Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 29 Juni 2018

Arah Kiblat masjid tdk Tepat

Arah kiblat masjid
tidak benar

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Di tengah sebagian kalangan baru-baru ini terlihat perdebatan mengenai masalah kiblat. Terutama ketika Majelis Ulama Indonesia pada bulan Februari 2010 mengeluarkan fatwa mengenai arah kiblat bahwa arahnya cukup ke barat saja tanpa mesti serong ke utara beberapa derajat. Melihat fatwa ini beberapa kalangan melakukan protes, tanda tidak setuju dengan fatwa tersebut. “Arah kiblat kita sekarang tidak menghadap persis ke ka’bah, malah sebenarnya ke arah Brasil”, ujar mereka yang menantang fatwa tersebut.

Pada tulisan Buletin At Tauhid kali ini, kami ingin mengutarakan bagaimanakah pendapat para pakar fikih mengenai masalah ini. Tentu saja pendapat yang mereka bangun adalah berdasarkan dalil, bukan hanya sekedar akal-akalan atau nafsu belaka. Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. Hanya Allah yang beri taufik.

Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat

Menghadap kiblat merupakan syarat sah kiblat berdasarkan kesepakatan (ijma’) para ulama[1]. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Menghadap kiblat merupakan syarat sah shalat, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.”[2]

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalatnya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912). An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mengandung faedah yang amat banyak. Perlu diketahui bahwa hadits ini menerangkan mengenai kewajiban-kewajiban dalam shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau melanjutkan, “Hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.”[3]

Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat

Kita sudah ketahui bersama bahwa menghadap kiblat adalah di antara syarat sah shalat. Namun ada beberapa keadaan yang dibolehkan seseorang tidak menghadap kiblat.

Pertama: Tidak mampu menghadap kiblat, seperti orang sakit sehingga tidak mampu mengarahkan badannya ke arah kiblat. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16)

Kedua: Orang yang samar baginya arah kiblat, ia sudah berusaha mencarinya, namun ia shalat menghadap ke arah lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau berkata,

بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِى صَلاَةِ الصُّبْحِ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبِلُوهَا ، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ

“Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata, “Sungguh, tadi malam telah turun ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang sedang shalat berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu wajah-wajah mereka sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian berputar ke arah Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 403 dan Muslim no. 526). Riwayat ini menunjukkan bahwa ketika di pertengahan shalat sudah diketahui arah kiblat sebenarnya, maka hendaklah ketika itu ia menghadap ke arah tersebut.

Ketiga: Keadaan sangat takut ketika menghadapi musuh atau semacamnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah: 239). Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.

Ibnu Umar mengatakan,

فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا

“Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.” (HR. Bukhari no. 1098)

Keempat: Bagi musafir yang melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraan boleh baginya tidak menghadap kiblat ketika ada udzur saat itu. Ibnu ‘Umar berkata,

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652)

Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung

Menghadap kiblat ada dua keadaan: [1] ketika melihat ka’bah secara langsung, [2] ketika tidak melihat ka’bah secara langsung.

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap ke arah lain.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap persi ke arah ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan ulama mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan,”Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah”.”[4]

Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?

Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja.[5]

Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzaniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis). Jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).

Dalil dari pendapat pertama ini adalah ayat,

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya, yaitu cukup menghadap ke arah barat sudah dikatakan menghadap kiblat.

Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah no. 1011 dan Tirmidzi no. 342. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih[6]). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng  atau tidak persis ke arah ka’bah.

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.

Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud ayat,

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144), yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,

هَذِهِ الْقِبْلَةُ

“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330). Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu, menurut pendapat kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab.[7]

Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.

Pendapat yang Lebih Kuat

Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa bagi yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja. Jadi kalau di negeri kita, cukup menghadap arah di antara utara dan selatan.

Sedangkan pendapat kedua yang dipilih oleh Syafi’iyah, sebenarnya hadits yang mereka gunakan adalah hadits yang bisa dikompromikan dengan hadits yang digunakan oleh kelompok pertama. Yaitu maksudnya,  hadits yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang melihat ka’bah secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.

Sehingga dapat kita katakan:

Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita cukup menghadap ke arah barat yaitu antara arah utara dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara? Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.

Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39)

Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’aniy, “Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).”[8]

Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.

Diperkuat Lagi dengan Fatwa MUI

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terkait arah kiblat sebagai konsekuensi dari pergeseran lempeng bumi. Dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (22/3), MUI menegaskan pergeseran tersebut tak mempengaruhi arah kiblat. Untuk itu, MUI mengingatkan umat Islam agar tak perlu bingung dengan arah kiblat. Terlebih, dengan mengubah bahkan membongkar masjid atau musala agar mengarah ke kiblat.

Konferensi pers tersebut disampaikan oleh Ketua MUI Drs. H. Nazri Adlani, didampingi Sekretaris MUI Dr. H Amrullah Ahmad, Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA, dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Drs. H. Aminudin Yakub, MA.

Diktum Fatwa

Tentang diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum. Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah Ka’bah (jihat al-Ka’bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap kea rah barat.

Kedua, rekomendasi. MUI merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya menghadap kea rah barat, tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.[9]

Fatwa MUI ini menindaklanjuti beredarnya informasi di tangah masyarakat mengenai adanya ketidakakuratan arah kiblat di sebagian masjid atau musala di Indonesia, berdasarkan temuan hasil penelitian dan pengukuran dengan menggunakan metode ukur satelit. Atas informasi tersebut masyarakat resah dan mempertanyakan hukum arah kiblat.

Sehingga komisi fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang arah kiblat untuk dijadikan pedoman bagi masayrakat, demikian tercantum dalam Fatwa yang ditanda tangani oleh Ketua Muhammad Anwar Ibrahim dan sekretaris Hasanudin itu.[10]

Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat. Wallahu a’lam bish showab. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Artikel www.rumaysho.com

Muhammad Abduh Tuasikal

Diselesaikan di wisma MTI, Pogung Kidul, 19 Jumadits Tsani 1431 H (01/06/2010)

[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/303, Al Maktabah At Taufiqiyah.

[2] Al Mughni, Ibnu Qudamah, 1/490, Darul Fikr, 1405.

[3] Lihat Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/107, Dar Ihya’ At Turots, 1392

[4] Al Mughni, 1/490.

[5] Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816, Asy Syamilah.

[6] Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih

[7] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119.

[8] Subulus Salam Syarh Bulughul Marom, Muhammad bin Isma’il Ash Shon’ani, 1/397, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, 1427.

Hukum Arah kiblat yg tdk Tepat

Arah Kiblat
Tidak Tepat

Permasalahan ini masih menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin sampai saat ini. Ada yang berusaha mencari arah kiblat yang harus persis menghadap ke Ka’bah, harus bergeser sedikit ke utara. Ada pula yang berpendapat cukup menghadap arahnya saja yaitu arah barat dan shalatnya tetap sah.

Semoga penjelasan kali ini dapat menyelesaikan polemik yang ada. Semoga bermanfaat.

Menghadap Kiblat Merupakan Syarat Sah Shalat

Syarat sah shalat yang harus dilakukan sebelum melaksanakannya di antaranya adalah menghadap kiblat. (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 52, Darul Fikri dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82, Dar Ibnu Rojab)

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ

“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 912)

An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah.” Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.” (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 2/132)

Yang Mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat

Dalam Matan Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan, “Ada dua keadaan seseorang boleh tidak menghadap kiblat : [1] Ketika keadaan sangat takut dan [2] Ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safar.”

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah [2] : 239). Yaitu jika seseorang tidak mampu shalat dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.

Ibnu Umar mengatakan,

فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالاً ، قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ ، أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا

“Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”

Malik berkata (bahwa) Nafi’ berkata,

لاَ أُرَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ ذَكَرَ ذَلِكَ إِلاَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم

“Aku tidaklah menilai Abdullah bin Umar (yaitu Ibnu Umar, pen) mengatakan seperti ini kecuali dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 4535)

Ibnu Umar berkata,

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَىِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ ، وَيُوتِرُ عَلَيْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يُصَلِّى عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652) (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal. 53 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal. 82-83, Dar Ibnu Rojab)

Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk menghadap kea rah lain.

Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, ‘Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah’.” (Lihat Al Mughni, 2/272)

Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?

Jika melihat ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karena tempat yang jauh dari Ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah menghadap ke arahnya saja. (Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816)

Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang terkuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).

Dalil dari pendapat pertama ini adalah

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144). Menurut pendapat pertama ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah namun cukup menghadap arahnya.

Para ulama tersebut juga berdalil dengan hadits,

مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ

“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini shohih. Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang tidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau di Indonesia berarti antara utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup ke barat) dan tidak mengapa melenceng  atau tidak persis ke arah ka’bah.

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah misalnya adalah di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.

Menurut pendapat kedua ini, mereka mengatakan bahwa yang dimaksud ayat:

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144), yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ka’bah. Jadi seseorang harus menghadap ke ka’bah persis. Dan tafsiran mereka ini dikuatkan dengan hadits muttafaqun ‘alaih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat dua raka’at di depan ka’bah, lalu beliau bersabda,

هَذِهِ الْقِبْلَةُ

“Inilah arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 398 dan Muslim no. 1330). Karena dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa inilah kiblat. Dan ini menunjukkan pembatasan, sehingga tidak boleh menghadap ke arah lainnya. Maka dari itu, menurut pendapat kedua ini mereka katakan bahwa yang dimaksud dengan surat Al Baqarah di atas adalah perintah menghadap persis ke arah ka’bah. Bahkan menurut ulama-ulama tersebut, yang namanya perintah menghadap ke arah kiblat berarti adalah menghadap ke arah kiblat persis dan ini sesuai dengan kaedah bahasa Arab. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/1119 dan Nailul Author, 3/253)

Jadi, intinya jika seseorang tidak melihat ka’bah secara langsung, di sini ada perselisihan pendapat di antara ulama. Padahal jika kita lihat dalil masing-masing kubu adalah sama. Namun, pemahamannya saja yang berbeda karena berargumen dengan hadits yang mereka pegang.

Pendapat yang Lebih Kuat

Dari dua pendapat di atas, kami lebih cenderung pada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa bagi yang tidak melihat ka’bah secara langsung, maka cukup bagi mereka untuk menghadap arahnya saja. Jadi kalau di negeri kita, cukup menghadap arah di antara utara dan selatan. Jadi . Sedangkan pendapat kedua yang dipilih oleh Syafi’iyah, sebenarnya hadits yang mereka gunakan adalah hadits yang bisa dikompromikan dengan hadits yang digunakan oleh kelompok pertama. Yaitu maksudnya,  hadits yang digunakan pendapat kedua adalah untuk orang yang melihat ka’bah secara langsung sehingga dia harus menghadap persis ke ka’bah.

Sehingga dapat kita katakan:

Jika kita melihat ka’bah secara langsung, maka kita punya kewajiban untuk menghadap ke arah ka’bah persis, tanpa boleh melenceng.
Namun jika kita berada jauh dari Ka’bah, maka kita cukup menghadap ke arahnya saja, yaitu di negeri kita adalah arah antara utara dan selatan.
Sekarang masalahnya, apakah boleh kita –yang berada di Indonesia- menghadap ke barat lalu bergeser sedikit ke arah utara? Jawabannya, selama itu tidak menyusahkan diri, maka itu tidak mengapa. Karena arah tadi juga arah kiblat. Bahkan kami katakan agar terlepas dari perselisihan ulama, cara tersebut mungkin lebih baik selama kita mampu melakukannya dan tidak menyusah-nyusahkan diri.

Namun jika merasa kesulitan mengubah posisi kiblat, karena masjid agak terlalu jauh untuk dimiringkan dan sangat sulit bahkan kondisi masjid malah menjadi sempit, maka selama itu masih antara arah utara dan selatan, maka posisi kiblat tersebut dianggap sah. Akan tetapi, jika mungkin kita mampu mengubah arah kiblat seperti pada masjid yang baru dibangun atau untuk tempat shalat kita di rumah, selama itu tidak ada kesulitan, maka lebih utama kita merubahnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39. Lihat penjelasan hadits ini di Fathul Bari)

Jika ada yang mengatakan, “Kami tetap ngotot, untuk meluruskan arah kiblat walaupun dengan penuh kesulitan.” Maka cukup kami kemukakan perkataan Ash Shon’aniy,

“Ada yang mengatakan bahwa kami akan pas-pasin arah kiblat persis ke ka’bah. Maka kami katakan bahwa hal ini terlalu menyusahkan diri dan seperti ini tidak ada dalil yang menuntunkannya bahkan hal ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat padahal mereka adalah sebaik-baik generasi umat ini. Jadi yang benar, kita cukup menghadap arahnya saja, walau kita berada di daerah Mekkah dan sekitarnya (yaitu selama kita tidak melihat Ka’bah secara langsung).” (Subulus Salam, 1/463)

Jadi intinya, jika memang penuh kesulitan untuk mengepas-ngepasin arah kiblat agar persis ke Ka’bah maka janganlah menyusahkan diri. Namun, jika memang memiliki kemudahan, ya monggo silakan. Tetapi ingatlah bertakwalah kepada Allah semampu kalian.

Demikian penjelasan singkat mengenai arah kiblat. Semoga kajian yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin sekalian dan semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat agar dapat menerangi jalan hidup kita. Wallahu a’lam bish showab.

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

***

Allah catat Taqdir manusia

RENUNGAN SEMOGA
BERMANFA'AT

Rezeki kita sudah diatur dan sudah ditentukan. Kita tetap berikhtiar. Namun tetap ketentuan rezeki kita sudah ada yang mengatur. Jadi, tak perlu khawatir akan rezeki.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Allah telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim no. 2653, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash)

Dalam hadits lainnya disebutkan,

إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ

“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin) adalah qalam (pena), kemudian Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya.” (HR. Tirmidzi no. 2155.)

Ahli hikmah berkata,

“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu. Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu. Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang. Jika Allah dengan hikmahNya berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti dengan rahmatNya membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu.

Selamat Beraktifitas.

Selasa, 12 Juni 2018

Melihat dzat Allah

Melihat dzat Allah.

RU’YATULLAH (MELIHAT ALLAH) DALAM PANDANGAN AHLUS SUNNAH DAN MU’TAZILAH

Ru’yah menurut bahasa berarti,”Annazar bil aini au bil-qalbi”(melihat dengan mata atau dengan hati).Ru’yatullah berarti melihat Allah dengan penglihatan mata atau penglihatan hati.

Apakah Allah bisa dilihat?, bisakah itu terjadi? dan di manakah Ia bisa dilihat? Semua ini merupakan perbincangan antara Ahlussunnah dan Mu’tazilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam masalah ini .

PENDAPAT PERTAMA
Mu’tazilah dan berbagai kelompok yang sepaham dengannya, seperti Jahamiyah, Khawarij, Syiah Imamiyah, dan sebagian Murjiah mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala, dan itu mustahil dan mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada Allah .

Di antara argumentasinya adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah ;

لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [Al An’aam:103]

Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini.
Qadhi Abdul Jabbar berkata dalam kitabnya Syarah Ushul al-Khamsah hal.232:
“Allah menafikan al-idrak (pencapaian) dengan penglihatan mata, ini menunjukkan bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh pandangan mata kapanpun dan di manapun juga.

Juga ayat ini dalam kontek al-madh (pujian) kepada Allah, bahwa Dia tidak bisa dilihat mata.
Kalau dikatakan bahwa Dia bisa dilihat, maka akan berlawanan dengan kontek ayat itu sehingga tidak ada makna dari pujian itu.

2. Firman Allah.
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:”Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Rabb berfirman:”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman”. [Al A’raf :143]

Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini.

• Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata “lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku) yang berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid” (peniadaan untuk selamanya), kalau tidak dapat dilihat oleh Musa, juga selamanya tidak bisa dilihat oleh orang lain.

• Firman Allah Azza wa Jalla, “Dan Musapun jatuh pingsan”, seandainya ru’yatullah boleh terjadi, kenapa Musa lansung pingsan sebelum melihat Allah?.

• Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu permintaan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari kekurangan, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla menunjukkan kekurangan dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.”

• Perkataan Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman” menunjukkan bahwa permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.

3. Permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap sebuah kezaliman. Seperti yang dialami oleh Bani Israil sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ

“…..mereka berkata: ”Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kezalimannya…” [An Nisa:153.]

Di sini Allah Azza wa Jalla mengadzab orang yang meminta melihat_Nya, bila hal itu diperbolehkan niscaya Dia tidak akan mengazabnya. Ayat senada juga ada pada surat Al Baqarah ayat 55.

4. Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Quran surat Assyura ayat:51

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِن وَرَاء حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاء إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [Assyura:51]

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla berbicara dengan manusia hanya lewat wahyu, atau di balik tabir [hijab], atau lewat utusan-Nya. Kalau Allah Azza wa Jalla boleh dilihat, niscaya Dia tampakkan diriNya lansung dan tidak perlu lewat perantara atau di balik tabir.

5. Secara akal bahwa semua yang dilihat mesti akan berbekas di penglihatan dalam bentuk atau rupa, sedangkan yang demikian mustahil bagi Allah Azza wa Jalla dan Maha Suci Allah Azza wa Jalla dari yang demikian.

PENDAPAT KEDUA
Menurut Ahlussunnah bahwa Allah boleh dilihat dan bisa dilihat dengan mata kepala di akherat kelak.

Diantara dalil-dalil yang menguatkan tentang yang demikaian adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah dalam surat Al A’raf ayat 143 yang telah lewat.
Wajhuddilalah (pengambilan dalil)dari ayat ini, adalah:
• Di sini Musa meminta untuk melihat Allah, kalau yang demikian itu tidak diperbolehkan, apalagi sesuatu yang mustahil, maka tidak mungkin dilakukan oleh seorang Nabi. [Lihat kitab Haadul Arwah oleh Ibnu Al Qayyim hal.223]

• Dalam ayat ini tidak ada yang menunjukkan larangan meminta melihat Allah,karena kalau itu sesuatu yang tidak boleh niscaya Allah akan melarang Musa untuk melakukannya,sebagaimana Allah melarang Nabi Nuh yang meminta supaya anaknya diselamatkan dari banjir. [Baca QS.Hud;46-47]

• Allah mengatakan, ”lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku), bukan menunjukkan Allah tidak bisa dilihat, justru sebaliknya. Sebab kalau ru’yatullah suatu yang tidak mungkin, terjadi niscaya Allah akan memakai lafaz nafi yaitu,”La tarani” (Kamu sekali-kali tidak akan melihat-Ku).

• Abu Said Ad Darimi dalam kitab bantahannya terhadap Jahmiyah mengatakan: ”Tidak bisa dilihat”, yaitu di dunia, karena mata kepala manusia yang tercipta dari sesuatu yang akan binasa tidak sanggup memandang sesuatu yang baqa’[kekal], tetapi pada hari kiyamat Allah akan memberikan penglihatan yang abadi, agar mampu melihat yang Maha Abadi (Allah) di tempat yang abadi (SurgaNya)”.

• Sesungguhnya dalam ayat ini Allah mengaitkan ru’yatullah dengan sesuatu yang mubah [boleh], atau mungkin terjadi, yaitu tetapnya gunung. Mengaitkan sesuatu yang boleh atau mungkin, menunjukkan sesuatu yang dikaitkan (Ru’yatullah) boleh atau mungkin.
.
• Allah Azza wa Jalla mengatakan ,”Tajalla” yang berarti menampakkan diri,
Al Qurthubiy dalam tafsirnya Juz IV/ 278 mengatakan: ”Maksudnya Allah Azza wa Jalla ingin memberikan pelajaran kepada Musa, bahwa dia tidak mampu untuk melihat Allah, karena gunung yang begitu kokoh saja bergetar akibat Allah menampakkan diriNya. Kalau kepada gunung yang benda mati saja Allah bisa menampakkan diriNya maka kenapa kepada hambaNya yang shalih tidak bisa? apalagi tidak mungkin dilakukanNya?.

2. Firman Allah Azza wa Jalla.

قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ

Allah berfirman: “Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara lansung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang yang-orang yang bersyukur [Al-A’raf : 144]

Imam Ismail Al Barusuni dalam tafsirnya Ruhul Bayan Juz III halaman 239 mengatakan: “Allah memerintahkan Musa untuk menjadi orang-orang yang bersyukur, seperti firman-Nya: “Hendaklah kamu termasuk orang yang-orang yang bersyukur”, karena bersyukur akan memberikan tambahan, sebagaimana firman Allah:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ .

Sesungguhnya jika kamu bersyukur,pasti Kami menambah (nikmatKu) dan jika kamu mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih. Ibrahim : 7]

Dan tambahan yang akan diberikan Allah adalah bisa melihat Allah, sebagaimana firman-Nya.

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ .

Bagi mereka yang berbuat kebaikan surga dan tambahan. [Yunus : 26]

Dan tambahan yang dimaksud dalam ayat ini adalah melihat Allah.

3. Firman Allah dalam surat Al An’am ayat 103 (telah disebutkan di atas).
Al Alusiy dalam tafsirnya Ruhul Maani Juz IV halaman 244 mengatakan: “Kalimat ”Al-Abshar” dalam ayat ini adalah jamak dari “Bashar” yang berarti penglihatan, dapat dipakai untuk penglihatan mata atau penglihatan hati. Sedangkan kata ”Al idrak” artinya pencapaian terhadap sesuatu, dan kata ”Al idrak” mengandung makna lebih dalam dari kata melihat dan inilah yang dinafikan oleh Allah.

Ayat ini juga dalam kontek pujian yang menunjukkan bahwa melihat Allah boleh dan mungkin, sebab kalau sesuatu itu tidak mungkin, untuk apa dipuji. Di sini Allah bisa dilihat, tetapi mampu menghijab pandangan untuk mencapainya merupakan sebuah kekuasaan yang patut dipuji. Sebab sesuatu yang dari asalnya tidak bisa dilihat, maka ketika tidak dapat dilihat tidak menjadi sesuatu yang istimewa yang perlu di puji.

Ibnu Qayyim menambahkan: “Memakai ayat ini sebagai dalil bahwa Allah bisa dilihat lebih tepat dan benar, bahkan ayat ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengatakan Allah tidak bisa dilihat. Karena ayat ini dalam kontek pujian, dan itu diberikan kepada sesuatu yang ada (maujud), karena sesuatu yang tidak ada sama sekali (ma’dum mahdah) tidak layak untuk diberikan pujian, karena itu bukan termasuk kesempurnaan (al-kamal) bagi Allah.”

Dan al idrak (pencapaian) maksudnya adalah al ihathah (mengetahui semuanya dari segala aspek), dengan demikian al idrak adalah sesuatu yang mempunyai arti lebih dari ru’yah.

Sebagaimana firman Allah.

فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ .

Maka setelah dua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa; ”Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. [Asyuaraa : 61]

4. Firman Allah.

لَهُم مَّايَشَآءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahan. [Qaaf : 35]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya Juz VIII/330 mengatakan: “Sesungguhnya “Al mazid” (tambahan) yang Allah berikan kepada hambaNya di atas segala yang dikehendakinya seperti yang dimaksud dalam ayat di atas adalah nampaknya Allah bagi mereka.”

5. Firman Allah.

وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. [Al-Qiyamah : 22-23]

Abu Hasan Al Asyari dalam kitabnya Al-Ibanah hal.12 mengatakan: “Kata “Nazhirah” yaitu ‘Raiyah” yang berarti melihat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ,bahwa Rasulullah dalam menafsirkan ayat “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu “Nadhirah”, yaitu berseri-seri, “Kepada Tuhannyalah Nazhirah (melihat), Yaitu melihat wajah Allah.

6. Ayat-ayat yang memakai kata –kata “Liqa’” (pertemuan). Seperti firman Allah.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mepersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya. [Al-Kahfi:110]

Ayat-ayat yang menyatakan “Liqa’” (pertemuan) juga ada pada surat Al Baqarah : 223, 249, dan Al Ahzab : 44.

Liqa (pertemuan) yaitu bertemu dengan Allah, dengan cara mereka akan melihat Allah dan Allah akan melihat dan mengucapkan salam kepada mereka, dan Allah akan berbicara dengan mereka. [Lihat kitab As-Syari’ah oleh Imam Al Ajurri hal.252]

Adapun Dalil-Dalil Dari Al Hadis Adalah Sebagai Berikut.
1. Jarir bin Abdullah berkata.

قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِالهِi كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا لاَ تُضَامُّونَ أَوْ لاَ تُضَاهُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا ثُمَّ قَالَ فَ ( سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ) (كتاب :كتاب مواقيت الصلاة باب :باب فضل صلاة الفجر رقم الحديث :547 الجزء :1 الصفحة 209 ,صحيح البخاري

Jarir bin Abdullah berkata: “Kami duduk bersama Rasulullah, kemudian beliau memandang bulan yang sedang purnama, lalu beliau bersabda: ”Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat bulan, tidak ada yang menghalangimu untuk melihat-Nya, kalau kamu mampu tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya maka lakukannlah. [HR.Bukhari Muslim]

2. Sabda Nabi yang maksudnya.
Sesungguhnya engkau akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala sendiri,”[HR.Bukhari Muslim]

3. Sabda Nabi yang berbunyi.

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ الهُe تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ (صحيح مسلم باب :باب إثبات رؤية المؤمنين في الآخرة ربهم سبحانه (كتاب :كتاب الإيمان )) رقم الحديث : الجزء 1: الصفحة : 163

Apabila penduduk surga telah masuk ke surga, Allah Taala berfirman: ”Apakah kamu menginginkan sesuatu yang akan Aku tambahkan?”. Mereka berkata: “Bukankah Engkau telah memutihkan muka kami dan memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?”. Kemudian Allah membuka tabir, dan tidak ada sesuatu yang telah diberikan kepada mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat Tuhannya Yang Maha Tinggi. [HR.Muslim, dari Shuhaib)]

JAWABAN TERHADAP ARGUMENTASI MU’TAZILAH DAN KELOMPOKNYA
Sebagian dalil mereka sudah dijawab dengan dalil-dalil dari Ahlus Sunnah sebagaimana di atas. Adapun tambahannya adalah sebagai berikut.

1. Pingsannya Nabi Musa disebabkan karena ketidakmampuannya melihat Allah, dan ini bukan berarti Allah tidak bisa dilihat.

2. Tasbihnya Musa setelah sadar dari pingsannya, bukan menunjukkan penyucian dari kekurangan Allah, justeru menunjukkan kekurangan dan kelemahan Nabi Musa yang yang tidak mampu melihat Allah di dunia, dan tidak semua yang bisa dilihat berarti tidak baik atau kurang.

3. Nabi Musa mengatakan: ”Saya bertobat”, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya JuzVII/27 mengatakan: “Sudah disepakati oleh semua umat bahwa perkataan ini bukan disebabkan karena Musa melakukan maksiat.”

4. Kaum Nabi Musa diadzab ketika mereka meminta melihat Allah, karena permintaan mereka adalah sebuah tantangan kepada nabinya dan itu dilakukannya dengan penuh kesombongan dan keingkaran dan menganggap semua itu suatu yang mustahil. [Lihat Al Ibanah hal.15]

5. Perkataan mereka yang mengatakan bahwa setiap yang terlihat akan memberikan bekas yang berbentuk dan berwarna adalah “Qiyas ma’al fariq” yaitu kiyas yang terdapat banyak perbedaan karena membandingkan Al -Khaliq [pencipta] dan makhluk-Nya dan kiyas seperti ini adalah bathil, karena Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya [As-Syuraa : 11]

BISAKAH ALLAH DILIHAT DI DUNIA?
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan kelompok Musyabbihah(orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga sebagian As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan) dan mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab Sirajut Thalibin hal.133. Mereka mengatakan: ”Orang-orang yang ikhlas akan bisa melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan!!.

Orang-orang Shufi menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan membayang-bayanginya, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan.

Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata: ”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat, dan menganggap gambar itu adalah Allah, padahal itu adalah syaitan. Seperti ini sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, beliau bercerita: ”Suatu hari ketika saya selesai beribadah saya melihat arsy yang agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul Qadir Jailani saya adalah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu semua yang Aku haramkan sebelumnya.”

Syaikh Abdul Qadir Jailani balik bertanya, apakah Engkau Allah yang tiada Tuhan selain Engkau? Hengkanglah Wahai musuh Allah!.Kemudian cahaya tadi terpencar dan berobah menjadi kegelapan kemudian keluar suara yang mengatakan, “Wahai Abdul Qadir engkau telah selamat dari tipudayaku dengan pengetahuanmu tentang agama, saya sudah berhasil memperdayakan tujuh puluh orang dengan tipu daya ini.” Ketika beliau ditanya bagaimana anda mengetahui bahwa itu adalah syaitan, ia menjawab karena dia mengatakan bahwa Allah sudah menghalalkan kepadaku semua yang diharamkan sebelumnya kepada yang lain, dan saya berpendapat bahwa syariat Muhammad tidak mungkin dirobah dan diganti”.

Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa dirinya pernah melihat Allah dengan mata kepala di dunia,beliau menjawab: “Barangsiapa di antara manusia yang mengatakan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia maka ia adalah seorang Mubtadi’ yang menyesatkan,yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah, apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa, maka dia harus disuruh taubat kalau mau,kalau dia menolak maka boleh dibunuh,wallahu A’lam. [Majmu’ fatawa VI/512]

Maka tidak boleh seseorang cepat terkecoh dengan orang yang bergelar wali atau ahli shufi.

Imam As-Syaukani dalam kitabnya Al-Wali mengingatkan: ”Tidak boleh seorang wali beranggapan bahwa semua yang terjadi padanya, berupa kejadian atau mukassyafat (pembukaan tabir) adalah semuanya karamah dari Allah, karena bisa saja semua itu datang dari syaitan, maka wajib menilai dan mengukur semua perkataan dan perbuatannya dengan Kitab dan Sunnah, kalau sesuai maka itu adalah kebenaran dan karamah dari Allah,kalau itu bertentangan dengan Kitab dan Sunnah maka hendaklah menyadari bahwa ia tertipu oleh syaitan.”

Adapun dalil jumhur yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia adalah sebagai berikut:

1. Firman Allah surat Al-A’raaf ayat 143 terdahulu. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa penafian ru’yatullah khusus di dunia, karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.”

2. Firman Allah dalam surat Al anam ayat 153 . Imam Ahmad dalam kitab bantahannya kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14, berkata: “Makna ayat ini adalah tidak ada yang bisa melihat Allah di dunia kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam kitab tauhidnya hal.185 menambahkan: “Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.

3. Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah hanya berbicara dengan para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan malaikat. Kalau melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi pada manusia yang lain.

4. Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan jelas diazab oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh kesombongan dan penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin terjadi. Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada yang lainnya.

Adapun Dalil Dari Sunnah
Hadits-hadits yang lewat menyebutkan bahwa Allah hanya bisa dilihat pada hari kiyamat. Itulah sebabnya pertanyaan sahabat juga memakai kata ”Apakah Allah bisa dilihat pada hari kiyamat?” dalam pertanyaannya kepada Rasulullah, seperti hadis berikut:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,para Sahabat berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari Kiyamat? [HR.Bukhari dan Muslim]

Riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri, para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari kiyamat? [HR.Bukhari Muslim]

Juga hadits Rasulullah yang mengingatkan umatnya terhadap Dajjal, beliau bersabda:

مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٍ وَغَيْرِ كَاتِبٍ

Sesungguhnya di antara dua mata Dajjal tertulis kata “kafir” yang bisa dibaca oleh setiap orang mukmin, yang dapat menulis, atau buta huruf.

Dan beliau berkata: ”Ketahuilah bahwasanya tidak ada seorangpun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati. [HR.Muslim]

Di sini Rasulullah sedang berbicara dengan para sahabat bahwa mereka tidak bisa melihat Allah sampai mati ,kalau sahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat Allah sebelum mati, apalagi manusia yang lain.

APAKAH RASULULLAH PERNAH MELIHAT ALLAH DI DUNIA
Qadhi Iyyad dalam kitabnya ”Assyifa fi ta’rifi huququl Musthafa” juz.I/119-124, menyebutkan beberapa perbedaan ulama’dalam masalah ini.

Pertama : Ibnu Abbas dan riwayat dari Ka’ab bin Malik, juga dinisbahkan kepada Anas bin Malik, Ikrimah, Hasan, Rabi’, dan juga Abu Hasan Al Asy’ari dan Qadhhi Abu Ya’la dari Hanabilah mengatakan: “Rasulullah pernah melihat Allah (Ketika menerima perintah shalat diwaktu mi’raj), mereka berhujah dengan hadits-hadits tentang ru’yah yang tidak mengkhususkan dengan mata tetapi secara mutlak (umum) seperti:

1. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya melihat Tuhanku”. [HR.Ahmad]

2. Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah: “Dia benar-benar dan pernah melihatnya dalam bentuk yang lain, ia berkata: “Nabi sudah melihat Allah dua kali, di Sidharatul Muntaha, kemudian diwahyukan kepadanya perintah shalat.. [HR Thurmudzi, hasan]

3. Hadits tentang Isra’ miraj Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Dhamir (kata ganti) pada kata-kata dana ( mendekat ), auha (mewahyukan ) dan raahu ( melihat ) kembali kepada Allah. Dengan demikian maka Rasulullah pernah melihat Allah.

4. Al-Haitsami dalam Majmu’ Az-zawaid juz 1 hal 79, meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Muhammad melihat Rabb-Nya dua kali, pertama dengan mata kepalanya, dan kedua dengan mata hatinya”.

5. Beliau juga berkata: “Muhammad melihat Allah”, Ikrimah bertanya: “Apakah beliau bisa melakukannya?”, ia menjawab: “Ya, Allah menjadikan Kalam (berbicara) dengan Musa, hullah (persaudaraan) dengan Ibrahim dan An-nazhar (melihat) kepada Nabi Muhammad. Diriwayatkan juga oleh At-Thabrani di Al-Awsath, tetapi di dalamnya isnadnya ada perawi bernama Hafs bin Amru yang dilemahkan oleh Imam Nasai)

6. Imam Nawawi mengatakan, inilah pendapat yang kuat, menurut kebanyakan Ulama. Yaitu Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya di malam Isra mi’raj. Sesuai dengan hadits Ibnu Abbas terdahulu. Beliau juga menyebutkan beberapa alasan penguatannya, di antaranya masalah ini termasuk masalah yang tidak dapat dicerna oleh akal. Maka apabila hadits Ibnu Abbas itu shahih, ia harus dipegang. Juga Ibnu Abbas menetapkan bisanya ru’yatullah bagi Nabi, sedangkan hadits Aisyah menafikan(meniadakan) dalam kaidah al-mutsbat muqaddamun ala annafi (penetapan lebih dahulukan dari peniadaan). Dan shahabat apabila menetapkan satu pendapat, kemudian ada shahabat yang lain yang berbeda, maka perbedaan itu tidak dijadikan hujjah.

Kedua: Rasulullah tidak pernah melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia.

Inilah pendapat yang dipegang Aisyah dan yang masyhur dari Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abi- Dzar juga sebagian muhadditsin, fuqaha, dan mutakalimin. [Llihat Syarah Thahawiyah oleh Abi al-izzi hal 137].

Diantara dalil- dalilnya adalah
1. Hadits Aisyah yang diriwayatkan Masyruq, ia berkata:

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ

“Barang siapa mengatakan bahwa Muhammad melihat Tuhannya, maka ia telah berdusta besar pada Allah. [HR. Bukhari Muslim]

2. Hadits Abi Dzar -yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq-, dia berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ الهِ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ

Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah engkau telah melihat Allah”, beliau menjawab: “Cahaya yang menghalangi-ku untuk melihatNya. [HR. Muslim]

Dalam riwayatkan lain dikatakan:

رَأَيْتُ نُورًا

Saya hanya melihat cahaya. [HR. Muslim]

3. Hadits Abu Musa, di dalamnya disebutkan.

حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ

HijabNya adalah cahaya, jika hijab itu dibuka niscaya terbakar-lah di antara makhlukNya oleh cahaya mukaNya sejauh pandangan. [HR Muslim]

Sedangkan yang pernah dilihat oleh Rasulullah adalah Jibril Aliahissallam, bukan Allah sebagaimana Hadits Abu-Hurairah dan Aisyah.

4. Hadits riwayat Abu Hurairah dalam firman Allah:

وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى

Dan ia telah melihatnya dalam bentuk yang lain (An-Najm:13), Rasulullah mengatakan bahwa belaiu melihat Jibril. (HR. Muslim )

5. Diriwayatkan oleh Asybani, dia bertanya kepada Dzur bin Hubaysih tentang tafsir ayat 13 surat An-Najm , dia berkata: Ibn Masud memberitahukannya bahwa Nabi melihat Jibril mempunyai 600 sayap.

Juga hadits Aisyah, ia menyatakan, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Jibril yang sebelumnya tidak pernah saya lihat dalam bentuk aslinya kecuali dua kali. Saya melihatnya turun dari langit yang keagungan penciptaanya memenuhi langit dan bumi.”

6. Dua hadits ini cukup untuk menjelaskan bahwa Nabi tidak pernah melihat Allah di dunia, karena kedua hadits tersebut shahih dan sharih. Berbeda dengan hadits yang dipakai pendapat pertama, haditsnya mutlak. juga seperti hadits Syuraiq masih dipertanyakan sanad maupun matan, karena Syuraiq sendiri menurut Ahlul Hadits tidak hafidz (kuat hafalannya) (Lihat Fathul- Bari juz 13, hal 484 ). Adapun tarjih (pendapat yang dianggap kuat) Imam Nawawi termasuk tarjih tanpa hujjah yang kuat dan tepat.

Ketiga : Tawaquf (tidak mengatakan Rasulullah telah melihat Allah). Ini yang dilakukan oleh Qadhi ‘Iyadh.

Sebagian Ulama mencoba untuk mempertemukan dua pendapat tersebut, dengan mengatakan bahwa orang yang meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri. Dan yang menetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan mata hatinya. Karena tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan Rasulullah sendiri tidak pernah memberitahukan kepada shahabatnya, seandainya beliau pernah melihat Allah dengan matanya niscaya akan menceritakan shahabatnya. [Lihat Majmu’Fatawa juz 6, hal 509-510). Juga tafsir Ibn Katsir juz 6, hal 452]

MELIHAT ALLAH DENGAN MATA HATI
Ulama sepakat bahwa Rasulullah n pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]

Abu Dzar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hatinya dan tidak pernah melihatnya dengan mata kepalanya.

Ibrahim At-Taimi meriwayatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatnya dengan hatinya dan tidak pernah melihat dengan matanya.

Imam Nawawi berkata: “Melihat Allah dengan hatinya adalah penglihatan yang benar, yaitu Allah menjadikan penglihatannya dihatinya atau menjadikan hatinya mempunyai penglihatan sehingga dia bisa melihat Tuhannya dengan benar, sebagaimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. [Syarah Shahih Muslim juz3, hal 6].

Adapun selain Nabi, seperti Shahabat dan tabi’in, maka salaf sepakat bisa terjadi bagi hati seorang mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat (persaksiaan), yang sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang yang mencintai sesuatu akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu dekat dalam hatinya. Sebagaimana jawaban Rasulullah tentang ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.[HSR. Bukhari, Muslim, dan lainnya-Red]

Syaikhul Islam meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Syaikhul Islam menambahkan sesungguhnya Allah dilihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan inilah pendapat saya, dan pendapat imam-imam kita. Berbeda dengan pendapat orang-orang yang jahil yang ada di sekitar kita. [Majmu’Fatawa V/79]

Seperti Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan hati dan bukan melihat-Nya tapi mengetahui-Nya dengan hati. [Maqalaat Islamiyah I/118]

MELIHAT ALLAH LEWAT MIMPI
Para sahabat dan tabiin dan salaf mengatakan bahwa ru’yatullah lewat mimpi adalah hak dan bisa terjadi. Sebagaimana hadits tentang mimpi Rasulullah melihat Allah dengan lafaz yang berbeda di antaranya:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ,Rasulullah bersabda:

رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ

Saya pernah melihat Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Juga di dalam hadits yang lain.

أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ

Semalam saya didatangi oleh Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulullah bersabda.

فَإِذَا أَنَا بِرَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ

Tiba-tiba aku bertemu dengan Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Syaikh Islam berkata: ”Terkadang seorang mukmin bisa melihat Allah ketika tidurnya dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan kafasitas keimanan dan keyakinannya. Apabila keimanannya kepada Allah kuat dan benar, maka ia akan melihat Allah dalam bentuk yang baik, tapi bila imannya kurang maka ia akan melihat Allah sebatas imannya itu. Dan penglihatan lewat mimpi berbeda dengan penglihatan ketika tidur. [Majmu’Fatawa juz III/390]

Namun demikian bukan berarti orang yang pernah bermimpi melihat Allah boleh melanggar syari’ah atau dijamin masuk surga, karena tidak ada ketentuan yang demikian dari Rasulullah. Adapun perkataan Ibnu Sirin yang diriwayatkan Ad-Darimi no 249, yang menyatakan: ”Barang siapa yang bermimpi melihat Allah maka akan masuk surga”, tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak adanya sanad yang bersambung kepada Rasulullah, dan tidak seorangpun dari sahabat yang menyatakan demikian.

RUYATULLAH PADA HARI KIYAMAT
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Ahlussunah sepakat bahwa ru’yatullah pada hari kiyamat adalah hak menurut Al-Quran dan Sunnah. Tetapi apakah ru’yatullah pada hari ini khusus bagi orang mukmin saja atau yang lainnya juga?. Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama.
Ruyatullah pada hari kiyamat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menjelaskan pertemuan dengan Allah seperti ayat:

يَا أَيُّهاَ اْلإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلىَ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاَقِيهِ

Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh memuja Tuhanmu,maka pasti kamu akan menemui-Nya. [Insyiqa’ : 6]

Kata”Insan” dalam ayat di atas menunjukkan jenis yaitu anak Adam. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir seperti Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al Qurthubi. Mereka berdalil dengan hadis Abi Said terdahulu, yang menyatakan bahwa manusia akan melihat Allah pertama kali, kemudian dikatakan kepadanya supaya setiap kaum mengikuti apa yang dia sembah di dunia. Dan ini adalah ru’yah yang umum kepada semua manusia.

Kedua;
Melihat Allah hanya bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.

Ketiga;
Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:

كَلآَّ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhannya. [Al Mutaffifin :15]

Dan pendapat inilah yang paling kuat. Adapun pendapat pertama yang menyatakan bahwa semua manusia bisa Ru’yatullah, yang dimaksud adalah yang pertama kali yaitu Ru’yatullah yang umum, tetapi kemudian dihijabi/dihalangi. Ru’yatullah itu juga berbeda. Yang paling hakiki adalah Ru’yatullah di dalam surga yang menjadi tambahan bagi orang mu’min, inilah yang dikuatkan oleh hadits Sa’id Al Khudri: “Kemudian Al Jabbar (Allah) mendatanginya dalam bentuk yang berbeda dengan bentuk awal mereka melihatNya (Majmu’ Fatawa VI/503)”.

KESIMPULAN
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat, tetapi tidak pernah dilihat dengan mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah hanya bisa dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat mimpi sesuai dengan kapasitas keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru’yatullah yang hakiki yang menjadi tambahan kenikmatan, hanya bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam surga.

Ya Allah! perkenankan kami untuk bisa merasakan kenikmatan untuk melihat wajah-Mu yang agung, Amin!

Rujukan:
1. Majmu’ Fatawa,Syaikh Islam Ibnu Taimiyah,Matbaah Riyad tahun 1382 H.
2. Attawassul wal Washilah,Ibnu Taimiyah cet.Daar Arabiyah Tahun 1390H
3. Tafsir Ibnu Katsir,cet.Daar Fikr 1389H
4. Ru’yatullah ,DR.Ahmad bin Nashr Al Hamd,cet.Ummul Quram1411H
5. Sirah Ibnu Hisyam, ,cet.Daar Fikr 1389H..
Semoga bermanfa'at

Wallahu a'lam