Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 26 April 2025

SHALAT DITANAH HARAM PAHALANYA SAMA DENGAN DIMASJIDIL HARAM

Shalat di Hotel dekat Masjidil Haram, Apakah Pahalanya juga Dilipatgandakan ?....

Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa bulan Dzulhijjah menjadi bulan istimewa bagi umat Islam, apalagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji. Tentu hal ini semakin menambah motivasi untuk beribadah di Tanah Suci Makkah.

Makkah, selain sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad dan sejarah peradaban Islam, memiliki kemuliaan tersendiri. Terutama Masjidil Haram. Bahkan siapa saja yang melaksanakan shalat di Masjidil Haram akan mendapatkan pahala berlipat.

Dalam salah satu hadis disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: Salat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram (HR. Bukhari: 2/60, Muslim: 3/1013, Tirmidzi:2/147, Baihaqi: 5/403)

Sedangkan dalam riwayat lain:

وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ.

Artinya: Dari Ibn az-Zubair, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa shalat di Masjid-ku ini lebih utama dibanding seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedangkan shalat di Masjidil Haram lebih utama dibanding shalat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus shalat. (H.R. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban). 

Kedahsyatan balasan pahala yang berlipat ganda tersebut menjadi acuan dasar umat Islam untuk berlomba menunaikan shalat di Masjidil Haram, bahkan saking berdesakannya, ada sebagian orang yang melaksanakan shalat di luar Masjidil Haram, misalkan di penginapan. Pertanyaannya, apakah orang tersebut mendapatkan fadilah sebagaimana shalat di dalam Masjidil Haram?

Penjelasan hadis di atas oleh Badruddin Al-aini dalam kitab Umdatul Qari Syarh Sahih Bukhari disebutkan:

فَإِن قلت :هَل يخْتَص تَضْعِيف الصَّلَاة بِنَفس الْمَسْجِد الْحَرَام أَو يعم جَمِيع مَكَّة من الْمنَازل والشعاب وَغير ذَلِك أم يعم جَمِيع الْحرم الَّذِي يحرم صَيْده (قلت) فِيهِ خلاف وَالصَّحِيح عِنْد الشَّافِعِيَّة أَنه يعم جَمِيع مَكَّة وَصحح النَّوَوِيّ أَنه جَمِيع الْحرم

Artinya: Apabila engkau bertanya: apakah kelipatan pahala shalat itu tertentu di Masjidil Haram saja, atau meliputi seluruh kota Makkah seperti tempat tinggal/ penginapan, bukit, ataukah seluruh Tanah Haram yang dilarang membunuh hewan buruannya? Saya (Badruddin Al-Aini) jawab: Permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang sahih menurut ulama Syafii adalah seluruh Makkah, sedangkan Imam Nawawi memperjelas adalah seluruh Tanah Haram.

Begitu pula, salah satu ulama Syafii yang masyhur, yakni Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Asybah wan Nadzair menyatakan:

 أَنَّ التَّضْعِيفَ فِي حَرَمِ مَكَّةَ لَا يُخْتَصُّ بِالْمَسْجِدِ بَلْ يَعُمُّ جَمِيعَ الْحَرَمِ 

Artinya: Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah tidak khusus di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 523) 

Pendapat Imam Suyuti ini selaras dengan beberapa pendapat ulama madzhab lain:


 ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمَشْهُورِ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُضَاعَفَةَ تَعُمُّ جَمِيعَ حَرَمِ مَكَّةَ.

Artinya: Madzhab ulama Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, cet ke-2, 1427 H, juz, 37, h. 239)

Walhasil, merujuk dari beberapa keterangan di atas, dapat dipahami bersama bahwa siapa saja yang shalat di tempat tinggal, penginapan, hotel, maupun tempat lain yang masih termasuk wilayah Tanah Haram Makkah, maka pahalanya juga dilipatgandakan sesuai redaksi hadis di atas.

Namun harus diingat, bahwa bagaimanapun juga pahala shalat yang dilakukan di dalam Masjidil Haram jika diakumulasi tetap lebih banyak ketimbang shalat di penginapan, sebab beberapa kesunnahan dan fadilah di dalam Masjidil Haram seperti shalat sunnah tahiyyatul masjid, i’tikaf, berdoa di tempat mustajab, itu tidak dapat ditemukan di penginapan.
Allahu a'lam.

Rabu, 09 April 2025

MUSAFIR BERMAKMUM KEPADA MUKIM

Hukum Musafir Bermakmum Kepada Orang yang Bukan Musafir


Musafir boleh bermakmum kepada orang mukim dengan syarat tidak melakukan shalat qashar dan mesti shalat sempurna.

Shalat berjamaah sangat dianjurkan dalam Islam. Hukumnya sunnah muakkad. Ada banyak dalil dan keterangan dalam hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian. Salah satunya adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
 
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
 
Artinya, “Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian,” (HR Bukhari dan Muslim).
 
Shalat berjamaah juga disunnahkan bagi musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan. Apalagi pada masa sekarang, khususnya di Indonesia, mushala dan masjid sudah ada di mana-mana sehingga memudahkan orang yang dalam perjalanan (musafir) untuk melakukan shalat.
 
Namun bagaimana hukumnya bila musafir bermakmum kepada orang yang mukim atau orang yang bukan musafir?
 
Syekh Mushtafa Bugha dalam Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhab Imamil Syafi’i menjelaskan bahwa:
 
أن لا يقتدي بمقيم، فإن اقتدى به وجب عليه أن يتابعه في الإتمام ولم يجز له القصر
 
Artinya, “Musafir yang melakukan shalat qashar tidak boleh bermakmum kepada yang mukim, bila bermakmum kepada mukim dia mesti shalat sempurna dan tidak boleh shalat qashar.”
 
Musafir boleh saja mengikuti shalat berjamaah orang yang mukim atau bermakmum kepada orang yang bukan musafir asalkan shalat yang dikerjakannya bukan shalat qashar.
 
Dengan kata lain, kalau dia mengerjakan shalat zuhur mesti empat raka’at, tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat bila bermakmum kepada yang mukim.
 
Sebaliknya, bila yang menjadi imam adalah musafir, maka dia boleh melakukan shalat qashar, meski jamaahnya orang mukim. Setelah selesai shalat dua rakaat, maka jamaah yang bukan musafir menyempurnakan shalatnya.
 
Syekh Musthafa Bugha menjelaskan:
 
أما العكس فلا مانع من القصر فيه، وهو أن يؤم المسافر مقيمين فله أن يقصر
 
Artinya, “Adapun sebaliknya, maka tidak masalah melakukan shalat qashar, ketika musafir menjadi imam bagi orang mukim, dibolehkan untuk mengqashar shalatnya.”
 
Simpulannya, musafir boleh bermakmum kepada orang mukim dengan syarat tidak melakukan shalat qashar dan mesti shalat sempurna. Sebaliknya, musafir dibolehkan melakukan shalat qashar bila menjadi imam bagi orang yang mukim, setelah selesai shalat orang mukim diwajibkan untuk menyempurnakan shalatnya. 
Wallahu a’lam.
 

Senin, 31 Maret 2025

BOLEHKAH SHALAT SUNNAH LAGI SETELAH SHALAT WITIR

Bolehkah Shalat Sunah Lagi Setelah Shalat Witir ?...

Pelaksanaan shalat witir setelah shalat tarawih merupakan ihwal yang biasa dilakukan umat Islam tatkala mengisi malam-malam Ramadhan. Beberapa orang terkadang kembali terlebih dahulu dari masjid setelah melaksanakan shalat tarawih, dengan maksud ingin melaksanakan shalat witir di rumah mereka masing-masing. Hal ini mengingat ada beberapa dalil anjuran mengerjakan shalat witir di akhir malam.

Al-Minawi dalam Faidhul Qadir menjelaskan anjuran bagi seorang Muslim untuk melaksanakan shalat witir di akhir malam. Tetapi jika menyangka bahwa tidak akan bangun pada akhir malam maka lebih baik dikerjakan setelah shalat tarawih.

Hal ini diperkuat dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim tentang anjuran untuk menjadikan shalat witir sebagai akhir shalat malam kita.

اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِالَّليْلِ وِتْرّا

Artinya, “Jadikanlah witir sebagai akhir shalat kalian di malam hari.”

Tetapi hadits terkait witir di atas nyatanya menimbulkan pertanyaan di benak kita. Apa benar witir itu sebagai akhir shalat malam? Lalu bolehkah melaksanakan shalat sunah lain seperti tahajjud atau hajat setelah melaksanakan shalat witir?

Menanggapi pertanyaan di atas, Al-Mubarakfury dalam Tuhfatul Ahwadzi-nya menjelaskan bahwa shalat malam itu hukumnya bukan wajib. Jadi, tidak ada kewajiban untuk menjadikan shalat tertentu seperti witir sebagai akhirnya.

Al-Mubarakfuri menambahkan bahwa hadits di atas bukanlah dalil kewajiban shalat witir serta kewajiban shalat witir sebagai akhir shalat malam, tetapi anjuran untuk menjadikan shalat malam kita ganjil.

Hal ini diperkuat dengan beberapa pendapat ulama, salah satunya Imam At-Tirmidzi ketika meriwayatkan hadits tentang ketiadaan dua witir dalam satu malam. Ia berpendapat dengan mengutip beberapa amaliyah sahabat sebagai berikut.

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ اَخِرِهِ أَنَّهُ يُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ الخ

Artinya, “Sebagian ahli ilmu di kalangan sahabat Rasulullah Saw dan selainnya berpendapat bahwa jika ada seseorang yang mengerjakan shalat witir di awal malam kemudian ia tidur dan terbangun di akhir malam kemudian ia mengerjakan shalat setelahnya, maka hal itu tidak membatalkan shalat witir yang telah dikerjakan.”

Abu Hurairah sebagaimana dikutip Al-Mubarakfury mengatakan bahwa ia melaksanakan shalat witir sebanyak lima rakaat setelah isya’. Jika bangun di akhir malam, ia kembali mengerjakan shalat dua rakaat. Jika tidak terbangun, maka setidaknya ia telah berwitir setelah isya’.

Memperkuat pendapat ini, Al-Iraqi mengatakan bahwa kebanyakan ulama berpendapat bahwa diperbolehkan shalat dua rakaat-dua rakaat setelah witir dan hal itu juga tidak membatalkan witir yang telah dikerjakan.

Maka dari itu, kita yang biasa shalat witir setelah tarawih boleh saja shalat kembali di akhir malam dengan rakaat genap seperti shalat sunah tahajud atau shalat hajat. Tidak ada larangan untuk melaksanakan shalat sunah setelah shalat witir. 
Wallahu a’lam.

BULAN SYAWAL BULSN PAS UNTUK MENIKAH

Apakah Benar Syawal Itu Bulan yang Pas untuk Menikah?

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Pak ustadz yang baik hati, perkenalkan saya Silvia, warga asli Bandung. Ada hal yang ingin saya tanyakan kepada Pak Ustad. Jadi cerita begini, kemarin saya dilamar oleh pacar saya, dan oleh orang tuanya kami disarankan untuk langsung menikah pada bulan Syawal ini. Kata mereka ini adalah bulan yang baik untuk menikah. Yang ingin saya tanyakan, apakah memang demikian? Bagaimana sejarahnya bulan syawal disebut bulan pernikahan. Terima kasih atas penjelasan Pak Ustad.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

======

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Bila ada sebagian orang yang menghindari bulan-bulan tertentu untuk menikah karena menilainya sebagai bulan sial, maka sejatinya fenomena yang sama juga pernah terjadi pada zaman jahiliyah. Orang-orang jahiliyah meyakini bahwa bulan Syawal adalah pantangan untuk menikah.

Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam justru menampik keyakinan tersebut. Sebagai bentuk penolakan beliau justru menikahi Sayyidah ‘Aisyah pada bulan Syawal, dan​ menggaulinya pada bulan Syawal.

Berikut ini adalah teks haditsnya;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي.... متفق عليه

Artinya, “Dari Aisyah RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku (pertama kali juga, pent) pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau SAW yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?’” (Muttafaq ‘Alaih).

Menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, hadits ini mengandung anjuran untuk menikahkan, menikah, atau berhubungan suami-istri pada bulan Syawal. Dengan hadits ini pula para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i menegaskan pandangan atas kesunahan hal tersebut.

Lebih lanjut, Muhyiddin Syaraf An-Nawawi menyatakan bahwa perkataan Sayyidah Aisyah RA di atas ditujukan untuk menyangkal kemakruhan menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri di bulan Syawal, yang telah menjadi praktik pada masa jahiliyah dan menguasai pikiran sebagian orang awam pada saat itu.

فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ، وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ، وَاسْتَدَّلُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رُدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِ اليَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجاَهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْاِشَالَةِ وَالرَّفْعِ

Artinya, “Hadits ini mengandung anjuran untuk menenikahkan, menikah, atau dukhul pada bulan Syawal sebagaimana pendapat yang ditegaskan oleh para ulama dari kalangan kami (madzhab Syafi’i). Mereka berargumen dengan hadits ini, Siti Aisyah RA dengan perkataan ini, bermaksud menyangkal apa telah dipraktikkan pada masa jahiliyah dan apa menguasai alam pikiran sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan Syawal. Padahal ini merupakan kebatilan yang tidak memiliki dasar dan pengaruh pandangan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawal yang diambil dari 'isyalah' dan 'raf̕’' (mengangkat),” (Lihat Muhyiddin Syaraf An Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Beirut-Daru Ihya`it Turats Al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz IX, halaman 209).

Berpijak dari penjelasan singkat ini, kita dapat memahami di samping puasa enam hari di bulan Syawal, ada juga dianjurkan lain pada bulan Syawal yaitu menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri. Pendek kata, Syawal menurut para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk menikah. Namun dalam konteks ini mesti dipahami apabila memungkinkan menikah pada bulan itu.

Begitu juga pada bulan yang lain adalah sama, sehingga jika ada alasan untuk menikah pada bulan di luar bulan Syawal, laksanakanlah pernikahan tersebut. Bulan lain yang juga dianjurkan untuk menikah adalah bulan Shafar dengan dasar riwayat Az-Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menikahkan putrinya Sayyidah Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib RA pada bulan tersebut.

وَقَوْلُهُ وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ أَيْ حَيْثُ كَانَ يُمْكِنُهُ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ عَلَى السَّوَاءِ فَإِنْ وُجِدَ سَبَبٌ لِلنِّكَاحِ فِي غَيْرِهِ فَعَلَهُ وَصَحَّ التَّرْغِيبُ فِي الصَّفَرِ أَيْضًا رَوَى الزُّهْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَ ابْنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ عَلَى رَأْسِ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْ - الْهِجْرَةِ ا هـ

Artinya, “Pernyataan, ‘Dianjurkan untuk menikah pada bulan Syawal’, maksudnya adalah sekiranya memungkinkan untuk dilaksanakan pada bulan tersebut, sedangkan pada bulan yang lain juga sama. Apabila ditemukan sebab untuk menikah di bulan selain Syawal, laksanakanlah. Begitu juga anjuran untuk menikah pada bulan Shafar adalah sahih, dan dalam hal ini Az-Zuhri meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw menikahkan putrinya yaitu Sayyidah Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib RA pada bulan Shafar pada penghujung bulan ke dua belas dari hijrah,” (Lihat Abdul Hamid Asy Syirwani, Hasyiyatus Syirwani, Mesir-Maktbah Mushtafa Muhammad, tanpa tahun, juz VII, halaman 189-190).

Demikian yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang yang memang sudah siap dan memungkinkan untuk menikah pada bulan Syawal maka inilah saat yang baik, sebagaimana pernikahan Rasulullah saw dengan Sayyidah Aisyah ra, meskipun baik juga dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Sabtu, 29 Maret 2025

MENGAPA KITA HARUS BERMADZHAB,,,?

Mengapa Kita Harus Bermadzhab ?....

ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا اعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضال مضل سيما في هذا الزمان الذى عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم في العلم والعمل والعدالة والاطلاع

            “Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (Imam madzhab) dan berkata “saya beramal berdasarkan alQuran dan hadits”, dan mengaku telah memahami hukum-hukum alquran dan hadits maka orang tersebut tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan terutama pada masa sekarang ini dimana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa”. [ Tanwiir alQuluub 74-75 ].

كل من الأئمة الأربعة على الصواب ويجب تقليد واحد منهم ومن قلد واحدا منهم خرج من عهدة التكليف وعلى المقلد أرجحية مذهبه أو مساواته ولايجوز تقليد غيرهم فى إفتاء أو قضاء. قال ابن حجر ولايجوز العمل بالضعيف بالمذهب ويمتنع التلفيق فى مسألة كأن قلد مالكا فى طهارة الكلب والشافعى فى مسح بعض الرأس (إعانة الطالبين, الجزء 1 الصفحة 17)

                    “Setiap imam yang empat itu berjalan dijalan yang benar maka wajiblah bagi umat islam untuk bertaqlid kepada salah satu diantara yang empat tadi sebab orang yang sudah bertaqlid kepada salah satu imam yang empat tersebut maka ia telah terlepas dari tanggungan dalam keagamaan dam orang yang bertaqlid haruslah yakin bahwqa madzhab yang ia ikuti itu benar dan sama benarnya dengan yang lain serta tidak boleh bertaqlid kepada madzhab lain selain madzhab yang ia ikuti, seperti apa yang dikatakan oleh ibnu hajar alhaitami: tidak boleh seseorang yang menganut suatu madzhab berbuat talfiq (mencampur adukkan madzhab untuk mencari yang ringan-ringan) misalnya mengikuti imam malik yang mensucikan anjing dan juga mengikuti imam syafi’ie dalam membasuh sebagian kepala dalam berwudu”. [ I’anatut Tholibin I/17 ]. Wallaahu A’lamu Bis Showaab ..

Kenapa kita harus bermadzhab dan taqlid pada ulama
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba – yazhabu – zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.

Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih. Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.

Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )

Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah bid’ah yang di munculkan dalam agama, dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim, bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah, dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.  Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya. Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.

Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa? Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka. Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.

Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang dapat di sejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad ?

Ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:

Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”

Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

Senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)

Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak.  Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.

Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.

Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. )

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah :

Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.
Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan al-Kubra 1/62. )

Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid. ( Al-la Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22. )

Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.

Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas, pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu yang datang kepada belaiau. Tamu tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut, apakah secara bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari kitab lughat ata kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan pernyataannya tersebut. Sama seperti apa yang di lakukan oleh Dr. Al-Buthi, kami juga menantang orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain dalam tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu termasuk taqlid atau ittiba’? Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka klaim tersebut perlu di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi umat.

Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti-madzhab dengan argumen-arguman yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Sekilas tentang 4 Mazhab

Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.

Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra’yi). Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.

Dasar-dasar Mazhab Hanafi

Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’ dan Uruf.

Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:

Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari (….-204 H).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.

 

Dasar-dasar Mazhab Maliki

Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok (dasar) yaitu:

Nashshul Kitab
Dzaahirul Kitab (umum)
Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)
Mafhum muwafaqah
Tanbihul Kitab, terhadap illat
Nash-nash Sunnah
Dzahirus Sunnah
Dalilus Sunnah
Mafhum Sunnah
Tanbihus Sunnah
Ijma’
Qiyas
Amalu Ahlil Madinah
Qaul Shahabi
Istihsan
Muraa’atul Khilaaf
Saddud Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya

Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:

Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-Utaqy.
Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi.
Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
Asbagh bin Farj al-Umawi.
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam.
Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
Isa bin Dinar al-Andalusi.
Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
Asad bin Furat.
Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Abdul Walid al-Baji
Abdul Hasan Al-Lakhami
Ibnu Rusyd Al-Kabir
Ibnu Rusyd Al-Hafiz
Ibnu ‘Arabi
Ibnul Qasim bin Jizzi
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki. Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

Mazhab Syafi’i.
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.

Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.

Dasar-dasar Mazhab Syafi’i:

Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah:

Al-Kitab.
Sunnah Mutawatirah.
Al-Ijma’.
Khabar Ahad.
Al-Qiyas.
Al-Istishab.
Ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi’i, antara lain :
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa’i
Imam Baihaqi
Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam Abu Daud
Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

Mazhab Hambali.
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.

Dasar-dasar Mazhabnya.

Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:

Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
Fatwa sebagian Sahabat.
Pendapat sebagian Sahabat.
Hadits Mursal atau Hadits Doif.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.

Pengembang-pengembang Mazhabnya

والله أعلم بالصواب

 

Jumat, 28 Maret 2025

HUKUM AQIQOH DENGAN DAGING MENTAHAN

Apakah aqiqah boleh dibagikan mentahan?...
Dengan tujuan lebih murah, krn dana terbatas..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Inti dari aqiqah adalah menyembelih hewan ternak (kambing) sebagai bentuk rasa syukur untuk kelahiran anak.

Al-Iraqi mengatakan,

العقيقة: الذبيحة التي تذبح عن المولود

Aqiqah adalah hewan ternak yang disembelih karena kelahiran anak. (Tharh at-Tatsrib, 5/205).

Hanya ulama berbeda pendapat mengenai jenis hewan yang boleh untuk aqiqah, apakah kambing saja ataukah boleh menyembalih sapi dan onta.

Mengenai cara pembagiannya, syariat memberikan kebebasan. Sehingga boleh juga dibagi dalam keadaan mentah. Sebagaimana yang berlaku dalam kurban.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها ـ يعني سبيل العقيقة كسبيل الأضحية .. وبهذا قال الشافعي

Tata cara aqiqah seperti cara mengkonsumsinya, menghadiahkannya atau mensedekahkanya sama sebagaimana tata cara udhiyah (berqurban)… dan ini yang dinyatakan as-Syafi’i. (al-Mughni, 9/366).

Imam Ibnu Baz menjelaskan,

وإنما العقيقة المشروعة التي جاءت بها السنة الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم هي ما يذبح عن المولود في يوم سابعه ، وهي شاتان عن الذكر ، وشاة واحدة عن الأنثى , وقد ( عق النبي صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين رضي الله عنهما )

Aqiqah yang sesuai syariat dan yang diajarkan dalam sunah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hewan yang disembelih untuk kelahiran anak pada hari ketujuh. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meng-aqiqahi Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian beliau melanjutkan,

وصاحبها مخير إن شاء وزعها لحماً بين الأقارب والأصحاب والفقراء ، وإن شاء طبخها ودعا إليها من شاء من الأقارب والجيران والفقراء

Dan sohibul aqiqah boleh memilih, boleh membaginya dalam bentuk daging (mentah) kepada para kerabat, kawan atau orang miskin. Bisa juga dia masak, kemudian mengundang kerabat, tetangga, atau orang miskin yang dia inginkan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/262).

Ini bisa kita jadikan solusi bagi mereka yang ingin aqiqah sementara dananya terbatas. Selagi cukup untuk beli kambing, aqiqah bisa diselenggarakan. Kemudian dibagikan mentahan.
________________________________________

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa aqiqah adalah hewan yang disembelih sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt atas karunia-Nya, yaitu berupa lahirnya anak baik laki-laki atau perempuan.

Jadi, pada prinsipnya aqiqah merupakan salah satu bentuk taqarrub dan wujud rasa syukur kita kepada Allah swt, yang dalam konteks ini adalah menyembelih dua kambing jika anak yang lahir adalah laki-laki, dan satu kambing apabila perempuan.

Mengenai status hukum aqiqah menurut Zakariya al-Anshari adalah sunnah muakkadah dengan didasarkan kepada sabda Rasulullah saw sebagai berikut. 

اَلْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Seorang bayi itu tergadaikan dengan aqiqahnya, pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama” (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi).

Kandungan hadits ini menurut Zakariya al-Anshari adalah anjuran untuk mempublikasikan kebahagian, kenikmatan, dan nasab. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa aqiqah itu hukumnya sunnah muakkadah, dan tidak wajib karena ada hadits yang mengatakan,’Barang siapa yang senang (ingin) beribadah untuk anaknya maka lakukanlah’. Alasan lain yang menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah mengalirkan darah bukan karena melakukan pelanggaran dan bukan pula nadzar.

وَالْمَعْنَى فِيهِ إظْهَارُ الْبِشْرِ وَالنِّعْمَةِ وَنَشْرِ النَّسَبِ. وَهِيَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَإِنَّمَا لَمْ تَجِبْ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ: “مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ” وَلِأَنَّهَا إرَاقَةُ دَمٍ بِغَيْرِ جِنَايَةٍ ، وَلَا نَذْرٍ فَلَمْ تَجِبْ كَالْأُضْحِيَّةِ

“Makna yang terkandung dalam hadits tentang aqiqah ini adalah anjuran mempublikasikan kebahagian, kenikmatan, dan nasab. Status hukum aqiqah itu sendiri adalah sunnah muakkadah, dan tidak wajib karena ada hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, ‘Barang siapa yang senang (ingin) beribadah untuk anaknya maka lakukanlah”. Di samping itu alasan lain yang menunjukkan bahwa aqiqah itu sunnah adalah karena yang dimaksudkan dengan aqiqah adalah mengalirkan darah bukan karena melakukan pelanggaran dan bukan pula nadzar. Karenanya tidak wajib sebagaimana udhhiyyah (kurban)” (Lihat Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1, 1422 H/2000 M, juz, 1, h. 547)       

Sedangkan daging aqiqah dibagikan kepada fakir-miskin agar bisa membawa keberkahan kepada si anak yang diaqiqahi, dan sebaiknya daging tersebut dibagikan dalam kondisi sudah dimasak. Demikian menurut pendapat yang paling sahih (al-ashshah).

وَيُفَرَّقُ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لِتَعُودَ الْبَرَكَةِ عَلَى الْمَوْلُودِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُتَصَدَّقَ بِهِ نِيئًا بَلْ مَطْبُوخًا عَلَى الْأَصَحِّ

“Daging aqiqah dibagikan kepada orang-orang fakir-miskin agar berkahnya kembali ke si anak, dan disunnahkan tidak disedekahkan dalam kondisi masih mentah, tetapi sudah matang (siap dimakan). Demikian ini menurut pendapat yang paling sahih” (Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, tt, juz, 2, h. 196)

Lantas bagaimana jika aqiqah itu diganti dengan uang? Jawaban kami atas pertanyaan ini adalah bahwa aqiqah tidak bisa digantikan dengan uang. Sebab, sejatinya aqiqah adalah mengalirkan darah atau menyembelih hewan. Yaitu, dua kambing untuk anak laki-laki, dan satu kambing untuk anak perempuan. Dan ini termasuk salah bentuk taqarrub atau ibadah yang status hukumnya adalah sunnah muakkadah. Dalam sebuah hadits shahih dikatakan;

مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا ، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأْذَى

“Bersama seorang bayi itu ada aqiqah, maka alirkan darah untuknya (aqiqah), dan singkirkan hal yang mengganggunya (mencukurnya).” (H.R. Bukhari)

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang tua yang yang anaknya belum diaqiqahi maka sebaiknya kalau sudah dapat rejeki segera diaqiqahi. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb

HUKUM ZAKAT FITRAH BENTUK UANG

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG

حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 

وقد اختلف العلماء في حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة بدلاً عن أعيانها على المذهبين:

المذهب الأوّل : مذهب جمهور العلماء وهو ما ذهب إليه الأئمة الثلاثة مالك والشافعي وأحمد رحمهم الله تعالى من أنه لا يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات، مستدلين بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في إخراج زكاة الفطر بأعيانها من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها . 
فعن عبدالله بن عمر رضي الله عنه، قال : »فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ زَكاةَ رَمَضاَنَ عَلىَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ ، وَالذَّكِرِ وَاْلأُنْثىَ ، صاَعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صاَعًا مِنْ شَعِيْرٍ . فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صاَعٍ مِنْ بُرٍّ «. أخرجه النسائي (2500) واللفظ له، وأخرجه البخاري (1511)، ومسلم (984).

وأما المذهب الثاني فهو ما ذهب إليه بعض الأئمة سفيان الثوري وأبوحنيفة وأصحابه والبخاري في صحيحه رحمهم الله تعالى من أنه يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات. 
وقد روى ذلك عن عمر بن عبد العزيز والحسن البصري كما ورد في مصنَّف ابن أبي شيبة. فعن عون قال سمعت كتاب عمر بن عبد العزيز يقرأ إلى عدي (يعني الوالي) بالبصرة :( يؤخذ من أهل الديوان من أعطياتهم من كل إنسان نصف درهم). 

وعن الحسن البصري قال: (لا بأس أن تعطي الدراهم في صدقة الفطر). 
وعن أبي إسحاق قال: (أدركتهم وهم يؤدون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام). 
وعن عطاء: (أنه كان يعطي في صدقة الفطر وَرِقًا – دراهم فضية). (مصنَّف ابن أبي شيبة، باب إعطاء الدراهم في زكاة الفطر، ج 3 ص 37-38). 
قال الإمام النووي: (وهو الظاهر من مذهب البخاري في صحيحه وهو وجه لنا كما سبق). انتهى (محيى الدين النووي، المجموع شرح المهذّب، ج ٥ ص ٤٢٩).

 وقد أفتى الإمام الرملي من الشافعية بجواز دفع القيمة في زكاة الفطر، تقليداً للإمام أبي حنيفة في إخراج بدل زكاة الفطر دراهم. (فتاوى الرملي على هامش كتاب الفتاوى الكبرى للإمام ابن حجرالهيتمي، ج 1 ص 56). 
فهذا كله يدل على أن القيمة معتبرة عندهم في أداء زكاة الفطر.

ويستدل هذا المذهب الثاني بالأدلة منها قول الله سبحانه وتعالى : ﴿ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً ﴾. سورة التوبة : 103.
وقال المجوّزون في إخراج زكاة الفطر بالقيمة :( فهو تنصيص على أن المأخوذ مال، والقيمة مال فأشبهت المنصوص عليه) ،أي الأعيان في صدقة الفطر من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها).
(فتوى قضاة المحكمة الإستئناف العليا الشرعية دولة البحرين في جوازإخراج زكاة الفطر بالقيمة، ملحق في كتاب تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، للشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ص 51).

ويستدل أيضاً بقول النبي صلى الله عليه وسلم : »أَغْنُوْهُمْ (يعني المساكين) عَنِ الطَّواَفِ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ«. رواه البيهقي في السنن الكبرى، عن عبدالله بن عمر، ج 4 ص 175. 
والإغناء يحصل بالقيمة كما يحصل بالطعام.

والمذهب الراجح عندي هو المذهب الثاني الذي يجوّز إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 
ووجه الترجيح هو : بالرغم من وجود أمرمن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل الذي أرسله إلى اليمن لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، لكنه عليه الصلاة والسلم قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
والتقرير من النبي صلى الله عليه وسلم دليل شرعي كقوله وفعله عليه الصلاة والسلام سواء بسواء. فعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ وَقَالَ لَهُ: » خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه (1814) وأبو داود (1599).

ففي هذا الحديث قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم معاذا بن جبل لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، إلاّ أنه عليه الصلاة والسلم مع ذلك، قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
وقد قال الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في كتابه تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال :( إن أخذ القيمة في الزكاة ثابة عن النبي صلى الله عليه وسلم عن جماعة من الصحابة في عصره وبعد عصره). انتهى. 
(الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ،تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10).

ثم بعد ذلك أورد الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في الكتاب المذكور أعلاه (ص 10-11) روايات من جماعة من الصحابة تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، من ثلاثة كتب : الخراج ليحيى بن آدم القرشي، المصنّف لابن أبي شيبة، والأموال لأبي عبيد. 
وأنقل إليكم ذلك كما هو بكماله للفائدة ما يلي :

قال يحيى بن آدم القرشي في كتاب الخراج (تحقيق الشيخ أحمد شاكر، ص 138) : 
حدثنا سفيان بن عيينة، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : 
(ائتوني بعرض ثياب آخذه منكم مكان الذرة والشعير، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال يحيى بن آدم القرشي أيضاً : حدثنا سفيان بن عيينة، عن إبراهم بن ميسرة، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : (ائتوني بخميس أو لبيس (أي ملبوس) آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال بن أبي شيبة في المصنَّف : حدثنا عبد الرحيم، عن الحجاج، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال : (بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معاذاً إلى اليمن فأمره أن يأخذ الصدقة من الحنطة والشعير،فأخذ العروض والثياب بدل الحنطة والشعير).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا جرير بن عبد الحميد، عن ليث، عن عطاء : (أن عمر كان يأخذ العروض في الصدقة من الوَرِقِ وغيرها).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا بن عيينة، عن إبراهيم بن ميسرة، فذكر مثل ما رواه يحيى بن آدم القرشي عن سفيان في الخميس واللبيس ثم قال :
حدثنا وكيع، عن سفيان، عن إبراهيم بن ميسرة، عن طاوس : (أن معاذاً كان يأخذ العروض في الصدقة).

وقال بن أبي شيبة : حدثنا وكيع، عن أبي سنان، عن عنترة، (أن علياًّ عليه السلام كان يأخذ العروض في الجزية من أهل الابر الابر، ومن أهل المال المال، ومن أهل الحبال الحبال).

وقال أبو عبيد في الأموال : (وقد جاء الثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمرمعاذاً حين خرج إلى اليمن بالتيسير على الناس، وأن لا يأخذ كرائم أموالهم. ثم جاء مفسراً عن معاذ في حديث آخر، أنه قال هناك : ائتوني بخميس أو لبيس آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أيسر عليكم، وأنفع للمهاجرين بالمدينة. فالأسنان بعضها ببعض أشبه من العروض بها، وقد قبلها معاذ).

وروى عن عمر وعلي مثله في الجزية، (أنهما كانا يأخذان مكانها غيرها).

حدثني يحيى بن بكير، عن مالك، عن زيد بن أسلم، عن أبيه، عن عمر: (إنه كان يأتيه من الشام نعم كثيرة من الجزية).

حدثنا محمد بن ربيعة، وأبو نعيم، عن سعيد بن سنان، عن عنترة، عن علي عليه السلام : 
(أنه كان يأخذ الجزية من أصحاب الابر الابر)...فذكر مثل ما رواه ابن أبي شيبة، ثم قال : (قد رخّصا في أخذ العروض والحيوان مكان الجزية، وإنما أصلها الدراهيم والدنانير والطعام). 
قال : (وكذلك رأيهما في الديات من الذهب والوَرِق والإبل والبقر والغنم والخيل. إنما أرادا التسهيل على الناس، فجعلا على أهل كل بلد ما يمكنهم). انتهى (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10-11).

فجميع هذه الروايات تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، وذلك أن من المعلوم أن معاذا كان يُرسل ذلك (أي المأخوذات من الزكاة) من اليمن إلى النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة، لأنه متولي الصدقة يأخذها من اليمن ومفرّقها على الفقراء بالمدينة، وقد قبل ذلك النبيُّ صلى الله عليه وسلم بالمدينة وقد أقره النبي صلى الله عليه وسلم ذلك، أي أخذ الزكاة بالقيمة. مع العلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قال لمعاذ لأخذ الزكاة بأعيانها حين أرسله إلى اليمن : »خُذْ الْحَبَّ مِنْ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنْ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنْ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه وأبو داود.

ومع ذلك، قد أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم في أخذ الزكاة بالقيمة. والإقرار من النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك دليل الجواز في أخذ الزكاة بالقيمة شرعاً، إذ لو كان ما فعله معاذ في اليمن يخالف الشرع لَماَ أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم ذلك ولَأَمَرَ معاذا بردّ ذلك إلى أهله في اليمن ونهاه عنه. ولم يحصل شيءٌ من ذلك. (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 12).

وبناءً على ذلك كلّه، فالخلاصة أن المذهب الراجح عندي هو القول بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات كذلك، وإن كان الأفضل هو إخراج زكاة الفطر بأعيناها تمسّكاً بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك. فمن أخرج زكاة الفطر بأعيناها فقد اختار بالأفضل، ومن أخرجها بالقيمة فلا بأس به ولا حرج.

وقد كنت أنا أرى منذ سنة 2010 أن إخراج زكاة الفطر بالقيمة لا يجوز شرعاً، مرجحاً مذهب الجمهور. وها أنا الآن في سنة 2024  أي في سنة 1445 في اليوم الخامس من شهر شوال قد تركت ذلك القول وأميل الآن إلى القول الجديد بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة، بعد الدراسة والتدقيق والتمحيص في هذا الأمر، بعون الله وتوفيقه، والله أعلم.