Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 29 Oktober 2017

Umroh menurut empat madzhab

Hukum ‘Umrah Menurut Madzhab yang Empat

Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah dalam kitab fiqih beliau, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, menjelaskan perbedaan pendapat para ‘ulama madzhab tentang hukum ‘umrah, wajib ataukah sunnah muakkadah.

Pendapat yang Menyatakan Sunnah Muakkadah

Menurut Hanafiyah dan pendapat yang terkuat dari Malikiyah, ‘umrah hukumnya sunnah muakkadah sekali dalam seumur hidup. Mereka berpendapat demikian karena hadits-hadits yang masyhur yang menyebutkan tentang fardhu-fardhu dalam Islam tidak menyebutkan ‘umrah di dalamnya. Misalnya hadits dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, بني الإسلام على خمس, hadits ini hanya menyebutkan haji, tanpa disertai ‘umrah. Juga hadits yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa seorang Arab badui bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku apakah ‘umrah itu wajib?’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak, namun ber-‘umrah lebih baik bagimu’ atau dalam riwayat lain, ‘ber-‘umrah lebih utama bagimu’. Berikut redaksi Arabnya:


وروى جابر أن أعرابياً جاء إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلم، فقال : يا رسول الله، أخبرني عن العمرة، أواجبة هي؟ فقال : لا، وأن تعتمر خير لك . وفي رواية : أولى لك

Syaikh Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah menjelaskan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Imam Ahmad, al-Baihaqi, Ibn Abi Syaibah dan ‘Abd ibn Humaid (Syaikh az-Zuhaili mengutip dari Nailul Authar: 4/281). Namun, dalam isnadnya terdapat al-Hajjah ibn Arthah, dia dha’if. Tashhih at-Tirmidzi terhadap hadits ini fiihi nazhar (keterangan: ungkapan ini menunjukkan bahwa hadits ini ada ‘masalah’). Karena begitu banyaknya ‘ulama yang mendha’ifkan al-Hajjaj, Imam an-Nawawi berkata, ‘Para huffazh (ahli Hadits) bersepakat akan kelemahannya’. Berikut redaksi Arab dari penjelasan Syaikh az-Zuhaili:

رواه الترمذي وصححه أحمد والبيهقي وابن أبي شيبة وعبد بن حميد (نيل الأوطار: 281/4) لكن في إسناده الحجاج بن أرطاة وهو ضعيف، وتصحيح الترمذي له فيه نظر؛ لأن الأكثر على تضعيف الحجاج، قال النووي : اتفق الحفاظ على ضعفه

Ketika saya cek kitab Nailul Authar melalui software al-Maktabah asy-Syamilah, di kitab tersebut disebutkan bahwa ‘ulama sepakat bahwa al-Hajjaj adalah seorang mudallis (seseorang yang terbiasa menutupi cacat dalam isnad hadits).

Hadits lain yang digunakan sebagai dalil yang menyatakan hukum ‘umrah adalah sunnah muakkadah adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

الحج جهاد والعمرة تطوع


Dalam Nailul Authar, Imam asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ibn Hazm dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah. Isnad hadits ini dha’if, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Hafizh (maksudnya Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani). Asy-Syaukani kemudian menyebutkan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Thalhah dengan isnad yang dha’if, dan diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dari Ibn ‘Abbas. Kemudian asy-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh tentang hadits ini dari berbagai jalurnya, ‘Hadits ini tidak shahih melalui jalur manapun (ولا يصح من ذلك شيء)’.

Pendapat yang Menyatakan Wajib

Menurut pendapat yang termasyhur di kalangan Syafi’iyah dan juga menurut Hanabilah, ‘umrah hukumnya fardhu sebagaimana haji. Ini berdasarkan firman Allah ta’ala dalam surah al-Baqarah ayat 196:

وأتموا الحج والعمرة لله

Ayat di atas menunjukkan bahwa dua perkara tersebut merupakan perkara yang wajib untuk dilaksanakan.

Serta berdasarkan khabar dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah ada jihad bagi wanita?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya, jihad yang tidak ada perang ...

Sabtu, 21 Oktober 2017

Hari santri=Resolusi jihad

Hari Santri = Resolusi Jihad

DIGGING UP THE PAST (Inspirasi utk Hari Santri Nasional)
Oleh: Ust. M. Ismail Yusanto

Digging up the past adalah slogan yang sangat terkenal di kalangan para arkeolog. Ini mewakili semangat mereka untuk mengungkap masa lalu melalui usaha penemuan dan penggalian situs-situs bersejarah. Hasilnya adalah sebuah rekonstruksi kehidupan atau peradaban di masa lalu yang diharap bisa memberi pelajaran kepada kehidupan sekarang dan di masa mendatang.

Tapi slogan itu kiranya tepat juga dipakai oleh kita saat ini yang konsern pada pentingnya pelurusan sejarah. Terlebih setelah Presiden Jokowi - memenuhi janji kampanye saat pilpres tahun lalu - menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.  Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri tidak lepas dari kiprah santri dan para kiai dalam melawan penjajah yang ketika itu terus berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. 

Pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam,  pada 22 Oktober dideklarasikanlah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Intinya, membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’iy. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan.

++++

Kita tentu berharap, penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan sekadar pemenuhan janji bagi kepentingan politik pencitraan, tapi ada misi yang lebih jauh, yakni usaha untuk mengungkap kebenaran sejarah. Misi ini sangat penting karena pelurusan sejarah akan berpengaruh besar dalam ikhtiar membangun kesadaran publik yang benar di masa mendatang.

Kita tahu, sejarah memang tidaklah netral. Sejarah adalah realitas tangan ke dua (second-hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan, dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Di sinilah, demi memuluskan kepentingan politik penguasa, kejahatan penulisan sejarah kerap terjadi.

Setidaknya ada 3 kejahatan penulisan sejarah yang dilakukan dengan tujuan untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa dan negara ini.

Pertama, penguburan atau peniadaan peristiwa sejarah. Salah satu contoh paling nyata, ya soal Resolusi Jihad itu. Bila sejarah pergerakan  kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kyai yang tergabung dalam Sabilillah dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.

Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat  melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Tapi, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.

Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang dari sub judulnya “Biarkan kebenaran yang hampir setengah abad dikaburkan catatan sejarah itu terbongkar” menggambarkan semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.

Kedua, pengaburan peristiwa sejarah. Contohnya, siapa sebenarnya inspirator kebangkitan nasional melawan penjajah? Bila sejarah mencatat secara jujur, mestinya bukan Boedi Oetomo, melainkan Syarikat Islam (SI) yang merupakan pengembangan dari Syarikah Dagang Islam (SDI) yang antara lain dipimpin oleh HOS Cokroaminoto, yang harus disebut sebagai cikal bakal kesadaran nasional melawan penjajah. Sebagai gerakan politik, SI ketika itu benar-benar memang bersifat nasional, ditandai dengan eksistensinya di lebih dari 18 wilayah di Indonesia, dan dengan tujuan yang sangat jelas, yakni melawan penjajah Belanda. Sebaliknya, Boedi Oetomo sesungguhnya hanya perkumpulan kecil, sangat elitis, bahkan rasis, serta sama sekali  tidak memiliki spirit perlawanan terhadap Belanda. Tapi mengapa justru sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor?

Ketiga, pengaburan konteks peristiwa sejarah.  Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasar pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarekat Islam – sebagaimana juga Hari Pendidikan Nasional, bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912, kemana Ki Hadjar waktu itu banyak belajar. Ki Hadjar sendiri baru mendirikan sekolah Taman Siswa pada 1922. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan mengemuka tentu adalah spirit atau semangat Islam. Dalam setting kepentingan politik penguasa saat itu, hal itu sangatlah tidak dikehendaki.
Padahal, spirit Islam sesungguhnya telah lama menjadi dasar perjuangan kemerdekaan di masa lalu. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain didorong oleh semangat jihad melawan penjajah. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, maka kebanyakan yang tergugah adalah para ulama dan santri dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu dibawah bendera Islam. Perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda. Begitu juga dengan perang Padri. Sebutan Padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan. Jadi, jelas sekali ada usaha sistematis untuk meminggirkan, bahkan menghilangkan peran Islam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan serta menghilangkan spirit  Islam dari wajah sejarah bangsa dan negara ini.

Oleh karena itu, penetapan Hari Santri Nasional harus bisa dijadikan momentum untuk melawan kejahatan sejarah itu, serta usaha menulis ulang sejarah: tentang apa yang disebut kebangkitan nasional, pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya, termasuk sejarah pergerakan pra kemerdekaan secara kritis, jujur dan obyektif sehingga peran Islam bisa diletakkan secara tepat. Sejarah dalam istilah al Qur’an sebagaimana kisah, mengandung ibrah atau pelajaran. Pengaburan apalagi penguburan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya bisa  didapat.

Maka, bila mengacu kepada sejarah yang benar tentang peran Syarikat Islam, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya, juga peran KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihadnya serta peran Hizbullah – Sabilillah, kita tentu akan mendapatkan spirit Islam itu. Juga bahwa Kebangkitan hakiki adalah kembalinya kesadaran akan hakikat hidup manusia sebagai abdullah dan khalifatullah dengan misi untuk menyembah Sang Khaliq dan memakmurkan bumi dengan menjalankan segala titahNya. Jadi, kebangkitan bukan hanya sebuah kata sloganistik, tetapi suatu kata yang menginisiasi perjuangan bagi sebuah perubahan dalam seluruh aspek kehidupan bangsa dari penjajahan ideologi-ideologi jahiliah yang menyengsarakan rakyat menuju yang memberikan rahmat bagi semua. Itulah kebangkitan dengan spirit Islam,  yang  ketika itu digelorakan oleh Cokroaminoto dan Sarekat Islam. Spirit Islam semacam itulah yang diperlukan sebagai sumber kekuatan perjuangan guna membawa negeri ini ke arah yang lebih baik di bawah ridha Ilahi.

Jadi, Hari Santri Nasional mestinya bukan sekadar digging up the past (mengungkap masa lalu), tapi digging up the truth (mengungkap kebenaran)!

Hari santri nasional

Assalamualaikum warohmatulloohi wabarokaatuh.
"SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL"
Santri bila ditulis arab menjadi سنتري mempunyai makna:
١- س : سالك الى الآخرة
" orang yg berjalan menuju akhirat, artinya semua aktifitasnya berorientasi ridho Allah dan kebahgiaan akhirat,
٢- ن: نائب عن العلماء
" Mengganti para ulama' artinya Santri harus siap mengganti para ulama' yg sholih yg dicintai Allah.
٣- ت: تائب من المعاصي
" Selalu bertaubat dari semua Ma'siat , dan memperbaiki diri.
٤- ر: راغب في الخيرات
" Senang berbuat baik"
٥- ي: يرجو رضاالله تعالى والسعادة في الدنيا والآخرة
" Selalu mengharap Ridla Allah Ta'ala dan kebahagiaan dunia dan Akhirat.
"INDAH NYA JADI SANTRI"
Indahnya menjadi santri
Hobi ngaji
Doyan ngopi sambil ngerumpi islami
Surganya pas libur ngaji
Nerakanya pas kena sangsi
Bahagianya pas bisa ngaji
Paling anti sama diskriminasi
Gak punya pacar ' gak rugi
Gak ada motor ' jalan kaki
Ga ngaji ' tidur aja lagi
Kerjaanya ' serba ngantri
Ada rezeki ' saling berbagi
Kalau makan pake baki
Dan tak lupa sama ikan teri
Motonya ' Al-Qur’an & Hadist sebagai Pedomanku Sampai Mati.
Ayah bangga dan
Selamat utk Hari Santri!!!!✊👍✊👳🤗

Minggu, 15 Oktober 2017

Hukum tidak saling sapa dan Memboikot muslim

Hukum tidak saling sapa dan memboikot muslim

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Salah satu diantara prinsip yang diajarkan dan ditekankan dalam islam adalah menjaga persaudaraan sesama muslim. Karena itu, Allah memotivasi agar kaum muslimin berupaya menjadikan muslim yang lain sebagaimana layaknya saudara.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

“Sesungguhnya hanya kaum muslimin yang bersaudara. Karena itu, berupayalah memperbaiki hubungan antara kedua saudara kalian..” (QS. Al-Hujurat: 10).

Bahkan Allah ingatkan, diantara nikmat besar yang Allah berikan kepada para sahabat adalah Allah jadikan mereka saling mengasihi, saling mencintai, padahal sebelumnya mereka saling bermusuhan,

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kalian orang-orang yang bersaudara, karena nikmat Allah. (QS. Ali imran: 103).

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hubungan persaudaraan antara sesama muslim, ibarat satu jasad. Jika ada yang sakit, yang lain turut merasakannya,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اثْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمى

“Perumpamaan kaum mukminin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka adalah bagaikan satu jasad, apabila satu anggota tubuh sakit maka seluruh badan akan susah tidur dan terasa panas.” (HR. Muslim 2586).

Akan tetapi, membangun suasana persadauraan semacam yang diajarkan islam, lebih sulit ketimbang memindahkan gunung. Setan selalu berupaya memicu terjadinya permusuhan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ، وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

“Setan (Iblis) telah putus asa untuk disembah oleh orang yang rajin shalat di Jazirah Arab. Namun dia selalu berusaha untuk memicu permusuhan dan kebencian.” (HR. Muslim 2812 dan Ibn Hibban 5941).

Ketika Iblis melihat kemajuan islam di akhir dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia sudah putus asa, tidak mungkin kaum muslimin akan menyembahnya (melakukan syirik) di jazirah arab. Karena mereka menjadi generasi yang sangat kuat imannya. Tapi setan tidak tinggal diam, dia berupaya untuk memicu munculnya permusuhan diantara mereka.

Karena itu, sikap saling mendzalimi tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sikap saling mendzalimi telah menyatu dan menjadi warna hidup manusia. Namun, islam tidak membiarkannya. Islam menekan agar seminimal mungkin semacam ini bisa terjadi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot (tidak menyapa) saudaranya lebih dari 3 hari.” (HR. Bukhari 6237 dan Muslim 2560).

Anda bisa perhatikan hadis di atas,

Islam tidak melarang umatnya untuk membenci muslim yang lain secara mutlak. Karena setiap muslim yang merasa telah didzalimi orang lain, dia pasti akan membencinya. Dan tidak bisa serta merta memaafkannya. Untuk itu, islam memberikan batas toleransi selama 3 hari. Toleransi bagi gejolak emosi yang itu menjadi tabiat manusia.

3 Ancaman Memboikot tanpa Aturan

Ada 3 ancaman bagi orang yang memboikot sesama muslim tanpa aturan yang benar,

Pertama, Sebab Tertahannya Amal

Memboikot sesama muslim tanpa alasan yang benar, menjadi sebab Allah tidak memperkenankan amalan seseorang.

Dalam hadis tentang pelaporan amal setiap Kamis dan Senin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan,

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis. Lalu diampuni selluruh hamba yang tidak berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang sedang ada permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan: Tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ 5/1334, Ahmad 9119, dan Muslim 2565).

Kedua, ancaman neraka jika belum damai sampai mati

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari 3 hari. Siapa yang memboikot saudaranya lebih dari 3 hari, kemudian dia meninggal maka dia masuk neraka.” (HR. Abu Daud 4914, dan dishahihkan Al-Albani).

Ketiga, boikot setahun sama dengan membunuhnya

Orang yang memboikot saudaranya tanpa alasan yang benar selama setahun, dosanya seperti menumpahkan darahnya. Dari Abu Khirasy As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

“Siapa yang memboikot saudaranya setahun, dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Ahmad 17935, Abu Daud 4915, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth).

Memboikot dalam Rangka Nasehat

Boikot orang muslim, dalam rangka memberikan nasehat kepadanya, bukanlah satu hal yang terlarang. Karena boikot termasuk salah satu bentuk dakwah yang Allah ajarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seluruh sahabatnya, untuk memboikot 3 orang (Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’) karena tidak ikut perang Tabuk.

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. (QS. At-Taubah: 118).

Tiga orang itu, diboikot oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat sepulang beliau dari perang Tabuk. Hingga istri mereka diperintahkan untuk menjauhi suaminya.

Peristiwa Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan mereka yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk, menjadi alasan dibolehkannya boikot bagi orang yang melakukan maksiat atau ahli bid’ah.

Ath-Thabariy mengatakan:

“Kisah Ka’ab bin Malik radliyallaahu ’anhu merupakan dalil pokok di dalam hajr (boikot) pelaku maksiat.”

Sementara larangan saling membenci dan memboikot sesama muslim seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, berlaku untuk boikot karena masalah dunia, atau yang tidak berhubungan dengan masalah agama.

Waliyud Did Al-Iraqi mengatakan,

هذا التحريم محله في هجرانٍ ينشأ عن غضب لأمر جائز لا تعلق له بالدين ، فأما الهجران لمصلحة دينية من معصية أو بدعة : فلا مانع منه ، وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بهجران كعب بن مالك وهلال بن أمية ومرارة بن الربيع رضي الله عنهم

Larangan dalam hadis di atas, berlaku untuk boikot yang muncul karena marah dalam masalah yang mubah, tidak ada kaitannya dengan agama. Adapun boikot karena maslahat agama, seperti karena maksiat atau bid’ah, hukumnya tidak terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memboikot Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’. (Tharhu At-Tasrib, 8/353)

Allahu a’lam

Menikah melangkahi KAKA

Menikah melangkahi kaka

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Ada banyak aturan di sekitar kita yang ditetapkan berdasarkan adat dan budaya. Sebenarnya ini tidak menjadi masalah, karena islam menghargai adat dan budaya, selama di sana tidak bertentangan dengan aturan Allah dan tidak ada nsur kedzaliman.

Ketika salah satu dari kriteria ini tidak terpenuhi, tentu saja adat dan budaya itu tidak boleh diperlakukan.

Salah satunya masalah melangkahi kakak dalam menikah. Bagi sebagian masyarakat, ini pantangan atau bahkan tindakan kedurhakaan. Seorang adik dianggap melanggar hak kakaknya, ketika dia mendahului menikah sebelum kakaknya.

Kita akan mengukur, bagaimana status aturan ini dan bagaimana islam mengaturnya.

Pertama, islam menganjurkan dan memotivasi kaum muslimin agar segera menikah.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari 5065 dan Muslim 1400).

Islam juga menganjurkan agar kaum muslimin saling bekerja sama untuk mewujudkan pernikahan. Ketika ada diantara mereka yang belum menikah, yang lain dianjurkan untuk membantunya agar bisa segera menikah. Allah berfirman,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Nikahkahlah orang yang bujangan diantara kalian serta orang baik dari budak kalian yang laki-laki maupun perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. (QS. An-Nur: 32).

Kedua, islam hanya menetapkan syarat, seorang muslim disyariatkan agar segera menikah ketika dia sudah mampu. Mampu secara finansial, sehingga bisa menanggung nafkah keluarganya, mampu dalam menyediakan kehidupan yang layak bagi keluarganya.

Tidak ada persyaratan bahwa kakak harus sudah menikah. Juga tidak pernah ada larangan untuk melangkahi sang kakak.

Sehingga, ketika sebagian masyarakat mensyaratkan, pernikahan adik harus dilakukan setelah kakak menikah, berarti mereka menetapkan syarat yang bukan syarat dan itu menghalangi terwujudnya pernikahan.

Sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menetapkan syarat yang bertentangan dengan aturan Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ فَهُوَ بَاطِلٌ

Semua syarat yang tidak ada dalam kitabullah maka itu bathil, meskipun jumlahnya seratus syarat. (HR. Ahmad 26248, Ibn Majah 2617 dan yang lainnya)

Ketiga, menghalangi seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianjurkan dalam syariat, tanpa alasan yang dibenarkan, termasuk tindakan kedzaliman.

Anda bisa membayangkan, ketika adik dilarang menikah selama kakak belum menikah. Sementara terkadang si kakak belum menemukan jodohnya. Lalu sampai kapan sang adik akan menikah? Sementara batas mencarikan jodoh bagi si kakak belum jelas waktunya.

Kita tidak boleh membela orang lain dengan cara mendzalimi orang lain. Membela kakak dengan cara mendzalimi adik, jelas tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan.

Kita bisa semakin jelas memahami ini, jika kita tetapkan pada kasus lain. Anda bisa perhatikan beberapa contoh berikut,

Adik tidak boleh lebih kaya dibandingkan kakak. Jika adik lebih kaya dari pada kakak, maka kekayaan adik harus diberikan ke kakak.

Adik tidak boleh lebih sukses dari pada kakak. Jika adik lebih sukses, adik harus menurunkan prestasinya agar kakak tidak kalah saing.

Kita sepakat, aturan semacam ini tida boleh diterapkan. Karena jelas sangat mendzalimi adik.

Dan sebenarnya jika kita pertimbangkan, tidak jauh berbeda dengan aturan,

Adik tidak boleh menikah sebelum kakak. Jika adik sudah punya calon, harus ditunda pernikahannya atau dibatalkan.

Keempat, barangkali ada yang beralasan,

Jika adik menikah mendahului kakak, ini akan menghambat kakak untuk mendapatkan jodohnya.

Namun alasan ini jelas sangat tidak bisa diterima. Jika tidak dikatakan bahwa ini adalah keyakinan kesyirikan. Karena meyakini adanya sebab yang itu bukan sebab.

Kita sepakat, rizki ada di tangan Allah, jodoh ada di tangan Allah. Dia yang mengatur dan memberikannya kepada manusia dengan cara yang bijak dan tepat.

Ketika adik lebih cepat kaya dari pada kakak, tentu bukan berarti adik menghalangi kakak untuk mendapatkan rizki.

Ketika adik lebih sukses dari pada kakak, bukan berarti pula akan menjadi penghalang bagi kakak untuk sukses.

Kita sangat sepakat dengan itu.

Demikian pula yang terjadi dalam masalah pernikahan. Pernikahan adik jelas bukan pernghambat jodoh bagi si kakak.

Yang lebih berbahaya lagi, ketika aturan semacam ini dikembangkan, bisa jadi akan memicu permusuhan antara adik dan kakak. Adik akan merasa, orang tuanya pilih kasih dan lebih berpihak kepada kakak.

Kelima, boleh saja sang adik memberika hadiah kepada si kakak. Barangkali bisa sebagai pelipur kesedihannya yang belum menemukan jodohnya. Dan semacam ini dianjurkan, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَهَادَوْا فَإِنَّ الهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada.”  (HR. Turmudzi 2130)

Demikian, Allahu a’lam.