Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 30 November 2025

HAROKAT DOA DIBULAN ROJAB

Dua Versi Doa Bulan Rajab: ‘Fi Rajaba’ dan ‘Fi Rajabin’

Baik fi rajaba atau fi rajabin, masing-masing memiliki argumentasinya sendiri. 

Menjelang dan selama bulan Rajab, ada sebuah doa populer dan banyak dipanjatkan umat Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah shallalhu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hadits beliau yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik radhiallahu ‘anhuma. 
Lafal doa dimaksud adalah sebagai berikut:

 اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبَ وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغنَا رَمَضَانَ.
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Permasalahannya adalah kata رجب pada lafal doa tersebut seharusnya dibaca atau diucapkan bagaimana, apakah رَجَبَ (rajaba) ataukah رَجَبٍ (rajabin)? 

Permasalahan tersebut mucul sebab di masyarakat memang berkembang dua versi. Ada yang mengucapkan رَجَبَ  (rajaba) sebagaimana lafal doa di atas, ada pula yang mengucapkan رَجَبٍ (rajabin) sebagaimana lafal doa di bawah ini:
 
  اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ.
 
(Allâhumma bâriklanâ fî rajabin wa sya’bâna wa ballighnâ ramadhâna) 
 
Artinya: “Ya Allah, anugerahkanlah keberkahan kepada kami di bulan Rajab dan Sya'ban, dan sampaikanlah umur kami pada bulan Ramadhan.” 

Berkembangnya dua versi yang berbeda tersebut di masyarakat wajar sebab apa yang tertulis di buku-buku atau kitab-kitab dan apa yang terekam dalam bentuk audio atau audio-visual seperti di YouTube, juga menyajikan kedua versi tersebut. 

Pertanyaannya adalah versi manakah di antara keduanya yang lebih baik menurut aturan nahwu atau tata bahasa Arab?

Jawabnya, kedua versi tersebut masing-masing memiliki argumentasinya sendiri sebagai berikut:

1. Versi رَجَبَ (rajaba) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبَ (rajaba) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca fathah (a) رَجَبَ sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim ghairu munsharif (yakni suatu isim yang tidak boleh ditanwin dan dikasrah). Kata tersebut menolak tanwin dan kasrah karena termasuk isim ‘alamiah dan mengikuti wazan fi’il فَعَلَ (fa’ala). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبَ (rajaba).  

2. Versi رَجَبٍ (rajabin) 

Mereka yang berpendapat yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin) mendasarkan alasan bahwa kata رجب harus dibaca kasrah tawin رَجَبٍ (rajabin) sebab kata benda atau isim tersebut termasuk isim munsharif (yakni suatu isim yang boleh ditanwin dan dikasrah). Oleh karena kedudukannya sebagai majrur karena didahului oleh huruf jar في, maka kata tersebut harus dibaca رَجَبٍ (rajabin).  

Perbedaan pendapat tersebut dapat dipertemukan dengan merujuk pada kitab karangan Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i sebagai berikut:

  أن رجب وصفر من الشهور إذا أريد بهما معين يمنع صرفهما للعلمية، والعدل عن الرجب والصفر.... وفي المصباح أن رجب الشهر مصروف وإن أريد به معين. اهـ 

Artinya: “Bahwa Rajab dan Shafar adalah bulan-bulan yang jika dimaksudkan sebagai bulan Rajab dan Shafar tertentu (misalnya tahun ini-pen.), maka keduanya merupakan isim ghairu munsharif. Yang menjadi mani’ sharif-nya adalah alamiyah; dan ‘udul-nya disebabkan masing-masing berasal dari kata ar-Rajab (الرجب), dan as-Shafarالصفر) ). Dalam kitab al-Mishbah dikatakan bahwa Rajab adalah nama bulan yang termasuk isim munsharif meski yang dimaksud adalah bulan Rajab tertentu.” (Muhammad bin Musthafa al-Khudhari as-Syafi’i, Hasyiyah Al-Khudhari, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2017), juz 2, hal. 246). 

Kesimpulannya, baik رَجَبَ (rajaba) maupun رَجَبٍ (rajabin) bisa sama-sama benar dengan catatan رَجَبَ (rajaba) digunakan untuk merujuk bulan Rajab yang sudah tertentu, misalnya tahun ini atau tahun depan saja. Jika yang dimaksud bulan Rajab adalah Rajab secara umum, maka menurut Imam al-Khudhari, sebaiknya menggunakan رَجَبٍ (rajabin). Tetapi menurut kitab al-Misbah, sebagaimana dikutip Imam al-Khudhari, pengucapan yang benar adalah رَجَبٍ (rajabin). Alasannnya kata رجب adalah isim munsharif.    
Wallahu A'lam bisshowab.

Sabtu, 29 November 2025

HUKUM ORANG MAMPU MASIH TERIMA BANSOS

Syariat Tidak Membenarkan Orang Mampu Masih Terima Bansos.

Deskripsi Masalah:
Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan alam yang melimpah. 
Akan tetapi masih banyak dari penduduk yang masih dalam keadaan miskin atau kekurangan. 

Pemerintah mencoba meringankan beban masyarakat dengan memberikan bantuan langsung atau Bansos. Pemerintah sudah bekerja keras untuk menyesuaikan arah bantuan kepada orang-orang yang memang berhak dan membutuhkan dana bantuan. Namun masih ada saja beberapa kejadian yang mana sebagian masyarakat merasa mampu dan dengan sadar diri mengembalikan dana bantuannya. 

Namun, ada juga sebagian masyarakat yang tetap menerima walaupun menurut tetangga-tetangganya ia sudah termasuk orang mampu. Sebagian masyarakat ada yang meminta kepada tetangganya yang mendapat bantuan untuk membagi rata dengan dirinya karena mereka merasa dirinya tidak mampu dan berhak mendapat bantuan. 
Sebagai catatan bahwa kewenangan bantuan sosial ada pada pemerintah. 

Pertanyaan:
Apakah dibenarkan menurut syariat orang yang mampu memenuhi kebutuhannya tetapi tetap menerima bantuan sosial (Bansos)? 

Jawaban:
Tidak dibenarkan kecuali orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum dengan jumlah sesuai kebijakan pemerintah dan kemaslahatan.

Referensi:

المجموع شرح المهذب (9/ 349)
(فَرْعٌ) قَالَ الْغَزَالِيُّ مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوزُ صَرْفُهُ إلَّا لِمَنْ فِيهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عاجزعَنْ الْكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إلَى الْمُسْلِمِينَ وَلَوْ اشْتَغَلَ بِالْكَسْبِ لَتَعَطَّلَ عَلَيْهِ مَا هُوَ فِيهِ فَلَهُ فِي بَيْتِ الْمَالِ كِفَايَتُهُ فَيَدْخُلُ فِيهِ جَمِيعُ أَنْوَاعِ عُلَمَاءِ الدِّينِ كَعِلْمِ التَّفْسِيرِ وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ وَالْقِرَاءَةِ وَنَحْوِهَا وَيَدْخُلُ فِيهِ طَلَبَةُ هَذِهِ الْعُلُومِ وَالْقُضَاةُ وَالْمُؤَذِّنُونَ وَالْأَجْنَادُ وَيَجُوزُ أَنْ يُعْطَى هَؤُلَاءِ مَعَ الْغِنَى وَيَكُونُ قَدْرُ الْعَطَاءِ إلَى رَأْيِ السُّلْطَانِ وَمَا تَقْتَضِيه الْمَصْلَحَةُ وَيَخْتَلِفُ بِضِيقِ الْمَالِ وَسَعَتِهِ.

Artinya: Harta mashalih hanya ditasarufkan pada orang yang berkontribusi terhadap kepentingan umum atau orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhanya karena tidak bisa bekerja. 
Seperti orang yang mengatur kebaikan orang Islam, maka dicukupi kebutuhanya dari Baitul Maal, seandainya orang tersebut bekerja maka dia tidak bisa mengatur kebaikan orang Islam. 
Begitu juga seluruh ulama agama sesuai dengan bidangnya, para pelajar, hakim, muadzin, tentara, dan diperbolehkan menasarufkan kepada mereka yang sudah kaya (berkecukupan) sesuai kebijakan pemerintah dan kebaikannya.

حاشية الجمل - (16 / 215)
 وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يُظَنُّ بِهِ كَفَقْرٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ عِلْمٍ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهِ أَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنٌ بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ بِهِ لَمْ يُعْطِهِ حَرُمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا.

Artinya: Barang siapa menerima pemberian tidak sesuai dengan ketentuannya seperti sifat fakir, sifat baik, nasab atau ahli ilmu akan tetapi kenyataannya tidak sesuai, maka tidak boleh mengambilnya secara mutlak.
Wallahu A'lam bisshowab.

HUKUM MENERIMA BANTUAN TIDAK SESUAI JUMLAH

Hukum menerima bantuan yang tidak sesuai jumlahnya.

Ahir-ahir ini sering kita jumpai bantuan dari instansi pemerintah atau lainnya yang diberikan kepada unit pendidikan, pondok pesantren atau bidang lainnya, terjadi perbedaan antara jumlah sumbangan yang tertulis dengan yang diterima.

Sebagai contoh, ada unit pendidikan yang seharusnya menerima bantuan 150 juta rupiah, tapi yang diterima hanya 135 juta rupiah, padahal sipenerima tetap menulis dan menandatangani bantuan sebesar 150 juta rupiah.

Menyikapi hal tersebut ada beberapa asumsi bagi si penerima, yaitu : 
Tidak boleh jika masih mungkin untuk mendapatkan haknya tanpa memanipulasi data nominal yang disumbangkan. 
Yang kedua boleh jika memang memanipulasi data merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh haknya, dan bagi yang memberi bantuan (memerintahkan menulis) hukumnya haram.

Syaikh Muhammad bin Salim dalam kitabnya mengatakan :

وَمِنْهَا اْلكَذِبُ وَهُوَ عِنْدَ اَهْلِ السُّنَّةِ الاِخْبَارُ بِالشَّيْئِ فِي خِلاَفِ اْلوَاقِعِ بِخِلاَفِ مَا هُوَ سَوَاءٌ عَلِمَ ذَلِكَ وَ تَعَمَّدَهُ اَمْ لاَ وَ اَمَّا اْلعِلْمُ وَالتَّعَمَّدُ فَهُوَ شَرْطَانِ مِنَ اْلاِثْمِ.

Di antaranya adalah berbohong, menurut Ahlussunnah berbohong adalah mengabarkan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Berbeda dengan mengabarkan sesuatu yang sesuai dengan kenyataannya ini tidak dinamakan berbohong, baik dia mengerti dan disengaja maupun tidak, dan kalau mengerti dan disengaja maka ini adalah prasarat dari dosa. 
(Kiyab Is’adur Rofiq, Juz II, halaman 77)

Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’Alawi dalam kitabnya mengatakan :

وَمِنْهَا كِتَابَةُ مَا يَحْرُمُ عَنِ النُّطْقِ بِهِ قَالَ اْلبِدَايَة لاَنَّ اْلقَلَمَ اَحَدُ اللِّسَانِ اَيْ مُنْغِيْبَة وَغَيْرِهَا فَلاَ يُكْتَبُ بِهِ مَا يَحْرُمُ النُّطْقُ مِنْ جَمِيْعِ مَا مَرَّ.

Di antara dosa yang lain adalah menulis sesuatu yang haram diucapkan. 
Pengarang kitab Al-Bidayah berkata: karena pena itu salah satu media lisan, jadi sudah dianggap cukup, dan lain sebagainya. 
Jadi setiap sesuatu yang haram diucapkan haram pula ditulis. (Kitab Sulamut taufiq)

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya mengatakan :

فَكُلُّ مَقْصُوْدٍ مَحْمُوْدٍ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ اِلَيْهِ بِالصِّدْقِ وَاْلكَذِبِ جَمِيْعًا فَالكَذِبُ فِيْهِ حَرَامٌ وَاِنْ اَمْكَنَ التَّوَصُّلُ اِلَيْهِ بِاْلكَذِبِ دُوْنَ الصِّدْقِ فَالْكَذِبُ فِيْهِ مُبَاحٌ اِنْ كَانَ تَحْصِيْلُ ذَلِكَ القَصْد مُبَاحًا.

Setiap maksud yang terpuji yang bisa dicapai dengan jalan benar dan bohong sekaligus, maka berbohong hukumnya haram. Tetapi jika bisa tercapai lewat berbohong dan tidak tercapai lewat kejujuran, maka berbohong diperbolehkan jika untuk mencapainya diperbolehkan. 
(Kitab ihya' ulumuddin Juz,IV, halaman 230)
Allahu A'lam.

TATA CARA SHALAT SUNNAH PENGANTEN


Tata Cara dan Anjuran Sholat Sunnah Setelah Akad Nikah, 
Calon Suami Wajib Tahu
Tata cara dan amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh para pengantin baru.

Tata cara dan amalan sunnah yang bisa dilakukan oleh para pengantin baru.

Tata Cara dan Anjuran Sholat Sunnah Setelah Akad Nikah, Calon Suami Wajib Tahu
Tata cara sholat sunnah akad nikah tentu penting diketahui oleh calon pengantin, khususnya laki-laki.
Menikah merupakan salah satu anjuran Allah SWT yang tertuang langsung dalam kitab suci Al-Qur'an.

Setelah melaksanakan akad nikah, terdapat beberapa sunnah yang bisa dilakukan oleh pengantin baru termasuk sholat.


Sholat Sunnah Sebelum dan Sesudah Akad Nikah
Sholat sunnah yang bisa dilakukan oleh calon pengantin bisa dilakukan di dua momen.

Pertama sesaat sebelum melakukan akad nikah.

Hal tersebut seperti disebut dalam Kitab Hasyiah As Syarqowi jilid 1 halaman 309.

ومنه أشياء أخر كصلاة الغفلةو ركعتا الزفاف أى للزوج والزوجة وكذا ركعتان للعقد في مجلسه قبل تعاطيه لكن للزوج والولي فقط دون الزوجة ع ش

Artinya: "Di antara (shalat yang disunnahkan) lainnya adalah shalat ghoflah dan shalat dua raka'at pengantin bagi suami dan istri.
Begitu juga shalat sunnah dua rakaat karena  akad nikah yang dilakukan di majelis akad sebelum dimulainya akad nikah, akan tetapi ini sunnah hanya bagi suami dan wali, bukan untuk istri," 

Kedua, sholat sunnah yang dilaksanakan setelah ijab kabul. 
Ibadah ini dilakukan sebelum melakukan hubungan suami istri.

ومنه ركعتا الزفاف تسن هذه الصلاة لكل من الزوج والزوجة ينوي بها سنة الزفاف

Artinya: "Di antara (yang disunnahkan) adalah shalat dua raka'at zifaf (pernikahan).

Shalat ini disunnahkan untuk suami dan isteri dengan niatan melakukan kesunnahan pernikahan."

Abu Sa'id Maula RA mengisahkan, bahwa dia pernah mengadakan syukuran pernikahan ketika masih menjadi budak.

Abu Sa'id Maula mengundang beberapa sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Dzar, Abdullah bin Mas'ud ra, dan Hudzaifah RA.

Lalu ia mengatakan bahwa para sahabat tersebut membimbingnya dan mengatakan:

"Jika istrimu masuk menemuimu, sholatlah dua rakaat. 
Mintalah perlindungan kepada Allah SWT dan berlindunglah kepada-Nya dari keburukan istrimu. 
Setelah itu, urusannya terserah kamu dan istrimu,"

Niat Sholat
Untuk melaksanakan sholat sunnah ini sama seperti mengerjakan sholat 2 rakaat pada umumnya. 
Berikut niatnya:

أُصَـلِّىْ سُنَّةَ لَيْلَةِ الزِّفَافِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّـهِ تَعَالَى

Usholli Sunnatan Lailataz Zifaafi rok'ataini lillahi Ta'ala.

Artinya: "Saya sholat sunnah malam pengantin dua rakaat karena Allah Ta'ala."

Rakaat pertama boleh membaca Surat Al-Kafirun setelah Al-Fatihah dan rakaat kedua membaca Surat Al-Ikhlas.

Membaca Doa
Setelah melaksanakan sholat sunnah, dianjurkan juga untuk tidak lupa berdoa.

Berdoa merupakan salah satu adab yang harus dilakukan sebelum berhubungan suami istri. 
Adapun doa sebelum jima adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

Bismillah, Allahumma jannibnaassyyaithaana wa jannibi syaithoona maarazaqtanaa.


Artinya: "Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami."
Sunnah yang Dianjurkan Dilakukan Setelah Menikah
Selain melaksanakan sholat, ada beberapa hal lain yang juga disunnahkan untuk dikerjakan atau dilakukan para suami istri baru.

1. Memberi Salam sebelum Masuk Kamar

Dalam sebuah hadis dengan sanad hasan shahih dikatakan, "Ummu Salamah RA berkata bahwa ketika Rasulullah SAW menikahinya dan beliau hendak menggaulinya, beliau mengucapkan salam terlebih dahulu." (HR Abu Syaikh)

2. Bersiwak

Dari al-Miqdam bin Syuraih dari ayahnya ia berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah,

'Dengan tindakan apa Rasulullah SAW memulai jika masuk ke rumahnya?' Dia menjawab, 'Dengan bersiwak'," (HR. Muslim)

3. Bersikap Lembut pada Istri

Anjuran untuk bersikap lemah lembut kepada istri juga pernah disebut oleh Rasulullah SAW.

Termasuk saat akan berhubungan suami istri atau melakukan jima.

Seorang suami disebut harus membelai terlebih dahulu sang istri untuk membuatnya tenang dan merasa nyaman. 
Rasulullah SAW:

"Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti hewan. 
Hendaklah dia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu." (HR. Ar Tirmidzi)
_______________________________

Tatacara Shalat Sunah Usai Akad Nikah.

Sebelumnya, perlu kita tahu bahwa shalat sunah setelah akad nikah, tidak berdasarkan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Namun yang menjadi dasar adalah riwayat dari sebagian sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Diantaranya :

– Dari Abu Sa’id Maulanya Abu Usaid, beliau berkata,

تزوجت وأنا مملوك ، فدعوت نفرا من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فيهم ابن مسعود وأبو ذر وحذيفة . قال : …. وعلموني ، فقالوا : (إذا أدخل عليك أهلك فصل عليك ركعتين ، ثم سل الله تعالى من خير ما دخل عليك ، وتعوذ به من شره ، ثم شأنك وشأن أهلك)

“Aku menikah saat aku masih berstatus sebagai hamba sahaya. 
Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi shalallahu alaihi wa sallam diantara mereka adalah Ibnu Mas’ud, Abu Dzar dan Hudzaifah.

“Mohon ajari aku….” Pintaku kepada beliau-beliau.

Lalu mereka berpesan, “Jika kamu hendak menggauli istrimu, sholatlah dua raka’at terlebih dahulu. 
Kemudian mintalah kebaikan kepada Allah dalam hubunganmu. 
Berlindunglah dari keburukannya. 
Lalu serahkan kepada Allah urusanmu dan urusan keluargamu.” (HR. Ibnu Abu Syuaibah dalam Al Mushannaf, 3/401. Dan ‘Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf, 6/191)

Dalam Adabuz Zifaf hal. 22 Syaikh Al Albani rahimahullahu menilai, “Sanadnya shahih sampai ke Abu Sa’id. Dia mastur.”

– Dari Syaqiq ia menceritakan,

جاء رجل إلى عبد الله [يعني : ابن مسعود] يقال له أبو جرير فقال : إني تزوجت جارية شابة وإني أخاف أن تفركني (أي : تبغضني)

“Seorang laki-laki menemui Abdullah bin Mas’ud. Namanya Abu Jarir, ia berkata, “Aku menikahi seorang gadis yang masih perawan. 
Aku takut jika ia nanti membenciku.”

Sahabat Abdullah bin Mas’ud lantas berpesan,

إن الإلف من الله ، والفرك من الشيطان ، يريد أن يكره إليكم ما أحل الله لكم ، فإذا أتتك فمرها أن تصلي وراءك ركعتين

“Sesungguhnya keharmonisan itu datang dari Allah. Dan kebencian itu datang dari setan. Setan ingin membuat kalian benci apa yang Allah halalkan bagi kalian. 
Karena itu, jika istrimu mendatangimu maka perintahkanlah ia agar shalat dua raka’at di belakangmu.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushonnaf (3/402), Abdurrzaq dalam Al Mushonnaf karyanya (6/191), At-Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir (9/204) )

Syaikh Al Albani menilai shahih sanad riwayat ini di dalam kitab Adab Az Zifaaf, hal 24.

Meski amalan ini tidak bersumber kepada hadis secara langsung, amalan ini dapat diamalkan. 
Karena keterangan sahabat, dalam hal yang tidak mungkin terjadi ijtihad, levelnya sama dengan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Seperti dalam kasus ini adalah masalah ibadah, ibadah dasarnya adalah taukifi (menunggu dalil yang memerintah), tidak boleh melahirkan ibadah berdasar pada ijtihad, apalagi hawa nafsu. Sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah di dalam Fadhlul Islam,

العبادة توقيفية لا اجتهاد فيها برأي أو هوى

“Ibadah itu sifatnya tauqifi, tidak ada di dalamnya ijtihad dengan pendapat atau hawa nafsu.”

Sholat sunah dua raka’at bagi pengantin baru, sebelum mereka melakukan hubungan, adalah ibadah. 
Saat ada pernyataan sahabat yang menganjurkan sholat ini dan sanad riwayatnya shahih, ini menunjukkan bahwa legalitas ibadah ini pernah mereka dengar dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam. 
Karena tidak mungkin para sahabat melakukan bid’ah apalagi melahirkan Ibadah bid’ah. 
Sampai-sampai sahabat Hudzaifah radhiyallahu’anhu pernah mengatakan,

كل عبادة لا يتعبدها أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فلا تعبدوها

“Setiap ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, maka jangan kalian kerjakan.”

Pernyataan beliau ini dijadikan kaidah dalam perkara ibadah oleh para ulama.

Oleh karenanya, para ulama saat ditanya tentang hukum sholat sunah setelah akad nikah, mereka membolehkan. Seperti tersebut dalam fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berikut,

يروى في ذلك بعض الآثار عن بعض الصحابة صلاة ركعتين قبل الدخول ، ولكن ليس فيها خبر يعتمد عليه من جهة الصحة ، فإذا صلى ركعتين كما فعل بعض السلف فلا بأس ، وإن لم يفعل فلا بأس، والأمر في هذا واسع ، ولا أعلم في هذا سنةً صحيحة يعتمد عليها

“Ada beberapa atsar dari sejumlah sahabat tentang sholat dua raka’at sebelum dukhul (pengantin baru). 
Namun tidak ada hadis shahih yang bisa dijadikan dasar. 
Jika seorang melakukan sholat dua rakaat ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, tidak mengapa. 
Namun jika tidak mengerjakan juga tidak mengapa. 
Dalam hal ini longgar. 

Dan saya tidak tahu adanya dalil dari hadits Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang menjadi dasar sholat ini.”

Sama seperti sholat sunah dua raka’at lainnya, yang sedikit berbeda adalah :

– waktu pelaksanaannya, sholat ini dikerjakan sebelum melakukan dukhul (berhubung badan)

– dikerjakan secara berjamaah bersama pasangan.

Sebagaimana disingung dalam keterangan sahabat di atas.

Ada satu lagi….

– Jika dikerjakan di malam hari maka bacaan dijahr kan. 
Jika dikerjakan di siang hari maka bacaan disir kan. Sebagaimana yang berlaku pada sholat-sholat sunah yang dikerjakan di malam (bacaan jahr), dan siang (bacaan sir).

Wallahua’lam bis showab.

Rabu, 26 November 2025

LEGALITAS WAKAF UANG

Legalitas Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Islam.

Wakaf merupakan ibadah sosial dalam Islam yang berkelanjutan dan berkontribusi besar dalam kesejahteraan umat. 
Sebagai instrumen filantropi, wakaf telah mendukung berbagai fasilitas umum, seperti tempat ibadah, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang manfaatnya terus dirasakan masyarakat.

Secara tradisional, wakaf lebih dikenal dalam bentuk aset tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Banyak lembaga pendidikan, rumah sakit, dan masjid besar di dunia merupakan hasil wakaf dari individu maupun kelompok dermawan. 
Namun, seiring perkembangan zaman, konsep wakaf berkembang, salah satunya melalui wakaf uang, yang menjadi solusi bagi mereka yang ingin berwakaf tanpa memiliki aset tetap.

 
Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Positif

Wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf benda bergerak yang memiliki potensi besar dalam pengembangan ekonomi umat. 
Dalam hukum positif Indonesia, ketentuan mengenai wakaf uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan pelaksananya sebagai berikut:

 
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang telah ditunjuk.
Wakaf uang dilakukan dengan pernyataan kehendak wakif secara tertulis.
Wakaf uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat sebagai bukti sahnya penyerahan wakaf.
Sertifikat wakaf uang dikeluarkan oleh Lembaga Keuangan Syariah dan disampaikan kepada wakif serta nazhir.
Lembaga Keuangan Syariah mendaftarkan harta wakaf berupa uang kepada Menteri Agama dalam waktu tujuh hari kerja setelah sertifikat diterbitkan.
Untuk memperjelas mekanisme wakaf uang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Wakaf. Beberapa ketentuan yang diatur dalam peraturan ini mencakup:

 
Wakaf uang yang dapat diwakafkan harus dalam mata uang rupiah.
Jika uang yang akan diwakafkan berbentuk mata uang asing, maka harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.

Wakif diwajibkan untuk :

a. Hadir di Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) untuk menyatakan kehendaknya secara langsung.
b. Menjelaskan kepemilikan dan asal-usul uang yang diwakafkan.
c. Menyetorkan uang secara tunai ke LKS-PWU.
d. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakaf sebagai bukti sah perwakafan.

Jika wakif tidak dapat hadir langsung, ia dapat menunjuk wakil atau kuasa untuk melakukan proses wakaf uang.
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Uang dalam Undang-Undang

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang harus dilakukan sesuai prinsip syariah dan regulasi yang berlaku. 
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 menegaskan bahwa pengelolaan wakaf uang hanya boleh dilakukan melalui investasi pada produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan/atau instrumen keuangan syariah. 
Beberapa ketentuan penting dalam pengelolaan wakaf uang meliputi :

Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dilakukan melalui investasi pada produk keuangan syariah.
Jika Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) menerima wakaf uang dalam jangka waktu tertentu, maka nazhir hanya dapat mengelolanya di LKS tersebut.
Pengelolaan wakaf uang dalam bank syariah harus mengikuti program lembaga penjamin simpanan sesuai regulasi.
Jika wakaf uang diinvestasikan di luar bank syariah, maka harus diasuransikan dalam asuransi syariah.
 
Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan wakaf di Indonesia, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menerbitkan Peraturan BWI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf. 
Peraturan ini menjadi acuan dalam memastikan bahwa wakaf uang dapat dikelola dengan optimal untuk kepentingan umat.

Dalam peraturan BWI tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf uang dapat dilakukan dalam bentuk investasi di luar produk-produk Lembaga Keuangan Syariah atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. 
Persetujuan tersebut diberikan setelah Badan Wakaf Syariah (BWI) melakukan kajian atas kelayakan investasi yang dimaksud. 
Sebaran investasi wakaf uang (portofolio wakaf uang) dapat dilakukan dengan ketentuan 60% investasi dalam instrumen LKS dan 40% investasi di luar LKS.

 
Wakaf Uang dalam Putusan NU

Pembahasan mengenai wakaf uang telah menjadi salah satu topik dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002 yang diselenggarakan di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta. 
Dalam forum tersebut, para kiai menyepakati bahwa menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, serta sebagian ulama Hanafi, wakaf dalam bentuk uang tunai tidak dianggap sah karena tidak memenuhi syarat-syarat wakaf.

 
Namun, terdapat pandangan berbeda dari sebagian ulama Hanafi yang memperbolehkan wakaf uang, asalkan pengelolaannya dilakukan dengan cara yang tetap menjaga nilai pokoknya (Ahkamul Fuqaha’, halaman 572-573.)

Syekh Nizamuddin al-Barnahaburi bersama sekelompok ulama India menjelaskan bahwa wakaf dalam bentuk mata uang tidak sah. 

Hal ini dikarenakan uang tidak memenuhi kriteria harta wakaf, yaitu harta yang dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi atau menghabiskan wujud fisiknya.

 
Dengan kata lain, uang yang digunakan akan habis dalam transaksi, berbeda dengan aset seperti tanah atau bangunan yang tetap lestari meskipun dimanfaatkan. 
Oleh karena itu, menurut pandangan mereka, wakaf uang tidak memenuhi syarat sahnya wakaf dalam hukum Islam. 

وَأَمَّا وَقْفُ مَا لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ إِلاَّ بِاْلإِتْلاَفِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُوْلِ وَالْمَشْرُوْبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِيْ قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ. وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيْرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ 

Artinya, “Adapun mewakafkan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, seperti emas, perak, makanan, dan minuman, maka hukumnya tidak diperbolehkan menurut pendapat mayoritas ulama. Yang dimaksud dengan emas dan perak di sini adalah dirham, dinar, dan segala sesuatu yang bukan berupa perhiasan.” (Nizamuddin al-Barnahaburi dkk, Al-Fatawa Al-Hindiyyah, [Surabaya, Darul Ilmi: t.t.] jilid I, halaman 256)

 
Meskipun sebagian besar ulama menolak keabsahan wakaf uang, terdapat pandangan berbeda dari ulama mazhab Hanafi, salah satunya Syekh Ibnu Syihab az-Zuhri. Beliau berpendapat bahwa wakaf dengan uang diperbolehkan, sebagaimana pendapatnya yang dikutip oleh Imam al-Bukhari.

وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ.
 
Artinya, “Pendapat tentang sahnya mewakafkan dinar (uang) telah dinisbatkan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari dalam Shahih-nya. 

Beliau (Al-Bukhari) berkata bahwa Az-Zuhri berpendapat tentang seseorang yang menginfakkan seribu dinar di jalan Allah, lalu menyerahkannya kepada seorang budaknya yang bekerja sebagai pedagang agar uang tersebut diputar dalam perdagangan. 
Ia menetapkan bahwa keuntungannya akan disedekahkan kepada fakir miskin dan kerabat dekat.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, [Bairut, Darul Ibnu Hazm: 1997], halaman 20-21).

Bagi ulama yang membolehkan wakaf uang, pelaksanaannya dilakukan dengan menjadikannya sebagai modal usaha. 
Dalam praktiknya, uang wakaf tidak langsung diberikan kepada penerima manfaat (mauquf ‘alaih), tetapi dikelola terlebih dahulu dalam bentuk investasi syariah, seperti mudharabah atau mekanisme lainnya yang memastikan nilai pokoknya tetap terjaga.

Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tersebut kemudian disalurkan kepada pihak yang berhak menerima manfaat sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan cara ini, wakaf uang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, sekaligus menjaga nilai pokoknya agar tetap lestari.

وَقِيْلَ فِيْ مَوْضِعٍ تَعَارَفُوا ذَلِكَ يُفْتَى بِالْجَوَازِ. قِيْلَ كَيْفَ: قَالَ الدَّرَاهِمُ تُقْرَضُ لِلْفُقَرَاءِ ثُمَّ يَقْبِضُهَا أو تُدْفَعُ مُضَارَبَةً بِهِ وَيَتَصَدَّقُ بِالرِّبْحِ .
 
Artinya, “Dikatakan bahwa di tempat di mana masyarakat telah terbiasa dengan praktik tersebut, maka fatwa yang diberikan adalah membolehkannya. 
Ketika ditanya bagaimana caranya, beliau berkata: Dirham (uang) tersebut dapat dipinjamkan kepada fakir miskin, lalu setelahnya dikembalikan. 
Bisa juga diserahkan sebagai modal mudharabah (kerja sama dagang), di mana keuntungannya disedekahkan.” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad al-Hanafi, 20-21).

Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai wakaf uang, terlihat bahwa hukum Islam memberikan ruang bagi ijtihad dalam menyesuaikan praktik wakaf dengan kebutuhan umat. 

 
Meskipun mayoritas ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak keabsahan wakaf uang, pandangan ulama Hanafi yang memperbolehkan praktik ini dengan syarat pengelolaan yang menjaga nilai pokoknya memberikan alternatif bagi umat Islam dalam memanfaatkan instrumen keuangan modern.

Dalam konteks ekonomi Islam saat ini, wakaf uang memiliki potensi besar dalam memberdayakan masyarakat secara berkelanjutan. 
Dengan pengelolaan yang sesuai prinsip syariah, wakaf uang dapat menjadi instrumen pemberdayaan sosial dan ekonomi, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak orang.

Oleh karena itu, penting bagi lembaga pengelola wakaf untuk memastikan bahwa wakaf uang dikelola dengan amanah, profesional, dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah agar maslahatnya dapat terus lestari.

Semoga bermanfaat.
Wallahu A'lam.

Rabu, 19 November 2025

LAKUKAN LIMA HAL SEBELUM WAFAT

Lakukan 5 hal saat sakaratul maut.

Setiap makhluk yang hidup akan mati, demikian pula kita manusia, makhluk Allah yang paling sempurna ini. Namun kapan kematian itu datang menjemput, itu merupakan rahasia Allah swt.

Manusia mengalami fase lahir, tumbuh, sehat dan kuat, lalu kemudian melemah dan mati. Disebutkan dalam firman Allah tentang proses kehidupan manusia  ini dalam surat At-Tin:

 لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِيٓ أَحۡسَنِ تَقۡوِيمٖ ثُمَّ رَدَدۡنَٰهُ أَسۡفَلَ سَٰفِلِينَ.

Artinya: Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (QS. At-Tin[95]: 4-5). 

Kondisi serendah-rendahnya mengandung pengertian bahwa manusia akan mengalami tidak terlemah, yaitu menderita sakit. Saat sakit tersebut, terdapat dua kemungkinan, sembuh atau meninggal dunia. 

Pada saat manusia sudah pada posisi seperti ini, sudah seharusnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar menemui akhir hayat dalam keadaan yang terbaik husnul khatimah. 

Dilansir dari NU Online, untuk meraih predikat ini, Rasulullah mencontohkan berbagai doa dan amalan dalam sakit yang menyebabkan wafat beliau. Diriwayatkan dalam kitab at-Turmudzi dan Sunan Ibn Majjah, dari Sayyidah ‘Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata, ”Saya melihat Rasulullah dalam sakitnya (menjelang kematian) mengambil wadah berisi air kemudian memasukkan tangan ke dalamnya, dan mengusapkan ke wajah seraya berdoa:

 اللهم أَعِنِّيْ عَلَى غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَسَكَرَاتِ الْمَوْتِ.

Artinya: Ya Allah tolonglah aku dalam menghadapi sakaratul maut. Dalam hadits yang lain, sayyidah ‘Aisyah menceritakan, “(dalam sandaranku) saya mendengar Rasulullah membaca doa”: 

 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَارْحَمْنِيْ وَأَلْحِقْنِيْ بِالرَّفِيْقِ اْلأَعْلَى .

Artinya: Ya Allah, ampuni, rahmati, dan pertemukan aku dengan Kekasih Yang Maha Tinggi. 

Syekh Nawawi dalam kitab al-Adzkar menyatakan, menambahkan, terdapat berbagai kebaikan yang bisa dilakukan seseorang menjelang ajalnya, yaitu:

Pertama, sunnah bagi orang yang sakit menjelang kematian memperbanyak syukur kepada Allah, baik dengan hati maupun lisannya. Meyakini bahwa waktu tersebut adalah akhir kehidupan di dunia, bersungguh-sungguh mempersiapkan diri di akhir kehidupannya dengan melakukan hal terbaik, menyegerakan pembebasan hak-hak adami (muamalah), seperti dalam hubungan keluarga, pertemanan, dan tetangga.  

Kedua, berwasiat kepada yang akan ditinggal terkait urusan anak-anaknya dan utang piutang. Ia juga harus berbaik sangka husnuzdzhan kepada Allah atas rahmat  kepadanya, rendah diri di hadapan Allah, dan berharap ampunan, kebaikan, serta kenikmatan hanya kepada Allah. 

Ketiga, disunnahkan memperbanyak membaca atau mendengarkan bacaan al-Qur’an, hadits, kisah orang-orang saleh ketika meninggal dunia, menambah kebaikan setiap waktu, menjaga shalat, menjauhi najis, dan konsisten mengamalkan amalan agama lainnya.  

Keempat, berwasiat kepada keluarga agar sabar dengan penyakit yang diderita, sabar terhadap musibah, dan menjauhi tangisan yang dilarang agama, yakni meratap, merobek kantong, memukul pipi, dan sebagainya. 

  ولا بأس بالبكاء على الميت من غير نوح ولا شق جيب ولا ضرب خد.

Artinya: Tidak mengapa menangisi jenazah tanpa meratap, merobek kantong, dan memukul pipi. (Taqiyyuddin Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr: 1994 M/1414 H], juz I, halaman 137-138).  

Kelima, jika sudah mendekati ajal, disunnahkan memperbanyak bacaan tahlil, laa ilaaha illallah. 
Merujuk hadits nabi dalam Sunan Abi Dawud dan lainnya: 

من كان أخر كلامه لااله الا الله دخل الجنة.

Artinya: Barangsiapa akhir perkataannya laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga.

Merujuk hadits-hadits lain riwayat Muslim, Sunan Abi Dawud dan lainnya: 

  لقنوا موتاكم لااله الا الله 

Artinya: Ajarilah orang-orang yang menghadapi kematian agar melafalkan laa ilaaha illallah. 

Demikian lima cara agar kita dimudahkan dalam menghadapi sakaratul maut. Semoga kita bisa mengakhiri hidup ini dengan akhir yang baik (husnul khatimah), menjadi orang yang beruntung tidak hanya di dunia namun juga akhirat."
Wallahu A'lam

MEMANDIKAN JENAZAH

Memandikan Jenazah

Ketika ada orang yang meninggal dunia, ada empat kewajiban yang harus kita lakukan kepadanya. Kewajiban itu adalah memandikan, mengafani, menshalati, dan mengubur.
 
Memandikan adalah proses yang pertama kali dilakukan dalam memulasaran jenazah sebagai tindakan memuliakan dan membersihkan tubuh si mayit. Ada aturan dan tata cara tertentu yang mesti dilakukan dalam memandikan mayit.  

Para ulama menyebutkan ada dua cara yang bisa dilakukan dalam memandikan jenazah,

Pertama, cara minimal. 
Yaitu memandikan jenazah yang sudah memenuhi makna mandi dan cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap jenazah.   

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menuturkan dalam kitabnya Safînatun Najah:

أقل الغسل تعميم بدنه بالماء

Artinya: Paling sedikit memandikan jenazah (mayit) adalah dengan meratakan air ke seluruh anggota badan.  
 
Sedikit lebih rinci secara teknis cara ini dijelaskan oleh Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, yaitu dengan menghilangkan najis yang ada di tubuh mayit kemudian menyiramkan air secara merata ke tubuhnya. Bila cara ini telah dilakukan dengan benar dan baik maka mayit bisa dikatakan telah dimandikan dan gugurlah kewajiban orang yang hidup terhadap si mayit.   

Kedua, yakni cara memandikan jenazah secara sempurna sesuai dengan sunnah. Syekh Salim menjelaskan terkait cara kedua ini:
 
وأكمله ان يغسل سوأتيه وأن يزيل القذر من أنفه وأن يوضأه وأن يدلك بدنه بالسدر وأن يصب الماء عليه ثلاثا.
 
Artinya: Dan sempurnanya memandikan jenazah adalah membasuh kedua pantatnya, menghilangkan kotoran dari hidungnya, mewudhukannya, menggosok badannya dengan daun bidara, dan mengguyunya dengan air sebanyak tiga kali.
 
Secara teknis Musthafa Al-Khin menjelaskan sebagai berikut:

1. Jenazah diletakkan di tempat yang sepi di atas tempat yang tinggi seperti papan kayu atau lainnya dan ditutup auratnya dengan kain. Sekarang sudah ada alat semacam keranda untuk memandikan jenazah yang terbuat dari bahan aluminium atau stenlis. 

2. Orang yang memandikan memposisikan jenazah duduk sedikit miring ke belakang dengan ditopang tangan kanannya, sementara tangan kirinya mengurut bagian perut jenazah dengan penekanan agar apa yang ada di dalamnya keluar. Lalu yang memandikan membungkus tangan kirinya dengan kain atau sarung tangan dan membasuh lubang depan dan belakang si jenazah. 
 
3. Kemudian membersihkan mulut dan hidungnya lalu mewudhukannya sebagaimana wudhunya orang hidup.   
 
4. Membasuh kepala dan muka si jenazah dengan menggunakan sabun atau lainnya dan menyisir rambutnya bila memiliki rambut. Bila ada rambut yang tercabut maka dikembalikan lagi ke asalnya untuk ikut dikuburkan.   
 
5. Membasuh seluruh sisi kanan tubuh dari yang dekat dengan wajah, kemudian berpindah membasuh sisi kiri badan juga dari yang dekat dengan wajah. 
 
6. Membasuh bagian sisi kanan dari yang dekat dengan tengkuk, lalu berpindah membasuh bagian sisi kiri juga dari yang dekat dengan tengkuk. 

Dengan cara itu semua orang yang memandikan, meratakan air ke seluruh tubuh si mayit. Ini baru dihitung satu kali basuhan. Disunnahkan mengulangi dua kali lagi sebagaimana basuhan tersebut sehingga sempurna tiga kali basuhan. Disunnahkan pula mencampur sedikit kapur barus di akhir basuhan bila si mayit bukan orang yang sedang ihram.   

Syekh Nawawi dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menuturkan, disunnahkan basuhan pertama dengan daun bidara, basuhan kedua menghilangkan daun bidara tersebut, dan basuhan ketiga dengan air bersih yang diberi sedikit kapur barus yang sekiranya tidak sampai merubah air. 

Ketiga basuhan ini dianggap sebagai satu kali basuhan dan disunahkan mengulanginya dua kali lagi seperti basuhan-basuhan tersebut.  

Lalu siapakah yang boleh memandikan jenazah? Menurut Musthafa Al-Khin, mayit laki-laki harus dimandikan oleh orang laki-laki dan sebaliknya jenazah perempuan harus dimandikan oleh orang perempuan. Hanya saja seorang laki-laki boleh memandikan istrinya dan seorang perempuan boleh memandikan suaminya.  

Satu hal yang juga perlu diketahui, bahwa disyariatkan memandikan mayit adalah dalam rangka memuliakan dan membersihkannya. Ini wajib dilakukan kepada setiap mayit Muslim kecuali orang yang mati syahid di dalam peperangan."

AIR DIKOLAM TERCAMPUR NAJIS

Hukum Air Kolam Tercampur Najis untuk Bersuci

Setiap manusia tidak akan pernah terlepas dengan benda berupa air. Karena air merupakan sumber primer bagi kehidupan manusia. Begitupun dengan kehidupan seorang Muslim yang mewajibkan sehari semalam menggunakan air. 

Bagi seorang Muslim, air bukan hanya sebagai media membersihkan sesuatu benda, tetapi juga untuk mensucikan najis dan menghilangkan hadats. Seperti digunakan untuk wudhu, mandi besar, membersihkan kotoran manusia, hewan, dan sebagainya. 

Air bagi umat Islam harus senantiasa suci dan tercukupi kapasitasnya, karena jika tidak, maka tidak akan bisa mensucikan suatu benda, hanya cukup membersihkan saja. Karena itu bagi Mazhab Syafi’i air yang digunakan harus dijaga dari sesuatu yang dapat merubah status air, seperti kemasukan najis dan sebagainya. 

Lalu, bagaimana jika ada suatu kolam yang airnya digunakan untuk menghilangkan hadats kecil (wudhu) dan hadats besar (mandi junub) kemasukan sebuah najis. Apakah airnya masih bisa digunakan untuk bersuci atau tidak?

Pada dasarnya air kolam yang volume sangat banyak hukumnya tetap suci mensucikan (thahir muthahhir) selagi tidak berubah lantaran terkena najis tadi. 

Akan tetapi jika sudah sangat nyata berubah airnya, mulai dari rasa, warna, dan bau lantaran najis tadi. Maka hukum airnya juga menjadi najis dan tidak bisa digunakan untuk mensucikan. 

Keterangan ini dinukil dari kitab Kaasyifatus Sajaa, bab faslun fil maak, halaman 2.

عبارتها: والماء الكثير لا يتنجس إلاإذا تغير طعمه اولونه اوريحه.

Ibaaratuhaa: wal maaul katsiiru laa yatanajjasu illaa idzaa taghayyara tha'muhuu au launuhuu au riichuhuu

Artinya: Air banyak tidak lah najis kecuali jika sudah berubah rasa, warna dan baunya.

Dari keterangan dalil di atas, maka hukum sebuah kolam jika kemasukan sebuah najis dan tidak berubah rasa, warna dan baunya, maka dihukumi tetap suci dan mensucikan. Akan tetapi jika berubah karena sebab najis tersebut, maka status air juga ikut najis. Wallahua’lam

AIR DIEMBER TERKENA PERCIKAN AIR MUSTA'MAL

Air di Ember Terkena Percikan Air Musta’mal, Bolehkah untuk Bersuci?

Bersuci merupakan bagian dari ibadah dalam agama, karena bisa menjadi syarat sahnya suatu ibadah yang lain. 
Baik bersuci karena hadats kecil (seperti kentut, buang air besar dan kecil) maupun hadats besar (seperti setelah bersenggama). 

Bersuci menggunakan air harus memenuhi beberapa kriteria, seperti lebih dari dua kulah (± 216 liter) lebih. 
Ketika kurang dari dua kulah, seperti air dalam ember, maka penggunaanya harus hati-hati, bisa disiasati dengan kran air atau gayung. 

Masalah muncul ketika sedang mandi besar kemudian ada percikan air yang masuk pada ember tersebut. 
Pertanyaannya, apakah status air itu dapatkan digunakan untuk bersuci (melanjutkan mandinya)?   

Didalam kasus ini perlu diperjelas bahwa ada 2 jenis air :

Pertama, air mutlak, yaitu air suci mensucikan yang berada dalam ember tersebut. 

Kedua, air musta’mal, yaitu percikan air mandi besar yang bersumber dari ember tersebut.

Dijelaskan dalam kitab Taqrirat as-Sadidah: 

معنى المستعمل : ما استُعمل في فرض الطهارة. شروط الماءِ المُستَعْمَلِ أربعة : 
١ - أن يكون قليلاً، أي : دونَ القُلتَين . 
٢ - أن يُستعمَلَ فيما لا بدَّ منه أي فرضِ الطَّهارة، رفع الحدث أو  إزالة النجس. 
٣ ـ أن ينفصل عن العضو فما دام متردداً على العضو فلا يُسمى مستعمل. 
٤ـ أن لا ينوي ،الاغتراف فإذا نوى الاغتراف لم يكن الماء الباقي مستعملاً .

Artinya: Makna air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci wajib. 
Adapun syarat air musta’mal ada empat: 
(1) Airnya sedikit, yakni kurang dari dua kulah. 
(2) Airnya sudah digunakan untuk sesuatu yang harus. Maksudnya, bersuci wajib, menghilangkan hadats atau menghilangkan najis. 
(3) Airnya telah terpisah dari anggota tubuh, maka selama air masih berada dalam anggota tubuh tidak dinamakan dengan air musta’mal. 
(4) Tidak niat igtirof (menciduk) maka jika seorang niat menciduk, air sisanya bukanlah air musta’mal (Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, Taqrirat as-Sadidah Fi Masail al-Mufidah, [Tarim, Darul Ilmi Wadda'wah: 2003], halaman 59-60).   

Setelah jelas status percikan air bekas mandi merupakan air musta’mal, lalu bagaimana status air dalam ember yang terkena percikan air? 

Secara konsep fiqih, bila air musta’mal mencampuri air mutlak dinamakan dengan air mutaghayyir taqdiri, yaitu perubahan air karena bercampur dengan cairan yang mempunyai kesamaan sifat kemudian airnya sampai berubah. 
Berikut dijelaskan dalam Fathul Qarib: 

ومن هذا القسم الماءُ المتغير أحدُ أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من الطاهرات) تغيُّرًا يمنع إطلاق اسم الماء عليه؛ فإنه طاهر غير طهور، حسيا كان التغير أو تقديريا؛ كأن اختلط بالماء ما يوافقه في صفاته، كماء الورد المنقطع الرائحة والماء المستعمل؛ ad    فإن لم يمنع اطلاق اسم الماء عليه، بأن كان تغيّره بالطاهر يسيرا أو بما يوافق الماء في صفاته، وقدر مخالفا ولم يغيره فلا يسلب طهوريته؛ فهو مطهر لغيره.   

Artinya: Tergolong dari bagian ketiga yaitu air yang berubah salah satu dari beberapa sifatnya akibat suatu benda suci yang mencampurinya dengan kadar berubah yang dapat merusak kemutlakan nama air tersebut. 
Maka dengan demikian air yang berubah tersebut suci tapi tidak bisa mensucikan, baik berubah secara nyata (bisa dibuktikan dengan panca indra), atau perkiraan saja, contohnya air kecampuran suatu benda yang ada kesamaan sifatnya. 
Seperti air mawar yang sudah tak berbau dan air musta’mal. Apabila tidak sampai merusak kemutlakan nama air, misalnya berubahnya air tadi disebabkan tercampur dengan benda suci dengan kadar berubah sedikit, atau bercampur dengan benda yang kebetulan mempunyai sifat yang persis dengan air, dan dikira-kira dengan perkara lain (yang memiliki sifat yang sedang) air tidak sampai berubah. 
Maka kalau demikian, status air tetap suci dan mensucikan pada yang lain (Muhammmad ibn Qasim ibn Muhammad al-Ghazi, Fathul Qorib al-Mujib).

Berpijak dari realita bahwa perubahan yang disebabkan oleh air musta’mal tidak dapat terdeteksi oleh indra, maka perlu meminjam benda lain sebagai tolok ukur untuk mengidentifikasi ada tidaknya perubahan dalam air. 
Dalam hal ini yang menjadi acuannya adalah; rasa menggunakan rasa delima, warna menggunakan warna perasan anggur, bau menggunakan bau ladzan (sejenis minyak wangi) (Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, Tusyikh ala Fathil Qorib al-Mujib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.th.t] halaman 22).    

Sederhananya, jika ada cairan yang sifatnya sama dengan air semisal air musta’mal mencampuri air mutlak untuk mengetahui berubah atau tidak perlu mengira-ngirakan dengan baunya delima, warna perasan angur dan baunya ladzan (sejenis minyak wangi).    

Contoh, ada air musta’mal satu gelas mencampuri air mutlak satu ember, maka dikira-kirakan jika delima satu gelas dicampurkan ke dalam air satu ember mengubah rasanya atau tidak. 
Jika air perasan anggur satu gelas dimasukan ke dalam air satu ember mengubah warnanya atau tidak. 

Jika ladzan satu gelas dicampurkan ke dalam air satu ember mengubah baunya atau tidak. 
Jika berubah, maka dinamakan dengan air mutaghayir taqdiri dan statusnya air suci tapi tidak dapat mensucikan, namun jika tidak mengubah, maka airnya tetap suci mensucikan.    

Dalam madzhab Syafi'i melakukan cara sebagaimana di atas merupakan cara yang paling kuat sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhlatu at-Thalibin.

إِذَا اخْتَلَطَ بِالْمَاءِ الْكَثِيرِ أَوِ الْقَلِيلِ مَائِعٌ يُوَافِقُهُ فِي الصِّفَاتِ، كَمَاءِ الْوَرْدِ الْمُنْقَطِعِ الرَّائِحَةِ، وَمَاءِ الشَّجَرِ، وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ، فَوَجْهَانِ. أَصَحُّهُمَا: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ قَدْرًا لَوْ خَالَفَ الْمَاءَ فِي طَعْمٍ أَوْ لَوْنٍ أَوْ رِيحٍ لَتَغَيَّرَ التَّغَيُّرَ الْمُؤَثِّرَ، سَلَبَ الطَّهُورِيَّةَ، وَإِنْ كَانَ لَا يُؤَثِّرُ مَعَ تَقْدِيرِ الْمُخَالِفَةِ، لَمْ يَسْلُبْ    وَالثَّانِي: إِنْ كَانَ الْمَائِعُ أَقَلَّ مِنَ الْمَاءِ، لَمْ يَسْلُبْ. وَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ مِنْهُ أَوْ مِثْلَهُ، سَلَبَ. وَحَيْثُ لَمْ يَسْلُبْ، فَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ الْجَمِيعَ.

Artinya: Jika ada cairan yang bercampur dengan air yang banyak atau sedikit yang mana cairan tersebut menyamai air itu dalam sifat-sifatnya, seperti air bunga yang sudah tidak berbau, atau air pohon, atau air musta’mal maka ada dua pendapat. 
Pendapat yang paling kuat adalah, jika cairan itu mencapai suatu kuantitas yang seandainya berbeda dengan air (mutlak) dalam hal rasa, warna, dan bau maka air tersebut akan berubah dengan perubahan yang mempengaruhi, maka cairan tersebut menghilangkan sifat kesucian air. 
Tetapi jika kuantitasnya tidak mempengaruhi dengan memperkirakan adanya perbedaan sifat, maka itu tidak menghilangkan sifat kesuciannya. 
Pendapat kedua, jika volume cairan yang mempunyai sifat sama dengan air mutlak lebih sedikit, maka tidak menghilangkan sifat kesuciannya. 
Namun, jika volumenya lebih banyak atau menyamai air mutlak yang dicampuri maka menghilangkan sifat kesuciannya. 
Dan ketika tidak menghilangkan sifat kesuciannya, maka menurut pendapat yang shahih keseluruhan airnya dapat digunakan (Abu Zakariya Muhyiddin Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Raudhlatu at-Thalibin, [Beirut, Maktabah Islamiyah: 1412 H] juz 1, halaman 12).   

Maka status air mutlak di dalam ember yang terkena percikan air bekas mandi wajib yang statusnya air musta’mal adalah tetap suci mensucikan dan dapat digunakan untuk bersuci, karena sedikitnya percikan air musta’mal yang masuk ke dalam ember, dan jika dikira-kirakan dengan 3 hal di atas airnya tidak berubah dengan perubahan yang menghilangkan kemutlakan nama air.    

Selain itu, perlu diketahui mengira-ngirakan sebagaimana di atas hukumnya sunah bukan wajib, sehingga jika seorang langsung menggunakan air yang tercampur air musta’mal tanpa terlebih dahulu mengira-ngirakan itu tidak menjadi masalah, karena hakikatnya ia dalam keadaan ragu dalam perubahannya sedangkan hukum asalnya adalah tidak berubah. 
Syekh Nawawi menerangkan tentang hal tersebut dalam kitabnya Kasyifatus Saja sebagai berikut: 

واعلم أن تقدير المذكور منذوب لا واجب فلو هجم شخص واستعمل الماء أجزأ ذلك إذ غاية الأمر انه شاك في التغير المضر والأصل عدمه.
Artinya: Ketahuilah! Sesungguhnya mengira-ngirakan yang disebutkan di atas hukumnya sunah, tidak wajib. Jadi apabila seseorang langsung menggunakan air (yang tercampur dengan air musta’mal tersebut) maka sudah mencukupi baginya. Karena hakikatnya ia ragu tentang perubahan yang membahayakan air sedangkan hukum asalnya adalah tidak adanya perubahan tersebut (Muhammad ibn Umar Nawawi al-Jawi, Syarah Kasifatus Saja ala Safinatun Naja, [Surabaya, Al-Haramain: t.th] halaman 24-25).   

Pendapat kedua dalam madzhab Syafi’i dapat menjadi solusi untuk orang awam karena lebih mudah, di mana cukup melihat jika air musta’mal yang mencampuri volumenya lebih sedikit maka airnya tetap suci mensucikan. 

Namun, jika air musta’mal yang mencampuri lebih banyak atau sama volumenya dengan air mutlak yang dicampuri, maka status airnya adalah air muthayyir taqdiri yang suci tapi tidak mensucikan."
Waallahu a'lam.

Minggu, 16 November 2025

BEDANYA RUKUN DAN WAJIB

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، وبعد:

أولا :
الفرق بين الركن والواجب في الصلاة : أن الركن لا يسقط عمدا ولا سهوا ولا جهلاً ، بل لابد من الإتيان به .
أما الواجب : فيسقط بالجهل والنسيان ، ويجبر بسجود السهو .

والله أعلم

RAGU AL-FATIHAH DIBACA APA BELUM...?

Makmum Ragu Sudah Baca al-Fatihah atau Belum, Bagaimana Seharusnya?

Ketika menjalankan shalat, baik wajib ataupun sunnah, baik sendirian ataupun berjamaah, sebagai imam maupun makmum, menurut mazhab Syafi’i, masing-masing orang harus membaca Surat al-Fatihah dalam setiap rakaatnya karena ia merupakan salah satu rukun qauli yang harus dibaca dengan standar minimal mushalli (orang shalat) sendiri bisa mendengarkan suaranya sendiri.

Mungkin sebagian orang pernah mengalami tidak dalam konsentrasi penuh ketika menjadi makmum shalat. Ketika imam sudah ruku’, makmum baru tersadar dari lamunannya, dan masih dalam keadaan berdiri. Saat hendak menyusul ruku’-nya imam, tiba-tiba makmum muncul keragu-raguan apakah sudah benar-benar membaca Surat al-Fatihah atau belum. Bagaimana sikap yang seharusnya ia lakukan?

Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayatuz Zain menyatakan:

من شكّ قبل رُكُوعه وَبعد رُكُوع إِمَامه هَل قَرَأَ الْفَاتِحَة أم لَا فَيجب عَلَيْهِ التَّخَلُّف لقراءتها وَيغْتَفر لَهُ ثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة

Artinya: “Barangsiapa yang ragu saat ia belum melaksanakan ruku’, namun imamnya sudah terlanjur ruku’, apakah dia tetap harus membaca al-Fatihah atau tidak? (Jawabnya), maka dia harus menahan shalatnya dahulu (dalam keadaan berdiri), ia diberi toleransi sampai tiga rukun panjangnya imam” (Syekh Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Darul Fikr], hlm. 125).

Pernyataan Syekh Nawawi di atas mengisyaratkan bahwa makmum yang ragu sudah membaca al-Fatihah atau belum, hukumnya dianggap belum membaca al-Fatihah. Dalam masalah keragu-raguan, fiqih selalu mengambil titik paling aman. Jika ada pertanyaan sudah membaca al-Fatihah atau belum? Secara legal formal fiqih pasti akan menjawab “belum”. Sama seperti orang yang dengan jelas sudah melakukan wudhu, lalu ia ragu-ragu sudah batal atau belum, maka jawabnya adalah belum batal. Contoh lain, jika ada orang jelas-jelas sudah batal wudhunya, berikutnya ia ragu-ragu sudah wudhu atau belum, jawabnya belum wudhu.

Jadi apabila tentang keraguan antara “sudah” atau “belum” membaca al-Fatihah, maka dimenangkan adalah “belum”. Pijakan ini sesuai dengan kaidah:
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

Artinya: “Pada dasarnya, suatu hal itu tetap berada pada status sebelumnya” (Jalaludin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadzair, [DKI: 1990], hlm. 51).

Aturan baku sebelumnya, seorang makmum dilarang mendahului dan tertinggal dengan gerakan imam sebanyak dua rukun berturut-turut. Namun karena muncul permasalah tentang ragu seperti di atas, makmum tertinggal sampai tiga kali rukun yang panjang secara berurutan. Menurut sebagian ulama, dalam shalat terdapat klasifikasi rukun pendek dan rukun panjang. Rukun panjang adalah target utama rukun shalat, sedangkan rukun pendek adalah pemisah antara rukun panjang satu dengan rukun panjang yang lain. Ringkasnya, rukun panjang yang sebagai target utama shalat adalah ruku’ dan sujud. Adapun i’tidal hanya sebagai pemisah antara ruku’ dan sujud yang pertama. Begitu pula duduk di antara dua sujud, dia hanya sebagai pemisah antara sujud pertama dengan sujud kedua. Dengan demikian, ruku’ dan sujud masing-masing adalah rukun panjang (thawil) sedangkan i’tidal dan duduk di antara dua sujud adalah rukun pendek (qashir).

(قوله: فكانا) أي الجلوس والاعتدال. (وقوله: قصيرين) أي ركنين قصيرين.

Artinya: “Maka keduanya (duduk dan i’tidal), keduanya merupakan rukun yang pendek. (Abu Bakar bin Muhammad Syatho ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, [Darul Fikr, 1997], juz 1, hlm. 195.

Melalui penjelasan kitab I’anatuth Thalibin, dapat diketahui bahwa makmum yang ragu sudah membaca al-Fatihah atau belum, sedangkan imamnya sudah terlanjur ruku’, ia diberi kesempatan untuk tertinggal tiga rukun panjangnya imam. 
Dalam hal ini, makmum masih berdiri, imam sudah melampauinya melaksanakan (1) ruku’, 
(2) sujud yang pertama, dan 
(3) sujud yang kedua. 
Berarti makmum yang membaca al-Fatihah pada masalah ini, waktunya diberi kelonggaran sampai imam melakukan sujud yang kedua. Apabila saat makmum membaca al-Fatihah tadi melebihi durasi toleransi, misalnya sampai imam berdiri untuk melakukan rakaat berikutnya, maka shalatnya makmum menjadi batal karena terlalampau jauh tertinggal. Solusinya, jika terpaksa tidak cukup waktu, makmum bisa niat memisahkan diri dengan imam apabila dirasa waktunya tidak cukup. 
Yang penting tidak membatalkan shalat di tengah-tengah begitu saja.

Selanjutnya, bagaimana jika keraguan makmum perihal sudah membaca al-Fatihah tersebut muncul ketika makmum terlanjur sudah ruku’, imamnya juga sudah ruku’?

Jika makmum ragu-ragu ketika ia sudah terlanjur ruku’ ke belakang, makmum harus mengikuti shalatnya imam. Setelah imam salam, ia baru mengganti rakaat sejumlah yang ia ragukan sudah baca al-Fatihah atau belum. Syekh Nawawi melanjutkan dalam kitabnya:

فَإِن كَانَ ذَلِك بعد رُكُوعه وركوع إِمَامه لم يجز لَهُ الْعود إِلَى الْقيام بل يُوَافق إِمَامه ويتدارك بعد سَلام الإِمَام مَا فَاتَهُ.

Artinya: “Apabila keraguan makmum tersebut muncul setelah ia sudah ruku’ dan imamnya juga sudah ruku’, maka bagi makmum dilarang balik lagi berdiri untuk membaca al-Fatihah, namun ia harus menjalankan shalat sesuai imamnya, kemudian setelah imam selesai, ia menambah rakaat sesuai hitungan jumlah berapa rakaat yang ia ragukan.” (Syekh Nawawi, Nihayatuz Zain¸ hlm. 51)

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makmum yang ragu—apakah ia sendiri sudah membaca atau belum—ia dihukumi belum membaca. Apabila keraguannya ini muncul sebelum ia ruku’, maka ia tetap harus membaca al-Fatihah dengan toleransi waktu harus selesai sampai imam sujud kedua. Apabila keraguannya keluar ketika ia sudah posisi ruku’, ia harus mengikuti gerakan imam, lalu setelah imam salam, ia mengganti rakaat yang ia ragukan bacaan fatihahnya. 
Wallahu a’lam.

LUPA BACA FATIHAH KETIKA SHALAT

Lupa Baca Al-Fatihah Ketika Shalat
Membaca surah al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat. Siapaun yang sengaja meninggalkannya, maka shalatnya tidak sah. Demikian kesepakatan para ulama berdasar pada hadits Rasulullah saw

لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca al-fatihah

Namun, tidak demikian jika bacaan al-Fatihah tetinggal karena lupa ataupun lalai tanpa sengaja. Hal ini tidak serta merta membatalkan shalat asalkan diganti dengan segera, walaupun sedang mengerjakan rukun lain. Misalkan seseorang dalam rakaat keduanya lupa membaca al-Fatihah, ia baru teringat ketika hendak sujud. Maka segeralah kembali berdiri mengulangi rekaat keduanya dengan sempurna (membaca al-Fatihah) dan disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Karena ia telah melakukan sebuah kesalahan yang jika disengaja membatalkan shalat.

Akan tetapi, jika orang tersebut (yang lupa membaca al-Fatihah dalam rakaat kedua) baru teringat ketika shalat telah usai, maka solusinya dapat diperinci menjadi dua. Pertama, jika ia ingat beberapa saat setelah salam (kurang lebih satu menit) maka wajib baginya berdiri untuk mengulangi rakaat kedua itu dan menyempurnakan sisa shalatnya. Seperti yang diterangkan dalam Khasyiyah Syarqawi:

فالفرض لا ينوب عنه سجود السهو بل إن ذكره أى الفرض وهو فى الصلاة أتى به وتمت صلاته أو ذكره بعد السلام والزمان قريب أتى به وبنى عليه ما بقىي من الصلاة وسجد السهو

Bahwa fardhu (rukun) tidaklah dapat diganti dengan sujud sahwi, bahkan jika diingatnya fardhu itu, sedang ia masih dalam shalat. Hendaklah disempurnakan shalatnya itu. Atau jika ingatan itu datang beberapa waktu (dekat) setelah shalat usai, maka segeralah membenahi kesehalan itu dan menyempurnakan shalatnya serta disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi

Kedua, jika ia ingat setelah beberapa lama (kurang lebih tiga menita) maka shalatnya dianggap rusak dan segeralah mengulanginya lagi. Demikian keterangan dari Khasyiyah a-Bajuri:

فان لم يكن الزمان قريبا عرفا أو بأن زاد على القدر المتقدم إتأنف الصلاة

Jika (renggang waktu lupa dan ingat) itu cukup lama menurut ukuran kebiasaan (‘urf), maka diulangilah sembahyang itu dari semula.
Allahu A'lam.

Kamis, 13 November 2025

SYUKUR NI'MAT

Syukur kepada Allah

Bersyukur adalah kalimat yang, barangkali, mudah diucapkan. Banyak juga orang yang mengingatkan orang lain untuk bersyukur, namun kenyataanya banyak pula orang belum bisa atau tidak bisa untuk menunjukkan sikap syukur kepada Alah atas nikmat yang diterimanya.

Agar kita lebih paham bersyukur yang pada gilirannya terus bisa menujukkan sikap syukur dalam kehidupan sehari-hari ada baiknya memahami pengertian tentang syukur dimaksud.

1. Berasal dari bahasa arab dengan kata dasar “syakara” yang artinya berterima kasih, bentuk masdar dari kalimat ini adalah syukr, syukraan yang artinya rasa terima kasih.
2. Syukur dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah SWT, dan untunglah (menyatakan perasaan lega, senang dan sebagainya).
3. Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan hakikat kekufuran adalah menyembunyikannya. 

Di sisi lain Allah menyampaikan pengertian tentang syukur dalam Al-Qur’an. Paling tidak ada tiga ayat yang dikemukakan tentang pengertian syukur:


1. Syukur adalah mensyukuri nikmat Tuhan-Nya dan berpikir tentang cipataan-Nya dengan mengingat limpahan karunia-Nya.

وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ خِلۡفَةٗ لِّمَنۡ أَرَادَ أَن يَذَّكَّرَ أَوۡ أَرَادَ شُكُورٗا ٦٢ 


“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS Al-Furqan/25: 62)

2. Syukur adalah orang yang berusaha untuk bersyukur. Hati dan lidahnya serta seluruh anggota tubuhnya sibuk dengan rasa syukur dalam bentuk pengakuan, keyakinan, dan perbuatan.

يَعۡمَلُونَ لَهُۥ مَا يَشَآءُ مِن مَّحَٰرِيبَ وَتَمَٰثِيلَ وَجِفَانٖ كَٱلۡجَوَابِ وَقُدُورٖ رَّاسِيَٰتٍۚ ٱعۡمَلُوٓاْ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكۡرٗاۚ وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ ١٣.
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.” (QS Saba/34: 13)

3. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa syukur menurut istilah adalah bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya. Di mana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan

إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا.

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS Al-Insaan/76: 9)

Setelah kita mengetahui pemahaman tetang syukur, lalu bagaimana cara kita mensyukuri nikmat Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan tentang cara bersyukur sebagai berikut:

1. Bersyukur dengan lisan adalah nikmat itu berasa dari Allah SWT. dan tidak menyandarkan kepada makhluk atau kepada dirimu sendiri, dayamu, kekuatanmu, atau usahamu.

2. Bersyukur dengan hati adalah dengan keyakinan yang abadi, kuat, dan kokoh bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan yang ada padamu, baik lahir maupun batin gerakanmu. maupun diammu adalah berasal dari Allah SWT, bukan dari selain-Nya. Dan kesyukuranmu dengan lisanmu merupakan ungkapan dari apa yang ada di dalam hatimu. 

3. Bersyukur dengan anggota badan adalah dengan menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah bukan untuk selain-Nya. Misalnya syukur dengan mata, yakni digunakan untuk melihat apa yang dihalalkan oleh Allah, dan menjaga mata dari apa yang Allah haramkan. Dengan begitu Allah akan memberikan kelezatan iman dalam hatinya.

Kapan kita bersyukur? kiranya pertanyaan ini tidak perlu dipertanyakan kembali setelah kita mengetahui betapa besar nikmat yang diberikan Allah kepada hambaNya. Sehingga tiada ucapan syukur melainkan setiap saat kapan pun dan di mana pun. Rasul telah memberikan contoh waktu-waktu di saat kapan kita harus bersyukur, diantaranya saat bangun tidur, ketika bangun untuk bertahajjud, ketika berpakaian, sebelum makan, sesudah makan, ketika akan tidur, dan lain sebagainya. Rasulullah selalu bersyukur dengan mengucapkan “alhamdulillah”.

Mengapa manusia lupa atau bisa dikatakan tidak bisa bersyukur? Ini terjadi karena terlalu banyaknya nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia sehingga manusia tak mampu menghitungnya. Lalu menganggap itu adalah hasil kerjanya, yang pada gilirannya menganggap tidak adnaya campur tangan Allah atau saking sibuknya menghitung nikmat sehingga tak ada kesempatan atau lupa untuk bersyukur.

Muhammad Syafi’ie el-Bantanie berpendaapat tentang hal-hal yang bisa menjadikan manusia tidak pandai menyukuri nikmat Allah:

a. Cinta dunia
Cinta dunia akan membuat diri kita akan selalu merasa kurang dan tidak puas pada apa yang dimiliki dan menjadikan serakah serta lupa diri, lupa untuk bersyukur dengan apa yang dimiliki. 

b. Bakhil
Orang yang bakhil akan menahan hartanya dan enggan mendermakan hartanya. Bakhil akan menjauhkan seseorang dari sikap syukur, bahkan mendatangkan azab Allah di dunia dan di akhirat, sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imron Ayat 180.

c. Hasud
Sifat Hasud merupakan cerminan rasa tidak puas terhadap apa yang telah dikaruniakan Allah, karena itu hasud menjauhkan seseorang dari syukur.

Selanjutnya kepada siapa kita harus bersyukur? Paling tidak ada 2 kita harus bersyukur.
a. Kepada Allah sebagai pemberi nikmat

فَٱذۡكُرُونِيٓ أَذۡكُرۡكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِي وَلَا تَكۡفُرُونِ ١٥٢.
’’Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku’’ (QS Al-Baqarah /2/152)

b. Kepada kedua orang tua,

وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ ١٤ 

‘’Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.’’ (QS Luqman/31/14)

Ketika manusia sudah pandai menyukuri nikmat Allah, apa fadhilah atau efek yang didapatkan ketika sudah bersyukur:

1. Ditambahkan nikmatnya oleh Allah (QS Ibrahim/14: 7)
2. Mendapatkan kebahagiaan (QS Thaha/20: 130 ; Ar-Ra’du/13: 28)
3. Hidupnya menjadi lebih berkah (QS Luqman/31: 12)
4. Diberikan pengetahuan tanda kebesaran Allah (QS AlA’raf/7: 58)
5. Diberikan pahala mutlak tanpa syarat (QS Ali Imran/3: 145)
6. Diberikan balasan kenikamatan (QS Al-Qamar/54: 35)
7. Dibebaskan dari siksaan (QS An-Nisa/4: 147)
8. Dibenci dan dijauhkan dari syetan (QS A-A’raf/7: 17)

Demikian tulisan ini, semoga bisa memotivasi semua untuk terus berusaha menjadikan dirinya pandai beryukur kepada Allah dan mendapat kebaikan-kebaikan dari sikap syukurnya, Aamin.

HUKUM PNS MENERIMA GAJIH

HUKUM MENERIMA GAJI PNS
 
PERTANYAAN :

Assalamualaikum. Ada yang mengatakan gaji PNS itu syubhat, bagaimana hukum menerimanya ? Mohon referensinya dan ibarotnya. Syukron katsir.

JAWABAN :

Wa'alaikumussalam. Bila pekerjaannya berupa pekerjaan halal maka gajinya halal akan tetapi kalau pemerintahnya zholim maka dihukum makruh bila tidak jelas bahwa gaji tersebut dari harta harom, kalau gaji tersebut jelas dari harta haram maka hukum gaji tersebut harom.

.(فائدة) قال في المجموع يكره الأخذ ممن بيده حلال وحرام كالسلطان الجائر وتختلف الكراهة بقلة الشبهة وكثرتها ولا يحرم إلا إن تيقن أن هذا من الحرام. قوله إلا ان تيقن الخ أى فإنه يحرم. 
إعانة الطالبين ٢/٢١٤.

ويكره بيع ماذكر ممن توهم منه ذلك___ومعاملة من بيده حلال وحرام وإن غلب الحرام الحلال نعم إن علم تحريم ما عقد به حرم و بطل.
إعانة الطالبين ٣/٢٤.

Gaji pegawai yang diambil dari kas negara itu tak dapat dipastikan uang haram atau halal, dan ulama khilaf dalam hal ini.

ﺍﻷﺷﺒﺎﻩ ﻭﺍﻟﻨﻈﺎﺋﺮ ﺹ107 :

ﻭﻣﻨﻬﺎ : ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﻣﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎﻟﻪ ﺣﺮﺍﻡ ﺇﺫﺍ ﻟﻢ ﻳﻌﺮﻑ ﻋﻴﻨﻪ ﻻ ﻳﺤﺮﻡ ﻓﻲ ﺍﻷﺻﺢ ، ﻟﻜﻦ ﻳﻜﺮﻩ ﻭﻛﺬﺍ ﺍﻷﺧﺬ ﻣﻦ ﻋﻄﺎﻳﺎ ﺍﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﺇﺫﺍ ﻏﻠﺐ ﺍﻟﺤﺮﺍﻡ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ ﻛﻤﺎ ﻕﺍﻝ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻤﻬﺬﺏ ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻓﻴﻪ ﺍﻟﻜﺮﺍﻫﺔ ، ﻻ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ ، ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻠﻐﺰﺍﻟﻲ.

Sebagian dari cabang qa'idah ialah mu'amalah seseorang yang hartanya dominan haram, apabila tidak diketahui dzatiyahnya (tak bisa dibedakan mana yang haram dan yang tidak), maka berdasarkan qaul ashah itu tidak haram, akan tetapi ia makruh. 
Begitupun menerima pemberian dari penguasa yang apabila ditangannya dominan harta haram, sebagaimana Imam Nawawy menyatakan dalam Syarh al-Muhaddzab bahwa pandangan yang masyhur dalam hal itu adalah makruh, bukan haram, berbeda dengan pernyataan Imam Ghazaly, Termasuk haram.

الموسوعة الفقهية الكويتية/ص 290 ج 1

الإِْجَارَةُ عَلَى الْمَعَاصِي وَالطَّاعَاتِ 
 الإِْجَارَةُ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُحَرَّمَةِ كَالزِّنَى وَالنَّوْحِ وَالْغِنَاءِ وَالْمَلاَهِي مُحَرَّمَةٌ وَعَقْدُهَا بَاطِلٌ لاَ يُسْتَحَقُّ بِهِ أُجْرَةٌ.وَلاَ يَجُوزُ اسْتِئْجَارُ كَاتِبٍ لِيَكْتُبَ لَهُ غِنَاءً وَنَوْحًا؛ لأَِنَّهُ انْتِفَاعٌ بِمُحَرَّمٍ. 
وَقَال أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ.وَلاَ يَجُوزُ الاِسْتِئْجَارُ عَلَى حَمْل الْخَمْرِ لِمَنْ يَشْرَبُهَا، وَلاَ عَلَى حَمْل الْخِنْزِيرِ. وَبِهَذَا قَال أَبُو يُوسُفَ وَمُحَمَّدٌ وَالشَّافِعِيُّ. 
وَقَال أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ، لأَِنَّ الْعَمَل لاَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ، بِدَلِيل أَنَّهُ لَوْ حَمَل مِثْلَهُ جَازَ. 
وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ فِيمَنْ حَمَل خِنْزِيرًا أَوْ خَمْرًا لِنَصْرَانِيٍّ قَوْلُهُ: إِنِّي أَكْرَهُ أَكْل كِرَائِهِ، وَلَكِنْ يُقْضَى لِلْحَمَّال بِالْكِرَاءِ. 
وَالْمَذْهَبُ خِلاَفُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ؛ لأَِنَّهُ اسْتِئْجَارٌ لِفِعْلٍ مُحَرَّمٍ، فَلَمْ يَصِحَّ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ حَامِلَهَا وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ.وَأَمَّا حَمْل هَذِهِ الأَْشْيَاءِ لإِِرَاقَتِهَا وَإِتْلاَفِهَا فَجَائِزٌ إِجْمَاعًا.

 المغني 6 / 134، 136، 138، وكشف الحقائق 2 / 157، والشرح الصغير 4 / 10، والمهذب 1 / 194، والبدائع 4 / 184، 191.

Fokusnya:

وَقَال أَبُو حَنِيفَةَ: يَجُوزُ، لأَِنَّ الْعَمَل لاَ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ، بِدَلِيل أَنَّهُ لَوْ حَمَل مِثْلَهُ جَازَ

Menurut tinjauan imam abu hanifah pada pekerjaannya, seperti contoh di atas jasa membawakan khomer tidak apa karena melihat pekerjaan membawakannya, yang mana dilakukan untuk selain khomer pekerjaan membawakan tidak masalah.

Jika ia mengambil gaji penuh, sedangkan ia bekerja tidak penuh menurut perjanjian maka ia mengambil apa yang bukan hak nya. 
Adapun masalah uang negara yang berasal dari judi,pajak, riba dan lainnya tidak ada kaitan dengan gaji anda. 
Karena anda menerima disebabkan khidmat yang anda berikan.
Jika pemerintah menghadiahkan, menyedekahkan, uang untuk anda dan anda tidak tahu uang tersebut asal muasalnya maka halal mengambilnya. 
Jika anda tahu asalnya dan ia dari hasil yang haram maka boleh mengambilnya, karena yang anda ambil adalah sedekah dan hadiah. Namun tidak mengambilnya lebih baik jika anda ingin berhati hati dari syubhat dan itulah wara'. Wallohu a'lam. 

Sabtu, 08 November 2025

SEGERA MATI SEBELUM ENAM PERKARA

SEGERA MATI SEBELUM ENAM PERKARA

Hadits ‘Abs Al-Gifariy; Segera mati sebelum muncul 6 perkara

بسم الله الرحمن الرحيم

'Ulaim Al-Kindiy -rahimahullah- berkata:

كُنَّا جُلُوسًا عَلَى سَطْحٍ مَعَنَا رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ يَزِيدُ: لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا عَبْسًا الْغِفَارِيَّ، وَالنَّاسُ يَخْرُجُونَ فِي الطَّاعُونِ، فَقَالَ عَبَسٌ: يَا طَاعُونُ خُذْنِي، ثَلَاثًا يَقُولُهَا، فَقَالَ لَهُ عُلَيْمٌ: لِمَ تَقُولُ هَذَا؟ أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ فَإِنَّهُ عِنْدَ انْقِطَاعِ عَمَلِهِ، وَلَا يُرَدُّ فَيُسْتَعْتَبَ» فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " بَادِرُوا بِالْمَوْتِ سِتًّا: إِمْرَةَ السُّفَهَاءِ، وَكَثْرَةَ الشُّرَطِ، وَبَيْعَ الْحُكْمِ، وَاسْتِخْفَافًا بِالدَّمِ، وَقَطِيعَةَ الرَّحِمِ، وَنَشْوًا يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ يُقَدِّمُونَهُ يُغَنِّيهِمْ، وَإِنْ كَانَ أَقَلَّ مِنْهُمْ فِقْهًا "
Kami duduk di atas atap beserta seorang laki-laki dari sahabat Nabi shallallahu'alaihiwasallam. Yazid berkata; Saya tidak mengetahuinya kecuali 'Abs Al Giffary, manusia pada saat itu sedang menghindari wabah penyakit thaun (virus ganas menular).
'Abs berkata; "Wahai Penyakit Thaun, ambillah aku", dia mengulangnya sampai tiga kali.
Lalu 'Ulaim berkata kepadanya, "Mengapa engkau ucapkan perkataan semacam itu! Bukankah Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda: 'Jangan kalian berangan angan untuk mati karena ketika itu amal diputus dan tidak dapat dikembalikan', sehingga dia bertaubat."
Lalu dia berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "(Mintalah kepada Allah agar) disegerakan mati sebelum datang enam hal: 
(1) Pemimpin bodoh, 
(2) Banyaknya ajudan penguasa (yang dzalim), 
(3) Hukum diperjual-belikan, 
(4) Darah tertumpah dengan mudah, 
(5) Pemutusan silaturrahim, dan (6) Generasi muda yang menjadikan Al-Qur'an bagaikan seruling (alat musik), mereka dahulukan siapa saja yang bisa menyanyikannya walaupun dia adalah orang yang paling sedikit mengerti persoalan agama" [Musnad Ahmad: Sahih]

Ø  'Auf bin Malik Al-Asyja’iy radiyallahu 'anhu berkata:

يَا طَاعُونُ خُذْنِي إِلَيْكَ قَالَ: فَقَالُوا: أَلَيْسَ قَدْ سَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَا عَمَّرَ الْمُسْلِمُ كَانَ خَيْرًا لَهُ؟» قَالَ: بَلَى وَلَكِنِّي أَخَافُ سِتًّا: إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ، وَبَيْعَ الْحُكْمِ، وَكَثْرَةَ الشُّرَطِ، وَقَطِيعَةَ الرَّحِمِ، وَنَشْءً يَنْشَئُونَ يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ، وَسَفْكَ الدَّمِ " [مسند أحمد: صحيح]
“Hai tha'un, seranglah aku!”
Mereka berkata: Bukankah kau pernah mendengar Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Umur orang muslim dipanjangkan itu lebih baik baginya."
Berkata 'Auf: Benar, tapi aku takut akan enam hal; 
(1) Kepemimpinan orang-orang bodoh, 
(2) Menjual hukum, 
(3) Banyaknya penjagaan, 
(4) Memutus tali silaturrahim, (6) Generasi yang tumbuh dengan menjadikan Al-Qur`an sebagai seruling, dan 
(6) Penumpahan darah. [Musnad Ahmad: Shahih]

Dalam riwayat lain, dari ‘Auf bin Malik; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

" أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ، وَسَفْكُ الدِّمَاءِ، وَبَيْعُ الْحُكْمِ، وَقَطِيعَةُ الرَّحِمِ، وَنَشْوٌ يَتَّخِذُونَ الْقُرْآنَ مَزَامِيرَ، وَكَثْرَةُ الشُّرَطِ " [المعجم الكبير للطبراني]

“Aku khawatir atas kalian enam perkara: 
(1) Pemimpin bodoh, 
(2) Penumpahan darah, 
(3) Jual-beli hukum, 
(4) Pemutusan silaturahim, 
(5) Pemuda yang menjadikan Al-Qur’an sebagai nyanyian, dan (6) Banyaknya ajudan (untuk penguasa dzalim)”. 
[Al-Mu’jam Al-Kabiir karya Ath-Thabaraniy: Shahih]

Penjelasan singkat hadits ini:
1.      Biografi ‘Abs bin ‘Aabis Al-Gifariy radhiyallahu ‘anhu.
Ada yang menyebutkan namanya adalah ‘Aabis bin ‘Abs Al-Gifariy. 
Ia tinggal di negri Syam. 
Ia adalah salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
2.      Minta penjelasan dari seorang alim ketika dianggap melakukan kekeliruan dengan menyebutkan dalil dan penuh adab.
3.      Larangan meminta kematian karena musibah duniawi.
Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ [صحيح البخاري]
"Janganlah seseorang dari kalian mengharapkan kematian, jika ia orang baik maka semoga ia menambah kebaikannya, dan jika ia orang buruk maka semoga ia bertobat". [Sahih Bukhari]

Ø  Dalam riwayat lain; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

« لاَ يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلاَ يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ، إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَإِنَّهُ لاَ يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلاَّ خَيْرًا » [صحيح مسلم]
"Janganlah seseorang dari kalian mengharapkan kematian, dan jangan berdo'a untuk mati sebelum ajalnya datang, sesungguhnya jika seseorang dari kalian mati maka terputuslah amalannya, dan sesungguhnya tidak bertambah umur seorang mu'min kecuali kebaikan". [Sahih Muslim]

Ø  Dari Jabir bin Abdillah radiyallahu 'anhuma; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" لَا تَمَنَّوْا الْمَوْتَ، فَإِنَّ هَوْلَ الْمَطْلَعِ شَدِيدٌ، وَإِنَّ مِنَ السَّعَادَةِ أَنْ يَطُولَ عُمْرُ الْعَبْدِ، وَيَرْزُقَهُ اللهُ الْإِنَابَةَ " [مسند أحمد: حسن]

"Jangan kalian mendambakan kematian, karena puncak pendakian itu sangat berat (sakaratul maut), dan sesungguhnya di antara kebahagiaan itu adalah umur seorang hamba memanjang, dan Allah menganugrahinya taubat". [Musnad Ahmad: Hasan]

4.      Keutamaan panjang umur jika amalannya baik.
Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«طُوبَى لِمَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ» [حلية الأولياء: صححه الألباني]

"Surga Thuba bagi orang yang panjang umurnya dan baik amalannya". [Hilyatul Auliya': Sahih]

Ø  Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu berkata: Seseorang bertanya: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling baik?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

«مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ»

"Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya"
Ia bertanya lagi: Lalu siapakah orang yang paling buruk?
Rasulullah menjawab:

«مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ» [سنن الترمذي: صحيح]

"Orang yang panjang umurnya dan buruk amalannya". [Sunan Tirmidzi: Sahih]

Ø  Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخِيَارِكُمْ؟ »
"Maukah kalian kuberi-tahukan tentang orang yang terbaik di antara kalian?"
Sahabat menjawab: Tentu, ya Rasulullah!
Rasulullah bersabda:

«أَطْوَلُكُمْ أَعْمَارًا وَأَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا» [صحيح ابن حبان]
"Mereka adalah orang yang paling panjang umurnya di antara kalian dan yang paling mulia akhlaknya". [Sahih Ibnu Hibban]

Ø  Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي؟ قَالَ: «إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا صَالِحًا إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً، ثُمَّ لَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ، وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Wahai Rasulullah, apakah aku diberi umur panjang setelah sahabat-sahabatku?
Beliau berkata: "Tidaklah sekali-kali engkau diberi umur panjang lalu kamu beramal shalih melainkan akan bertambah derajat dan kemuliaanmu. Dan semoga kamu diberi umur panjang sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat dari dirimu dan juga mungkin dapat mendatangkan madharat bagi kaum yang lain. [Shahih Bukhari dan Muslim]

5.      Kapan boleh meminta kematian?

a)      Jika khawatir terkena fitnah (musibah) dalam agama.
Allah subhanahu wata'aalaa berfirman:

{قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا } [مريم: 23]

(Maryam) berkata: "Aduhai, alangkah baiknya Aku mati sebelum ini, dan Aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan". [Maryam:23]

Maryam mendambakan kematian karena dua alasan: 
(1) Khawatir disangka buruk dalam agamanya yang bisa meluluhkan keimanannya. 
(2) Agar orang-orang tidak terjerumus dalam kebohongan dan fitnah menuduhnya berzina yang bisa menghancurkan mereka.

Ø  Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

" لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي "
"Janganlah seseorang dari kalian mengharapkan kematian karena musibah yang menimpanya, namun jika memang harus meminta maka ucapkanlah: "Ya Allah .. hidupkanlah aku selama hidup ini baik bagiku, dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku!" [Sahih Bukhari dan Muslim]

Ø  Dan dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a ..
اللهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ ... إِذَا أَرَدْتَ فِتْنَةً فِيْ قَوْمٍ فَتَوَفَّنِيْ غَيْرَ مَفْتُونٍ
"Ya Allah .. sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, jika Engkau menginginkan cobaan (pada agama) suatu kaum maka matikanlah aku tanpa terjerumus dalam cobaan itu". [Sunan Tirmidzi: Sahih]

b)      Minta mati syahid.
Dari Sahl bin Hunaif radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ، بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ» [صحيح مسلم]
"Barangsiapa yang meminta kepada Allah agar ia mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan menyampaikan ia pada derajat syuhada' sekalipun ia meninggal di atas ranjangnya". [Sahih Muslim]
Lihat: Do'a panjang umur

6.      Keutamaan mati karena tha’un.
'Aisyah radhiyallahu 'anhu, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata; "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang masalah tha'un lalu beliau mengabarkan aku:

«أَنَّهُ عَذَابٌ يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ، وَأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ، لَيْسَ مِنْ أَحَدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا، يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُصِيبُهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ، إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ شَهِيدٍ» [صحيح البخاري]
Bahwa tha'un (penyakit ganas menular) adalah sejenis siksa yang Allah kirim kepada siapa yang Dia kehendaki dan sesungguhnya Allah menjadikan hal itu sebagai rahmat bagi kaum muslimin dan tidak ada seorangpun yang ketika terjadi tha'un lalu dia bertahan di tempat tinggalnya dengan sabar dan mengharapkan pahala dan mengetahui bahwa dia tidak terkena musibah melainkan karena Allah telah mentakdirkannya kepadanya, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mati syahid". [Shahih Bukhari]

Ø  Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«الطَّاعُونُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Orang yang mati karena penyakit sampar adalah syahid bagi setiap muslim". [Shahih Bukhari dan Muslim]

7.      Anjuran menghindari penyakit tha’un.
Dari Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ» [صحيح البخاري ومسلم]

"Jika kalian mendengar suatu negeri terjangkit wabah, maka janganlah kalian menuju ke sana, namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya." [Shahih Bukhari dan Muslim]

8.      Bahaya pemerintah dan pemimpin yang buruk.
Jabir bin Abdullah berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ka'b bin' Ujroh:

«أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ» ، قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟، قَالَ: " أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي، لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي، وَلَسْتُ مِنْهُمْ، وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي. يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ، وَالصَّلَاةُ قُرْبَانٌ - أَوْ قَالَ: بُرْهَانٌ - يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ، أَوْلَى بِهِ. يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ، النَّاسُ غَادِيَانِ: فَمُبْتَاعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا، وَبَائِعٌ نَفْسَهُ فَمُوبِقُهَا " [مسند أحمد: إسناده قوي]

"Semoga Allah melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang bodoh",
Ka'b bin 'Ujroh radhiyallahu'anhu bertanya: Apa itu kepemerintahan orang bodoh?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yaitu para pemimpin negara sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak pula berjalan dengan sunnahku, barangsiapa yang membenarkan mereka dengan kebohongan mereka serta menolong mereka atas kedholiman mereka maka dia bukanlah golonganku, dan aku juga bukan termasuk golongannya, mereka tidak akan datang kepadaku di atas telagaku, barang siapa yang tidak membenarkan mereka atas kebohongan mereka, serta tidak menolong mereka atas kedholiman mereka maka mereka adalah golonganku dan aku juga golongan mereka serta mereka akan mendatangiku di atas telagaku. Wahai Ka'b bin 'Ujroh puasa adalah perisai, sedekah memadamkan api neraka dan shalat adalah persembahan. Atau beliau bersabda: penerang. Wahai Ka'b bin Ujroh sesungguhnya tidak akan masuk syurga daging yang tumbuh dari hal yang di murkai Allah (haram), dan neraka adalah paling tepat untuknya, Wahai Ka'b bin 'Ujroh manusia berpagi dengan dua keadaan; yaitu ia terjual dirinya kemudian ia membebaskannya atau ia menjual dirinya kemudian ia menghancurkan dirinya. [Musnad Ahmad: Sanadnya kuat]

Ø  Dari Abu Musa Al-‘Asy’ariy radhiallahu 'anhu; Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:

«مَنْ تَوَلَّى عَمَلًا وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ لِذَلِكَ الْعَمَلِ بِأَهْلٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa yang ditugaskan untuk memikul suatu pekerjaan yang dia tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang ahli atau pantas dalam pekerjaan tersebut, bersiap-siaplah ia masuk ke dalam neraka”. [Musnad Ar-Ruyaniy: Hasan]

Ø  Dari 'Auf bin Malik radhiallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ»
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo'akan kalian dan kalian mendo'akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka."
Beliau ditanya: "Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?"
Maka beliau bersabda:

«لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ، فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ» [صحيح مسلم]
"Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka." [Sahih Muslim]
Lihat: Pemimpin yang baik dan yang buruk

9.      Ancaman bagi ajudan penguasa yang dzalim.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا» [صحيح مسلم]

"Ada dua golongan dari penghuni neraka yang tidak pernah aku lihat di dunia: Suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi ia pakai memukul manusia, dan perempuan yang berpakaian tapi telanjang, mereka memalingkan orang lain dari agama dan mereka pun telah berpaling, kepala mereka seperti punuk onta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak mencium baunya, padahal bau surga itu tercium dari kejauhan jarak sekian dan sekian". [Sahih Muslim]

Ø  Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;

" يَخْرُجُ رِجَالٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ، فِي آخِرِ الزَّمَانِ مَعَهُمْ أَسْيَاطٌ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ الْبَقَرِ يَغْدُونَ فِي سَخَطِ اللَّهِ وَيَرُوحُونَ فِي غَضَبِهِ " [مسند أحمد: صحيح لغيره]

“Akan muncul beberapa orang dari ummat ini di akhir zaman, mereka membawa cambuk seperti ekor sapi, di pagi hari mereka berada di dalam kemurkaan Allah dan di sore hari mereka berada di dalam kemarahan Allah." [Musnad Ahmad: Shaihi ligairih]

10.  Larangan meperjual-belikan hukum.
Allah subhanahu wa ta’aalaa berfirman:

{وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ} [البقرة: 188]

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah:188]

Ø  Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata:

«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالمُرْتَشِيَ فِي الحُكْمِ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap dalam hukum”. [Sunan Tirmidziy: Shahih]
Lihat: Takhrij hadits “Allah melaknat penyogok, yang disogok, dan perantaranya”

11.  Haramnya membunuh tanpa hak.
Allah subhanahu wa ta’aalaa berfirman:
{وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا} [النساء: 93]

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. [An-Nisaa’: 93]

Ø  Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ، وَيَنْقُصُ العَمَلُ، وَيُلْقَى الشُّحُّ، وَيَكْثُرُ الهَرْجُ» قَالُوا: وَمَا الهَرْجُ؟ قَالَ: «القَتْلُ القَتْلُ» [صحيح البخاري]

"Zaman semakin dekat, amalan kian berkurang, kekikiran semakin banyak, dan al-Harj semakin merajalela."
Mereka bertanya; "Apakah Al-Harj itu?
Beliau menjawab: "Pembunuhan, pembunuhan." [Shahih Bukhari]

12.  Dosa besar memutuskan silaturahim.
Allah subhanahu wa ta’aalaa berfirman:

{وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ} [الرعد: 19 - 25]

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). [Ar-Ra'd:25]

Ø  Dari Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ» [سنن أبي داود: صحيح]

"Tidak ada dosa yang lebih berhak untuk dipercepat oleh Allah hukumannya di dunia bagi pelakunya selain hukuman yang akan ia rasakan di akhirat, seperti dosa "al-bagyu" (zalim, melawan pemerintah, atau sombong) dan memutuskan silaturahmi". [Sunan Abu Daud: Sahih]

Ø  Dari Jubair bin Muth'im radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi". [Sahih Bukhari dan Muslim]
Lihat: Pentingnya shilaturahim

13.  Bacaan yang baik mesti dibarengi dengan pemahaman agama yang baik.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

«مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِيٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ بِالقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ» [صحيح البخاري ومسلم]
"Allah tidak mendengarkan sesuatu seperti mendengarkan seorang Nabi membaca Al-Qur'an dengan suara yang baik dan mengeraskan suaranya". [Sahih Bukhari dan Muslim]

Ø  Dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالقُرْآنِ» [سنن أبي داود: صحيح]
"Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan ketika membaca Al-Qur'an". [Sunan Abi Daud: Sahih]

Ø  Dari Al-Barra' bin 'Azib radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
«زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ» [سنن أبي داود: صحيح]
"Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu". [Sunan Abi Daud: Sahih]

14.  Mendahulukan yang faqih dari pada yang suaranya bagus.
Dari Abu Mas'ud radhiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّه، ِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّة، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِه [صحيح مسلم]
"Yang berhak menjadi imam atas suatu kaum adalah: 
(1) yang paling menguasai kitabullah (Alquran), jika dalam bacaan kapasitasnya sama, maka 
(2) yang paling tahu terhadap sunnah, jika dalam as sunnah (hadits) kapasitasnya sama, maka 
(3) yang paling dahulu hijrah, jika dalam hijrah sama, maka 
(4) yang pertama-tama masuk Islam, dan jangan seseorang mengimami seseorang di daerah wewenangnya." [Shahih Muslim]
Dalam riwayat lain:

فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا.
"jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dewasa". [Shahih Muslim]

15.  Mu’jizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui perkara gaib.
Lihat: Mu’jizat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Wallahu a’lam!