Al-Hayyul Qayyumu atau Al-Hayyal Qayyuma?
Assalamualaikumwarahmatullah wa barakaatuh, Ustadz yang budiman yang dimuliakan oleh Allah SWT.
Saya izin bertanya. Saya sering memperhatikan orang orang di kampung saya ketika sedang wirid ada yang membaca lafal astaghfirullâhal 'adhîm alladzî lâ ilâha illâ huwal hayyul qayyûm wa atûbu ilaih.
Sementara itu, di lain pihak ada yang membaca dengan lafal astaghfirullâhal 'adhim allazî lâ ilâha illâ huwal hayyal qayyûma wa atûbu ilaih. Satu membaca dengan “hayyal” satu lagi membaca “hayyul”.
Manakah dari kedua lafal tersebut yang lebih afdhal bagi kita, ustadz?....
Mohon penjelasannya! Asykurukum syukron.
Jawaban
Wa’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Saudara penanya yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa menaungi kita dengan rahmat dan maunah-Nya sehingga kita bisa menjalankan aktivitas kita sehari-hari!
Saudara penanya yang budiman, manusia dalam kesehariannya tidak lepas dari perbuatan salah dan dosa.
Sebagai hamba Allah SWT yang baik, maka tentu ia harus senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT lewat istighfar. Di dalam kitab Riyâdlush ShâlihiIn, Rasulullah ﷺ bersabda:
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ ﷺ يقول: (والله إني لأستغفر اللَّه وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya: Abu Hurairah radliyallâhu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada Allah di dalam sehari lebih banyak dari 70 kali. (Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Riyâdlush ShâlihiIn, No. Hadits 1870)
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال
: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من لزم الاستغفار جعل الله له من كل ضيق مخرجا ومن كل هم فرجا ورزقه من حيث لا يحتسب رواه أبو داود
Artinya: Ibnu Abbâs
radliyallâhu ‘anhumâ berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah jadikan baginya untuk setiap kesempitan adanya jalan keluar, dan untuk setiap kesusahan ada kebahagiaan, dan Allah akan menganugerahinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangkanya. HR. Abu Dawud. (Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Riyâdlush ShâlihiIn, No. Hadits 1873)
Saudara penanya yang budiman, kedua hadits di atas hanya sekelumit dari banyak hadits yang menunjukkan keutamaan beristighfar dan bertaubat. Bila Rasulullah ﷺ yang sudah ma’shum saja senantiasa beristighfar, apalagi kita sebagai insan biasa yang sehari-harinya banyak berbuat kesalahan apalagi dosa.
Tentu lebih berhak untuk beristighfar, bukan? Penanya yang budiman.
Ada beberapa riwayat hadits yang berbicara tentang lafadh istighfar yang saudara tanyakan. Masing-masing memiliki shighat lafadh yang berbeda. Di antara hadits-hadits tersebut antara lain sebagai berikut:
وعن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ ﷺ: (من قال أستغفر اللَّه الذي لا إله إلا هو الحيَّ القيومَ وأتوب إليه، غفرت ذنوبه وإن كان قد فرّ من الزحف) رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالْتِّرْمِذِيُّ والحاكم وقال حديث صحيح على شرط البخاري ومسلم.
Pada hadits di atas, shighat lafadh الحي القيوم dibaca dengan harakat fathah sehingga dibaca الحيَّ القيومَ.
Hadits dengan dibaca menurut qira’ah semacam juga ditemukan pada kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah yang menukil sebuah hadits yang diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dengan nomor hadits 1517 dan 1521, Al-Tirmidzy dengan nomor hadits 3577 dan al-Nasai dengan nomor hadits 414, 415, 416 dan 417 dengan sanad marfu’ hasan.
Adapun segi derajat hadits, Al-Hakim menilainya sebagai hadits marfu’ shahih menurut standart al-jarh wa al-ta’dil al-Bukhary dan Muslim. Dalam Kitab Riyadhu al-Shâlihîn, Imam Nawawi meriwayatkan dari Abu Dawud dengan Nomor Hadits: 1874. Semua hadits di atas dibaca dengan qiraah fathah pada lafadh الحي القيوم.
Adapun hadits yang meriwayatkan dengan shighat الحيُّ القيومُ antara lain adalah sebagai berikut:
رواه الحاكم من طريق مُحَمَّد بن سَابِقٍ البغدادي ومُحَمَّد بن يُوسُفَ الفِرْيَابِيّ، كلاهما عن إِسْرَائِيل، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ثَلَاثًا، غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ، وَإِنْ كَانَ فَارًّا مِنَ الزَّحْفِ, هذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Hadits di atas dikomentari oleh Al-Hakim sebagai hadits shahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim).
عَنْ إسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، عَنْ أَبِي الأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : "مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِي لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إلَيْهِ ثَلاثًا غُفِرَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ"، موقوفاً
Hadits ini statusnya mauquf, dan dengan derajat jalur sanad hasan.
Nama Israil yang terdapat dalam sanad adalah orang yang terkenal صدوق (orang yang jujur). Dalam Jalur riwayat yang lain, Al-Hakim juga meriwayatkan hadits yang sama, namun dari jalur sanad Ismail bin Yahya al-Syaibany dengan disandarkan pada Ibnu Mas’ud dengan rupa hadits mauquf. Ismail bin Yahya al-Syaibany ini adalah seorang yang متهم بالكذب (terduga bohong). Berangkat dari semua keterangan adanya hadits yang maurud di atas, maka disimpulkan bahwa semua bentuk shighat lafadh baik dengan الحيَّ القيومَ atau dengan shighat lafadh الحيُّ القيومُ adalah sama-sama wârid (datang) dari Baginda Rasulillah ﷺ dan para sahabat beliau.
Oleh karena itu, mengenai pertanyaan saudara penanya, manakah yang lebih afdlal, maka keduanya adalah sama-sama afdlal apalagi hal tersebut diajarkan dan langsung meniru lisan Rasulillah ﷺ.
Untuk itu tidak patut bagi kita untuk membedakan keduanya baik dari segi fadlilahnya. Kita yakin bahwa Rasulullah ﷺ adalah bersifat tabligh yang senantiasa mengajarkan apa yang berasal dari Allah ﷺ.
وماينطق عن الهوى إن هو إلا وحيٌ يوحى
Artinya: “Tiada ia berbicara dari dorongan nafsu, melainkan ia berasal dari wahyu yang diwahyukan.” (QS. Al-Najm: 3-4)
Apakah kedua shighat di atas, salah bila ditinjau dari sisi nahwu? Kita lihat pada shighat pertama dengan harakat fathah. Lafadh الحي القيوم dengan harakat fathah berkedudukan menjadi tamyiz dari lafadh الله, yang mana lafadh الله dibaca dengan nashab karena ia berkedudukan sebagai maf’ul bih dari fi’il muta’addy dari lafadh أستغفر.
Aslinya الحي االقيوم adalah shifat maushuf dari الله. Namun, sifat yang lebih dari satu dalam nahwu berubah kedudukannya menjadi tamyiz dan harakatnya tetap wajib sama dengan maushufnya. Adapun lafadh الحي القيوم yang dibaca dengan harakat dlammah, maka ia berkedudukan sebagai kalam baru karena jatuh setelah lafadh istitsna’, yaitu إلا. Tepatnya, ia menjadi khabar dari kalimat dlamir هو.
Sebagai khabar, ia wajib dibaca rafa’ kecuali bila ada كان وأخواتها. Kesimpulan tinjauan dari sisi nahwu, kedua shighat الحيُّ القيومُ dan الحيَّ القيومَ adalah sama-sama benarnya.
Jadi, silahkan dipilih salah satu dari keduanya menurut kemantaban saudara penanya! Demikian, semoga jawaban singkat kami ini dapat menjawab permasalahan saudara penanya! Wallaahua’lam bish shawab.
Semoga bermanfa'at...