Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Kamis, 14 Agustus 2025

5 SIFAT PENGHALANG KESHOLIHAN

Ali bin Abi Thalib.
5 sifat penghalang kesalihan.

Salah seorang sahabat yang perkataannya kerap menjadi pegangan adalah Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Dan di antara pesan yang diingatkan adalah bahwa ada 5 penghalang yang akhirnya membuat seseorang gagal menjadi salih.
 
Dikemukakan bahwa sebenarnya ada pertanyaan asasi. Manakah sebenarnya yang lebih dulu ada di dunia ini, kegelapan lantas disusul dengan terang. Ataukah terang yang kemudian dinodai dengan kegelapan? 
 
Karenanya Ali Karaamallhu Wajhah berkata: Andaikan tidak ada 5 keburukan di dunia ini, tentunya manusia menjadi orang saleh semua. Kelima keburukan itu adalah 1) merasa senang dengan kebodohan. 2) tamak dengan dunia. 3) bakhil dengan kelebihan harta. 4) riya dalam beramal dan 5) membanggakan diri. 
 
 عَنْ عَلِيّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَوْلَا خَمْسَ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ اَوَّلُهَا اَلْقَنَاعَة ُبِالجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ بِالْفَضْلِ وَالرِّياَ فِى الْعَمَلِ وَالْإعْجَابُ بِالرّأيِ .

Demikian keterangan Sayyidina Ali tentang 5 hal yang merusak susunan masyarakat muslim sehingga terjebaklah mereka dalam kenistaan. 
Sebagaimana akan diterangkan satu persatu di bawah ini. 
 

1. Merasa senang dengan kebodohan

Artinya adalah membiarkan diri bahkan merasa nyaman dengan ketidaktahuan dalam masalah agama. Sebagaimana banyak terjadi pada muslim masa kini di perkotaan yang tiap harinya disibukkan dengan urusan bisnis dan bermacam pekerjaan demi mencapai cita-cita. Sedangkan masalah keislaman cukup dipasrahkan saja kepada para ustadz yang dipanggil ketika dibutuhkan. Entah untuk berdoa, untuk ditanya ataupun sekedar dijadikan teman curhat. 
 
Tidak ada dalam dirinya keinginan belajar dengan sungguh-sungguh apa itu Islam dan bagaimana seharusnya menjadi muslim yang baik. Tidak pernah ingin tahu cara shalat dan wudhu yang benar. Mereka sudah puas dengan pengetahuan yang didapatnya dari teman ataupun dari meniru tetangga. Paling-paling belajar keislamannya didapat dari tayangan televisi pada kuliah subuh dan dalam broadcast semacamnya. 
 
Memang itu tidak salah, tapi semua itu menunjukkan ketidakseriusan keislaman mereka dibandingkan dengan keseriusannya belajar ilmu pengetahuan atau pun kesibukannya mengurus berbagai urusan dunia. 
 
Orang seperti ini seharusnya mengingat pesan Rasulullah:

اللهُ يَبْغَضُ كُلَّ عَالِمٍ بِالدُّنْيَا جَاهِلٍ بِاْلأَخِرَةِ رواه الحاكم .

Artinya: Allah membenci orang yang pandai dalam urusan dunia tetapi bodoh dalam urusan akhirat. 
 
2. Tamak dengan dunia dan ketiga bakhil dengan kelebihan harta
 
Kedunya merupakan pasangan yang selalu terkait bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Karena siapa pun yang tamak dan merasa kurang dengan berbagai kepemilikan hartanya, pastilah dia akan berlaku bakhil dan sangat sayang dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. 
 
Dalam kesempatan lain Rasulullah pernah menyinggung tentang ketamakan. Beliau berkata: 
Mencintai harta adalah sumber segala kecelakaan dan keburukan. Baik keburukan fisik maupun mental.  Dan pesan ini memaksa kita introspeksi diri mengapa seringkali masuk angin gara-gara terlalu sering di jalan demi mengejar satu pekerjaan. Betapa para pebisnis itu sering kali keluar masuk rumah sakit berganti-ganti penyakit karena komplikasi yang disebabkan kurangnya perhatian dalam mengurus diri dan lebih suka mengejar materi. 
 
Meskipun ini bukanlah hukum universal yang dapat diterapkan pada semua orang, tetapi minimal menjadi pelajaran bagi kita yang mengerti. Betapa kecintaan dan ketamakan dunia selalu membawa petaka. Belum lagi petaka mental yang merusak negeri ini. Korupsi, kolusi dan juga kebiasaan berbohong demi citra diri semua bermuara pada satu kata ‘tamak terhadap dunia’. 
 
Rasulullah pernah bersabda: 
 
 الزّهْدُ فِى الدُّنْيَا يُرِيْحُ الْقَلْبَ وَالبَدَنَ وَالرُّغْبَةُ فِيْهَا تُتْعِبُ اْلقَلبَ وَاْلبَدَنَ رواه الطبرانى 
 
Artinya: Zuhud (tidak suka) dunia sangat menyenangkan hati dan badan. Sedangkan cinta dunia sangat melelahkan hati dan badan. 
 
Demikianlah bahwa kebakhilan atau pun kepelitan merupakan dampak sistemik yang tidak terhindarkan dari ketamakan dunia. Dan kebakhilan pasti akan menjauhkan seseorang dari Allah, surga dan sesama manusia. Itu artinya kesalihan bagi orang yang bakhil adalah angan-angan belaka. Dan jikalau ada kesalihan di sana pastilah itu hanya kesalehan yang semu. Karena hadits Rasulullah tentang kebakhilan yang menjauhkan seseorang dari Allah dan surga serta manusia adalah hadits sahih. 
 
3. Riya dalam beramal 
 
Riya adalah pamer yaitu melakukan satu amal ibadah (agama) dengan maksud mendapatkan pujian dari manusia. Atau dengan bahasa yang agak kasar riya dapat juga dikatakan dengan mengharapkan nilai dunia dengan pekerjaan akhirat. 
 
Rasulullah menegaskan bahwa riya termasuk dalam kategori syirik kecil (as-syirikul asyghar) dalam salah satu sabdanya: Sesungguhnya sesuatu yang sangat saya khawatirkan atas dirimu adalah syirik kecil, yaitu riya. (HR.Ahmad). 

Disebut demikian karena perwujudan riya yang sangat halus dan tidak kentara. Adanya hanya dalam hati. Tidak ketahuan di dalam tindakan diri. Para sufi mengibaratkan halusnya riya seperti semut hitam yang merayap di atas batu keras warna hitam di tengah pekat malam. Begitu halusnya riya hingga seringkali mereka yang terjangkit penyakit ini seringkali tidak sadar. 

Fudhail bin Iyadh seorang sufi pernah mencoba menjabarkan tentang riya dengan bahasa keseharian: Jika datang seorang pejabat kepadaku, kemudian aku merapikan jenggotku dengan kedua belah tanganku, maka aku benar-benar merasa khawatir kalau dicatat dalam kategori orang-orang munafik. 

Demikianlah hendaknya segala apa yang dilakukan manusia disandarkan kepada Allah. Tidak hanya semata mempertimbangkan kepentingan manusia. Apalagi jika berhubungan dengan amal ibadah murni seperti shalat, baca Al-Qur’an, zakat dan lainnya maka Allah mengancam mereka yang mendustainya dengan neraka. 
 
Rasulullah bersabda: 
 
 اِنَّ اللهَ حَرَّمَ الْجَنَّةَ عَلَى كُلِّ مُرَاءٍ 
 
Artinya: Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan surga bagi orang yang riya. 
 
4. Ujub atau membanggakan diri 

Yaitu merasa diri paling sempurna dibandingkan dengan yang lain. Ketidakbolehan perasaan ujub ini dikhawatirkan pada lahirnya kesombongan, dan kesombongan itu sendiri merupakan sifat Allah yang tidak boleh ada dalam diri manusia. 
 
Demikianlah 5 hal yang menurut Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah dapat menghalangi seseorang menjadi seorang yang salih. 

Rabu, 13 Agustus 2025

AMALAN YANG DICINTAI SANGAT PIORITAS DAN MOTIVASI MENABUNG


Para ulama mengatakan sebuah norma penting: 

العمل المتعدى افضل من العمل القاصر 

 "Perbuatan/akitifitas yang membawa efek kebaikan yang meluas, lebih utama darpada perbuatan/aktifitas yang hanya untuk diri sendiri". 

Ibadah mana yang prioritas?
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lain). Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ini, yakni masjid Nabawi selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13280. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jami’ no. 176)

Dari hadis tersebut, ibadah yang membawa manfaat bagi orang lain lebih didahulukan (lebih utama) daripada ibadah iktikaf yang hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Hal ini selama kedua amalan tersebut sama-sama ibadah sunah.


Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dalam banyak hadis juga memberitahukan kepada kita mengenai siapa sebaik-baik manusia dan selalu menggandengkannya dengan kebermanfaatannya bagi orang lain.

Pertama, perihal utang

خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

 “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketiga, menjadi suami yang paling baik terhadap keluarganya

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى.

“Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 285)

Kempat, yang paling baik akhlaknya dan menuntut ilmu

خَيْرُكُمْ إِسْلاَماً أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً إِذَا فَقِهُوا

“Sebaik-baik Islamnya kalian adalah yang paling baik akhlak jika mereka menuntut ilmu.” (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3312)

Kelima, yang memberikan makanan

خَيْرُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ

“Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.” (HR Ahmad dan dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3318)

Keenam, yang paling bermanfaat bagi manusia

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami’ no. 3289).

Umat terbaik: umat yang paling memberi manfaat
Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan).

Allah Ta’ala berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله
 : « وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ » رَوَاهُ مُسْلِمُ. 


"Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), untuk membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, dan mereka dilingkupi rahmat Allah, para malaikat akan mengelilingi mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk-Nya yang berada didekat-Nya (para malaikat).” (HR. Muslim).

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْحِمَّانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمِيرَةَ، عَنْ زَوْجِ دُرَّةَ، ابْنَةِ أَبِي لَهَبٍ، عَنْ دُرَّةَ بِنْتِ أَبِي لَهَبٍ، قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ خَيْرُ النَّاسِ؟ قَالَ: «أَتْقَاهُمْ لِلرَّبِّ، وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ، وَآمَرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ، وَأَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ»

عن كَعْب بن مالك رضي الله عنه قال: قلتُ: يا رسولَ الله، إن مِن تَوبتي أن أَنْخَلِعَ مِنْ مالي؛ صدقةً إلى الله وإلى رسولِه، فقال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم : "أمسِكْ عليك بعضَ مالِكَ؛ فهو خيرٌ لكَ".  
[صحيح] - [متفق عليه]

Dari Ka'ab bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Aku berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya sebagai bentuk taubatku, aku akan mengeluarkan seluruh hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya." Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Simpanlah sebagian hartamu karena itu lebih baik bagimu."  
[Hadis sahih] - [Muttafaq 'alaih]

Uraian :
Ka'ab bin Mālik al-Anṣāri -raḍiyallāhu 'anhu-, satu dari tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk tanpa ada kemunafikan dan alasan. Tatkala Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kembali dari perang tersebut, beliau pun mengucilkan mereka dan menyuruh para sahabat untuk isolasi mereka. 
Mereka terus-menerus tidak diajak bicara sampai turun penerimaan taubat mereka sehingga Rasul dan para sahabat pun rida. 
Karena sangat gembira dengan keridaan Allah dan penerimaan taubat, Ka'ab pun hendak menyedekahkan seluruh hartanya karena Allah -Ta'āla-. 
Lantas Nabi - ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menunjukannya kepada hal lain agar dia menyimpan sebagian hartanya. 
Sebab, ketika Allah -Ta'āla- mengetahui niatnya yang benar dan taubatnya yang baik, Dia pun mengampuni dosanya dan memaafkannya meskipun dia tidak bersedekah. 
Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya. 
Akhirnya ia menginfakkan sebagian hartanya karena senang dengan keridaan Allah -Ta'āla- dan supaya mendapatkan pahala sedekahnya di sisi-Nya, dan dia menyisakan sebagian harta tersebut untuk digunakan bagi kepentingannya, dan nafkahnya yang wajib berupa biaya dirinya sendiri dan biaya orang yang menjadi tanggungannya. 
Allah Maha Belas kasihan kepada hamba-hamba-Nya.  


Skripsi ini berjudul Semangat Menabung Dalam Al-Qur’ân. Kejadian di masa depan merupakan hal yang tidak dapat diketahui manusia, sehingga untuk masa depan kita membutuhkan persiapan. 
Menabung merupakan hal yang sangat tak asing lagi dalam masyarakat. 
Walaupun memiliki banyak manfaat, nyatanya menabung masih menjadi hal yang cukup sulit untuk dilakukan bagi sebagian orang. 

Hasil penelitian :
Ayat-ayat tentang menabung terdapat pada surat an-Nisa ayat 9, 

{ وَلۡیَخۡشَ ٱلَّذِینَ لَوۡ تَرَكُوا۟ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّیَّةࣰ ضِعَـٰفًا خَافُوا۟ عَلَیۡهِمۡ فَلۡیَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلۡیَقُولُوا۟ قَوۡلࣰا سَدِیدًا }
[سُورَةُ النِّسَاءِ: ٩]
Allah memerintahkan apabila kita khawatir terhadap keluarga kita yang lemah ekonominya dan kesejahteraannya di masa yang akan dating maka tinggalkanlah Sebagian harta untuk mereka. 
Surat al-Isra’ ayat 26 dan 27, kita dilarang untuk bersikap boros karena perbuatan boros merupakan salah satu bentuk perbuatan yang menyerupai syetan. 

{ وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِینَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِیلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِیرًا (٢٦) إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِینَ كَانُوۤا۟ إِخۡوَ ٰ⁠نَ ٱلشَّیَـٰطِینِۖ وَكَانَ ٱلشَّیۡطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورࣰا (٢٧) }
[سُورَةُ الإِسۡرَاءِ: ٢٦-٢٧]

Serta surat al-Isra’ ayat 29, setelah Allah melarang kita untuk berbuat boros, selanjutnya Allah memerintahkan kita untuk tidak berat tangan dalam kebaikan, namun juga jangan terlalu ringan hingga kita lupa terhadap kebutuhan kita juga.

{ وَلَا تَجۡعَلۡ یَدَكَ مَغۡلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبۡسُطۡهَا كُلَّ ٱلۡبَسۡطِ فَتَقۡعُدَ مَلُومࣰا مَّحۡسُورًا }
[سُورَةُ الإِسۡرَاءِ: ٢٩]

Untuk menumbuhkan semangat dalam menabung, terdapat beberapa ayat Al-Qur’ân yang dapat menjadi semangat dalam menabung. 
Yang pertama al-Kahfi ayat 82, 

{ وَأَمَّا ٱلۡجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيۡنِ يَتِيمَيۡنِ فِي ٱلۡمَدِينَةِ وَكَانَ تَحۡتَهُۥ كَنزٞ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحٗا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبۡلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسۡتَخۡرِجَا كَنزَهُمَا رَحۡمَةٗ مِّن رَّبِّكَۚ وَمَا فَعَلۡتُهُۥ عَنۡ أَمۡرِيۚ ذَٰلِكَ تَأۡوِيلُ مَا لَمۡ تَسۡطِع عَّلَيۡهِ صَبۡرٗا }
[سُورَةُ الكَهۡفِ: ٨٢]

Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang salih. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”

Yang kedua al-Asr’ ayat 1-3,

 
Yang ketiga Ali-Imran ayat 14 

{ زُیِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَ ٰ⁠تِ مِنَ ٱلنِّسَاۤءِ وَٱلۡبَنِینَ وَٱلۡقَنَـٰطِیرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَیۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَ ٰ⁠لِكَ مَتَـٰعُ ٱلۡحَیَوٰةِ ٱلدُّنۡیَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَـَٔابِ }
[سُورَةُ آلِ عِمۡرَانَ: ١٤]

Dan yang terakhir Yusuf ayat 43-49. 

{ قَالَ تَزۡرَعُونَ سَبۡعَ سِنِینَ دَأَبࣰا فَمَا حَصَدتُّمۡ فَذَرُوهُ فِی سُنۢبُلِهِۦۤ إِلَّا قَلِیلࣰا مِّمَّا تَأۡكُلُونَ (٤٧) ثُمَّ یَأۡتِی مِنۢ بَعۡدِ ذَ ٰ⁠لِكَ سَبۡعࣱ شِدَادࣱ یَأۡكُلۡنَ مَا قَدَّمۡتُمۡ لَهُنَّ إِلَّا قَلِیلࣰا مِّمَّا تُحۡصِنُونَ (٤٨) }
[سُورَةُ يُوسُفَ: ٤٧-٤٨]

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tematik (maudhu’i). Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan bacaan yang dapat merubah pandagan kita terhadap menimbun harta dan menabung, dan juga menjadikan kita tau tentang betapa bahayanya dan dampaknya akibat menimbun harta. Serta menjadikan kita lebih teliti dalam mengurus masalah keuangan kita agar tidak menjadi seorang yang pemboros dan lebih memperhatikan masa depan kita terutama untuk akhirat kelak. Keywords: Menabung, semangat, persiapan.





Minggu, 10 Agustus 2025

SHAF BERJAMAAH LAKI-LAKI DIBELAKANG PEREMPUAN.

Shaf Jamaah Shalat Laki-laki di Belakang Perempuan.

Assalamualaikum,
Saya mau bertanya mengenai  bagaimana hukum shalat apabila posisi laki-laki ketika shalat berjamaah ada di belakang wanita, seperti shalat Idul Adha atau Idul Fitri yang seringkali shaf shalatnya tak beraturan atau berantakan. 
Hal ini banyak ditemui ketika shalat Dimasjidil haroom,dan ketika Idul Adha atau Idul Fithri. 
Mohon penjelasannya. Syukron. Wassalamualaikum wr wb.

Jawaban: 

Assalamu’alaikum warahamtullahu wabarakatuh,

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. 
Dalam shalat berjamaah terdapat beberapa aturan main yang sebaiknya dilakukan jamaah, baik laki-laki maupun perempuan agar sesuai dengan tuntutan Rasulullah saw. 
Di antaranya adalah aturan main soal shaf atau barisan dalam shalat. 
Dalam sebuah hadits dikatakan sebagai berikut:

   خَيْرُ صُفُوفِ اَلرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ اَلنِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا -رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya shaf mereka adalah yang paling terakhir. 
Sedang sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang paling akhir, dan seburuk-buruknya adalah yang pertama” (H.R. Muslim)

Hadits ini harus dibaca dalam konteks shalat jamaah dimana jamaahnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. 
Jika terdiri dari laki-laki saja atau perempuan saja maka shaf yang tebaik adalah shaf pertama.

Alasan shaf yang terbaik adalah shaf pertama bagi laki-laki karena dekat dengan imam, lebih jelas dalam mendengarkan bacaan imam, dan jauh dari perempuan. 
Dan shaf yang terburuk adalah shaf yang paling belakang karena dekat dengan perempuan dan jauh dari imam. 
Sedang dalam konteks perempuan yang terbaik adalah shaf yang paling belakang karena jauh dari laki-laki. 
Dan yang terburuk adalah shaf yang pertama karena dekat dengan laki-laki.

قَوْلُهُ خَيْرُ صُفُوفِ اَلرِّجَالِ أَوَّلُهَا لِقُرْبِهِمْ مِنَ الْاِمَامِ وَاسْتِمَاعِهِمْ لِقِرَاءَتِهِ وَبُعْدِهِمْ مِنَ النِّسَاءِ وَشَرُّهَا اَخِرُهَا لِقُرْبِهِمْ مِنَ النِّسَاءِ وَبُعْدِهِمْ مِنَ الْاِمَامِ وَخَيْرُ صُفُوفِ النَّسَاءِ اَخِرُهَا لِبُعْدِهِنَّ مِنَ الرِّجَالِ وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا لِقُرْبِهِنَّ مِنَ الرِّجَالِ

“Pernyataan; ‘sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah shaf yang pertama’ karena dekatnya dengan imam, bisa mendengar dengan baik bacaannya, dan jauh dari perempuan. ‘Seburuk-buruknya shaf mereka adalah yang paling terakhir’ karena dekat dengan perempuan dan juah dari imam. ‘Sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang paling akhir’ karena jauh dengan laki-laki. 
Dan ‘seburuk-buruknya shaf perempuan’ adalah yang pertama karena dekat dengan laki-laki” (Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, juz, 2, h. 13)

Sampai di sini sebenarnya tidak ada masalah, namun persoalan akan timbul ketika misalanya shalat Id, di mana banyak jamaah laki-laki yang berada di belakang jamaah perempuan, bahkan di samping jamaah perempuan. 
Kondisi seperti ini jelas menimbulkan kesemrawutan. 
Padahal sebagaimana penjelasan di atas semestinya jamaah perempuan di belakang jamaah laki-laki.

Menanggapi kasus seperti ini, jumhurul ulama selain dari kalangan madzhab Hanafi menyatakan, apabila perempuan berdiri di shaf laki-laki maka shalatnya orang yang ada di samping dan belakangnya tidak batal. Karenanya, jika terdapat shaf perempuan yang sempurna tidak menghalangi mengikutinya laki-laki yang ada di belakang mereka.

Dengan kata lain, shalatnya laki-laki yang berjamaah di belakang shaf perempuan tidak batal.  
Begitu juga tidak batal shalat orang yang di depannya dan shalatnya perempuan sebagaimana perempuan yang berdiri bukan dalam shalat.

 وَقَالَ الْجُمْهُورُ غَيْرُ الْحَنَفِيَّةِ:إِنْ وَقَفَتِ الْمَرْأَةُ فِي صَفِّ الرِّجَالِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاةُ مَنْ يَلِيهَا وَلَاصَلَاةُ مَنْ خَلْفَهَا، فَلَا يَمْنَعُ وُجُودُ صَفٍّ تَامٍّ مِنَ النِّسَاءِ اِقْتِدَاءُ مَنْ خَلْفَهُنَّ مِنَ الرِّجَالِ، وَلَا تَبْطُلُ صَلَاةُ مَنْ أَمَامَهَا، وَلَا صَلَاتُهَا، كَمَا لَوْ وَقَفَتْ فِي غَيْرِ صَلَاةٍ،

“Jumhurul ulama selain berpendapat; jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka shalatnya orang yang ada di sebelahnya tidak batal, begitu juga shalat orang yang ada di belakangnya. Karena itu adanya shaf perempuan yang sempurna tidak bisa menghalangi mengikutinya orang laki-laki yang ada di belakangnya. Dan tidak batal shalat orang yang ada di depan perempuan, begitu juga shalatnya perempuan. Hal ini sebagaimana ia berdiri pada selain shalat” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-4, edisi revisi, juz, 2, h. 402)

Argumentasi yang dikemukan oleh mereka adalah memang ada hadits yang menunjukkan perintah untuk mengakhirkan shaf perempuan atau menempatkan shaf perempuan setelah shaf laki-laki; “akhhiruhunna min haitsu akhkharahunnallah” (akhirkan mereka (perempuan) sebagaimana Allah mengakhirkan mereka).

Namun menurut mereka, perintah mengakhirkan atau menempatkan mereka di belakang shaf laki-laki tidak serta merta merusak shalat atau membatalkannya ketika mereka tidak diakhirkan. Sebab, urutan shaf itu hanyalah sunnah nabi, sedang shaf baik shaf laki-laki maupun perempuan yang tidak sesuai dengan sunnah tersebut tidaklah membatalkan shalat. Pemahaman seperti ini didasarkan pada dalil yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas ra pernah berdiri (bermakmum) di samping kiri Rasulullah saw tetapi shalatnya tidak batal. 

وَالْأَمْرُ بِتَأْخِيرِ الْمَرْأَةِ: أَخِّرُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللهُ لَا يَقْتَضِي الْفَسَادَ مَعَ عَدَمِهِ؛ لِأَنَّ تَرْتِيبَ الصُّفُوفِ سُنَّةٌ نَبَوِيَّةٌ فَقَطْ، وَالْمُخَالَفَةُ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ لَا تُبْطِلُ الصَّلَاةَ، بِدَلِيلِ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ وَقَفَ عَلَى يَسَارِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ

“Perintah untuk mengakhirkan (menempatkan perempuan pada barisan yang akhir setelah shaf laki-laki) sebagai sabda Rasulullah saw: ‘akhirkan mereka sebagaimana Allah mengakhirkannya’, tidak dengan serta merta mengharuskan fasad (rusak) shalat ketika shaf perempuan tidak berada di belakang shaf laki-laki. Karena urut-urutan shaf itu hanya sunnah nabi saja. Sedangkan berbeda dengan sunnah tersebut, baik laki-laki maupun perempuan tidak membatalkan shalat karena ada dalil yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas ra pernah berdiri (bermakmum) di sebelah kiri Nabi tetapi shalatnya tidak batal”. 
(Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-4, edisi revisi, juz, 2, h. 402)

Dengan mengacu kepada penjelasan ini maka jika dalam shalat Idul Fitri atau Idul Adha terdapat shaf atau barisan shalat laki-laki berada di belakang shaf perempuan tidaklah membatalkan shalat, namun tetap dihukumi makruh karena meninggalkan sunnah.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa bermanfaat. Saran kami mengenai penempatan shaf baik bagi jamaah laki-laki maupun perempuan perlu di atur agar rapih. 
Di antara caranya adalah pihak takmir masjid membuat panitia pelaksanaah shalat Idul Fitri atau Idul Adha, dimana salah satu tugasnya ialah mengatur kerapian jamaah, termasuk di dalamnya mengatur shaf jamaah laki-laki maupun perempuan.

Wallahul muwaffiq ila Aqwamith Thariq,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Rabu, 06 Agustus 2025

BENARKAH BULAN SAFAR DAN REBO WEKASAN SIAL.

Benarkah Safar Adalah Bulan Sial?

Safar merupakan bulan kedua dalam penanggalan Hijriah. 
Di bulan ini tak sedikit orang yang beranggapan merupakan bulan sial yang dipenuhi musibah dan keburukan. 
Akan tetapi anggapan ini sejatinya sudah dibantah oleh para ulama salaf.

Anggapan akan kesialan bulan Safar ini berangkat dari pemahaman bahwa di bulan Safar, lebih tepatnya hari Rabu terakhir, akan diturunkannya bencana oleh Allah SWT. 
Dan bencana yang akan turun pada hari itu akan dibagikan untuk sepanjang tahun.

Namun, Rasulullah SAW telah menegaskan untuk menolak anggapan tersebut. Penolakan itu dinyatakan dalam sebuah hadits berikut:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ.
 
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. 
Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR. Bukhari).

Menanggapi hadits di atas, Imam Jalaluddin as-Suyuti mengatakan bahwa tidak ada penularan penyakit yang disebabkan oleh ular (atau sejenis cacing) yang menyerang perut seseorang di bulan Safar. 
Berikut penjelasannya:

 
لَا صَفَرَ: وَفِي مَادَّةِ «صَفَر» ذَكَرَ الحَدِيثَ: «لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ»، فَقَالَ: كَانَتِ العَرَبُ تَزْعُمُ أَنَّ فِي البَطْنِ حَيَّةً يُقَالُ لَهَا الصَّفَرُ تُصِيبُ الإِنسَانَ إِذَا جَاعَ وَتُؤْذِيهِ، وَأَنَّهَا تَعْدِي، فَأَبْطَلَ الإِسْلَامُ ذَلِكَ، وَقِيلَ: أَرَادَ بِهِ النَّسِيءَ الَّذِي كَانُوا يَفْعَلُونَهُ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ تَأْخِيرُ المُحَرَّمِ إِلَى صَفَرَ، وَيَجْعَلُونَ صَفَرَ هُوَ الشَّهْرَ الحَرَامَ، فَأَبْطَلَهُ، نِهَايَةٌ.

 
Artinya, "Tidak ada Safar": Maksudnya, entri kata Safar yang disebutkan dalam hadits: "Tidak ada penularan, tidak ada hamah (burung tanda kesialan), dan tidak ada Safar". As-Suyuti berkata: Dahulu orang-orang Arab mengira bahwa di dalam perut terdapat seekor ular (sejenis cacing) yang disebut as-Safar, yang akan menyerang seseorang ketika lapar dan menyakitinya, serta bahwa ular ini dapat menular, dan Islam membatalkan keyakinan ini. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud Safar adalah an-nasī’, yaitu kebiasaan menunda bulan Muharram ke bulan Safar yang dilakukan pada masa jahiliyah, lalu mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram, namun Islam membatalkan praktik itu. 
(Imam Jalaluddin as-Suyuti, Jam'ul Jawami', [Mesir: Darus Sa'adah/Al-Azhar, 1426 H/ 2005 M], juz 11, halaman 563)

Lebih jauh, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan terkait hadits "La Safara", bahwasanya dahulu orang Arab jahiliyah mengharamkan (tidak adanya peperangan) bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharram, dan Islam datang untuk membatalkan paham dan perbuatan tersebut. 
Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan berikut ini:

وَقِيلَ فِي الصَّفَرِ قَوْلٌ آخَرُ، وَهُوَ أَنَّ المُرَادَ بِهِ شَهْرُ صَفَرَ، وَذَلِكَ أَنَّ العَرَبَ كَانَتْ تُحَرِّمُ صَفَرَ وَتَسْتَحِلُّ المُحَرَّمَ كَمَا تَقَدَّمَ فِي كِتَابِ الحَجِّ، فَجَاءَ الإِسْلَامُ بِرَدِّ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ مِنْ ذَلِكَ، فَلِذَلِكَ قَالَ ﷺ: «لَا صَفَرَ».

Artinya: "Dikatakan bahwa yang dimaksud Safar adalah bulan Safar itu sendiri, karena orang-orang Arab dahulu mengharamkan bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharram sebagaimana telah dijelaskan di Kitab Haji. Dan Islam datang untuk membatalkan perbuatan itu, sehingga Nabi SAW bersabda: "La Safar". (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, [Riyadh: Darus Salam, 2000 M/1421 H], juz 10, halaman 211).

Jadi, pada dasarnya orang Arab jahiliyah pada waktu itu banyak yang menganggap bahwa Safar adalah bulan sial yang penuh musibah, terutama pada hari Rabu terakhir. 
Ada juga yang beranggapan bahwa Safar diartikan sebagai ular atau cacing dalam perut yang dianggap menular. 
Dan ada yang memaknainya sebagai an-nasī’ (penundaan bulan Muharram ke Safar) yang dilakukan di masa jahiliyah. 
Akan tetapi Islam telah membatalkan kedua keyakinan atau praktik ini, sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas.

Maka dari itu, anggapan bahwa Safar adalah bulan sial tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Keyakinan tersebut merupakan warisan tahayul dan kebiasaan jahiliyah dan telah diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. 
Safar adalah bulan biasa seperti bulan lainnya. 
Segala musibah atau kebaikan terjadi semata-mata karena ketentuan dan kehendak Allah, bukan karena waktu atau bulan tertentu. 
_________________________

SHALAT REBO WEKASAN

Hasyim Asyari Haramkan Salat dengan Niat Rebo Wekasan atau Rabu Terakhir Bulan Safar

Adakah salat Rabu Wekasan?...
Dengan tegas Hadlratusysyekh KH Hasyim Asyari mengharamkan salat dengan niat Rabu Wekasan.

Sekadar diketahui, KH Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Rabu Wekasan tahun ini bertepatan degan 6 Oktober 2021 disebut oleh sebagian orang dengan Rebo Wekasan atau hari Rabu terakhir di bulan Safar (Tahun Hijriah). 

Sejumlah acara ritual bertujuan tolak bala (memohon dihindarkan dari musibah) dilakukan oleh sebagian orang pada hari Rabu Wekasan itu. 

Dimulai dari sekadar berdoa kepada Allah SWT, selamatan, ada juga yang berpuasa dan bahkan salat sunnah tolak bala.

Namun, sebagaimana dilansir dari laman jatim.nu.or.id, jika salat itu diniatkan sebagai salat Rabu Wekasan, dengan tegas Hadlratusysyekh KH M Hasyim Asyari mengharamkannya :

وَلاَ يَحِلُّ اْلإِفْتَاءُ مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيْبَةِ. وَقَدْ عَرَفْتَ اَنَّ نَقْلَ الْمُجَرَّبَاتِ الدَّيْرَبِيَّةِ وَحَاشِيَةِ السِّتِّيْنَ لاِسْتِحْبَابِ هَذِهِ الصَّلاَةِ الْمَذْكُوْرَةِ يُخَالِفُ كُتُبَ الْفُرُوْعِ اْلفِقْهِيَّةِ فَلاَ يَصِحُّ وَلاَ يَجُوْزُ اْلإِفْتَاءُ بِهَا

 
Artinya: Tidak boleh berfatwa dari kitab-kitab yang aneh. Anda telah mengetahui bahwa kutipan dari kitab Mujarrabat Dairabi dan Masail Sittin yang menganjurkan salat tersebut [Rebo Wekasan] bertentangan dengan kitab-kitab fikih, maka salatnya tidak sah, dan tidak boleh berfatwa dengannya. (Tanqih al-Fatwa al-Hamidiyah, NU Menjawab Problematika Umat, PWNU Jatim)

Ustadz Ma'ruf Khozin dalam artikelnya di laman jatimnu.or.id menjelaskan, ada perbedaan pendapat terkait tradisi Rabu Wekasan ini.

Letak perbedaan pendapat hingga munculnya fatwa haram salat Rabu Wekasan sebenarnya pada titik niat.

Menurut kalangan fukaha, melakukan shalat pada hari Rabu tersebut dengan niat sebagai shalat Rabu Wekasan (Rabu akhir bulan Safar) tergolong bidah yang haram.

Sedangkan kalangan tarekat/sufi yang mengamalkannya mendasarkan pada kasyaf sebagian ulama yang mengatakan adanya turun bala’/bencana pada hari tersebut.

Namun bukan berarti NU melarang sama sekali pelaksanaan kegiatan tersebut.
 
Menengahi dua kalangan tersebut, kalangan fuqaha sendiri mengetengahkan solusinya; apabila salatnya diniatkan sebagai salat sunah muthlak atau sebagai salat hajat, maka hal itu boleh saja.

Wallahu a'lam.
 https://jatim.nu.or.id/keislaman/benarkah-safar-adalah-bulan-sial-ini-penjelasannya-REsti#:~:text=Keislaman,Jatim%20%7C%20Nahdlatul%20Ulama

Jumat, 01 Agustus 2025

5 (Lima) SANGSI PELAKU RIBA

5 Sangsi pelaku riba dalam Al-Quran.

Dalam dunia modern yang didominasi oleh kepentingan materi, riba seringkali dianggap sebagai perkara biasa. 
Banyak sekali transaksi yang sering kita temui mengandung unsur riba.

Beberapa sistem pembayaran yang tersedia saat ini secara tidak sadar disusupkan ‘penggelembungan nominal’ yang merugikan konsumen. Fenomena ini dapat ditemukan pada transaksi-transaksi yang berujung pada bunga.

Selain mengatur prosedur peribadatan, Islam juga mengatur prosedur dalam bertransaksi (muamalah) antarsesama. Dalam ketentuan di dalamnya, terdapat larangan unsur penambahan atau riba.
 
Secara gamblang Allah mengharamkan unsur riba dalam sebuah transaksi. Dasar keharaman riba dapat ditemukan pada kutipan ayat A-Quran sebagai berikut:
 
Penerima dan Pemberi Riba

 وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
 
Artinya, “Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah, 275).
 
Selayaknya keharaman pada umumnya, bagi siapa saja yang melakukan transaksi riba akan mendapatkan konsekuensi berupa sanksi. Menurut As-Sarkhasi, Allah akan menimpakan lima sanksi bagi para pelaku riba, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut:

1. Dibangkitkan dari Kubur dalam Kondisi Seperti Gila
 
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ
 
Artinya, “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan.” (QS Al-Baqarah: 275).

Ayat menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang bertransaksi secara riba akan sempoyongan seperti kesurupan setan. Penjelasan sempoyongan diambil dari kalimat يَتَخَبَّطُهُ yang berartikan memukul atau menghantam dengan cara yang tidak teratur atau menggambarkan keadaan yang tidak teratur.
 
Adapun arti secara keseluruhan ulama berbeda pendapat. Ibnu Katsir menjelaskan, pelaku riba akan dibangkitkan dari kuburannya pada hari kiamat dalam kondisi gila dan sempoyongan yang disebabkan oleh setan. (Tafsir Ibnu Katsir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1997], juz I, halaman 504).
 
Sedangkan menurut Ibnu Athiah dalam kitab tafsirnya menjelaskan, ayat ini merupakan analogi keadaan orang yang tergerak dengan ketamakan dan nafsu terhadap perdagangan riba, yang serupa dengan keadaan orang gila.
 
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 278: 
Mengapa Riba Dilarang dalam Islam?
Karena nafsu dan keinginan akan menjadikan anggota tubuhnya bergetar, sebagaimana seseorang yang berlari cepat dalam langkahnya, mencampuradukkan gerak-geriknya, baik karena ketakutan atau sebab lainnya yang menyebabkan dia seperti orang tidak waras. (Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2010], juz II, halaman 705).

2. Hilangnya Keberkahan
 
يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِۗ .

Artinya, “Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.” (QSAl-Baqarah: 275).
 
Berfokus pada persoalan riba, seseorang yang menjadi pelaku riba akan dihapus keberkahan hartanya oleh Allah. Sehingga hartanya tidak ada manfaat sama sekali.
 
Imam Al-Baghawi (wafat 516 H) memberikan tafsir mengenai ayat ini, Allah mengurangi bahkan menghilangkan keberkahan dalam harta. (Tafsir Al-Baghawi, [Riyadh, Dar Thayyibah: 1988], juz I, Halaman 344).
 
3. Diperangi Allah dan Rasul-Nya
Siksaan ini tercantum dalam firman Allah yang berbunyi:
 
فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ.

Artinya, “Jika kamu tidak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 279).
 
Ayat ini merupakan deklarasi perang oleh Allah dan Rasul-Nya bagi orang-orang yang tetap melakukan transaksi riba. Adapun perang yang dimaksud adalah dapat hukuman mati menurut sebagian mufassirin.

Mengacu pada ayat ini, Ibnu Abbas menekankan konsekuensi para pelaku riba yang tidak kunjung bertobat. Para pemimpin wajib mengingatkan mereka. Jika mereka bertobat maka yang demikian adalah kebaikan. 
Namun ketika tidak mengindahkan nasihat dari pemimpin, maka pelaku riba tersebut dihukum mati. (Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Kairo, Dar Mishriyah: 1964], juz III, halaman 363).
 

4. Kekafiran

وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ
 
Artinya, “Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa.” (QS Al-Baqarah: 276).
 
Kendatipun ayat tidak menyinggung dampak dari pelaku riba secara eksplisit, namun ayat masuk dalam ruang lingkup persoalan riba. Maksud dari ayat adalah orang yang menghalalkan riba adalah kafir, dan orang yang memakan riba adalah pendosa dan fasik. (Mausu'ah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Dzatul Salasil: 1992], juz XXII, halaman 52).

5. Kekal di Neraka

وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ.
Artinya, “Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275).
 
Adapun pengulangan yang dimaksud adalah tetap bertransaksi atau tetap menghalalkan riba sampai mati. Menurut para ulama, ketika seseorang terus-menerus melakukan transaksi riba, ia secara tidak langsung menjadi seorang kafir. Konsekuensi dari kekafiran adalah kekal di dalam neraka. (Al-Qurthubi, III/362).
 
Demikian seluruh paparan siksaan bagi para pelaku riba yang tidak segera bertobat. Semoga kita semua dijauhkan oleh Allah dari transaksi yang terdapat unsur riba. 
Wallahu a'lam.

BAHAYA SYIRIK/MUSYRIK

Bahaya Jika Kita Berbuat Syirik.

Syirik bukanlah hanya diartikan dengan seseorang menyembah berhala atau mengakui ada pencipta selain Allah. 
Hal tadi memang termasuk syirik. Namun kesyrikan sebenarnya lebih luas daripada itu. 
Dalam masalah ibadah, jika ada satu ibadah dipalingkan kepada selain Allah, itu pun sudah termasuk syirik.

Meskipun ibadah itu ditujukan kepada malaikat, orang sholeh, seorang nabi, wali, jin atau pada batu berhala, kesemuanya sama-sama syirik. Sehingga jika ada yang menyembelih dengan melakukan tumbal pada jin penjaga jembatan, maka ini pun termasuk kesyirikan karena nusuk (penyembelihan) adalah suatu ibadah. Begitu juga bergantungnya hati atau tawakkal adalah ibadah, sehingga jika seseorang menggantungkan hati pada jimat, penglaris, rajah, wafaq, susuk dan pelet dengan tujuan untuk kesaktian, membuat laris dagangan, atau menarik cinta, ini pun termasuk kesyirikan. Namanya ibadah hanya boleh ditujukan pada Allah semata. Inilah makna syirik yang patut kita pahami dengan baik.

Jika kita telah memahami hal ini, maka perlu diketahui bahwa kesyirikan memiliki bahaya yang amat besar dan pengaruh ini akan dirasakan di dunia dan akhirat kelak. Tulisan berikut ini akan mengupas beberapa bahaya kesyirikan secara global dan ringkas:

1. Segala kejelekan di dunia dan akhirat diakibatkan oleh syirik.

2. Sebab utama kesulitan di dunia dan akhirat adalah karena syirik.

3. Rasa khawatir dan lepasnya rasa aman di dunia dan akhirat disebabkan karena syirik. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’am: 82).

4. Orang yang berbuat syirik akan sesat di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa’: 116).

5. Orang yang berbuat syirik akbar (besar) tidak akan diampuni oleh Allah jika mati dan belum bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’: 48).

6. Jika seseorang berbuat syirik akbar (besar), seluruh amalannya bisa terhapus. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 88).

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65).

7. Orang yang berbuat syirik akbar pantas masuk neraka dan diharamkan surga untuknya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ.
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah: 72).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ.
“Barangsiapa yang mati dalama keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia akan masuk neraka” (HR. Muslim no. 93).

8. Syirik akbar membuat pelakunya kekal dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (QS. Al Bayyinah: 6).

9. Syirik adalah sejelek-jelek perbuatan zholim dan sejelek-jeleknya dosa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” (QS. Lukman: 13).

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’: 48).

10. Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang yang berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin” (QS. At Taubah: 3).

Melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai bahaya syirik, saat ini kita akan mengulas beberapa bahaya syirik lainnya berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. 
Hal ini perlu diulas karena mengingat begitu berbahanya syirik. 
Namun begitulah kaum muslimin kurang peduli akan hal ini. Dosa yang berada di bawah kesyirikan didemo habis-habisan. 
Beda halnya ketika mereka memperlakukan orang yang pergi ke kuburan-kuburan wali dan berbuat kesyirikan di sana. 
Na’udzu billahi min dzalik.

Berikut lanjutan bahaya kesyirikan lainnya:

11. Syirik adalah sebab utama yang mendatangkan murka dan siksa Allah, serta menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Semoga Allah melindungi kita dari segala hal yang mendatangkan murka Allah.

12. Syirik menghapuskan cahaya fithroh seorang hamba. Karena seorang hamba pertama kali dijadikan dalam keadaan fithroh yaitu di atas tauhid dan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Rum: 30).

Begitu pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ » . ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ) الآيَةَ

“Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan di atas fithroh. Ayahnya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, apakah kamu melihat ada yang cacat padanya?” Lantas Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- membacakan ayat (yang artinya), “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658).

Begitu pula dalam hadits qudsi disebutkan,

وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِى مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hunafa’ (islam) semuanya, kemudian syetan memalingkan mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya” (HR. Muslim no. 2865). Yang dimaksud hunafa’ adalah dalam keadaan Islam, sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah (Syarh Shahih Muslim, 17: 197).

13. Syirik mengantarkan pada pengagungan terhadap jiwa yang hina. Karena orang musyrik merendahkan diri pada setiap thogut di muka bumi. Karena sandaran hatinya hanyalah makhluk yang tidak dapat melihat dan tidak berakal. Yang mereka sembah adalah selain Allah dan menghinakan diri padanya. Ini sungguh adalah bentuk penghinaan pada diri sendiri.

14. Syirik akbar (besar) menjadikan halalnya darah dan harta sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku memerintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal ini, maka darah dan harta mereka aman kecuali jika ada sebab hukum Islam dan hisab mereka tergantung pada Allah” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 21).

15. Syirik akbar (besar) menyebabkan permusuhan antara pelakunya dengan orang beriman. Tidak boleh seorang mukmin memiliki loyalitas dengan orang musyrik walau itu kerabat dekat. Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al Mujadilah: 22).

16. Syirik ashgor (kecil) mengurangi keimanan seseorang dan sebagai wasilah (perantara) menuju syirik akbar.

17. Syirik khofi (yang samar) seperti syirik dalam riya’ dan beramal dengan tujuan mencapai dunia, syirik seperti ini akan menghapuskan amalan yang terkait dengannya. Dan syirik khofi lebih dikhawatirkan dari Al Masih Dajjal dan lebih dikhawatirkan akan menimpa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al Masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “ (HR. Ahmad dalam musnadnya. Dihasankan oleh Syaikh Albani Shahiihul Jami’ 2604)
Semoga dengan mengetahui hal ini semakin membuat kita khawatir dengan kesyirikan. Dan semoga Allah menjauhkan kita dari berbuat syirik, apa pun jenisnya.
Wallahu waliyyut taufiq.

Senin, 14 Juli 2025

7 TUJUH GOLONGAN YG AMALNYA BAGAIKAN DEBU

7 Tujuh Golongan yang Amalnya Bagaikan 
Debu yang Beterbangan

Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu disebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ

“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817).

Sementara dalam beberapa ayat diterangkan bahwa amalan adalah sebab seorang masuk surga. Seperti ayat berikut,

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal sholeh kalian dahulu di dunia” (QS. Az-Zukhruf : 72).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : Bagaimana menggabungkan antara ayat dan hadis ini (yakni hadis Jabir di atas, pent)? Jawabannya, kedua dalil di atas bisa dikompromikan, di mana peniadaan masuknya manusia ke dalam surga karena amalnya dalam arti balasan, sedangkan isyarat bahwa amal sebagai kunci masuk surga dalam arti bahwa amal itu adalah sebab, bukan pengganti” (Syarah Riyadhus Sholihin, 1/575).

Ini isyarat bahwa tidak benar bila kemudian seorang berpangku tangan merasa cukup bergantung dengan rahmat Allah, lalu meninggalkan  amal sholih karena menganggapnya tidak penting. Karena Allah menetapkan segala sesuatu dengan sebab dan akibat. Dalam hal ini, Allah ‘azzawajalla menjadikan sebab mendapatkan rahmatNya; yang menjadi sebab meraih surga, dengan amal shalih.

Dalam Al-Quran terdapat satu ayat yang selalu membuat takut dan gemetar para salaf dalam membacanya, karena ayat tersebut menunjukkan bahwa di hari kiamat kelak ada sebagian hamba ketika berjumpa dengan Allah ia mendapatkan azab yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.  Ayat tersebut adalah:

وَبَدَا لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مَا لَمۡ يَكُونُواْ يَحۡتَسِبُونَ ٤٧

Artinya: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS Az-Zumar; 47)

Nah, di antara orang-orang yang akan mendapatkan azab Allah yang tak disangka-sangka tersebut adalah tujuh golongan yang disebutkan Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam bukunya “Al-Mahajjah fi Sair Ad-Duljah”. Tujuh golongan ini semuanya merasa bahwa mereka memiliki amalan saleh yang akan menyelamatkan mereka di hadapan Allah Ta’ala, namun ternyata amalan baik mereka tersebut terhamburkan laksana debu yang beterbangan, tanpa memiliki nilai apa pun di sisi Allah, lalu mereka pun ditimpakan azab yang tidak disangka-sangka. Tujuh golongan tersebut adalah:

Pertama; Seseorang yang memiliki banyak amalan saleh seraya mengharapkan secara takjub dan bangga bahwa dirinya akan mendapatkan ganjaran kebaikan atasnya, namun di akhirat kelak amalan-amalannya tersebut berubah menjadi debu yang beterbangan, bahkan amalan ini berubah menjadi dosa baginya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣

Artinya; “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqan ; 23)

Al-Fudhail rahimahullah berkata; “Mereka sewaktu di dunia beramal dengan banyak amalan sambil mengharapkan (secara takjub dan bangga) ganjaran kebaikan atasnya, namun ketika di akhirat amalan-amalan tersebut berubah menjadi dosa-dosa”.

Kedua; Seseorang yang melakukan dosa sambil meremehkannya, sehingga dosa ini menjadi sebab ia mendapatkan azab, sebagaimana dalam firman Allah ;

وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ ١٥

Artinya; “Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS An-Nur ; 15)

Sebagian para sahabat berkata kepada para tabiin; “Sesungguhnya kalian kadang melakukan suatu amalan yang nilainya lebih kecil di mata kalian daripada sehelai rambut, namun dahulu di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kami menganggapnya  sebagai suatu dosa besar yang membinasakan”.

Ketiga; Orang yang amalan buruknya dihiasi oleh setan sebagai amalan baik, sehingga ia pun melihatnya sebagai suatu kebaikan. Allah berfirman;

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

Artinya; “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (QS Al-Kahfi ; 103-104)

Keempat; (Orang-orang yang riya’ dengan amalan salehnya) .Tentang ayat ini “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS Az-Zumar ; 47), dahulu Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata; “Celakalah orang-orang yang riya’ dengan (ancaman) ayat ini”.

Ucapan beliau ini juga terdapat dalam hadis yang mengisahkan tentang tiga golongan yang pertama kali dijerumuskan dalam api neraka, yaitu; orang yang menuntut ilmu agar diberi gelar ulama, orang yang gemar bersedekah agar disebut dermawan, dan orang yang berjihad agar disebut mujahid.

Kelima: Orang yang beramal saleh namun ia banyak menzalimi orang lain. Ia menyangka bahwa amalannya akan menyelamatkannya di akhirat kelak, namun ternyata ia mendapatkan dari Allah suatu azab yang tidak pernah ia sangka. Semua amalannya dibagi-bagi kepada orang-orang yang ia zalimi, dan jika pahala amalannya telah habis terbagi, namun orang yang ia zalimi masih ada yang menuntut hak darinya, maka dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya, lalu ia dijerumuskan ke dalam neraka.

Keenam; Seseorang beramal saleh -namun kurang bersyukur-, lalu di akhirat kelak akan ditanyai oleh Allah ketika amalannya dihisab, lalu ia dituntut untuk menebus nikmat yang ia dapatkan di dunia dengan amalannya, dan ternyata nikmat terkecil saja tidak bisa ditebus kecuali dengan seluruh amalannya, sehingga nikmat-nikmat yang belum ia tebus dimintai tebusannya namun karena amalannya telah habis, maka ia pun diazab. Sebab itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda; “Siapa yang dihisab secara detail, maka ia pasti diazab”.

Ketujuh; Kadangkala seseorang memiliki dosa tertentu yang menghapus semua amalannya kecuali amalan tauhid, sehingga ia pun dimasukkan kedalam neraka terlebih dahulu. Dalam Sunan Ibnu Majah dari riwayat Tsauban secara marfu’ ;

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

Artinya ; “Saya sungguh mengetahui suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung-gunung Tihamah yang putih, namun Allah ‘Azza wa Jalla menjadikannya laksana debu yang beterbangan”. Tsauban bertanya; “Wahai Rasulullah, sebutkan kami ciri-ciri mereka agar kami tidak termasuk dalam golongan mereka sedangkan kami mengetahui akibatnya”. Beliau bersabda; “Mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari bangsa kalian. Mereka mengerjakan ibadah malam sebagaimana kalian beribadah malam, akan tetapi mereka adalah suatu kaum yang apabila dalam keadaan menyendiri, mereka melakukan hal-hal yang diharamkan Allah ta’ala”.[3]

Ya’qub bin Syaibah dan Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dari hadis Salim Maula Abi Hudzaifah radhiyallahu’anhuma secara marfu ‘; “Sungguh  ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung-gunung Tihamah, namun ketika mereka didatangkan dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, Dia menjadikan pahala amalan tersebut laksana debu yang beterbangan lalu Dia menjerumuskan mereka kedalam neraka”.

Salim berkata; “Saya khawatir akan termasuk dari golongan mereka”. Rasulullah melanjutkan; “Sesungguhnya mereka dahulu berpuasa sebagaimana kalian puasa, mengerjakan shalat dan ibadah malam sebagaimana kalian mengerjakannya, namun mungkin saja mereka dahulu tatkala di dunia jika mendapati perkara haram mereka mengerjakannya, sehingga Allah pun menghapus amalan mereka”.

ketika tidak memanfaatkannya.

PERINGATAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].

Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang besar dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian terhadap nikmat ini. Di antara bentuk kerugian ini adalah:

Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allâh di dunia dan di akhirat.
Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara point-point yang menunjukkan urgensi waktu.

Waktu Adalah Modal Manusia. Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.[1]

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Abdul-‘Aziz rahimahullah berkata:

إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ فِيْهِمَا

Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah pada malam dan siang itu.[2]

2. Waktu Sangat Cepat Berlalu. Seseorang berkata kepada ‘Âmir bin Abdul-Qais rahimahullah, salah seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab: “Tahanlah jalannya matahari!” Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.
Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata: “Jika aku telah mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di dalam kebaikan dan ketaatan”.

Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali. Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056].

Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi Salaf lebih mahal dari pada uang.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ

Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya daripada terhadap dirham dan dinarnya.[3]

Sebagian penyair berkata:

وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ … وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ

Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.

4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya. Oleh karena itu Allâh Ta’ala banyak memerintahkan untuk bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan.
Al-Hasan berkata:

اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini.[4]

KENYATAAN MANUSIA DALAM MENYIKAPI WAKTU

Berikut adalah beberapa keadaan manusia dalam menyikapi waktu.

1. Orang-orang yang amalan shalih mereka lebih banyak daripada waktu mereka. Diriwayatkan bahwa Syaikh Jamaluddin al-Qâshimi rahimahullah melewati warung kopi. Dia melihat orang-orang yang mengunjungi warung kopi tenggelam dalam permainan kartu dan dadu, meminum berbagai minuman, mereka menghabiskan waktu yang lama. Maka Syaikh berkata, “Seandainya waktu bisa dibeli, sungguh pasti aku beli waktu mereka!”
Orang-orang yang menghabiskan waktu mereka dalam mengejar perkara yang tidak berfaidah, baik berupa ilmu yang tidak bermanfaat, atau urusan-urusan dunia lainnya. Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah menyebutkan seorang laki-laki yang menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta. Ketika kematian mendatanginya, dikatakan kepadanya, “Katakanlah lâ ilâha illa Allâh,” namun ia tidak mengucapkannya, bahkan ia mulai mengucapkan, “Satu kain harganya 5 dirham, satu kain harganya 10 dirham, ini kain bagus”. Dia selalu dalam keadaan demikian sampai ruhnya keluar.
Orang-orang yang tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan terhadap waktu. Seorang ulama zaman dahulu berkata: Aku telah melihat kebanyakan orang menghabiskan waktu dengan cara yang aneh. Jika malam panjang, mereka habiskan untuk pembicaraan yang tidak bermanfaat, atau membaca buku percintaan dan begadang. Jika waktu siang panjang, mereka habiskan untuk tidur. Sedangkan pada waktu pagi dan sore, mereka di pinggir sungai Dajlah, atau di pasar-pasar. Aku ibaratkan mereka itu dengan orang-orang yang berbincang-bincang di atas kapal, kapal itu terus berjalan membawa mereka dan berita mereka. Aku telah melihat banyak orang yang tidak memahami arti kehidupan. Di antara mereka, ada orang yang telah diberi kecukupan oleh Allâh Azza wa Jalla , ia tidak butuh bekerja karena hartanya yang sudah banyak, namun kebanyakan waktunya pada siang hari ia habiskan dengan nongkrong di pasar (kalau zaman sekarang di mall dan sebagainya, Pen.) melihat orang-orang (yang lewat). Alangkah banyaknya keburukan dan kemungkaran yang melewatinya. Di antara mereka ada yang menyendiri bermain dengan permainan yang melalaikan. Di antara mereka ada yang menghabiskan waktu dengan kisah-kisah kejadian tentang raja-raja, tentang harga yang melonjak dan turun, dan lainnya. Maka aku mengetahui bahwa Allâh tidak memperlihatkan urgensi umur dan kadar waktu kesehatan kecuali kepada orang-orang yang Allâh berikan taufiq dan bimbingan untuk memanfaatkannya. Allâh berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. [Fushilat/41:35].

Adapun yang menjadi penyebab perbedaan keadaan manusia dalam menyikapi waktu, kembali kepada tiga perkara berikut.

1. Sebab pertama, tidak menetapkan tujuan hidup. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui bahwa tujuan Allâh menciptakannya adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [adz-Dzariyat/51:56].

Dia harus mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat beramal, bukan tempat santai dan main-main, sebagaimana firman-Nya:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? [al-Mukminun/23:115].

Dunia adalah sawah ladang akhirat. Jika engkau menanam kebaikan di dunia ini, maka engkau akan memetik kenikmatan abadi di akhirat nanti. Jika engkau menanam keburukan di dunia ini, maka engkau akan memetik siksaan pedih di akhirat nanti. Namun demikian, ini bukan berarti manusia tidak boleh bersenang-senang dengan perkara yang Allâh ijinkan di dunia ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Demi Allâh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa di antara kamu kepada Allâh, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat (malam) dan tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dariku. [HR al-Bukhari, no. 4776; Muslim, no. 1401]

Sebab kedua, bodoh terhadap nilai dan urgensi waktu.
Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad. Banyak orang mengetahui nilai dan urgensi waktu, dan mengetahui perkara-perkara bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi waktu, tetapi karena lemahnya kehendak dan tekad, mereka tidak melakukannya. Maka seorang muslim wajib mengobati perkara ini dan bersegera serta berlomba melaksanakan amalan-amalan shalih, serta memohon pertolongan kepada Allâh Ta’ala, kemudian bergabung dengan kawan-kawan yang shalih. Jika kita benar-benar mengerti tujuan hidup, dan kita benar-benar memahami nilai waktu, maka seharusnya kita isi waktu kita dengan perkara yang akan menjadikan ridha Penguasa kita, Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Âmîn.
engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)

Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)

Perusak Persauadaraan/pertemanan :

Pertama: Tamak Terhadap Apa Yang Ada Di Tangan Yang Lain Dan Cenderung Pada Keduniaan

ini termasuk akhlaq yang paling tercela, yaitu tamak dengan milik orang lain dan hasad.

Kedua: Ghibah

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” Mereka berkata, “Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian menyebut saudaramu dengan apa yang dia tidak sukai”. Dikatakan, “Apa pendapat Anda jika apa yang aku sebutkan ada pada saudaraku?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika apa yang engkau katakan ada padanya, sungguh engkau telah men-ghibah-nya, jika yang kau katakan tidak benar sungguh engkau berdusta dan mengada-ada”.

Ketiga: Tajassus (Memata-Matai Yang Lain)

وَلَا تَجَسَّسُوا

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang [Al-Hujurat/49:12]

Keempat: Lamz Dan Ghamz (Mencela Dan Meremehkan) Orang Lain

Al-Humajah.: kecelakaan yang besarlah bagi pengumpat lagi pencela

Kelima: Sikhriyyah (Merendahkan yang Lain)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurat/49:11] Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hal ini juga salah satu hak seorang Mukmin atas Mukmin yang lain agar tidak saling mencela satu sama lain dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan penghinaan karena hal tersebut diharamkan. Hal ini juga menunjukkan ketakjuban pencela pada dirinya sendiri.

Abu Hamid Al-Ghazali berkata,

ِوَأَصْلُ تَأْدِيْبِ الصِّبْيَانِ الْحِفْظُ مِنْ قرنَاءِ السُّوْء

“Inti pendidikan anak adalah menjauhkan anak dari teman teman yang buruk.” [Ihya’ Ulumuddin 1/95]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ

“Seseorang akan sesuai dengan kebiasaan/sifat sahabatnya. Oleh karena jtu, perhatikanlah siapa yang akan menjadi sahabat kalian ”. [HR. Abu Dawud]

Permisalan teman yang baik dan buruk sebagaimana permisalan penjual minyak wangi dan pandai besi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلا (٢٧) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلإنْسَانِ خَذُولا (٢٩)

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. [Al-Furqan/25: 27-29]

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. Az Zukhruf : 67di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Jama’ah…Sungguh Allah tidak pernah memerintahkan kepada kita untuk beribadah di satu bulan dan berhenti di bulan lainnya. Sampai ulama mengingatkan : ‘seburuk-buruknya kaum adalah mereka yang mengenal Allah hanya di bulan ramadhan, lalu mereka melupakan Allah di bulan-bulan lainnya. Lalu sampai kapan kita beramal ?

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (Q.S. Al Hijr : 99).

Jama’ah Shalat Ied Rahimakumullah…

Sungguh Allah telah memberikan berbagai peringatan kepada kita dengan berbagai musibah bencana maupun wabah. Allah pernah mengingatkan kita dengan gempa bumi, telah menegur kita dengan banjir bandang, dan hari ini Allah memperingatkan kita dengan wabah covid 19, kalau dengan peringatan wabah yang begitu mengguncang seluruh sisi kehidupan kita ini masih juga tidak membuat kita kembali ke Jalan Allah, bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, lalu peringatan seperti apalagi yang bisa merubah kita?

Maka jama’ah, jika kita tidak mampu bersaing dengan orang-orang shalih dalam ibadah dan amal-amal mereka, berlomba-lombalah dengan para pendosa di dalam istigfar dan taubat mereka kepada Allah. Akhirnya marilah kita berdo’a kepada Allah agar trus memberikan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.

اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ