Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Rabu, 26 November 2025

LEGALITAS WAKAF UANG

Legalitas Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam.

Wakaf merupakan ibadah sosial dalam Islam yang berkelanjutan dan berkontribusi besar dalam kesejahteraan umat. 
Sebagai instrumen filantropi, wakaf telah mendukung berbagai fasilitas umum, seperti tempat ibadah, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang manfaatnya terus dirasakan masyarakat.

Secara tradisional, wakaf lebih dikenal dalam bentuk aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Banyak lembaga pendidikan, rumah sakit, dan masjid besar di dunia merupakan hasil wakaf dari individu maupun kelompok dermawan. 
Namun, seiring perkembangan zaman, konsep wakaf berkembang, salah satunya melalui wakaf uang, yang menjadi solusi bagi mereka yang ingin berwakaf tanpa memiliki aset tetap.

 
Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Positif

Wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf benda bergerak yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi umat. 
Dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai wakaf uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan pelaksananya sebagai berikut:

 
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditunjuk.
Wakaf uang dilakukan dengan pernyataan kehendak wakif secara tertulis.
Wakaf uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat sebagai bukti sahnya penyerahan wakaf.
Sertifikat wakaf uang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan disampaikan kepada wakif serta nazhir.
Lembaga Keuangan Syariah mendaftarkan harta wakaf berupa uang kepada Menteri Agama dalam waktu tujuh hari kerja setelah sertifikat diterbitkan.
Untuk memperjelas mekanisme wakaf uang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Beberapa ketentuan yang diatur dalam peraturan ini mencakup:

 
Wakaf uang yang dapat diwakafkan harus dalam mata uang rupiah.
Jika uang yang akan diwakafkan berbentuk mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

Wakif diwajibkan untuk :

a. Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendaknya secara langsung.
b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang diwakafkan.
c. Menyetorkan uang secara tunai ke LKS-PWU.
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakaf sebagai bukti sah perwakafan.

Jika wakif tidak dapat hadir langsung, ia dapat menunjuk wakil atau kuasa untuk melakukan proses wakaf uang.
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang dalam Undang-Undang

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang harus dilakukan sesuai prinsip syariah dan regulasi yang berlaku. 
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 menegaskan bahwa pengelolaan wakaf uang hanya boleh dilakukan melalui investasi pada produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan/atau instrumen keuangan syariah. 
Beberapa ketentuan penting dalam pengelolaan wakaf uang meliputi :

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dilakukan melalui investasi pada produk keuangan syariah.
Jika Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) menerima wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka nazhir hanya dapat mengelolanya di LKS tersebut.
Pengelolaan wakaf uang dalam bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai regulasi.
Jika wakaf uang diinvestasikan di luar bank syariah, maka harus diasuransikan dalam asuransi syariah.
 
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menerbitkan Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf. 
Peraturan ini menjadi acuan dalam memastikan bahwa wakaf uang dapat dikelola dengan optimal untuk kepentingan umat.

Dalam peraturan BWI tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dapat dilakukan dalam bentuk investasi di luar produk-produk Lembaga Keuangan Syariah atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. 
Persetujuan tersebut diberikan setelah Badan Wakaf Syariah (BWI) melakukan kajian atas kelayakan investasi yang dimaksud. 
Sebaran investasi wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60% investasi dalam instrumen LKS dan 40% investasi di luar LKS.

 
Wakaf Uang dalam Putusan NU

Pembahasan mengenai wakaf uang telah menjadi salah satu topik dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002 yang diselenggarakan di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta. 
Dalam forum tersebut, para kiai menyepakati bahwa menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, serta sebagian ulama Hanafi, wakaf dalam bentuk uang tunai tidak dianggap sah karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf.

 
Namun, terdapat pandangan berbeda dari sebagian ulama Hanafi yang memperbolehkan wakaf uang, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan cara yang tetap menjaga nilai pokoknya (Ahkamul Fuqaha’, halaman 572-573.)

Syekh Nizamuddin al-Barnahaburi bersama sekelompok ulama India menjelaskan bahwa wakaf dalam bentuk mata uang tidak sah. 

Hal ini dikarenakan uang tidak memenuhi kriteria harta wakaf, yaitu harta yang dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghabiskan wujud fisiknya.

 
Dengan kata lain, uang yang digunakan akan habis dalam transaksi, berbeda dengan aset seperti tanah atau bangunan yang tetap lestari meskipun dimanfaatkan. 
Oleh karena itu, menurut pandangan mereka, wakaf uang tidak memenuhi syarat sahnya wakaf dalam hukum Islam. 

وَأَمَّا وَقْفُ مَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ. وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيْرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ 

Artinya, “Adapun mewakafkan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, seperti emas, perak, makanan, dan minuman, maka hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama. Yang dimaksud dengan emas dan perak di sini adalah dirham, dinar, dan segala sesuatu yang bukan berupa perhiasan.” (Nizamuddin al-Barnahaburi dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, [Surabaya, Darul Ilmi: t.t.] jilid I, halaman 256)

 
Meskipun sebagian besar ulama menolak keabsahan wakaf uang, terdapat pandangan berbeda dari ulama mazhab Hanafi, salah satunya Syekh Ibnu Syihab az-Zuhri. Beliau berpendapat bahwa wakaf dengan uang diperbolehkan, sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Imam al-Bukhari.

وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ.
 
Artinya, “Pendapat tentang sahnya mewakafkan dinar (uang) telah dinisbatkan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari dalam Shahih-nya. 

Beliau (Al-Bukhari) berkata bahwa Az-Zuhri berpendapat tentang seseorang yang menginfakkan seribu dinar di jalan Allah, lalu menyerahkannya kepada seorang budaknya yang bekerja sebagai pedagang agar uang tersebut diputar dalam perdagangan. 
Ia menetapkan bahwa keuntungannya akan disedekahkan kepada fakir miskin dan kerabat dekat.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, [Bairut, Darul Ibnu Hazm: 1997], halaman 20-21).

Bagi ulama yang membolehkan wakaf uang, pelaksanaannya dilakukan dengan menjadikannya sebagai modal usaha. 
Dalam praktiknya, uang wakaf tidak langsung diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaih), tetapi dikelola terlebih dahulu dalam bentuk investasi syariah, seperti mudharabah atau mekanisme lainnya yang memastikan nilai pokoknya tetap terjaga.

Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tersebut kemudian disalurkan kepada pihak yang berhak menerima manfaat sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan cara ini, wakaf uang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, sekaligus menjaga nilai pokoknya agar tetap lestari.

وَقِيْلَ فِيْ مَوْضِعٍ تَعَارَفُوا ذَلِكَ يُفْتَى بِالْجَوَازِ. قِيْلَ كَيْفَ: قَالَ الدَّرَاهِمُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ ثُمَّ يَقْبِضُهَا أو تُدْفَعُ مُضَارَبَةً بِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِالرِّبْحِ .
 
Artinya, “Dikatakan bahwa di tempat di mana masyarakat telah terbiasa dengan praktik tersebut, maka fatwa yang diberikan adalah membolehkannya. 
Ketika ditanya bagaimana caranya, beliau berkata: Dirham (uang) tersebut dapat dipinjamkan kepada fakir miskin, lalu setelahnya dikembalikan. 
Bisa juga diserahkan sebagai modal mudharabah (kerja sama dagang), di mana keuntungannya disedekahkan.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, 20-21).

Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wakaf uang, terlihat bahwa hukum Islam memberikan ruang bagi ijtihad dalam menyesuaikan praktik wakaf dengan kebutuhan umat. 

 
Meskipun mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak keabsahan wakaf uang, pandangan ulama Hanafi yang memperbolehkan praktik ini dengan syarat pengelolaan yang menjaga nilai pokoknya memberikan alternatif bagi umat Islam dalam memanfaatkan instrumen keuangan modern.

Dalam konteks ekonomi Islam saat ini, wakaf uang memiliki potensi besar dalam memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan. 
Dengan pengelolaan yang sesuai prinsip syariah, wakaf uang dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Oleh karena itu, penting bagi lembaga pengelola wakaf untuk memastikan bahwa wakaf uang dikelola dengan amanah, profesional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah agar maslahatnya dapat terus lestari.

Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam.

Rabu, 19 November 2025

LAKUKAN LIMA HAL SEBELUM WAFAT

Lakukan 5 hal saat sakaratul maut.

Setiap makhluk yang hidup akan mati, demikian pula kita manusia, makhluk Allah yang paling sempurna ini. Namun kapan kematian itu datang menjemput, itu merupakan rahasia Allah swt.

Manusia mengalami fase lahir, tumbuh, sehat dan kuat, lalu kemudian melemah dan mati. Disebutkan dalam firman Allah tentang proses kehidupan manusia  ini dalam surat At-Tin:

 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ.

Artinya: Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS. At-Tin[95]: 4-5). 

Kondisi serendah-rendahnya mengandung pengertian bahwa manusia akan mengalami tidak terlemah, yaitu menderita sakit. Saat sakit tersebut, terdapat dua kemungkinan, sembuh atau meninggal dunia. 

Pada saat manusia sudah pada posisi seperti ini, sudah seharusnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar menemui akhir hayat dalam keadaan yang terbaik husnul khatimah. 

Dilansir dari NU Online, untuk meraih predikat ini, Rasulullah mencontohkan berbagai doa dan amalan dalam sakit yang menyebabkan wafat beliau. Diriwayatkan dalam kitab at-Turmudzi dan Sunan Ibn Majjah, dari Sayyidah ‘Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata, ”Saya melihat Rasulullah dalam sakitnya (menjelang kematian) mengambil wadah berisi air kemudian memasukkan tangan ke dalamnya, dan mengusapkan ke wajah seraya berdoa:

 اللهم أَعِنِّيْ عَلَى غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَسَكَرَاتِ الْمَوْتِ.

Artinya: Ya Allah tolonglah aku dalam menghadapi sakaratul maut. Dalam hadits yang lain, sayyidah ‘Aisyah menceritakan, “(dalam sandaranku) saya mendengar Rasulullah membaca doa”: 

 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَأَلْحِقْنِيْ بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى .

Artinya: Ya Allah, ampuni, rahmati, dan pertemukan aku dengan Kekasih Yang Maha Tinggi. 

Syekh Nawawi dalam kitab al-Adzkar menyatakan, menambahkan, terdapat berbagai kebaikan yang bisa dilakukan seseorang menjelang ajalnya, yaitu:

Pertama, sunnah bagi orang yang sakit menjelang kematian memperbanyak syukur kepada Allah, baik dengan hati maupun lisannya. Meyakini bahwa waktu tersebut adalah akhir kehidupan di dunia, bersungguh-sungguh mempersiapkan diri di akhir kehidupannya dengan melakukan hal terbaik, menyegerakan pembebasan hak-hak adami (muamalah), seperti dalam hubungan keluarga, pertemanan, dan tetangga.  

Kedua, berwasiat kepada yang akan ditinggal terkait urusan anak-anaknya dan utang piutang. Ia juga harus berbaik sangka husnuzdzhan kepada Allah atas rahmat  kepadanya, rendah diri di hadapan Allah, dan berharap ampunan, kebaikan, serta kenikmatan hanya kepada Allah. 

Ketiga, disunnahkan memperbanyak membaca atau mendengarkan bacaan al-Qur’an, hadits, kisah orang-orang saleh ketika meninggal dunia, menambah kebaikan setiap waktu, menjaga shalat, menjauhi najis, dan konsisten mengamalkan amalan agama lainnya.  

Keempat, berwasiat kepada keluarga agar sabar dengan penyakit yang diderita, sabar terhadap musibah, dan menjauhi tangisan yang dilarang agama, yakni meratap, merobek kantong, memukul pipi, dan sebagainya. 

  ولا بأس بالبكاء على الميت من غير نوح ولا شق جيب ولا ضرب خد.

Artinya: Tidak mengapa menangisi jenazah tanpa meratap, merobek kantong, dan memukul pipi. (Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 137-138).  

Kelima, jika sudah mendekati ajal, disunnahkan memperbanyak bacaan tahlil, laa ilaaha illallah. 
Merujuk hadits nabi dalam Sunan Abi Dawud dan lainnya: 

من كان أخر كلامه لااله الا الله دخل الجنة.

Artinya: Barangsiapa akhir perkataannya laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga.

Merujuk hadits-hadits lain riwayat Muslim, Sunan Abi Dawud dan lainnya: 

  لقنوا موتاكم لااله الا الله 

Artinya: Ajarilah orang-orang yang menghadapi kematian agar melafalkan laa ilaaha illallah. 

Demikian lima cara agar kita dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Semoga kita bisa mengakhiri hidup ini dengan akhir yang baik (husnul khatimah), menjadi orang yang beruntung tidak hanya di dunia namun juga akhirat."
Wallahu A'lam

MEMANDIKAN JENAZAH

Memandikan Jenazah

Ketika ada orang yang meninggal dunia, ada empat kewajiban yang harus kita lakukan kepadanya. Kewajiban itu adalah memandikan, mengafani, menshalati, dan mengubur.
 
Memandikan adalah proses yang pertama kali dilakukan dalam memulasaran jenazah sebagai tindakan memuliakan dan membersihkan tubuh si mayit. Ada aturan dan tata cara tertentu yang mesti dilakukan dalam memandikan mayit.  

Para ulama menyebutkan ada dua cara yang bisa dilakukan dalam memandikan jenazah,

Pertama, cara minimal. 
Yaitu memandikan jenazah yang sudah memenuhi makna mandi dan cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap jenazah.   

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menuturkan dalam kitabnya Safînatun Najah:

أقل الغسل تعميم بدنه بالماء

Artinya: Paling sedikit memandikan jenazah (mayit) adalah dengan meratakan air ke seluruh anggota badan.  
 
Sedikit lebih rinci secara teknis cara ini dijelaskan oleh Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, yaitu dengan menghilangkan najis yang ada di tubuh mayit kemudian menyiramkan air secara merata ke tubuhnya. Bila cara ini telah dilakukan dengan benar dan baik maka mayit bisa dikatakan telah dimandikan dan gugurlah kewajiban orang yang hidup terhadap si mayit.   

Kedua, yakni cara memandikan jenazah secara sempurna sesuai dengan sunnah. Syekh Salim menjelaskan terkait cara kedua ini:
 
وأكمله ان يغسل سوأتيه وأن يزيل القذر من أنفه وأن يوضأه وأن يدلك بدنه بالسدر وأن يصب الماء عليه ثلاثا.
 
Artinya: Dan sempurnanya memandikan jenazah adalah membasuh kedua pantatnya, menghilangkan kotoran dari hidungnya, mewudhukannya, menggosok badannya dengan daun bidara, dan mengguyunya dengan air sebanyak tiga kali.
 
Secara teknis Musthafa Al-Khin menjelaskan sebagai berikut:

1. Jenazah diletakkan di tempat yang sepi di atas tempat yang tinggi seperti papan kayu atau lainnya dan ditutup auratnya dengan kain. Sekarang sudah ada alat semacam keranda untuk memandikan jenazah yang terbuat dari bahan aluminium atau stenlis. 

2. Orang yang memandikan memposisikan jenazah duduk sedikit miring ke belakang dengan ditopang tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengurut bagian perut jenazah dengan penekanan agar apa yang ada di dalamnya keluar. Lalu yang memandikan membungkus tangan kirinya dengan kain atau sarung tangan dan membasuh lubang depan dan belakang si jenazah. 
 
3. Kemudian membersihkan mulut dan hidungnya lalu mewudhukannya sebagaimana wudhunya orang hidup.   
 
4. Membasuh kepala dan muka si jenazah dengan menggunakan sabun atau lainnya dan menyisir rambutnya bila memiliki rambut. Bila ada rambut yang tercabut maka dikembalikan lagi ke asalnya untuk ikut dikuburkan.   
 
5. Membasuh seluruh sisi kanan tubuh dari yang dekat dengan wajah, kemudian berpindah membasuh sisi kiri badan juga dari yang dekat dengan wajah. 
 
6. Membasuh bagian sisi kanan dari yang dekat dengan tengkuk, lalu berpindah membasuh bagian sisi kiri juga dari yang dekat dengan tengkuk. 

Dengan cara itu semua orang yang memandikan, meratakan air ke seluruh tubuh si mayit. Ini baru dihitung satu kali basuhan. Disunnahkan mengulangi dua kali lagi sebagaimana basuhan tersebut sehingga sempurna tiga kali basuhan. Disunnahkan pula mencampur sedikit kapur barus di akhir basuhan bila si mayit bukan orang yang sedang ihram.   

Syekh Nawawi dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menuturkan, disunnahkan basuhan pertama dengan daun bidara, basuhan kedua menghilangkan daun bidara tersebut, dan basuhan ketiga dengan air bersih yang diberi sedikit kapur barus yang sekiranya tidak sampai merubah air. 

Ketiga basuhan ini dianggap sebagai satu kali basuhan dan disunahkan mengulanginya dua kali lagi seperti basuhan-basuhan tersebut.  

Lalu siapakah yang boleh memandikan jenazah? Menurut Musthafa Al-Khin, mayit laki-laki harus dimandikan oleh orang laki-laki dan sebaliknya jenazah perempuan harus dimandikan oleh orang perempuan. Hanya saja seorang laki-laki boleh memandikan istrinya dan seorang perempuan boleh memandikan suaminya.  

Satu hal yang juga perlu diketahui, bahwa disyariatkan memandikan mayit adalah dalam rangka memuliakan dan membersihkannya. Ini wajib dilakukan kepada setiap mayit Muslim kecuali orang yang mati syahid di dalam peperangan."

AIR DIKOLAM TERCAMPUR NAJIS

Hukum Air Kolam Tercampur Najis untuk Bersuci

Setiap manusia tidak akan pernah terlepas dengan benda berupa air. Karena air merupakan sumber primer bagi kehidupan manusia. Begitupun dengan kehidupan seorang Muslim yang mewajibkan sehari semalam menggunakan air. 

Bagi seorang Muslim, air bukan hanya sebagai media membersihkan sesuatu benda, tetapi juga untuk mensucikan najis dan menghilangkan hadats. Seperti digunakan untuk wudhu, mandi besar, membersihkan kotoran manusia, hewan, dan sebagainya. 

Air bagi umat Islam harus senantiasa suci dan tercukupi kapasitasnya, karena jika tidak, maka tidak akan bisa mensucikan suatu benda, hanya cukup membersihkan saja. Karena itu bagi Mazhab Syafi’i air yang digunakan harus dijaga dari sesuatu yang dapat merubah status air, seperti kemasukan najis dan sebagainya. 

Lalu, bagaimana jika ada suatu kolam yang airnya digunakan untuk menghilangkan hadats kecil (wudhu) dan hadats besar (mandi junub) kemasukan sebuah najis. Apakah airnya masih bisa digunakan untuk bersuci atau tidak?

Pada dasarnya air kolam yang volume sangat banyak hukumnya tetap suci mensucikan (thahir muthahhir) selagi tidak berubah lantaran terkena najis tadi. 

Akan tetapi jika sudah sangat nyata berubah airnya, mulai dari rasa, warna, dan bau lantaran najis tadi. Maka hukum airnya juga menjadi najis dan tidak bisa digunakan untuk mensucikan. 

Keterangan ini dinukil dari kitab Kaasyifatus Sajaa, bab faslun fil maak, halaman 2.

عبارتها: والماء الكثير لا يتنجس إلاإذا تغير طعمه اولونه اوريحه.

Ibaaratuhaa: wal maaul katsiiru laa yatanajjasu illaa idzaa taghayyara tha'muhuu au launuhuu au riichuhuu

Artinya: Air banyak tidak lah najis kecuali jika sudah berubah rasa, warna dan baunya.

Dari keterangan dalil di atas, maka hukum sebuah kolam jika kemasukan sebuah najis dan tidak berubah rasa, warna dan baunya, maka dihukumi tetap suci dan mensucikan. Akan tetapi jika berubah karena sebab najis tersebut, maka status air juga ikut najis. Wallahua’lam

AIR DIEMBER TERKENA PERCIKAN AIR MUSTA'MAL

Air di Ember Terkena Percikan Air Musta’mal, Bolehkah untuk Bersuci?

Bersuci merupakan bagian dari ibadah dalam agama, karena bisa menjadi syarat sahnya suatu ibadah yang lain. 
Baik bersuci karena hadats kecil (seperti kentut, buang air besar dan kecil) maupun hadats besar (seperti setelah bersenggama). 

Bersuci menggunakan air harus memenuhi beberapa kriteria, seperti lebih dari dua kulah (± 216 liter) lebih. 
Ketika kurang dari dua kulah, seperti air dalam ember, maka penggunaanya harus hati-hati, bisa disiasati dengan kran air atau gayung. 

Masalah muncul ketika sedang mandi besar kemudian ada percikan air yang masuk pada ember tersebut. 
Pertanyaannya, apakah status air itu dapatkan digunakan untuk bersuci (melanjutkan mandinya)?   

Didalam kasus ini perlu diperjelas bahwa ada 2 jenis air :

Pertama, air mutlak, yaitu air suci mensucikan yang berada dalam ember tersebut. 

Kedua, air musta’mal, yaitu percikan air mandi besar yang bersumber dari ember tersebut.

Dijelaskan dalam kitab Taqrirat as-Sadidah: 

معنى المستعمل : ما استُعمل في فرض الطهارة. شروط الماءِ المُستَعْمَلِ أربعة : 
١ - أن يكون قليلاً، أي : دونَ القُلتَين . 
٢ - أن يُستعمَلَ فيما لا بدَّ منه أي فرضِ الطَّهارة، رفع الحدث أو  إزالة النجس. 
٣ ـ أن ينفصل عن العضو فما دام متردداً على العضو فلا يُسمى مستعمل. 
٤ـ أن لا ينوي ،الاغتراف فإذا نوى الاغتراف لم يكن الماء الباقي مستعملاً .

Artinya: Makna air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci wajib. 
Adapun syarat air musta’mal ada empat: 
(1) Airnya sedikit, yakni kurang dari dua kulah. 
(2) Airnya sudah digunakan untuk sesuatu yang harus. Maksudnya, bersuci wajib, menghilangkan hadats atau menghilangkan najis. 
(3) Airnya telah terpisah dari anggota tubuh, maka selama air masih berada dalam anggota tubuh tidak dinamakan dengan air musta’mal. 
(4) Tidak niat igtirof (menciduk) maka jika seorang niat menciduk, air sisanya bukanlah air musta’mal (Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqrirat as-Sadidah Fi Masail al-Mufidah, [Tarim, Darul Ilmi Wadda'wah: 2003], halaman 59-60).   

Setelah jelas status percikan air bekas mandi merupakan air musta’mal, lalu bagaimana status air dalam ember yang terkena percikan air? 

Secara konsep fiqih, bila air musta’mal mencampuri air mutlak dinamakan dengan air mutaghayyir taqdiri, yaitu perubahan air karena bercampur dengan cairan yang mempunyai kesamaan sifat kemudian airnya sampai berubah. 
Berikut dijelaskan dalam Fathul Qarib: 

ومن هذا القسم الماءُ المتغير أحدُ أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من الطاهرات) تغيُّرًا يمنع إطلاق اسم الماء عليه؛ فإنه طاهر غير طهور، حسيا كان التغير أو تقديريا؛ كأن اختلط بالماء ما يوافقه في صفاته، كماء الورد المنقطع الرائحة والماء المستعمل؛ ad    فإن لم يمنع اطلاق اسم الماء عليه، بأن كان تغيّره بالطاهر يسيرا أو بما يوافق الماء في صفاته، وقدر مخالفا ولم يغيره فلا يسلب طهوريته؛ فهو مطهر لغيره.   

Artinya: Tergolong dari bagian ketiga yaitu air yang berubah salah satu dari beberapa sifatnya akibat suatu benda suci yang mencampurinya dengan kadar berubah yang dapat merusak kemutlakan nama air tersebut. 
Maka dengan demikian air yang berubah tersebut suci tapi tidak bisa mensucikan, baik berubah secara nyata (bisa dibuktikan dengan panca indra), atau perkiraan saja, contohnya air kecampuran suatu benda yang ada kesamaan sifatnya. 
Seperti air mawar yang sudah tak berbau dan air musta’mal. Apabila tidak sampai merusak kemutlakan nama air, misalnya berubahnya air tadi disebabkan tercampur dengan benda suci dengan kadar berubah sedikit, atau bercampur dengan benda yang kebetulan mempunyai sifat yang persis dengan air, dan dikira-kira dengan perkara lain (yang memiliki sifat yang sedang) air tidak sampai berubah. 
Maka kalau demikian, status air tetap suci dan mensucikan pada yang lain (Muhammmad ibn Qasim ibn Muhammad al-Ghazi, Fathul Qorib al-Mujib).

Berpijak dari realita bahwa perubahan yang disebabkan oleh air musta’mal tidak dapat terdeteksi oleh indra, maka perlu meminjam benda lain sebagai tolok ukur untuk mengidentifikasi ada tidaknya perubahan dalam air. 
Dalam hal ini yang menjadi acuannya adalah; rasa menggunakan rasa delima, warna menggunakan warna perasan anggur, bau menggunakan bau ladzan (sejenis minyak wangi) (Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, Tusyikh ala Fathil Qorib al-Mujib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.th.t] halaman 22).    

Sederhananya, jika ada cairan yang sifatnya sama dengan air semisal air musta’mal mencampuri air mutlak untuk mengetahui berubah atau tidak perlu mengira-ngirakan dengan baunya delima, warna perasan angur dan baunya ladzan (sejenis minyak wangi).    

Contoh, ada air musta’mal satu gelas mencampuri air mutlak satu ember, maka dikira-kirakan jika delima satu gelas dicampurkan ke dalam air satu ember mengubah rasanya atau tidak. 
Jika air perasan anggur satu gelas dimasukan ke dalam air satu ember mengubah warnanya atau tidak. 

Jika ladzan satu gelas dicampurkan ke dalam air satu ember mengubah baunya atau tidak. 
Jika berubah, maka dinamakan dengan air mutaghayir taqdiri dan statusnya air suci tapi tidak dapat mensucikan, namun jika tidak mengubah, maka airnya tetap suci mensucikan.    

Dalam madzhab Syafi'i melakukan cara sebagaimana di atas merupakan cara yang paling kuat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhlatu at-Thalibin.

إِذَا اخْتَلَطَ بِالْمَاءِ الْكَثِيرِ أَوِ الْقَلِيلِ مَائِعٌ يُوَافِقُهُ فِي الصِّفَاتِ، كَمَاءِ الْوَرْدِ الْمُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ، وَمَاءِ الشَّجَرِ، وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ، فَوَجْهَانِ. أَصَحُّهُمَا: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ قَدْرًا لَوْ خَالَفَ الْمَاءَ فِي طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيحٍ لَتَغَيَّرَ التَّغَيُّرَ الْمُؤَثِّرَ، سَلَبَ الطَّهُورِيَّةَ، وَإِنْ كَانَ لَا يُؤَثِّرُ مَعَ تَقْدِيرِ الْمُخَالِفَةِ، لَمْ يَسْلُبْ    وَالثَّانِي: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ أَقَلَّ مِنَ الْمَاءِ، لَمْ يَسْلُبْ. وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ أَوْ مِثْلَهُ، سَلَبَ. وَحَيْثُ لَمْ يَسْلُبْ، فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ الْجَمِيعَ.

Artinya: Jika ada cairan yang bercampur dengan air yang banyak atau sedikit yang mana cairan tersebut menyamai air itu dalam sifat-sifatnya, seperti air bunga yang sudah tidak berbau, atau air pohon, atau air musta’mal maka ada dua pendapat. 
Pendapat yang paling kuat adalah, jika cairan itu mencapai suatu kuantitas yang seandainya berbeda dengan air (mutlak) dalam hal rasa, warna, dan bau maka air tersebut akan berubah dengan perubahan yang mempengaruhi, maka cairan tersebut menghilangkan sifat kesucian air. 
Tetapi jika kuantitasnya tidak mempengaruhi dengan memperkirakan adanya perbedaan sifat, maka itu tidak menghilangkan sifat kesuciannya. 
Pendapat kedua, jika volume cairan yang mempunyai sifat sama dengan air mutlak lebih sedikit, maka tidak menghilangkan sifat kesuciannya. 
Namun, jika volumenya lebih banyak atau menyamai air mutlak yang dicampuri maka menghilangkan sifat kesuciannya. 
Dan ketika tidak menghilangkan sifat kesuciannya, maka menurut pendapat yang shahih keseluruhan airnya dapat digunakan (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Raudhlatu at-Thalibin, [Beirut, Maktabah Islamiyah: 1412 H] juz 1, halaman 12).   

Maka status air mutlak di dalam ember yang terkena percikan air bekas mandi wajib yang statusnya air musta’mal adalah tetap suci mensucikan dan dapat digunakan untuk bersuci, karena sedikitnya percikan air musta’mal yang masuk ke dalam ember, dan jika dikira-kirakan dengan 3 hal di atas airnya tidak berubah dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air.    

Selain itu, perlu diketahui mengira-ngirakan sebagaimana di atas hukumnya sunah bukan wajib, sehingga jika seorang langsung menggunakan air yang tercampur air musta’mal tanpa terlebih dahulu mengira-ngirakan itu tidak menjadi masalah, karena hakikatnya ia dalam keadaan ragu dalam perubahannya sedangkan hukum asalnya adalah tidak berubah. 
Syekh Nawawi menerangkan tentang hal tersebut dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut: 

واعلم أن تقدير المذكور منذوب لا واجب فلو هجم شخص واستعمل الماء أجزأ ذلك إذ غاية الأمر انه شاك في التغير المضر والأصل عدمه.
Artinya: Ketahuilah! Sesungguhnya mengira-ngirakan yang disebutkan di atas hukumnya sunah, tidak wajib. Jadi apabila seseorang langsung menggunakan air (yang tercampur dengan air musta’mal tersebut) maka sudah mencukupi baginya. Karena hakikatnya ia ragu tentang perubahan yang membahayakan air sedangkan hukum asalnya adalah tidak adanya perubahan tersebut (Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, Syarah Kasifatus Saja ala Safinatun Naja, [Surabaya, Al-Haramain: t.th] halaman 24-25).   

Pendapat kedua dalam madzhab Syafi’i dapat menjadi solusi untuk orang awam karena lebih mudah, di mana cukup melihat jika air musta’mal yang mencampuri volumenya lebih sedikit maka airnya tetap suci mensucikan. 

Namun, jika air musta’mal yang mencampuri lebih banyak atau sama volumenya dengan air mutlak yang dicampuri, maka status airnya adalah air muthayyir taqdiri yang suci tapi tidak mensucikan."
Waallahu a'lam.

Minggu, 16 November 2025

BEDANYA RUKUN DAN WAJIB

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:

أولا :
الفرق بين الركن والواجب في الصلاة : أن الركن لا يسقط عمدا ولا سهوا ولا جهلاً ، بل لابد من الإتيان به .
أما الواجب : فيسقط بالجهل والنسيان ، ويجبر بسجود السهو .

والله أعلم

RAGU AL-FATIHAH DIBACA APA BELUM...?

Makmum Ragu Sudah Baca al-Fatihah atau Belum, Bagaimana Seharusnya?

Ketika menjalankan shalat, baik wajib ataupun sunnah, baik sendirian ataupun berjamaah, sebagai imam maupun makmum, menurut mazhab Syafi’i, masing-masing orang harus membaca Surat al-Fatihah dalam setiap rakaatnya karena ia merupakan salah satu rukun qauli yang harus dibaca dengan standar minimal mushalli (orang shalat) sendiri bisa mendengarkan suaranya sendiri.

Mungkin sebagian orang pernah mengalami tidak dalam konsentrasi penuh ketika menjadi makmum shalat. Ketika imam sudah ruku’, makmum baru tersadar dari lamunannya, dan masih dalam keadaan berdiri. Saat hendak menyusul ruku’-nya imam, tiba-tiba makmum muncul keragu-raguan apakah sudah benar-benar membaca Surat al-Fatihah atau belum. Bagaimana sikap yang seharusnya ia lakukan?

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain menyatakan:

من شكّ قبل رُكُوعه وَبعد رُكُوع إِمَامه هَل قَرَأَ الْفَاتِحَة أم لَا فَيجب عَلَيْهِ التَّخَلُّف لقراءتها وَيغْتَفر لَهُ ثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة

Artinya: “Barangsiapa yang ragu saat ia belum melaksanakan ruku’, namun imamnya sudah terlanjur ruku’, apakah dia tetap harus membaca al-Fatihah atau tidak? (Jawabnya), maka dia harus menahan shalatnya dahulu (dalam keadaan berdiri), ia diberi toleransi sampai tiga rukun panjangnya imam” (Syekh Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr], hlm. 125).

Pernyataan Syekh Nawawi di atas mengisyaratkan bahwa makmum yang ragu sudah membaca al-Fatihah atau belum, hukumnya dianggap belum membaca al-Fatihah. Dalam masalah keragu-raguan, fiqih selalu mengambil titik paling aman. Jika ada pertanyaan sudah membaca al-Fatihah atau belum? Secara legal formal fiqih pasti akan menjawab “belum”. Sama seperti orang yang dengan jelas sudah melakukan wudhu, lalu ia ragu-ragu sudah batal atau belum, maka jawabnya adalah belum batal. Contoh lain, jika ada orang jelas-jelas sudah batal wudhunya, berikutnya ia ragu-ragu sudah wudhu atau belum, jawabnya belum wudhu.

Jadi apabila tentang keraguan antara “sudah” atau “belum” membaca al-Fatihah, maka dimenangkan adalah “belum”. Pijakan ini sesuai dengan kaidah:
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

Artinya: “Pada dasarnya, suatu hal itu tetap berada pada status sebelumnya” (Jalaludin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, [DKI: 1990], hlm. 51).

Aturan baku sebelumnya, seorang makmum dilarang mendahului dan tertinggal dengan gerakan imam sebanyak dua rukun berturut-turut. Namun karena muncul permasalah tentang ragu seperti di atas, makmum tertinggal sampai tiga kali rukun yang panjang secara berurutan. Menurut sebagian ulama, dalam shalat terdapat klasifikasi rukun pendek dan rukun panjang. Rukun panjang adalah target utama rukun shalat, sedangkan rukun pendek adalah pemisah antara rukun panjang satu dengan rukun panjang yang lain. Ringkasnya, rukun panjang yang sebagai target utama shalat adalah ruku’ dan sujud. Adapun i’tidal hanya sebagai pemisah antara ruku’ dan sujud yang pertama. Begitu pula duduk di antara dua sujud, dia hanya sebagai pemisah antara sujud pertama dengan sujud kedua. Dengan demikian, ruku’ dan sujud masing-masing adalah rukun panjang (thawil) sedangkan i’tidal dan duduk di antara dua sujud adalah rukun pendek (qashir).

(قوله: فكانا) أي الجلوس والاعتدال. (وقوله: قصيرين) أي ركنين قصيرين.

Artinya: “Maka keduanya (duduk dan i’tidal), keduanya merupakan rukun yang pendek. (Abu Bakar bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, [Darul Fikr, 1997], juz 1, hlm. 195.

Melalui penjelasan kitab I’anatuth Thalibin, dapat diketahui bahwa makmum yang ragu sudah membaca al-Fatihah atau belum, sedangkan imamnya sudah terlanjur ruku’, ia diberi kesempatan untuk tertinggal tiga rukun panjangnya imam. 
Dalam hal ini, makmum masih berdiri, imam sudah melampauinya melaksanakan (1) ruku’, 
(2) sujud yang pertama, dan 
(3) sujud yang kedua. 
Berarti makmum yang membaca al-Fatihah pada masalah ini, waktunya diberi kelonggaran sampai imam melakukan sujud yang kedua. Apabila saat makmum membaca al-Fatihah tadi melebihi durasi toleransi, misalnya sampai imam berdiri untuk melakukan rakaat berikutnya, maka shalatnya makmum menjadi batal karena terlalampau jauh tertinggal. Solusinya, jika terpaksa tidak cukup waktu, makmum bisa niat memisahkan diri dengan imam apabila dirasa waktunya tidak cukup. 
Yang penting tidak membatalkan shalat di tengah-tengah begitu saja.

Selanjutnya, bagaimana jika keraguan makmum perihal sudah membaca al-Fatihah tersebut muncul ketika makmum terlanjur sudah ruku’, imamnya juga sudah ruku’?

Jika makmum ragu-ragu ketika ia sudah terlanjur ruku’ ke belakang, makmum harus mengikuti shalatnya imam. Setelah imam salam, ia baru mengganti rakaat sejumlah yang ia ragukan sudah baca al-Fatihah atau belum. Syekh Nawawi melanjutkan dalam kitabnya:

فَإِن كَانَ ذَلِك بعد رُكُوعه وركوع إِمَامه لم يجز لَهُ الْعود إِلَى الْقيام بل يُوَافق إِمَامه ويتدارك بعد سَلام الإِمَام مَا فَاتَهُ.

Artinya: “Apabila keraguan makmum tersebut muncul setelah ia sudah ruku’ dan imamnya juga sudah ruku’, maka bagi makmum dilarang balik lagi berdiri untuk membaca al-Fatihah, namun ia harus menjalankan shalat sesuai imamnya, kemudian setelah imam selesai, ia menambah rakaat sesuai hitungan jumlah berapa rakaat yang ia ragukan.” (Syekh Nawawi, Nihayatuz Zain¸ hlm. 51)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makmum yang ragu—apakah ia sendiri sudah membaca atau belum—ia dihukumi belum membaca. Apabila keraguannya ini muncul sebelum ia ruku’, maka ia tetap harus membaca al-Fatihah dengan toleransi waktu harus selesai sampai imam sujud kedua. Apabila keraguannya keluar ketika ia sudah posisi ruku’, ia harus mengikuti gerakan imam, lalu setelah imam salam, ia mengganti rakaat yang ia ragukan bacaan fatihahnya. 
Wallahu a’lam.