Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 20 November 2022

PERMASALAHAN AMMA BA'DU

ASAL KATA: “AMMA BA’DU” DAN “WA BA’DU”

“Amma Ba’du” atau “Wa Ba’du” kalimat ini sering diucapkan oleh para da’i atau sering kita temukan saat membaca muqaddimah (kata pengantar) kitab-kitab ulama yang dibuka dengan basmalah, hamdalah, shalawat dan salam, kemudian diakhiri dengan kalimat “Amma Ba’du” atau “Wa Ba’du” lalu berlanjut pada pembahasan berikutnya.

Dalam gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), kalimat أَمَّا بَعْدُ terdiri dari dua lafadz, yaitu أمّا dan بعد. Apabila kita urai satu persatu dari kalimat dasarnya maka kita akan menemukan bahwa lafadz أمَّا berasal dari kalimat:

مَهْمَا يَكُنْ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ.

Berikut penjelasan lengkap dari Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy asy-Syafi’i (w. 1277 H) baik dalam kitab Tuhfatu al-Murid Syarhu Jawahiru at-Tauhid atau dalam kitab Hasyiyah al-Bajuriy yang diberi nama Tahqiqu al-Maqam ala Kifayatu al-Awam fi Ilmi al-Kalam:

“Asalnya مهما adalah isim syarat yang menjadi mubtada’, يكن sebagai fi’il syarat, mudhari’ dari madhi كان dengan fa’il berupa dhamir mustatar dengan mengira-ngirakan adanya lafadz هو yang kembali pada مهما. Sedangkan من شيئ sebagai penjelas dari مهما meskipun sifatnya penjelas adalah takhsish (menentukan) namun juga terkadang mempunyai sifat sama yang menunjukkan kesempurnaan jenis tersebut”.

Lebih lanjut Syaikh Ibrahim al-Bajuriy menjelaskan: “Kemudian مهما، يكن، من شيئ dibuang, lalu ganti dengan أما untuk mempati posisi tersebut. Kemudian, sebagian ulama membaca “أما بعد” sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagian ulama lain ada yang membuang أمَّا seraya menggantinya dengan wawu, maka menjadi وبعد.
Wawu di sini berkedudukan menjadi penggantinya pengganti.

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuriy Lafadz “وبعد” sama dengan “أما بعد” bisa dibaca Dhommah huruf akhirnya dengan membuang Mudhaf Ilaih dan diniati maknanya. Bila dijelaskan menjadi:

وبعد البسملة والحمدلة والصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم وآله وصحبه وحزبه.

Artinya: Setelah basmalah, hamdalah, shalawat dan salam kepada Nabi, keluarga, sahabat dan pengikutnya.
” Lafadz “وبعد” juga bisa dibaca Nasab tanpa tanwin dengan membuang Mudhaf Ilaih dan dan diniati lafadznya tetapi yang masyhur di kalangan ulama Nahwu adalah pendapat yang pertama, yaitu dibaca Dhommah. Keduanya berfungsi memindah dari satu pembahasan pada pembahasan yang lain yaitu, memindah dari pembahasan basmalah, hamdalah dan setelahnya pada pembahasan tujuan dari berbicara atau mengarang sebuah kitab.

Lafadz “وبعد” kebanyakan menjadi Dharaf Zaman (waktu) meninjau apa yang diucapkan atau tulisan dan jarang menjadi Dharaf Makan (tempat) jika meninjau nomer halaman kitab yang dibaca atau ditulis.

Sementara dalam kitab al-Awail karya al-Hafidz Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabariy (w. 360 H) dan kitab Khizatu al-Adab wa Lubbu Lubabi Lisani al-Arab karya Syaikh Abdul Qadir bin Umar al-Baghdadiy (w. 1093 H) mengatakan: Ulama berbeda pendapat, ketika menjelaskan siapa orang pertama kali mengucapakan: “أما بعد”?

Asy-Sya’biy ra dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-‘askariy dari riwayat Abu Musa ra dalam Tafsir al-Qurthubiy mengatakan:
Orang pertama kali mengucapakan “أما بعد” adalah Nabi Daud as yang diistilahkan dengan “فصل الخطاب” pemisah antar satu kalam dengan yang lainnya arti dari firman Allah ﷻ:

وَاٰتَيْنٰهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

Artinya: “Dan Kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara.
” (QS. Shad: 20).
Pendapat ini juga disampaikan as-Suyuthiy dalam ar-Rasail fi Ma’rifati al-Awail.

Al-Qurtubiy mengatakan: Adapun orang yang pertama kali mengucapakan “أما بعد” adalah Rasulullah ﷺ dalam sebuah khatbahnya.

Sementa Zubair bin Bakar mengatakan:
Orang yang pertama kali mengucapakan
“أما بعد”
Adalah Ka’ab bin Lu’ay.
Pada saat itu Ka’ab bin Lu’ay mengumpulkan orang-orang di hari Jum’at dan berpidato. Di antara isi pidatonya:

أما بعد، فعظموا حرمكم وزينونه وكرموه، فإنه يخرج منه نبي كريم

“Amma ba’du, Maka agungkan tanah haram kalian,hiasi dan muliakan sesungguhnya akan lahir darinya Nabi yang mulia.”

Juga terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa orang yang pertama kali mengucapakan “أما بعد” di zaman Jahiliyah adalah Suhban bin Wail, ia adalah orang yang pertama kali beriman pada hari Ba’ts (pembangkitan dari kubur) dan orang yang pertama kali berjalan berpegangan pada tongkat.
Ia hidup dalam usia 180 tahun. Menurut pendapat ini, seandainya pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengucapakan “أما بعد” adalah Nabi Daud as itu benar, maka bisa dipastikan Nabi Daud as mengucapkan kala itu bukan dengan bahasa Arab tapi menggunakan bahasanya sendiri dan hanya Allah ﷻ yang tahu.

Dikatakan pula bahwa orang yang pertama kali mengucapakan dan menulis “أما بعد” adalah Qais bin Sa’adah al-Iyadi.
Pada saat ia mengumpulkan orang dan berkata:

أما بعد فإن المعى تكفيه البقلة، وترويه المذقة إلى آخر كلامه.

“Amma Ba’du, sesungguhnya kata-kata yang baik mengalahkan lezatnya sayuran dan merenungkannya terasa meminum wedang susu.”

Waallahu A’lamu

MENIKAH TANPA WALI

Seorang Perempuan Menikah Tanpa Ada Wali

Saya hidup di negara asing dan telah menikah dengan seorang gadis Nashrani yang juga bukan penduduk asli negara di mana saya tinggal.
Sama sekali tidak ada kerabat kami di sana.
Lalu saya meminang gadis tersebut dan dia menerima pinangan saya kemudian kami mengikrarkan lafaz ijab qabul, saya lupa berapa mahar yang ditetapkan saat itu kemudian saya membayar sejumlah uang kepadanya, dan dia tidak memiliki wali.
Dia seorang wanita yang baligh dan mandiri serta tidak ada saksi pada saat itu.
Apakah pernikahan saya ini sah dan benar? kami telah menikah dengan tanpa melihat kebiasaan masyarakat pada umumnya karena memang tujuan kami hanya Allah semata dan untuk meraih keridhaan-Nya.
Ada perasaan dihantui ketakutan jika memang pernikahan kami tidak sah maka akan terjadi perceraian diantara kami, apakah hal ini benar?...
Apakah wajib bagi saya untuk melangsungkan akad nikah yang baru lagi di hadapan wali si wanita dan dihadiri saksi-saksi?
Teks Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama :

Tidak halal bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita tanpa mendapatkan izin dari walinya baik dia masih gadis atau sudah janda.
Yang demikian itu merupakan perkataan jumhur Ulama di antaranya adalah; As Syafi’i, Malik dan Ahmad mereka menggunakan dalil dengan dalil-dalil berikut,

Firman Allah Ta’ala :

فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن (سورة البقرة: 232)

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.." (QS. Al Baqarah : 232)

ولا تُنكحوا المشركين حتى يؤمنوا (سورة البقرة: 221)

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (QS. Al Baqarah : 221)

وأنكحوا الأيامى منكم (سورة النور: 32)

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, ... “ (QS. An Nuur: 32)

Intinya, ayat-ayat tersebut di atas sebagai dalil sangatlah jelas yaitu syarat keberadaan seorang wali dalam pernikahan.
Karena arah pembicaraan Allah Ta’ala adalah orang-orang yang di bawah perwaliannya. Kalau saja perintah tersebut bukan untuk mereka (para wali) pastilah tidak diperlukan mengarahkan hal tersebut kepada mereka.

Di antara fikih Imam Bukhari Rahimahullah bahwa beliau memberikan bab tersendiri untuk ayat-ayat tersebut dengan ungkapannya, “Bab bagi yang mengucapkan     لا نكاح إلا بولي tidak sah pernikahan melainkan dengan keberadaan seorang wali,

dan dari Abu Musa al Asy’ari dia berkata : Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “

لا نكاح إلا بولي (رواه الترمذي، رقم 1101 وأبو  داود،  2085  وابن ماجه، رقم 1881)

"Tidak sah pernikahan melainkan dengan keberadaan seorang wali." (HR.  Tirmizi, no. 1101,  Abu Daud, no. 2085, Ibnu Majah, no. 1881.
Dishahihkan oleh Syekh Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At Tirmizi, 1/318 ).

Dari Aisyah Radliyallahu Anha dia berkata :
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : 

أيما امرأة أنكحت نفسها بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، باطل ، باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له  (رواه الترمذي، رقم 1102 وأبو داود، رقم  2083  وابن ماجه، رقم 1879 وقال أبو عيسى الترمذي : هذا حديث حسن)

"Siapa saja wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, batil, batil. Jika suaminya telah menggaulinya maka bagi wanita tersebut mahar dari kehormatan yang telah diberikannya dan dihalalkan baginya.
Jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada walinya.
" (HR. Tirmizi, no. 1120, Abu Daud, no. 2083, Ibnu Majah, no.  1879. Abu Isa At Tirmizi mengatakan, Hadits ini derajatnya Hasan.
Dishahihkan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil, no. 1840).

Kedua :

Dan jika walinya menolak menikahkan putrinya dengan lelaki yang dikehendaki tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, maka hak perwaliannya berpindah kepada orang yang setelahnya misalnya hak perwalian berpindah dari seorang ayah kepada kakek.

Ketiga :

Namun jika semua wali menolak untuk menjadi wali tanpa uzur syar’i, maka hak perwalian beralih kepada penguasa atau wali hakim sebagaimana hadits terdahulu:

فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

"Dan jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada walinya."

Keempat :

Jika tidak ada wali atau penguasa (wali Hakim) maka seorang yang memiliki kuasa di daerahnyalah yang berhak menikahkannya, seperti hakim lokal, kepala desa atau sesepuh desa dan yang semacamnya, dan jika mereka pun tidak ada maka diwakilkan kepada seorang Muslim yang dapat dipercaya yang berhak menikahkannya.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, "Dan apabila orang-orang yang memiliki hak sebagai wali nikah berhalangan maka hak perwalian beralih kepada seseorang yang baik yang memiliki semacam kekuasan yang tidak ada hubungannya dengan pernikahan seperti Kepala Desa, kepala kabilah dan yang semacamnya." (Al Ikhtiyaraat, hal.  350)

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, "Jika tidak ada bagi seorang wanita wali maupun penguasa yang menikahkannya, maka diriwayatkan dari Imam Ahmad yang mngisyaratkan bahwa yang menikahkannya adalah lelaki yang adil dengan seizinnya." (Al Mughni, 9/362).

Syekh Umar Al ‘Asyqar berkata : Apabila tidak ada penguasa kaum muslimin atau perempuan tersebut dalam kondisi dimana tidak ada bagi kaum muslimin penguasa dan juga wali secara umum sebagaimana kaum Muslimin yang berada di negara Amerika dan yang lainnya, maka jika di negara tersebut terdapat yayasan Islam yang bergerak dalam urusan Kaum Muslimin, maka yayasan tersebut memiliki kewenangan untuk menikahkannya. Demikian pula apabila terdapat kaum Muslimin pemimpin yang ditaati atau penanggung jawab yang mengatur urusan mereka, maka merekalah yang berhak untuk menjadi wali.
" (Dari kitab  Al Wadhih Fi Syarhi Qonuunil Ahwal As Syakhshiyyah Al Urduni, hal. 70)

Wajib pada saat akad nikah disaksikan oleh dua orang lelaki muslim yang baligh dan berakal sehat.
Dengan demikian maka pernikahan anda yang pertama adalah bathil dan wajib bagi anda mengulang akad nikah yang harus dihadiri oleh wali mempelai wanita sebagaimana telah diterangkan dan dua orang saksi.

Wallahu a’lam.

Kamis, 10 November 2022

Mengkodho sholat bagi yan wafat

Hukum Qadha Shalat untuk Orang Wafat

Qadha shalat diwajibkan bagi siapapun yang meninggalkan shalat, baik sengaja maupun tidak.
Untuk orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, diwajibkan mengqadha shalat secepat mungkin (faur).
Bahkan ia diharuskan mengerjakan shalat qadha terlebih dahulu, sebelum mengerjakan shalat wajib lainnya atau shalat sunah.

Misalnya, ketika ada yang secara sengaja meninggalkan shalat dzuhur dan waktunya sudah habis, ia diwajibkan untuk mengqadhanya sebelum menunaikan shalat ashar. Beda halnya dengan orang yang lupa atau ketiduran, mereka dianjurkan  untuk menyegerakan (wa yubadiru bihi nadban), dan tidak diwajibkan sebagaimana halnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.

Kewajiban qadha ini mengukuhkan bahwa bagaimanapun dan dalam kondisi apapun shalat wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali bagi perempuan haidh.

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah meninggal? Apakah ahli  waris atau keluarganya dianjurkan untuk mengqadha shalat orang yang sudah wafat? Persoalan ini sudah dibahas dan diperdebatkan oleh para ulama sejak dulu. Dalam Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه، وفي قول: إنها تفعل عنه، أوصى بها أم لا، حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه

Artinya, “Orang yang sudah meninggal dan memiliki tanggungan shalat wajib tidak diwajibkan qadha dan tidak pula bayar fidyah.
Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini.
Bahkan, As-Subki melakukan (qadha shalat) untuk sebagian sanak-familinya.”

Memang tidak terdapat hadits yang secara tegas menunjukkan kebolehan qadha shalat.
Ulama yang membolehkan hal ini berdalil pada hadis kewajiban qadha puasa bagi ahli waris. ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah bahwa:

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

Artinya, “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).

Anjuran mengqadha puasa ini disematkan pada shalat, karena keduanya sama-sama ibadah badaniyah (ibadah fisik).
Dalam Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi juga menguraikan perdebatan ulama terkait hal ini. Persoalannya, apakah ibadah yang dilakukan orang yang masih hidup, pahalanya sampai kepada orang yang meninggal atau tidak? An-Nawawi menjelaskan:

ذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفي صحيح البخاري في باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلي عنها

Artinya, “Sekelompok ulama berpendapat bahwa pahala seluruh ibadah (yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal) sampai kepada mereka, baik ibadah shalat, puasa, dan membaca Al-Qur’an.
Dalam shahih al-Bukhari, bab orang yang meninggal dan masih memiliki kewajiban nadzar, Ibnu Umar memerintahkan kepada orang yang meninggal ibunya dan memiliki tanggungan shalat untuk mengerjakan shalat untuk ibunya.”

Demikianlah pendapat ulama terkait kebolehan mengqadha shalat untuk orang yang sudah wafat.
Selain pendapat, sebagian ulama besar seperti As-Subki juga melakukan untuk keluarganya yang telah wafat.
Bagi siapa yang tidak setuju dengan pendapat di atas, alangkah baiknya untuk tidak menyalahkan orang yang mengqadha’ shalat untuk keluarganya yang telah wafat. Sebab persoalan ini masih diperdebatkan dan diperselisihkan oleh para ulama (khilafiyah).
Wallahu a’lam."