Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 01 Maret 2025

WAJIBKAH DIZAKATI ONGKOS HAJI,,,?

Zakat merupakan ibadah yang bukan hanya berhubungan dengan aktivitas penghambaan kepada Allah, namun juga berkaitan dengan aspek sosial untuk mensejahterakan sesama. Syariat mewajibkan kepada orang kaya -yang sudah wajib zakat- untuk menyisihkan sebagian hartanya agar diberikan kepada pihak yang berhak (mustahiq zakat), sebagai upaya pensucian dan pembersihan diri sebagaimana difirmankan dalam Surat at-Taubat ayat 103.


Salah satu yang menarik untuk dikaji dalam zakat adalah ongkos naik haji para jamaah yang diinvestasikan dan dikembangkan oleh badan pengelola keuangan haji. 
Baznas Kabupaten Sukabumi berencana memungut zakat dari ongkos calon jamaah haji. 
Argumen yang disampaikan di antaranya, ongkos haji calon jamaah sudah mencapai satu nishab dan belum dizakati. “Pergi haji dengan harta yang bersih, sudah dizakati tentu lebih baik dan lebih mabrur”, tegas salah satu pihak yang menginisiasi ide tersebut.

Dana ongkos naik haji bisa wajib dizakati bila memenuhi tiga kriteria sebagai berikut:
 
1. Harta mencapai satu nishab
Zakat bisa wajib bila telah mencapai satu nishab. 
Yang dimaksud nishab di sini adalah kepemilikan uang senilai 85 gram emas murni 24 karat dengan mengikuti harga buy back emas pada hari dimana zakat akan ditunaikan. 
Bila harga emas antam adalah 900.000 per gram (setidaknya update per 19 Februari 2023), maka untuk mencapai satu nishab harus mencapai 76.500.000. Kenyataannya uang dana setoran awal jamaah senilai 25,5 juta tidak mencapai nominal tersebut.

2. Harta dimiliki secara sempurna
Kepemilikan secara sempurna menjadi salah satu syarat wajib zakat, sehingga dana setoran awal jamaah yang telah ditasarufkan BPKH tidak masuk dalam kategori kepemilikan secara sempurna, karena telah ditasarufkan BPKH.

3. Harta telah mencapai satu tahun (haul)
Harta yang telah mencapai satu nishab wajib dikeluarkan zakatnya bila harta tersebut bertahan stabil dalam nishab selama satu tahun. 
Sehingga bila harta tersebut rusak atau ditasarufkan sebelum memasuki haul, maka tidak wajib dizakati dan harus memulai ulang perhitungan haulnya. Dalam prakteknya, uang jamaah selain tidak mencapai satu nishab, juga telah dipergunakan untuk keperluan investasi.
 

Dengan demikian, ongkos naik haji tidak wajib dizakati karena tidak memenuhi tiga kriteria di atas. 
Oleh karenanya Baznas tidak diperbolehkan memungut zakat darinya, sebab penarikan dana tanpa sebab yang jelas, bagian dari perbuatan “al-Maksu” (Pungutan liar) yang diharamkan.
 

Referensi:


اَلزَّكَاةُ وَاجِبَةٌ عَلَى الحُرِّ الْمُسْلِمِ الْبَالِغِ الْعَاقِلِ إِذَا مَلَكَ نِصَاباً مِلْكاً تَامّاً وَحاَلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Zakat adalah wajib atas orang merdeka yang muslim, baligh dan berakal ketika ia memiliki harta dengan kepemilikan yang sempurna yang sudah sampai nishabnya dan telah mencapai haul” (Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Dimasqi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, Bairut-Dar al-Kitab al-‘Arabi, tt, juz, 1, h. 98).
 

حاشية البجيرمي على الخطيب = تحفة الحبيب على شرح الخطيب (2/ 315)
(و) الثالث (الملك التام) فلا تجب فيما لا يملكه ملكا تاما كمال كتابة إذ للعبد إسقاطه متى شاء، وتجب في مال محجور عليه والمخاطب بالإخراج منه وليه، ولا تجب في مال وقف لجنين إذ لا وثوق بوجوده وحياته. وتجب في مغصوب وضال ومجحود وغائب، وإن تعذر أخذه ومملوك بعقد قبل قبضه لأنها ملكت ملكا تاما، وفي دين لازم من نقد وعرض تجارة لعموم الأدلة ....إلى أن قال..... (وشرائط وجوب الزكاة فيها) أي الأثمان ولو قال فيهما ليعود على الذهب والفضة لكان أولى لما تقدم (خمس) وهي (الإسلام والحرية والملك التام والنصاب والحول) ومحترزاتها معلومة مما تقدم، ولو زال ملكه في الحول عن النصاب أو بعضه ببيع أو غيره فعاد بشراء أو غيره استأنف الحول لانقطاع الأول بما فعله فصار ملكا جديدا فلا بد له من حول للحديث المتقدم
 

كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار (ص: 169)
واحترز الشيخ بالملك التام عن الملك الضعيف فلا تجب فيه الزكاة ويظهر ذلك بذكر صور فإذا وقع ماله في مضيعة أو سرق أو غصب أو أودعه عند شخص فجحده فهل تجب الزكاة فيه خلاف القديم لا تجب فيه الزكاة لضعف الملك بمنع التصرف فأشبه مال المكاتب والجديد الأظهر أنها تجب لأن ملكه مستقر عليه فعلى هذا لا تجب إخراج الزكاة قبل عود المال حتى لو تلف في زمان الحيلولة بعد مضي أحوال سقطت الزكاة

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي (3/ 1801)
وقال الشافعية (2): المطلوب توافر أصل الملك التام والقدرة على التصرف، فلا زكاة على السيد في مال المكاتب؛ لأنه لا يملك التصرف فيه، فهو كمال الأجنبي، ولا زكاة في الأوقاف؛ لأنها في الأصح على ملك الله تعالى، ولا على المال المباح لعموم ملك الناس كزرع نبت بفلاة وحده، دون أن يستنبته أحد؛ لعدم الملك الخاص.

إسعاد الرفيق ج 2 ص 146
﴿و﴾ منها أكل ما يدخل على الشخص بسبب ﴿المكس﴾ وهو ما ترتبه الظلمة من السلاطين فى أموال الناس بقوانين ابتدعوها وقد عد فى الزواجر جباية المكوس والدخول فى شىء من توابعها كالكتابة عليها إلا بقصد حفظ حقوق الناس إلى أن ترد عليهم إن تيسر من الكبائر قال فيها وهو داخل فى آية إنما السبيل على الذين يظلمون  (الشورى: 42) الآية والمكاس بسائر أنواعه من جابى المكس وكاتبه وشاهده ووازنه وكائله وغيرها من أكبر أنواع الظلمة بل هو منهم فإنهم يأخذون ما لا يستحقون ويدفعونه لغير مستحقه ولذا لا يدخل صاحب المكس الجنة كما يأتى لأن لحمه نبت من حرام ولتقلده بمظالم العباد ومن أين له يوم القيامة أن يؤدى ما أخذ من الناس فيأخذون من حسناته إن كانت قال  لا يدخل صاحب مكس الجنة.
الله اعلم بالصواب...

Jumat, 21 Februari 2025

PEREMPUAN HAID BOLEH MASUK MASJID,,,?

Sudah kita ketahui mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. 

Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.
Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.
Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ.

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik. (Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).
Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid. Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.
Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.
“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).
Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.
Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama. Allahu a'lam.

HUKUM SHALAT DIPESAWAT

Hukum Shalat dalam Pesawat


Hukum Shalat dalam Pesawat
BincangSyariah.Com– Bagaimana hukum shalat dalam pesawat?  Pasalnya, shalat adalah perkara wajib yang harus dikerjakan semua orang Islam yang telah baligh. Selama nyawa masih dikandung badan, selama nafas masih berhembus, dan pikiran masih dalam keadaan waras, selama itu pula kewajiban shalat harus dikerjakan.

Syekh Muhammad Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitabnya Fath al-Qorib bahkan mengatakan;

ولا يتركها ما دام عقله ثابتا

Shalat tidak boleh ditinggalkan selama akalnya masih ada.

Dalam keadaan bagaimanapun, kapanpun, dan dimanapun, shalat tetap harus dikerjakan. Tidak boleh bagi seorang pun berani untuk meninggalkan shalat, karena seluruh amal tergantung pada shalat yang kita kerjakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة، فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله

“Amal ibadah yang pertama yang akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak maka rusaklah seluruh amalannya yang lain”

Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab di akhirat dan menjadi tolak ukur kebaikan amalan yang lain. Namun bagi sebagian orang yang memiliki urusan penting di luar daerah dan sering bepergian menggunakan pesawat sering bertanya-tanya, bagaimana hukum melaksanakan shalat dalam pesawat?

Hukum Shalat dalam Pesawat
Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf dalam kitabnya At-Taqrirat as-Sadidah, juz I hal. 201, memberikan penjelasan terkait hal ini, beliau menjelaskan;

الصَّلَاةُ فِي الطَّائِرَةِ، فَتَجُوْزُ مَعَ الصِّحَّةِ صَلَاةُ النَّفْلِ، وَأَمَّا صَلَاةُ الْفَرْضِ إِنْ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ أَثْنَاءَ الرِّحْلَةِ وَكَانَتِ الرِّحْلَةُ طَوِيْلَةً بِأَنْ لَمْ يَسْتَطِعِ الصَّلَاةَ قَبْلَ صُعُوْدِهَا أَوِ إنْطِلَاقِهَا أَوْ بَعْدَ هُبُوْطِهَا فِي الْوَقْتِ وَلَوْ تَقْدِيْمًا اَوْ تَأْخِيْرًا، فَفِي هَذَا الْحَالَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ اَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَفِيْهَا حَالَتَانِ (١) إِنْ صَلَّى بِإِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ فَفِي وُجُوْبِ القَضَاءِ عَلَيْهِ خِلَافٌ لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الطَّائِرَةِ فِي الْأَرْضِ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ (٢) وَإِنْ صَلَّى بِدُوْنِ إِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ أَوْ بِدُوْنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِتْمَامِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ القَضَاءُ بِلَا خِلَافٍ

“Shalat di dalam pesawat, boleh serta dihukumi sah Shalat sunah dalam pesawat. Sedangkan untuk shalat fardhu, jika ia hanya bisa melaksanakan Shalat di tengah perjalanan sementara perjalanannya masih jauh dengan gambaran ia tidak mampu melaksanakan shalat pada waktunya, baik sebelum pesawat lepas landas atau akan mendarat, sekalipun dengan jama’ taqdim atau ta’khir, maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya untuk shalat lihurmatil waqti dengan tetap menghadap arah kiblat. 

Dan dalam hal ini, ada dua keadaan: (1) Jika ia shalat dengan menyempurnakan ruku’ dan sujud, maka dalam kewajiban mengqadha shalat ada perbedaan -ada yang berpendapat tidak wajib qadha (mengganti) ada yang berpendapat wajib qadha- karena tidak tetapnya pesawat pada bumi. Pendapat yang kuat berpandangan, ia wajib mengqadha shalatnya. 

(2) Jika ia shalat dapat menyempurnakan ruku’ dan sujud atau tidak menghadap ke arah kiblat maka ia wajib mengulangi shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat.”

Kesimpulan
Untuk shalat sunah yang dikerjakan di pesawat hukumnya boleh dan sah, sedangkan untuk shalat fardhu yang sudah masuk waktu dan tidak memungkinkan untuk shalat selain di dalam pesawat sekalipun dengan jamak taqdim atau takhir, maka wajib mengerjakan shalat di dalam pesawat.

Untuk kewajiban mengqadha atau tidak maka ditafshil (diperinci), apabila shalatnya dengan menyempurnakan ruku’, sujud dan menghadap kiblat maka ada yang berpendapat tidak wajib qadha ada yang berpendapat wajib qadla’. Apabila shalatnya tanpa rukuk, sujud atau menghadap kiblat, maka hukumnya wajib qadla’.

Hari-hari yang dipenuhi dengan kesibukan, sesungguhnya adalah karunia dari Allah. Allah memberi kita kesempatan untuk memiliki kegiatan yang begitu banyak, dimana banyak orang lain justru kesulitan untuk mendapatkan kesempatan itu. Allah memberi kita kesempatan bekerja di saat banyak orang lain kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

Oleh karena itu, kita harus mensyukuri dan menyikapinya dengan bijak serta membagi waktu kita dengan baik, dengan tetap memprioritaskan ibadah kepada Allah.

Demikian penjelasan hukum shalat dalam pesawat. 
Wallahu a’lam"
 

Selasa, 18 Februari 2025

AHLI SURGA DAN NERAKA TANPA HISAB

Inilah Ahli Surga dan Ahli Neraka Tanpa Hisab
Apakah kita termasuk golongan orang yang masuk Surga tanpa hisab, atau masuk neraka tanpa hisab, atau kah kita masih termasuk orang yang memerlukan hisab amal perbuatan untuk memasuki keduanya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, pada momen Isra Mi’raj tahun ini, akan kita telaah tentang perhitungan amal manusia.


Sehubungan dengan hal itu, Allah SWT pada hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak akan menghitung semua amal perbuatan manusia.

Allah SWT berfirman:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ۞

“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan”. (Q.S. Al-Anbiya: 47)

Ayat tersebut menjelaskan secara detil bahwa setiap manusia ditetapkan oleh Tuhan apakah ia menjadi penghuni surga ataukah neraka setelah perhitungan amalnya. Jika timbangan amal kebaikannya lebih berat dari keburukannya, maka ia masuk surga. Sebaliknya, jika timbangan amal keburukannya lebih berat dari kebaikannya, maka ia masuk neraka.

BACA JUGA: Tidak Ada Hal yang Tidak Mungkin bagi ALLAH ﷻ

Namun demikian, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa ada manusia-manusia istimewa yang menjadi penghuni surga namun tanpa melewati proses perhitungan amal perbuatannya, alias tanpa hisab. Begitupun penghuni neraka, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa ada di antara mereka yang tanpa proses perhitungan amal perbuatannya, alias bighairi (tanpa) hisab.

Jadi, untuk menjadi ahli surga, harus melalui dua proses; dengan perhitungan (bil-hisab) dan tanpa perhitungan (bighairi hisab). Demikian juga ahli neraka, mereka harus melewati dua proses juga; dengan perhitungan (bil-hisab) dan tanpa perhitungan (bighairi hisab).

Ahli Surga Tanpa Hisab

Mengenai golongan orang-orang yang akan dimasukkan ke surga tanpa hisab, alias tanpa perhitungan amal, akan kita ulas satu persatu berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam Kitab-kitab klasik.

Di suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي اْلإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللّٰهِ وَذَكَرُوْا أَشْيَاءَ، فَخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيْهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ، فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ اُدْعُ اللّٰهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ، ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ اُدْعُ اللّٰهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ .

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda: ‘Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya: “Itu adalah Musa dan kaumnya”. Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya: “Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.”


Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya, ‘Siapakah gerangan mereka itu?’ Ada diantara mereka yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.’ Ada lagi yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.’ dan menyebutkan yang lainnya.

Ketika Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda: ‘Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah (pengobatan dari terkena sihir, santet, teluh, gendam, dan sejenisnya dengan cara rajah atau bacaan-bacaan yang mengandung mantra), tidak meminta di kay (pengobatan luka dengan besi panas) dan tidak pernah melakukan tathayyur (tidak memvonis nasib sial karena melihat burung) serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.

Lalu Ukasyah bin Mihshan berdiri dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ‘Engkau termasuk mereka’. Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: ’Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ’Kamu sudah didahului Ukasyah’.”

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW juga ada bersabda:

وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْخُلُ أَرْبَعَةٌ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ : الْعَالِمُ الَّذِيْ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ، وَمَنْ حَجَّ وَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ حَتَّى مَاتَ، وَالشَّهِيْدُ الَّذِىْ قُتِلَ فِى الْمَعْرَكَةِ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ الْاِسْلَامِ، وَالسَّخِيُّ الَّذِيْ إِكْتَسَبَ مَالًا مِنَ الْحَلَالِ وَأَنْفَقَهُ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ رِيَاءٍ، فَهَؤُلَاءِ يُنَازِعُ بَعْضَهُمْ بَعْضًا أَيُّهُمْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَوَّلًا .

“Dan Nabi SAW bersabda: ketika hari kiamat datang ada empat orang yang akan masuk surga tanpa hisab (yaitu) orang alim yang mengamalkan ilmunya, orang berhaji dan dia tidak berkata-kata keji dan berbuat fasik sampai dia meninggal, tentara yang gugur mati syahid dalam medan pertempuran dalam menegakkan kalimat Islam, dan orang yang dermawan yang membelanjakan hartanya kepada yang halal dan menafkahkannya di jalan Allah tanpa diikuti sikap riya’. Mereka saling berbantah-bantahan siapa yang pertama memasuki surga”. (Kitab Mukasyafah Al-Qulub karya Imam Ghazali hal. 65)


Kemudian, Rasulullah SAW juga mengatakan dengan jelas bahwa 10 orang sahabat beliau masuk surga dengan tanpa menyebutkan syarat hisab:

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf, Rasulullah SAW bersabda:

أَبُوْ بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ بْنِ أَبِيْ وَقَاصٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيْدٌ بْنِ زَيْدٍ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُوْ عُبَيْدَةٍ بْنِ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ .

“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad bin Abi Waqqas di surga, Sa’id bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan An-Nasai).

Dari tiga redaksi hadits di atas dapat diambil kesimpulan tentang kriteria masuk surga tanpa hisab, golongan orang-orang yang termasuk dalam kriteria tersebut, hingga para Nabi yang membawa serta umatnya dengan jumlah yang beraneka bilangan.

Adapun tentang kriteria ahli surga tanpa perhitungan (bighairi hisãb) adalah mutlak menjadi hak Allah SWT melalui rahmat-Nya. Sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:

لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللّٰهِ .

“Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (H.R. Muslim).

Tentunya, hak mutlak Allah SWT tidaklah mungkin memunculkan kesewenang-wenangan. Allah tidak mungkin mengingkari janji-Nya dan tidak mungkin berbuat dzhalim kepada hamba-Nya. Karena itulah, perhitungan amal perbuatan manusia (hisãb) menjadi dasar yang paling sederhana untuk menentukan seseorang menjadi ahli surga ataukah ahli neraka.

Ada seseorang yang seolah-olah terlihat sedikit kebaikannya, namun di antara amal baik yang sedikit itu terdapat perbuatan yang bernilai sangat besar dan sangat berarti bagi makhluk lain menurut penilaian Allah SWT. Perbuatan yang seolah sedikit implementasinya dalam pandangan manusia namun bernilai besar di hadapan Allah SWT adalah sikap tawakkal. Apa itu tawakkal?

Tawakal berasal dari kata وكل (wakala) yang berarti menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan suatu urusan kita kepada orang lain. Dalam kaitan ini penyerahan tersebut adalah kepada Allah SWT. Tujuannya, untuk mendapat kemashlahatan dan menghilangkan kemudharatan.

Secara istilah arti tawakkal adalah menyerahkan suatu urusan kepada kebijakan Allah SWT, yang mengatur segalanya-galanya. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT adalah salah satu perkara yang diwajibkan dalam ajaran agama Islam. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT dilakukan oleh seorang muslim apabila sudah melaksanakan ikhtiar (usaha) secara maksimal dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.

Tawakkal dilaksanakan setelah manusia melakukan ikhtiar dengan maksimal. Karena itu, tawakkal kepada Allah SWT tidak dibenarkan apabila belum melaksanakan usaha semaksimal mungkin. Demikian juga tawakkal yang ditujukan kepada selain Allah SWT termasuk perbuatan syirik yang harus dijauhi oleh setiap orang yang beriman.

Allah SWT berfirman:

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۞

“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al-Maidah [5]:23)

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia dikatakan beriman apabila sudah bertawakkal kepada Allah SWT. Dalam ayat lain, Allah SWT juga ada berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۚ إِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ۞

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]:159)


Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia akan disukai oleh Allah SWT bila bertawakkal kepada-Nya setelah melaksanakan usaha dengan maksimal.

Hanya saja, bagaimana Allah SWT menilai sifat-sifat tawakkal seorang hamba, itulah yang tak mungkin secara detil dapat diketahui oleh hamba yang lain, kecuali Allah anugerahkan kepadanya pengetahuan akan hal itu. Mengapa sikap tawakkal dinilai sangat besar?

Seseorang yang bertawakkal kepada Allah SWT akan melahirkan sifat-sifat syukur, sabar, ikhlas, qana’ah, amanah, jujur, empati, dst. Lalu bagaimana sifat-sifat tersebut ditunjukkan dalam perbuatan dan realitas kehidupan sehari-hari? Inilah realitas yang tak selalu sama antara manusia yang satu dengan yang lain, sehingga tak bisa digeneralisir dalam pandangan (perspektif) manusia sendiri. Kriteria itu hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Hanya Allah SWT sajalah yang rinci, detil dan adil dalam perhitungan-Nya.

Kemudian Rasulullah SAW diperlihatkan oleh Allah SWT tentang hamba-hamba-Nya yang akan menjadi penghuni surga tanpa hisab dan ‘adzab. Penglihatan Rasulullah SAW itu adalah dengan pandangan ‘ainul bashirah, yang tidak diberikan oleh Allah SWT kepada sembarang hamba.

Sifat tawakkal adalah sifat shamadiyyah (bersandar atau bergantung kepada Allah SWT) yang dimulai dari kriteria tauhîd (‘menyatu’ kepada Allah SWT). Tauhid bukanlah menyatakan atau menjadikan Allah itu Esa. Tauhid itu adalah sebuah sikap aktif seorang hamba yang dimulai dari kesadaran akan ke-Esa-an Allah SWT.

Jadi, segala sesuatu yang menjadi tujuan dan rujukannya hanyalah Allah SWT. Seseorang yang ketika melakukan perbuatan apapun di dunia ini dimulai dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah. Tentunya didahului dengan pengetahuan mumpuni tentang baik buruknya perbuatan (tamyîz).

Dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah adalah manifestasi dari kalimat lã haula wa lã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhîm (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Biasanya kalimat itu digandeng dengan sebuah pernyataan bertawakkal kepada-Nya, yakni:

بِسْمِ اللّٰهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Bismillãhi tawakkaltu ‘alallãhi wa lã haula wa lã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhîm

“Dengan Nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.

Biasanya, kalimat tersebut dipakai sebagai doa untuk keluar rumah. Namun demikian, doa tersebut bukanlah semata-mata ucapan, tapi lebih dalam dari itu. Pemahaman, kesadaran dan penghayatan terdalamnya dapat menjadi “penyapu bersih” dari segala sesuatu yang mengotori kesucian sifat tawakkal. Dengan kesadaran itu, akhirnya doa tersebut bisa dipakai untuk melakukan setiap perbuatan baik. Apalagi ketika sedang menghadapi bahaya, tekanan, himpitan dan kondisi-kondisi kehidupan yang berat.

Demikian penjelasan tentang bagaimana tawakkal yang didasari tauhid bisa menjadi penentu akan nilai sebuah perbuatan, sehingga ia menjadi kriteria untuk menjadi penghuni surga tanpa hisab. Wallãhu a’lamu bish-Shawãb.

Semoga kita termasuk golongan yang dikriteriakan tersebut, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

________________________________________

Ahli Neraka Tanpa Hisab

Jika ada ahli surga tanpa proses perhitungan amal (bighairi hisab), maka ada juga orang yang masuk neraka tanpa proses perhitungan (bighairi hisab).

Rasulullah SAW memberikan kriteria tersebut melalui sabdanya:

سِتَّةٌ يَدْخُلُوْنَ النَّارَ  قَبْلَ الْحِسَابِ بِسِتَّةٍ . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ‏ اللّٰهِ صَلَّى‏ اللّٰهُ عَلَيْكَ، مَن هُم؟ قَالَ : اَلْاُمَرَاءُ بِالْجَوْرِ، وَالْعَرَبُ بِالعَصَبِيَّةِ، والدَّهَاقِيْنُ بِالْكِبْرِ، وَالتُّجَّارُ بِالْخِيَانَةِ، وَأَهْلُ الرُّسْتَاقِ بِالْجَهَالَةِ، وَالْعُلَمَاءُ بِالْحَسَدِ . (رواه الديلمي من حديث ابن عمر وأنس)

“Ada enam golongan orang yang akan masuk neraka sebelum hisab”. Ada yang bertanya: “wahai Rasulullah shallallãhu ‘alaika, siapa saja mereka itu?”. Rasulullah SAW bersabda: “Umara yang dzhalim (1), orang Arab yang rasis atau berbuat mementingkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) (2), penguasa kecil yang merasa besar (sombong) (3), pengusaha yang berdagang dengan khianat (curang) (4), orang awam yang bodoh dalam masalah agama (ahlur rustaq) (5), dan ulama yang punya hati dengki (hasad) (6).”


Ada enam kelompok manusia yang akan masuk neraka tanpa melalui proses penghitungan amal ibadah (bighairi hisab). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kedzaliman di dunia dan selalu merugikan banyak orang. Mereka bukan tidak mengerjakan amal ibadah yang diwajibkan dan amalan-amalan sunnah yang lain. Namun, amal ibadah yang mereka kerjakan sulit untuk mengalahkan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.

Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhãj al-‘Ãbidîn, keenam kelompok orang itu (seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dailamiy) adalah:

Pertama, pemimpin yang dzalim. Mereka adalah pemimpin yang tidak amanah di saat memegang jabatan. Jabatan yang dimiliki digunakan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan umat.

Padahal, dalam pandangan Islam, jabatan merupakan sebuah amanah yang besar. Pertanggungjawabannya bukan hanya kepada manusia melainkan juga kepada Allah SWT. Itulah mengapa para sahabat enggan untuk memegang jabatan sebagai pemimpin untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa jenazah Rasulullah baru dimakamkan tiga hari setelah beliau wafat. Ini disebabkan para sahabat menunggu siapa pemimpin sesudah Rasulullah.

Kedua, fanatisme golongan. Mereka memiliki rasa fanatisme yang berlebihan terhadap sebuah kelompok atau golongan. di Indoenesia, orang-orang tersebut disebut mementingkan dan melanggar SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Apa pun akan mereka lakukan asalkan demi golongannya. Mereka berjuang bukan untuk mencari ridha Allah SWT, melainkan untuk kepentingan golongan. Ketika umat Islam didzalimi mereka tidak beraksi tapi kalau kelompok mereka diganggu dan dianiaya mereka berjuang habis-habisan untuk membela kelompoknya.

Ketiga, penguasa kecil (pemimpin desa/daerah) yang mempunyai kesombongan besar. Terkadang kita jumpai di masyarakat bahwa pemimpin-pemimpin daerah justru ingin diperlakukan dengan istimewa bahkan terkadang melebihi pemimpin yang memiliki kekuasaan yang lebih besar. Mereka sombong dengan jabatan yang dikuasai. Padahal yang berhak sombong tidak lain adalah Allah SWT.

Keempat, pengusaha yang khianat (curang). Segala bentuk usaha yang dilakukan bertentangan dengan apa yang sudah ditentukan dalam Islam. Usahanya menggunakan cara-cara tidak terpuji seperti menipu.

Kalau ia seorang pedagang buah, di atas keranjang buah selalu ditempatkan buah-buah yang masih baru dan segar tetapi di bagian bawah, buahnya dalam keadaan jelek bahkan ada yang busuk. Islam pun melarang setiap pedagang untuk mengurangi timbangan karena dengan berbuat itu akan merugikan konsumen.

Kegiatan menimbun barang juga merupakan perbuatan yang ditentang dalam ajaran Islam. Alasannya, kegiatan itu biasanya digunakan untuk meresahkan masyarakat akibat mahalnya harga barang. Tindakan itu merugikan masyarakat.

Kelima, orang awam karena kebodohannya dalam masalah agama. Mereka hanya ikut-ikutan dengan sekelompok orang yang mereka anggap benar. Akibatnya, mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Di dalam Al-Quran, Allah SWT menjelaskan, akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Karena itu, mencari ilmu dalam Islam juga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

Keenam, ulama yang mempunyai hati dengki. Ulama menurut arti bahasa adalah orang yang berilmu. Setiap ilmu yang dimiliki harus digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan individu ataupun kelompok. Bukan pula untuk mencari popularitas dan persaingan dalam hal banyaknya jama’ah.

Biasanya, penyebab ulama memiliki hati dengki adalah dalam hal popularitas dan berbanyak-banyakan jama’ah atau pengikut. Antar-ulama saling dengki karena iri hati dengan popularitas dan jumlah jama’ahnya. Ulama semacam ini akan dimintai pertanggungjawaban yang lebih berat dari yang bukan ulama dalam hal sifat dengki (hasad). Dan, pastinya ilmu yang dimilikinya juga akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.

Apa yang dikatakan Rasulullah SAW itu sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dikriteriakan sebagai penghuni neraka, apalagi neraka tanpa hisab, na’ûdzu billãhi min dzãlik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu), âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

_____________


Selasa, 11 Februari 2025

ARAH QIBLAT SEBELUM ISRO MIRAJ DAN SHALAT SEBELUMNYA.


السؤال
الإخوة في موقع الإسلام المحترمين بارك الله فيكم، سؤالي هو: ما هي الفترة التي صلاها الرسول صلى الله عليه وسلم باتجاه المسجد الأقصى، وبأي اتجاه كان يصلي في مكة المكرمة، أنا سمعت أن الصلاة باتجاه المسجد الأقصى كانت لمدة ستة عشر شهرا، وكما هو معروف فإن تغيير القبلة حدث في المدينة، إذن فبأي اتجاه كان المسلمون يصلون خلال السنوات الثلاث عشرة الأولى؟ وجزاكم الله خيرا.

الإجابــة... 

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

فقد صلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيت المقدس ستة عشر شهرا, وذلك بعد هجرته صلى الله عليه وسلم إلى المدينة، وأما قبل هجرته فكان يصلي قبل الكعبة. 
وقيل: يجعل الكعبة بينه وبين بيت المقدس فيصلي، لما أخرجه محمد بن جرير الطبري في تفسيره بسنده عن ابن جريج: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى أول ما صلى إلى الكعبة ثم صرف إلى بيت المقدس فصلت الأنصار نحو بيت المقدس قبل قدومه ثلاث حجج وصلى بعد قدومه ستة عشر شهرا ثم ولاه الله جل ثناؤه إلى الكعبة.

وقال ابن كثير رحمه الله تعالى بعد ما ذكر جملة من الأقوال وساق بعضا من الروايات قال: وقد جاء في هذا الباب أحاديث كثيرة وحاصل الأمر أنه قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر باستقبال الصخرة في بيت المقدس فكان بمكة يصلي بين الركنين فتكون بين يديه الكعبة وهو مستقبل صخرة بيت المقدس, فلما هاجر إلى المدينة تعذر الجمع بينهما فأمره الله بالتوجه إلى بيت المقدس... واستمر الأمر على ذلك بضعة عشر شهرا وكان يكثر الدعاء والابتهال أن يوجه إلى الكعبة التي هي قبلة إبراهيم عليه السلام, فأجيب إلى ذلك وأمر بالتوجه إلى البيت العتيق فخطب رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس فأعلمهم بذلك, وكان أول صلاة صلاها إليها صلاة العصر.

وقد فرضت الصلوات الخمس على النبي صلى الله عليه وسلم قبل الهجرة بخمس سنين في حادثة الإسراء. 
واختلف هل كانت قبل ذلك صلاة أم لا، وقد فصلنا القول في ذلك في الفتوى رقم: 17665.
________________________________________

كم مرحلة تم فيها فرض الصلاة ؟.. 

الإجابــة
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

فرضت الصلاة ليلة الإسراء قبل الهجرة بنحو خمس سنين. وقيل: ست. وقيل: بعد البعثة بنحو سنة، قاله المرداوي في الانصاف.
وقال الحافظ ابن حجر رحمه الله: فائدة: ذهب جماعة إلى أنه لم يكن قبل الإسراء صلاة مفروضة، إلا ما وقع الأمر به من صلاة الليل من غير تحديد، وذهب الحربي إلى أن الصلاة كانت مفروضة ركعتين بالغداة وركعتين بالعشي، وذكر الشافعي عن بعض أهل العلم أن صلاة الليل كانت مفروضة ثم نسخت بقوله تعالى:فَاقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنهَ [المزمل:20]، فصار الفرض قيام بعض الليل، ثم نسخ ذلك بالصلوات الخمس). انتهى من فتح الباري (554/1)
________________________________________


فقد اختلف أهل العلم هل كانت قبلة الرسول صلى الله عليه وسلم إلى الكعبة أو إلى بيت المقدس أولاً؟ قال القرطبي رحمه الله في التفسير: واختلفوا أيضاً حين فرضت عليه الصلاة أولاً بمكة، هل كانت إلى بيت المقدس أو إلى مكة، على قولين، فقالت طائفة: إلى بيت المقدس وبالمدينة سبعة عشر شهراً، ثم صرفه الله تعالى إلى الكعبة، قاله ابن عباس.انتهى.

ثم يقول القرطبي أيضا مشيراً للقول الثاني: وقال آخرون: أول ما افترضت الصلاة عليه إلى الكعبة، ولم يزل يصلي إليها طول مقامه بمكة على ما كانت عليه صلاة إبراهيم وإسماعيل، فلما قدم المدينة صلى إلى بيت المقدس ستة عشر شهراً أو سبعة عشر شهراً، على الخلاف، ثم صرفه الله إلى الكعبة، قال أبو عمر: وهذا أصح القولين عندي. قال غيره: وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة أراد أن يستأنف اليهود فتوجه إلى قبلتهم ليكون ذلك أدعى لهم، فلما تبين عنادهم وأيس منهم أحب أن يحول إلى الكعبة فكان ينظر إلى السماء، وكانت محبته إلى الكعبة لأنها قبلة إبراهيم، عن ابن عباس، وقيل: لأنها كانت أدعى للعرب إلى الإسلام، وقيل: مخالفة لليهود. انتهى. 

فلعل المسجد الأقصى يوصف بأنه أولى القبلتين لأنه القبلة الأولى لرسول الله صلى الله عليه وسلم ولأمته قبل أن يؤمر بالتوجه إلى البيت الحرام باعتبار القول الأول، أما على القول الثاني فالقبلة الأولى والأخيرة هي بيت الله الحرام، ولا تسليم بوصف المسجد الأقصى بأنه القبلة الأولى. 

هذا عن التسمية، وأما الصلاة قبل عهد النبي صلى الله عليه وسلم فكانت مفروضة على الأمم السابقة وإن اختلفت من أمة إلى أمة في العدد والكيفية والشروط والهيئات، ويدل عليه قوله تعالى حكاية عن إسماعيل عليه الصلاة والسلام:  {وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا} [مريم:55]، وقوله تعالى:  {يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ} [آل عمران:43]، ولما روى البخاري عن جابر قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم:  «أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي، نصرت بالرعب مسيرة شهر، وجعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً، فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل....» الحديث.

قال في فيض القدير: قوله (مسجدا) أي محل سجود ولو بغير مسجد وقف للصلاة فلا يختص بمحل بخلاف الأمم السابقة فإن الصلاة لا تصح منهم إلا في مواضع مخصوصة من نحو بيعة أو كنيسة، فأبيحت الصلاة لنا بأي محل كان. انتهى.

وقال في الفواكه الدواني: بهذا علم الفرق بين الرخصة والعزيمة وهو من خصائص هذه الأمة لأن الأمم السابقة لا تصلي إلا بالوضوء، كما أنها كانت لا تصلي إلا في أماكن مخصوصة يعينونها للصلاة ويسمونها بيعا وكنائس وصوامع، ومن عدم منهم الماء أو غاب عن محل صلاته يدع الصلاة حتى يجد الماء أو يعود إلى مصلاه. انتهى.

وقال العدوي المالكي في حاشيته: قوله (جعلت صفوفنا.. إلخ) أي صفوفنا في المساجد في الصلوات كصفوف الملائكة في السماء في الصلاة، قال الحلبي: والأمم السابقة كانوا يصلون متفرقين كل واحد على حدته. انتهى. 

فمن هذه النصوص تبين أمران: الأول: أن الصلاة كانت مفروضة على الأمم السابقة. 

الثاني: أنها تختلف من أمة إلى أخرى.

 ونختم هذا الجواب بفائدتين: 

الأولى: أن الصلاة فرضت -على نبينا- ليلة الإسراء قبل الهجرة بنحو خمس سنين، وقيل: ست، وقيل: بعد البعثة بنحو سنة، قاله المرداوي في الإنصاف.

والفائدة الثانية: ذهب جماعة إلى أنه لم يكن قبل الإسراء صلاة مفروضة، إلا ما وقع الأمر به من صلاة الليل من غير تحديد، وذهب الحربي إلى أن الصلاة كانت مفروضة ركعتين بالغداة وركعتين بالعشي، وذكر الشافعي عن بعض أهل العلم أن صلاة الليل كانت مفروضة ثم نسخت بقوله تعالى: {فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ} [المزمل:20]، فصار الفرض قيام بعض الليل، ثم نسخ ذلك بالصلوات الخمس. قاله الحافظ ابن حجر رحمه الله في فتح الباري 554/1.

والله أعلم.

Sabtu, 08 Februari 2025

NABI ISA DIQUBUR DISAMPING NABI MUHAMMAD SAW

Disebutkan jika Nabi Isa AS masih hidup hingga saat ini. 
Karena beliau tidak diwafatkan oleh Allah SWT melainkan hanya diangkat ke langit. 

Melansir melalui Umma.id kelak di akhir zaman, Nabi Isa akan turun untuk membimbing manusia ke jalan yang benar sekaligus memerangi Dajjal. Hal ini bahkan sudah tertulis berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Saw bersabda: 

"Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang berperang demi membela kebenaran sampai hari kiamat".

Kemudian Nabi Saw berkata; ‘Maka kemudian turun Nabi Isa bin Maryam (keselamatan atasnya). Pemimpin golongan yang berperang tersebut berkata kepada Nabi Isa; ‘Kemarilah, shalatlah mengimami kami.’ 

Nabi Isa menjawab; ‘Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai penghormatan bagi umat ini.’

Setelah Nabi Isa selesai dengan tugasnya dan berada di bumi selama 45 tahun, maka beliau akan diwafatkan oleh Allah SWT. Ia akan dikuburkan bersama Nabi Muhammad SAW. 

Ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat Imam Sya’rani dalam Tazkiatul Qurthubi berikut: 

"Sesungguhnya Isa bin Maryam saat turun akan menikah dan memiliki anak. Kemudian dia menetap selama 45 tahun dan dikuburkan bersamaku dikuburanku. Kemudian aku dan Isa bangkit dari kuburanku, dan salah seorang di antara Sayidina Abu Bakar dan Umar". 

Diketahui, saat ini makam Nabi Muhammad SAW sudah menyatu dengan kompleks Masjdi Nabawi. 
Di sebelah makam Rasul pun terdapat 2 makam sahabat yakni Abubakar As-Siddiq dan Umar bin Khatab.

Namun, di samping makam Rasulullah juga masih terdapat 1 makam yang kosong. Makam kosong itu disebut-sebut sebagai makam Nabi Isa setelah dibangkitkan oleh Allah SWT kelak. 

Sabtu, 01 Februari 2025

QODHO SHALAT KARENA HAID, Apakah ada ? ,,,

Wanita Haid Wajib Qadha Shalat, Adakah?

Secara mendasar, haid itu menjadi penghalang wanita untuk shalat. 
Tetapi ada beberapa wanita yang haid tapi masih wajib qadha. 
Apa saja shalat itu ?.. 
Wanita haid harus qadha’ shalat ?...
Pernyataan itu bisa keliru, bisa benar. 
Ada beberapa model qadha’ shalat bagi wanita haid.

Haid Tidak Wajib Qadha’ Shalat

Wanita haid itu tidak boleh shalat. 
Hal itu didasari dari hadits Nabi:

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي» صحيح البخاري (1/ 73)

Dari Aisyah r.a berkata, Nabi bersabda: Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. 
Jika haidnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu shalatlah. (HR. Bukhari).

Secara mendasar, wanita haid selain dilarang shalat, mereka juga tidak diperintahkan mengganti shalatnya nanti saat suci. 
Hal itu didasari dari hadits Aisyah:

عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» صحيح مسلم (1/ 265)

Aisyah berkata: Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti shalat. (HR. Muslim).

Maka, wanita yang haid itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haid.

Hanya saja memang ada beberapa model wanita yang haid, tapi dia tetap diperintahkan mengganti beberapa shalat yang ditinggalkan saat haid. 
Shalat itu adalah sebagai berikut:

Haid Wajib Qadha : 
Sudah Masuk Waktu, Belum Shalat Keburu Haid. 

Model pertama adalah wanita yang sudah melewati masuknya waktu shalat. Dia tidak segera shalat di awal waktu, malah datang haid duluan.

Maka, ketika haid dia tidak boleh shalat. Tetapi karena sudah masuk waktu shalat dan dia dalam keadaan masih suci, belum haid maka dia sudah mendapatkan kewajiban shalat.

Apakah dia berdosa karena tidak segera shalat ?...
Tidak berdosa. 
Karena waktu shalat masih ada, dia boleh shalat baik di awal waktu maupun di akhir waktu. 
Dan haid itu bukan sesuatu yang bisa diprediksi dengan presisi kapan keluar darahnya. 
Meskipun sebaiknya tetap shalat itu di awal waktu. 
Apalagi kalo sudah masuk waktu biasanya wanita datang haid.

Nanti jika dia sudah suci, maka shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti. Sebagai contoh, ada wanita sudah jam 1 siang, tapi belum shalat. 
Ternyata datang haid,Maka nanti waktu suci, dia wajib qadha’ shalat dzuhur dahulu. 
Imam an-Nawawi menyebutkan:

وَنَصَّ فِيمَا إذَا أَدْرَكَتْ مِنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ قَدْرَ الْإِمْكَانِ ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا الْقَضَاءُ. (المجموع شرح المهذب، للنووي، 4/ 368)

Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu shalat dan dia bisa shalat seharusnya, lantas haid. 
Maka nanti jika suci dia wajib qadha’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 4/ 368)

Haid Wajib Qadha : 
Suci di Waktu Isya’, Wajib Qadha’ Maghrib,Suci di Waktu Ashar, Wajib Qadha’ Dzuhur. 

Model kedua adalah wanita yang suci dari haid di waktu isya’ atau waktu ashar. Maka jika sucinya di waktu isya’ sampai sebelum shubuh, setelah mandi wajib dia wajib shalat maghrib sebagai qadha’ dahulu lalu shalat isya’. 
Atau jika sucinya di waktu ashar, maka setelah mandi dia wajib shalat dzuhur dulu sebagai qadha’ lalu shalat ashar.

Selain suci di dua waktu tadi, maka tidak wajib shalat qadha’. 
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Shahabat, Tabiin, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Dari kalangan Malikiyyah, Ubaidullah bin al-Husain al-Milikiy (w. 378 H) menyebutkan:

وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها... 
وإن طهرت في الليل وقد بقي عليها قبل طلوع الفجر قدر أربع ركعات صلت المغرب والعشاء لإدراكها آخر وقتها. 
(التفريع في فقه الإمام مالك بن أنس، عبيد الله بن الحسين بن الحسن أبو القاسم ابن الجَلَّاب المالكي (المتوفى: 378هـ)، 1/ 111)

Jika wanita haid itu suci, saat menjelang masuk waktu maghrib dia bisa shalat 5 rakaat, maka wajib bagi dia shalat dzuhur dan ashar. 
Karena dia telah mendapatkan waktu kedua shalat tadi... 
Jika dia sucinya di waktu malam menjelang masuk waktu shubuh, dia bisa shalat 4 rakaat, maka dia wajib shalat maghrib dan isya’. (Ubaidullah bin Husain, at-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik, hal. 1/111)

Dari kalangan Syafi’iyyah, Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan:

وإن كان ذلك (الطهر) في وقت العصر أو في وقت العشاء، قال في الجديد: يلزمه الظهر بما يلزم به العصر ويلزم المغرب بما يلزم به العشاء. (المجموع شرح المهذب 3/ 64)

Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas shalat ashar, atau qadha’ maghrib lalu shalat isya’. 
(Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)

Dari kalangan Hanbaliyyah, Imam Ibnu Qudamah menyebutkan :

مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَإِذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَبَلَغَ الصَّبِيُّ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، صَلَّوْا الظُّهْرَ فَالْعَصْرَ، وَإِنْ بَلَغَ الصَّبِيُّ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَطَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، صَلَّوْا الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ) وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ فِي الْحَائِضِ تَطْهُرُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَطَاوُسٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَالنَّخَعِيِّ، وَالزُّهْرِيِّ، وَرَبِيعَةَ، وَمَالِكٍ، وَاللَّيْثِ، وَالشَّافِعِيِّ، وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي ثَوْرٍ. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ، إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ قَالَ : لَا تَجِبُ إلَّا الصَّلَاةُ الَّتِي طَهُرَتْ فِي وَقْتِهَا وَحْدَهَا. وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْأُولَى خَرَجَ فِي حَالِ عُذْرِهَا، فَلَمْ تَجِبْ كَمَا لَوْ لَمْ يُدْرِكْ مِنْ وَقْتِ الثَّانِيَةِ شَيْئًا. (المغني لابن قدامة، 1/ 287)

(Masalah) Jika wanita haid suci, orang kafir masuk Islam, anak kecil balig sebelum matahari terbenam, maka dia wajib qadha’ dzuhur lalu shalat ashar. Jika sebelum fajar terbit, maka dia qadha’ maghrib lalu shalat isya’.

Ini adalah pendapat dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Thawus, Mujahid, an-Nakhai, az-Zuhri, Rabiah, Malik, al-Laits, Syafii, Ishaq, Abu Tsaur.

Imam Ahmad berkata: Semua tabiin berpendapat seperti ini, kecuali Hasan saja. 
Dia tidak mewajibkan kecuali shalat yang di waktunya saja. Ini adalah pendapat at-Tsauri dan ashab ar-ra’yi. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 1/ 287).

Dalilnya apa?...
Pertama, ini adalah fatwa dari hampir semua shahabat dan tabiin dan juga ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah. 
Kedua, shalat dzuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ itu sebenarnya bagi orang yang punya udzur bisa dianggap satu waktu, karena bisa dijamak. 
Maka jika suci di waktu kedua, shalat di waktu pertama juga wajib diqadha’. Itulah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. 
Semoga bermanfaat. 
Waallahua’lam bisshawab.


Senin, 27 Januari 2025

APAKAH ROSULULLAH MELIHAT ALLAH KETIKA ISRO MI'ROJ

Apakah Rasulullah Melihat Allah Ketika Isra Miraj ?...

Peristiwa Isra’ Miraj adalah peristiwa yang sangat penting bagi umat islam. Isra’ adalah perjalanan malam dari Makkah menuju masjid al-Aqsa sedangkan Miraj adalah perjalanan dari masjid al-Aqsa menuju Sidratul Muntaha.


Perjalanan Isra’ Miraj adalah perjalanan yang agung di mana Rasulullah melihat secara langsung keadaan orang-orang yang disiksa di neraka serta keadaan orang-orang yang berada di surga. Selain itu, Rasulullah juga dipertemukan dengan para nabi terdahulu serta mendapatkan perintah sholat lima waktu.


Peristiwa demi peristiwa ini terangkai dalam waktu yang singkat menurut manusia biasa padahal Rasulullah menempuh perjalanan yang sangat jauh. Puncak Isra’ Miraj adalah pertemuan Rasulullah dengan Allah di Sidratul Muntaha. Lantas, apakah pertemuan ini berarti Rasulullah melihat Allah secara langsung tanpa perantara? Dalam hal ini para sahabat nabi terbagi menjadi dua pendapat, yaitu:


Pertama, menurut sayyidah ‘Aisyah Rasulullah tidak melihat Allah di Sidratul Muntaha tetapi ia melihat malaikat Jibril. Hal ini dikuatkan dengan hadits:

عن مسروق قال دخلت على عائشة قلت هل رأى محمد ربه؟ فقالت لقد تكلمت بشيء قف له شعري قلت رويدا ثم قرأت لقد رأى من آيات ربه الكبرى قالت إنما هو جبريل


Artinya, “Diceritakan Masruq bahwa beliau mengatakan, ‘Aku masuk ke (rumah) Aisyah, aku bertanya 'Apakah Muhammad (pernah) melihat Tuhannya?’ Aisyah menjawab ‘Sungguh engkau menanyakan sesuatu yang membuat kulitku merinding.’ Aku (Masruq) mengatakan, ‘Tunggu sebentar.’ Kemudian aku (Masruq) membacakan ayat ‘Sungguh, dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesarannya) Tuhannya yang paling besar,’ (Qs An-Najm ayat 18). Aisyah menjawab, ‘Sungguh dia (yang dilihat nabi Muhammad) adalah Jibril,’” (HR Turmudzi).

Kedua, menurut sahabat Ibnu Abbas Rasulullah melihat Allah secara langsung dengan hatinya. Hal ini dikuatkan dengan hadits:

عن ابن عباس في قوله ما كذب الفؤاد ما رأى قال رآه بقلبه

Artinya, “Diceritakan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ‘Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,’ (Qs An-Najm ayat 11), beliau (Ibnu Abbas) mengatakan, ‘Ia (Muhammad) melihatnya (Allah) dengan hatinya,’” (HR Daruquthni).

Praktiknya adalah Allah menjadikan penglihatan nabi Muhammad di dalam hatinya atau Allah menciptakan hati dalam penglihatan Nabi Muhammad. Walhasil, Nabi Muhammad melihat Allah dengan hati dan penglihatannya adalah sesuai dengan firman Allah, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya,” (Qs An-Najm ayat 11). Dan tidak mustahil bagi Allah menjadikan hati nabi Muhammad sebagai alat untuk melihat Allah sebagaimana Allah menciptakan penglihatan sebagai alat melihat bagi manusia pada umumnya. (Ar-Razi Fakhruddin, Mafatihul Ghaib [Beirut: Dar Ihya Turats, 2010 M], juz XXVIII, halaman 246).


Perlu diketahui bahwa Nabi Muhammad melihat Allah ketika Isra’ Miraj memiliki beberapa catatan menurut Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu:

1. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah menetap ataupun menyatu dengan Sidratul Muntaha karena Allah tidak mungkin membutuhkan pada Sidratul Muntaha yang merupakan ciptaan-Nya sebagai tempat menetap.

Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Qiyamuhu bi Nafsihi, Allah berdiri sendiri tanpa membutuhkan bantuan makhluk ciptaan-Nya. Seandainya Allah membutuhkan Sidratul Muntaha sebagai tempat menetap niscaya hal ini akan merusak sifat Qiyamuhu bi Nafsihi.

2. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbatasi oleh jihah (arah mata angin) karena tidak mungkin Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana makhluk-Nya. Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya.

Seandainya Allah terbatasi dengan jihah (arah mata angin) sebagaimana manusia yang bisa dipastikan menetapnya di arah tertentu seperti arah selatan atau utara niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits.

3. Nabi Muhammad melihat Allah bukan berarti Allah terbentuk dari jism (bentuk tubuh) karena tidak mungkin Allah berbentuk jism (bentuk tubuh) sebagaimana makhluknya. Hal ini sesuai dengan sifat Allah berupa Mukhalafah lil Hawadits, Allah tidak serupa dengan makhluk ciptaan-Nya. Seandainya zat Allah berupa cahaya berwarna putih atau memiliki anggota tubuh dan sejenisnya sebagaimana makhluk-Nya niscaya akan merusak sifat Mukhalafah lil Hawadits. (Ad-dardir Ahmad, Syarh Qishah al-Isra’ wal Miraj [Kairo: Maktabah Azhar li Turats, 1999 M], halaman 24).

Nabi Muhammad melihat Allah tidaklah sama dengan proses manusia biasa seperti kita melihat. Akan tetapi, Allah memberikan kemampuan khusus bagi Nabi Muhammad ketika itu sehingga beliau dapat melihat langsung kepada Allah. Hal ini dikarenakan Allah memberikan kemampuan melihat kepada hambanya tidak terbatas dengan perangkat mata kepala saja. Allah memberikan kemampuan melihat kepada hamba-Nya di waktu dan tempat yang telah Allah tentukan. (Al-Laqqani Abdussalam, Ithaf al-Murid Syarh Jauhar at-Tauhid [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2002] hal.202)

Dan melihat Allah adalah sesuatu yang mungkin terjadi (jaiz) karena Allah adalah zat yang maujud (ada), sedangkan perkara yang maujud (ada) mungkin untuk dilihat. Akan tetapi, Allah tidak mengizinkan bagi manusia biasa untuk melihat-Nya ketika di dunia kecuali Nabi Muhammad ketika berada di Sidratul Muntaha.

Hal ini dikuatkan dengan hadits:

قال رسول الله تعلموا أنه لن يرى أحد منكم ربه حتى يموت.

Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Ketahuilah kalian semua bahwa tidaklah salah satu diantara kalian meilhat Tuhannya hingga ia mati,’” (HR Muslim).

Menurut ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, nantinya orang-orang yang beriman melihat Allah di Hari Kiamat dengan jelas tanpa penghalang sedikitpun sebagaimana seseorang melihat rembulan di waktu purnama. Hal ini dikuatkan dengan hadits.

عن جرير بن عبد الله قال كنا جلوسا عند رسول الله إذ نظر ليلة البدر فقال لنا إنكم سترون ربكم كما ترون هذا القمر.

Artinya, “Diceritakan dari Jarir bin Abdullah bahwa beliau mengatakan, ‘(suatu ketika) Kami duduk bersama Rasulullah ketika melihat bulan purnama, kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sungguh kalian akan melihat tuhan kalian (di hari kiamat) sebagaimana kalian melihat rembulan ini,’’” (HR Daruquthni).

Simpulan di sini adalah peristiwa nabi Muhammad melihat Allah ketika malam Isra’ Miraj adalah peristiwa yang diperdebatkan oleh para sahabat nabi. Akan tetapi, perbedaan pendapat ini tidak sampai menjadikan para sahabat nabi saling mengkafirkan maupun membid’ahkan ataupun menganggap sesat kepada kelompok yang berbeda pendapat.

Hal ini menjadi bukti bahwa melihat Allah adalah hal yang mungkin terjadi secara akal. Berbeda halnya dengan pendapat Mutazilah yang mengatakan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi baik di dunia maupun di akhirat.(Ar-Razi, 2010: XIII/103).

Allahu A'lam.

Kamis, 23 Januari 2025

QUNUT DISETIAP SHALAT FARDHU

Sudah maklum bahwa ketika melaksanakan salat Subuh, kita disunahkan untuk melakukan doa qunut. Bahkan dalam mazhab Syafii, doa qunut termasuk bagian dari sunah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. 
Jika kita lupa melakukan doa qunut, maka kita dianjurkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi. 
Namun bagaimana dengan salat selain salat Subuh, Apakah boleh melakukan doa qunut ?...

Dalam kitab Almajmu, Imam Nawawi menjelaskan bahwa ulama berbeda pendapat terkait hukum melakukan doa qunut pada salat selain salat Subuh. 
Ada tiga pendapat terkait masalah ini :

Pertama, boleh melakukan doa qunut di setiap salat fardu ketika terjadi musibah yang melanda kaum Muslim. 
Ini adalah pendapat yang masyhur dan diikuti kabanyakan ulama. 
Jika terjadi musibah yang menimpa kaum Muslimin seperti wabah, gempa, tsunami atau lainnya, maka kita dianjurkan melakukan doa qunut di setiap salat fardu dalam rangka mendoakan keselamatan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak terjadi musibah, maka kita tidak dianjurkan melakukan doa qunut kecuali dalam salat Subuh saja.

Kedua, boleh melakukan doa qunut di setiap salat fardu, baik sedang terjadi musibah atau tidak. Ini adalah pendapat Syaikh Abu Hamid dan sebagian ulama yang lain.

Ketiga, selain salat Subuh tidak boleh melakukan doa qunut, baik sedang terjadi musibah atau tidak. Ini adalah pendapat Imam Syaikh Abu Muhammad Aljuwaini.

Dari ketiga pendapat ulama di atas, maka pendapat pertama adalah yang paling sahih dan diikuti oleh kebanyakan ulama. 
Hal ini karena Nabi Saw,pernah melakukan doa qunut nazilah selain salat Subuh ketika para sahabat penghafal Alquran dibunuh.

Disebutkan dalam hadis riwayat Imam Albaihaqi dari Ibnu Abbas, dia berkata;

قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالعَصْرِ وَالمَغْرِبِ وَالعِشَاءِ وَصَلاَةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَه

“Rasulullah Saw. membaca doa qunut satu bulan berturut-turut pada salat Zuhur, Asar, Maghrib, dan Isya pada (rakaat) terakhir dari setiap salat. Apabila telah mengucapkan “ami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir, beliau mendoakan (kehancuran) atas beberapa suku dari Bani Sulaim, yaitu Ri’l, Dzakwan, dan ‘Ushaiyyah. Sedangkan (para makmum) di belakang beliau mengucapkan amin.”

BACAAN AL-HAYYUL QOYYUMU DAN AL-HAYYAL QOYYUMA

Al-Hayyul Qayyumu atau Al-Hayyal Qayyuma?...

Al-Hayyul Qayyumu atau Al-Hayyal Qayyuma?
Assalamualaikumwarahmatullah wa barakaatuh, 
Ustadz yang budiman yang dimuliakan oleh Allah SWT. Saya izin bertanya. Saya sering memperhatikan orang orang di kampung saya ketika sedang wirid ada yang membaca lafal astaghfirullâhal 'adhîm alladzî lâ ilâha illâ huwal hayyul qayyûm wa atûbu ilaih. Sementara itu, di lain pihak ada yang membaca dengan lafal astaghfirullâhal 'adhim allazî lâ ilâha illâ huwal hayyal qayyûma wa atûbu ilaih. Satu membaca dengan “hayyal” satu lagi membaca “hayyul”. Manakah dari kedua lafal tersebut yang lebih afdhal bagi kita, ustadz? Mohon penjelasannya! Asykurukum syukran masykûran! (Anonim)

Jawaban

Wa’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,
Saudara penanya yang budiman. Semoga Allah SWT senantiasa menaungi kita dengan rahmat dan maunah-Nya sehingga kita bisa menjalankan aktivitas kita sehari-hari!

Saudara penanya yang budiman, manusia dalam kesehariannya tidak lepas dari perbuatan salah dan dosa. Sebagai hamba Allah SWT yang baik, maka tentu ia harus senantiasa memohon ampunan kepada Allah SWT lewat istighfar. Di dalam kitab Riyâdlush ShâlihiIn, Rasulullah ﷺ bersabda:

وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال سمعت رَسُول اللَّهِ ﷺ يقول: (والله إني لأستغفر اللَّه وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

Artinya: Abu Hurairah radliyallâhu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dan bertaubat kepada Allah di dalam sehari lebih banyak dari 70 kali. (Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Riyâdlush ShâlihiIn, No. Hadits 1870)

وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من لزم الاستغفار جعل الله له من كل ضيق مخرجا ومن كل هم فرجا ورزقه من حيث لا يحتسب رواه أبو داود

Artinya: Ibnu Abbâs radliyallâhu ‘anhumâ berkata, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah jadikan baginya untuk setiap kesempitan adanya jalan keluar, dan untuk setiap kesusahan ada kebahagiaan, dan Allah akan menganugerahinya rezeki dari jalan yang tak disangka-sangkanya. HR. Abu Dawud. (Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Riyâdlush ShâlihiIn, No. Hadits 1873)

Saudara penanya yang budiman, kedua hadits di atas hanya sekelumit dari banyak hadits yang menunjukkan keutamaan beristighfar dan bertaubat. Bila Rasulullah ﷺ yang sudah ma’shum saja senantiasa beristighfar, apalagi kita sebagai insan biasa yang sehari-harinya banyak berbuat kesalahan apalagi dosa. Tentu lebih berhak untuk beristighfar, bukan?

Penanya yang budiman. Ada beberapa riwayat hadits yang berbicara tentang lafadh istighfar yang saudara tanyakan. Masing-masing memiliki shighat lafadh yang berbeda. Di antara hadits-hadits tersebut antara lain sebagai berikut:

وعن ابن مسعود رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ ﷺ: (من قال أستغفر اللَّه الذي لا إله إلا هو الحيَّ القيومَ وأتوب إليه، غفرت ذنوبه وإن كان قد فرّ من الزحف) رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ وَالْتِّرْمِذِيُّ والحاكم وقال حديث صحيح على شرط البخاري ومسلم.

Pada hadits di atas, shighat lafadh الحي القيوم dibaca dengan harakat fathah sehingga dibaca الحيَّ القيومَ. Hadits dengan dibaca menurut qira’ah semacam juga ditemukan pada kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah yang menukil sebuah hadits yang diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dengan nomor hadits 1517 dan 1521, Al-Tirmidzy dengan nomor hadits 3577 dan al-Nasai dengan nomor hadits 414, 415, 416 dan 417 dengan sanad marfu’ hasan. Adapun segi derajat hadits, Al-Hakim menilainya sebagai hadits marfu’ shahih menurut standart al-jarh wa al-ta’dil al-Bukhary dan Muslim. Dalam Kitab Riyadhu al-Shâlihîn, Imam Nawawi meriwayatkan dari Abu Dawud dengan Nomor Hadits: 1874. Semua hadits di atas dibaca dengan qiraah fathah pada lafadh الحي القيوم.

Adapun hadits yang meriwayatkan dengan shighat الحيُّ القيومُ antara lain adalah sebagai berikut: 

رواه الحاكم من طريق مُحَمَّد بن سَابِقٍ البغدادي ومُحَمَّد بن يُوسُفَ الفِرْيَابِيّ، كلاهما عن إِسْرَائِيل، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَالَ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ثَلَاثًا، غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ، وَإِنْ كَانَ فَارًّا مِنَ الزَّحْفِ, هذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ

Hadits di atas dikomentari oleh Al-Hakim sebagai hadits shahih menurut syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim).

عَنْ إسْرَائِيلَ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ، عَنْ أَبِي الأَحْوَصِ، عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُودٍ ، قَالَ : "مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الَّذِي لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إلَيْهِ ثَلاثًا غُفِرَ لَهُ، وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ"، موقوفاً

Hadits ini statusnya mauquf, dan dengan derajat jalur sanad hasan. Nama Israil yang terdapat dalam sanad adalah orang yang terkenal صدوق (orang yang jujur).

Dalam Jalur riwayat yang lain, Al-Hakim juga meriwayatkan hadits yang sama, namun dari jalur sanad Ismail bin Yahya al-Syaibany dengan disandarkan pada Ibnu Mas’ud dengan rupa hadits mauquf. Ismail bin Yahya al-Syaibany ini adalah seorang yang متهم بالكذب (terduga bohong). 

Berangkat dari semua keterangan adanya hadits yang maurud di atas, maka disimpulkan bahwa semua bentuk shighat lafadh baik dengan الحيَّ القيومَ atau dengan shighat lafadh الحيُّ القيومُ adalah sama-sama wârid (datang) dari Baginda Rasulillah ﷺ dan para sahabat beliau. Oleh karena itu, mengenai pertanyaan saudara penanya, manakah yang lebih afdlal, maka keduanya adalah sama-sama afdlal apalagi hal tersebut diajarkan dan langsung meniru lisan Rasulillah ﷺ. Untuk itu tidak patut bagi kita untuk membedakan keduanya baik dari segi fadlilahnya. Kita yakin bahwa Rasulullah ﷺ adalah bersifat tabligh yang senantiasa mengajarkan apa yang berasal dari Allah ﷺ. 

وماينطق عن الهوى إن هو إلا وحيٌ يوحى

Artinya: “Tiada ia berbicara dari dorongan nafsu, melainkan ia berasal dari wahyu yang diwahyukan.” (QS. Al-Najm: 3-4)

Apakah kedua shighat di atas, salah bila ditinjau dari sisi nahwu? 

Kita lihat pada shighat pertama dengan harakat fathah. Lafadh الحي القيوم dengan harakat fathah berkedudukan menjadi tamyiz dari lafadh الله, yang mana lafadh الله dibaca dengan nashab karena ia berkedudukan sebagai maf’ul bih dari fi’il muta’addy dari lafadh أستغفر. Aslinya الحي االقيوم adalah shifat maushuf dari الله. Namun, sifat yang lebih dari satu dalam nahwu berubah kedudukannya menjadi tamyiz dan harakatnya tetap wajib sama dengan maushufnya. 

Adapun lafadh الحي القيوم yang dibaca dengan harakat dlammah, maka ia berkedudukan sebagai kalam baru karena jatuh setelah lafadh istitsna’, yaitu إلا. Tepatnya, ia menjadi khabar dari kalimat dlamir هو. Sebagai khabar, ia wajib dibaca rafa’ kecuali bila ada كان وأخواتها. 

Kesimpulan tinjauan dari sisi nahwu, kedua shighat الحيُّ القيومُ dan الحيَّ القيومَ adalah sama-sama benarnya. Jadi, silahkan dipilih salah satu dari keduanya menurut kemantaban saudara penanya!

Demikian, semoga jawaban singkat kami ini dapat menjawab permasalahan saudara penanya! Wallaahua’lam bish shawab.

EMPAT MISI ISRO MIROJ

EMPAT MISI DALAM PERISTIWA ISRA DAN MI'RAJ NABI SAW

Khutbah Pertama.

  اَلْحَمْدُ لله الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَـقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اله إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ أمَّا بَعْدُ فَيَاعِبَادَ الله أُوْصِيْكُم وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ ، فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ  

Segala puji dan syukur bagi Allah, Tuhan semesta alam. Yang menghidupkan dan mematikan. Yang Maha Pemberi Nikmat dan Karunia. Yang memberi petunjuk jalan kebenaran lewat Rasul-Nya, baginda Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahlimpah kepada Beliau SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan umatnya, sampai akhir zaman.

Marilah kita bertakwa kepada Allah, baik dalam kondisi suka maupun duka, sedih atau gembira, lapang atau sempit. Kapan pun dan di mana pun kita berada. Semoga kita semua dikelompokan sebagai golongan muttaqin.

Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah

Salah satu peristiwa besar di bulan Rajab yang dimuliakan adalah terjadinya peristiwa Isra' dan Mi'raj Nabi Besar Muhammad SAW. Yaitu diperjalankanya Nabi Saw dari masjid Al Haram ke Majidil Aqsha. Kemdian dinaikan ke Sidratul Muntaha. Kedua peristiwa tersebut disebutkan dalam surat dalam Qur'an Surat al Isra' ayat 17 dan surat An Nazm ayat 13-14.

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ 

  Artinya: Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat (QS Al-Isra: 1).

وَلَقَدۡ رَاٰهُ نَزۡلَةً اُخۡرٰىۙ عِنۡدَ سِدۡرَةِ الۡمُنۡتَهٰى
Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha, (yaitu) di Sidratul Muntaha, (QS. An-Najm Ayat 13-14)

Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah

Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya “Refleksi Sejarah Terhadap Dakwah Masa Kini”, menjelaskan tentang misi Isra' dan miraj, sebagi berikut; 

Pertama. Tujuan Politik. Fakta kekuasaan politik Jazirah Arab saat Nabi diutus ada pada dominasi agama Yahudi dan Nasrani dengan sistem yang rusak dan kepemimpinan yang zalim, hal ini 
menuntut adanya pergantian. Diantaranya karena mereka sudah berani meruba isi kitab suci yang diturunkan kepada mereka. Allah Swt. berfirman,

وَيۡلٞ لِّلَّذِينَ يَكۡتُبُونَ ٱلۡكِتَٰبَ بِأَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ لِيَشۡتَرُواْ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلٗاۖ فَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتۡ أَيۡدِيهِمۡ وَوَيۡلٞ لَّهُم مِّمَّا يَكۡسِبُونَ ۝ 

“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri) kemudian berkata, Ini dari Allah, (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka karena tulisan tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah: 79)

Dalam perjalanan Isra, sebelum ke Baitul Maqdis (Masjid Aqsha) nabi mampir ke Yatsrib (Madinah), Madyan, Thursina (Mesir) dan Betlehem (Palestina). Tempat-tempat tersebut menjadi bisyarah (kabar wahyu) kelak akan menjadi wilayah kekuasaan Islam. Terbukti 2 th pasca Isra' Mi'raj Nabi hijrah ke Yatsrib dan menjadi pemimpin di sana yang di kemudian hari jazirah arab ada dalam kekuasaan beliau. 

Kedua. Memperteguh kejiwaan Nabi. 
Sebelum Isra' Miraj Nabi mengalami tekanan mental luar biasa dari orang-orang kafir terutama pada saat dua pendukung dan pelindung beliau yaitu paman dan istrinya wafat. Bullyan, intimidasi dan perskusi kian mengancam. Maka melalui Isra' Mi'raj Allah mengajak nabi untuk melihatkan secara visual sebagian tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya Agar kejiwaan dan mental nabi semakin kokoh. 

Hal ini diungkap langsung dalam Q.S. Al-Isra' ayat 1 dan An-Najm ayat 18).

لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا۝

“Agar Kami dapat menunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.” (Q.S. Al-Isra': 1)

لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَىٰ۝

“Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (Q.S. An-Najm: 13-18)

Ketiga. Seleksi keimanan manusia (Q.S. (17):60). Keimanan perlu diuji apakah sebatas pengakuan atau ketundukan. Setelah Nabi saw. menyampaikan peristiwa yang beliau alami, orang kafir makin kencang kekafirannya, orang yang sejak awal imannya tidak serius mulai bergeser kepada kekufuran. 

وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ ۝

“Dan Kami tidak menjadikan rukyah (penglihatan nyata) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S. Al-Isra: 60)

Akan tetapi mereka yang imannya totalitas tanpa ada keraguan sedikitpun membenarkan semua yang disampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Sikap Abu Bakar mewakili orang-orang yang beriman secara total. Saat beliau ditanya tentang peristiwa Isra' Mi'raj dimana sebagian orang meragukannya, dia menjawab dengan tegas.
فَما يُعجِبكم من ذٰلك فوَاللهِ إنهُ لَيُخبِرني أنَّ الْخبرَ ليَأتِيه ( مِن الله ) مِن السَّماءِ إلى الأرضِ في ساعةٍ من ليلٍ أو نهارٍ فأُصَدقُه ٠ فهذا أبعدُ مما تعجِبون منه . 
“Apa yang mesti kalian herankan dari peistiwa tersebut? Demi Allah, ia (Rasulullah saw.) malah telah mengabarkan kepadaku suatu kabar (Wahyu) berasal dari langit (dari Allah Swt.) ke bumi hanya dalam tempo sekejap, baik waktu malam ataupun siang, dan aku membenarkannya. Ketahuilah, kejadian itu jauh lebih mengherankan dari peristiwa yang kalian tanyakan ini!“ (H.R. Hakim) 

Karena itu peristiwa Isra' Mi'raj termasuk perkara sam'iyyah, seperti halnya keyakinan pada alam akhirat, surga dan neraka, semua berdasar informasi dari Qur'an dan Hadits Rasulullah Saw. 

Keempat. Misi universal kemasyarakatan. Disebutkan bahwa di Baitul Maqdis Nabi mengimami shalat berjamaah yang makmumnya para nabi dan rasul sejak nabi Adam As. Ini menunjukkan pengakuan akan misi syari'at Muhammad saw. untuk seluruh manusia. Berbeda dengan para utusan sebelumnya yang terbatasi oleh zona bangsa tertentu. 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ۝

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujuraat: 13)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menguatkan makna di atas dalam sabdanya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian juga satu (yaitu Adam). Ketahuilah, tidak ada kemuliaan orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan tidak pula orang Ajam atas orang Arab. Begitu pula orang berkulit merah (tidaklah lebih mulia) atas yang berkulit hitam dan tidak pula yang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah, kecuali dengan takwa.” (H.R. Ahmad dan al-Bazzar)

Ma’asyiral muslimin, Rahimakumullah

Demikianlah misi dibalik peristiwa besar isra wal mi'raj Nabi Agung Muhammad SAW.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم،أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْم.

Khutbah Ke Dua
 

اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ

اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ.

فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. في ِالْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ

اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.

 اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ

رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَالله اِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوااللهَ الْعَظِيْمِ يذكركم وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

Senin, 20 Januari 2025

HUKUM KRIDIT MOBIL/MOTOR

Kredit motor merupakan salah satu bentuk pembiayaan yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk membeli kendaraan bermotor secara mencicil.

Meskipun mempermudah dalam memiliki motor tanpa harus membayar penuh di awal, ada pertanyaan yang sering muncul di kalangan umat Islam: Apakah kredit motor termasuk riba?

Sebagai kebutuhan masyarakat mayoritas Muslim

Sepeda motor telah menjadi sarana mobilitas yang sangat vital bagi masyarakat di Indonesia. Dengan populasi yang besar dan infrastruktur jalan yang sering kali padat, sepeda motor menawarkan solusi transportasi yang efisien dan terjangkau.

Bagi banyak orang, sepeda motor adalah alat transportasi utama yang memungkinkan mereka untuk menjangkau tempat kerja, sekolah, pasar dan layanan penting lainnya dengan lebih cepat dibandingkan dengan kendaraan lain. Selain itu, sepeda motor juga menjadi pilihan yang lebih ekonomis dalam hal konsumsi bahan bakar dan biaya perawatan menjadikannya populer di kalangan berbagai lapisan masyarakat.

Saat ini berbagai jenis pilihan motor sangat beragam. Namun, sebanding dengan fitur dan spesifikasi yang ditawarkan, harga sepeda motor terbilang mahal saat ini.

Oleh karena itu opsi pembelian dengan sistem kredit pun ditawarkan, banyak showroom ataupun brand sepeda motor yang bekerja sama dengan leasing dalam menjalankan sistem kredit untuk para konsumen.

Namun, dalam praktiknya perusahaan leasing, khususnya konvensional, menetapkan bunga untuk setiap cicilan yang dilakukan. Bunga inilah yang termasuk ke dalam unsur riba dan tidak diizinkan secara syariat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Definisi kredit motor

Kredit motor adalah sistem pembelian kendaraan bermotor secara cicilan dengan melibatkan pihak ketiga, biasanya lembaga pembiayaan atau bank. Dalam sistem ini, pembeli membayar uang muka (down payment) dan melunasi sisa harga motor dalam bentuk cicilan bulanan yang telah ditentukan. Pada umumnya, cicilan ini dikenakan bunga sebagai keuntungan bagi pihak pemberi pinjaman.

Riba dalam Perspektif Islam

Riba dalam Islam diartikan sebagai penambahan nilai yang diambil secara tidak adil dalam transaksi pinjaman atau jual beli. Riba dilarang keras dalam Al-Qur'an dan Hadis karena dianggap merugikan dan menindas salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةًۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَۚ

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 130)

Ayat ini menegaskan larangan terhadap riba, terutama dalam bentuk pengambilan keuntungan berlebih dari pinjaman yang diberikan.

Adapula dituliskan dalam surah Al-Baqarah:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا


“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (Q.S Al-Baqarah: 275).

Selain itu, ditegaskan juga dalam surah An-Nisa ayat 161:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Dan disebabkan karena mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (Q.S. An-Nisa: 161).

Haram-nya riba dijelaskan pula dalam kitab Al Musaqqah, Rasulullah bersabda :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ


“Jabir berkata bahwa Rasulullah mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu semuanya sama.”(H.R Muslim)

Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa dalam Islam, setiap bentuk penambahan atas pokok utang yang disebabkan oleh faktor waktu dianggap sebagai riba dan dengan demikian, diharamkan.

Apakah Kredit Motor Termasuk Riba?

Dalam praktik kredit motor, terdapat dua skema yang umumnya digunakan, yaitu kredit dengan bunga dan kredit tanpa bunga. Kredit dengan bunga adalah skema yang paling banyak digunakan, di mana pihak pembeli diwajibkan membayar cicilan dengan bunga yang telah ditentukan oleh lembaga pembiayaan.

1. Kredit dengan Bunga:

Dalam kredit motor dengan bunga, terdapat tambahan biaya yang dikenakan kepada pembeli berupa bunga atas pinjaman yang diberikan. Bunga ini dianggap sebagai riba oleh sebagian ulama karena merupakan tambahan yang tidak dibenarkan dalam Islam, sesuai dengan definisi riba sebagai keuntungan tambahan dari suatu transaksi yang merugikan pihak lain.

Pendapat ini berdasarkan pada prinsip bahwa setiap penambahan yang diambil dari pinjaman dianggap sebagai riba. Oleh karena itu, jika kredit motor melibatkan bunga, maka hal itu termasuk dalam kategori riba yang dilarang dalam Islam.

2. Kredit Tanpa Bunga:

Ada juga lembaga pembiayaan yang menawarkan kredit motor tanpa bunga, di mana pembeli hanya membayar cicilan sesuai dengan harga asli motor tanpa ada tambahan bunga. Skema ini tidak termasuk riba, karena tidak ada unsur tambahan yang merugikan pihak pembeli. Namun, biasanya lembaga pembiayaan menerapkan biaya administrasi atau margin keuntungan yang tetap sesuai kesepakatan awal, yang masih dianggap halal oleh sebagian ulama jika dilakukan dengan transparansi dan tanpa unsur penipuan.

Para ulama memiliki pandangan yang beragam tentang kredit motor. Sebagian besar ulama sepakat bahwa kredit motor dengan bunga masuk dalam kategori riba, karena melibatkan tambahan yang tidak sah. Namun, ada juga ulama yang membolehkan kredit motor selama dilakukan dengan skema tanpa bunga dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, seperti adanya keadilan, transparansi, dan tidak merugikan salah satu pihak.

Sebagai seorang Muslim, penting untuk mempertimbangkan hukum Islam dan mencari alternatif pembiayaan yang tidak mengandung unsur riba agar tetap sesuai dengan ajaran agama.

Wallahu A'lam

Minggu, 19 Januari 2025

HUKUM MEMAKAN KURA KURA

Hukum Mengonsumi Daging Kura-kura, Halal Atau Haram?

Di Indonesia, kura-kura termasuk hewan yang dilindungi oleh negara. Karena itu, kura-kura tidak boleh dipelihara untuk diperdagangkan, juga tidak boleh dibunuh untuk dikonsumsi atau lainnya. Menurut para ulama, sebenarnya bagaimana hukum mengonsumsi daging kura-kura, apakah halal atau haram?

Menurut ulama Syafiiyah, mengonsumsi daging kura-kura, baik kura-kura laut maupun kura-kura darat, hukumnya adalah haram. Kura-kura tidak boleh dikonsumsi karena kura-kura termasuk jenis hewan yang bisa hidup di lautan dan daratan.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar berikut;

يحرم الضفدع و السرطان و السلحفاة على الراجح

Haram makan kodok, ketam dan kura-kura menurut pendapat yang unggul (di kalangan ulama Syafiiyah).

Dalam kitab Raudhatut Thalibin, Imam Nawawi memasukkan kura-kura sebagai bagian dari jenis yang bisa hidup di lautan dan daratan, seperti buaya, kodok dan lainnya. Karena itu, menurut pendapat yang paling shahih, mengonsumsi kura-kura hukumnya adalah haram. Beliau berkata sebagai berikut;

الضرب الثاني ما يعيش في الماء والبر أيضا..ويحرم التمساح على الصحيح والسلحفاة على الأصح

Bagian kedua adalah hewan yang hidup di air dan daratan juga. Maka buaya hukumnya adalah haram menurut pendapat yang shahih, dan kura-kura (juga haram) menurut pendapat yang lebih shahih.

Adapun menurut ulama Hanabilah dan ulama Malikiyah, kura-kura laut hukumnya halal dimakan namun dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu. Sementara kura-kura darat, menurut ulama Hanabilah, adalah haram dimakan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah;

و يحرم اكل السلحفاة برية كان او بحرية و هى المعروفة بالترسة لانها تعيش فى البر و البحر.الحنابلة و المالكية قالويحل اكل السلحفاة البحرية الترسة بعد ذبحها. اما السلحفاة البرية فالراجح عند حنابلة حرمتها

Haram makan kura-kura, baik kura-kura darat atau laut, yaitu yang dikenal dengan penyu, karena bisa hidup di darat dan laut. Ulama Hanabilah dan Malikiyah berkata bahwa halal makan kura-kura laut setelah disembelih. Adapun kura-kura darat, maka pendapat yang kuat di kalangan ulama Hanabilah adalah haram."
 Allahu A'lam... 

Jumat, 17 Januari 2025

HUKUM ANAK ANGKAT/ADOPSI

Hukum Anak Angkat Mencium Orang Tua Angkatnya dalam Islam. 

Ciuman merupakan bentuk kasih sayang yang sering ditunjukkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Ciuman juga bisa menjadi bentuk ungkapan terima kasih, rasa sayang atau tanda hormat. Di Indonesia, ciuman biasanya dilakukan di pipi atau kening. Lalu, bagaimana hukum anak angkat mencium orang tua angkatnya? Apakah ada aturan hukum yang mengatur hal tersebut?
 
Di Indonesia, hubungan antara anak angkat dan orang tua angkat diakui secara hukum. Pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
 
Lebih lanjut, penjelasan anak angkat juga termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam [KHI], Pasal 171 huruf h, bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
 
Adapun dalam Islam, adopsi anak tidak menghilangkan nasab asli anak tersebut. Anak angkat tetap memiliki nasab dari orang tuanya yang kandung. Hal ini berdasarkan firman Allah swt dalam Al-Qur'an:

 
وَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ

 
Artinya, “Dan Dia pun tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al-Ahzab: 4).

 
Dalam ayat tersebut, Allah swt menjelaskan bahwa status anak angkat dalam Islam tidak sama dengan anak kandung. Anak angkat tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkatnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tidak dapat menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya, tidak dapat mewarisi harta orang tua angkatnya. 

 
Lebih dari itu, Allah swt juga memerintahkan agar anak angkat dinasabkan kepada bapak-bapak kandungnya. Hal ini berarti bahwa anak angkat tetap memiliki hubungan nasab dengan orang tua kandungnya. Sebagaimana dikatakan oleh Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, dalam kitab Tafsir As-Sam’ani:
 
فِي الْآيَة نسخ التبني، وَقد كَانَ الرجل فِي الْجَاهِلِيَّة يتبنى الرجل ويجعله ابْنا لَهُ مثل الابْن الْمَوْلُود، وعَلى ذَلِك تبنى رَسُول الله زيد بن حَارِثَة، فنسخ الله تَعَالَى ذَلِك

 
Artinya, “Dalam ayat tersebut, Allah menghapuskan hukum adopsi (melekatkan nasab anak pada orang tua angkat). Pada masa Jahiliyah, seorang laki-laki dapat mengadopsi seorang anak laki-laki dan menjadikannya anak kandungnya sendiri, sama seperti anak kandungnya sendiri. Rasulullah saw juga pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah. Namun, Allah swt menghapuskan hukum tersebut. (Abu Al Muzhaffar As-Sam'ani, Tafsir As-Sam'ani, [Riyadh, Darul Wathan: 1997], jilid II, halaman 258.

 
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak angkat tetaplah sebagai anak dari orang yang melahirkannya, bukan dari orang yang mengangkatnya sebagai anak. Hal ini karena anak angkat tidak memiliki hubungan darah, hak waris, dan tidak memiliki nasab yang tersambung.

 
Untuk mendukung argumen ini, terdapat juga hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, di mana ia menceritakan bahwa pada masa awal Islam, orang-orang biasa memanggil Zaid bin Haritsah dengan nama Zaid bin Muhammad, karena ia adalah anak angkat Nabi Muhammad. 

 
Namun, setelah turunnya ayat Al-Qur'an Al-Ahzab ayat 5, orang-orang mulai memanggil Zaid dengan nama aslinya, yaitu Zaid bin Haritsah. Simak hadis Nabi saw berikut:

 
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ

 
Artinya, “Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “Dulu kami memanggil Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah saw, dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun ayat Al-Qur'an yang artinya: “Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak mereka. Setelah ayat itu turun, maka kami pun memanggilnya dengan nama Zaid bin Haritsah.”

 
Dengan demikian, dalam Islam anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang tua angkatnya. Karena itu, mereka tidak dianggap sebagai mahram. Mahram adalah orang-orang yang tidak boleh dinikahi, termasuk ibu, ayah, saudara kandung, dan seterusnya.

 
Berdasarkan hal tersebut, hukum anak angkat mencium orang tua angkatnya dalam Islam adalah seyogianya dihindari karena bukan mahram. terlebih jika sudah mengarah ke pada fitnah.

 
Lantas bagaimana solusinya jika ingin anak angkat menjadi mahram (boleh bersentuhan dan haram dinikahi)? Ulama memberikan dua solusi.
 

Pertama, solusi yang paling mudah dan praktis, yatiu dengan mengangkat anak dari kerabat yang masih mahram, maka anak angkat tersebut akan langsung menjadi mahram bagi orang tua angkat. Misalnya, jika suami ingin mengangkat anak angkat perempuan, maka bisa mengangkat anak perempuan dari saudara kandungnya. 
Karena saudara kandung adalah mahram, maka anak angkat perempuan tersebut juga menjadi mahram bagi suami.

 
Terkait susunan mahram, sudah dijelaskan dalam Al-Qur'an Q.S an-Nisa' ayat 4;

 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

 
Artinya, “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 
Kedua, dengan menyusui anak angkat. Persusuan dapat menjadikan anak angkat menjadi mahram selama memenuhi syarat. 
Menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang memenuhi lima syarat: (1) susu berasal dari perempuan yang sudah mencapai usia haid; (2) susu masuk ke dalam rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun; (3) masuknya susu harus secara yakin, bukan dugaan; (4) masuknya susu harus sebanyak lima kali; (5) masuknya susu harus secara ’urf, yaitu sesuai dengan adat kebiasaan setempat.

 
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, maka penyusuan yang hanya satu kali tahapan, meskipun hanya setetes, juga sudah dihitung sebagai satu kali penyusuan. Hal ini karena penyusuan yang mengharamkan pernikahan adalah penyusuan yang sudah masuk ke dalam rongga bayi, meskipun hanya sedikit.

 
الرضاع المحرم وصول لبن آدمية بلغت سن حيض ولو قطرة أو مختلطا بغيره وإن قل جوف رضيع لم يبلغ حولين يقينا خمس مرات يقينا عرفا 

 
Artinya, “Persusuan yang mengharamkan nikah adalah sampainya susu putri Adam yang sudah mencapai usia haidh, meski hanya setetes atau bercampur dengan lainnya, meski sedikit, ke rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun secara yakin, sebanyak lima kali dengan yakin secara ’urf.” (Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, jilid III, halaman 286).

Berdasarkan dalil-dalil tersebut dapat disimpulkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkatnya adalah bukan mahram. Artinya, mencium atau bersentuhan dengan orang tua angkatnya dalam Islam seyogianya dihindari, terlebih jika sampai menimbulkan fitnah. 

Akan tetapi ulama punya solusi jika ingin menjadi mahram dengan anak angkatnya. 
Pertama, seyogianya anak angkat berasal dari anak mahramnya. 
Ataupun kedua, diangkat ketika masih kecil, sehingga bisa menjadi ibu susuan dari anak angkatnya. 
Wallahu a'lam.