Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 30 Maret 2018

Amalan yg mebuat masuk SURGA

Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga

Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga ada dua amalan yaitu takwa dan akhlak yang baik.

Yang terakhir di atas yang amat jarang ditemukan, bahkan pada orang-orang yang sudah kenal agama. Ada yang sudah lama ngaji, sudah sekian duduk di majelis ilmu, namun ia adalah orang yang sering lalaikan amanat. Dengan tampilannya yang jenggotan, namun terlihat sangar (tidak murah senyum) dan kasar. Seolah-olah yang dipentingkan adalah penampilan lahiriyah tanpa memperhatikan akhlak yang santun, amanat dan lemah lembut. Padahal seharusnya dengan rajinnya menuntut ilmu dan sudah menjalankan ajaran Rasul semakin terbimbing pada akhlak yang baik. Karena takwa dan akhlak baik itulah yang mengantarkan pada surga.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Maksud Takwa

Takwa asalanya adalah menjadikan antara seorang hamba dan seseutu yang ditakuti suatu penghalang. Sehingga takwa kepada Allah berarti menjadikan antara hamba dan Allah suatu benteng yang dapat menghalangi dari kemarahan, murka dan siksa Allah. Takwa ini dilakukan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat.

Namun takwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al Hambali adalah dengan mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara syubhat, juga mengerjakan perkara sunnah, dan meninggalkan yang makruh. Inilah derajat takwa yang paling tinggi.

Al Hasan Al Bashri berkata,

المتقون اتَّقَوا ما حُرِّم عليهم ، وأدَّوا ما افْتُرِض عليهم

“Orang yang bertakwa adalah mereka yang menjauhi hal-hal yang diharamkan dan menunaikan berbagai kewajiban.”

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

ليس تقوى الله بصيام النهار ، ولا بقيام الليل ، والتخليطِ فيما بَيْنَ ذلك ، ولكن تقوى اللهِ تركُ ما حرَّم الله ، وأداءُ ما افترضَ الله ،فمن رُزِقَ بعد ذلك خيراً ، فهو خيرٌ إلى خير

“Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau mendirikan shalat malam, atau melakukan kedua-duanya. Namun takwa adalah meninggalkan yang Allah haramkan dan menunaikan yang Allah wajibkan. Siapa yang setelah itu dianugerahkan kebaikan, maka itu adalah kebaikan pada kebaikan.”

Tholq bin Habib mengatakan,

التقوى أنْ تعملَ بطاعةِ الله ، على نورٍ من الله ، ترجو ثوابَ الله ، وأنْ تتركَ معصيةَ الله على نورٍ من الله تخافُ عقابَ الله

“Takwa berarti engkau menjalankan ketaatan pada Allah atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau mengharap pahala dari-Nya. Termasuk dalam takwa pula adalah menjauhi maksiat atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau takut akan siksa-Nya.”

Ibnu Mas’ud ketika menafsirkan ayat bertakwalah pada Allah dengan sebenar-benarnya takwa yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 102, beliau berkata,

أنْ يُطاع فلا يُعصى ، ويُذكر فلا ينسى ، وأن يُشكر فلا يُكفر

“Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak bermaksiat pada-Nya. Allah itu terus diingat, tidak melupakan-Nya. Nikmat Allah itu disyukuri, tidak diingkari.” (HR. Al Hakim secara marfu’, namun mauquf lebih shahih).

Yang dimaksud bersyukur pada Allah adalah dengan melakukan ketaatan pada-Nya.

Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya adalah selalu mengingat Allah dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya, begitu saat berucap. Semuanya dilakukan hanya untuk meraih pahala dari Allah. Begitu pula larangan-Nya pun dijauhi. (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 397-402)

Maksud Akhlak yang Baik

Dalam hadits Abu Dzar disebutkan,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk bagian dari takwa. Akhlak disebutkan secara bersendirian karena ingin ditunjukkan pentingnya akhlak. Sebab banyak yang menyangka bahwa takwa hanyalah menunaikan hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 454).

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan akhlak yang baik sebagai tanda kesempurnaan iman. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud no. 4682 dan Ibnu Majah no. 1162. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para salaf dengan menyebutkan beberapa contoh. Al Hasan Al Bashri mengatakan,

حُسنُ الخلق : الكرمُ والبذلة والاحتمالُ

“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa menahan amarah.”

Asy Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,

البذلة والعطية والبِشرُ الحسن ، وكان الشعبي كذلك

“Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan pada orang lain.” Demikianlah Asy Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.

Ibnul Mubarok mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,

هو بسطُ الوجه ، وبذلُ المعروف ، وكفُّ الأذى

“Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan dan menahan diri dari menyakiti orang lain.”

Imam Ahmad berkata,

حُسنُ الخلق أنْ لا تَغضَبَ ولا تحْتدَّ ، وعنه أنَّه قال : حُسنُ الخلق أنْ تحتملَ ما يكونُ من الناس

“Akhlak yang baik adalah jangan engkau marah dan cepat naik darah.” Beliau juga berkata, “Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di hadapan manusia.”

Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,

هو بسطُ الوجهِ ، وأنْ لا تغضب

“Bermuka manis dan jangan marah.” (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 457-458).

Semoga Allah mengaruniakan kepada kita sifat takwa dan akhlak yang mulia. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Wanita banyak dineraka

Kenapa wanita banyak masuk neraka?

Cukup jawabannya bisa disimak dalam hadits berikut.

Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907).

Yang dimaksud kufur dalam hadits bukanlah maksudnya keluar dari Islam. Namun yang dimaksud adalah kufronul huquq, yaitu istri tidak mau memenuhi kewajiban terhadap suami. Jadi maksudnya bukanlah kufur terhadap Allah. Ini menunjukkan celaan bagi wanita yang dimaksud dalam hadits. Lihat Syarh Shahih Muslim, 6: 192.

Jadi, maksud hadits adalah celaan untuk wanita yang tidak mau bersyukur pada pemberian suami. Bahkan ini yang jadi sifat wanita, jika ia tidak diberi sekali padahal sudah sering keinginannya dipenuhi oleh suami, maka ia akan menggelari suaminya dengan gelarang suami yang pelit. Wanita itu berkata, “Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” Hujan setahun benar-benar tidak teranggap dikarenakan adanya kemarau sehari.

Adapun wanita shalihah yang taat pada suami dan rajin melakukan ibadah ketaatan, tentu akan dibalas dengan pahala melimpah. Keutamaannya disebutkan dalam hadits berikut.

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kami turut mendoakan,

جعلنا اللهُ و السائلةَ من أهل الجنّة ، و ختم لنا بالحسنى . آمين .

“Moga Allah menjadikan kita jalan menjadi ahli surga dan diberikan akhir hidup yang baik. Aamiin.”

Semoga bermanfaat.

Yang akan dipertanyakan

  بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ على سَيِّدِ المرْسَلِينَ وإمَامِ المتَّقِين

نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى جَمِيعِ إِخْوَانِهِ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالمرْسَلِينَ وَعَلَى ءَالِهِ الطَّيِّبِينَ

فقدْ قالَ رسولُ اللهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ: "لا تزولُ قَدَمَا عَبْدٍ يومَ القيامةِ حتى يُسألَ عنْ أربعٍ عنْ عُمُرِهِ فيما أفناهُ وعنْ جسدِه فيما أبْلاهُ وعنْ مالهِ مِنْ أيْنَ أخذهُ وفيما أنْفَقَهُ وعنْ عِلمِهِ ماذا عَمِلَ بهِ".

في هذا الحديثِ الصحيحِ أن الانسانَ يُسألُ يومَ القيامةِ عنْ هذهِ الأشياءِ الأربعةِ.

الأولُ عَنْ عُمُرِهِ فيما أفناهُ لأنَ وجودَ الانسانِ بإيجادِ اللهِ نعمةٌ فَيُسألُ العبدُ عنْ هذهِ النِّعمةِ، اللهُ أنعمَ عليهِ بالوجودِ فيُسألُ عنْ هذهِ النعمةِ يُسْألُ فيما أفْنَيْتَ عُمُرَكَ فَإمّا أنْ يكونَ أفنَى عُمُرَهُ في طاعةِ اللهِ وإما أنْ يكونَ أفْنى عُمُرَهُ في معصيةِ اللهِ وهذا يُعَامَلُ على ما يليقُ بهِ وهذا يُعَامَلُ على ما يليقُ بهِ.

والأمرُ الثاني يُسْألُ عنْ جسَدِهِ فيما أبلاهُ أيْ ماذا عَمِلَ بجوارِحِهِ بيَدِهِ ورِجْلِهِ وعينِهِ وأُذُنِهِ هَلِ استعملَ هذهِ النِّعَمَ في طاعةِ اللهِ أمْ في معصيةِ اللهِ لأنَّ العينَ واللِّسانَ واليَدَ والأُذُنَ والرِّجْلَ كُلَّ هذا مِنْ نِعَمِ اللهِ، مَنِ اسْتَعْمَلَهُ في طاعةِ اللهِ ينالُ في الآخرةِ أجراً عظيماً يَلقَى أجراً جزيلاً في الآخرةِ، لهذا يُسأَلُ عنْ جَسَدِهِ فيما أبلاهُ.

والأمرُ الثالثُ المالُ يُسْأَلُ الإنسانُ منْ أينَ جَمَعْتَ هذا المالَ إنْ كانَ أخذَهُ من حَلالٍ وصَرَفَهُ في حلالٍ في غَيْرِ معصيَةِ اللهِ، ليسَ عليهِ عُقوبَةٌ بلْ إنْ صَرَفَهُ في طاعةِ اللهِ في نَفَقَةِ أهلِهِ وفي الصَّدَقَاتِ ونحوِ ذلِكَ يكونُ هذا المَالُ الذي جَمَعَهُ منْ حلالٍ وصَرَفَهُ في طاعةِ اللهِ ذُخراً كبيراً في الآخِرَةِ أما إنْ جَمَعَهُ مِنْ حَرامٍ فالوَيْلُ لهُ ثُمَّ الوَيْلُ، وَأمَا إنْ جَمَعَهُ مِنْ حرامٍ وصرفَهُ في الصَّدَقَاتِ لا يَقْبَلُ اللهُ منهُ. ليس كُلُّ ما يصِلُ اليهِ يَدُ الإنسانِ حلالاً حتى الشئُ الذي تَصِلُ إليهِ يَدُهُ منْ غيرِ طريقِ السَّرِقَةِ والغَصْبِ منهُ ما هو محرَّمٌ، المالُ له أحكامٌ، القرءانُ الكريمُ ذكرَ المالَ الحلالَ والمالَ الحرامَ. فإذا جَمعَ المالَ منْ حرامٍ ثم صرفَ منهُ كثيراً في بناءِ مسجِدٍ ونَحْوِ ذَلكَ لا يقبلُ اللهُ مِنهُ، اللهُ لا يقبلُ منَ الصَّدقاتِ وبناءِ المساجِدِ ونحوِ ذلكَ إلا ما كان من مالٍ حلالٍ.

ثم بعضُ الناسِ يجمعونَ المالَ من حرامٍ يكونُ عندهُم مالٌ كثيرٌ ثم يموتونَ ويتركونَ هذا المالَ لأهليهِم وأقارِبِهِم، هذا الشخصُ ترك وَبَالاً عليْهِ، هؤلاءِ أهلُهُ ينتفِعونَ بهِ أما هو يُؤاخَذُ عليهِ في الآخِرةِ لأنَّهُ مالٌ حرامٌ جَمَعَهُ لهم من طريقٍ حَرَامٍ ثم تركهُ لهم وذهبَ الى القبرِ.

الأمرُ الرَّابِعُ منْ تعلَّمَ عِلمَ الدَّينِ الحلالَ والحرامَ تَعَلَّمَ ما هو فرْضٌ مِنْ طاعةِ اللهِ وتعَلَّمَ ما هو مُحَرَّمٌ في شرعِ اللهِ فإنْ كانَ ما تَعَلَّمَهُ طَبَّقَهُ أدَّى الفَرْضَ، أدَّى ما فرضَ اللهُ عليهِ وتجنَّبَ ما حَرَّمَهُ اللهُ عليهِ كَمَا تَعَلَّمَهُ مِنْ عِلْمِ الدِّينِ هذا منزِلَتُهُ عاليةٌ في الآخرةِ، أمَّا إنْ لمْ يَتْبَعْ عِلْمَهُ وتَبِعَ هَوَاهُ أضاعَ بعضَ الواجِباتِ أو ارتكبَ بعض الذنوبِ الكبيرةِ فهو له ويلٌ كبيرٌ في الأخرةِ ثم إنَّ هؤلاءِ الأربعةَ من خَتَمَ اللهُ لهُ بالإسلامِ فماتَ مؤمِناً ومُتَجَنِّباً للكُفْريَّاتِ فمهما كَثُرَتْ ذُنوبُهُ فهو تحت المشيئةِ إن شاءَ اللهُ عاقبَهُ بذنُوبِهِ وإن شاءَ عفا عنهُ، منْ ماتَ مُسْلِمَاً مهما كانتْ ذنوبُهُ كبيرةً لا يجوزُ لنَا أنْ نَقولَ هذا الشخصُ اللهُ يُعَذِّبُهُ، ما يُدرينا إن كانَ منَ الذينَ يُسامِحُهُمُ اللهُ على ذُنوبِهِم مَهْمَا كَثُرَتْ أو كانَ مِنَ الذينَ يُعَاقِبُهُم، الأمرُ يَوْمَ القيامةِ يَتَبيَّنُ، نحنُ لا ندري، الأمرُ يومَ القيامَةِ يَتبيَّنُ، لذلكَ نحنُ إذا علِمْنَا مُسلماً مِنْ أهلِ الكبائِرِ مَاتَ لا نَقولُ هذا من أهلِ النارِ، لا يجوزُ.

الصَّدقَةُ منْ مالٍ حلالٍ قدْ يغفِرُ اللهُ بها بعضَ الكَبَائِرِ، الصَّدقَةُ منَ المالِ الحلالِ لها نفعٌ كبيرٌ مهما قلَّتْ، لها عندَ اللهِ وَزْنٌ كبيرٌ لذلكَ قالَ الرسولُ عليهِ السَّلامُ: "سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائةَ ألفِ دِرْهمٍ" قيل: كيف ذلك يا رسولَ اللهِ قال: "رَجُلٌ لهُ دِرهَمَانِ (أي من حلال) تصَدَّقَ بِأحدِهِما وأبقى الآخَرَ لِنَفْسِهِ ورجُل ءاخَرُ تَصدَّقَ بمائةِ ألفٍ مِنْ عُرْضِ مالِهِ" أي لهُ مالٌ كثيرٌ، منْ هذا المالِ الكثيرِ الذي هو ملايينُ أعطى مائَةَ ألفٍ وترَكَ لِنَفسِهِ الكَثيرَ الكثيرَ، الرَّسولُ قالَ هذا الذي تَصَدَّقَ بِدِرهَمٍ وترَكَ لِنَفسِهِ دِرهماً ثَوابُهُ أعظَمُ من ذاكَ الذي تصَدَّقَ بِمائَةِ ألفٍ لأنَّ هذا غَلَبَ نفسَهُ لأجلِ الآخرَةِ ما قالَ أنا ما عِندي إلاَّ دِرْهَمَانِ كيفَ أُخرِجُ دِرهماً منهُما؟ ءاثَرَ الآخِرَةَ وخالفَ نفسَهُ وَرَغِبَ فيما عِندَ اللهِ منَ الثَّوابِ، هذا ثوابُهُ أفضَلُ من ذلكَ الغنيِّ ليس شرْطاً أنْ يكونَ الشخصُ تصَدَّقَ بالكثيرِ بَلِ العِبْرَةُ أنْ يكونَ المالُ حلالاً ثمَّ لو تصدَّقَ بحبَّةِ تَمْرٍ على إنسانٍ جائِعٍ هذهِ التَّمرَةُ الواحِدَةُ لها عندَ اللهِ وزْنٌ كبيرٌ قدْ يُعْتِقُ اللهُ المُسلِمَ منْ ذُنُوبٍ كبيرةٍ بِصدَقَةٍ قليلةٍ إنْ كانَ المالُ حلالاً وكانتِ النيَةُ تقرُّباً إلى اللهِ ليسَ للرياءِ ليسَ لِيُقالَ فلانٌ كريمٌ يبْذُلُ المالَ للهِ، إنَّما نِيَّتُهُ التَّقربُ إلى اللهِ بلا رِياءٍ.

ثُمَّ إنَّ اللهَ تَبَاركَ وتعالى أخَّرَ جَزَآء الكُفَّارِ والمسلمينَ العُصَاةِ أكْثَرَهُ إلى الآخِرَةِ، أكثرُ الكُفَّارِ الذينَ طَغَوْا وكَفَرُوا باللهِ وبأنبيائِهِ أَخَّرَ عَذَابَهُم إلى الآخِرَةِ، وبَعْضُهُمُ انتَقَمَ مِنْهُمْ في الدنيا، قَوْمُ نُوحٍ عليهِ السَّلامُ لَمَّا كَذَّبُوهُ وَبَقُوْا على عِبَادَةِ الأوْثَانِ الخَمْسَةِ تَعِبَ مَعَهُمْ، هو كانَ لا يَمَلُّ مِنْ دَعْوَتِهِم إلى الإسلامِ وَهُمْ يُقابِلونَهُ بالسبِ والشتمِ وأحياناً يَضْرِبونَهُ قَضَى وهو صَابِرٌ على هذا تِسْعَمِائَةٍ وخمسينَ سنةً، ما ءَامَنَ بهِ إلا نحوُ ثمانينَ شخصاً، اللهُ انزَلَ عليهِ الوحيَ بأنهُ لا يؤمنُ منهم إلاَّ القَدْرُ الذينَ ءَامَنُوا فَقَطَعَ الأمَلَ مِنْهُم صارَ يَدْعُو عليهِم بَعْدَ أنْ قَطَعَ الأمَلَ مِنْهُم فَدَعَا عَليْهِمْ بِأنْ لا يَتْرُكَ اللهُ مِنْهُم أحَداَ على الأرْضِ، اللهُ استَجابَ دُعَاءَهُ، كُلُّ أولئكَ حتى الأطفالُ اللهُ أهْلَكَهُمْ لأنَّ اللهَ عَلِمَ أنَّ أطفالَهُمْ لو كَبِروا لا يؤمِنونَ، اللهُ أهْلَكَهُمْ بِالغَرَقِ، أمرَ الأرضَ فارتَفَعَ ماؤُها أربعينَ ذِراعاً وأمرَ السَّمَاءَ فصارتْ تُمْطِرُ قَطَرَاتٍ كُلُّ قَطْرَةٍ كالجبلِ ليسَ كالعَادَةِ، اجتمعَ ماءُ الأرضِ وماءُ السماءِ، فَغَطَّى جِبَالَ الأرضِ كُلَّهَا، أما نوحٌ ومَنْ ءامَنَ معهُ اللهُ نَجَّاهُم، اللهُ عَلَّمَهُ أنْ يَعْمَلَ السَّفينةَ، الكفارُ كانوا يَسخرونَ منهُ وهو يعملُ السفينة، اللهُ نَجَّاهُ ومَنْ ءَامَنَ بهِ وأهلكَ البقيةَ حتى ابْنَهُ أكَلَهُ الغَرَقُ لأنهُ كَفَرَ.

ثم بعدَ هؤلاءِ البَشَرُ كَفَرُوا، فَسَلَّطَ اللهُ عليهِمُ الريحَ فَهَلَكُوا إلا الذينَ ءامنوا، الريحُ رَفَعَتْهُم إلى مسافةٍ بعيدةٍ في الفضاءِ ثم فصلتْ رؤوسَهُم عن أجسادِهِم، هؤلاءِ الكفارُ أيضاَ اللهُ انتقمَ منهُم في الدُّنيا. هؤلاء هم قوم عاد وهم منَ العربِ. كانَ مَرْكَزُهُمُ اليَمَنَ، اليمنُ كانَتْ في الماضي فيها ماءٌ كثيرٌ وأشجارٌ كثيرةٌ وفواكِهُ كثيرةٌ كانَ فيها نِعْمَةٌ كثيرةٌ، هؤلاءِ قَوْمُ عَادٍ كَفَرُوا بِنَبِيِّهِم هُودٍ وهو عربيٌ، هؤلاءِ اللهُ أهلَكَهُم بالريحِ ثم بعدَ هؤلاءِ أيضاَ ذُرِّيَّةُ الذينَ أسْلَمُوا وَبَقَوْا على الأرضِ مَعَهُ أيضاً كفروا أرسلَ اللهُ اليهم نبياً فكذَّبُوهُ وءَاذَوْهُ كذلكَ هذا النبيُّ من العربِ، اللهُ تعالى أهْلَكَ الذينَ كَذَّبُوا نَبيَّهُم صَالِحاً وَهُوَ مِنَ العَرَبِ، نَجَّاهُ اللهُ وَمَنْ ءَامَنَ بهِ وأهْلَكَ الذينَ كَفَرُوا، ثم بعدَ ذلكَ أيضاً تكَرَّرَ هذا، قَوْمُ شُعَيْبٍ اللهُ أهْلَكَهُم لَمَّا كَذَّبُوا نبيَّ اللهِ شُعيبًاً، نبيُ اللهِ شُعيبٌ كانَ بالأُرْدُنِّ أمَّا هودٌ كانَ باليمنِ اما صَالِحٌ كانَ فيما بينَ المدينةِ والشامِ، ثم بعدَ ذلكَ قَوْمُ فِرْعونَ الذينَ كَذَّبُوا موسى وتَجَبَّرُوا أهْلَكَهُمُ اللهُ وَنَجَّى موسى وَمَنْ ءَامَنَ بهِ، ثمَ هؤلاءِ أيضاً الذينَ ءَامَنُوا بموسى قِسمٌ مِنهُم في حياةِ مَوسى نحوُ سبعينَ ألفَ شخصٍ كانوا مَعَهُ كَفَرُوا عَبَدُوا العِجْلَ هؤلاءِ تَابُوا رَجَعُوا إلى الإسلامِ، لكنَّ اللهَ أنْزَلَ وَحْيَاً على موسى بأن يُقْتَلَ هؤلاءِ، هَؤلاءِ أسْلَمُوا وَمَعَ ذَلكَ كَفَّارَةً أُمِرَ بِقَتْلِهِمْ، فَصَارَ الذينَ لمْ يَعْبُدُوا العِجْلَ يَقتُلُونَ الذين عبدوا العِجْلَ، فصارَ الرَّجُلُ لا يُبَالي إنْ قَتَلَ أخَاهُ أوْ أبَاهُ، بعدَ ذلكَ اللهُ أرسلَ أنبياءَ كثيرينَ، ما حَصَلَ مِثلُ ذلكَ إلى أَنْ جَاءَ عيسى عليه السلامُ، كذلكَ عِيسى بعضُ الناسِ كَفَرُوا بهِ وبعضُ الناسِ ءَامَنُوا، كانَ عِنْدَهُم وضوءٌ وصلاةٌ وصيامٌ مِثْلَنَا لكنَّ الصِّيَامَ الذي فُرِضَ عليهِم غيرُ شَهْرِ رَمَضَانَ اللهُ جَعَلَ شَهْرَ رمضَانَ لأُمَّةِ مُحَمَّدٍ هؤلاءِ مَا أنزَلَ اللهُ عليهِم عَذَاباً مِثْلَ قومِ نوحٍ وَعَادٍ ولا يُنزِلُ مِثْلَ ذلكَ إلى يومِ القيامةِ، إنما الناسُ قَبْلَ يومِ القيامةِ يَكفُرونَ كُلُّهُم لا يُوجَدُ في ذلكَ الوقتِ مُسْلِمٌ يقولُ لا إله إلا اللهُ، بعدَ مِائَةِ سَنَةٍ اللهُ يأمُرُ إسْرَافيلَ بِأنْ يَنْفُخَ في بُوقٍ كبيرٍ صَوْتُهُ يَقْتُلُ كُلَّ الكُفَّارِ هُنَاكَ القِيَامَةُ هذا أوَّلُ القيَامَةِ، بعدَ هؤلاءِ الكُفَّارِ الملائكةُ يموتونَ ثم يعيدُ اللهُ الناسَ الذينَ مَاتُوا، والناسُ الذينَ كانوا مَاتُوا قبلَ هؤلاءِ لا يموتُونَ مَوْتَةً ثَانِيَةً إنما يُصِيبُهُم غَشْيَةٌ ثُمَّ يُفيقُونَ، حتى الأنْبِيَآءُ في النفخةِ الثانيةِ نَفْخَةِ البَعْثِ اللهُ يُحييهِم وإسرافيلُ يُحييهِ اللهُ فيَنْفُخُ في الصُّورِ، هذهِ يُقَالُ لَها نفخةُ البَعْثِ، الناسُ الذينَ ماتوا اللهُ يُعيدُهُم ثمَ الناسُ تَنْشَقُّ عنهُمُ القُبورُ فَيخرُجُونَ، الأنبياءُ عِنْدَ النَّفْخَةِ الأولى لا يموتونَ لأنهم قَدْ مَاتُوا قبلَ ذلكَ، إنما يُغشى عليهم كما يُغشى على المريضِ إذا اشْتَدَّ مَرَضُهُ، يَغيبونَ عَنْ وَعْيِهِم لا يموتونَ مَوْتَةً ثَانِيَةً، بعدَ ذلكَ يَصيرُ الحُكْمُ بينَ المؤمنينَ وبينَ الكُفَّارِ، الكُفَّارُ كُلُّهُم إلى النارِ، مَنْ كَذَّبَ الأنبياءَ، أما المؤمنونَ لا بُدَّ أَنْ يَدْخُلَ كُلُّ فَرْدٍ مِنْهُمُ الجنةَ لكنْ قِسْمٌ مِنْهُم منْ دونِ أن يصيبَهُم أَدْنَى عَذَابٍ مِنْ دُونِ أنْ يُصيبَهُم أدْنَى مَشَقَّةٍ، في كُلِّ هذا الوقتِ لا يُصيبُهُم شيءٌ مِنَ الأَذَى والمشقَّةِ، هؤلاءِ أولياءُ اللهِ والشُّهَدَاءُ، الشهيدُ لوْ كانَ منْ أهلِ الكبائِرِ اللهُ لا يُعَذِّبُهُ مهمَا كانتْ ذنوبُهُ كبيرةً، أما الأولياءُ أعْلَى دَرَجَةً منَ الشُّهَدَاءِ الذينَ ليسوا أولياءَ، في مَوْقِفِ القيامةِ قبلَ صَرْفِ الناسِ إلى الجنةِ أوِ النارِ اللهُ يَجعلُ بعضَ المؤمنينَ تحتَ ظِلِّ العَرْشِ، لا يُصيبُهُم حَرُّ الشمسِ يكونونَ في نِعمةٍ وراحةٍ وسرورٍ وفرحٍ، يَجْلِسُونَ على مَنَابِرَ منْ نورٍ، وُجوهُهُم نورٌ ويجلِسونَ على منابِرَ منْ نورٍ.

قَال العلَّامةُ الهرَريُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالى

"لَـيْـسَ الشَّـرَفُ شَـرَفُ المَـال، إنَّمَـا الشَّـرَفُ شَـرَفُ العِـلِـم"

واللهُ سُبْحانَهُ وتعالى أعلم وأحكم

وَالحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِين

Rabu, 28 Maret 2018

Memulyakan bulan Rojab


*MEMULIAKAN BULAN RAJAB*

Allah SWT telah menetapkan bulan-bulan tertentu sebagai bulan haram, yakni bulan suci yang wajib dimuliakan dan dihormati. Allah SWT berfirman:

﴿إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ﴾
Sungguh bilangan bulan menurut Allah SWT ada dua belas bulan dalam catatan Allah pada hari ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Di antaranya terdapat empat bulan haram [suci]. Itulah agama yang lurus. Karena itu janganlah kalian menzalimi diri kalian pada bulan-bulan itu (TQS at-Taubah [9]: 36).

Nabi saw. menjelaskan empat bulan suci dalam ayat tersebut:

«إنَّ الزَّماَنَ قَدْ اِسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُوْ الْقَعْدَةِ، وَذُوْ الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ شَهْرُ مُضَرّ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادِى وَشَعْبَانَ»
Sungguh waktu itu telah diputar sebagaimana keadaannya ketika Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga berurutan, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram; serta Rajab bulan Mudharr yang terdapat di antara Jumadi dan Sya’ban (HR Muslim).

Allah SWT menetapkan bulan-bulan tertentu sebagai bulan haram (suci). Maknanya, Allah SWT menetapkan kemuliaan dan kehormatan yang ada di dalamnya wajib dijaga. Karena itu dalam khutbah Haji Wada’- Nabi saw. bersabda:

«إنَّ أَمْوَالَكُمْ وَدِمَاءَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا وَفِي بَلَدِكُمْ هَذَا»
Sesungguhnya harta kalian, darah kalian dan kehormatan kalian adalah haram (mulia) bagi kalian sebagaimana kemuliaan hari kalian ini, pada bulan kalian ini dan di negeri kalian ini (HR Muslim).

Dalam ayat di atas Allah SWT dengan tegas melarang kita melakukan kezaliman terhadap diri kita pada bulan-bulan tersebut. Jika melakukan kezaliman pada bulan-bulan lain dilarang, maka penegasan Allah SWT atas larangan melakukan kezaliman pada bulan haram ini menunjukkan larangan tersebut lebih besar lagi dosanya. Begitu juga saat kita dilarang menzalimi diri sendiri maka larangan menzalimi orang lain tentu dosanya lebih besar lagi. 

Karena itu Imam al-Baihaqi menyatakan bahwa Allah SWT telah menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan-bulan (haram) tersebut lebih besar. Amal shalih dan pahalanya (pada bulan-bulan haram tersebut) pun sangat besar (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, III/370).

Dulu kaum Muslim menolak untuk mengeksekusi hukuman qishâsh pada bulan haram ini (‘Abdu ar-Razzaq, Al-Mushannaf, IX/303).

Bahkan Imam Syafii rahimahulLâh telah melipatgandakan diyat (uang tebusan) pembunuhan karena salah (qatlu al-khatha’) yang dilakukan pada bulan haram. Beliau bersandar pada riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas. Inilah kemuliaan bulan haram, termasuk bulan Rajab.

Begitu sekelumit kemuliaan dan kehormatan bulan haram, termasuk bulan Rajab, juga bagaimana kaum Muslim terdahulu mengagungkan bulan-bulan haram itu dan menghormati kemuliaan dan kesuciannya.

Sayang, tak sedikit dari kaum Muslim yang tidak paham kemuliaan, kesucian dan kehormatan bulan haram. termasuk bulan Rajab ini. Akibatnya, mereka menyia-nyiakan bahkan menodai kemuliaan, kesucian dan kehormatannya.

Memuliakan Bulan Rajab

Allah SWT telah menetapkan Rajab termasuk bulan suci. Allah SWT pun telah memilih Rajab sebagai momen hijrah kaum Muslim yang pertama ke Habasyah, tahun ke-5 kenabian. Allah SWT juga menjadikan Rajab sebagai momen untuk meng-isra’mikraj-kan hamba-Nya pada tahun ke-10 kenabian. Isra’ dan Mikraj adalah momen istimewa. Pasalnya, tidak saja dalam peristiwa itu Nabi saw. menerima titah kewajiban shalat, tetapi juga menerima  pengukuhan beliau sebagai pemimpin bagi seluruh umat manusia. Itulah saat beliau dititahkan menjadi imam para nabi dan rasul sebelumnya di Baitul Maqdis.

Pada bulan Rajab juga Allah SWT menetapkan momen pertemuan pertama kali Nabi saw. dengan kaum Anshar yang mempunyai kemuliaan. Melalui tangan merekalah Negara Islam pertama tegak di Madinah. Dengan itu kesucian darah, harta dan jiwa pun bisa terjaga. Jabir bin ‘Abdillah ra. menuturkan: Rasulullah saw. pernah menawarkan dakwah kepada khalayak…Baginda mengatakan, “Apakah ada seseorang yang bisa membawaku kepada kaumnya karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku?” Jabir berkata: Seorang laki-laki dari Bani Hamdan lalu mendatangi beliau. Dia berkata, “Saya.” Baginda bertanya, “Apakah kaummu mempunyai kekuatan (yang bisa melindungi)?” Dia menjawab, “Iya.” Lalu Rasul saw. bertanya lagi kepada dia, “Dari mana asalnya?” Dia menjawab, “Dari Bani Hamdan.” Pada saat berikutnya, dia pun krmbali mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata, “Saya telah mendatangi kaumku. Saya telah memberitahu mereka. Kemudian saya akan menemui Anda tahun depan.” Baginda menjawab, “Baik.” Dia pun pergi. Lalu delegasi Anshar pun tiba pada bulan Rajab (HR al-Hakim an-Nisaburi, Al-Mustadrak, IX/497).

Rajab juga telah dijadikan oleh Allah SWT momen istimewa peralihan kiblat kaum Muslim, dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, III/252-253).

Rasul saw. pun menjadikan Rajab sebagai momen pengiriman desatemen Abdullah bin Jahsy, yang kemudian menjadi pemicu terjadinya Perang Badar (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, III/248-249).

Bahkan Perang Tabuk, peperangan yang sangat sulit sehingga tentaranya disebut “Jaisy ‘Usyrah”, juga dilakukan pada bulan Rajab, tahun 9 H (Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, V/195). 

Rajab juga telah dijadikan momen penting bagi generasi berikutnya. Kota Damaskus (Syam) dibebaskan oleh kaum Muslim di bawah Panglima Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah dan Khalid bin al-Walid radhiyalLâhu ‘anhuma pada bulan Rajab tahun 14 H/635 M. Setelah itu Perang Yarmuk, yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid menghadapi Romawi, terjadi pada hari Senin, bulan Rajab, tahun 15 H/636 M (Ibnu Katsir, An-Bidâyah wa an-Nihâyah, VII/4).

Berikutnya Khalid bin al-Walid membebaskan Hirah, Irak, juga pada bulan Rajab (Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, VI/343). Setelah menaklukkan Irak ini, Khalid kemudian melakukan Shalat Fath.

Baitul Maqdis juga berhasil direbut kembali oleh kaum Muslim pada bulan Rajab, tepatnya 28 Rajab 583 H/2 Oktober 1187 M di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi setelah mereka mengalahkan pasukan salib dalam Perang Hittin. Azan dan shalat Jumat kembali dikumandangkan dan dilaksanakan di Masjid al-Aqsha, setelah 88 tahun diduduki tentara Salib.

Begitulah kemuliaan Rajab di mata Islam dan kaum Muslim, dari dulu, kini hingga Hari Kiamat. Kaum Muslim dulu telah begitu rupa memuliakan dan menjaga kehormatan bulan haram termasuk Rajab dengan mempersembahkan amal-amal mulia, amal-amal spektakuler dan prestasi monumental yang dicatat dengan tinta emas sejarah untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslim.

Sayang, kini kemuliaan Rajab yang begitu luar biasa itu telah hilang. Ini seiring dengan redup bahkan hilangnya pemahaman dan kesadaran umat akan kemuliaan bulan ini, terutama setelah Islam telah dibuang dari kehidupan. Ini terjadi setelah terjadi malapetaka besar atas umat ini. Mushtafa Kemal bersama komplotannya—la’natulLâh ‘alayhim—bersekongkol dengan Inggris dan Perancis, menghancurkan Khilafah Utsmani pada 28 Rajab 1351 H/4 Maret 1924 M.  Akibat lenyapnya Khilafah, junnah (pelindung) Islam dan umat Islam, umat Islam pun dirundung malapetaka demi malapetaka hingga sekarang seolah tak berkesudahan.

Namun demikian, yakinlah dengan izin dan pertolongan Allah, semua itu akan segera berakhir. Allah SWT telah berjanji bahwa penerapan syariah Islam  akan kembali terwujud. Allah SWT telah menjanjikan, Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian akan kembali tegak menerapkan syariah, melindungi umat, menjaga kemuliaan Islam serta menebarkan petunjuk dan keadilan ke seluruh dunia. Itu merupakan urusan Allah SWT dan Dia pasti akan  memenangkan urusan-Nya.

Atas izin Allah SWT, selalu  ada jamaah (thâ`ifah) di antara umat Nabi-Nya yang terus-menerus berjuang siang dan malam. Mereka berjuang dan melipatgandakan perjuangannya untuk mewujudkan penerapan syariah Islam, menegakkan kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah serta menjaga kemuliaan Islam dan kaum Muslim. Hal itu, selain dilandasi oleh kesadaran bahwa itu merupakan kewajiban syar’i dari Allah SWT, juga dilandasi kesadaran akan kondisi umat ini, bagaimana penderitaan yang mereka alami, serta solusi apa yang seharusnya direalisasikan.

Karena itu hendaklah kita memastikan diri menjadi bagian dari barisan orang-orang yang mendapat kemuliaan dari Allah SWT itu. Caranya dengan meneguhkan dan mengokohkan tekad serta menggelorakan semangat dan berpartisipasi semaksimal mungkin sesuai potensi dan kemampuan kita dalam perjuangan untuk menerapkan syariah dan merealisasi janji Allah akan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Apalagi pada bulan Rajab, bulan haram ini, yang di dalamnya pahala amal shalih dilipatgandakan.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

﴿وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ﴾
Katakanlah, "Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta kaum Mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui perkara yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepada kalian apa saja yang telah kalian kerjakan.” (TQS at-Taubah [9]: 105). []

Bahan Renungan

*Buya Hamka.:*

*1. Jika Kita Memelihara Kebencian/Dendam,* maka
seluruh 'Waktu & Pikiran' yg kita miliki akan habis begitu saja & kita tidak akan pernah menjadi 'Orang Yang Produktif'.

*2. Kekurangan Orang Lain adalah Ladang Pahala' bagi kita untuk :*
» Memaafkannya,
» Mendoakannya,
» Memperbaikinya, dan
» Menjaga Aib-nya.

*3. Bukan Gelar, Jabatan dan kekayaan yg menjadikan 'Orang Menjadi Mulia',* Jika kualitas pribadi kita buruk, semua itu hanyalah 'Topeng Tanpa Wajah'.

*4. Ciri Seseorang (Pemimpin ) itu " Baik'* akan Tampak dari :
» Kematangan Pribadi,
» Buah Karya,
» serta Integrasi antara 'Kata & Perbuatan'-nya.

*5. Jika Kita Belum bisa membagikan Harta atau membagikan Kekayaan,*  maka Bagikanlah 'Contoh Kebaikan' karena Hal itu akan 'Menjadi Tauladan'.

*6. Jangan Pernah Menyuruh Orang lain utk Berbuat Baik,* Sebelum Menyuruh Diri Sendiri',
Awali segala sesuatunya untuk kebaikan dari Diri Kita Sendiri.

*7. Pastikan Kita sudah melakukan yg terbaik & 'Beramal' hari ini,* Baik dengan :
» Materi,
» dengan Ilmu,
» dengan Tenaga,
» atau Minimal dgn
'Senyuman yg Tulus'...

*8. Para Pembohong* akan
'Dipenjara oleh Kebohongannya' sendiri.
Orang yg Jujur akan
'Menikmati Kemerdekaan' dalam Hidupnya.

*9. Bila Memiliki 'Banyak Harta', maka Kita lah yg akan 'Menjaga Harta'.*
Namun Jika Kita Memiliki 'Banyak Ilmu', maka Ilmu lah yg akan 'Menjaga Kita'.

*10. Bila 'Hati Kita Bersih',*
Tak ada Waktu untuk :
» Berpikir Licik,
» Curang,
» atau Dengki,
sekalipun terhadap Orang lain.

*11. Bekerja Keras adalah 'Bagian Dari Fisik',* Bekerja Cerdas merupakan 'Bagian Dari Otak', sedangkan Bekerja Ikhlas adalah
'Bagian Dari Hati'.

*12. Jadikanlah setiap 'Kritik'* bahkan 'Penghinaan' yg Kita Terima sebagai 'Jalan Untuk Memperbaiki Diri'.

*13.Kita tdk pernah tahu Kapan* 'Kematian' akan 'Menjemput Kita, tapi yg Kita Tahu  adalah kematian itu pasti datang & seberapa Banyak Bekal rohani yg Kita Miliki untuk Menghadapinya..

*Renungkanlah*

Dalil Puasa Rojab

Ahli hadis yang diberi gelar Amirul Mu'minin fil Hadis, al-Hafidz Ibnu Hajar, telah mengarang sebuah kitab Tabyin al-'Ajab fi Ma Warada fi Fadhli Rajab yang mengulas tentang dalil-dalil hadis keutamaan bulan Rajab dengan menjelaskan hadis-hadis yang sahih dan dlaif bahkan maudlu' (palsu), begitu pula tentang dalil puasa di bulan Rajab.

Di awal pembahasannya, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Tidak ada dalil sahih secara khusus untuk berpuasa dan ibadah malam di bulan Rajab". Namun Ibnu Hajar mengulas beberapa hadis yang secara umum memberi indikasi keutamaan puasa di bulan Rajab.


Pertama hadis Usamah bin Zaid, ia bertanya kepada Rasulullah Saw:

قُلْت يَا رَسُول اللَّه لَمْ أَرَك تَصُومُ مِنْ شَهْر مِنْ الشُّهُور مَا تَصُوم مِنْ شَعْبَان ، قَالَ : ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَان ، وَهُوَ شَهْر تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَال إِلَى رَبّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
"Wahai Rasulullah, saya tidak menjumpai Engkau berpuasa di bulan-bulan yang lain sebagaimana Engkau berpuasa di bulan Sya'ban. Rasulullah menjawab: "Sya'ban adalah bulan yang dilupakan oleh orang-orang antara bulan Rajab dan Ramadlan. Bulan Sya'ban adalah bulan laporan amal kepada Allah. Maka saya senang amal saya dilaporkan sementara saya dalam kondisi berpuasa" (HR Nasai, Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah. Baca Fathul Bari Syarah Sahih Bukhari karya al-Hafidz Ibnu Hajar, VI/238. Ibnu Hajar juga menilainya sahih)

al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

فَهَذَا فِيْهِ إِشْعَارٌ بِأَنَّ فِي رَجَبَ مُشَابَهَةً بِرَمَضَانَ، وَأَنَّ النَّاسَ يَشْتَغِلُوْنَ مِنَ الْعِبَادَةِ بِمَا يَشْتَغِلُوْنَ بِهِ فِي رَمَضَانَ، وَيَغْفُلُوْنَ عَنْ نَظِيْرِ ذلِكَ فِي شَعْبَانَ. لِذَلِكَ كَانَ يَصُوْمُهُ. وَفِيْ تَخْصِيْصِهِ ذَلِكَ بِالصَّوْمِ - إِشْعَارٌ بِفَضْلِ رَجَبَ، وَأَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنَ الْمَعْلُوْمِ الْمُقَرَّرِ لَدَيْهِمْ.
"Hadis ini memberi penjelasan bahwa bulan Rajab dan Ramadlan memiliki kesamaan dalam hal keutamaan. Dan Rasulullah yang menyebut secara khusus tentang puasa juga memberi penjelasan tentang keutamaan Rajab" (Tabyin al-Ajab hal. 2)

Kedua hadis seorang sahabat yang meminta kepada Nabi agar diperintah melakukan puasa, maka Nabi bersabda:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ « وَمَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى جِئْتُكَ عَامَ الأَوَّلِ. قَالَ « فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ ». قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ». ثُمَّ قَالَ « صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ». قَالَ زِدْنِى فَإِنَّ بِى قُوَّةً. قَالَ « صُمْ يَوْمَيْنِ ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ « صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ « صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ ». وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا
"Puasalah di bulan Sabar (Ramadlan) dan dua hari setiap bulan". Sahabat berkata: ”Tambahkanlah Nabi, saya masih mampu". Nabi bersabda: "Puasalah tiga hari". Sahabat berkata: "Tambahkanlah Nabi". Maka Nabi bersabda: "Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan. Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan. Puasalah di bulan-bulan mulia dan tinggalkan (diulang tiga kali. Rasulullah menggenggam tangannya lalu melepaskannya)" (HR Ahmad No 20338, Abu Dawud No 2428, Ibnu Majah No 1741, Nasai dalam Sunan al-Kubra No 2743, Thabrani No 18336 dan al Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 3738)

al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

فَفِي هَذَا اْلخَبَرِ – وَإنْ كَانَ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ لاَ يُعْرَفُ - مَا يَدُلُّ عَلَى اسْتِحْبَابِ صِيَامِ بَعْضِ رَجَبَ، لأَنَّهُ أَحَدُ اْلأَشْهُرِ اْلحُرُمِ
"Hadis ini menunjukkan anjuran puasa sebagian bulan Rajab. Sebab bulan Rajab adalah salah satu bulan yang mulia (Asyhur al-Hurum sebagaimana dalam at-Taubah 36 diatas)"

Sebagian ulama ada yang menilai hadis ini dlaif, misalnya Syaikh Syu'aib al-Arnauth, dengan alasan bahwa Mujibah al-Bahiliyah 'tidak diketahui' (La Yu'rafu).

Dan yang dimaksud bahwa Rasulullah bersabda sebanyak puasa 3 kali, menunjukkan bahwa yang sunah puasa di bulan Rajab adalah sebanyak 3 hari.

Sedangkan riwayat atsar dari Sahabat yang seolah tidak ada anjuran berpuasa di bulan Rajab juga segera direspon oleh Ulama ahli hadis, misalnya riwayat berikut ini: "Utsman bin Hakim al-Anshari bertanya kepada Said bin Jubair tentang puasa Rajab (saat itu sedang di bulan Rajab). Said menjawab: Saya mendengar Ibnu Abbas berkata bahwa Rasulullah Saw berpuasa sehingga kami berkata: Rasulullah tidak berbuka. Dan Rasul berbuka sehingga kami berkata: Rasulullah tidak berpuasa" (HR Muslim No 2782)

Imam an-Nawawi menjawab:

الظَّاهِر أَنَّ مُرَاد سَعِيد بْن جُبَيْر بِهَذَا الِاسْتِدْلَال أَنَّهُ لَا نَهْيَ عَنْهُ ، وَلَا نَدْب فِيهِ لِعَيْنِهِ ، بَلْ لَهُ حُكْم بَاقِي الشُّهُور ، وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ ، وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم ، وَرَجَب أَحَدهَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (شرح النووي على مسلم - ج 4 / ص 167)
"Yang dimaksud dengan jawaban Said bin Jubair adalah tidak ada larangan untuk berpuasa di bulan Rajab dan tidak ada anjuran secara khusus untuk puasa di bulan tersebut. Tetapi Rajab sama dengan bulan yang lainnya. Namun sebenarnya hakikat puasa adalah sunah. Di dalam Sunan Abi Dawud dijelaskan bahwa Rasulullah Saw menganjurkan puasa di bulan-bulan Haram (Bulan Mulia), dan Rajab adalah salah satunya" (Syarah Muslim IV/167)

Begitu pula jawaban dari al-Hafidz as-Suyuthi, bahkan beliau meriwayatkan atsar yang lain, yaitu Abu Qilabah berkata:

وَلَمْ يَثْبُتْ فِي صَوْمِ رَجَبَ نَهْيٌ وَلاَ نَدْبٌ بِعَيْنِهِ وَلَكِنْ أَصْلُ الصًّوْمِ مَنْدُوْبٌ إِلَيْهِ وَفِي سُنَنِ أَبِي دَاوُدَ أنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْمِ مِنَ اْلأَشْهُرِ اْلحُرُمِ وَرَجَبُ أَحَدُهَا اِنْتَهَى قُلْتَ وَرَوَى الْبَيْهَقِي فِي شُعَبِ اْلإِيْمَانِ عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ قَالَ فِي الْجَنَّةِ قَصْرٌ لِصُوَّامِ رَجَبَ وَقَالَ هَذَا أَصَحُّ مَا وَرَدَ فِي صَوْمِ رَجَبَ قَالَ وَأبُوْ قِلاَبَةَ مِنَ التَّابِعِيْنَ وَمِثْلُهُ لاَ يَقٌُوْلُ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ بَلاَغٍ مِمَّنْ فَوْقَهُ عَمَّنْ يَأْتِيْهِ الْوَحْيُ (الديباج على مسلم ج 3 / ص 238)
"Di surga ada istana yang diperuntukkan bagi orang-orang yang berpuasa di bulan Rajab". Ahmad (bin Hanbal) berkata: "Kendatipun diwayat ini mauquf pada Abu Qilabah, sementara dia adalah Tabi'in, namun hal semacam ini hanya diucapkan oleh seorang yang menerima wahyu (Rasulullah Saw)". Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-iman No 3641 dan disahihkan oleh al-Hafidz as-Suyuthi dalam ad-Dibaj Syarah Sahih Muslim bin Hajjaj III/238.

Memang telah banyak hadis palsu (maudlu') yang popular tentang puasa Rajab yang harus dihindari. Misalnya: "Barang siapa berpuasa 1 hari di bulan Rajab karena iman dan mengharap pahala, maka akan mendapatkan ridlo Allah yang paling agung dan ditempatkan di surga Firdaus…." Di dalam sanadnya terdapat Hasan an-Naqqasy, Ibnu Hajar berkata: Ia pemalsu hadis (wadldla' Dajjal). Begitu pula: "Barangsiapa yang berpuasa 3 hari di bulan Rajab, maka Allah mencatatnya seperti puasa 1 bulan…" Di dalam sanadnya terdapat Amru bin Azhari yang dituduh dusta oleh Yahya bin Ma'in dan lainnya.

Puasa Rajab Dalam Pandangan 4 Madzhab Aswaja

Syaikh Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan dalam kitabnya yang menghimpun 4 madzhab Ahlisunnah wal Jamaah, pendapat para ulama mengenai puasa bulan Rajab, beliau berkata:

يُنْدَبُ صَوْمُ شَهْرِ رَجَبَ وَشَعْبَانَ بِاتِّفَاقِ ثَلَاثَةٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ وَخَالَفَ الْحَنَابِلَةُ ( الْحَنَابِلَةُ قَالُوْا : إِفْرَادُ رَجَبَ بِالصَّوْمِ مَكْرُوْهٌ إِلَّا إِذَا أَفْطَرَ فِي أَثْنَائِهِ فَلَا يُكْرَهُ ) (الفقه على المذاهب الأربعة – ج 1 / ص 895)
“Dianjurkan puasa bulan Rajab dan Sya’ban, berdasarkan kesepakatan 3 madzhab (Hanafi, Maliki dan Syafii). Sedangkan madzhab Hanbali berbeda. Mereka berkata: Mengkhususkan bulan Rajab dengan berpuasa adalah makruh, kecuali tidak melakukan puasa di bulan Rajab secara penuh selama 1 bulan” (al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah 1/895)

Mengenai bulan-bulan 4 yang mulia diatas, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri kembali menjelaskan pandangan ulama 4 madzhab sebagai berikut:

أَمَّا الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ وَهِيَ أَرْبَعٌ : ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَةٌ وَهِيَ ذُوْ الْقَعْدَةِ وَذُوْ الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمِ وَوَاحِدٌ مُنْفَرِدٌ وَهُوَ رَجَبُ فَإِنَّ صِيَامَهَا مَنْدُوْبٌ عِنْدَ ثَلَاثَةٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ وَخَالَفَ الْحَنَفِيَّةُ ( الْحَنَفِيَّةُ قَالُوْا : الْمَنْدُوْبُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَنْ يَصُوْمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلٍّ مِنْهَا وَهِيَ : الْخَمِيْسُ وَالْجُمْعَةُ وَالسَّبْتُ ) (الفقه على المذاهب الأربعة – ج 1 / ص 895)
“Adapun bulan-bulan mulia, yaitu 4 bulan, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, maka melakukan puasa di bulan-bulan tersebut adalah sunah menurut 3 madzhab, yakni Maliki, Syafii dan Hanbali. Adapun madzhab Hanafi berkata: Yang sunah dalam berpuasa di bulan-bulan mulia tersebut adalah berpuasa sebanyak 3 hari, yaitu hari Kamis, Jumat dan Sabtu” (al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah 1/895)

Secara terperinci berikut adalah pendapat para ulama madzhab Ahlissunnah:

A. Madzhab Hanafi
لِأَنَّ صَوْمَ رَجَبَ كَانَ مَشْرُوعًا (المبسوط ابو بكر السرخسي- ج 4 / ص 72)
“Puasa Rajab adalah disyariatkan” (Abu Bakar as-Sarakhsi dalam al-Mabsut, 4/72)

B. Madzhab Maliki
وَنُدِبَ صَوْمُ بَقِيَّةِ الْمُحَرَّمِ وَصَوْمُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَنُدِبَ صَوْمُ يَوْمِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لِمَنْ أَرَادَ الِاقْتِصَارَ (حاشية الصاوي على الشرح الصغير – ج 3 / ص 251)
“Disunahkan puasa di bulan-bulan mulia, puasa bulan Rajab, Sya’ban dan puasa di pertengahan Sya’ban yang yang ingin meringkasnya” (Syaikh ash-Shawi dalam Syarah ash-Shaghir 3/251)
C. Madzhab Syafii
قِيْلَ: وَمِنَ الْبِدَعِ صَوْمُ رَجَبَ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ هُوَ سُنَّةٌ فَاضِلَةٌ، كَمَا بَيَّنْتُهُ فِي الْفَتَاوِي وَبَسَطْتُ الْكَلَامَ عَلَيْهِ (إعانة الطالبين - ج 1 / ص 313)
“Dikatakan bahwa puasa Rajab adalah bid’ah, maka itu tidak benar, bahkan suatu kesunahan yang utama sebagaimana saya terangkan dalam kitab al-Fatawi karya Ibnu Hajar al-Haitami” (Syaikh Abu Bakar ad-Dimyathi dalam Ianatut Thalibin 1/313)

D. Madzhab Hanbali
قَالَ فِي الْفُرُوعِ : لَمْ يَذْكُرْ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ اسْتِحْبَابَ صَوْمِ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ . وَاسْتَحْسَنَهُ ابْنُ أَبِي مُوسَى فِي الْإِرْشَادِ . قَالَ ابْنُ الْجَوْزِيِّ فِي كِتَابِ أَسْبَابِ الْهِدَايَةِ : يُسْتَحَبُّ صَوْمُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ وَشَعْبَانَ كُلِّهِ ، وَهُوَ ظَاهِرُ مَا ذَكَرَهُ الْمَجْدُ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ ، وَجَزَمَ بِهِ فِي الْمُسْتَوْعِبِ ، وَقَالَ : آكَدُ شَعْبَانَ يَوْمُ النِّصْفِ ، وَاسْتَحَبَّ الْآجُرِّيُّ صَوْمَ شَعْبَانَ ، وَلَمْ يَذْكُرْ غَيْرَهُ ، وَقَالَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ : فِي مَذْهَبِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ نِزَاعٌ . قِيلَ : يُسْتَحَبُّ صَوْمُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ ، وَقِيلَ : يُكْرَهُ (الإنصاف علي بن سليمان المرداوي - ج 5 / ص 500)
“Ibnu Muflih berkata dalam kitab al-Furu’: Kebanyakan ulama Hanbali tidak menyebutkan kesunahan puasa bulan Rajab dan Sya’ban. Sedangkan Syaikh Ibnu Abi Musa dalam kitabnya al-Irsyad menilainya sebagai sesuatu yang bagus. Ibnu al-Jauzi berkata dalam kitab Asbab al-Hidayah: Dianjurkan berpuasa di bulan-bulan mulia dan bulan Sya’ban keseluruhannya. Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh al-Majdu tentang bulan-bulan mulia. Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyah berkata): Dalam Madzhab Imam Ahmad dan lainnya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan sunah puasa Rajab dan Sya’ban dan ada yang mengatakan makruh” (Syaikh Ali bin Sulaiman al-Marwadi dalam al-Inshaf 5/500)

Oleh : Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin