Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 03 Maret 2017

Jaga lisan

Jaga lisan

Sebahagian orang mengatakan, lidah memang tidak bertulang. Mungkin ada benarnya, sebab banyak di antara manusia bahkan kaum muslimin yang tidak mampu mengendalikan lidah atau lisannya. Lidah mudah menjulur dan bergerak kian kemari tanpa kendali, dan akhirnya menjadi panglima baginya, yang mesti diperturutkan apapun kehendaknya. Jika lidah telah menjadi panglima, maka berapa banyak dosa dan kesalahan yang dapat ditimbulkan olehnya?. Berapa banyak kerusakan dan kehancuran yang disebabkan olehnya?. Dan berapa banyak pula akibat buruk baginya dan bagi orang lain yang dapat dihasilkan olehnya??.

Mengenai hal ini, perhatikan beberapa nash hadits berikut ini yang menerangkan bahwasanya kebanyakan dosa yang diperbuat manusia itu ada pada lisannya. Dan juga menjabarkan tentang peranan lisan di dalam menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan dan kehancuran, jika mereka tidak dapat atau enggan mengendalikannya.

Dari Syaqiq berkata, Pernah Abdullah (bin Mas’ud) radliyallahu anhu bertalbiyah di atas bukit shofa. Kemudian berkata, “Wahai lisan, berkatalah yang baik niscaya engkau akan memperoleh kebaikan atau diamlah niscaya engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”. Mereka bertanya, “Wahai Abu Abdurrahman (maksudnya; Ibnu Mas’ud), Apakah ini suatu ucapan yang engkau ucapkan sendiri atau yang engkau pernah dengar?”. Beliau radliyallahu anhu menjawab, “Tidak, bahkan aku telah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فىِ لِسَانِهِ
“Kebanyakan dosa anak-anak adam itu ada pada lisannya”. [HR ath-Thabraniy, Abu asy-Syaikh dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1201, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 534 dan al-Adab: 396].
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اْلجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَ حُسْنُ اْلخُلُقِ وَ سُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ؟ قَالَ: اْلفَمُ وَ اْلفَرَجُ

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sesuatu apakah yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam surga?. Beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Beliau juga ditanya tentang sesuatu apakan yang terbanyak yang dapat memasukkan manusia ke dalam neraka?. Beliau menjawab, “Mulut dan farji (kemaluan)”. [HR at-Turmudziy: 2004, Ibnu Majah: 4246 dan Ahmad: II/ 291, 392, 442. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan sanadnya, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1630, Shahih Sunan Ibni Majah: 3424, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 977 dan Misykah al-Mashobih: 4832. Di dalam satu riwayat; Beliau menjawab, “Dua lobang yaitu mulut dan farji”].
Dalil di atas dengan jelas menerangkan bahwa dosa yang banyak dikerjakan oleh manusia dan yang memasukkan lagi menjerumuskan mereka ke dalam neraka adalah lisan mereka. Dengan lisan, mereka berdusta, bersaksi atau bersumpah palsu, mencacimaki, mencela, mengutuk, berkata-kata keji, mengejek, berfatwa tanpa dasar syar’iy, berdakwah kepada kesesatan, melakukan buhtan (memfitnah), meng-ghibah (menggunjing) dan lain sebagainya dari amalan lisan. Namun di masa sekarang ini dosa lisan banyak juga yang dituangkan dalam bentuk tulisan di buku-buku, majalah-majalah, tabloid-tabloid, surat-surat kabar, tulisan di internet melalui fesbuk, twitter dan semisalnya. Bahkan terkadang dijumpai bahasa tulisan lebih tajam dan lebih berbahaya dari bahasa lisan, karena berdampak sangat buruk bagi seseorang, suatu komunitas ataupun masyarakat. Tiada yang selamat dari bahaya lisan ini melainkan orang yang diberi rahmat dan keutamaan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: وَ إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِاْلكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ تعالى لاَ يُلْقىِ َلهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فىِ جَهَنَّمَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba mengatakan suatu kalimat yang mendatangkan murka Allah ta’ala yang ia tidak menaruh perhatian padanya namun mengakibatkannya dijerumuskan ke dalam neraka Jahannam”. [HR al-Bukhoriy: 6478, at-Turmudziy: 2314 dan Ibnu Majah: 3970. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan Ibni Majah, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1884, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 540, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1670 dan Misykah al-Mashobih: 4813].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ucapan itu ada yang baik dan ada yang buruk. Yang mendatangkan keridloan Allah maka itulah yang baik, sedangkan yang mendatangkan kemurkaan-Nya maka dialah yang buruk”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 10].
عن أبي هريرة رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam”. [HR al-Bukhoriy: 6018, 6019, 6136, 6138, 6476, Muslim: 47, Ibnu Majah: 3971 dan Ahmad: II/ 267, 433, 463, VI/ 31, VI/ 384, 385 dari Abu Syuraih. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih Muslim: 32, Shahih Sunan Ibni Majah: 3207 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6501].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Ucapan itu adakalanya baik atau buruk. Siapapun yang telah mengetahui (ucapan)nya baik maka katakanlah setelah memikirkan dan memastikannya. Diam itu lebih baik dari berbicara yang tiada faidah padanya. Sepatutnya seorang hamba itu memelihara lisannya, sebab manusia itu tidaklah ditelungkupkan atas hidung-hidung mereka (di dalam neraka) melainkan lantaran hasil lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 388].
Katanya lagi, “Hadits ini jelas (menerangkan) bahwasanya sepatutnya tidak mengucapkan (suatu perkataan) kecuali apabila ucapan itu baik, yaitu jelas kemashlahatan (atau kebaikan)nya. Tetapi kapan saja ragu-ragu terhadap kemashlahatannya, maka janganlah berbicara”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 8].
عن عقبة بن عامر رضي الله عنهما قال: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: أَمْسِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلىَ خَطِيْئَتِكَ
Dari Uqbah bin Amir radliyallahu anhu berkata, aku pernah bertanya, “Wahai Rosululllah, apakah keselamatan itu?”. Beliau menjawab, “Jagalah lisanmu atasmu, lapangkanlah rumahmu dan menangislah atas dosa-dosamu”. [HR at-Turmudziy: 2406 dan Ahmad: II/ 212, IV/ 148, 158, V/ 259. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1961, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 888, Misykah al-Mashobih: 4837 dan al-Adab: 400].

عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ شَرَّ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ اْلجَنَّةَ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan apa yang ada diantara dua jenggotnya (maksudnya lidah) dan juga dari keburukan apa yang ada diantara dua kakinya (maksudnya farji atau kemaluan), maka ia akan masuk surga”. [HR at-Turmudziy: 2409, Ahmad: V/ 362 dan al-Hakim: 8124. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1964, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6593 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 510].
Di dalam lain riwayat, dari Sahl bin Sa’d radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dapat menjaga lisan dan farjinya karenaku, maka aku akan menjamin surga untuknya”. [HR al-Bukhoriy: 6474, 6807. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6617 dan Misykah al-Mashobih: 4812].
Mengomentari hadits ini, asy-Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaliy hafizhohullah berkata, “Wajibnya menjaga lisan dari mengucapkan apa yang tidak diperkenankan secara syar’iy dari apa yang tidak ada keperluan bagi orang yang mengucapkannya. Cobaan yang paling besar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Barangsiapa yang dapat menjaga dari keburukan keduanya maka ia telah menjaga dari keburukan yang paling besar”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 9].
Adapun asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang berada diantara dua jenggotnya (yaitu jenggot dan kumis) adalah lisan dan yang berada diantara dua kakinya adalah farji. Sama saja apakan dia seorang pria ataupun wanita, yaitu barangsiapa yang menjaga lisan dan farjinya. Menjaga lisannya dari ucapan yang haram berupa dusta, ghibah, namimah, menipu dan selainnya. Menjaga farjinya dari berzina, liwath (homo seksual) dan sarana-sarananya, maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan menjamin untuknya surga. Maksudnya balasannya adalah surga apabila engkau dapat menjaga lisan dan farjimu. Tergelincirnya lisan itu sama persis dengan tergelincirnya farji, sangat mengkhawatirkan sekali. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkaitkan di antara keduanya hanyalah karena pada lisan itu ada syahwat ucapan. Banyak diantara manusia yang fasih, merasa lezat dan nikmat apabila berbicara tentang kehormatan manusia. العياذ بالله [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 164].
Berkata Ibnu Baththol rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan bahwa cobaan yang terbesar bagi seseorang di dunia ini adalah lisan dan farjinya. Sebab itu, barangsiapa yang menjaga dari keburukan keduanya maka ia terjaga dari keburukan yang sangat besar”. [Fat-h al-Bariy: XI/ 310 dan Tuhfah al-Ahwadziy: XII/ 115].
Dalil-dalil dan penjelasan di atas dengan tegas memaparkan bahwa siapapun hamba muslim yang mampu menjaga lisan dan farjinya dari berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh keduanya, maka jaminannya adalah keselamatan di akhirat berupa kenikmatan surga dan boleh jadi di dunia dia berbahagia sebab akan dipuji manusia akan keelokan dan kesantunan akhlaknya. Dari itu, cobaan yang paling berat dan sulit dihindari oleh hamba adalah lisan dan farjinya. Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa menjaga umat-Nya, khususnya kaum mukminin dari keburukan dan kejahatan yang ditimbulkan oleh keduanya.
عن سفيان بن عبد الله الثقفي قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنىِ بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ: قُلْ رَبِّيَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَخْوَفَ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هَذَا
Dari Sufyan bin Abdullah ats-Tsaqofiy berkata, aku bertanya, “Wahai Rosulullah ! ceritakan kepadaku suatu perkara yang aku dapat berpegang kepadanya”. Beliau bersabda, “Ucapkanlah ! Rabb-ku adalah Allah, kemudian istiqomahlah”. Sufyan berkata, aku bertanya lagi, “Wahai Rosulullah ! sesuatu apakah yang paling engkau khawatirkan diantara yang engkau khawatirkan?”. Beliau lalu memegang lidahnya sendiri, kemudian bersabda, “Ini”. [HR at-Turmudziy: 2410, Ibnu Majah: 3972, ad-Darimiy: II/ 298 dan Ahmad: III/ 413, IV/ 485. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 1965, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3208 dan Misykaah al-Mashoobiih: 4843].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Dasarnya istiqomah adalah istiqomahnya hati. Kapan saja hati telah istiqomah maka istiqomah pulalah semua anggota tubuh di dalam mentaati Allah Azza wa Jalla. Sesuatu yang paling besar yang harus dijaga sesudah hati adalah lisan. Sebab dia adalah penterjemah dan pengungkap hati. Oleh sebab itu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika memerintahkan istiqomah, yang ia wasiatkan sesudah itu adalah agar menjaga lisan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 13].
Jika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam saja sangat mengkhawatirkan akan bahaya lisannya atasnya, maka bagaimana dengan umatnya. Tentu seharusnya mereka lebih memiliki rasa khawatir dibandingkan dengan Beliau saw. Sebab Beliau telah nyata keimanan dan keistiqomahannya, dan apalagi tiada yang diucapkannya melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya. Sedangkan mereka, apa yang menjadi alasan bagi mereka untuk tidak mengkhawatirkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh lisan mereka?. Duhai betapa anehnya keadaan ini.
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه رَفَعَهُ قَالَ: إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ: اتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَ إِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Dari Abu Sa’id al-Khudriy radliyallahu anhu secara marfu’, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Apabila manusia menjelang pagi, maka semua anggota-anggota badannya menyalahkan lisan. Mereka berkata, “(Wahai lisan) bertakwalah engkau kepada Allah, karena kami. Maka sesungguhnya keadaan kami tergantung kepadamu. Jika kamu istiqomah, kamipun istiqomah. Namun jika kamu menyimpang, maka kamipun menyimpang”. [HR at-Turmudziy: 2407 dan Ahmad: III/ 96. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan, lihat Shahih Sunan at-Turmudziy: 1962, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 351, Misykah al-Mashobih: 4838 dan al-Adab: 397].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Pentingnya menjaga lisan di dalam keselamatan manusia. Yang demikian itu disebabkan bahwa lisan itu adalah penterjemah hati, pengungkap dan penguasanya. Apa yang terlintas dalam hati itu akan nampak atas lisannya. Oleh sebab itu dikatakan: seseorang itu dengan dua ashghar (benda kecil) yaitu hati dan lisannya”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 17].
Dari Mu’adz bin Jabal radliyallahu anhu berkata, aku bertanya, “Wahai Nabiyullah! Apakah kita akan dihukum hanya lantaran apa yang kita ucapkan?”. Lalu Beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَ هَلْ يُكَبُّ النَّاسُ فىِ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Ibumu telah kehilanganmu wahai Mu’adz. Tidaklah manusia itu ditelungkupkan di dalam neraka atas wajah-wajah atau hidung-hidung mereka melainkan hanyalah karena hasil dari lisan-lisan mereka”. [HR at-Turmudziy: 2616, Ibnu Majah: 3973, al-Hakim: 3601 dan Ahmad: V/ 231, 236, 237. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih Sunan at-Turmudziy: 2110, Shahiih Sunan Ibni Maajah: 3209, Shahiih al-Jaami’ ash-Shaghiir: 5136 dan Irwaa’ al-Ghaliil: 413].
Asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah bertutur, “Terdapat penjelasan bahwasanya hamba itu dihukum dengan seluruh apa yang diucapkannya, apakah diucapkannya dengan sungguh-sungguh atau main-main. Yang dapat menelungkupkan manusia di dalam neraka dan membawa mereka kepada kebinasaan adalah apa yang keluar dari lisan mereka”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 23].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, “Maka waspadalah engkau wahai saudaraku dari hasil panenan ini dan jagalah lisanmu. Barangsiapa yang menjaga lisannya hendaklah ia menjaga lisannya dari berdusta, menipu, berkata palsu, namimah, ghibah dan semua yang dapat menjauhkannya dari Allah Azza wa Jalla dan menetapkan neraka baginya. Maka wajib baginya untuk bersih darinya”. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 168].
Dalil hadits di atas menerangkan tentang pentingnya mengendalikan dan menjaga lisan, sebagaimana diperintahkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Barangsiapa yang dapat menjaga dan mengendalikan dari berbagai keburukan yang ditimbulkan lisan berupa dusta, namimah, ghibah, cacian, celaan, kutukan, fatwa tanpa dalil dan lain sebagainya maka ia akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan serta masuk ke dalam surga. Tetapi jika tidak, maka ia akan ditelungkupkan atas wajahnya di dalam neraka. Begitu juga ia mesti memelihara dirinya dari pengungkapan berbagai keburukan lisan  yang dituangkan dalam bentuk tulisan yang beredar di berbagai media, apakah surat kabar ataupun media elektronik.
Bahkan dikisahkan ada seorang wanita yang telah dikenal ibadahnya dengan baik namun ia tidak dapat mengendalikan lidahnya yakni suka mengganggu tetangganya dengannya, maka iapun masuk ke dalam neraka. Sebagaimana di dalam riwayat berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَ تَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”. Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya) sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/ 440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 88 dan Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah: 190].
Berkaca dengan hadits Abu Hurairah radliyallahu anhu di atas, dapat dimengerti bahwa kendatipun seseorang itu telah dikenal akan banyaknya jenis ibadah yang dikerjakan dari mengerjakan sholat malam setelah wajibnya, shoum sunnah pada siang harinya sesudah Ramadlan, bersedekah dan berbagai perbuatan baik lainnya. Namun jika ia tidak dapat mengendalikan lisannya berupa dusta, cacian, celaan, kutukan, sumpah serapah dan sebagainya, dan yang terbanyak biasanya adalah ghibah atau gunjingan, maka tempat yang pantas untuknya adalah neraka. معاذ الله
Simaklah apa yang di ucapkan oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah, “Amat mengherankan bahwa ada seseorang yang dengan mudah dapat menjaga diri dari makan makanan yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum khomer, memandang sesuatu yang haram dan sebagainya, namun ia sulit untuk menjaga gerakan lisannya. Sehingga engkau dapat melihat seseorang yang dijadikan acuan dalam agama, kezuhudan dan ibadah, ia berucap dengan perkataan-perkataan yang mengundang kemurkaan Allah tanpa ambil peduli. Padahal satu kalimat saja akan dapat menjatuhkannya dengan jarak lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat. Berapa banyak kamu lihat orang yang mampu menjaga dari perbuatan keji dan kezhaliman, sementara itu lisannya mencela kehormatan orang-orang yang masih hidup dan juga orang-orang yang telah mati, tanpa peduli sedikitpun tentang apa yang ia ucapkan”. [Ad-Da’ wa ad-Dawa’ halaman 191 oleh al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah].
Sudah menjadi rahasia umum, sekarang ini banyak tetangga yang tidak merasa aman dari tetangganya yang lain atau shahabat yang tidak merasa nyaman dari shahabat lainnya. Atau juga didapati seseorang tidak merasa aman dan kerasan dari kakak atau adiknya bahkan dari orang tuanya, atau juga seseorang dari anak, menantu atau mertuanya. Atau juga guru tidak merasa aman dan nyaman dari muridnya dan begitupun sebaliknya. Atau juga pemimpin dari rakyatnya atau rakyat dari pemimpinnya, dan sebagainya. Mereka saling curiga dan waspada akan kejahatan amal atau ucapan satu dari lainnya. Jika segala perilaku seseorang saja dapat menimbulkan penilaian negatif dari orang lain maka bagaimana jika ia melakukan suatu perbuatan yang buruk atau mengucapkan suatu perkataan yang keliru, tentu akan lebih fatal lagi akibatnya. Dari sebab itu, di antara mereka ada yang khawatir segala keburukannya mendapatkan cercaan atau celaan dari selainnya dan takut menjadi bahan gunjingan (objek ghibah) sesamanya. Sehingga sebahagian mereka ada yang berusaha meninggalkan dan menanggalkan berbagai kesalahan dan dosa itu karena takut menjadi bahan pembicaraan orang lain. Atau ada juga diantara mereka yang mengerjakannya secara sembunyi-sembunyi. Lalu kalau begitu, apatah artinya menjauhkan diri dari berbagai aib jika bukan karena Allah Subhanahu wa ta’ala??.
Meninggalkan berbagai kemungkaran adalah suatu keharusan, tetapi membuat orang lain tidak aman dan nyaman dari sebab khawatir keburukannya disebarluaskan orang lain adalah hal yang juga patut direnungkan dan diperhitungkan. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan bahwasanya orang yang tidak membuat rasa aman kepada orang lain, misalnya kepada tetangga, kerabat, teman atau lainnya maka ia adalah orang yang tidak sempurna keimanannya dan tidak akan masuk ke dalam surga serta mendapatkan kedudukan yang paling buruk di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana telah dituangkan di dalam beberapa hadits berikut ini,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 121 dan shahihnya: 6016, Muslim: 46 dan al-Hakim: 21. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahiih al-Adab al-Mufrad: 89, Mukhtashor Shahih Muslim: 33, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir: 7675, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 549 (II/ 82)].
Di dalam shahih al-Bukhoriy dari Abu Syuraih radliyallahu anhu bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman, demi Allah tidaklah beriman”. Ditanyakan kepada Beliau, “Siapakah dia wahai Rosulullah?”. Beliau bersabda, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan-kejahatannya”.
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat penegasan akan hak tetangga lantaran sumpah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terhadap hal tersebut, dan Beliau mengulangi sumpahnya sebanyak tiga kali. Di dalamnya terdapat pula penafian (peniadaan) iman bagi orang yang mengganggu (atau menyakiti) tetangganya dengan ucapan atau perbuatan. Dan yang dikehendaki (oleh Beliau) adalah iman yang sempurna sebab tidak diragukan lagi bahwa orang yang berbuat maksiat itu tidak sempurna imannya”. [Fat-h al-Bariy: X/ 444].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Menahan gangguan kepada tetangga adalah termasuk dari kesempurnaan iman”. [Bahjah an-Nazhirin: I/ 387].
عن عبد الله بن عمرو بن العاص قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: اْلمــُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمــُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ وَاْلمــُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهىَ اللهَ عَنْهُ
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Muslim itu adalah orang yang kaum muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah”. [HR al-Bukhoriy: 10, 6484, Muslim: 40, Abu Dawud: 2481, at-Turmudziy: 2627, an-Nasa’iy: VIII/ 105, ad-Darimiy: II/ 300 dan Ahmad: II/ 160, 163, 187, 191, 192, 195, 205, 206, 209, 212, 215, 224, 379, III/ 154, 372, 391, 440, IV/ 114, 385, VI/ 21, 22. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 7, Shahih Sunan Abi Dawud: 2168, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2118, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4623, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6711 dan al-Aadaab: 402].
عن أبي موسى رضي الله عنه قَالَ: قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ اْلمــُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
Dari Abu Musa (al-Asy’ariy) radliyallahu anhu berkata, mereka bertanya, “Wahai Rosulullah, Islam apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya”. [HR al-Bukhoriy: 11, Muslim: 42, at-Turmudziy: 2504, an-Nasa’iy: VIII/ 106-107 dan ad-Darimiy: II/ 299. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy Shahih, lihat Mukhtashor Shahih al-Imam al-Bukhoriy: 8, Mukhtashor Shahih Muslim: 69, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2032, 2119 dan Shahih Sunan an-Nasa’iy: 4626].
Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah, “Yakni tidak menzholimi kaum muslimin dengan lisannya, apakah berupa ghibah, namimah, cacian atau yang serupa dengan itu”. [Syar-h Riyadl ash-Shalihin: IV/ 163].
Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Terdapat larangan menyakiti kaum muslimin berupa ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu penyebutan lisan untuk menunjukkan atas ucapan dan tangan untuk menunjukkan atas perbuatan”. [Bahjah an-Nazhirin: III/ 8].
Beberapa dalil dan penjelasan di atas memaparkan tentang keindahan ajaran Islam, bahwa seseorang itu disebut muslim jika ia mampu memberi keselamatan dan kenyamanan kepada muslim lainnya khususnya dan umat manusia umumnya, dari lisan dan tangannya. Yakni tidak menzholimi kaum muslimin dari lisannya berupa ghibah, namimah, buhtan, cacian, celaan, kutukan dan selainnya. Dan tidak pula dari tangannya berupa pemukulan, pencurian, perampasan dan lain sebagainya. Namun jika ada di antara mereka yang menzholimi selainnya dengan tangan atau lisannya, sehingga ia dibenci, dihindari, dijauhi oleh orang lain akibat ulahnya itu maka ia termasuk orang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah swt pada hari kiamat nanti dan tidak akan masuk ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan abadi.
عن عائشة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: يَا عَائِشَةَ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مَنِ وَدَعَهُ-أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ- اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
Dari Aisyah bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek kedudukan manusia di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan (atau dijauhi) oleh manusia karena takut akan kekejiannya”. [HR al-Bukhoriy: 6032, 6054, 6131, al-Adab al-Mufrad: 1311, Muslim: 2591, at-Turmudziy: 1996 dan Ahmad: VI/ 38. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih, lihat Shahih al-Adab al-Mufrad: 984, Shahih Sunan at-Turmudziy: 1624, Shahih al-Jaami’ ash-Shaghir: 7925, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1049 dan Misykah al-Mashobih: 4829].

Maksudnya, jika ada seorang hamba dijauhi oleh orang lain lantaran takut dan khawatir akan perbuatan buruk dan jahatnya yang ditimpakan kepadanya berupa pukulan, pencurian, penipuan dan sejenisnya dari amalan tangan, atau ghibah, fitnah, namimah, cacian dan semacamnya dari amalan lisan, maka ia adalah orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak. Ia akan dijauhkan dari surga dan akan dijerumuskan ke dalam neraka dalam keadaan hina dina. Namun jika ia djauhi oleh orang lain lantaran sikapnya yang tepat dan tegas dalam mempertahankan dan memperjuangkan agama Allah maka hal itu tidaklah tercela dan bahkan kelak akan mendapat pujian dan sanjungan dari-Nya.

Bayangkan jika dirimu jadi korban dan objek dari kejahatan lisan orang lain, maka bagaimana perasaanmu?. Niscaya engkaupun akan merasakan pahit dan getirnya hidup. Engkau pasti berharap, agar orang itu menghentikan kejahatannya padamu, hilangnya keburukan yang dilakukan oleh lisan orang-orang padamu dan kehidupanmu dapat berangsur normal lagi seperti sediakala. Jika engkau tidak ingin dicubit, maka jangan sekali-kali mencubit orang lain.
Wahai saudara-saudaraku seiman, jagalah lisanmu dari mengucap berbagai hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam. Peliharalah tanganmu dari menulis berbagai perkara yang telah diharamkan oleh keduanya. Niscaya kalian akan selamat dari ujian dunia, fitnah kubur dan siksa neraka pada hari kiamat. Janganlah lisanmu berucap atau tanganmu menulis kecuali yang baik-baik dan diridloi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bish showab

Do'a supaya barang hilang cepet ditemukan

                  بسم الله الرحمن الرحيم

Do'a untuk mendapatkan
kembali barang yang telah dicuri oleh pencuri, anda bisa mengamalkan amalan doa di bawah ini:
 
1. Anda harus  mengetahui barang yang telah dicuri oleh si pencuri.

2. Setelah anda mengetahui barang yang dicuri, barulah anda membaca Al-Fatihah sebanyak 7 kali.

3. Setelah membaca Al-Fatihah sebanyak 7 kali, maka lanjutkan dengan membaca surat al-Ikhlas (Qulhu Allahu Ahad)  sebanyak 7 kali.

4. Baca shalawat Nabi,nyaitu sholawat ibrohimiyyah (bacaan sholawat yg dibaca ketika sholat) sebanyak 7 kali.

5. Bacakan: Ya Allah sebanyak 101 kali.
يا الله

YAA ALLAHU

6. Bacakan asmaul khusna  dibawah ini sebanyak 111 kali.

يا حفيظ
YAA HAFIIDHU

7. Bacalah asmaul husna dibawah ini 111 kali.
ياخالق

YAA KHOOLIQU

8.Kemudian ucapkan seperti berikut dalam doa:

اَللهُمَّ يَارِبِّ الضَّآلَّةِ وَيَاهَادِيًا مِنَ الضَّلاَلَةِ رُدَّ ضَآلَّتِىْ

ALLOOHUMMA YA RABBADL DLOOLLATI WA YAA HAADIYAN MINADL DLOLAALATI RUDDA DLOOLLATI
 Artinya :
Ya Allah Tuhan dari sesuatu yang hilang, ya Tuhan yang memberikan petunjuk dari kesesatan, kembalikanlah barangku yang hilang.

Setelah anda lakukan mengikuti cara-cara yang diterangkan diatas, InsyaAllah anda akan mendapat kembali barang yang telah dicuri.

Ada tambahan doa lagi yang bisa anda baca:

اللّهُمَّ أجِرْنِي فِيْ مُصِيْبَتِيْ وَاخْلُفْنِيْ خَيْرًا مِنْهَا

ALLAHUMMA AJIRNI FII MUSIIBATII WAKHLUFNI KHOIRAN MINHA

Ya Allah berilah ganjaran atas musibah yang menimpaku ini, dan gantilah dengan yang lebih baik daripadanya.."

Itulah doa yang bisa anda panjatkan semoga diqobul allah swt, barang yang dicuri atau hilang entah karena sebab apa mudah2n cepet ditemukan atau dikembalikan  lagi,aamiin, Jangan pergi ke dukun, karena disamping dosa, hal itu hanya akan membuat anda semakin rugi. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam...

Kamis, 02 Maret 2017

Qobliyyah jum'at bag 1

Dalil Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at

Sebagian orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini.
Menurut pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah diantaranya :

Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.

Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.

Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.

Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi saw.

Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”

Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).

Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia menceriterakan bahwasanya Rasulullah saw. senantiasa melakukan hal yang demikian”.(Nailul Authar III/313).

Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah : Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.

Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulullah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw. bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).

Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulullah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.

Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).

Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :

Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar III/318)

Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.

Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.

Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.

Demikianlah beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at.

Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :

Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.

Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.

Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.

Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.

Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.

Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulullah saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah SWT.

Wallahu subhanahu
wata'alaa a'lam..

Qobliyyah jum'at bag 2

Qobliyah jum'at

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Jika salah seorang diantara kalian datang pada hari Jum’at sedang imam tengah berkhutbah maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua raka’at dan hendaklah dia bersegera dalam mengerjakan keduanya” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani]
Muqaddimah
Selain shalat fardhu lima waktu (dhuhur, ‘ashar, maghrib, isya’ subuh) yang wajib dilakukan oleh semua muslim, ada juga shalat sunnah yang dianjurkan untuk dilaksanakan sebagai pengiring shalat fardhu. Shalat sunnah semacam ini bila dilakukan sebelum shalat fradhu disebut shalat sunnah qabliyah. Sedangkan bila dilaksanakan setelah shalat fardhu disebut shalat sunnah ba’diyah. Shalat sunnah qabliyah mempunyai beberapa ketentuan, yaitu 2 rakaat sebelum shubuh, 4 rakaat (dengan 2 salam) sebelum dhuhur dan 4 rakaat (dengan 2 salam) sebelum ashar.
Sedangkan ketentuan shalat sunnah ba’diyah ialah 2 rakaat sesudah dhuhur, 2 rakaat sesudah maghrib, 2 rekaat sesudah isya dan 1 rekaat witir.
Lalu bagaimanakah dengan shalat jum’at? apakah disunnahkan pula qabliyah dan ba’diyah seperti halnya shalat dhuhur biasa?
Tentu, Sebelum shalat jum’at disunatkan pula shalat sunnah qabliyah seperti halnya ketika hendak shalat Zhuhur. Bahkan demikian pula dengan dua rekaat setelahnya. Hal ini berdasar pada hadis shahih seperti yang diungkapkan oleh Abu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menerangkan:
وأقوى مايتمسك به فى مشروعية ركعتين قبل الجمعة عموم ما صححه ابن حبان من حديث عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَا مِنْ صَلاةٍ مَفْرُوضَةٍ إِلا بَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَيْنِ "
“Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum jum’at adalah hadits riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “tidak ada suatu shalat (fardhu) pun kecuali sebelumnya dilaksanakan shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.
Shalat Sunnah Muthlaq ?
مَنْ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَفَضْلُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
“Barangsiapa mandi kemudian dia menghadiri shalat Jum’at, lalu mengerjakan shalat yang telah ditetapkan baginya, selanjutnya dia diam sehingga imam selesai dari khutbahnya dan kemudian dia mengerjakan shalat bersamanya, maka akan diberikan ampunan baginya atas dosa antara satu jum’at itu dengan jum’at yang lain dan ditambah tiga hari” (HR Muslim)

Dan sebuah riwayat dari Abu Dawud :
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ جُمُعَتِهِ الَّتِي قَبْلَهَا قَالَ وَيَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةِ وَزِيَادَةٌ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَيَقُولُ إِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa mandi hari jum’at dan memakai pakaian yang terbaik serta memakai wangi-wangian jika ia memilikinya, kemudian ia menghadiri shalat Jum’at, dan tidak juga melangkahi leher (barisan) orang-orang, lalu dia mengerjakan shalat yang telah ditetapkan baginya, selanjutnya diam jika imam telah keluar (menuju ke mimbar) sampai selesai dari shalatnya, maka ia akan menjadi kaffarah baginya atas apa yang terjadi antara hari itu dengan hari Jum’at sebelumnya”

Dia menceritakan, Abu Hurairah
mengatakan, “Dan ditambah tiga hari”.
Dia juga mengatakan :”Sesungguhnya (balasan) kebaikan itu sepuluh kali lipatnya” (HR Abu Dawud)

مَنْ حَافَظَ عَلَى أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَأَرْبَعٍ بَعْدَهَا حَرُمَ عَلَى النَّارِ (رواه أبو داود، رقم 1269،  والترمذي، رقم 428 . وصححه النووي في "المجموع  (4/7) ، والألباني في "صحيح أبي داود" .
"Siapa yang menjaga shalat empat rakaat sebelum Zuhur dan sesudahnya, haram baginya neraka."
(HR. Abu Daud, no. 1269, Tirmizi, no. 428. Dishahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmu, 4/7, dan Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Shalat Sunnah Mutlak Sebelum Khutbah Jumat ?
Di antara tuntunan para sahabat radhiallahu ‘anhum bagi orang hendak shalat Jumat adalah melaksanakan shalat sunnah sebelum khatib naik mimbar. Dimulai sejak dia masuk masjid sampai khatib naik mimbar. Pembahasan ini dimasukkan dalam kajian tentang shalat Dhuha, karena shalat sunnah sebelum Jumat dilaksanakan di waktu dhuha.
Berikut adalah beberapa dalil disyariatkannya shalat (sunnah mutlak –ed.) sebelum Jumat:
a.    Dari Nafi –mantan budak Ibnu Umar– mengatakan, “Dulu, Ibnu Umar memperlama shalat sunnah sebelum Jumatan. Kemudian, beliau shalat dua rakaat setelah shalat Jumat. Dan beliau menyampaikan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu melakukan hal itu.” (HR. Abu Daud – Shahih Sunan Abi Daud, 998).
b.    Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mandi, kemudian berangkat ke masjid untuk shalat Jumat, kemudian shalat sunnah sesuai dengan yang dia kehendaki, kemudian diam (mendengarkan khutbah) sampai khutbah selesai, kemudian shalat bersama imam, maka dia diampuni antara hari Jumat tersebut sampai Jumat depan ditambah tiga hari.” (HR. Muslim, 857).
An-Nawawi mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat pelajaran, bahwa shalat sunnah sebelum datangnya imam di hari Jumat adalah dianjurkan. Ini adalah (pendapat) madzhab kami (Syafi’iyah) dan madzhab mayoritas ulama. Dan bahwasanya shalat sunnah tersebut sifatnya mutlak, tidak ada batasan (jumlah rakaatnya), sebagaimana teks sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian shalat sunnah sesuai dengan yang dia kehendaki.” (Syarh Shahih Muslim, 3/228).
c.    Dari Salman al-Farisi radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Tidaklah seorang itu mandi di hari Jumat, dan dia membersihkan kotoran badannya sesuai dengan kemampuannya, memakai wewangian, kemudian berangkat ke masjid, dan tidak melangkahi pundak dua orang (yang duduk berdampingan), kemudian shalat sesuai kehendaknya, kemudian diam ketika imam berkhutbah, kecuali dia diampuni antara Jumat tersebut sampai Jumat lainnya.” (HR. al-Bukhari, 843).
Berdasarkan hadits di atas dan keterangan ulama, dapat disimpulkan bahwa sifat shalat sunnah sebelum shalat Jumat adalah sebagai berikut:
1.    Bersifat mutlak. Artinya tidak memiliki batasan jumlah rakaat.
2.    Dilakukan di masjid yang digunakan untuk shalat Jumat.
3.    Waktunya dimulai sejak makmum datang di masjid sampai khatib naik mimbar.
4.    Dianjurkan untuk diperlama (panjang-panjang bacaannya), meskipun jumlah rakaatnya lebih sedikit. Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma.
5.    Dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Sebagaimana keumuman hadits, “Shalat sunnah siang-malam itu dua-dua.” (HR. Abu Daud, 1295; Ibnu Majah, 1322; dan Ahmad, 4791).
Pendapat Ulama tentang nama shalat sunnah sebelum Jum’at ?
As-Sa'di mengutarakan, pada dasarnya para ulama mufakat ada shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum pelaksanaan shalat Jumat.

Atas dasar itulah, siapa pun yang mengerjakan shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum shalat Jumat hukumnya boleh. “Jangan dianggap bid'ah,” tuturnya.

Terlebih, shalat tersebut dikerjakan pada waktu yang tidak dilarang shalat, sehingga siapa pun bisa shalat sunat mutlak kapan pun, selama tidak di masa-masa-masa yang dimakruhkan.

Selanjutnya, termasuk kategori apakah shalat sunat dua atau empat rakaat sebelum Jumat tersebut? Para ulama berselisih pandang.

Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.

Di kalangan sahabat, ada Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair. Di generasi berikutnya terdapat nama Imam ats-Tsauri, an-Nakha'i, dan Abdullah bin al-Mubarak.

Dalil kubu pertama, antara lain, ialah hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mughafal. Hadis itu menyatakaan di antara waktu menunggu azan dan iqamat, terdapat shalat sunat rawatib.

Ini diperkuat dengan riwayat Abdullah bin Zubair yang dinukilkan Ibnu Hibban. Hadis itu menyatakan, di setiap shalat fardhu pasti ada shalat sunat dua rakaat sebelumnya.

Ibnu Hajar, lantas berkomentar di kitabnya Fath al-Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, legalitas shalat sunat dua rakaat qabliyah Jumat bisa mengacu pada hadis nukilan Ibnu Abbas di atas.

Penuturan Abdullah bin Umar, turut pula dijadikan sebagai pendukung argumentasi kelompok ini. Bahwa, Rasulullah SAW tidak melewatkan shalat sunat sebelum Jumat.

Sedangkan, pendapat yang kedua mengemukakan, tidak terdapat shalat sunat qabliyah Jumat. Karenanya, semestinya menghindari niat shalat sunat tersebut.

Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat tersebut masuk kategori shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.

Opsi ini diamini sebagian besar Mazhab Hanbali, Maliki, dan salah satu riwayat dalam mazhab Syafi'i. Ibnu Taimiyah dan Ibn al-Qayim mengacu pula pada pendapat ini.

Argumentasi yang dikemukakan oleh kubu ini, antara lain, hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar. Rasul menegaskan di nukilan itu bahwa shalat sunah qabliyah tidak disebutkan. Yang tertera hanya shalat sunat qabliyah dan ba'diyah Zhuhur.

Ini diperkuat riwayat Bukhari dari as-Saib bin Yazid. Ketika Rasul berkhutbah Jumat, nyaris tidak ada jeda antara khutbah dan shalat, sehingga tidak memungkinkan melakukan shalat sunat di sela-sela waktu itu.
SHALAT SUNNAH BA'DIYAH JUM'AT

Telah disampaikan sebelumnya hadits Ibnu Umar , yang di dalamnya disebutkan :

“Dan dua rakaat setelah Jum’at di rumahnya” (Al-hadits)
Dan dari Abu Hurairah , dia bercerita, Rasulullah bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan shalat empat raka’at setelahnya”. Diriwayatkan oleh Muslim.
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan:

إِذَا صَلَّيْتُمْ بَعْدَ الْجُمُعَةِ فَصَلُّوا أَرْبَعًا

“Barangsiapa di antara kalian akan mengerjakan shalat setelah shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan empat rakaat” (HR Muslim)
Ikhtitam
1.Pendapat yang pertama menyatakan shalat sunat tersebut adalah shalat qabliyah Jumat. Minimal dua rakaat dan lebih afdal lagi empat rakaat. Ini adalah opsi yang dipilih mayoritas ulama mazhab, antara lain, mazhab Syafi'i dan Hanafi, dan sebagian ulama mazhab Hanbali.

2.Sedangkan, pendapat yang kedua mengemukakan, tidak terdapat shalat sunat qabliyah Jumat. Karenanya, semestinya menghindari niat shalat sunat tersebut.

Ini karena shalat sunat dua rakaat atau empat rakaat tersebut masuk kategori shalat sunat mutlak, bukan qabliyah.
Sumber:1.Al-Qur’an Hadits