Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Rabu, 17 Desember 2025

UPAH GURU NGAJI

Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama. 

“Pahlawan tanpa tanda jasa” merupakan gelar yang sering disematkan kepada sosok guru di Indonesia. Penyematan gelar ini kiranya tak berlebihan mengingat begitu besar jasa guru yang diberikan dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Karena jasanya adalah ilmu yang sifatnya abstrak, akhirnya mereka dijuluki pahlawan tanpa tanda jasa. 

 
Guru merupakan sosok yang sangat berjasa dalam hidup seseorang. Statusnya kerap kali disandingkan dengan orang tua yang berjasa melahirkan manusia ke alam dunia ini. Bahkan tidak sedikit ulama yang menganggap derajat guru lebih mulia daripada orang tua. Hal ini karena orang tua dianggap sebagai abul jasad (orang tua fisik) sedangkan guru dianggap sebagai abur ruh (orang tua jiwa-spiritual). Urusan jiwa atau rohani jelas lebih utama dari sekedar urusan fisik, karena jiwa akan kekal abadi di akhirat nanti.

 
Di satu sisi, seorang guru memang memiliki kedudukan yang istimewa berkat jasa dan ilmunya. Namun di sisi lain, ia memiliki tanggung jawab keilmuan untuk menyebarkan ilmu yang ia miliki kepada umat. Menyebarkan ilmu adalah kewajiban bagi seorang yang berilmu, sedangkan menyimpan ilmu dengan cara tidak diajarkan dan disebarluaskan adalah perbuatan tercela.
 
Nabi Muhammad saw. telah melarang orang berilmu untuk menyembunyikan ilmunya dan mengancam pelakunya dengan siksaan yang keras di neraka. Beliau bersabda:

 
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

 
Artinya: “Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu tetapi ia menymbunyikannya, maka ia akan dikekang kelak di hari kiamat dengan kekang dari api neraka.” (HR Ibnu Majah)

 
Jika menyebarkan ilmu merupakan sebuah kewajiban, lantas bagaimana hukumnya jika seorang guru ngaji menuntut atau menerima bayaran dari kegiatan mengajar yang ia lakukan? Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 159:

 
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

 
Mengutip keterangan dari Ibnu Abbas ra, Imam al-Suyuthi menjelaskan bahwa ayat tersebut turun disebabkan oleh sikap orang-orang Yahudi yang tidak mau menjawab pertanyaan sebagian sahabat Nabi terkait kandungan kitab Taurat. Mereka enggan menyampaikan kebenaran yang ada dalaam kitab Taurat terutama perihal Nabi Muhammad Saw. Akhirnya, sebagai respon dari sikap lari dari amanah keilmua tersebut, maka Allah Swt. menurunkan ayat ini. (Al-Suyuthi, Al-Durr al-Mantsur, [Beirut, Darul Fikr, t.th], juz 1, hlm 161).

 
Meskipun konteks ayat di atas adalah ancaman bagi orang Yahudi, tetapi ada sebagian ulama yang menjadikan ayat ini sebagai landasan untuk mengharamkan seorang guru mengambil upah/gaji. Pasalnya, secara tekstual ayat ini menjelaskan tentang kewajiban untuk menyebarkan ilmu. Karena menyebarkan ilmu merupakan sebuah kewajiban, menerima gaji/upah atas usaha tersebut tidak dibenarkan. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, [Beirut: Dar Ihyaut Turats ‘Arabi, 1420 H.], juz 4, hlm. 141)

Baca Juga

Hukum Menerima Upah dari Membaca Al-Qur’an
 
Mereka yang notabene mengharamkan gaji guru notabene merupakan ulama mutaqaddimin. Bahkan, Syaikh Ali al-Shabuni meyakini bahwa para ahli fiqih mutaqaddimîn semuanya sepakat mengharamkan praktik tersebut. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir, Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm 107).

 
Selain ayat di atas, ulama yang mengharamkan guru mematok bayaran, terutama guru ngaji atau guru agama, melandaskan pendapat mereka pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 41:

 
...وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

 
Artinya: “...Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”

 
Meskipun ayat di atas turun berkaitan dengan orang-orang Yahudi, tetapi ada banyak ketentuan-ketentuan umum yang bisa diambil dari ayat tersebut. Salah satunya terkait hukum menerima (menuntut) upah mengajar. Dalam kitab tafsirnya, imam al-Qurthubi menjelaskan,

 
وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي أَخْذِ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ وَالْعِلْمِ- لِهَذِهِ الْآيَةِ وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا- فَمَنَعَ ذَلِكَ الزُّهْرِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالُوا: لَا يَجُوزُ أَخْذُ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ لِأَنَّ تَعْلِيمَهُ وَاجِبٌ مِنَ الْوَاجِبَاتِ الَّتِي يُحْتَاجُ فِيهَا إِلَى نِيَّةِ التَّقَرُّبِ وَالْإِخْلَاصِ فَلَا يُؤْخَذُ عَلَيْهَا أُجْرَةٌ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ

 
Artinya: “Ulama berbeda pandangan terkait mengambil bayaran mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu berdasarkan ayat ini (atau ayat yang serupa). Imam al-Zuhri dan kelompok ahlur ra’yi tidak memperbolehkannya dengan alasan bahwa hukum mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu adalah wajib yang memerlukan niat untuk ikhlas dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga mengambil bayaran untuk tindakan tersebut tidak boleh, sebagaimana shalat dan puasa”. 

 
Alasan ulama yang melarang guru mengambil bayaran karena mengajar adalah salah satu kewajiban. Sesuatu yang wajib mau tidak mau harus dilakukan dengan ikhlas tanpa mengharap imbalan material. Ia sama seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya yang harus dilakukan tanpa pamrih. 

 
Namun menurut mayoritas ulama, mengambil upah atas kegiatan mengajar adalah diperbolehkan. Dalam Tafsir al-Qurthubi, dijelaskan:

 
وَأَجَازَ أَخْذَ الْأُجْرَةِ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَأَبُو ثَوْرٍ وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ- حَدِيثِ الرُّقْيَةِ-: (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ). أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَهُوَ نَصٌّ يَرْفَعُ الْخِلَافَ فَيَنْبَغِي أَنْ يُعَوَّلَ عَلَيْهِ

 
Artinya: “Imam malik, al-syafi’i ahmad, Abu Tsaur dan mayoritas ulama memperbolehkan mengambil bayaran atas kegiatan mengajar al-Qur’an. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw, tentang ruqyah yang diriwayatkan oleh ibnu abbas ra: ‘Sesunggunya, perkara yang paling berhak kalian minta upah (sebagai imbalan karena telah melakukan perkara tersebut) adalah kitab Allah. (HR Al-Bukhari)’. Ini adalah nas yang dapat menghilangkan perbedaan sehingga seyogianya ia dapat dijadikan acuan”. (Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al-Quran, [Kairo: Darul Kutub Al-Mishriyah, 1384 H.], juz 1, hlm. 335).

 
Adapun alasan kelompok pertama yang menyamakan aktivitas mengajar dengan ibadah-ibadah lain seperti shalat dan puasa kurang tepat. Pasalnya, shalat dan puasa merupakan ibadah personal yang manfaatnya hanya akan dirasakan oleh pribadi yang mengerjakan. Sedangkan mengajar adalah ibadah yang manfaatnya bisa dirasakan oleh orang banyak sehingga menerima gaji dari kegiatan belajar mengajar menjadi dibolehkan.

 
Imam al-Alusi menjelaskan bahwa pendapat yang difatwakan adalah pendapat yang kedua, yaitu bolehnya seorang guru menerima upah atau gaji. Alasannya agar keberadaan ilmu agama di muka bumi ini terus eksis dan tidak sampai punah. (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah, 1415 H], juz 1, hlm. 121).

 
Lebih jauh lagi, Syaikh Ali al-Shabuni menjelaskan bahwa sebenarnya alasan yang diungkapkan oleh kalangan mutaqaddimîn lebih teliti dan mendalam. Selain itu, menerapkan pendapat mereka di kondisi tersebut sangatlah mungkin lantaran semangat belajar umat masih tinggi. 

 
Beda halnya dengan kondisi zaman berikutnya di mana semangat belajar umat telah merosot. Terlebih lagi di masa kita sekarang yang didominasi oleh pola pikir materialistik yang hanya fokus pada masalah keduniaan, belajar agama menjadi hal yang bisa dikatakan langka. Dengan pertimbangan inilah ulama muta'akhirîn membolehkan guru menerima gaji/upah, bahkan ada yang berpendapat wajib dengan alasan menjaga ilmu agama. (Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, [Mesir, Maktabatu Syuruq al-Dauliyah, t.th], juz 1, hlm. 107).

 
Dengan demikian, ulama masih berbeda pendapat tentang kebolehan seorang guru menerima gaji. Namun, perdebatan tersebut harus kita sikapi dengan bijak. Seorang guru harus mengutamakan keikhlasan dalam menyebarkan ilmu Allah dan tidak boleh pamrih. Pasalnya, ilmu adalah amanah Allah untuk diamalkan dan disebarkan kepada semua orang.

 
Namun di sisi lain, guru adalah seorang manusia yang memerlukan biaya hidup. Faktanya, tidak semua orang berilmu memiliki kehidupan yang mapan dan serba berkecukupan. Sehingga tidak salah jika murid, lembaga, atau bahkan negara menyediakan bayaran untuk kegiatan belajar-mengajar. 

 
Bahkan sejatinya, sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan tenaga pendidik dengan memenuhi kebutuhan finansial mereka karena pendidikan merupakan pilar utama kemajuan sebuah bangsa dan peradaban. Sebuah negara akan maju jika sektor pendidikannya juga maju. Kita patut mencontoh peradaban-peradaban yang pernah menguasai dunia. Sejarah mencatat bahwa mereka berhasil membangun kejayaan lantaran didasari oleh perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. 

PAHALA MENGAJAR NGAJI KEANAK KECIL

وأخرج الديلمي في "المسند" عن ابن عباس رضي الله عنهما، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "إن المعلم إذا قال للصبي: قل {بسم الله الرحمن الرحيم}. فقال: كتب الله للمعلم وللصبي ولأبويه براءة من النار".

وأخرج ابن السني، والديلمي عن علي- كرم الله وجهه-، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "إذا وقعت في ورطة فقل: {بسم الله الرحمن الرحيم {ولا حول ولا قوة إلا بالله العليم العظيم. فإن الله تعالى يصرف بها ما شاء من أنواع البلاء".

وأخرج أبو نعيم والديلمي: لما نزلت {بسم الله 
الرحمن الرحيم} ضجت

Wallahu a’lam. 

Minggu, 14 Desember 2025

PEMIMPIN BAIK DAN DZHOLIM

KABAR BAIK BAGI PEMIMPIN ADIL & PERINGATAN BAGI PEMIMPIN ZALIM.

وعن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اللهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ، وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا، فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ.

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Wahai Allah, siapa yang diserahi mengurus salah satu di antara urusan umatku, lalu dia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan atasnya. 
Dan barang siapa yang diserahi untuk mengurus salah satu di antara urusan umatku, lalu dia memudahkan urusan mereka, maka berilah kemudahan pada urusannya.’”

TAKHRIJ HADIS:
Hadis ini diriwayatkan oleh imam Ahmad (24622), Imam Muslim (1828), Ibnu Hibban (553) dan yang lainnya dari jalur Abdullah bin Wahb al-Mishri, dari Harmalah bin Imran al-Mishri, dari Abdurrahman bin Syumasah al-Mishri, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Di antara keunikan untaian sanad di atas adalah:

Semua rawinya dari Mesir, bahkan salah satu rawi dari Abdullah bin Wahb adalah cucu dari Harmalah bin Imran, yaitu Harmalah bin Yahya bin Harmalah bin Imran al-Tujibi al-Mishri sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Shahih-nya.
Seorang rawi laki-laki (Abdurrahman bin Syumasah) meriwayatkan dari seorang rawi perempuan, yaitu ibunda Aisyah radhiyallahu anha.
Abdurrahman bin Syumasah melakukan rihlah ke Kota Madinah demi meriwayatkan hadis ini dari Aisyah radhiyyallahu anha.
Ibunda Aisyah radhiyyallahu anha tidak mengenal Abdurrahman bin Syumasah ketika beliau meriwayatkan dan mengajarkan hadis ini kepada Abdurrahman sebagaimana dijelaskan di kisah yang akan dipaparkan setelah ini.
Hadis di atas berlatar belakang sebuah kisah, yaitu dialog antara Abdurrahman bin Syumasah dan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah bertanya kepada Abdurrahman, “Dari mana engkau datang?” Abdurrahman menjawab, “Saya datang dari Mesir,” kemudian Aisyah bertanya lagi, “Bagaimana sikap pemimpin[1] kalian kepada kalian selama dalam peperangan ini?” Maka Abdurrahman menjawab, “Tidak ada sedikit pun perkara yang kami benci darinya, jika ada unta kami yang mati, maka pemimpin kami mengganti dengan unta pula, jika ada budak kami yang mati, maka diganti dengan budak pula, dan jika kami membutuhkan nafkah, maka dia memberikan kami nafkah pula.” Maka Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya sikap yang dilakukan oleh pemimpin kalian kepada saudara kandungku (yaitu Muhammad bin Abu Bakar yang terbunuh oleh amir tersebut) tidak menghalangiku untuk mengabarkan kepadamu ucapan yang saya dengarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Aisyah radhiyallahu anha menyebutkan doa di atas.

PROFIL SAHABAT:[2]
Aisyah al-Shiddiqah binti Abi Bakar al-Shiddiq. 
Ibunda beliau adalah Ummu Ruman binti ‘Amir bin ‘Uwaimir al-Kinaniyah. 
Beliau dilahirkan 4 atau 5 tahun setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, antara lain:

Beliau adalah sahabat wanita yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 
Jumlah hadis yang beliau riwayatkan mencapai 2210 hadis.[3]
Beliau adalah seorang wanita yang fakih, bahkan beliau termasuk pakar dalam bidang fatwa. 
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mendaulat beliau sebagai 7 besar sahabat Rasulullah yang paling banyak berfatwa pada masa tersebut.[4] 
Tentunya ini menunjukkan kecerdasan dan kapasitas keilmuan yang beliau miliki.
Beliau adalah wanita yang suci dan bersih. 
Telah datang tazkiyah dari Allah tentang kesucian tersebut di dalam al-Qur’an surat An-Nur pada saat banyak di kalangan sahabat yang meragukan kesucian beliau dikarenakan informasi yang disebarkan secara masif terkait “perselingkuhan” beliau dengan salah seorang sahabat.
Salah satu wanita yang paling dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang jelaskan oleh Rasulullah di dalam hadis Abdullah bin Amr bin al-Ash ketika beliau ditanya tentang orang paling dicintai.[5]
Beliau adalah satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah dalam keadaan gadis. 
Bahkan Rasulullah menikahi beliau dalam usia yang sangat belia, dan telah valid riwayat yang menginformasikan bahwa Rasulullah menikahi beliau ketika berusia 6 atau 7 tahun, namun keduanya tidak langsung hidup bersama kecuali ketika usia Aisyah radhiyallahu ‘anha mencapai 9 tahun. 
Menikahi wanita yang berusia sangat belia bukanlah aib bagi adat istiadat Suku Quraisy pada saat itu, bahkan perkara ini merupakan adat kebiasaan yang dipraktikkan oleh mereka. Di antara buktinya:

Pertama: perbedaan usia sebagian sahabat dengan anaknya sangat pendek, di antaranya selisih usia antara Amr bin al-Ash dengan putranya Abdullah bin Amr bin al-Ash hanya 12 tahun.[6]

Kedua: adalah perkara aksiomatis bahwa yang terbesar permusuhannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kaum kafir Quraisy yang dimotori oleh Abu Jahal, dan laksaan cara digunakan untuk meruntuhkan kredibelitas dan integritas Rasulullah, di antaranya adalah dengan menyematkan olokan dan julukan buruk kepada beliau. 
Namun tidak ada satupun orang-orang kafir Quraisy yang mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkawinan beliau dengan Aisyah. 
Jika perkara tersebut adalah aib, maka niscaya akan dijadikan bahan olokan dan cemohan mereka mengingat orang Quraisy menyematkan laksaan celaan dan cemohan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Aisyah radhiyallahu ‘anha wafat pada tahun 58 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’.

PENJELASAN HADIS:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

اللهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا

“Wahai Allah, siapa yang diserahi mengurus salah satu di antara urusan umatku…”

Urusan yang diisyaratkan oleh hadis ini umum sebab lafaz hadis ini mengandung makna umum yang ditunjukkan oleh kaidah yang dikandung lafaz hadis, yaitu al-nakirah fi siyaqi al-syarth tufid al-‘umum (kehadiran kata yang nakirah dalam redaksi kalimat yang mengandung syarat, menunjukkan keumuman).

Maka urusan yang diisyaratkan oleh hadis di atas mencakup urusan pemerintahan secara umum, seperti pemimpin negara, atau pemimpin daerah, atau pemimpin kementrian dan lain sebagainya, dan juga mencakup urusan administrasi secara khusus, seperti, rektor universitas, atau kepala sekolah, atau direktur perusahaan, dan lain sebagainya.[7]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
فَشَقَّ عَلَيْهِمْ، فَاشْقُقْ عَلَيْهِ

“Lalu dia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan atasnya.”

Lafaz hadis ini menyebutkan amalannya dan balasannya. Amalannya adalah menyulitkan urusan rakyatnya atau bawahannya, yang dimaksud dengan menyulitkan urusan adalah menyulitkan urusan yang dicela oleh syariat yaitu dengan berlaku zalim kepada rakyat atau bawahannya. 
Definisi zalim adalah meletakkan urusan tidak sesuai dengan tempatnya. 
Di antara contohnya adalah menyulitkan urusan rakyat yang secara regulasi sejatinya mudah, atau merampas harta rakyat secara zalim, atau menghukum seseorang dengan semena-mena, dan lain sebagainya.

Adapun mempraktikkan regulasi dan undang-undang yang berpotensi menghadirkan kesulitan kepada terpidana kasus yang diakomodir oleh syariat atau sesuai dengan regulasi dan undang-undang yang telah disepakati -khususnya dalam perkara yang tidak ada nasnya yang gamblang di dalam syariat- maka tidak termasuk dalam ancaman hadis ini. 
Contohnya adalah menegakkan hudud (hukuman yang ditentukan syariat) pada pelanggaran tertentu yang telah ditentukan oleh syariat seperti memotong tangan bagi pencuri, atau menegakkan hukuman mati bagi orang yang membunuh,[8] atau hukuman penjara bagi orang yang curang dalam jual beli dan transaksi, dan lain sebagainya.

Adapun balasannya adalah doa ditimpakan kesulitan atas pemimpin tersebut. 
Sebuah pertanyaan terbetik dalam benak : 
Apakah kesulitan yang tercakup dalam doa di atas khusus kesulitan di kehidupan dunia saja atau mencakup kesulitan di kehidupan akhirat juga? Jawabannya, jika menelisik zahir hadis maka mencakup kesulitan di dunia dan di akhirat. Di antara contoh kesulitan dunia adalah ditimpakan musibah dan malapetaka bagi orang tersebut, baik yang menimpa badannya berupa penyakit, atau musibah yang menimpa hartanya atau keluarganya, dan sebagainya. Adapun contoh kesulitan akhirat seperti mendapat siksa kubur, atau kesulitan ketika proses hisab atau bahkan azab yang pedih di neraka.[9]

Hadis ini adalah ancaman yang mengerikan bagi para pemegang urusan umat sebab redaksi hadis ini adalah doa. Ada dua ancaman yang ditebar oleh hadis ini:

Pertama, para pemegang urusan tersebut terancam dengan doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara langsung.

Kedua, mereka terancam dengan doa orang-orang yang dizaliminya.

Taruhlah orang yang terzalimi tidak mendoakan pemimpinnya, namun dia belum terlepas dari ancaman doa orang yang paling mulia di muka bumi ini, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ

“Lalu dia memudahkan urusan mereka, maka berilah kemudahan pada urusannya.”

Konten hadis ini adalah kebalikan dari hadis yang telah dijelaskan di atas, maka yang dimaksud dengan memudahkan urusan di sini adalah memudahkan urusan dengan tidak menyelisihi syariat atau menyelisihi undang-undang yang berlaku, dan secara prinsip agama memudahkan urusan orang lain adalah tuntutan selama tidak menyelisihi syariat. 
Jadi memudahkan urusan di sini bukan melepaskan orang yang bersalah dari jeratan hukuman yang telah disepakati atau hukuman yang telah ditentukan oleh syariat, namun memperlakukan rakyat atau bawahan sesuai dengan regulasi yang berlaku, baik regulasi yang telah disepakati maupun regulasi yang berdasarkan pada syariat.

Adapun balasannya adalah doa kebaikan yang datang dari lisan mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar dimudahkan urusannya di dunia dan di akhirat.

FIKIH HADIS:
Hadis ini mengandung ancaman yang mengerikan bagi penguasa dan para pemimpin yang berlaku zalim kepada rakyat dan bawahannya, dan ancaman ini terkandung dalam doa buruk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas mereka.
Hadis ini juga mengandung berita gembira bagi para penguasa dan pemimpin yang adil dan berlaku baik kepada rakyatnya, yaitu dimudahkan segala urusannya di dunia dan akhirat. 
Keadilan para penguasa dan pemimpin dapat direpresentasikan dengan memudahkan urusan rakyatnya atau bawahannya, atau memperlakukan rakyat sesuai dengan regulasi yang berlaku, baik regulasi yang berpijak pada syariat atau regulasi yang disepakati secara bersama yang mengandung maslahat yang tidak ada nasnya secara gamblang di syariat.
Hadis ini menunjukkan disyariatkannya mendoakan kebaikan bagi para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang adil dan baik bagi rakyatnya maupun pemimpin yang zalim, sebab mendoakan mereka adalah kunci keberkahan dan maslahat bagi masyarakat secara umum. Dengan doa tersebut diharapkan pemimpin yang adil dan bijaksana akan bertambah keadilan dan kebijaksanaannya, adapun pemimpin yang zalim diharapkan dengan doa tersebut untuk mendapatkan hidayah dan rahmat dari Allah sehingga dapat dibimbing sehingga berubah menjadi pemimpin yang adil dan bijaksana.
Hadis ini menunjukkan bolehnya mendoakan kebinasaan bagi penguasa dan pemimpin yang zalim,[10] 
sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan keburukan sebagian umara dengan terang-terangan, sebagaimana yang tertuang dalam sebuah riwayat dari Hushain bin Abdurrahman al-Sulami mengatakan,

كُنْتُ إِلَى جَنْبِ عِمَارَةَ بْنِ رُوَيْبَةَ وَبِشْرٌ يَخْطُبُنَا، فَلَمَّا دَعَا، رَفَعَ يَدَيْهِ، فَقَالَ عُمَارَةُ: قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ أَوْهَاتَيْنِ الْيُدِيَّتَيْنِ ” رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَخْطُبُ، إِذَا دَعَا يَقُولُ هَكَذَا، وَرَفَعَ السَّبَّابَةَ وَحْدَهَا

“Suatu saat saya berada di samping Umarah bin Ruwaibah, sedang Bisyr (bin Marwan) sedang berkhotbah di hadapan kami. Ketika berdoa, dia mengangkat kedua tangannya, maka Umarah mengatakan, ‘Semoga Allah membinasakan kedua tangan itu. Sesungguhnya saya melihat Rasulullah sedang berkhotbah, jika beliau berdoa (ketika khutbah) hanya dengan mengangkat jari telunjuknya.’”[11]

Secara implisit hadis ini menunjukkan bolehnya memberikan “perlawanan” kepada penguasa atau pemimpin yang zalim, khususnya pada perkara yang melampaui syariat. Di antaranya dengan mendoakan keburukan bagi pemimpin yang zalim tersebut atau menempuh jalur hukum dan pengadilan jika pemimpin merampas harta secara zalim dan curang. Adapun hadis dari Hudzaifah bin Yaman, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Hendaknya taat dan patuh kepada pemimpin, kendati dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka hendaknya engkau tetap taat dan patuh.”[12]

Maksud hadis ini adalah tetap taat dan patuh kepada pemimpin yang zalim, dan larangan untuk khuruj (memberontak), meskipun pemimpin tersebut sangat zalim, yang kezalimannya sampai mengambil harta dan menyakiti rakyatnya secara fisik. Namun hadis ini tidak menunjukkan ketaatan total dan mutlak kepada seorang pemimpin. 
Bahkan ada riwayat lain yang menjelaskan ketaatan tersebut pada perkara yang makruf (yang baik) dan yang sesuai dengan syariat saja. Adapun kepada perkara-perkara yang menyelisihi syariat, maka tidak boleh taat dan patuh kepada mereka, kendati ketidaktaatan tersebut terbatas dan tidak sampai kepada proses khuruj (memberontak) kepada pemimpin. 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan (kepada manusia) pada maksiat, sesungguhnya ketaatan itu pada perkara yang makruf.”[13]

Praktiknya di kalangan ulama salaf adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ahmad rahimahullah ketika tersebar fitnah tentang al-Qur’an adalah makhluk. 
Keteguhan beliau dalam mempertahankan akidah al-Qur’an adalah firman Allah berkonsekuensi pada di hukumnya beliau secara zalim oleh khalifah pada zaman itu, dan beliau tetap konsisten untuk tidak memberontak kepada khalifah, namun beliau menampakkan sikap yang “berlawanan” kepada kemungkaran yang tersebar pada saat tersebut terkait al-Qur’an adalah makhluk, yang mana beliau mengeluarkan statement yang berlawanan dengan yang datang dari khalifah bahwa al-Qur’an adalah makhluk. 
Beliau justru mengatakan,

القرآن كلام الله تكلم به ليس بمخلوق ومن زعم أن القرآن مخلوق فهو جهمي كافر

“Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk (diciptakan), dan barang siapa yang mengklaim bahwa al-Qur’an makhluk maka dia termasuk sekte Jahmiyah yang kafir.”[14]

Dan kisah Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan yang lainnya, bahwa ada seorang laki-laki ikut berperang dengan Abu Musa al-Asy’ari (pada saat itu beliau menjadi gubernur Kota Bashrah), kemudian mereka menang dalam sebuah peperangan dan mendapatkan ganimah, maka Abu Musa memberi orang tersebut bagiannya dari ganimah tersebut namun bagian yang diberikan tidak sempurna dan utuh, maka orang tersebut menolak pemberian Abu Musa dan menginginkan semua harta rampasan perang tersebut untuknya. 
Maka Abu Musa al-Asy’ari menghukum orang tersebut dengan 20 pukulan cambuk dan menggundul rambutnya. Maka orang tersebut mengumpulkan rambutnya (sebagai barang bukti), kemudian dia pergi menghadap kepada khalifah Umar bin al-Khattab dan mengadukan kezaliman Abu Musa al-Asy’ari kepadanya dan memohon keadilan baginya sehingga Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abu Musa untuk mengklarifikasi pengaduan tersebut.[15]

Beratnya beban menjadi pemimpin atau penanggung amanah yang berkaitan dengan orang banyak.
Bolehnya interaksi dan komunikasi antara laki-laki dan wanita, selama memperhatikan ketentuan syariat, seperti komitmen dengan hijab, aman dari fitnah, dan bagi pihak wanita hendaknya menegaskan suara.
Wallahu a’lam bish shawab.

Footnote:

[1] Ada dua pendapat terkait nama pemimpin ini: Amr bin al-Ash atau Mu’awiyah bin Hudaij al-Tujibi. Lihat al-Mufhim karya al-Qurthubi (4/24).

[2] Lihat al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah (8/16-20).

[3] Al-Ba’its al-Hatsis hal. 170.

[4] I’lamul Muwaqqi’in karya Ibnu Qayyim (1/20).

[5] Shahih al-Bukhari (3662) dan Shahih Muslim (2384).

[6] https://islamsyria.com/site/show_articles/3831

[7] Minhatul ‘Allam Syarh Bulughul Maram (10/224-225).

[8] https://saadalkhathlan.com/1402.

[9] Idem.

[10] Idem.

[11] Musnad Ahmad (17224).

[12] Shahih Muslim (1847).

[13] Shahih al-Bukhari (7257).

[14] Aqidah Imam Ahmad riwayat al-Khallal hal.79.

[15] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (18/310-311), no hadis (34518) dan al-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi (16450).

Minggu, 07 Desember 2025

HUKUM MENDESAH KETIKA BERSETUBUH

HUKUM MENDESAH

PERTANYAAN;

Apakah boleh suami mendesah atau merintih saat jima'

JAWABAN;

Menurut Imam Syafi'i, Iman Hanafi, Imam Ahmad, mendesah, merintih saat jimak hukum nya makruh, kecuali berbicara saat yg perlu, misalkan suami berbicara menyuruh mengatur posisi jimak. 

Menurut Imam Maliki boleh 

الموسوعة الفقهية الكويتية ـ ج: ٣٥ ـ ص: ١٢٠

الْكَلاَمُ عِنْدَ الْجِمَاعِ:
٢٤ - ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى كَرَاهَةِ الْكَلاَمِ عِنْدَ الْجِمَاعِ.
قَال الْحَنَفِيَّةُ: يُكْرَهُ الْكَلاَمُ عِنْدَ الْجِمَاعِ لِلنَّهْيِ عَنْهُ، وَقِيل مَكْرُوهٌ تَنْزِيهًا، وَقِيل تَحْرِيمًا، قَالُوا: يُكْرَهُ الْكَلاَمُ فِي ثَلاَثَةِ مَوَاضِعَ: بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَالْخَلاَءِ وَعِنْدَ الْجِمَاعِ لأَِنَّهُ أَقْوَى فِي إِسَاءَةِ الأَْدَبِ.
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ: الْمُجَامِعُ يُكْرَهُ لَهُ التَّكَلُّمُ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ، فَإِنْ عَطَسَ عِنْدَ قَضَاءِ الْحَاجَةِ أَوِ الْجِمَاعٍ حَمِدَ اللَّهَ بِقَلْبِهِ وَلاَ يُحَرِّكُ لِسَانَهُ.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ: وَتُكْرَهُ كَثْرَةُ الْكَلاَمِ حَال الْوَطْءِ.
وَقَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَيُكْرَهُ الإِْكْثَارُ مِنَ الْكَلاَمِ حَال الْجِمَاعِ لأَِنَّهُ يُكْرَهُ الْكَلاَمُ حَال الْبَوْل وَحَال الْجِمَاعِ فِي مَعْنَاهُ (١) .
وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ يَكْرَهُ أَنْ يُذْكَرَ اللَّهَ عَلَى حَالَيْنِ: عَلَى الْخَلاَءِ وَالرَّجُل يُوَاقِعُ أَهْلَهُ (٢) .
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ: لِلرَّجُل أَنْ يُكَلِّمَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ الْوَطْءِ وَلاَ إِشْكَال فِي جَوَازِهِ وَلاَ وَجْهَ لِلْكَرَاهَةِ (٣) .
وَتَفْصِيل ذَلِكَ فِي مُصْطَلَحِ (وَطْءٌ) .

الموسوعة الفقهية الكويتية ـ ج: ٤٤ ـ ص: ١٧

و كَمَا يُسْتَحَبُّ غَضُّ الصَّوْتِ وَعَدَمُ الإِْكْثَارِ مِنَ الْكَلاَمِ عِنْدَالْجِمَاعِ (٣) ، وَيُكْرَهُ لِلرَّجُل وَطْءُ حَلِيلَتِهِ بِحَيْثُ يَرَاهُمَا أَوْ يَسْمَعُ حِسَّهُمَا أَوْ يُحِسُّ بِهِمَا أَحَدٌ غَيْرَ طِفْلٍ لاَ يَعْقِلُ، وَلَوْ رَضِيَ الزَّوْجَانِ. وَذَلِكَ إِذَا كَانَا مَسْتُورِي الْعَوْرَةِ، وَإِلاَّ حَرُمَ مَعَ انْكِشَافِ الْعَوْرَةِ. نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ

ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺒﺠﻴﺮﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻄﻴﺐ - ‏ج: ١ ـ ص: ١٥٨

قَوْلُهُ: (وَجِمَاعٍ) أَيْ أَوَّلُهُ وَتُكْرَهُ فِي أَثْنَائِهِ؛ لِأَنَّ الْكَلَامَ فِي حَالَةِ الْجِمَاعِ مَكْرُوهٌ؛ لِأَنَّ الْمُنَاسِبَ فِيهِ السُّكُوتُ أَيْ فِي غَيْرِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْجِمَاعِ، أَمَّا مَا يَتَعَلَّقُ بِهِ وَهُوَ مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ التَّمْكِينُ مِنْ الْمَرْأَةِ كَأَنْ يَقُولَ لَهَا: تَقَدَّمِي أَوْ تَأَخَّرِي فَلَا يَكُونُ مَكْرُوهًا، وَأَمَّا الْغُنْجِ بِالْغَيْنِ وَالنُّونِ وَالْجِيمِ فَلَيْسَ مِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالْجِمَاعِ كَمَا ذَكَرَهُ ع ش

Wollohu a'lam

Yg penting gk tasyabbuh ketika Mendesah,

Gunakan Mendesah yg syar'ie😍😀

اوه لا.. اوه نعم ..اوه لا.. اوه نعم.

Jumat, 05 Desember 2025

7 Kewajiban Orang Tua Pada Anak

7 Kewajiban Orang Tua pada Anak

Tangis bayi yang pecah saat proses persalinan usai merupakan hal yang didamba-dambakan oleh seorang ayah dan ibu. 
Seluruh keluarga menyambutnya dengan riang gembira. Bahkan di dalam Al-Qur'an menjelaskan pada manusia bagaimana Allah SWT menyampaikan kabar gembira atas kelahiran para nabi secara langsung lewat malaikat.

Kelahiran Nabi Ishaq as dan Nabi Ya'qub as ada di dalam surat Hud ayat 71.
  
وَامْرَاَتُهٗ قَاۤىِٕمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنٰهَا بِاِسْحٰقَۙ وَمِنْ وَّرَاۤءِ اِسْحٰقَ يَعْقُوْبَ

Artinya: "Istrinya berdiri, lalu tersenyum. 
Kemudian, Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya‘qub (putra Ishaq)."
 
Kelahiran Nabi Yahya as ada di dalam surat Maryam ayat 7.
 
يٰزَكَرِيَّآ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ  ࣙاسْمُهٗ يَحْيٰىۙ لَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
 
Artinya: "(Allah berfirman,) “Wahai Zakaria, Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya yang nama itu tidak pernah Kami berikan sebelumnya.”

Sebelum melangkah lebih jauh, kelahiran anak ke dunia yang disambut dengan ekspresi syukur itu, ternyata ada tanggung jawab besar yang harus dijalankan oleh orang tua, antara lain.
  
1. Mengumandangkan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri bayi oleh ayahnya setelah bayi dinyatakan bersih dan suci.

 
2. Tahnik. Memasukkan makanan yang mengandung zat gula ke dalam mulut bayi secara merata (madu, kurma, dan sejenisnya) dengan jari-jari tangan.
 
3. Menyusuinya dengan Air Susu Ibu (ASI). 
Karena secara medis, baik bagi pertumbuhan anak. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 233 (Juz 2)

 
۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ  لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَاۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَاۗ وَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

 
Artinya: Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. 
Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. 
Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. 
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. 
Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
 
4. Memberi nama pada anaknya. 
Dengan harapan nama tersebut menjadi doa bagi anak dalam perkembangannya kelak.

إِنَّكُمْ تَدْعُونَ يَومَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ

Artinya: Sesungguhnya di hari kiamat nanti kalian akan dipanggil nama-nama kalian dan nama-nama bapak kalian. Oleh karena itu buatlah nama-nama yang baik untuk kalian. (HR. Abu Dawud)

5. Mengaqiqahi anak dengan menyembelih kambing (2 ekor untuk bayi laki-laki dan 1 ekor untuk bayi perempuan). Kemudian mencukur rambut. Semua itu bagian dari rasa syukur atas kelahiran anaknya.

كلُّ غلامٍ مرتَهَنٌ بعقيقتِهِ تذبحُ عنْهُ يومَ السَّابعِ ويُحلَقُ رأسُهُ ويُسمَّى
الراوي : سمرة بن جندب | المحدث : الألباني | المصدر : صحيح ابن ماجه | الصفحة أو الرقم : 2580 | خلاصة حكم المحدث : صحيح | التخريج : أخرجه ابن ماجه (3165) واللفظ له، وأخرجه أبو داود (2838)، والترمذي (1522) باختلاف يسير.
 
Menurut Jumhur, Q.S. Al-Baqarah [2]: 233.
Menegaskan penyusuan secara sempurna, dua tahun. 
Dengan demikian, status ibu-ibu yang tidak bersedia memberikan ASI kepada bayinya adalah khianat.

Menyusui bayi sendiri hingga bayi berusia dua tahun hanyalah sebatas anjuran. Sebagaimana diterangkan dalam penghujung ayat tersebut. 
"Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya." (Qs Al Baqoroh: 233).

6.Khitan


وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabb-nya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “JanjiKu (ini) tidak mengenai orang-orang yang lalim”. [al Baqarah/2 : 124].

Khitan termasuk fitrah yang disebutkan dalam hadits shahih. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

الفِطْرَةُ خَمْسُ : الخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأَظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ

“Lima dari fitrah yaitu khitan, istihdad (mencukur bulu kemaluan), mencabut bulu ketiak, memotong kuku dan mencukur.


7.Memberikan pendidikan yang layak pada anak, mulai sejak kecil hingga dewasa. 
Juga memberinya nafkah yang halal dan memberinya tempat tinggal.

8.Menikahkan anak dengan orang yang shalih atau shalihah. Sebagaimana dalam QS. An-Nur: 32 (Juz 18)
 
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
 
Artinya: Nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu, baik laki-laki maupun perempuan. 
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dengan demikian, lahirnya anak/keturunan ke dunia sebagai khalifah fil ardhi harus dipahami betul oleh orang tua. Karena masa depan agama dan bangsa ada di tangan anak-anaknya.
Semoga bermanfa'at...
Wallahu a'lam.

Rabu, 03 Desember 2025

HUKUM KPR/NYICIL RUMAH DALAM ISLAM

Hukum KPR dalam Islam, 
Boleh atau Tidak?

Hukum KPR dalam Islam terbagi menjadi dua macam, yakni KPR yang diperbolehkan dan KPR yang diharamkan. KPR sendiri merupakan sebuah mekanisme kredit yang diberikan kepada nasabah untuk mempermudah mereka dalam memiliki rumah.

Mengutip laman OJK, KPR adalah fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada para nasabah perorangan yang akan membeli atau memperbaiki rumah. Pihak perbankan akan menentukan sendiri mengenai jumlah besaran kredit dan bunga yang dibayarkan oleh nasabah.

Dalam sistem muamalah Islam, bunga bank merupakan produk perbankan yang diharamkan karena mengandung sistem riba di dalamnya. Lalu, bagaimana dengan hukum bunga KPR dalam Islam?

Hukum KPR dalam Islam
Mengutip jurnal Hukum Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Dalam Perspektif Islam karya Ira Apriyanti, hukum KPR dalam Islam terbagi menjadi dua macam, yakni:

1. Hukum KPR dalam Islam Melalui Bank Konvensional
Pada Produk KPR pada perbankan konvensional, akadnya didasarkan pada prinsip pinjam-meminjam dengan memanfaatkan bunga sebagai variabelnya. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan antara kreditur dan debitur.

Pihak bank akan memberikan pinjaman kepada nasabah untuk membayar hunian kepada pihak developer atau pemilik bangunan. Setelah itu, nasabah berkewajiban untuk mencicil pembayaran KPR dan bunga pinjaman uang kepada pihak bank.

Dikarenakan ada unsur bunga di dalamnya, maka hukum KPR melalui bank konvensional adalah haram. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni, ia berkata, "Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.”

Hukum haram ini tidak hanya mencakup pihak bank sebagai debitur, namun juga kepada nasabah sebagai kreditur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits. Diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598)

2. Hukum KPR dalam Islam Melalui Bank Syariah
Ada banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk membeli rumah tanpa menggunakan sistem riba, salah satunya adalah dengan KPR melalui bank syariah. Sistem dalam KPR Syariah berbeda dengan KPR konvensional.

Dalam KPR syariah, yang menjadi dasar transaksi adalah mekanisme jual beli yang disebut dengan ‘Bai’ al Murabahah lil Aamir bi asy Syira’. Sistem jual beli dalam KPR syariah diawali dengan adanya akad yang disampaikan oleh nasabah dan pihak perbankan.

Pihak perbankan akan membeli rumah yang diinginkan oleh nasabah kepada pihak developer. Setelah itu, pihak bank akan menjual kembali rumah tersebut kepada nasabah dengan harga lebih tinggi daripada harga beli dari developer/pemilik rumah. Selanjutnya, nasabah akan membayar kepada bank Syariah dengan cara mengangsur dengan waktu yang telah disepakati kedua belah pihak.

Keuntungan yang didapat dari KPR syariah berasal dari nilai margin yang ditetapkan di awal sesuai dengan jangka waktu yang dipilih oleh nasabah untuk melunasi utangnya. Semakin lama jangka waktu yang dipilih, maka nilai margin yang dikenakan semakin besar.

Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa DSN-MUI Nomor 73 Tahun 2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah menyatakan bahwa kebolehan melakukan transaksi dengan menggunakan KPR Syariah adalah boleh. Dasar hukum yang diambil adalah surat Al-Baqarah ayat 275.

Allah berfirman: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs. Al-Baqarah: 275)

Menurut MUI, prinsip sistem KPR syariah pada dasarnya sama dengan prinsip jual beli, yakni asas tolong menolong. Oleh karenanya, sistem angsuran melalui KPR syariah diperbolehkan menurut fatwa MUI karena tidak mengandung riba.
 Semoga bermanfaat
Wallahu A'lam.

Minggu, 30 November 2025

HAROKAT DOA DIBULAN ROJAB

Dua Versi Doa Bulan Rajab: ‘Fi Rajaba’ dan ‘Fi Rajabin’

Baik fi rajaba atau fi rajabin, masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. 

Menjelang dan selama bulan Rajab, ada sebuah doa populer dan banyak dipanjatkan umat Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah shallalhu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits beliau yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhuma. 
Lafal doa dimaksud adalah sebagai berikut:

 اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغنَا رَمَضَانَ.
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Permasalahannya adalah kata رجب pada lafal doa tersebut seharusnya dibaca atau diucapkan bagaimana, apakah رَجَبَ (rajaba) ataukah رَجَبٍ (rajabin)? 

Permasalahan tersebut mucul sebab di masyarakat memang berkembang dua versi. Ada yang mengucapkan رَجَبَ  (rajaba) sebagaimana lafal doa di atas, ada pula yang mengucapkan رَجَبٍ (rajabin) sebagaimana lafal doa di bawah ini:
 
  اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
 
(Allâhumma bâriklanâ fî rajabin wa sya’bâna wa ballighnâ ramadhâna) 
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Berkembangnya dua versi yang berbeda tersebut di masyarakat wajar sebab apa yang tertulis di buku-buku atau kitab-kitab dan apa yang terekam dalam bentuk audio atau audio-visual seperti di YouTube, juga menyajikan kedua versi tersebut. 

Pertanyaannya adalah versi manakah di antara keduanya yang lebih baik menurut aturan nahwu atau tata bahasa Arab?

Jawabnya, kedua versi tersebut masing-masing memiliki argumentasinya sendiri sebagai berikut:

1. Versi رَجَبَ (rajaba) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبَ (rajaba) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca fathah (a) رَجَبَ sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim ghairu munsharif (yakni suatu isim yang tidak boleh ditanwin dan dikasrah). Kata tersebut menolak tanwin dan kasrah karena termasuk isim ‘alamiah dan mengikuti wazan fi’il فَعَلَ (fa’ala). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبَ (rajaba).  

2. Versi رَجَبٍ (rajabin) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca kasrah tawin رَجَبٍ (rajabin) sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim munsharif (yakni suatu isim yang boleh ditanwin dan dikasrah). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبٍ (rajabin).  

Perbedaan pendapat tersebut dapat dipertemukan dengan merujuk pada kitab karangan Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i sebagai berikut:

  أن رجب وصفر من الشهور إذا أريد بهما معين يمنع صرفهما للعلمية، والعدل عن الرجب والصفر.... وفي المصباح أن رجب الشهر مصروف وإن أريد به معين. اهـ 

Artinya: “Bahwa Rajab dan Shafar adalah bulan-bulan yang jika dimaksudkan sebagai bulan Rajab dan Shafar tertentu (misalnya tahun ini-pen.), maka keduanya merupakan isim ghairu munsharif. Yang menjadi mani’ sharif-nya adalah alamiyah; dan ‘udul-nya disebabkan masing-masing berasal dari kata ar-Rajab (الرجب), dan as-Shafarالصفر) ). Dalam kitab al-Mishbah dikatakan bahwa Rajab adalah nama bulan yang termasuk isim munsharif meski yang dimaksud adalah bulan Rajab tertentu.” (Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i, Hasyiyah Al-Khudhari, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2017), juz 2, hal. 246). 

Kesimpulannya, baik رَجَبَ (rajaba) maupun رَجَبٍ (rajabin) bisa sama-sama benar dengan catatan رَجَبَ (rajaba) digunakan untuk merujuk bulan Rajab yang sudah tertentu, misalnya tahun ini atau tahun depan saja. Jika yang dimaksud bulan Rajab adalah Rajab secara umum, maka menurut Imam al-Khudhari, sebaiknya menggunakan رَجَبٍ (rajabin). Tetapi menurut kitab al-Misbah, sebagaimana dikutip Imam al-Khudhari, pengucapan yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin). Alasannnya kata رجب adalah isim munsharif.    
Wallahu A'lam bisshowab.

Sabtu, 29 November 2025

HUKUM ORANG MAMPU MASIH TERIMA BANSOS

Syariat Tidak Membenarkan Orang Mampu Masih Terima Bansos.

Deskripsi Masalah:
Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan alam yang melimpah. 
Akan tetapi masih banyak dari penduduk yang masih dalam keadaan miskin atau kekurangan. 

Pemerintah mencoba meringankan beban masyarakat dengan memberikan bantuan langsung atau Bansos. Pemerintah sudah bekerja keras untuk menyesuaikan arah bantuan kepada orang-orang yang memang berhak dan membutuhkan dana bantuan. Namun masih ada saja beberapa kejadian yang mana sebagian masyarakat merasa mampu dan dengan sadar diri mengembalikan dana bantuannya. 

Namun, ada juga sebagian masyarakat yang tetap menerima walaupun menurut tetangga-tetangganya ia sudah termasuk orang mampu. Sebagian masyarakat ada yang meminta kepada tetangganya yang mendapat bantuan untuk membagi rata dengan dirinya karena mereka merasa dirinya tidak mampu dan berhak mendapat bantuan. 
Sebagai catatan bahwa kewenangan bantuan sosial ada pada pemerintah. 

Pertanyaan:
Apakah dibenarkan menurut syariat orang yang mampu memenuhi kebutuhannya tetapi tetap menerima bantuan sosial (Bansos)? 

Jawaban:
Tidak dibenarkan kecuali orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum dengan jumlah sesuai kebijakan pemerintah dan kemaslahatan.

Referensi:

المجموع شرح المهذب (9/ 349)
(فَرْعٌ) قَالَ الْغَزَالِيُّ مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عاجزعَنْ الْكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ اشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ أَنْوَاعِ عُلَمَاءِ الدِّينِ كَعِلْمِ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ وَالْقِرَاءَةِ وَنَحْوِهَا وَيَدْخُلُ فِيهِ طَلَبَةُ هَذِهِ الْعُلُومِ وَالْقُضَاةُ وَالْمُؤَذِّنُونَ وَالْأَجْنَادُ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلَاءِ مَعَ الْغِنَى وَيَكُونُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إلَى رَأْيِ السُّلْطَانِ وَمَا تَقْتَضِيه الْمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضِيقِ الْمَالِ وَسَعَتِهِ.

Artinya: Harta mashalih hanya ditasarufkan pada orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum atau orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena tidak bisa bekerja. 
Seperti orang yang mengatur kebaikan orang Islam, maka dicukupi kebutuhanya dari Baitul Maal, seandainya orang tersebut bekerja maka dia tidak bisa mengatur kebaikan orang Islam. 
Begitu juga seluruh ulama agama sesuai dengan bidangnya, para pelajar, hakim, muadzin, tentara, dan diperbolehkan menasarufkan kepada mereka yang sudah kaya (berkecukupan) sesuai kebijakan pemerintah dan kebaikannya.

حاشية الجمل - (16 / 215)
 وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ عِلْمٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهِ أَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنٌ بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ بِهِ لَمْ يُعْطِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا.

Artinya: Barang siapa menerima pemberian tidak sesuai dengan ketentuannya seperti sifat fakir, sifat baik, nasab atau ahli ilmu akan tetapi kenyataannya tidak sesuai, maka tidak boleh mengambilnya secara mutlak.
Wallahu A'lam bisshowab.