Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 30 November 2025

HAROKAT DOA DIBULAN ROJAB

Dua Versi Doa Bulan Rajab: ‘Fi Rajaba’ dan ‘Fi Rajabin’

Baik fi rajaba atau fi rajabin, masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. 

Menjelang dan selama bulan Rajab, ada sebuah doa populer dan banyak dipanjatkan umat Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah shallalhu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits beliau yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhuma. 
Lafal doa dimaksud adalah sebagai berikut:

 اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغنَا رَمَضَانَ.
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Permasalahannya adalah kata رجب pada lafal doa tersebut seharusnya dibaca atau diucapkan bagaimana, apakah رَجَبَ (rajaba) ataukah رَجَبٍ (rajabin)? 

Permasalahan tersebut mucul sebab di masyarakat memang berkembang dua versi. Ada yang mengucapkan رَجَبَ  (rajaba) sebagaimana lafal doa di atas, ada pula yang mengucapkan رَجَبٍ (rajabin) sebagaimana lafal doa di bawah ini:
 
  اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
 
(Allâhumma bâriklanâ fî rajabin wa sya’bâna wa ballighnâ ramadhâna) 
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Berkembangnya dua versi yang berbeda tersebut di masyarakat wajar sebab apa yang tertulis di buku-buku atau kitab-kitab dan apa yang terekam dalam bentuk audio atau audio-visual seperti di YouTube, juga menyajikan kedua versi tersebut. 

Pertanyaannya adalah versi manakah di antara keduanya yang lebih baik menurut aturan nahwu atau tata bahasa Arab?

Jawabnya, kedua versi tersebut masing-masing memiliki argumentasinya sendiri sebagai berikut:

1. Versi رَجَبَ (rajaba) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبَ (rajaba) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca fathah (a) رَجَبَ sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim ghairu munsharif (yakni suatu isim yang tidak boleh ditanwin dan dikasrah). Kata tersebut menolak tanwin dan kasrah karena termasuk isim ‘alamiah dan mengikuti wazan fi’il فَعَلَ (fa’ala). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبَ (rajaba).  

2. Versi رَجَبٍ (rajabin) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca kasrah tawin رَجَبٍ (rajabin) sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim munsharif (yakni suatu isim yang boleh ditanwin dan dikasrah). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبٍ (rajabin).  

Perbedaan pendapat tersebut dapat dipertemukan dengan merujuk pada kitab karangan Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i sebagai berikut:

  أن رجب وصفر من الشهور إذا أريد بهما معين يمنع صرفهما للعلمية، والعدل عن الرجب والصفر.... وفي المصباح أن رجب الشهر مصروف وإن أريد به معين. اهـ 

Artinya: “Bahwa Rajab dan Shafar adalah bulan-bulan yang jika dimaksudkan sebagai bulan Rajab dan Shafar tertentu (misalnya tahun ini-pen.), maka keduanya merupakan isim ghairu munsharif. Yang menjadi mani’ sharif-nya adalah alamiyah; dan ‘udul-nya disebabkan masing-masing berasal dari kata ar-Rajab (الرجب), dan as-Shafarالصفر) ). Dalam kitab al-Mishbah dikatakan bahwa Rajab adalah nama bulan yang termasuk isim munsharif meski yang dimaksud adalah bulan Rajab tertentu.” (Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i, Hasyiyah Al-Khudhari, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2017), juz 2, hal. 246). 

Kesimpulannya, baik رَجَبَ (rajaba) maupun رَجَبٍ (rajabin) bisa sama-sama benar dengan catatan رَجَبَ (rajaba) digunakan untuk merujuk bulan Rajab yang sudah tertentu, misalnya tahun ini atau tahun depan saja. Jika yang dimaksud bulan Rajab adalah Rajab secara umum, maka menurut Imam al-Khudhari, sebaiknya menggunakan رَجَبٍ (rajabin). Tetapi menurut kitab al-Misbah, sebagaimana dikutip Imam al-Khudhari, pengucapan yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin). Alasannnya kata رجب adalah isim munsharif.    
Wallahu A'lam bisshowab.

Sabtu, 29 November 2025

HUKUM ORANG MAMPU MASIH TERIMA BANSOS

Syariat Tidak Membenarkan Orang Mampu Masih Terima Bansos.

Deskripsi Masalah:
Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan alam yang melimpah. 
Akan tetapi masih banyak dari penduduk yang masih dalam keadaan miskin atau kekurangan. 

Pemerintah mencoba meringankan beban masyarakat dengan memberikan bantuan langsung atau Bansos. Pemerintah sudah bekerja keras untuk menyesuaikan arah bantuan kepada orang-orang yang memang berhak dan membutuhkan dana bantuan. Namun masih ada saja beberapa kejadian yang mana sebagian masyarakat merasa mampu dan dengan sadar diri mengembalikan dana bantuannya. 

Namun, ada juga sebagian masyarakat yang tetap menerima walaupun menurut tetangga-tetangganya ia sudah termasuk orang mampu. Sebagian masyarakat ada yang meminta kepada tetangganya yang mendapat bantuan untuk membagi rata dengan dirinya karena mereka merasa dirinya tidak mampu dan berhak mendapat bantuan. 
Sebagai catatan bahwa kewenangan bantuan sosial ada pada pemerintah. 

Pertanyaan:
Apakah dibenarkan menurut syariat orang yang mampu memenuhi kebutuhannya tetapi tetap menerima bantuan sosial (Bansos)? 

Jawaban:
Tidak dibenarkan kecuali orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum dengan jumlah sesuai kebijakan pemerintah dan kemaslahatan.

Referensi:

المجموع شرح المهذب (9/ 349)
(فَرْعٌ) قَالَ الْغَزَالِيُّ مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عاجزعَنْ الْكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ اشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ أَنْوَاعِ عُلَمَاءِ الدِّينِ كَعِلْمِ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ وَالْقِرَاءَةِ وَنَحْوِهَا وَيَدْخُلُ فِيهِ طَلَبَةُ هَذِهِ الْعُلُومِ وَالْقُضَاةُ وَالْمُؤَذِّنُونَ وَالْأَجْنَادُ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلَاءِ مَعَ الْغِنَى وَيَكُونُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إلَى رَأْيِ السُّلْطَانِ وَمَا تَقْتَضِيه الْمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضِيقِ الْمَالِ وَسَعَتِهِ.

Artinya: Harta mashalih hanya ditasarufkan pada orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum atau orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena tidak bisa bekerja. 
Seperti orang yang mengatur kebaikan orang Islam, maka dicukupi kebutuhanya dari Baitul Maal, seandainya orang tersebut bekerja maka dia tidak bisa mengatur kebaikan orang Islam. 
Begitu juga seluruh ulama agama sesuai dengan bidangnya, para pelajar, hakim, muadzin, tentara, dan diperbolehkan menasarufkan kepada mereka yang sudah kaya (berkecukupan) sesuai kebijakan pemerintah dan kebaikannya.

حاشية الجمل - (16 / 215)
 وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ عِلْمٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهِ أَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنٌ بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ بِهِ لَمْ يُعْطِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا.

Artinya: Barang siapa menerima pemberian tidak sesuai dengan ketentuannya seperti sifat fakir, sifat baik, nasab atau ahli ilmu akan tetapi kenyataannya tidak sesuai, maka tidak boleh mengambilnya secara mutlak.
Wallahu A'lam bisshowab.

HUKUM MENERIMA BANTUAN TIDAK SESUAI JUMLAH

Hukum menerima bantuan yang tidak sesuai jumlahnya.

Ahir-ahir ini sering kita jumpai bantuan dari instansi pemerintah atau lainnya yang diberikan kepada unit pendidikan, pondok pesantren atau bidang lainnya, terjadi perbedaan antara jumlah sumbangan yang tertulis dengan yang diterima.

Sebagai contoh, ada unit pendidikan yang seharusnya menerima bantuan 150 juta rupiah, tapi yang diterima hanya 135 juta rupiah, padahal sipenerima tetap menulis dan menandatangani bantuan sebesar 150 juta rupiah.

Menyikapi hal tersebut ada beberapa asumsi bagi si penerima, yaitu : 
Tidak boleh jika masih mungkin untuk mendapatkan haknya tanpa memanipulasi data nominal yang disumbangkan. 
Yang kedua boleh jika memang memanipulasi data merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh haknya, dan bagi yang memberi bantuan (memerintahkan menulis) hukumnya haram.

Syaikh Muhammad bin Salim dalam kitabnya mengatakan :

وَمِنْهَا اْلكَذِبُ وَهُوَ عِنْدَ اَهْلِ السُّنَّةِ الاِخْبَارُ بِالشَّيْئِ فِي خِلاَفِ اْلوَاقِعِ بِخِلاَفِ مَا هُوَ سَوَاءٌ عَلِمَ ذَلِكَ وَ تَعَمَّدَهُ اَمْ لاَ وَ اَمَّا اْلعِلْمُ وَالتَّعَمَّدُ فَهُوَ شَرْطَانِ مِنَ اْلاِثْمِ.

Di antaranya adalah berbohong, menurut Ahlussunnah berbohong adalah mengabarkan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Berbeda dengan mengabarkan sesuatu yang sesuai dengan kenyataannya ini tidak dinamakan berbohong, baik dia mengerti dan disengaja maupun tidak, dan kalau mengerti dan disengaja maka ini adalah prasarat dari dosa. 
(Kiyab Is’adur Rofiq, Juz II, halaman 77)

Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’Alawi dalam kitabnya mengatakan :

وَمِنْهَا كِتَابَةُ مَا يَحْرُمُ عَنِ النُّطْقِ بِهِ قَالَ اْلبِدَايَة لاَنَّ اْلقَلَمَ اَحَدُ اللِّسَانِ اَيْ مُنْغِيْبَة وَغَيْرِهَا فَلاَ يُكْتَبُ بِهِ مَا يَحْرُمُ النُّطْقُ مِنْ جَمِيْعِ مَا مَرَّ.

Di antara dosa yang lain adalah menulis sesuatu yang haram diucapkan. 
Pengarang kitab Al-Bidayah berkata: karena pena itu salah satu media lisan, jadi sudah dianggap cukup, dan lain sebagainya. 
Jadi setiap sesuatu yang haram diucapkan haram pula ditulis. (Kitab Sulamut taufiq)

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya mengatakan :

فَكُلُّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ اِلَيْهِ بِالصِّدْقِ وَاْلكَذِبِ جَمِيْعًا فَالكَذِبُ فِيْهِ حَرَامٌ وَاِنْ اَمْكَنَ التَّوَصُّلُ اِلَيْهِ بِاْلكَذِبِ دُوْنَ الصِّدْقِ فَالْكَذِبُ فِيْهِ مُبَاحٌ اِنْ كَانَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ القَصْد مُبَاحًا.

Setiap maksud yang terpuji yang bisa dicapai dengan jalan benar dan bohong sekaligus, maka berbohong hukumnya haram. Tetapi jika bisa tercapai lewat berbohong dan tidak tercapai lewat kejujuran, maka berbohong diperbolehkan jika untuk mencapainya diperbolehkan. 
(Kitab ihya' ulumuddin Juz,IV, halaman 230)
Allahu A'lam.

TATA CARA SHALAT SUNNAH PENGANTEN


Tata Cara dan Anjuran Sholat Sunnah Setelah Akad Nikah, 
Calon Suami Wajib Tahu
Tata cara dan amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh para pengantin baru.

Tata cara dan amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh para pengantin baru.

Tata Cara dan Anjuran Sholat Sunnah Setelah Akad Nikah, Calon Suami Wajib Tahu
Tata cara sholat sunnah akad nikah tentu penting diketahui oleh calon pengantin, khususnya laki-laki.
Menikah merupakan salah satu anjuran Allah SWT yang tertuang langsung dalam kitab suci Al-Qur'an.

Setelah melaksanakan akad nikah, terdapat beberapa sunnah yang bisa dilakukan oleh pengantin baru termasuk sholat.


Sholat Sunnah Sebelum dan Sesudah Akad Nikah
Sholat sunnah yang bisa dilakukan oleh calon pengantin bisa dilakukan di dua momen.

Pertama sesaat sebelum melakukan akad nikah.

Hal tersebut seperti disebut dalam Kitab Hasyiah As Syarqowi jilid 1 halaman 309.

ومنه أشياء أخر كصلاة الغفلةو ركعتا الزفاف أى للزوج والزوجة وكذا ركعتان للعقد في مجلسه قبل تعاطيه لكن للزوج والولي فقط دون الزوجة ع ش

Artinya: "Di antara (shalat yang disunnahkan) lainnya adalah shalat ghoflah dan shalat dua raka'at pengantin bagi suami dan istri.
Begitu juga shalat sunnah dua rakaat karena  akad nikah yang dilakukan di majelis akad sebelum dimulainya akad nikah, akan tetapi ini sunnah hanya bagi suami dan wali, bukan untuk istri," 

Kedua, sholat sunnah yang dilaksanakan setelah ijab kabul. 
Ibadah ini dilakukan sebelum melakukan hubungan suami istri.

ومنه ركعتا الزفاف تسن هذه الصلاة لكل من الزوج والزوجة ينوي بها سنة الزفاف

Artinya: "Di antara (yang disunnahkan) adalah shalat dua raka'at zifaf (pernikahan).

Shalat ini disunnahkan untuk suami dan isteri dengan niatan melakukan kesunnahan pernikahan."

Abu Sa'id Maula RA mengisahkan, bahwa dia pernah mengadakan syukuran pernikahan ketika masih menjadi budak.

Abu Sa'id Maula mengundang beberapa sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud ra, dan Hudzaifah RA.

Lalu ia mengatakan bahwa para sahabat tersebut membimbingnya dan mengatakan:

"Jika istrimu masuk menemuimu, sholatlah dua rakaat. 
Mintalah perlindungan kepada Allah SWT dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukan istrimu. 
Setelah itu, urusannya terserah kamu dan istrimu,"

Niat Sholat
Untuk melaksanakan sholat sunnah ini sama seperti mengerjakan sholat 2 rakaat pada umumnya. 
Berikut niatnya:

أُصَـلِّىْ سُنَّةَ لَيْلَةِ الزِّفَافِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّـهِ تَعَالَى

Usholli Sunnatan Lailataz Zifaafi rok'ataini lillahi Ta'ala.

Artinya: "Saya sholat sunnah malam pengantin dua rakaat karena Allah Ta'ala."

Rakaat pertama boleh membaca Surat Al-Kafirun setelah Al-Fatihah dan rakaat kedua membaca Surat Al-Ikhlas.

Membaca Doa
Setelah melaksanakan sholat sunnah, dianjurkan juga untuk tidak lupa berdoa.

Berdoa merupakan salah satu adab yang harus dilakukan sebelum berhubungan suami istri. 
Adapun doa sebelum jima adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Bismillah, Allahumma jannibnaassyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa.


Artinya: "Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami."
Sunnah yang Dianjurkan Dilakukan Setelah Menikah
Selain melaksanakan sholat, ada beberapa hal lain yang juga disunnahkan untuk dikerjakan atau dilakukan para suami istri baru.

1. Memberi Salam sebelum Masuk Kamar

Dalam sebuah hadis dengan sanad hasan shahih dikatakan, "Ummu Salamah RA berkata bahwa ketika Rasulullah SAW menikahinya dan beliau hendak menggaulinya, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu." (HR Abu Syaikh)

2. Bersiwak

Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya ia berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah,

'Dengan tindakan apa Rasulullah SAW memulai jika masuk ke rumahnya?' Dia menjawab, 'Dengan bersiwak'," (HR. Muslim)

3. Bersikap Lembut pada Istri

Anjuran untuk bersikap lemah lembut kepada istri juga pernah disebut oleh Rasulullah SAW.

Termasuk saat akan berhubungan suami istri atau melakukan jima.

Seorang suami disebut harus membelai terlebih dahulu sang istri untuk membuatnya tenang dan merasa nyaman. 
Rasulullah SAW:

"Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti hewan. 
Hendaklah dia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu." (HR. Ar Tirmidzi)
_______________________________

Tatacara Shalat Sunah Usai Akad Nikah.

Sebelumnya, perlu kita tahu bahwa shalat sunah setelah akad nikah, tidak berdasarkan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Namun yang menjadi dasar adalah riwayat dari sebagian sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Diantaranya :

– Dari Abu Sa’id Maulanya Abu Usaid, beliau berkata,

تزوجت وأنا مملوك ، فدعوت نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فيهم ابن مسعود وأبو ذر وحذيفة . قال : …. وعلموني ، فقالوا : (إذا أدخل عليك أهلك فصل عليك ركعتين ، ثم سل الله تعالى من خير ما دخل عليك ، وتعوذ به من شره ، ثم شأنك وشأن أهلك)

“Aku menikah saat aku masih berstatus sebagai hamba sahaya. 
Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam diantara mereka adalah Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzaifah.

“Mohon ajari aku….” Pintaku kepada beliau-beliau.

Lalu mereka berpesan, “Jika kamu hendak menggauli istrimu, sholatlah dua raka’at terlebih dahulu. 
Kemudian mintalah kebaikan kepada Allah dalam hubunganmu. 
Berlindunglah dari keburukannya. 
Lalu serahkan kepada Allah urusanmu dan urusan keluargamu.” (HR. Ibnu Abu Syuaibah dalam Al Mushannaf, 3/401. Dan ‘Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, 6/191)

Dalam Adabuz Zifaf hal. 22 Syaikh Al Albani rahimahullahu menilai, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id. Dia mastur.”

– Dari Syaqiq ia menceritakan,

جاء رجل إلى عبد الله [يعني : ابن مسعود] يقال له أبو جرير فقال : إني تزوجت جارية شابة وإني أخاف أن تفركني (أي : تبغضني)

“Seorang laki-laki menemui Abdullah bin Mas’ud. Namanya Abu Jarir, ia berkata, “Aku menikahi seorang gadis yang masih perawan. 
Aku takut jika ia nanti membenciku.”

Sahabat Abdullah bin Mas’ud lantas berpesan,

إن الإلف من الله ، والفرك من الشيطان ، يريد أن يكره إليكم ما أحل الله لكم ، فإذا أتتك فمرها أن تصلي وراءك ركعتين

“Sesungguhnya keharmonisan itu datang dari Allah. Dan kebencian itu datang dari setan. Setan ingin membuat kalian benci apa yang Allah halalkan bagi kalian. 
Karena itu, jika istrimu mendatangimu maka perintahkanlah ia agar shalat dua raka’at di belakangmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushonnaf (3/402), Abdurrzaq dalam Al Mushonnaf karyanya (6/191), At-Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir (9/204) )

Syaikh Al Albani menilai shahih sanad riwayat ini di dalam kitab Adab Az Zifaaf, hal 24.

Meski amalan ini tidak bersumber kepada hadis secara langsung, amalan ini dapat diamalkan. 
Karena keterangan sahabat, dalam hal yang tidak mungkin terjadi ijtihad, levelnya sama dengan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Seperti dalam kasus ini adalah masalah ibadah, ibadah dasarnya adalah taukifi (menunggu dalil yang memerintah), tidak boleh melahirkan ibadah berdasar pada ijtihad, apalagi hawa nafsu. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah di dalam Fadhlul Islam,

العبادة توقيفية لا اجتهاد فيها برأي أو هوى

“Ibadah itu sifatnya tauqifi, tidak ada di dalamnya ijtihad dengan pendapat atau hawa nafsu.”

Sholat sunah dua raka’at bagi pengantin baru, sebelum mereka melakukan hubungan, adalah ibadah. 
Saat ada pernyataan sahabat yang menganjurkan sholat ini dan sanad riwayatnya shahih, ini menunjukkan bahwa legalitas ibadah ini pernah mereka dengar dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Karena tidak mungkin para sahabat melakukan bid’ah apalagi melahirkan Ibadah bid’ah. 
Sampai-sampai sahabat Hudzaifah radhiyallahu’anhu pernah mengatakan,

كل عبادة لا يتعبدها أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فلا تعبدوها

“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, maka jangan kalian kerjakan.”

Pernyataan beliau ini dijadikan kaidah dalam perkara ibadah oleh para ulama.

Oleh karenanya, para ulama saat ditanya tentang hukum sholat sunah setelah akad nikah, mereka membolehkan. Seperti tersebut dalam fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berikut,

يروى في ذلك بعض الآثار عن بعض الصحابة صلاة ركعتين قبل الدخول ، ولكن ليس فيها خبر يعتمد عليه من جهة الصحة ، فإذا صلى ركعتين كما فعل بعض السلف فلا بأس ، وإن لم يفعل فلا بأس، والأمر في هذا واسع ، ولا أعلم في هذا سنةً صحيحة يعتمد عليها

“Ada beberapa atsar dari sejumlah sahabat tentang sholat dua raka’at sebelum dukhul (pengantin baru). 
Namun tidak ada hadis shahih yang bisa dijadikan dasar. 
Jika seorang melakukan sholat dua rakaat ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, tidak mengapa. 
Namun jika tidak mengerjakan juga tidak mengapa. 
Dalam hal ini longgar. 

Dan saya tidak tahu adanya dalil dari hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang menjadi dasar sholat ini.”

Sama seperti sholat sunah dua raka’at lainnya, yang sedikit berbeda adalah :

– waktu pelaksanaannya, sholat ini dikerjakan sebelum melakukan dukhul (berhubung badan)

– dikerjakan secara berjamaah bersama pasangan.

Sebagaimana disingung dalam keterangan sahabat di atas.

Ada satu lagi….

– Jika dikerjakan di malam hari maka bacaan dijahr kan. 
Jika dikerjakan di siang hari maka bacaan disir kan. Sebagaimana yang berlaku pada sholat-sholat sunah yang dikerjakan di malam (bacaan jahr), dan siang (bacaan sir).

Wallahua’lam bis showab.

Rabu, 26 November 2025

LEGALITAS WAKAF UANG

Legalitas Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam.

Wakaf merupakan ibadah sosial dalam Islam yang berkelanjutan dan berkontribusi besar dalam kesejahteraan umat. 
Sebagai instrumen filantropi, wakaf telah mendukung berbagai fasilitas umum, seperti tempat ibadah, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang manfaatnya terus dirasakan masyarakat.

Secara tradisional, wakaf lebih dikenal dalam bentuk aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Banyak lembaga pendidikan, rumah sakit, dan masjid besar di dunia merupakan hasil wakaf dari individu maupun kelompok dermawan. 
Namun, seiring perkembangan zaman, konsep wakaf berkembang, salah satunya melalui wakaf uang, yang menjadi solusi bagi mereka yang ingin berwakaf tanpa memiliki aset tetap.

 
Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Positif

Wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf benda bergerak yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi umat. 
Dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai wakaf uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan pelaksananya sebagai berikut:

 
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditunjuk.
Wakaf uang dilakukan dengan pernyataan kehendak wakif secara tertulis.
Wakaf uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat sebagai bukti sahnya penyerahan wakaf.
Sertifikat wakaf uang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan disampaikan kepada wakif serta nazhir.
Lembaga Keuangan Syariah mendaftarkan harta wakaf berupa uang kepada Menteri Agama dalam waktu tujuh hari kerja setelah sertifikat diterbitkan.
Untuk memperjelas mekanisme wakaf uang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Beberapa ketentuan yang diatur dalam peraturan ini mencakup:

 
Wakaf uang yang dapat diwakafkan harus dalam mata uang rupiah.
Jika uang yang akan diwakafkan berbentuk mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

Wakif diwajibkan untuk :

a. Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendaknya secara langsung.
b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang diwakafkan.
c. Menyetorkan uang secara tunai ke LKS-PWU.
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakaf sebagai bukti sah perwakafan.

Jika wakif tidak dapat hadir langsung, ia dapat menunjuk wakil atau kuasa untuk melakukan proses wakaf uang.
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang dalam Undang-Undang

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang harus dilakukan sesuai prinsip syariah dan regulasi yang berlaku. 
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 menegaskan bahwa pengelolaan wakaf uang hanya boleh dilakukan melalui investasi pada produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan/atau instrumen keuangan syariah. 
Beberapa ketentuan penting dalam pengelolaan wakaf uang meliputi :

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dilakukan melalui investasi pada produk keuangan syariah.
Jika Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) menerima wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka nazhir hanya dapat mengelolanya di LKS tersebut.
Pengelolaan wakaf uang dalam bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai regulasi.
Jika wakaf uang diinvestasikan di luar bank syariah, maka harus diasuransikan dalam asuransi syariah.
 
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menerbitkan Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf. 
Peraturan ini menjadi acuan dalam memastikan bahwa wakaf uang dapat dikelola dengan optimal untuk kepentingan umat.

Dalam peraturan BWI tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dapat dilakukan dalam bentuk investasi di luar produk-produk Lembaga Keuangan Syariah atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. 
Persetujuan tersebut diberikan setelah Badan Wakaf Syariah (BWI) melakukan kajian atas kelayakan investasi yang dimaksud. 
Sebaran investasi wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60% investasi dalam instrumen LKS dan 40% investasi di luar LKS.

 
Wakaf Uang dalam Putusan NU

Pembahasan mengenai wakaf uang telah menjadi salah satu topik dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002 yang diselenggarakan di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta. 
Dalam forum tersebut, para kiai menyepakati bahwa menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, serta sebagian ulama Hanafi, wakaf dalam bentuk uang tunai tidak dianggap sah karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf.

 
Namun, terdapat pandangan berbeda dari sebagian ulama Hanafi yang memperbolehkan wakaf uang, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan cara yang tetap menjaga nilai pokoknya (Ahkamul Fuqaha’, halaman 572-573.)

Syekh Nizamuddin al-Barnahaburi bersama sekelompok ulama India menjelaskan bahwa wakaf dalam bentuk mata uang tidak sah. 

Hal ini dikarenakan uang tidak memenuhi kriteria harta wakaf, yaitu harta yang dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghabiskan wujud fisiknya.

 
Dengan kata lain, uang yang digunakan akan habis dalam transaksi, berbeda dengan aset seperti tanah atau bangunan yang tetap lestari meskipun dimanfaatkan. 
Oleh karena itu, menurut pandangan mereka, wakaf uang tidak memenuhi syarat sahnya wakaf dalam hukum Islam. 

وَأَمَّا وَقْفُ مَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ. وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيْرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ 

Artinya, “Adapun mewakafkan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, seperti emas, perak, makanan, dan minuman, maka hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama. Yang dimaksud dengan emas dan perak di sini adalah dirham, dinar, dan segala sesuatu yang bukan berupa perhiasan.” (Nizamuddin al-Barnahaburi dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, [Surabaya, Darul Ilmi: t.t.] jilid I, halaman 256)

 
Meskipun sebagian besar ulama menolak keabsahan wakaf uang, terdapat pandangan berbeda dari ulama mazhab Hanafi, salah satunya Syekh Ibnu Syihab az-Zuhri. Beliau berpendapat bahwa wakaf dengan uang diperbolehkan, sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Imam al-Bukhari.

وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ.
 
Artinya, “Pendapat tentang sahnya mewakafkan dinar (uang) telah dinisbatkan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari dalam Shahih-nya. 

Beliau (Al-Bukhari) berkata bahwa Az-Zuhri berpendapat tentang seseorang yang menginfakkan seribu dinar di jalan Allah, lalu menyerahkannya kepada seorang budaknya yang bekerja sebagai pedagang agar uang tersebut diputar dalam perdagangan. 
Ia menetapkan bahwa keuntungannya akan disedekahkan kepada fakir miskin dan kerabat dekat.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, [Bairut, Darul Ibnu Hazm: 1997], halaman 20-21).

Bagi ulama yang membolehkan wakaf uang, pelaksanaannya dilakukan dengan menjadikannya sebagai modal usaha. 
Dalam praktiknya, uang wakaf tidak langsung diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaih), tetapi dikelola terlebih dahulu dalam bentuk investasi syariah, seperti mudharabah atau mekanisme lainnya yang memastikan nilai pokoknya tetap terjaga.

Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tersebut kemudian disalurkan kepada pihak yang berhak menerima manfaat sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan cara ini, wakaf uang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, sekaligus menjaga nilai pokoknya agar tetap lestari.

وَقِيْلَ فِيْ مَوْضِعٍ تَعَارَفُوا ذَلِكَ يُفْتَى بِالْجَوَازِ. قِيْلَ كَيْفَ: قَالَ الدَّرَاهِمُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ ثُمَّ يَقْبِضُهَا أو تُدْفَعُ مُضَارَبَةً بِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِالرِّبْحِ .
 
Artinya, “Dikatakan bahwa di tempat di mana masyarakat telah terbiasa dengan praktik tersebut, maka fatwa yang diberikan adalah membolehkannya. 
Ketika ditanya bagaimana caranya, beliau berkata: Dirham (uang) tersebut dapat dipinjamkan kepada fakir miskin, lalu setelahnya dikembalikan. 
Bisa juga diserahkan sebagai modal mudharabah (kerja sama dagang), di mana keuntungannya disedekahkan.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, 20-21).

Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wakaf uang, terlihat bahwa hukum Islam memberikan ruang bagi ijtihad dalam menyesuaikan praktik wakaf dengan kebutuhan umat. 

 
Meskipun mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak keabsahan wakaf uang, pandangan ulama Hanafi yang memperbolehkan praktik ini dengan syarat pengelolaan yang menjaga nilai pokoknya memberikan alternatif bagi umat Islam dalam memanfaatkan instrumen keuangan modern.

Dalam konteks ekonomi Islam saat ini, wakaf uang memiliki potensi besar dalam memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan. 
Dengan pengelolaan yang sesuai prinsip syariah, wakaf uang dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Oleh karena itu, penting bagi lembaga pengelola wakaf untuk memastikan bahwa wakaf uang dikelola dengan amanah, profesional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah agar maslahatnya dapat terus lestari.

Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam.

Rabu, 19 November 2025

LAKUKAN LIMA HAL SEBELUM WAFAT

Lakukan 5 hal saat sakaratul maut.

Setiap makhluk yang hidup akan mati, demikian pula kita manusia, makhluk Allah yang paling sempurna ini. Namun kapan kematian itu datang menjemput, itu merupakan rahasia Allah swt.

Manusia mengalami fase lahir, tumbuh, sehat dan kuat, lalu kemudian melemah dan mati. Disebutkan dalam firman Allah tentang proses kehidupan manusia  ini dalam surat At-Tin:

 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ.

Artinya: Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS. At-Tin[95]: 4-5). 

Kondisi serendah-rendahnya mengandung pengertian bahwa manusia akan mengalami tidak terlemah, yaitu menderita sakit. Saat sakit tersebut, terdapat dua kemungkinan, sembuh atau meninggal dunia. 

Pada saat manusia sudah pada posisi seperti ini, sudah seharusnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar menemui akhir hayat dalam keadaan yang terbaik husnul khatimah. 

Dilansir dari NU Online, untuk meraih predikat ini, Rasulullah mencontohkan berbagai doa dan amalan dalam sakit yang menyebabkan wafat beliau. Diriwayatkan dalam kitab at-Turmudzi dan Sunan Ibn Majjah, dari Sayyidah ‘Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata, ”Saya melihat Rasulullah dalam sakitnya (menjelang kematian) mengambil wadah berisi air kemudian memasukkan tangan ke dalamnya, dan mengusapkan ke wajah seraya berdoa:

 اللهم أَعِنِّيْ عَلَى غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَسَكَرَاتِ الْمَوْتِ.

Artinya: Ya Allah tolonglah aku dalam menghadapi sakaratul maut. Dalam hadits yang lain, sayyidah ‘Aisyah menceritakan, “(dalam sandaranku) saya mendengar Rasulullah membaca doa”: 

 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَأَلْحِقْنِيْ بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى .

Artinya: Ya Allah, ampuni, rahmati, dan pertemukan aku dengan Kekasih Yang Maha Tinggi. 

Syekh Nawawi dalam kitab al-Adzkar menyatakan, menambahkan, terdapat berbagai kebaikan yang bisa dilakukan seseorang menjelang ajalnya, yaitu:

Pertama, sunnah bagi orang yang sakit menjelang kematian memperbanyak syukur kepada Allah, baik dengan hati maupun lisannya. Meyakini bahwa waktu tersebut adalah akhir kehidupan di dunia, bersungguh-sungguh mempersiapkan diri di akhir kehidupannya dengan melakukan hal terbaik, menyegerakan pembebasan hak-hak adami (muamalah), seperti dalam hubungan keluarga, pertemanan, dan tetangga.  

Kedua, berwasiat kepada yang akan ditinggal terkait urusan anak-anaknya dan utang piutang. Ia juga harus berbaik sangka husnuzdzhan kepada Allah atas rahmat  kepadanya, rendah diri di hadapan Allah, dan berharap ampunan, kebaikan, serta kenikmatan hanya kepada Allah. 

Ketiga, disunnahkan memperbanyak membaca atau mendengarkan bacaan al-Qur’an, hadits, kisah orang-orang saleh ketika meninggal dunia, menambah kebaikan setiap waktu, menjaga shalat, menjauhi najis, dan konsisten mengamalkan amalan agama lainnya.  

Keempat, berwasiat kepada keluarga agar sabar dengan penyakit yang diderita, sabar terhadap musibah, dan menjauhi tangisan yang dilarang agama, yakni meratap, merobek kantong, memukul pipi, dan sebagainya. 

  ولا بأس بالبكاء على الميت من غير نوح ولا شق جيب ولا ضرب خد.

Artinya: Tidak mengapa menangisi jenazah tanpa meratap, merobek kantong, dan memukul pipi. (Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 137-138).  

Kelima, jika sudah mendekati ajal, disunnahkan memperbanyak bacaan tahlil, laa ilaaha illallah. 
Merujuk hadits nabi dalam Sunan Abi Dawud dan lainnya: 

من كان أخر كلامه لااله الا الله دخل الجنة.

Artinya: Barangsiapa akhir perkataannya laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga.

Merujuk hadits-hadits lain riwayat Muslim, Sunan Abi Dawud dan lainnya: 

  لقنوا موتاكم لااله الا الله 

Artinya: Ajarilah orang-orang yang menghadapi kematian agar melafalkan laa ilaaha illallah. 

Demikian lima cara agar kita dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Semoga kita bisa mengakhiri hidup ini dengan akhir yang baik (husnul khatimah), menjadi orang yang beruntung tidak hanya di dunia namun juga akhirat."
Wallahu A'lam

MEMANDIKAN JENAZAH

Memandikan Jenazah

Ketika ada orang yang meninggal dunia, ada empat kewajiban yang harus kita lakukan kepadanya. Kewajiban itu adalah memandikan, mengafani, menshalati, dan mengubur.
 
Memandikan adalah proses yang pertama kali dilakukan dalam memulasaran jenazah sebagai tindakan memuliakan dan membersihkan tubuh si mayit. Ada aturan dan tata cara tertentu yang mesti dilakukan dalam memandikan mayit.  

Para ulama menyebutkan ada dua cara yang bisa dilakukan dalam memandikan jenazah,

Pertama, cara minimal. 
Yaitu memandikan jenazah yang sudah memenuhi makna mandi dan cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap jenazah.   

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menuturkan dalam kitabnya Safînatun Najah:

أقل الغسل تعميم بدنه بالماء

Artinya: Paling sedikit memandikan jenazah (mayit) adalah dengan meratakan air ke seluruh anggota badan.  
 
Sedikit lebih rinci secara teknis cara ini dijelaskan oleh Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, yaitu dengan menghilangkan najis yang ada di tubuh mayit kemudian menyiramkan air secara merata ke tubuhnya. Bila cara ini telah dilakukan dengan benar dan baik maka mayit bisa dikatakan telah dimandikan dan gugurlah kewajiban orang yang hidup terhadap si mayit.   

Kedua, yakni cara memandikan jenazah secara sempurna sesuai dengan sunnah. Syekh Salim menjelaskan terkait cara kedua ini:
 
وأكمله ان يغسل سوأتيه وأن يزيل القذر من أنفه وأن يوضأه وأن يدلك بدنه بالسدر وأن يصب الماء عليه ثلاثا.
 
Artinya: Dan sempurnanya memandikan jenazah adalah membasuh kedua pantatnya, menghilangkan kotoran dari hidungnya, mewudhukannya, menggosok badannya dengan daun bidara, dan mengguyunya dengan air sebanyak tiga kali.
 
Secara teknis Musthafa Al-Khin menjelaskan sebagai berikut:

1. Jenazah diletakkan di tempat yang sepi di atas tempat yang tinggi seperti papan kayu atau lainnya dan ditutup auratnya dengan kain. Sekarang sudah ada alat semacam keranda untuk memandikan jenazah yang terbuat dari bahan aluminium atau stenlis. 

2. Orang yang memandikan memposisikan jenazah duduk sedikit miring ke belakang dengan ditopang tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengurut bagian perut jenazah dengan penekanan agar apa yang ada di dalamnya keluar. Lalu yang memandikan membungkus tangan kirinya dengan kain atau sarung tangan dan membasuh lubang depan dan belakang si jenazah. 
 
3. Kemudian membersihkan mulut dan hidungnya lalu mewudhukannya sebagaimana wudhunya orang hidup.   
 
4. Membasuh kepala dan muka si jenazah dengan menggunakan sabun atau lainnya dan menyisir rambutnya bila memiliki rambut. Bila ada rambut yang tercabut maka dikembalikan lagi ke asalnya untuk ikut dikuburkan.   
 
5. Membasuh seluruh sisi kanan tubuh dari yang dekat dengan wajah, kemudian berpindah membasuh sisi kiri badan juga dari yang dekat dengan wajah. 
 
6. Membasuh bagian sisi kanan dari yang dekat dengan tengkuk, lalu berpindah membasuh bagian sisi kiri juga dari yang dekat dengan tengkuk. 

Dengan cara itu semua orang yang memandikan, meratakan air ke seluruh tubuh si mayit. Ini baru dihitung satu kali basuhan. Disunnahkan mengulangi dua kali lagi sebagaimana basuhan tersebut sehingga sempurna tiga kali basuhan. Disunnahkan pula mencampur sedikit kapur barus di akhir basuhan bila si mayit bukan orang yang sedang ihram.   

Syekh Nawawi dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menuturkan, disunnahkan basuhan pertama dengan daun bidara, basuhan kedua menghilangkan daun bidara tersebut, dan basuhan ketiga dengan air bersih yang diberi sedikit kapur barus yang sekiranya tidak sampai merubah air. 

Ketiga basuhan ini dianggap sebagai satu kali basuhan dan disunahkan mengulanginya dua kali lagi seperti basuhan-basuhan tersebut.  

Lalu siapakah yang boleh memandikan jenazah? Menurut Musthafa Al-Khin, mayit laki-laki harus dimandikan oleh orang laki-laki dan sebaliknya jenazah perempuan harus dimandikan oleh orang perempuan. Hanya saja seorang laki-laki boleh memandikan istrinya dan seorang perempuan boleh memandikan suaminya.  

Satu hal yang juga perlu diketahui, bahwa disyariatkan memandikan mayit adalah dalam rangka memuliakan dan membersihkannya. Ini wajib dilakukan kepada setiap mayit Muslim kecuali orang yang mati syahid di dalam peperangan."