al-Khudhari, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2017), juz 2, hal. 246). 

Kesimpulannya, baik رَجَبَ (rajaba) maupun رَجَبٍ (rajabin) bisa sama-sama benar dengan catatan رَجَبَ (rajaba) digunakan untuk merujuk bulan Rajab yang sudah tertentu, misalnya tahun ini atau tahun depan saja. Jika yang dimaksud bulan Rajab adalah Rajab secara umum, maka menurut Imam al-Khudhari, sebaiknya menggunakan رَجَبٍ (rajabin). Tetapi menurut kitab al-Misbah, sebagaimana dikutip Imam al-Khudhari, pengucapan yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin). Alasannnya kata رجب adalah isim munsharif.    
Wallahu A'lam bisshowab.

Sabtu, 29 November 2025

HUKUM ORANG MAMPU MASIH TERIMA BANSOS

Syariat Tidak Membenarkan Orang Mampu Masih Terima Bansos.

Deskripsi Masalah:
Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan alam yang melimpah. 
Akan tetapi masih banyak dari penduduk yang masih dalam keadaan miskin atau kekurangan. 

Pemerintah mencoba meringankan beban masyarakat dengan memberikan bantuan langsung atau Bansos. Pemerintah sudah bekerja keras untuk menyesuaikan arah bantuan kepada orang-orang yang memang berhak dan membutuhkan dana bantuan. Namun masih ada saja beberapa kejadian yang mana sebagian masyarakat merasa mampu dan dengan sadar diri mengembalikan dana bantuannya. 

Namun, ada juga sebagian masyarakat yang tetap menerima walaupun menurut tetangga-tetangganya ia sudah termasuk orang mampu. Sebagian masyarakat ada yang meminta kepada tetangganya yang mendapat bantuan untuk membagi rata dengan dirinya karena mereka merasa dirinya tidak mampu dan berhak mendapat bantuan. 
Sebagai catatan bahwa kewenangan bantuan sosial ada pada pemerintah. 

Pertanyaan:
Apakah dibenarkan menurut syariat orang yang mampu memenuhi kebutuhannya tetapi tetap menerima bantuan sosial (Bansos)? 

Jawaban:
Tidak dibenarkan kecuali orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum dengan jumlah sesuai kebijakan pemerintah dan kemaslahatan.

Referensi:

المجموع شرح المهذب (9/ 349)
(فَرْعٌ) قَالَ الْغَزَالِيُّ مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عاجزعَنْ الْكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ اشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ أَنْوَاعِ عُلَمَاءِ الدِّينِ كَعِلْمِ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ وَالْقِرَاءَةِ وَنَحْوِهَا وَيَدْخُلُ فِيهِ طَلَبَةُ هَذِهِ الْعُلُومِ وَالْقُضَاةُ وَالْمُؤَذِّنُونَ وَالْأَجْنَادُ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلَاءِ مَعَ الْغِنَى وَيَكُونُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إلَى رَأْيِ السُّلْطَانِ وَمَا تَقْتَضِيه الْمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضِيقِ الْمَالِ وَسَعَتِهِ.

Artinya: Harta mashalih hanya ditasarufkan pada orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum atau orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena tidak bisa bekerja. 
Seperti orang yang mengatur kebaikan orang Islam, maka dicukupi kebutuhanya dari Baitul Maal, seandainya orang tersebut bekerja maka dia tidak bisa mengatur kebaikan orang Islam. 
Begitu juga seluruh ulama agama sesuai dengan bidangnya, para pelajar, hakim, muadzin, tentara, dan diperbolehkan menasarufkan kepada mereka yang sudah kaya (berkecukupan) sesuai kebijakan pemerintah dan kebaikannya.

حاشية الجمل - (16 / 215)
 وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ عِلْمٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهِ أَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنٌ بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ بِهِ لَمْ يُعْطِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا.

Artinya: Barang siapa menerima pemberian tidak sesuai dengan ketentuannya seperti sifat fakir, sifat baik, nasab atau ahli ilmu akan tetapi kenyataannya tidak sesuai, maka tidak boleh mengambilnya secara mutlak.
Wallahu A'lam bisshowab.

HUKUM MENERIMA BANTUAN TIDAK SESUAI JUMLAH

Hukum menerima bantuan yang tidak sesuai jumlahnya.

Ahir-ahir ini sering kita jumpai bantuan dari instansi pemerintah atau lainnya yang diberikan kepada unit pendidikan, pondok pesantren atau bidang lainnya, terjadi perbedaan antara jumlah sumbangan yang tertulis dengan yang diterima.

Sebagai contoh, ada unit pendidikan yang seharusnya menerima bantuan 150 juta rupiah, tapi yang diterima hanya 135 juta rupiah, padahal sipenerima tetap menulis dan menandatangani bantuan sebesar 150 juta rupiah.

Menyikapi hal tersebut ada beberapa asumsi bagi si penerima, yaitu : 
Tidak boleh jika masih mungkin untuk mendapatkan haknya tanpa memanipulasi data nominal yang disumbangkan. 
Yang kedua boleh jika memang memanipulasi data merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh haknya, dan bagi yang memberi bantuan (memerintahkan menulis) hukumnya haram.

Syaikh Muhammad bin Salim dalam kitabnya mengatakan :

وَمِنْهَا اْلكَذِبُ وَهُوَ عِنْدَ اَهْلِ السُّنَّةِ الاِخْبَارُ بِالشَّيْئِ فِي خِلاَفِ اْلوَاقِعِ بِخِلاَفِ مَا هُوَ سَوَاءٌ عَلِمَ ذَلِكَ وَ تَعَمَّدَهُ اَمْ لاَ وَ اَمَّا اْلعِلْمُ وَالتَّعَمَّدُ فَهُوَ شَرْطَانِ مِنَ اْلاِثْمِ.

Di antaranya adalah berbohong, menurut Ahlussunnah berbohong adalah mengabarkan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Berbeda dengan mengabarkan sesuatu yang sesuai dengan kenyataannya ini tidak dinamakan berbohong, baik dia mengerti dan disengaja maupun tidak, dan kalau mengerti dan disengaja maka ini adalah prasarat dari dosa. 
(Kiyab Is’adur Rofiq, Juz II, halaman 77)

Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’Alawi dalam kitabnya mengatakan :

وَمِنْهَا كِتَابَةُ مَا يَحْرُمُ عَنِ النُّطْقِ بِهِ قَالَ اْلبِدَايَة لاَنَّ اْلقَلَمَ اَحَدُ اللِّسَانِ اَيْ مُنْغِيْبَة وَغَيْرِهَا فَلاَ يُكْتَبُ بِهِ مَا يَحْرُمُ النُّطْقُ مِنْ جَمِيْعِ مَا مَرَّ.

Di antara dosa yang lain adalah menulis sesuatu yang haram diucapkan. 
Pengarang kitab Al-Bidayah berkata: karena pena itu salah satu media lisan, jadi sudah dianggap cukup, dan lain sebagainya. 
Jadi setiap sesuatu yang haram diucapkan haram pula ditulis. (Kitab Sulamut taufiq)

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya mengatakan :

فَكُلُّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ اِلَيْهِ بِالصِّدْقِ وَاْلكَذِبِ جَمِيْعًا فَالكَذِبُ فِيْهِ حَرَامٌ وَاِنْ اَمْكَنَ التَّوَصُّلُ اِلَيْهِ بِاْلكَذِبِ دُوْنَ الصِّدْقِ فَالْكَذِبُ فِيْهِ مُبَاحٌ اِنْ كَانَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ القَصْد مُبَاحًا.

Setiap maksud yang terpuji yang bisa dicapai dengan jalan benar dan bohong sekaligus, maka berbohong hukumnya haram. Tetapi jika bisa tercapai lewat berbohong dan tidak tercapai lewat kejujuran, maka berbohong diperbolehkan jika untuk mencapainya diperbolehkan. 
(Kitab ihya' ulumuddin Juz,IV, halaman 230)
Allahu A'lam.

TATA CARA SHALAT SUNNAH PENGANTEN


Tata Cara dan Anjuran Sholat Sunnah Setelah Akad Nikah, 
Calon Suami Wajib Tahu
Tata cara dan amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh para pengantin baru.

Tata cara dan amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh para pengantin baru.

Tata Cara dan Anjuran Sholat Sunnah Setelah Akad Nikah, Calon Suami Wajib Tahu
Tata cara sholat sunnah akad nikah tentu penting diketahui oleh calon pengantin, khususnya laki-laki.
Menikah merupakan salah satu anjuran Allah SWT yang tertuang langsung dalam kitab suci Al-Qur'an.

Setelah melaksanakan akad nikah, terdapat beberapa sunnah yang bisa dilakukan oleh pengantin baru termasuk sholat.


Sholat Sunnah Sebelum dan Sesudah Akad Nikah
Sholat sunnah yang bisa dilakukan oleh calon pengantin bisa dilakukan di dua momen.

Pertama sesaat sebelum melakukan akad nikah.

Hal tersebut seperti disebut dalam Kitab Hasyiah As Syarqowi jilid 1 halaman 309.

ومنه أشياء أخر كصلاة الغفلةو ركعتا الزفاف أى للزوج والزوجة وكذا ركعتان للعقد في مجلسه قبل تعاطيه لكن للزوج والولي فقط دون الزوجة ع ش

Artinya: "Di antara (shalat yang disunnahkan) lainnya adalah shalat ghoflah dan shalat dua raka'at pengantin bagi suami dan istri.
Begitu juga shalat sunnah dua rakaat karena  akad nikah yang dilakukan di majelis akad sebelum dimulainya akad nikah, akan tetapi ini sunnah hanya bagi suami dan wali, bukan untuk istri," 

Kedua, sholat sunnah yang dilaksanakan setelah ijab kabul. 
Ibadah ini dilakukan sebelum melakukan hubungan suami istri.

ومنه ركعتا الزفاف تسن هذه الصلاة لكل من الزوج والزوجة ينوي بها سنة الزفاف

Artinya: "Di antara (yang disunnahkan) adalah shalat dua raka'at zifaf (pernikahan).

Shalat ini disunnahkan untuk suami dan isteri dengan niatan melakukan kesunnahan pernikahan."

Abu Sa'id Maula RA mengisahkan, bahwa dia pernah mengadakan syukuran pernikahan ketika masih menjadi budak.

Abu Sa'id Maula mengundang beberapa sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud ra, dan Hudzaifah RA.

Lalu ia mengatakan bahwa para sahabat tersebut membimbingnya dan mengatakan:

"Jika istrimu masuk menemuimu, sholatlah dua rakaat. 
Mintalah perlindungan kepada Allah SWT dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukan istrimu. 
Setelah itu, urusannya terserah kamu dan istrimu,"

Niat Sholat
Untuk melaksanakan sholat sunnah ini sama seperti mengerjakan sholat 2 rakaat pada umumnya. 
Berikut niatnya:

أُصَـلِّىْ سُنَّةَ لَيْلَةِ الزِّفَافِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّـهِ تَعَالَى

Usholli Sunnatan Lailataz Zifaafi rok'ataini lillahi Ta'ala.

Artinya: "Saya sholat sunnah malam pengantin dua rakaat karena Allah Ta'ala."

Rakaat pertama boleh membaca Surat Al-Kafirun setelah Al-Fatihah dan rakaat kedua membaca Surat Al-Ikhlas.

Membaca Doa
Setelah melaksanakan sholat sunnah, dianjurkan juga untuk tidak lupa berdoa.

Berdoa merupakan salah satu adab yang harus dilakukan sebelum berhubungan suami istri. 
Adapun doa sebelum jima adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Bismillah, Allahumma jannibnaassyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa.


Artinya: "Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami."
Sunnah yang Dianjurkan Dilakukan Setelah Menikah
Selain melaksanakan sholat, ada beberapa hal lain yang juga disunnahkan untuk dikerjakan atau dilakukan para suami istri baru.

1. Memberi Salam sebelum Masuk Kamar

Dalam sebuah hadis dengan sanad hasan shahih dikatakan, "Ummu Salamah RA berkata bahwa ketika Rasulullah SAW menikahinya dan beliau hendak menggaulinya, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu." (HR Abu Syaikh)

2. Bersiwak

Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya ia berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah,

'Dengan tindakan apa Rasulullah SAW memulai jika masuk ke rumahnya?' Dia menjawab, 'Dengan bersiwak'," (HR. Muslim)

3. Bersikap Lembut pada Istri

Anjuran untuk bersikap lemah lembut kepada istri juga pernah disebut oleh Rasulullah SAW.

Termasuk saat akan berhubungan suami istri atau melakukan jima.

Seorang suami disebut harus membelai terlebih dahulu sang istri untuk membuatnya tenang dan merasa nyaman. 
Rasulullah SAW:

"Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti hewan. 
Hendaklah dia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu." (HR. Ar Tirmidzi)
_______________________________

Tatacara Shalat Sunah Usai Akad Nikah.

Sebelumnya, perlu kita tahu bahwa shalat sunah setelah akad nikah, tidak berdasarkan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Namun yang menjadi dasar adalah riwayat dari sebagian sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Diantaranya :

– Dari Abu Sa’id Maulanya Abu Usaid, beliau berkata,

تزوجت وأنا مملوك ، فدعوت نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فيهم ابن مسعود وأبو ذر وحذيفة . قال : …. وعلموني ، فقالوا : (إذا أدخل عليك أهلك فصل عليك ركعتين ، ثم سل الله تعالى من خير ما دخل عليك ، وتعوذ به من شره ، ثم شأنك وشأن أهلك)

“Aku menikah saat aku masih berstatus sebagai hamba sahaya. 
Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam diantara mereka adalah Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzaifah.

“Mohon ajari aku….” Pintaku kepada beliau-beliau.

Lalu mereka berpesan, “Jika kamu hendak menggauli istrimu, sholatlah dua raka’at terlebih dahulu. 
Kemudian mintalah kebaikan kepada Allah dalam hubunganmu. 
Berlindunglah dari keburukannya. 
Lalu serahkan kepada Allah urusanmu dan urusan keluargamu.” (HR. Ibnu Abu Syuaibah dalam Al Mushannaf, 3/401. Dan ‘Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, 6/191)

Dalam Adabuz Zifaf hal. 22 Syaikh Al Albani rahimahullahu menilai, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id. Dia mastur.”

– Dari Syaqiq ia menceritakan,

جاء رجل إلى عبد الله [يعني : ابن مسعود] يقال له أبو جرير فقال : إني تزوجت جارية شابة وإني أخاف أن تفركني (أي : تبغضني)

“Seorang laki-laki menemui Abdullah bin Mas’ud. Namanya Abu Jarir, ia berkata, “Aku menikahi seorang gadis yang masih perawan. 
Aku takut jika ia nanti membenciku.”

Sahabat Abdullah bin Mas’ud lantas berpesan,

إن الإلف من الله ، والفرك من الشيطان ، يريد أن يكره إليكم ما أحل الله لكم ، فإذا أتتك فمرها أن تصلي وراءك ركعتين

“Sesungguhnya keharmonisan itu datang dari Allah. Dan kebencian itu datang dari setan. Setan ingin membuat kalian benci apa yang Allah halalkan bagi kalian. 
Karena itu, jika istrimu mendatangimu maka perintahkanlah ia agar shalat dua raka’at di belakangmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushonnaf (3/402), Abdurrzaq dalam Al Mushonnaf karyanya (6/191), At-Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir (9/204) )

Syaikh Al Albani menilai shahih sanad riwayat ini di dalam kitab Adab Az Zifaaf, hal 24.

Meski amalan ini tidak bersumber kepada hadis secara langsung, amalan ini dapat diamalkan. 
Karena keterangan sahabat, dalam hal yang tidak mungkin terjadi ijtihad, levelnya sama dengan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Seperti dalam kasus ini adalah masalah ibadah, ibadah dasarnya adalah taukifi (menunggu dalil yang memerintah), tidak boleh melahirkan ibadah berdasar pada ijtihad, apalagi hawa nafsu. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah di dalam Fadhlul Islam,

العبادة توقيفية لا اجتهاد فيها برأي أو هوى

“Ibadah itu sifatnya tauqifi, tidak ada di dalamnya ijtihad dengan pendapat atau hawa nafsu.”

Sholat sunah dua raka’at bagi pengantin baru, sebelum mereka melakukan hubungan, adalah ibadah. 
Saat ada pernyataan sahabat yang menganjurkan sholat ini dan sanad riwayatnya shahih, ini menunjukkan bahwa legalitas ibadah ini pernah mereka dengar dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Karena tidak mungkin para sahabat melakukan bid’ah apalagi melahirkan Ibadah bid’ah. 
Sampai-sampai sahabat Hudzaifah radhiyallahu’anhu pernah mengatakan,

كل عبادة لا يتعبدها أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فلا تعبدوها

“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, maka jangan kalian kerjakan.”

Pernyataan beliau ini dijadikan kaidah dalam perkara ibadah oleh para ulama.

Oleh karenanya, para ulama saat ditanya tentang hukum sholat sunah setelah akad nikah, mereka membolehkan. Seperti tersebut dalam fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berikut,

يروى في ذلك بعض الآثار عن بعض الصحابة صلاة ركعتين قبل الدخول ، ولكن ليس فيها خبر يعتمد عليه من جهة الصحة ، فإذا صلى ركعتين كما فعل بعض السلف فلا بأس ، وإن لم يفعل فلا بأس، والأمر في هذا واسع ، ولا أعلم في هذا سنةً صحيحة يعتمد عليها

“Ada beberapa atsar dari sejumlah sahabat tentang sholat dua raka’at sebelum dukhul (pengantin baru). 
Namun tidak ada hadis shahih yang bisa dijadikan dasar. 
Jika seorang melakukan sholat dua rakaat ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, tidak mengapa. 
Namun jika tidak mengerjakan juga tidak mengapa. 
Dalam hal ini longgar. 

Dan saya tidak tahu adanya dalil dari hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang menjadi dasar sholat ini.”

Sama seperti sholat sunah dua raka’at lainnya, yang sedikit berbeda adalah :

– waktu pelaksanaannya, sholat ini dikerjakan sebelum melakukan dukhul (berhubung badan)

– dikerjakan secara berjamaah bersama pasangan.

Sebagaimana disingung dalam keterangan sahabat di atas.

Ada satu lagi….

– Jika dikerjakan di malam hari maka bacaan dijahr kan. 
Jika dikerjakan di siang hari maka bacaan disir kan. Sebagaimana yang berlaku pada sholat-sholat sunah yang dikerjakan di malam (bacaan jahr), dan siang (bacaan sir).

Wallahua’lam bis showab.

Rabu, 26 November 2025

LEGALITAS WAKAF UANG

Legalitas Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam.

Wakaf merupakan ibadah sosial dalam Islam yang berkelanjutan dan berkontribusi besar dalam kesejahteraan umat. 
Sebagai instrumen filantropi, wakaf telah mendukung berbagai fasilitas umum, seperti tempat ibadah, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang manfaatnya terus dirasakan masyarakat.

Secara tradisional, wakaf lebih dikenal dalam bentuk aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Banyak lembaga pendidikan, rumah sakit, dan masjid besar di dunia merupakan hasil wakaf dari individu maupun kelompok dermawan. 
Namun, seiring perkembangan zaman, konsep wakaf berkembang, salah satunya melalui wakaf uang, yang menjadi solusi bagi mereka yang ingin berwakaf tanpa memiliki aset tetap.

 
Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Positif

Wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf benda bergerak yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi umat. 
Dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai wakaf uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan pelaksananya sebagai berikut:

 
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditunjuk.
Wakaf uang dilakukan dengan pernyataan kehendak wakif secara tertulis.
Wakaf uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat sebagai bukti sahnya penyerahan wakaf.
Sertifikat wakaf uang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan disampaikan kepada wakif serta nazhir.
Lembaga Keuangan Syariah mendaftarkan harta wakaf berupa uang kepada Menteri Agama dalam waktu tujuh hari kerja setelah sertifikat diterbitkan.
Untuk memperjelas mekanisme wakaf uang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Beberapa ketentuan yang diatur dalam peraturan ini mencakup:

 
Wakaf uang yang dapat diwakafkan harus dalam mata uang rupiah.
Jika uang yang akan diwakafkan berbentuk mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

Wakif diwajibkan untuk :

a. Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendaknya secara langsung.
b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang diwakafkan.
c. Menyetorkan uang secara tunai ke LKS-PWU.
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakaf sebagai bukti sah perwakafan.

Jika wakif tidak dapat hadir langsung, ia dapat menunjuk wakil atau kuasa untuk melakukan proses wakaf uang.
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang dalam Undang-Undang

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang harus dilakukan sesuai prinsip syariah dan regulasi yang berlaku. 
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 menegaskan bahwa pengelolaan wakaf uang hanya boleh dilakukan melalui investasi pada produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan/atau instrumen keuangan syariah. 
Beberapa ketentuan penting dalam pengelolaan wakaf uang meliputi :

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dilakukan melalui investasi pada produk keuangan syariah.
Jika Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) menerima wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka nazhir hanya dapat mengelolanya di LKS tersebut.
Pengelolaan wakaf uang dalam bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai regulasi.
Jika wakaf uang diinvestasikan di luar bank syariah, maka harus diasuransikan dalam asuransi syariah.
 
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menerbitkan Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf. 
Peraturan ini menjadi acuan dalam memastikan bahwa wakaf uang dapat dikelola dengan optimal untuk kepentingan umat.

Dalam peraturan BWI tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dapat dilakukan dalam bentuk investasi di luar produk-produk Lembaga Keuangan Syariah atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. 
Persetujuan tersebut diberikan setelah Badan Wakaf Syariah (BWI) melakukan kajian atas kelayakan investasi yang dimaksud. 
Sebaran investasi wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60% investasi dalam instrumen LKS dan 40% investasi di luar LKS.

 
Wakaf Uang dalam Putusan NU

Pembahasan mengenai wakaf uang telah menjadi salah satu topik dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002 yang diselenggarakan di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta. 
Dalam forum tersebut, para kiai menyepakati bahwa menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, serta sebagian ulama Hanafi, wakaf dalam bentuk uang tunai tidak dianggap sah karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf.

 
Namun, terdapat pandangan berbeda dari sebagian ulama Hanafi yang memperbolehkan wakaf uang, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan cara yang tetap menjaga nilai pokoknya (Ahkamul Fuqaha’, halaman 572-573.)

Syekh Nizamuddin al-Barnahaburi bersama sekelompok ulama India menjelaskan bahwa wakaf dalam bentuk mata uang tidak sah. 

Hal ini dikarenakan uang tidak memenuhi kriteria harta wakaf, yaitu harta yang dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghabiskan wujud fisiknya.

 
Dengan kata lain, uang yang digunakan akan habis dalam transaksi, berbeda dengan aset seperti tanah atau bangunan yang tetap lestari meskipun dimanfaatkan. 
Oleh karena itu, menurut pandangan mereka, wakaf uang tidak memenuhi syarat sahnya wakaf dalam hukum Islam. 

وَأَمَّا وَقْفُ مَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ. وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيْرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ 

Artinya, “Adapun mewakafkan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, seperti emas, perak, makanan, dan minuman, maka hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama. Yang dimaksud dengan emas dan perak di sini adalah dirham, dinar, dan segala sesuatu yang bukan berupa perhiasan.” (Nizamuddin al-Barnahaburi dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, [Surabaya, Darul Ilmi: t.t.] jilid I, halaman 256)

 
Meskipun sebagian besar ulama menolak keabsahan wakaf uang, terdapat pandangan berbeda dari ulama mazhab Hanafi, salah satunya Syekh Ibnu Syihab az-Zuhri. Beliau berpendapat bahwa wakaf dengan uang diperbolehkan, sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Imam al-Bukhari.

وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ.
 
Artinya, “Pendapat tentang sahnya mewakafkan dinar (uang) telah dinisbatkan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari dalam Shahih-nya. 

Beliau (Al-Bukhari) berkata bahwa Az-Zuhri berpendapat tentang seseorang yang menginfakkan seribu dinar di jalan Allah, lalu menyerahkannya kepada seorang budaknya yang bekerja sebagai pedagang agar uang tersebut diputar dalam perdagangan. 
Ia menetapkan bahwa keuntungannya akan disedekahkan kepada fakir miskin dan kerabat dekat.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, [Bairut, Darul Ibnu Hazm: 1997], halaman 20-21).

Bagi ulama yang membolehkan wakaf uang, pelaksanaannya dilakukan dengan menjadikannya sebagai modal usaha. 
Dalam praktiknya, uang wakaf tidak langsung diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaih), tetapi dikelola terlebih dahulu dalam bentuk investasi syariah, seperti mudharabah atau mekanisme lainnya yang memastikan nilai pokoknya tetap terjaga.

Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tersebut kemudian disalurkan kepada pihak yang berhak menerima manfaat sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan cara ini, wakaf uang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, sekaligus menjaga nilai pokoknya agar tetap lestari.

وَقِيْلَ فِيْ مَوْضِعٍ تَعَارَفُوا ذَلِكَ يُفْتَى بِالْجَوَازِ. قِيْلَ كَيْفَ: قَالَ الدَّرَاهِمُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ ثُمَّ يَقْبِضُهَا أو تُدْفَعُ مُضَارَبَةً بِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِالرِّبْحِ .
 
Artinya, “Dikatakan bahwa di tempat di mana masyarakat telah terbiasa dengan praktik tersebut, maka fatwa yang diberikan adalah membolehkannya. 
Ketika ditanya bagaimana caranya, beliau berkata: Dirham (uang) tersebut dapat dipinjamkan kepada fakir miskin, lalu setelahnya dikembalikan. 
Bisa juga diserahkan sebagai modal mudharabah (kerja sama dagang), di mana keuntungannya disedekahkan.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, 20-21).

Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wakaf uang, terlihat bahwa hukum Islam memberikan ruang bagi ijtihad dalam menyesuaikan praktik wakaf dengan kebutuhan umat. 

 
Meskipun mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak keabsahan wakaf uang, pandangan ulama Hanafi yang memperbolehkan praktik ini dengan syarat pengelolaan yang menjaga nilai pokoknya memberikan alternatif bagi umat Islam dalam memanfaatkan instrumen keuangan modern.

Dalam konteks ekonomi Islam saat ini, wakaf uang memiliki potensi besar dalam memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan. 
Dengan pengelolaan yang sesuai prinsip syariah, wakaf uang dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Oleh karena itu, penting bagi lembaga pengelola wakaf untuk memastikan bahwa wakaf uang dikelola dengan amanah, profesional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah agar maslahatnya dapat terus lestari.

Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam.