Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 12 Oktober 2025

QODHO SHOLAT

Adakah Qadha' Sholat?

Jika seseorang meninggalkan sholat secara sengaja, apakah ia wajib mengqadha'-nya? Ataukah cukup dengan bertaubat saja tanpa harus mengqadha'-nya?
Dalam hal meninggalkan sholat, semua ulama sepakat bahwa yang meninggalkannya harus mengqadha’-nya kalau ia meninggalkannya karena lupa atau tertidur. Ini bedasarkan hadits Nabi saw yang memamng secara eksplisit menyebutkan itu.

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Siapa yang lupa sholat (dan meninggalkannya), atau tertidur, maka kafaratnya ialah ia harus mengerjakannya ketika ia ingat” (HR Muslim)

Sampai sini tidak ada masalah, tapi kemudian ulama berselisih paham tentang orang yang meninggalkan sholat karena sengaja tanpa udzur, apakah ia harus meng-qadha’-nya atau tidak.

[1] Tidak Ada Qadha’. Ini adalah pendapat madzab Zohiri dan didukung oleh Sheikh Ibnu Taimiyyah.[1]

[2] Wajib Qadha’. Ini pendapat ulama fiqih 4 madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).[2]

Kita akan bahasa dalil masing-masing kelompok ini mulai dari kelompok yang mengatakan bahwa tidak ada qadha sholat, yaitu pendapat Imam Abu Daud Al-Zohiri yang kemudian direkam oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, dan juga pendapat Sheikh Ibnu Taimiyyah.

[1] Tidak Ada Qadha’

Secara tegas, Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi mengatakan dalam kitabnya Al-Muhalla, bahwa tidak ada yang namanya syariat qadha sholat kecuali bagi yang lupa dan tertidur. Lalu apa yang harus dilakukan?

Yang harus dilakukan ialah memperbanyak istighfar, berbuat kebajikan, memperbanyak sholat sunnah agar nanti timabangan kebaikannya meningkat diakhirat.  

Pekerjaan Sia-sia dan Tidak Diterima

Imam Ibnu Hazm dengan yakin bahwa tidak ada qadha sholat, karena tidak ada syariatnya, dan itu hanya pekerjaan yang sia-sia. Bahkan, Sheikh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa-nya mengatakan bahwa jika ia melakukan qadha sholat, secara zahir itu sah dan bisa dikerjakan, tapi sayangnya sholatnya secara diterima. Beliau mengatakan:

فَالْكَلَامُ فِي هَذَا مُتَّصِلٌ بِالْكَلَامِ فِيمَنْ أَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ نِفَاقًا أَوْ رِيَاءً ، فَإِنَّ هَذَا يُجْزِئُهُ فِي الظَّاهِرِ ، وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ فِي الْبَاطِنِ

“Pembahasan masalah ini berhubungan dengan orang yang sholat dan membayar zakat namun secara nifaq (munafiq) dan riya’, secara zahir itu sah, tapi secara bathin itu tidak diterima!”[3]      

Kemudian, apa dalil kelompok ini sehingga mengatakan bahwa qadha sholat itu tidak ada?

Pertama: dengan dalil hadits diatas, bahwa yang dibolehkan qadha itu ialah orang yang lupa dan tertidurm sedangkan orang yang sengaja itu tidak termasuk dalam 2 golongan yang disebutkan dalam hadits tersebut, maka tidak ada qadha baginya.

Kedua:  Allah swt telah menentukan waktu bagi setiap sholat, seperti waktu ashar sampai terbenam matahari, subuh sejak terbit fajar sampai terbit matahari, dan seterusnya. Allah berfirmam:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya sholat bagi orang mukim ialah kewajiban yang sudah terwaktu” (An-Nisa’ 103)

Kalau orang dibolehkan meng-qadha’ sholat, lalu buat apa Allah swt membuat batasan-batasan waktu masing-masing sholat? Seperti halnya haji atau puasa, itu semua sudah ada waktunya tertentu. Tidak sah orang berhaji kecuali di bulan dzulhijjah, dan tidak sah seorang berpuasa di malam hari. Maka begitu juga sholat.

Ketiga: Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa semua sepakat kalau mengerjakan sholat pada waktunya itu adalah sebuah ketaatan, dan meninggalkannya ialah sebuah kemaksiatan. Jadi orang yang meninggalkan sholat secara sengaja, ia berdosa karena itu maksiat.

Lalu bagaimana bisa sebuah maksiat diganti dengan sebuah ketaatan, yaitu sholat di selain waktunya?

Keempat: Allah swt dalam surat Al-Ma’un (4-5) mengancam orang-orang yang meninggalkan sholat dengan wail (kecelakaan), bahkan dalam beberapa tafsir dikatakan bahwa wail itu ialah nama salah satu lembah di neraka jahannam.

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (.) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka Wail (celaka) bagi mereka yang sholat. Yang sholat tapi lalai akan sholatnya”

Walaupun terjadi perbedaan pendapat tentang makna wail itu sendiri, tapi yang pasti bahwa mereka yang mengerjakan sholat tapi di luar waktu, takni orang lalai itu mendapat ancaman. Dan kalau ada ancaman berarti pekerjaan itu tidak diridhoi Allah swt, dan yang tidak diridhoi Allah itu ialah pekerjaan yang haram.

Di akhir pembahasan, beliau (IbnuHazm) mengaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang juga dipegang oleh beberapa sahabat, seperti Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqosh, dan dari tabi’in Muhammad bin Sirin serta Umar bin Abdul Aziz.[4]

[2] Wajib Qadha Sholat

Ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama madzhab fiqih yang muktamad, bahkan Imam Al-Nawawi dalam kitabnya menyebutkan bahwa adanya qadha sholat bai orang yeng meninggalkannya secara sengaja ialah Ijma’ (Konsensus). Karena ini Ijma’, maka tidak ada yang boleh menyelisihinya.[5]

Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal pun yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja itu kafir, status kafirnya masih terhalang jika ia mau mengqadha sholatnya ketika sang Imam memerintahkan, kalau tidak mau baru lah ia dihukumi kafir dan di bunuh. Jadi ia masih harus meng-qadha sholatnya.[6]

Imam Al-Showi dari kalangan Malikiyah mengatakan bahwa pendapat tidak adanya qadha sholat bagi yang meninggalkan sholat secara sengaja ialah pendapat yang syaadz (aneh) dalam litelatur fiqih.[7]

Dalil kelompok ini ialah;

Pertama: Dengan hadits yang sudah disampaikan di atas tadi bahwa yang lupa dan tertidur sehingga meninggalkan sholat maka ia harus menggantinya ketika ingat. Dan hadits seperti ini banyak diriwayatkan oleh semua ahli Sunan (Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah) termasuk Imam Al-bukhori dan Imam Muslim walau dengan lafadz yang berbeda.

Memang benar yang diwajibkan qadha itu hanya orang yang lupa atau tertidur, dan yang sengaja tidak ada. Tapi ingat bahwa dalam syariah adalah Dalalah Al-Manthuq [دلالة المنطوق] dan Dalalah Al-Mafhuum [دلالة المفهوم].

Manthuq (Teks)-nya memang tidak disebutkan, tapi Mafhuum (yang dipahami dari konteks)-nya justru yang meninggalkan sholat dengan sengaja lebih wajib meng-qadha. Ini yang disebut dengan Qiyas Jaliy [قياس جلي], kalau yang meninggalkan karena lupa dan tertidur aja harus meng-qadha, padahal itu tak sengaja, apalagi yang meninggalkannya dengan sengaja. Maka kewajiban qadha jauh lebih berat untuknya.

Sama seperti keharaman memukul orang tua, yang telah menjadi kesepakat oleh seluruh ulama sejagad raya. Tapi apakah ada dalil keharamannya? Tidak ada! Yang ada itu ialah haram berucap “Ah” kepada orang tua, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Isra ayat 23.

Tapi ulama kemudian mengambil kesimpulan dengan memahami konteks teks yang ada, bukan hanya teks-nya saja. Kalau berkata “Ah” saja tidak boleh, apalagi memukul yang jauh lebih menyakitkan.

Kenapa Hanya Orang Lupa dan Tertidur Yang Disebut?

Imam Badr Al-Diin Al-‘Ainy, seorang faqih Hanafiyah menjelaskan kenapa sebab Nabi saw hanya menyebutkan orang tertidur dan lupa dalam hadits tersebut, kenapa tidak langsung saja Nabi saw mengatakan; [من تركها]“Siapa yang meninggalkan”, bukan dengan redaksi; “lupa atau tertidur”?   

Itu karena Nabi saw memperhatikan adab, karena meninggalkan sholat secara sengaja bukanlah prilaku seorang muslim. Karena itu nabi mengatakan seperti itu sebagai bentuk husnudzon (prasangka baik) kepada muslim. Akan tetapi hukum yang terkandung di dalam hadits tersebut tidak terbatas hanya untuk orang yang lupa atau tertidur, tapi justru untuk semua yang meninggalkan sholat, sengaja atau tidak.[8]  

Kedua: Seorang muslim ketika masuk waktu sholat, maka sholat itu menjadi kewajiban buat dirinya, menjadi tanggungan yang harus diselesaikan, dan kewajiban itu tidak akan gugur sampai ia melaksanakannya. Walaupun waktunya telah lewat, kewajiban sholat masih menempel kepadanya karena itu sama sekali ia belum melaksanakannya.

Sama seperti hutang, kewajiban menlunasi hutang tersebut tidak gugur sampai ia melunasinya, walaupun telah lewat temponya lama. Sholat pun demikian, ia menempel dalam diri seorang muslim dan tidak gugur sampai ia melaksanakannya.

Kenapa disamakan dengan hutang?

Nabi saw yang menyamakannya dengan hutang. Ingat bagaimana hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Muslim dalam kitab shahihnya? Dalam satu riwayat disebutkan bahwa seseorang datang ke Nabi dan mengatakan bahwa saudarinya bernadzar untuk haji namun belum sempat melaksanakan, ia meninggal dunia.(HR Al-Bukhori 6205)

Ia menanyakan perihal kewajibannya tersebut, karena ketika seorang sudah bernadzar, maka ia sama saja mewajibkan sesuatu yang dinadzarinya itu untuk dilakukan walaupun sejatinya tidak wajib.

Dalam riwayat lain di Shahih Muslim disebutkan dengan redaksi cerita yang berbeda tapi sama tentang kewajiban, yaitu tentang kewajiban puasa yang ditinggal oleh ibunya, kemudian nabi menjawab dengan jawaban yang sama pada hadits diatas.

أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ تَقْضِينَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ

“Bagaimana jika ibumu itu punya hutang, apakah kau akan melunasinya?”, ia menjawab: “ya!”, Nabi meneruskan: “Maka begitu juga hutang kepada Allah, itu jauh lebih berhak untuk dilunasi!” (HR Muslim 1936)

Jadi kewajiban itu sama seperti hutang, yang tidak bisa dilunasi kecuali dengan melunasinya yaitu dengan melaksanakannya. Dan menganalogikan kewajiban dengan hutang bukanlah karangan ulama, akan tetapi Nabi saw sendiri yang mencontohkan.

Ketiga: Meng-Qadha’ ­sholat di luar waktunya ialah bukan dimaksud dengan mengganti maksiat dengan ketaatan. Bukan itu! Meng-qadha’ sholat ialah melakukan kewajiban, yaitu kewajiban ketika seeorang tidak bisa melakukan kewajiban di waktunya yang tepat. Karena tidak bisa melakukan sholat pada waktunya, ia berdosa. Tapi ia berkewajiban qadha’.

Kalau memang mengganti kemaksiatan dengan ketaatan tercela sebagaimana disebutkan oleh kelompok pertama, tapi kenapa mereka mengharuskan orang yang meninggalkan sholat dengan perbanyak istighfar dan sholat sunnah?

Bukankah itu juga ketaatan? Kalau begitu ini menjadi pertanyaan balik kepada mereka. Kenapa mereka mengganti kemaksiatan (meninggalkan sholat) dengan istighfar yang merupakan sebuha ketaatan?

Keempat: Allah swt berfirman dalam Thaha ayat 14:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“dan dirikanlah sholat untuk mengingatku”.

Imam Al-Qurthubi, seorang Ahli tafsir bermadzhab Malikiyah yang membahas tafsir dalam kitabnya dengan pendekatan hukum fiqih ini menjelaskan bahwa ayat ini secara jelas mewajibkan seseorang yang meninggalkan sholat secara sengaja untuk meng-qadha’-nya.

Karena ini perintah yang jelas untuk mengingat Allah swt, maksudnya ialah mengingat Allah swt dengan sholat. Maka yang belum sholat belum mengingat Allah swt. Seorang muslim tidak dikatakan mengingat Allah swt sampai ia sholat, karena itu sholat menjadi wajib, walapun sudah di luar waktu.

Adapun pengkhususan orang yang tidur dan lupa sebagaimana dalam hadits, itu bukan pengkhususan kewajiban, akan tetapi itu khusus peniadaan dosa. Orang yang tertidur atau lupa, mereka tidak berdosa akan tetapi tetap wajib qadha’, dan yang meninggalkan sholat dengan sengaja, ia berdosa karena itu maksiat, dan tetap wajib qadha. Bagaimana tidak? toh yang lupa dan tertidur saja wajib qadha, apalagi yang sadar![9]

Wallahu A’lam  

[1] Al-Muhalla 2/10, Majmu’ Al-Fatawa 22/18

[2] Al-Binayah Syarhu Al-Hidayah 2/583, Hasyiyah Al-Showi 1/364, Al-Majmu’ 3/71, Al-Mubdi’ fi Syarhi Al-Muqni’ 1/313

[3] Majmu’ Al-Fatawa 22/19

[4] Al-Muhalla 2/13

[5] Al-Majmu’ 3/71

[6] Al-Mughni 2/297

[7] Hasyiyah Al-Showi 1/364

[8] Al-Binayah Syarhu Al-Hidayah 2/583

[9] Tafsir Al-Qurthubi 11/178"

Jumat, 05 September 2025

PEMBATAL ISLAM

Pembatal Islam.

نَوَاقِـضُ الإِسْلَامِ

لِإِمَامِ الدَّعْوَةِ الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الوَهَّابِ بْنِ سُلَيْمَانِ التَّمِيمِيِّ


Nawaqidhul Islam – Pembatal Islam: 
Matan dan Terjemah

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَاهُ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

اعْلَمْ أَنَّ مِنْ أَعْظَمِ نَوَاقِضِ الإِسْلَامِ عَشَرَة:

الأَوَّلُ: الشِّرْكُ فِي عِبَادَةِ اللهِ، وَالدَلِيلُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء﴾ وَمِنْهُ الذَّبْحُ لِغَيْرِ اللهِ، كَمَنْ يَذْبَحُ لِلْجِنِّ أَوْ لِلْقَبْرِ.

Ketahuilah bahwa termasuk pembatal keislaman terbesar ada 10 yaitu:

Pertama: syirik dalam beribadah kepada-Nya. 
Dalilnya adalah firman-Nya:“Sesungguhnya Allâh tidak mengampuni dosa syirik dan mengampuni dosa di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki-Nya?” (QS. An-Nisâ [4]: 48)

Di antara syirik adalah menyembelih untuk selain Allâh seperti orang yang menyembelih untuk jin atau orang mati.

الثَّانِي: مَنْ جَعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ وَسَائِطَ يَدْعُوهُمْ وَيسْأَلُهُمْ الشَّفَاعَةَ، وَيَتَوَكَّلُ عَلَيْهِمْ كَفَرَ إِجْمَاعًا.
Kedua: siapa menjadikan perantara-perantara antara dirinya dengan Allâh di mana dia berdoa kepada mereka, meminta syafaat kepada mereka, dan bertawakkal kepada mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.

الثَّالِثُ: مَنْ لَمْ يُكَفِّرِ المُشْرِكِينَ أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ، أَوْ صَحَّحَ مَذْهَبَهُم،ْ كَفَرَ.
Ketiga: siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, ragu akan kekafiran mereka, atau membenarkan keyakinan mereka, maka dia kafir berdasarkan ijma’.

الرَّابِعُ: مَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ غَيْرَ هَدْي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم أَكْمَلُ مِنْ هَدْيِهِ وَأَنَّ حُكْمَ غَيْرِهِ أَحْسَنُ مِنْ حُكْمِهِ كَالذِينَ يُفَضِّلُونَ حُكْمَ الطَّوَاغِيتِ عَلَى حُكْمِهِ فَهُوَ كَافِرٌ.
Keempat: siapa yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna daripada petunjuk beliau, atau selain hukum beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada hukum beliau seperti orang-orang yang lebih mendahulukan hukum thaghut daripada hukum beliau, maka dia kafir.

الخَامِسُ: مَنْ أَبْغَضَ شَيْئًا مِمَّا جَاءَ بِهِ الرَّسُولُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم - وَلَوْ عَمِلَ بِهِ -، كَفَرَ،وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ﴾
Kelima: siapa membenci apa pun dari apa yang dibawa Rasulullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun mengerjakannya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Demikian itu karena mereka membenci apa yang Allâh turunkan sehingga Dia menghapus amal kebaikannya.” (QS. Muhammad [47]: 9)

السَّادِسُ: مَنِ اسْتَهْزَأَ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِ اللهِ، أَوْ ثَوَابِهِ، أَوْ عِقَابِهِ، كَفَرَ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ﴾ 
Keenam: siapa yang mengolok-olok apa pun dari agama Allâh, atau pahala-Nya, atau siksa-Nya adalah kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Katakanlah: apakah terhadap Allâh, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian mengolok-ngolok. Tidak perlu meminta maaf karena sungguh kalian telah kafir setelah kalian beriman.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)

السَّابِعُ: السِّحْرُ - وَمِنْهُ: الصَّرْفُ وَالعَطْفُ-، فَمَنْ فَعَلَهُ أَوْ رَضِيَ بِهِ كَفَرَ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى:﴿وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ﴾
Ketujuh: sihir misalnya sharf dan ‘athf. Siapa yang melakukannya atau ridha terhadapnya maka kafir. Dalilnya adalah firman-Nya: “Keduanya tidak mengajari seorangpun kecuali mengatakan: kami hanyalah fitnah maka janganlah kamu kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)

الثَّامِنُ: مُظَاهَرَةُ المُشْرِكِينَ وَمُعَاوَنَتُهُمْ عَلَى المُسْلِمِينَ وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين﴾
Kedelapan: menolong orang-orang musyrik dan membantu mereka dalam melawan kaum muslimin. Dalilnya adalah firman-Nya: “Siapa dari kalian yang berloyal kepada mereka maka ia bagian dari mereka. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” (QS. Al-Mâ`idah [5]: 51)

التَّاسِعُ: مَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ بَعْضَ النَّاسِ يَسَعُهُ الخُرُوجُ عَنْ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم كَمَا وَسِعَ الخَضِرُ الخُرُوجَ عَنْ شَرِيعَةِ مُوسَى عَلَيهِ السَّلَامُ، فَهُوَ كَافِرٌ.
Kesembilan: siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia tidak wajib mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia boleh keluar dari syariat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana Khidhir keluar dari syariat Musa‘alaihissalam, maka ia kafir.

العَاشِرُ: الإِعْرَاضُ عَنْ دِينِ اللهِ تَعَالَى لَا يَتَعَلَّمُـهُ وَلَا يَعْمَـلُ بِهِ، وَالدَلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ﴾
Kesepuluh: berpaling dari agama Allâh dengan tidak mempelajarinya atau mengamalkannya. Dalilnya firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada seseorang yang dibacakan kepadanya ayat-ayat Rabb-nya lalu dia berpaling darinya. Sesungguhnya Kami akan menghukum orang-orang pendosa.”(QS. As-Sajdah [32]: 22)

وَلَا فَرْقَ فِي جَمِيعِ هَذِهِ النَّوَاقِضِ بَيْنَ الهَازِلِ وَالجَادِّ وَالخَائِفِ إِلَّا المُكْرَهِ.
Tidak ada perbedaan dalam pembatal-pembatal ini antara orang yang bercanda, serius, atau takut kecuali orang yang dipaksa.

وَكُلُّهَا مِنْ أَعْظَمِ مَا يَكُونُ خَطَرًا، وَأَكْثَرِ مَا يَكُونُ وُقُوعًا، فَيَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَحْذَرَهَا وَيَخَافَ مِنْهَا عَلَى نَفْسِهِ. نَعُوذُ بِاللهِ مِنْ مُوجِبَاتِ غَضَبِهِ، وَأَلِيمِ عِقَابِهِ.
Semua pembatal ini termasuk perkara besar yang perlu diwaspadai dan termasuk perkara yang sering terjadi. Wajib bagi setiap muslim untuk mewaspadainya dan takut menimpa dirinya. Kita berlindung kepada Allâh dari mendapatkan kemurkaan-Nya dan pedihnya siksa-Nya.

وَصَلَّى اللهُ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Kamis, 28 Agustus 2025

HUBUNGAN INTIM DIPAGI HARI JUM'AT

Anjuran Hubungan Intim pada Malam Jumat.

Di kalangan awam, terjadi pemahaman bahwa pada malam Jum’at itu disunnahkan untuk hubungan intim. 
Bahkan inilah yang dipraktekkan. 
Memang ada hadits yang barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang dipahami oleh mereka.

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَّلَ ، وَبَكَّرَ وَابْتَكَرَ ، وَدَنَا وَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا أَجْرُ سَنَةٍ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا

“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud  hadits penyebutan mandi dengan ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Bahkan inilah makna yang lebih tepat.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,

قال الإمام أحمد : (غَسَّل) أي : جامع أهله ، وكذا فسَّره وكيع

Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.

Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi junub.

Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya.

Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak memahaminya pada malam Jum’at.

وقال السيوطي في تنوير الحوالك: ويؤيده حديث: أيعجز أحدكم أن يجامع أهله في كل يوم جمعة، فإن له أجرين اثنين: أجر غسله، وأجر غسل امرأته. أخرجه البيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة.

As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut berkata: 
Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari) ...? 
Karena menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: 
(1) pahala mandi Jum’at, 
(2) pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). 
Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

"Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub".

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al-Majmu’, 1: 326)

Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat awam. Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari. Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami bawakan di awal.

Wallahu a’lam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad."

ULAMA DAN PEMERINTAH



عن عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ ، حَدَّثَنِي أَبِي ، حدثنا مَعْمَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الرَّقِّيُّ ، عَنْ فُرَاتِ بْنِ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ ، قَالَ : “ 
ثَلاثٌ لا تَبْلُوَنَّ نَفْسَكَ بِهِنَّ : 
لا تَدْخُلْ عَلَى السُّلْطَانِ وَإِنْ قُلْتَ آمُرُهُ بِطَاعَةِ اللَّهِ ، 
وَلا تَدْخُلْ عَلَى امْرَأَةٍ وَإِنْ قُلْتَ أُعَلِّمُهَا كِتَابَ اللَّهِ ، 
وَلا تُصْغِيَنَّ بِسَمْعِكَ لِذِي هَوًى ، فَإِنَّكَ لا تَدْرِي مَا يَعْلَقُ بِقَلْبِكَ مِنْهُ ”  
اه حلية الأولياء لأبي نعيم.

وأيضا عن عبد الله بن أحمد بن حنبل: حدثنا إبراهيم بن الحسن الباهلي ، حدثنا حماد بن زيد قال : قَالَ يُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ : “ ثَلاثَةٌ احْفَظُوهُنَّ عَنِّي : 
لا يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ عَلَى سُلْطَانٍ يَقْرَأُ عَلَيْهِ الْقُرْآنَ ، 
وَلا يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ مَعَ امْرَأَةٍ شَابَّةٍ يَقْرَأُ عَلَيْهَا الْقُرْآنَ ، 
وَلا يُمَكِّنْ أَحَدُكُمْ سَمْعَهُ مِنْ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ “ اهـ حلية الأولياء لأبي نعيم.
Islam Memandang Ulama di Pemerintahan

Ulama mengemban amanah dari para rasul untuk membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Ketika mereka sangat dekat dengan kekuasaan, maka mereka dikhawatirkan kehilangan peran sebagai pembawa kemaslahatan karena menjadi bagian dari penguasa yang zalim.

Rasulullah SAW pernah bersabda:

الْعُلَمَاءُ أُمَنَاءُ الرُّسُلِ عَلَى عِبَادِ اللهِ تَعَالَى مَالَمْ يُخَالِطُوا السَّلاَطِيْنَ. فَإِنْ خَالَطُوْهُمْ وَفَعَلُوْا ذَلِكَ فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ وَخَانُوْهُمْ فَاحْذَرْهُمْ وَاعْتَزِلُوْهُمْ

Artinya, “Para ulama adalah kepercayaan para rasul atas para hamba Allah selama mereka tidak bergaul dengan para penguasa. Tetapi kalau mereka bergaul dan berbuat demikian, maka sungguh mereka telah berkhianat kepada para rasul dan para hamba Allah, maka takut dan hindarilah mereka,” (HR Ad-Dailami).

Meskipun para ulama hadits memandang sebagian perawi hadits ini bermasalah, konten atau semangat hadits ini cukup baik sebagai kaidah etis bagi para intelektual dan juga pemuka agama untuk tidak menjadi bagian dalam sistem kekuasaan tanpa kontrol seperti kekuasaan yang berlangsung beberapa abad lalu, yaitu di zaman raja-raja di mana hukum tidak menjadi supremasi karena politik yang memegang kekuasaan tertinggi.

Lalu dengan ulama atau pemuka agama yang menjabat kekuasaan tertentu atau merapat dengan pemerintah di era demokrasi seperti ini?

Masalah ini tidak bisa dipandang secara hitam dan putih di mana ulama yang mendekat kepada penguasa adalah ulama su’, ulama munafik, ulama zalim, atau intelektual yang melacurkan diri. Sebaliknya, ulama yang menjauh dari kekuasaan atau ulama yang mengambil sikap oposisi terhadap penguasa dianggap sebagai ulama yang zuhud, ulama yang haq, ulama yang adil, ulama pewaris nabi dan rasul, ulama ikhlas, dan seterusnya.

Masalah ini pernah dibahas dalam Konferensi Besar Ke-1 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta pada 21-25 Syawal 1379 H/18-22 April 1960 M. Para kiai NU ketika itu yang menerima usulan pertanyaan dari PCNU Kudus menjawab bahwa para ulama pejabat pemerintah itu tidak termasuk dalam hadits jika menjabatnya karena ada hajat/darurat/kemaslahatan agama, dan dengan niat yang baik.

Para kiai NU ketika itu mencoba menjawab persoalan ini dengan hati-hati. Mereka mengutip apa yang dikemukakan oleh Muhammad Babashil dalam karyanya Is’adur Rafiq berikut ini:

وَأَنْ لاَ يَكُوْنَ مُتَرَدِّدًا عَلَى السَّلاَطِيْنَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ أَرْبَابِ الرِّيَاسَةِ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ لِحَاجَةٍ وَضَرُوْرَةٍ أَوْ مَصْلَحَةٍ دِيْنِيَّةٍ رَاجِحَةٍ عَلَى الْمَفْسَدَةِ إِذَا كَانَتْ بِنِيَّةٍ حَسَنَةٍ صَالِحَةٍ. وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ مَا جَاءَ لِبَعْضِهِمْ مِنَ الْمَشْيِ وَالتَّرَدُّدِ إِلَيْهِمْ كَالزُّهْرِي وَالشَّافِعِي وَغَيْرِهِمَا لاَ عَلَى أَنَّهُمْ قَصَدُوْا بِذَلِكَ فُضُوْلَ اْلأَغْرَاضِ الدُّنْيَوِيَّةِ قَالَهُ السَّمْهُوْدِي

Artinya, “Dan hendaknya tidak bolak-balik pergi ke sultan dan para penguasa dunia lainnya kecuali karena hajah, darurat, atau maslahat agama yang lebih besar daripada mafsadatnya,  jika disertai niat baik. Pada konteks seperti inilah pergaulan para ulama seperti Az-Zuhri, As-Syafi’I, dan selainnya dengan para penguasa dipahami bukan dalam konteks mereka mencari kepentingan duniawi. Demikian kata As-Samhudi,” (Lihat Muhammad Babashil, Is’adur Rafiq ‘ala Sullamit Taufiq, [Indonesia, Dar Ihya’il Kutubil Arabiyah: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 31).

Dari keterangan ini, kami menyarankan agar kita semua hati-hati memandang ulama atau pemuka agama yang dekat dengan kekuasaan agar tidak jatuh dalam buruk sangka. Kami juga menyarankan agar kita berhati-hati dalam komentar di media sosial perihal fenomena ulama atau pemuka agama yang duduk dalam jabatan tertentu atau mendapat amanat tertentu.

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

HUKUM ZAKAT FITRAH BENTUK UANG

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG

حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 

وقد اختلف العلماء في حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة بدلاً عن أعيانها على المذهبين:

المذهب الأوّل : مذهب جمهور العلماء وهو ما ذهب إليه الأئمة الثلاثة مالك والشافعي وأحمد رحمهم الله تعالى من أنه لا يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات، مستدلين بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في إخراج زكاة الفطر بأعيانها من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها . 
فعن عبدالله بن عمر رضي الله عنه، قال : »فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ زَكاةَ رَمَضاَنَ عَلىَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ ، وَالذَّكِرِ وَاْلأُنْثىَ ، صاَعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صاَعًا مِنْ شَعِيْرٍ . فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صاَعٍ مِنْ بُرٍّ «. أخرجه النسائي (2500) واللفظ له، وأخرجه البخاري (1511)، ومسلم (984).

وأما المذهب الثاني فهو ما ذهب إليه بعض الأئمة سفيان الثوري وأبوحنيفة وأصحابه والبخاري في صحيحه رحمهم الله تعالى من أنه يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات. 
وقد روى ذلك عن عمر بن عبد العزيز والحسن البصري كما ورد في مصنَّف ابن أبي شيبة. فعن عون قال سمعت كتاب عمر بن عبد العزيز يقرأ إلى عدي (يعني الوالي) بالبصرة :( يؤخذ من أهل الديوان من أعطياتهم من كل إنسان نصف درهم). 

وعن الحسن البصري قال: (لا بأس أن تعطي الدراهم في صدقة الفطر). 
وعن أبي إسحاق قال: (أدركتهم وهم يؤدون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام). 
وعن عطاء: (أنه كان يعطي في صدقة الفطر وَرِقًا – دراهم فضية). (مصنَّف ابن أبي شيبة، باب إعطاء الدراهم في زكاة الفطر، ج 3 ص 37-38). 
قال الإمام النووي: (وهو الظاهر من مذهب البخاري في صحيحه وهو وجه لنا كما سبق). انتهى (محيى الدين النووي، المجموع شرح المهذّب، ج ٥ ص ٤٢٩).

 وقد أفتى الإمام الرملي من الشافعية بجواز دفع القيمة في زكاة الفطر، تقليداً للإمام أبي حنيفة في إخراج بدل زكاة الفطر دراهم. (فتاوى الرملي على هامش كتاب الفتاوى الكبرى للإمام ابن حجرالهيتمي، ج 1 ص 56). 
فهذا كله يدل على أن القيمة معتبرة عندهم في أداء زكاة الفطر.

ويستدل هذا المذهب الثاني بالأدلة منها قول الله سبحانه وتعالى : ﴿ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً ﴾. سورة التوبة : 103.
وقال المجوّزون في إخراج زكاة الفطر بالقيمة :( فهو تنصيص على أن المأخوذ مال، والقيمة مال فأشبهت المنصوص عليه) ،أي الأعيان في صدقة الفطر من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها).
(فتوى قضاة المحكمة الإستئناف العليا الشرعية دولة البحرين في جوازإخراج زكاة الفطر بالقيمة، ملحق في كتاب تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، للشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ص 51).

ويستدل أيضاً بقول النبي صلى الله عليه وسلم : »أَغْنُوْهُمْ (يعني المساكين) عَنِ الطَّواَفِ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ«. رواه البيهقي في السنن الكبرى، عن عبدالله بن عمر، ج 4 ص 175. 
والإغناء يحصل بالقيمة كما يحصل بالطعام.

والمذهب الراجح عندي هو المذهب الثاني الذي يجوّز إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 
ووجه الترجيح هو : بالرغم من وجود أمرمن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل الذي أرسله إلى اليمن لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، لكنه عليه الصلاة والسلم قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
والتقرير من النبي صلى الله عليه وسلم دليل شرعي كقوله وفعله عليه الصلاة والسلام سواء بسواء. فعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ وَقَالَ لَهُ: » خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه (1814) وأبو داود (1599).

ففي هذا الحديث قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم معاذا بن جبل لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، إلاّ أنه عليه الصلاة والسلم مع ذلك، قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
وقد قال الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في كتابه تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال :( إن أخذ القيمة في الزكاة ثابة عن النبي صلى الله عليه وسلم عن جماعة من الصحابة في عصره وبعد عصره). انتهى. 
(الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ،تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10).

ثم بعد ذلك أورد الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في الكتاب المذكور أعلاه (ص 10-11) روايات من جماعة من الصحابة تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، من ثلاثة كتب : الخراج ليحيى بن آدم القرشي، المصنّف لابن أبي شيبة، والأموال لأبي عبيد. 
وأنقل إليكم ذلك كما هو بكماله للفائدة ما يلي :

قال يحيى بن آدم القرشي في كتاب الخراج (تحقيق الشيخ أحمد شاكر، ص 138) : 
حدثنا سفيان بن عيينة، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : 
(ائتوني بعرض ثياب آخذه منكم مكان الذرة والشعير، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال يحيى بن آدم القرشي أيضاً : حدثنا سفيان بن عيينة، عن إبراهم بن ميسرة، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : (ائتوني بخميس أو لبيس (أي ملبوس) آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال بن أبي شيبة في المصنَّف : حدثنا عبد الرحيم، عن الحجاج، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال : (بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معاذاً إلى اليمن فأمره أن يأخذ الصدقة من الحنطة والشعير،فأخذ العروض والثياب بدل الحنطة والشعير).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا جرير بن عبد الحميد، عن ليث، عن عطاء : (أن عمر كان يأخذ العروض في الصدقة من الوَرِقِ وغيرها).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا بن عيينة، عن إبراهيم بن ميسرة، فذكر مثل ما رواه يحيى بن آدم القرشي عن سفيان في الخميس واللبيس ثم قال :
حدثنا وكيع، عن سفيان، عن إبراهيم بن ميسرة، عن طاوس : (أن معاذاً كان يأخذ العروض في الصدقة).

وقال بن أبي شيبة : حدثنا وكيع، عن أبي سنان، عن عنترة، (أن علياًّ عليه السلام كان يأخذ العروض في الجزية من أهل الابر الابر، ومن أهل المال المال، ومن أهل الحبال الحبال).

وقال أبو عبيد في الأموال : (وقد جاء الثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمرمعاذاً حين خرج إلى اليمن بالتيسير على الناس، وأن لا يأخذ كرائم أموالهم. ثم جاء مفسراً عن معاذ في حديث آخر، أنه قال هناك : ائتوني بخميس أو لبيس آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أيسر عليكم، وأنفع للمهاجرين بالمدينة. فالأسنان بعضها ببعض أشبه من العروض بها، وقد قبلها معاذ).

وروى عن عمر وعلي مثله في الجزية، (أنهما كانا يأخذان مكانها غيرها).

حدثني يحيى بن بكير، عن مالك، عن زيد بن أسلم، عن أبيه، عن عمر: (إنه كان يأتيه من الشام نعم كثيرة من الجزية).

حدثنا محمد بن ربيعة، وأبو نعيم، عن سعيد بن سنان، عن عنترة، عن علي عليه السلام : 
(أنه كان يأخذ الجزية من أصحاب الابر الابر)...فذكر مثل ما رواه ابن أبي شيبة، ثم قال : (قد رخّصا في أخذ العروض والحيوان مكان الجزية، وإنما أصلها الدراهيم والدنانير والطعام). 
قال : (وكذلك رأيهما في الديات من الذهب والوَرِق والإبل والبقر والغنم والخيل. إنما أرادا التسهيل على الناس، فجعلا على أهل كل بلد ما يمكنهم). انتهى (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10-11).

فجميع هذه الروايات تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، وذلك أن من المعلوم أن معاذا كان يُرسل ذلك (أي المأخوذات من الزكاة) من اليمن إلى النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة، لأنه متولي الصدقة يأخذها من اليمن ومفرّقها على الفقراء بالمدينة، وقد قبل ذلك النبيُّ صلى الله عليه وسلم بالمدينة وقد أقره النبي صلى الله عليه وسلم ذلك، أي أخذ الزكاة بالقيمة. مع العلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قال لمعاذ لأخذ الزكاة بأعيانها حين أرسله إلى اليمن : »خُذْ الْحَبَّ مِنْ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنْ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنْ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه وأبو داود.

ومع ذلك، قد أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم في أخذ الزكاة بالقيمة. والإقرار من النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك دليل الجواز في أخذ الزكاة بالقيمة شرعاً، إذ لو كان ما فعله معاذ في اليمن يخالف الشرع لَماَ أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم ذلك ولَأَمَرَ معاذا بردّ ذلك إلى أهله في اليمن ونهاه عنه. ولم يحصل شيءٌ من ذلك. (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 12).

وبناءً على ذلك كلّه، فالخلاصة أن المذهب الراجح عندي هو القول بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات كذلك، وإن كان الأفضل هو إخراج زكاة الفطر بأعيناها تمسّكاً بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك. فمن أخرج زكاة الفطر بأعيناها فقد اختار بالأفضل، ومن أخرجها بالقيمة فلا بأس به ولا حرج.

وقد كنت أنا أرى منذ سنة 2010 أن إخراج زكاة الفطر بالقيمة لا يجوز شرعاً، مرجحاً مذهب الجمهور. وها أنا الآن في سنة 2024  أي في سنة 1445 في اليوم الخامس من شهر شوال قد تركت ذلك القول وأميل الآن إلى القول الجديد بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة، بعد الدراسة والتدقيق والتمحيص في هذا الأمر، بعون الله وتوفيقه، والله أعلم.

BENARKAH TIDAK DIANJURKAN SHALAT ROWATIB KETIKA SAFAR,,,?

Benarkah Tidak Dianjurkan Shalat Sunnah Rawatib Ketika dalam Perjalanan?

shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan
Dalam sebuah pengajian, ada seorang ustadz yang menjelaskan bahwa ketika kita dalam perjalanan, kita tidak dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah shalat wajib. Hal ini karena dalam perjalanan, kita dianjurkan untuk meringankan shalat dengan jamak dan qashar, termasuk juga dengan tidak melakukan shalat sunnah rawatib. Benarkah tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan? (Baca: Doa Nabi Setelah Shalat Sunah Rawatib)

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut ulama Syafiiyah dan kebanyakan ulama yang lain, shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya tetap dianjurkan untuk kita kerjakan selama dalam perjalana. Meskipun kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, namun hal itu tidak menggugurkan anjuran melakukan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah yang lain.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

قال أصحابنا يستحب صلاة النوافل في السفر سواء الرواتب مع الفرائض وغيرها

Ulama kami berkata, ‘Dianjurkan melaksanakan shalat-shalat sunnah ketika dalam perjalanan, baik shalat sunnah rawatib maupun shalat sunnah lainnya.

Di antara dalil yang dijadikan dasar adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

كان يصلي النوافل على راحلته في السفر حيث توجهت به

Nabi Saw melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dalam perjalanan dengan menghadap sesuai kendaraannya melaju.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم الظهر في السفر ركعتين وبعدها ركعتين

Saya bersama Nabi Saw melaksanakan shalat Dzuhur dua rakaat, kemudian setelahnya melakukan shalat dua rakaat.

Adapun menurut sebagian ulama, tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah dalam perjalan, baik shalat sunnah rawatib dan lainnya. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

وقالت طائفة لا يصلي الرواتب في السفر

Sebagian kelompok ulama berkata, ‘Tidak dianjurkan melakukan shalat rawatib dalam perjalanan.’

Dari dua pendapat di atas, yang banyak diikuti oleh para ulama adalah pendapat pertama. Oleh karena itu, meskipun dalam perjalanan kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, kita tetap dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudah shalat wajib.

Lalu bagaimana cara shalat rawatib bagi orang yang menjamak ketika mukim?

Kita simak beberapa keterangan ulama yang menjelaskan urutan dan tata caranya, sebagai berikut,

[Pertama] Keterangan An-Nawawi

Dalam kitabnya – Raudhah at-Thalibin  – beliau menjelaskan teknis jamak dan shalat rawatib bagi orang yang mukim,

في جمع العشاء والمغرب يصلي الفريضتين ثم سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر .وأما في الظهر : فالصواب الذي قاله المحققون أنه يصلي سنة الظهر التي قبلها ثم يصلي الظهر ثم العصر ثم سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر

Untuk jamak isya dan maghrib, yang dilakukan adalah mengerjakan kedua shalat wajib (maghrib dan isya) terlebih dahulu, kemudian sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. Sementara untuk jamak shalat dzuhur, yang benar adalah keterangan para ulama peneliti (ahlu Tahqiq), yaitu dengan cara melaksanakan shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur, kemudian shalat asar, kemudian shalat bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar. (Raudhah at-Thalibin, 1/402).

[kedua] Keterangan Imam Zakariya al-Anshari – ulama Syafiiyah –,

وإن جمع تقديما بل أو تأخيرا في الظهر والعصر صلى سنة الظهر التي قبلها ثم الفريضتين الظهر ثم العصر ثم باقي السنن مرتبة أي سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر وفي المغرب والعشاء يصلي الفريضتين ثم السنن مرتبة سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر

Jika ada orang yang melakukan jamak taqdim atau ta’khir untuk shalat dzuhur dan asar, maka yang dia lakukan adalah shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur dan asar, kemudian shalat sunah rawatib lainnya secara berurutan, yaitu shalat sunah bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar.

Untuk maghrib dan isya, dia kerjakan shalat maghrib dan isya, kemudian shalat sunah setelahnya secara berurutan, shalat sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. (Asna al-Mathalib, 1/245)

[Ketiga] Keterangan Ibnu Qudamah

وإذا جمع في وقت الأولى فله أن يصلي سنة الثانية منهما ويوتر قبل دخول وقت الثانية لأن سنتها تابعة لها فيتبعها في فعلها ووقتها والوتر وقته ما بين صلاة العشاء إلى صلاة الصبح وقد صلى العشاء فدخل وقته

Jika ada orang telah melakukan jamak taqdim (maghrib dan isya), selanjutnya dia bisa melakukan shalat sunah rawatib keduanya (bakdiyah maghrib dan isya), kemudian melakukan shalat witir (meskipun) belum masuk waktu shalat isya. Karena shalat sunah witir mengikuti shalat isya. 
Sehingga waktu dan pelaksanaannya mengikuti pelaksanaan shalat isya. Sementara witir waktunya antara shalat isya sampai subuh. 
Dan dia melaksanakan shalat isya, sehingga telah masuk waktunya. (al-Mughni, 2/124).

[Keempat] keterangan al-Mardawi dalam al-Inshaf,

يصلي سنة الظهر بعد صلاة العصر من غير كراهة قاله أكثر الأصحاب

Orang yang melakukan jamak dzuhur dengan asar maka dia mengerjakan shalat sunah bakdiyah dzuhur setelah shalat asar, dan tidak makruh. 
Ini merupakan pendapat mayoritas hambali. (al-Inshaf, 2/241)."
ALLAHU A'LAM..

BOLEHKAH MENGGABUNGKAN THOWAF WADA' DAN IFADHOH.

Bolehkah Mengabungkan Thawaf Wada' dengan Ifadhah?

Semakin membludak jamaah haji dari seluruh penjuru dunia desak-desakan ekstrim tidak lagi dapat dihindari, utamanya saat thawaf. 
Ibadah haji adalah ibadah badaniyah yang membutuhkan kondisi tubuh dalam keadaan fit. 
Kenyataannya ada beberapa kondisi seseorang merasa berat atau bahkan tidak mampu melaksanakan thawaf, padahal dalam ibadah haji setidaknya ada tiga kali thawaf yakni, thawaf qudum, ifadhah dan wada'. 

Karenanya bolehkan orang menggabungkan thawaf ifadhah dan thawaf wada' menjadi satu kali thawaf dengan dua niat dengan tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisi tubuh yang sedang tidak fit?  
 
Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum thawaf wada' diperselisihkan oleh ulama se​​​​​​bagai berikut: 

Pertama, menurut mazhab Syafi'i thawaf wada' hukumnya wajib menurut pendapat ashah dan sunah menurut pendapat lain. 
Terkait pendapat madzhab Syafi'i dapat dilihat misalnya dalam kitab Al-Majmu' :
 
وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

Artinya, “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama—dan ini yang paling sahih—adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. 
Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. 
Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

Kedua, menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra: 

بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

Artinya, "Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

Abu Barakat Ad-Dardiri (wafat 1230 H) yang bermazhab Maliki dalam kitabnya As-Syarhul Kabir mengatakan:

وتَأَدَّى الوداعُ (بالإفاضة و) بطواف (العمرة) أي سقط طلبه بهما ويحصل له ثواب طواف الوداع إن نواه بهما.
 
Artinya, "Telah memenuhi thawaf wada' dengan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah. Maksudnya telah gugur tuntutan thawaf wada' dengan melakukan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah, dan telah hasil baginya pahala thawaf wada' jika ia meniatkannya dalam thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah." (Abu Barakat Ad-Dardiri, As-Syarhul Kabir, [Bairut, Dar-Fikr: tt], juz II, halaman 53). 

Kemudian, Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya: 

فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

Artinya, " Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. 
Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

Ulama lain dari mazhab hambali, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata: 
 
 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع.
 
Artinya, "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).
 
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa thawaf wada' hukumnya wajib menurut mazhab Syafi'i, sedangkan menurut mazhab Maliki, satu pendapat dalam mazhab Imam As-Syafi'i dan Mazhab Imam Ahmad, thawaf wada' hukumnya sunah.

Kemudian Madzhab Maliki dan Hanbali memperbolehkan mengumpulkan antara thawaf ifadhah dan wada' dalam satu kali thawaf. 
Hal ini berdasar pada tujuannya adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah, dan hal ini telah terlaksana dengan thawaf ifadhah.
 
Walhasil, mengingat dalam kondisi tertentu, pelaksanaan thawaf dua kali, yaitu thawaf ifadhah dan wada' secara terpisah akan sangat memberatkan (masyaqqah) terutama bagi jamaah haji dengan risiko tinggi, sakit dan lemah secara fisik, untuk meminimalisir risiko, maka dimungkinkan untuknya memilih teknis yang lebih mudah yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu waktu dengan dua niat, dan telah ia dapatkan pahala keduanya sekalipun hanya dengan satu kali thawaf. 
Wallahu a'lam bisshawab.

BENARKAH BULAN SAFAR DAN REBO WEKASAN SIAL.

Benarkah Safar Adalah Bulan Sial?

Safar merupakan bulan kedua dalam penanggalan Hijriah. 
Di bulan ini tak sedikit orang yang beranggapan merupakan bulan sial yang dipenuhi musibah dan keburukan. 
Akan tetapi anggapan ini sejatinya sudah dibantah oleh para ulama salaf.

Anggapan akan kesialan bulan Safar ini berangkat dari pemahaman bahwa di bulan Safar, lebih tepatnya hari Rabu terakhir, akan diturunkannya bencana oleh Allah SWT. 
Dan bencana yang akan turun pada hari itu akan dibagikan untuk sepanjang tahun.

Namun, Rasulullah SAW telah menegaskan untuk menolak anggapan tersebut. Penolakan itu dinyatakan dalam sebuah hadits berikut:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ.
 
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. 
Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR. Bukhari).

Menanggapi hadits di atas, Imam Jalaluddin as-Suyuti mengatakan bahwa tidak ada penularan penyakit yang disebabkan oleh ular (atau sejenis cacing) yang menyerang perut seseorang di bulan Safar. 
Berikut penjelasannya:

 
لَا صَفَرَ: وَفِي مَادَّةِ «صَفَر» ذَكَرَ الحَدِيثَ: «لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ»، فَقَالَ: كَانَتِ العَرَبُ تَزْعُمُ أَنَّ فِي البَطْنِ حَيَّةً يُقَالُ لَهَا الصَّفَرُ تُصِيبُ الإِنسَانَ إِذَا جَاعَ وَتُؤْذِيهِ، وَأَنَّهَا تَعْدِي، فَأَبْطَلَ الإِسْلَامُ ذَلِكَ، وَقِيلَ: أَرَادَ بِهِ النَّسِيءَ الَّذِي كَانُوا يَفْعَلُونَهُ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ تَأْخِيرُ المُحَرَّمِ إِلَى صَفَرَ، وَيَجْعَلُونَ صَفَرَ هُوَ الشَّهْرَ الحَرَامَ، فَأَبْطَلَهُ، نِهَايَةٌ.

 
Artinya, "Tidak ada Safar": Maksudnya, entri kata Safar yang disebutkan dalam hadits: "Tidak ada penularan, tidak ada hamah (burung tanda kesialan), dan tidak ada Safar". As-Suyuti berkata: Dahulu orang-orang Arab mengira bahwa di dalam perut terdapat seekor ular (sejenis cacing) yang disebut as-Safar, yang akan menyerang seseorang ketika lapar dan menyakitinya, serta bahwa ular ini dapat menular, dan Islam membatalkan keyakinan ini. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud Safar adalah an-nasī’, yaitu kebiasaan menunda bulan Muharram ke bulan Safar yang dilakukan pada masa jahiliyah, lalu mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram, namun Islam membatalkan praktik itu. 
(Imam Jalaluddin as-Suyuti, Jam'ul Jawami', [Mesir: Darus Sa'adah/Al-Azhar, 1426 H/ 2005 M], juz 11, halaman 563)

Lebih jauh, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan terkait hadits "La Safara", bahwasanya dahulu orang Arab jahiliyah mengharamkan (tidak adanya peperangan) bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharram, dan Islam datang untuk membatalkan paham dan perbuatan tersebut. 
Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan berikut ini:

وَقِيلَ فِي الصَّفَرِ قَوْلٌ آخَرُ، وَهُوَ أَنَّ المُرَادَ بِهِ شَهْرُ صَفَرَ، وَذَلِكَ أَنَّ العَرَبَ كَانَتْ تُحَرِّمُ صَفَرَ وَتَسْتَحِلُّ المُحَرَّمَ كَمَا تَقَدَّمَ فِي كِتَابِ الحَجِّ، فَجَاءَ الإِسْلَامُ بِرَدِّ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ مِنْ ذَلِكَ، فَلِذَلِكَ قَالَ ﷺ: «لَا صَفَرَ».

Artinya: "Dikatakan bahwa yang dimaksud Safar adalah bulan Safar itu sendiri, karena orang-orang Arab dahulu mengharamkan bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharram sebagaimana telah dijelaskan di Kitab Haji. Dan Islam datang untuk membatalkan perbuatan itu, sehingga Nabi SAW bersabda: "La Safar". (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, [Riyadh: Darus Salam, 2000 M/1421 H], juz 10, halaman 211).

Jadi, pada dasarnya orang Arab jahiliyah pada waktu itu banyak yang menganggap bahwa Safar adalah bulan sial yang penuh musibah, terutama pada hari Rabu terakhir. 
Ada juga yang beranggapan bahwa Safar diartikan sebagai ular atau cacing dalam perut yang dianggap menular. 
Dan ada yang memaknainya sebagai an-nasī’ (penundaan bulan Muharram ke Safar) yang dilakukan di masa jahiliyah. 
Akan tetapi Islam telah membatalkan kedua keyakinan atau praktik ini, sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas.

Maka dari itu, anggapan bahwa Safar adalah bulan sial tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Keyakinan tersebut merupakan warisan tahayul dan kebiasaan jahiliyah dan telah diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. 
Safar adalah bulan biasa seperti bulan lainnya. 
Segala musibah atau kebaikan terjadi semata-mata karena ketentuan dan kehendak Allah, bukan karena waktu atau bulan tertentu. 
_________________________

SHALAT REBO WEKASAN

Hasyim Asyari Haramkan Salat dengan Niat Rebo Wekasan atau Rabu Terakhir Bulan Safar

Adakah salat Rabu Wekasan?...
Dengan tegas Hadlratusysyekh KH Hasyim Asyari mengharamkan salat dengan niat Rabu Wekasan.

Sekadar diketahui, KH Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Rabu Wekasan tahun ini bertepatan degan 6 Oktober 2021 disebut oleh sebagian orang dengan Rebo Wekasan atau hari Rabu terakhir di bulan Safar (Tahun Hijriah). 

Sejumlah acara ritual bertujuan tolak bala (memohon dihindarkan dari musibah) dilakukan oleh sebagian orang pada hari Rabu Wekasan itu. 

Dimulai dari sekadar berdoa kepada Allah SWT, selamatan, ada juga yang berpuasa dan bahkan salat sunnah tolak bala.

Namun, sebagaimana dilansir dari laman jatim.nu.or.id, jika salat itu diniatkan sebagai salat Rabu Wekasan, dengan tegas Hadlratusysyekh KH M Hasyim Asyari mengharamkannya :

وَلاَ يَحِلُّ اْلإِفْتَاءُ مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيْبَةِ. وَقَدْ عَرَفْتَ اَنَّ نَقْلَ الْمُجَرَّبَاتِ الدَّيْرَبِيَّةِ وَحَاشِيَةِ السِّتِّيْنَ لاِسْتِحْبَابِ هَذِهِ الصَّلاَةِ الْمَذْكُوْرَةِ يُخَالِفُ كُتُبَ الْفُرُوْعِ اْلفِقْهِيَّةِ فَلاَ يَصِحُّ وَلاَ يَجُوْزُ اْلإِفْتَاءُ بِهَا

 
Artinya: Tidak boleh berfatwa dari kitab-kitab yang aneh. Anda telah mengetahui bahwa kutipan dari kitab Mujarrabat Dairabi dan Masail Sittin yang menganjurkan salat tersebut [Rebo Wekasan] bertentangan dengan kitab-kitab fikih, maka salatnya tidak sah, dan tidak boleh berfatwa dengannya. (Tanqih al-Fatwa al-Hamidiyah, NU Menjawab Problematika Umat, PWNU Jatim)

Ustadz Ma'ruf Khozin dalam artikelnya di laman jatimnu.or.id menjelaskan, ada perbedaan pendapat terkait tradisi Rabu Wekasan ini.

Letak perbedaan pendapat hingga munculnya fatwa haram salat Rabu Wekasan sebenarnya pada titik niat.

Menurut kalangan fukaha, melakukan shalat pada hari Rabu tersebut dengan niat sebagai shalat Rabu Wekasan (Rabu akhir bulan Safar) tergolong bidah yang haram.

Sedangkan kalangan tarekat/sufi yang mengamalkannya mendasarkan pada kasyaf sebagian ulama yang mengatakan adanya turun bala’/bencana pada hari tersebut.

Namun bukan berarti NU melarang sama sekali pelaksanaan kegiatan tersebut.
 
Menengahi dua kalangan tersebut, kalangan fuqaha sendiri mengetengahkan solusinya; apabila salatnya diniatkan sebagai salat sunah muthlak atau sebagai salat hajat, maka hal itu boleh saja.

Wallahu a'lam.
 https://jatim.nu.or.id/keislaman/benarkah-safar-adalah-bulan-sial-ini-penjelasannya-REsti#:~:text=Keislaman,Jatim%20%7C%20Nahdlatul%20Ulama

BAHAYA SYIRIK/MUSYRIK

Bahaya Jika Kita Berbuat Syirik.

Syirik bukanlah hanya diartikan dengan seseorang menyembah berhala atau mengakui ada pencipta selain Allah. 
Hal tadi memang termasuk syirik. Namun kesyrikan sebenarnya lebih luas daripada itu. 
Dalam masalah ibadah, jika ada satu ibadah dipalingkan kepada selain Allah, itu pun sudah termasuk syirik.

Meskipun ibadah itu ditujukan kepada malaikat, orang sholeh, seorang nabi, wali, jin atau pada batu berhala, kesemuanya sama-sama syirik. Sehingga jika ada yang menyembelih dengan melakukan tumbal pada jin penjaga jembatan, maka ini pun termasuk kesyirikan karena nusuk (penyembelihan) adalah suatu ibadah. Begitu juga bergantungnya hati atau tawakkal adalah ibadah, sehingga jika seseorang menggantungkan hati pada jimat, penglaris, rajah, wafaq, susuk dan pelet dengan tujuan untuk kesaktian, membuat laris dagangan, atau menarik cinta, ini pun termasuk kesyirikan. Namanya ibadah hanya boleh ditujukan pada Allah semata. Inilah makna syirik yang patut kita pahami dengan baik.

Jika kita telah memahami hal ini, maka perlu diketahui bahwa kesyirikan memiliki bahaya yang amat besar dan pengaruh ini akan dirasakan di dunia dan akhirat kelak. Tulisan berikut ini akan mengupas beberapa bahaya kesyirikan secara global dan ringkas:

1. Segala kejelekan di dunia dan akhirat diakibatkan oleh syirik.

2. Sebab utama kesulitan di dunia dan akhirat adalah karena syirik.

3. Rasa khawatir dan lepasnya rasa aman di dunia dan akhirat disebabkan karena syirik. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al An’am: 82).

4. Orang yang berbuat syirik akan sesat di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا

“Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” (QS. An Nisa’: 116).

5. Orang yang berbuat syirik akbar (besar) tidak akan diampuni oleh Allah jika mati dan belum bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’: 48).

6. Jika seseorang berbuat syirik akbar (besar), seluruh amalannya bisa terhapus. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 88).

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65).

7. Orang yang berbuat syirik akbar pantas masuk neraka dan diharamkan surga untuknya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ.
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al Maidah: 72).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ.
“Barangsiapa yang mati dalama keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada Allah, maka ia akan masuk neraka” (HR. Muslim no. 93).

8. Syirik akbar membuat pelakunya kekal dalam neraka. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (QS. Al Bayyinah: 6).

9. Syirik adalah sejelek-jelek perbuatan zholim dan sejelek-jeleknya dosa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.” (QS. Lukman: 13).

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.
“Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa’: 48).

10. Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang yang berbuat syirik. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

“Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin” (QS. At Taubah: 3).

Melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai bahaya syirik, saat ini kita akan mengulas beberapa bahaya syirik lainnya berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah. 
Hal ini perlu diulas karena mengingat begitu berbahanya syirik. 
Namun begitulah kaum muslimin kurang peduli akan hal ini. Dosa yang berada di bawah kesyirikan didemo habis-habisan. 
Beda halnya ketika mereka memperlakukan orang yang pergi ke kuburan-kuburan wali dan berbuat kesyirikan di sana. 
Na’udzu billahi min dzalik.

Berikut lanjutan bahaya kesyirikan lainnya:

11. Syirik adalah sebab utama yang mendatangkan murka dan siksa Allah, serta menjauhkan seseorang dari rahmat Allah. Semoga Allah melindungi kita dari segala hal yang mendatangkan murka Allah.

12. Syirik menghapuskan cahaya fithroh seorang hamba. Karena seorang hamba pertama kali dijadikan dalam keadaan fithroh yaitu di atas tauhid dan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar Rum: 30).

Begitu pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ، كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ » . ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – ( فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ) الآيَةَ

“Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan di atas fithroh. Ayahnya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, apakah kamu melihat ada yang cacat padanya?” Lantas Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- membacakan ayat (yang artinya), “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu” (HR. Bukhari no. 1358 dan Muslim no. 2658).

Begitu pula dalam hadits qudsi disebutkan,

وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِى مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hunafa’ (islam) semuanya, kemudian syetan memalingkan mereka dari agama mereka, dan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan, dan memerintahkan mereka untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak Aku turunkan keterangannya” (HR. Muslim no. 2865). Yang dimaksud hunafa’ adalah dalam keadaan Islam, sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah (Syarh Shahih Muslim, 17: 197).

13. Syirik mengantarkan pada pengagungan terhadap jiwa yang hina. Karena orang musyrik merendahkan diri pada setiap thogut di muka bumi. Karena sandaran hatinya hanyalah makhluk yang tidak dapat melihat dan tidak berakal. Yang mereka sembah adalah selain Allah dan menghinakan diri padanya. Ini sungguh adalah bentuk penghinaan pada diri sendiri.

14. Syirik akbar (besar) menjadikan halalnya darah dan harta sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku memerintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal ini, maka darah dan harta mereka aman kecuali jika ada sebab hukum Islam dan hisab mereka tergantung pada Allah” (HR. Bukhari no. 25 dan Muslim no. 21).

15. Syirik akbar (besar) menyebabkan permusuhan antara pelakunya dengan orang beriman. Tidak boleh seorang mukmin memiliki loyalitas dengan orang musyrik walau itu kerabat dekat. Allah Ta’ala berfirman,

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” (QS. Al Mujadilah: 22).

16. Syirik ashgor (kecil) mengurangi keimanan seseorang dan sebagai wasilah (perantara) menuju syirik akbar.

17. Syirik khofi (yang samar) seperti syirik dalam riya’ dan beramal dengan tujuan mencapai dunia, syirik seperti ini akan menghapuskan amalan yang terkait dengannya. Dan syirik khofi lebih dikhawatirkan dari Al Masih Dajjal dan lebih dikhawatirkan akan menimpa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al Masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “ (HR. Ahmad dalam musnadnya. Dihasankan oleh Syaikh Albani Shahiihul Jami’ 2604)
Semoga dengan mengetahui hal ini semakin membuat kita khawatir dengan kesyirikan. Dan semoga Allah menjauhkan kita dari berbuat syirik, apa pun jenisnya.
Wallahu waliyyut taufiq.

5 (Lima) SANGSI PELAKU RIBA

5 Sangsi pelaku riba dalam Al-Quran.

Dalam dunia modern yang didominasi oleh kepentingan materi, riba seringkali dianggap sebagai perkara biasa. 
Banyak sekali transaksi yang sering kita temui mengandung unsur riba.

Beberapa sistem pembayaran yang tersedia saat ini secara tidak sadar disusupkan ‘penggelembungan nominal’ yang merugikan konsumen. Fenomena ini dapat ditemukan pada transaksi-transaksi yang berujung pada bunga.

Selain mengatur prosedur peribadatan, Islam juga mengatur prosedur dalam bertransaksi (muamalah) antarsesama. Dalam ketentuan di dalamnya, terdapat larangan unsur penambahan atau riba.
 
Secara gamblang Allah mengharamkan unsur riba dalam sebuah transaksi. Dasar keharaman riba dapat ditemukan pada kutipan ayat A-Quran sebagai berikut:
 
Penerima dan Pemberi Riba

 وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
 
Artinya, “Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah, 275).
 
Selayaknya keharaman pada umumnya, bagi siapa saja yang melakukan transaksi riba akan mendapatkan konsekuensi berupa sanksi. Menurut As-Sarkhasi, Allah akan menimpakan lima sanksi bagi para pelaku riba, sebagaimana tercantum dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut:

1. Dibangkitkan dari Kubur dalam Kondisi Seperti Gila
 
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ
 
Artinya, “Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan.” (QS Al-Baqarah: 275).

Ayat menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang bertransaksi secara riba akan sempoyongan seperti kesurupan setan. Penjelasan sempoyongan diambil dari kalimat يَتَخَبَّطُهُ yang berartikan memukul atau menghantam dengan cara yang tidak teratur atau menggambarkan keadaan yang tidak teratur.
 
Adapun arti secara keseluruhan ulama berbeda pendapat. Ibnu Katsir menjelaskan, pelaku riba akan dibangkitkan dari kuburannya pada hari kiamat dalam kondisi gila dan sempoyongan yang disebabkan oleh setan. (Tafsir Ibnu Katsir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1997], juz I, halaman 504).
 
Sedangkan menurut Ibnu Athiah dalam kitab tafsirnya menjelaskan, ayat ini merupakan analogi keadaan orang yang tergerak dengan ketamakan dan nafsu terhadap perdagangan riba, yang serupa dengan keadaan orang gila.
 
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 278: 
Mengapa Riba Dilarang dalam Islam?
Karena nafsu dan keinginan akan menjadikan anggota tubuhnya bergetar, sebagaimana seseorang yang berlari cepat dalam langkahnya, mencampuradukkan gerak-geriknya, baik karena ketakutan atau sebab lainnya yang menyebabkan dia seperti orang tidak waras. (Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 2010], juz II, halaman 705).

2. Hilangnya Keberkahan
 
يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِۗ .

Artinya, “Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah.” (QSAl-Baqarah: 275).
 
Berfokus pada persoalan riba, seseorang yang menjadi pelaku riba akan dihapus keberkahan hartanya oleh Allah. Sehingga hartanya tidak ada manfaat sama sekali.
 
Imam Al-Baghawi (wafat 516 H) memberikan tafsir mengenai ayat ini, Allah mengurangi bahkan menghilangkan keberkahan dalam harta. (Tafsir Al-Baghawi, [Riyadh, Dar Thayyibah: 1988], juz I, Halaman 344).
 
3. Diperangi Allah dan Rasul-Nya
Siksaan ini tercantum dalam firman Allah yang berbunyi:
 
فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ.

Artinya, “Jika kamu tidak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 279).
 
Ayat ini merupakan deklarasi perang oleh Allah dan Rasul-Nya bagi orang-orang yang tetap melakukan transaksi riba. Adapun perang yang dimaksud adalah dapat hukuman mati menurut sebagian mufassirin.

Mengacu pada ayat ini, Ibnu Abbas menekankan konsekuensi para pelaku riba yang tidak kunjung bertobat. Para pemimpin wajib mengingatkan mereka. Jika mereka bertobat maka yang demikian adalah kebaikan. 
Namun ketika tidak mengindahkan nasihat dari pemimpin, maka pelaku riba tersebut dihukum mati. (Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Kairo, Dar Mishriyah: 1964], juz III, halaman 363).
 

4. Kekafiran

وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ
 
Artinya, “Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa.” (QS Al-Baqarah: 276).
 
Kendatipun ayat tidak menyinggung dampak dari pelaku riba secara eksplisit, namun ayat masuk dalam ruang lingkup persoalan riba. Maksud dari ayat adalah orang yang menghalalkan riba adalah kafir, dan orang yang memakan riba adalah pendosa dan fasik. (Mausu'ah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Dzatul Salasil: 1992], juz XXII, halaman 52).

5. Kekal di Neraka

وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ.
Artinya, “Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah: 275).
 
Adapun pengulangan yang dimaksud adalah tetap bertransaksi atau tetap menghalalkan riba sampai mati. Menurut para ulama, ketika seseorang terus-menerus melakukan transaksi riba, ia secara tidak langsung menjadi seorang kafir. Konsekuensi dari kekafiran adalah kekal di dalam neraka. (Al-Qurthubi, III/362).
 
Demikian seluruh paparan siksaan bagi para pelaku riba yang tidak segera bertobat. Semoga kita semua dijauhkan oleh Allah dari transaksi yang terdapat unsur riba. 
Wallahu a'lam.

7 TUJUH GOLONGAN YG AMALNYA BAGAIKAN DEBU

7 Tujuh Golongan yang Amalnya Bagaikan 
Debu yang Beterbangan

Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu disebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ

“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817).

Sementara dalam beberapa ayat diterangkan bahwa amalan adalah sebab seorang masuk surga. Seperti ayat berikut,

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal sholeh kalian dahulu di dunia” (QS. Az-Zukhruf : 72).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : Bagaimana menggabungkan antara ayat dan hadis ini (yakni hadis Jabir di atas, pent)? Jawabannya, kedua dalil di atas bisa dikompromikan, di mana peniadaan masuknya manusia ke dalam surga karena amalnya dalam arti balasan, sedangkan isyarat bahwa amal sebagai kunci masuk surga dalam arti bahwa amal itu adalah sebab, bukan pengganti” (Syarah Riyadhus Sholihin, 1/575).

Ini isyarat bahwa tidak benar bila kemudian seorang berpangku tangan merasa cukup bergantung dengan rahmat Allah, lalu meninggalkan  amal sholih karena menganggapnya tidak penting. Karena Allah menetapkan segala sesuatu dengan sebab dan akibat. Dalam hal ini, Allah ‘azzawajalla menjadikan sebab mendapatkan rahmatNya; yang menjadi sebab meraih surga, dengan amal shalih.

Dalam Al-Quran terdapat satu ayat yang selalu membuat takut dan gemetar para salaf dalam membacanya, karena ayat tersebut menunjukkan bahwa di hari kiamat kelak ada sebagian hamba ketika berjumpa dengan Allah ia mendapatkan azab yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.  Ayat tersebut adalah:

وَبَدَا لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مَا لَمۡ يَكُونُواْ يَحۡتَسِبُونَ ٤٧

Artinya: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS Az-Zumar; 47)

Nah, di antara orang-orang yang akan mendapatkan azab Allah yang tak disangka-sangka tersebut adalah tujuh golongan yang disebutkan Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam bukunya “Al-Mahajjah fi Sair Ad-Duljah”. Tujuh golongan ini semuanya merasa bahwa mereka memiliki amalan saleh yang akan menyelamatkan mereka di hadapan Allah Ta’ala, namun ternyata amalan baik mereka tersebut terhamburkan laksana debu yang beterbangan, tanpa memiliki nilai apa pun di sisi Allah, lalu mereka pun ditimpakan azab yang tidak disangka-sangka. Tujuh golongan tersebut adalah:

Pertama; Seseorang yang memiliki banyak amalan saleh seraya mengharapkan secara takjub dan bangga bahwa dirinya akan mendapatkan ganjaran kebaikan atasnya, namun di akhirat kelak amalan-amalannya tersebut berubah menjadi debu yang beterbangan, bahkan amalan ini berubah menjadi dosa baginya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣

Artinya; “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqan ; 23)

Al-Fudhail rahimahullah berkata; “Mereka sewaktu di dunia beramal dengan banyak amalan sambil mengharapkan (secara takjub dan bangga) ganjaran kebaikan atasnya, namun ketika di akhirat amalan-amalan tersebut berubah menjadi dosa-dosa”.

Kedua; Seseorang yang melakukan dosa sambil meremehkannya, sehingga dosa ini menjadi sebab ia mendapatkan azab, sebagaimana dalam firman Allah ;

وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ ١٥

Artinya; “Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS An-Nur ; 15)

Sebagian para sahabat berkata kepada para tabiin; “Sesungguhnya kalian kadang melakukan suatu amalan yang nilainya lebih kecil di mata kalian daripada sehelai rambut, namun dahulu di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kami menganggapnya  sebagai suatu dosa besar yang membinasakan”.

Ketiga; Orang yang amalan buruknya dihiasi oleh setan sebagai amalan baik, sehingga ia pun melihatnya sebagai suatu kebaikan. Allah berfirman;

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

Artinya; “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (QS Al-Kahfi ; 103-104)

Keempat; (Orang-orang yang riya’ dengan amalan salehnya) .Tentang ayat ini “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS Az-Zumar ; 47), dahulu Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata; “Celakalah orang-orang yang riya’ dengan (ancaman) ayat ini”.

Ucapan beliau ini juga terdapat dalam hadis yang mengisahkan tentang tiga golongan yang pertama kali dijerumuskan dalam api neraka, yaitu; orang yang menuntut ilmu agar diberi gelar ulama, orang yang gemar bersedekah agar disebut dermawan, dan orang yang berjihad agar disebut mujahid.

Kelima: Orang yang beramal saleh namun ia banyak menzalimi orang lain. Ia menyangka bahwa amalannya akan menyelamatkannya di akhirat kelak, namun ternyata ia mendapatkan dari Allah suatu azab yang tidak pernah ia sangka. Semua amalannya dibagi-bagi kepada orang-orang yang ia zalimi, dan jika pahala amalannya telah habis terbagi, namun orang yang ia zalimi masih ada yang menuntut hak darinya, maka dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya, lalu ia dijerumuskan ke dalam neraka.

Keenam; Seseorang beramal saleh -namun kurang bersyukur-, lalu di akhirat kelak akan ditanyai oleh Allah ketika amalannya dihisab, lalu ia dituntut untuk menebus nikmat yang ia dapatkan di dunia dengan amalannya, dan ternyata nikmat terkecil saja tidak bisa ditebus kecuali dengan seluruh amalannya, sehingga nikmat-nikmat yang belum ia tebus dimintai tebusannya namun karena amalannya telah habis, maka ia pun diazab. Sebab itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda; “Siapa yang dihisab secara detail, maka ia pasti diazab”.

Ketujuh; Kadangkala seseorang memiliki dosa tertentu yang menghapus semua amalannya kecuali amalan tauhid, sehingga ia pun dimasukkan kedalam neraka terlebih dahulu. Dalam Sunan Ibnu Majah dari riwayat Tsauban secara marfu’ ;

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

Artinya ; “Saya sungguh mengetahui suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung-gunung Tihamah yang putih, namun Allah ‘Azza wa Jalla menjadikannya laksana debu yang beterbangan”. Tsauban bertanya; “Wahai Rasulullah, sebutkan kami ciri-ciri mereka agar kami tidak termasuk dalam golongan mereka sedangkan kami mengetahui akibatnya”. Beliau bersabda; “Mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari bangsa kalian. Mereka mengerjakan ibadah malam sebagaimana kalian beribadah malam, akan tetapi mereka adalah suatu kaum yang apabila dalam keadaan menyendiri, mereka melakukan hal-hal yang diharamkan Allah ta’ala”.[3]

Ya’qub bin Syaibah dan Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dari hadis Salim Maula Abi Hudzaifah radhiyallahu’anhuma secara marfu ‘; “Sungguh  ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung-gunung Tihamah, namun ketika mereka didatangkan dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, Dia menjadikan pahala amalan tersebut laksana debu yang beterbangan lalu Dia menjerumuskan mereka kedalam neraka”.

Salim berkata; “Saya khawatir akan termasuk dari golongan mereka”. Rasulullah melanjutkan; “Sesungguhnya mereka dahulu berpuasa sebagaimana kalian puasa, mengerjakan shalat dan ibadah malam sebagaimana kalian mengerjakannya, namun mungkin saja mereka dahulu tatkala di dunia jika mendapati perkara haram mereka mengerjakannya, sehingga Allah pun menghapus amalan mereka”.

ketika tidak memanfaatkannya.

PERINGATAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].

Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang besar dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian terhadap nikmat ini. Di antara bentuk kerugian ini adalah:

Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allâh di dunia dan di akhirat.
Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara point-point yang menunjukkan urgensi waktu.

Waktu Adalah Modal Manusia. Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.[1]

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Abdul-‘Aziz rahimahullah berkata:

إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ فِيْهِمَا

Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah pada malam dan siang itu.[2]

2. Waktu Sangat Cepat Berlalu. Seseorang berkata kepada ‘Âmir bin Abdul-Qais rahimahullah, salah seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab: “Tahanlah jalannya matahari!” Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.
Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata: “Jika aku telah mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di dalam kebaikan dan ketaatan”.

Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali. Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056].

Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi Salaf lebih mahal dari pada uang.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ

Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya daripada terhadap dirham dan dinarnya.[3]

Sebagian penyair berkata:

وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ … وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ

Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.

4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya. Oleh karena itu Allâh Ta’ala banyak memerintahkan untuk bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan.
Al-Hasan berkata:

اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini.[4]

KENYATAAN MANUSIA DALAM MENYIKAPI WAKTU

Berikut adalah beberapa keadaan manusia dalam menyikapi waktu.

1. Orang-orang yang amalan shalih mereka lebih banyak daripada waktu mereka. Diriwayatkan bahwa Syaikh Jamaluddin al-Qâshimi rahimahullah melewati warung kopi. Dia melihat orang-orang yang mengunjungi warung kopi tenggelam dalam permainan kartu dan dadu, meminum berbagai minuman, mereka menghabiskan waktu yang lama. Maka Syaikh berkata, “Seandainya waktu bisa dibeli, sungguh pasti aku beli waktu mereka!”
Orang-orang yang menghabiskan waktu mereka dalam mengejar perkara yang tidak berfaidah, baik berupa ilmu yang tidak bermanfaat, atau urusan-urusan dunia lainnya. Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah menyebutkan seorang laki-laki yang menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta. Ketika kematian mendatanginya, dikatakan kepadanya, “Katakanlah lâ ilâha illa Allâh,” namun ia tidak mengucapkannya, bahkan ia mulai mengucapkan, “Satu kain harganya 5 dirham, satu kain harganya 10 dirham, ini kain bagus”. Dia selalu dalam keadaan demikian sampai ruhnya keluar.
Orang-orang yang tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan terhadap waktu. Seorang ulama zaman dahulu berkata: Aku telah melihat kebanyakan orang menghabiskan waktu dengan cara yang aneh. Jika malam panjang, mereka habiskan untuk pembicaraan yang tidak bermanfaat, atau membaca buku percintaan dan begadang. Jika waktu siang panjang, mereka habiskan untuk tidur. Sedangkan pada waktu pagi dan sore, mereka di pinggir sungai Dajlah, atau di pasar-pasar. Aku ibaratkan mereka itu dengan orang-orang yang berbincang-bincang di atas kapal, kapal itu terus berjalan membawa mereka dan berita mereka. Aku telah melihat banyak orang yang tidak memahami arti kehidupan. Di antara mereka, ada orang yang telah diberi kecukupan oleh Allâh Azza wa Jalla , ia tidak butuh bekerja karena hartanya yang sudah banyak, namun kebanyakan waktunya pada siang hari ia habiskan dengan nongkrong di pasar (kalau zaman sekarang di mall dan sebagainya, Pen.) melihat orang-orang (yang lewat). Alangkah banyaknya keburukan dan kemungkaran yang melewatinya. Di antara mereka ada yang menyendiri bermain dengan permainan yang melalaikan. Di antara mereka ada yang menghabiskan waktu dengan kisah-kisah kejadian tentang raja-raja, tentang harga yang melonjak dan turun, dan lainnya. Maka aku mengetahui bahwa Allâh tidak memperlihatkan urgensi umur dan kadar waktu kesehatan kecuali kepada orang-orang yang Allâh berikan taufiq dan bimbingan untuk memanfaatkannya. Allâh berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. [Fushilat/41:35].

Adapun yang menjadi penyebab perbedaan keadaan manusia dalam menyikapi waktu, kembali kepada tiga perkara berikut.

1. Sebab pertama, tidak menetapkan tujuan hidup. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui bahwa tujuan Allâh menciptakannya adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [adz-Dzariyat/51:56].

Dia harus mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat beramal, bukan tempat santai dan main-main, sebagaimana firman-Nya:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? [al-Mukminun/23:115].

Dunia adalah sawah ladang akhirat. Jika engkau menanam kebaikan di dunia ini, maka engkau akan memetik kenikmatan abadi di akhirat nanti. Jika engkau menanam keburukan di dunia ini, maka engkau akan memetik siksaan pedih di akhirat nanti. Namun demikian, ini bukan berarti manusia tidak boleh bersenang-senang dengan perkara yang Allâh ijinkan di dunia ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Demi Allâh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa di antara kamu kepada Allâh, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat (malam) dan tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dariku. [HR al-Bukhari, no. 4776; Muslim, no. 1401]

Sebab kedua, bodoh terhadap nilai dan urgensi waktu.
Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad. Banyak orang mengetahui nilai dan urgensi waktu, dan mengetahui perkara-perkara bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi waktu, tetapi karena lemahnya kehendak dan tekad, mereka tidak melakukannya. Maka seorang muslim wajib mengobati perkara ini dan bersegera serta berlomba melaksanakan amalan-amalan shalih, serta memohon pertolongan kepada Allâh Ta’ala, kemudian bergabung dengan kawan-kawan yang shalih. Jika kita benar-benar mengerti tujuan hidup, dan kita benar-benar memahami nilai waktu, maka seharusnya kita isi waktu kita dengan perkara yang akan menjadikan ridha Penguasa kita, Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Âmîn.
engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)

Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)

Perusak Persauadaraan/pertemanan :

Pertama: Tamak Terhadap Apa Yang Ada Di Tangan Yang Lain Dan Cenderung Pada Keduniaan

ini termasuk akhlaq yang paling tercela, yaitu tamak dengan milik orang lain dan hasad.

Kedua: Ghibah

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” Mereka berkata, “Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian menyebut saudaramu dengan apa yang dia tidak sukai”. Dikatakan, “Apa pendapat Anda jika apa yang aku sebutkan ada pada saudaraku?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika apa yang engkau katakan ada padanya, sungguh engkau telah men-ghibah-nya, jika yang kau katakan tidak benar sungguh engkau berdusta dan mengada-ada”.

Ketiga: Tajassus (Memata-Matai Yang Lain)

وَلَا تَجَسَّسُوا

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang [Al-Hujurat/49:12]

Keempat: Lamz Dan Ghamz (Mencela Dan Meremehkan) Orang Lain

Al-Humajah.: kecelakaan yang besarlah bagi pengumpat lagi pencela

Kelima: Sikhriyyah (Merendahkan yang Lain)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurat/49:11] Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hal ini juga salah satu hak seorang Mukmin atas Mukmin yang lain agar tidak saling mencela satu sama lain dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan penghinaan karena hal tersebut diharamkan. Hal ini juga menunjukkan ketakjuban pencela pada dirinya sendiri.

Abu Hamid Al-Ghazali berkata,

ِوَأَصْلُ تَأْدِيْبِ الصِّبْيَانِ الْحِفْظُ مِنْ قرنَاءِ السُّوْء

“Inti pendidikan anak adalah menjauhkan anak dari teman teman yang buruk.” [Ihya’ Ulumuddin 1/95]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ

“Seseorang akan sesuai dengan kebiasaan/sifat sahabatnya. Oleh karena jtu, perhatikanlah siapa yang akan menjadi sahabat kalian ”. [HR. Abu Dawud]

Permisalan teman yang baik dan buruk sebagaimana permisalan penjual minyak wangi dan pandai besi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلا (٢٧) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلإنْسَانِ خَذُولا (٢٩)

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. [Al-Furqan/25: 27-29]

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. Az Zukhruf : 67di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Jama’ah…Sungguh Allah tidak pernah memerintahkan kepada kita untuk beribadah di satu bulan dan berhenti di bulan lainnya. Sampai ulama mengingatkan : ‘seburuk-buruknya kaum adalah mereka yang mengenal Allah hanya di bulan ramadhan, lalu mereka melupakan Allah di bulan-bulan lainnya. Lalu sampai kapan kita beramal ?

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (Q.S. Al Hijr : 99).

Jama’ah Shalat Ied Rahimakumullah…

Sungguh Allah telah memberikan berbagai peringatan kepada kita dengan berbagai musibah bencana maupun wabah. Allah pernah mengingatkan kita dengan gempa bumi, telah menegur kita dengan banjir bandang, dan hari ini Allah memperingatkan kita dengan wabah covid 19, kalau dengan peringatan wabah yang begitu mengguncang seluruh sisi kehidupan kita ini masih juga tidak membuat kita kembali ke Jalan Allah, bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, lalu peringatan seperti apalagi yang bisa merubah kita?

Maka jama’ah, jika kita tidak mampu bersaing dengan orang-orang shalih dalam ibadah dan amal-amal mereka, berlomba-lombalah dengan para pendosa di dalam istigfar dan taubat mereka kepada Allah. Akhirnya marilah kita berdo’a kepada Allah agar trus memberikan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.

اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ