Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 10 Mei 2025

KELIRU MENYEBUT BUN DALAM IJAB QOBUL

Keliru Menyebutkan Bin dalam Ijab Kabul, Apakah Sah Akadnya?
PERTANYAAN
Assalamualaikum ustadz,

Saya langsung menanyakan permasalahan yang dititipkan kepada saya. Si fulan pd umur 4 tahun diangkat anak oleh A, sedangkan si A adalah adik kandung B dan dimana si B adalah ortu kandung si fulan. Setelah dirasa cukup mengerti, A memberitahu tentang keluarga kandung si fulan dan tidak terjadi perselisihan dan fulan tetap mengikuti si A. Dalam administrasi negara indonesia, si fulan terdaftar sebagai anak dr si A.

Pada saat pernikahan, orangtua kandung fulan (si B) ridho dan ikhlas dimana dalam pengucapan dan administrasi negara, si fulan akan disebutkan sebagai anak si A sehingga ktika ijab kabul maka wali nikah menyebutkan nama si fulan bin A bukan bin B,pun di buku nikah, dikarenakan apabila ktika menikah ijabnya berubah mnjadi fulan bin B maka mudhorat kepada semuanya dirasa lebih besar karena selama ini umum lbih tahu kalo fulan adalah anak A bukan anak B

1. Sah kah ijab dan pernikahan si fulan karena ktika ijab dia ber-bin orang tua angkatnya bukan ber-bin orang tua kandung?

2. Jikalau memang tidak sah, haruskah diadakan ijab kabul ganti dgn pengucapan si fulan ber-bin B? Terimakasih ustadz
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang jadi masalah dalam akad nikah sebenarnya bukan urusan embel-embel 'bin'-nya benar atau tidak. Sebab kata 'bin' itu sendiri boleh saja tidak disebutkan. Yang penting dalam akad itu jelas siapa yang jadi pengantin laki-laki dan siapa yang jadi pengantin perempuan.

Seandainya ada selip kata atau keliru dalam pengucapan 'bin' atau 'binti', asalkan bisa dipastikan sosok pasangan itu benar, tentu tidak menjadi masalah dengan sah atau tidaknya akad itu.

Masalah Wali Nikah

Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam ijab kabul dan sah atau tidaknya sebuah akad adalah pada sosok wali atas pengantin wanita. Sebab bila yang menjadi wali bukan orang yang dibenarkan secara syariah, maka akadnya menjadi tidak sah juga.

Ada sabda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina.
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil, nikahnya itu batil dan nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)

Di dalam hadits yang lain juga disebutkan :

لاَ تُزَوِّجُ المرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا

Dari Abi Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri. (HR. Ad-Daruquthny)

Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi".(HR Ahmad).

Sedangkan Abdullah bin Abbas berfatwa :

كُلُّ نِكاَحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ وَوَلِيُّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ

Semua pernikahan yang tidak menghadirkan empat pihak maka termasuk zina : suami, wali dan dua saksi yang adil.

Dalam kasus yang Anda tanyakan ini, sayang sekali Anda tidak menyebutkan jenis kelamin anak yang diangkat oleh A, apakah dia laki-laki atau perempuan. Tetapi kalau melihat sekilas Anda menyebut 'bin', kemungkinan dia adalah laki-laki.

Untuk itu dalam syariat Islam, pada dasarnya pengantin laki-laki tidak butuh wali dalam akad nikah. Sehingga dia bisa menikah tanpa adanya wali, dan kalau pun dalam penyebutkan 'bin'-nya tidak benar, tidak akan berpengaruh pada sah tidaknya akad nikah itu.

Yang jadi masalah dalam akad nikah adalah pengantin perempuan. Bila yang diangkat jadi anak angkat oleh A adalah seorang wanita, lalu ketika menikah yang jadi wali adalah ayah angkatnya, maka disitu baru terjadi masalah. Sebab A bukan ayah kandung, sehingga tidak sah kalau menjadi wali dalam akad nikah itu. Yang boleh jadi wali adalah ayah kandungnya, yaitu dalam hal ini adalah B.

Sebagai ayah kandung, sebenarnya B bisa saja tidak menikahkan puterinya secara langsung. Dalam hal ini, syariah Islam membolehkan B yang merupakan ayah kandungnya meminta orang lain untuk menggantikan posisinya menjadi wali. Sebutlah misalnya B meminta A untuk menjadi wakil atas dirinya, sehingga dalam akad nikah itu yang mengucapkan ijab bukan B teteapi A.

Syaratnya B memang secara sadar dan ikhlas meminta A untuk menjadi wali bagi puterinya dalam akad nikah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak Menyabut Nams ketika Akad

Salah Menyebut Nama Istri ketika Akad Nikah

Salah Menyebut Nama Istri
Assalaamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ustadz apa hukumnya ketika akad nikah calon suami salah menyebutkan nama calon istrinya, misalkan : nama calon istri
“Ani”, kemudian salah menyebut nama istri menjadi “Ami”??. Bagaimanakah hukum akad nikahnya tersebut??.
Jazaakumullaahi khoyron

Jawaban:

Wa alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh…

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Untuk memahami kasus yang anda sampaikan, ada beberapa catatan yang perlu kita pahami,

Pertama, salah satu syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’ memastikan orang yang menjadi pengantin. Artinya, orang yang menikah harus diketahui dengan pasti, siapa yang menjadi istri dan siapa yang menjadi suami. Sehingga tidak ada lagi kerancuan pada pengantin yang bersangkutan. Sebagaimana dalam jual beli, barang yang diperjual belikan harus jelas. 
Masing-masing antara penjual dan pembeli sama-sama tahu barang yang menjadi objek jual beli.

Ibnu Qudamah mengatakan,

من شرط صحة النكاح تعيين الزوجين لأن كل عاقد ومعقود عليه يجب تعيينهما‏,‏ كالمشترى والمبيع

Termasuk syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’, karena antara pelaksana akad dan apa yang diakadkan, harus dipastikan keduanya. Sebagaimana pembeli dan barang yang dibeli.

Kedua, ta’yin, upaya memastikan sesuatu, tidak harus dengan menyebutkan nama sesuatu itu. Bisa juga dilakukan dengan cara lain, misalnya menyebut ciri-cirinya atau dengan isyarat tunjuk.

Seperti misalnya, kita membeli barang A dan kita tidak tahu namanya, kemudian kita pegang barang itu, dan kita tanyakan ke penjual, ’Berapa?’ 
Penjual jawab, ’10 ribu’. 
Lalu kita bayar. Kita memegang barang tersebut ini sudah termasuk ta’yin, memastikan barang yang hendak dibeli.

Dalam pernikahan juga demikian, ketika suami istri sudah pasti orangnya, tidak disyaratkan harus menyebut nama. 
Bisa dengan isyarat atau keterangan lainnya, yang penting orang yang dimaksud sudah jelas. Ibnu Qudamah melanjutkan keterangannya,

ثم ينظر فإن كانت المرأة حاضرة‏,‏ فقال‏:‏ زوجتك هذه صح فإن الإشارة تكفى في التعيين فإن زاد على ذلك‏,‏ فقال‏:‏ بنتى هذه أو هذه فلانة كان تأكيدا، وإن كانت غائبة فقال‏:‏ زوجتك بنتى وليس له سواها جاز فإن سماها باسمها مع ذلك‏,‏ كان تأكيدا

Kemudian perlu diperhatikan, jika sang istri hadir di tempat akad, lalu wali mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan ini.’ Status pernikahan sah. 
Karena isyarat bisa sebagai ta’yin. Jika wali menambahkan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku yang ini’ atau ’dengan putriku yang bernama si x’, tambahan ini semakin menguatkan. 
Dan jika pengantin perempuan tidak ada di tempat, kemudian si wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ dan si wali hanya memiliki satu anak perempuan, maka nikahnya sah. 
BnJika si wali menyebut nama anaknya, ini sebagai penguat.

Ketiga, jika ada unsur ketidak jelasan, maka butuh keterangan lain untuk menegaskan siapa orang yang dimaksud.

Misal, seseorang memiliki dua anak perempuan kembar, si A dan si B. ketika ayahnya menikahkan, dia mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku.’ Kemudian pengantin lelaki menjawab, ’Aku terima nikahnya dengan mahar sekian.’

Pernikahan semacam ini tidak sah, karena belum jelas wanita mana yang menjadi istrinya. Karena itu, butuh keterangan tambahan untuk mempertegas, siapakah putri yang dimaksud.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

فإن كان له ابنتان أو أكثر فقال‏:‏ زوجتك ابنتى لم يصح حتى يضم إلى ذلك ما تتميز به من اسم أو صفة‏,‏ فيقول‏:‏ زوجتك ابنتى الكبرى أو الوسطى أو الصغرى فإن سماها مع ذلك كان تأكيدا

Jika si wali memiliki dua anak perempuan atau lebih, lalu dia mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ maka nikahnya tidak sah, sampai dia tambahkan nama atau keterangan lain yang membedakan satu anak dengan anak lainnya. 
Sehingga dia bisa mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putrinya yang sulung’ atau ’yang nomor 2’, atau ’yang bungsu.’ Jika dia menyebut namanya, sifatnya mempertegas.

Beliau juga menjelaskan kasus lain,

لو قال‏:‏ زوجتك ابنتى وله بنات لم يصح حتى يميزها بلفظه

Jika wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’, sementara dia memiliki beberapa anak perempuan, nikah tidak sah. Sampai dia tegaskan anak yang dimaksud dengan ucapannya.

[simak semua keterangan Ibnu Qudamah di atas dalam al-Mughni, 7/91].

Suami Salah Menyebut Nama Istri
Menegaskan wanita yang dinikahkan, ini dilakukan oleh pihak wali. Sedangkan pihak suami cukup menjawab ’Saya terima nikahnya’.

Karena itu, jika kesalahan penyebutan nama istri ini dari pihak suami, dan itu bentuknya jawaban (qabul), insyaaAllah tidak mempengaruhi ta’yin wanita yang dimaksud. Sehingga pernikahan statusnya sah.

Allahu a’lam

Sabtu, 26 April 2025

SHALAT DITANAH HARAM PAHALANYA SAMA DENGAN DIMASJIDIL HARAM

Shalat di Hotel dekat Masjidil Haram, Apakah Pahalanya juga Dilipatgandakan ?....

Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa bulan Dzulhijjah menjadi bulan istimewa bagi umat Islam, apalagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji. Tentu hal ini semakin menambah motivasi untuk beribadah di Tanah Suci Makkah.

Makkah, selain sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad dan sejarah peradaban Islam, memiliki kemuliaan tersendiri. Terutama Masjidil Haram. Bahkan siapa saja yang melaksanakan shalat di Masjidil Haram akan mendapatkan pahala berlipat.

Dalam salah satu hadis disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: Salat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram (HR. Bukhari: 2/60, Muslim: 3/1013, Tirmidzi:2/147, Baihaqi: 5/403)

Sedangkan dalam riwayat lain:

وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ.

Artinya: Dari Ibn az-Zubair, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa shalat di Masjid-ku ini lebih utama dibanding seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedangkan shalat di Masjidil Haram lebih utama dibanding shalat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus shalat. (H.R. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban). 

Kedahsyatan balasan pahala yang berlipat ganda tersebut menjadi acuan dasar umat Islam untuk berlomba menunaikan shalat di Masjidil Haram, bahkan saking berdesakannya, ada sebagian orang yang melaksanakan shalat di luar Masjidil Haram, misalkan di penginapan. Pertanyaannya, apakah orang tersebut mendapatkan fadilah sebagaimana shalat di dalam Masjidil Haram?

Penjelasan hadis di atas oleh Badruddin Al-aini dalam kitab Umdatul Qari Syarh Sahih Bukhari disebutkan:

فَإِن قلت :هَل يخْتَص تَضْعِيف الصَّلَاة بِنَفس الْمَسْجِد الْحَرَام أَو يعم جَمِيع مَكَّة من الْمنَازل والشعاب وَغير ذَلِك أم يعم جَمِيع الْحرم الَّذِي يحرم صَيْده (قلت) فِيهِ خلاف وَالصَّحِيح عِنْد الشَّافِعِيَّة أَنه يعم جَمِيع مَكَّة وَصحح النَّوَوِيّ أَنه جَمِيع الْحرم

Artinya: Apabila engkau bertanya: apakah kelipatan pahala shalat itu tertentu di Masjidil Haram saja, atau meliputi seluruh kota Makkah seperti tempat tinggal/ penginapan, bukit, ataukah seluruh Tanah Haram yang dilarang membunuh hewan buruannya? Saya (Badruddin Al-Aini) jawab: Permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang sahih menurut ulama Syafii adalah seluruh Makkah, sedangkan Imam Nawawi memperjelas adalah seluruh Tanah Haram.

Begitu pula, salah satu ulama Syafii yang masyhur, yakni Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Asybah wan Nadzair menyatakan:

 أَنَّ التَّضْعِيفَ فِي حَرَمِ مَكَّةَ لَا يُخْتَصُّ بِالْمَسْجِدِ بَلْ يَعُمُّ جَمِيعَ الْحَرَمِ 

Artinya: Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah tidak khusus di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 523) 

Pendapat Imam Suyuti ini selaras dengan beberapa pendapat ulama madzhab lain:


 ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمَشْهُورِ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُضَاعَفَةَ تَعُمُّ جَمِيعَ حَرَمِ مَكَّةَ.

Artinya: Madzhab ulama Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, cet ke-2, 1427 H, juz, 37, h. 239)

Walhasil, merujuk dari beberapa keterangan di atas, dapat dipahami bersama bahwa siapa saja yang shalat di tempat tinggal, penginapan, hotel, maupun tempat lain yang masih termasuk wilayah Tanah Haram Makkah, maka pahalanya juga dilipatgandakan sesuai redaksi hadis di atas.

Namun harus diingat, bahwa bagaimanapun juga pahala shalat yang dilakukan di dalam Masjidil Haram jika diakumulasi tetap lebih banyak ketimbang shalat di penginapan, sebab beberapa kesunnahan dan fadilah di dalam Masjidil Haram seperti shalat sunnah tahiyyatul masjid, i’tikaf, berdoa di tempat mustajab, itu tidak dapat ditemukan di penginapan.
Allahu a'lam.

Rabu, 09 April 2025

MUSAFIR BERMAKMUM KEPADA MUKIM

Hukum Musafir Bermakmum Kepada Orang yang Bukan Musafir


Musafir boleh bermakmum kepada orang mukim dengan syarat tidak melakukan shalat qashar dan mesti shalat sempurna.

Shalat berjamaah sangat dianjurkan dalam Islam. Hukumnya sunnah muakkad. Ada banyak dalil dan keterangan dalam hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian. Salah satunya adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
 
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
 
Artinya, “Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian,” (HR Bukhari dan Muslim).
 
Shalat berjamaah juga disunnahkan bagi musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan. Apalagi pada masa sekarang, khususnya di Indonesia, mushala dan masjid sudah ada di mana-mana sehingga memudahkan orang yang dalam perjalanan (musafir) untuk melakukan shalat.
 
Namun bagaimana hukumnya bila musafir bermakmum kepada orang yang mukim atau orang yang bukan musafir?
 
Syekh Mushtafa Bugha dalam Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhab Imamil Syafi’i menjelaskan bahwa:
 
أن لا يقتدي بمقيم، فإن اقتدى به وجب عليه أن يتابعه في الإتمام ولم يجز له القصر
 
Artinya, “Musafir yang melakukan shalat qashar tidak boleh bermakmum kepada yang mukim, bila bermakmum kepada mukim dia mesti shalat sempurna dan tidak boleh shalat qashar.”
 
Musafir boleh saja mengikuti shalat berjamaah orang yang mukim atau bermakmum kepada orang yang bukan musafir asalkan shalat yang dikerjakannya bukan shalat qashar.
 
Dengan kata lain, kalau dia mengerjakan shalat zuhur mesti empat raka’at, tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat bila bermakmum kepada yang mukim.
 
Sebaliknya, bila yang menjadi imam adalah musafir, maka dia boleh melakukan shalat qashar, meski jamaahnya orang mukim. Setelah selesai shalat dua rakaat, maka jamaah yang bukan musafir menyempurnakan shalatnya.
 
Syekh Musthafa Bugha menjelaskan:
 
أما العكس فلا مانع من القصر فيه، وهو أن يؤم المسافر مقيمين فله أن يقصر
 
Artinya, “Adapun sebaliknya, maka tidak masalah melakukan shalat qashar, ketika musafir menjadi imam bagi orang mukim, dibolehkan untuk mengqashar shalatnya.”
 
Simpulannya, musafir boleh bermakmum kepada orang mukim dengan syarat tidak melakukan shalat qashar dan mesti shalat sempurna. Sebaliknya, musafir dibolehkan melakukan shalat qashar bila menjadi imam bagi orang yang mukim, setelah selesai shalat orang mukim diwajibkan untuk menyempurnakan shalatnya. 
Wallahu a’lam.
 

Senin, 31 Maret 2025

BOLEHKAH SHALAT SUNNAH LAGI SETELAH SHALAT WITIR

Bolehkah Shalat Sunah Lagi Setelah Shalat Witir ?...

Pelaksanaan shalat witir setelah shalat tarawih merupakan ihwal yang biasa dilakukan umat Islam tatkala mengisi malam-malam Ramadhan. Beberapa orang terkadang kembali terlebih dahulu dari masjid setelah melaksanakan shalat tarawih, dengan maksud ingin melaksanakan shalat witir di rumah mereka masing-masing. Hal ini mengingat ada beberapa dalil anjuran mengerjakan shalat witir di akhir malam.

Al-Minawi dalam Faidhul Qadir menjelaskan anjuran bagi seorang Muslim untuk melaksanakan shalat witir di akhir malam. Tetapi jika menyangka bahwa tidak akan bangun pada akhir malam maka lebih baik dikerjakan setelah shalat tarawih.

Hal ini diperkuat dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim tentang anjuran untuk menjadikan shalat witir sebagai akhir shalat malam kita.

اِجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِالَّليْلِ وِتْرّا

Artinya, “Jadikanlah witir sebagai akhir shalat kalian di malam hari.”

Tetapi hadits terkait witir di atas nyatanya menimbulkan pertanyaan di benak kita. Apa benar witir itu sebagai akhir shalat malam? Lalu bolehkah melaksanakan shalat sunah lain seperti tahajjud atau hajat setelah melaksanakan shalat witir?

Menanggapi pertanyaan di atas, Al-Mubarakfury dalam Tuhfatul Ahwadzi-nya menjelaskan bahwa shalat malam itu hukumnya bukan wajib. Jadi, tidak ada kewajiban untuk menjadikan shalat tertentu seperti witir sebagai akhirnya.

Al-Mubarakfuri menambahkan bahwa hadits di atas bukanlah dalil kewajiban shalat witir serta kewajiban shalat witir sebagai akhir shalat malam, tetapi anjuran untuk menjadikan shalat malam kita ganjil.

Hal ini diperkuat dengan beberapa pendapat ulama, salah satunya Imam At-Tirmidzi ketika meriwayatkan hadits tentang ketiadaan dua witir dalam satu malam. Ia berpendapat dengan mengutip beberapa amaliyah sahabat sebagai berikut.

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَغَيْرِهِمْ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ مِنْ اَخِرِهِ أَنَّهُ يُصَلِّي مَا بَدَا لَهُ وَلَا يَنْقُضُ وِتْرَهُ الخ

Artinya, “Sebagian ahli ilmu di kalangan sahabat Rasulullah Saw dan selainnya berpendapat bahwa jika ada seseorang yang mengerjakan shalat witir di awal malam kemudian ia tidur dan terbangun di akhir malam kemudian ia mengerjakan shalat setelahnya, maka hal itu tidak membatalkan shalat witir yang telah dikerjakan.”

Abu Hurairah sebagaimana dikutip Al-Mubarakfury mengatakan bahwa ia melaksanakan shalat witir sebanyak lima rakaat setelah isya’. Jika bangun di akhir malam, ia kembali mengerjakan shalat dua rakaat. Jika tidak terbangun, maka setidaknya ia telah berwitir setelah isya’.

Memperkuat pendapat ini, Al-Iraqi mengatakan bahwa kebanyakan ulama berpendapat bahwa diperbolehkan shalat dua rakaat-dua rakaat setelah witir dan hal itu juga tidak membatalkan witir yang telah dikerjakan.

Maka dari itu, kita yang biasa shalat witir setelah tarawih boleh saja shalat kembali di akhir malam dengan rakaat genap seperti shalat sunah tahajud atau shalat hajat. Tidak ada larangan untuk melaksanakan shalat sunah setelah shalat witir. 
Wallahu a’lam.

BULAN SYAWAL BULSN PAS UNTUK MENIKAH

Apakah Benar Syawal Itu Bulan yang Pas untuk Menikah?

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Pak ustadz yang baik hati, perkenalkan saya Silvia, warga asli Bandung. Ada hal yang ingin saya tanyakan kepada Pak Ustad. Jadi cerita begini, kemarin saya dilamar oleh pacar saya, dan oleh orang tuanya kami disarankan untuk langsung menikah pada bulan Syawal ini. Kata mereka ini adalah bulan yang baik untuk menikah. Yang ingin saya tanyakan, apakah memang demikian? Bagaimana sejarahnya bulan syawal disebut bulan pernikahan. Terima kasih atas penjelasan Pak Ustad.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

======

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Bila ada sebagian orang yang menghindari bulan-bulan tertentu untuk menikah karena menilainya sebagai bulan sial, maka sejatinya fenomena yang sama juga pernah terjadi pada zaman jahiliyah. Orang-orang jahiliyah meyakini bahwa bulan Syawal adalah pantangan untuk menikah.

Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam justru menampik keyakinan tersebut. Sebagai bentuk penolakan beliau justru menikahi Sayyidah ‘Aisyah pada bulan Syawal, dan​ menggaulinya pada bulan Syawal.

Berikut ini adalah teks haditsnya;

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي.... متفق عليه

Artinya, “Dari Aisyah RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW menikahi aku pada bulan Syawal dan menggauliku (pertama kali juga, pent) pada bulan Syawal. Lalu manakah istri-istri beliau SAW yang lebih beruntung dan dekat di hatinya dibanding aku?’” (Muttafaq ‘Alaih).

Menurut Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, hadits ini mengandung anjuran untuk menikahkan, menikah, atau berhubungan suami-istri pada bulan Syawal. Dengan hadits ini pula para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i menegaskan pandangan atas kesunahan hal tersebut.

Lebih lanjut, Muhyiddin Syaraf An-Nawawi menyatakan bahwa perkataan Sayyidah Aisyah RA di atas ditujukan untuk menyangkal kemakruhan menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri di bulan Syawal, yang telah menjadi praktik pada masa jahiliyah dan menguasai pikiran sebagian orang awam pada saat itu.

فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ، وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ، وَاسْتَدَّلُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رُدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِ اليَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجاَهِلِيَّةِ كَانُوا يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْاِشَالَةِ وَالرَّفْعِ

Artinya, “Hadits ini mengandung anjuran untuk menenikahkan, menikah, atau dukhul pada bulan Syawal sebagaimana pendapat yang ditegaskan oleh para ulama dari kalangan kami (madzhab Syafi’i). Mereka berargumen dengan hadits ini, Siti Aisyah RA dengan perkataan ini, bermaksud menyangkal apa telah dipraktikkan pada masa jahiliyah dan apa menguasai alam pikiran sebagian orang awam pada saat itu bahwa makruh menikah, menikahkan atau berhubungan suami istri di bulan Syawal. Padahal ini merupakan kebatilan yang tidak memiliki dasar dan pengaruh pandangan orang jahiliyah yang menganggap sial bulan tersebut karena kata Syawal yang diambil dari 'isyalah' dan 'raf̕’' (mengangkat),” (Lihat Muhyiddin Syaraf An Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Beirut-Daru Ihya`it Turats Al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz IX, halaman 209).

Berpijak dari penjelasan singkat ini, kita dapat memahami di samping puasa enam hari di bulan Syawal, ada juga dianjurkan lain pada bulan Syawal yaitu menikah, menikahkan, atau berhubungan suami-istri. Pendek kata, Syawal menurut para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i merupakan waktu yang sangat dianjurkan untuk menikah. Namun dalam konteks ini mesti dipahami apabila memungkinkan menikah pada bulan itu.

Begitu juga pada bulan yang lain adalah sama, sehingga jika ada alasan untuk menikah pada bulan di luar bulan Syawal, laksanakanlah pernikahan tersebut. Bulan lain yang juga dianjurkan untuk menikah adalah bulan Shafar dengan dasar riwayat Az-Zuhri yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW menikahkan putrinya Sayyidah Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib RA pada bulan tersebut.

وَقَوْلُهُ وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ أَيْ حَيْثُ كَانَ يُمْكِنُهُ فِيهِ وَفِي غَيْرِهِ عَلَى السَّوَاءِ فَإِنْ وُجِدَ سَبَبٌ لِلنِّكَاحِ فِي غَيْرِهِ فَعَلَهُ وَصَحَّ التَّرْغِيبُ فِي الصَّفَرِ أَيْضًا رَوَى الزُّهْرِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوَّجَ ابْنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ عَلَى رَأْسِ اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا مِنْ - الْهِجْرَةِ ا هـ

Artinya, “Pernyataan, ‘Dianjurkan untuk menikah pada bulan Syawal’, maksudnya adalah sekiranya memungkinkan untuk dilaksanakan pada bulan tersebut, sedangkan pada bulan yang lain juga sama. Apabila ditemukan sebab untuk menikah di bulan selain Syawal, laksanakanlah. Begitu juga anjuran untuk menikah pada bulan Shafar adalah sahih, dan dalam hal ini Az-Zuhri meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw menikahkan putrinya yaitu Sayyidah Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib RA pada bulan Shafar pada penghujung bulan ke dua belas dari hijrah,” (Lihat Abdul Hamid Asy Syirwani, Hasyiyatus Syirwani, Mesir-Maktbah Mushtafa Muhammad, tanpa tahun, juz VII, halaman 189-190).

Demikian yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang yang memang sudah siap dan memungkinkan untuk menikah pada bulan Syawal maka inilah saat yang baik, sebagaimana pernikahan Rasulullah saw dengan Sayyidah Aisyah ra, meskipun baik juga dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Sabtu, 29 Maret 2025

MENGAPA KITA HARUS BERMADZHAB,,,?

Mengapa Kita Harus Bermadzhab ?....

ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا اعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضال مضل سيما في هذا الزمان الذى عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم في العلم والعمل والعدالة والاطلاع

            “Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari mereka (Imam madzhab) dan berkata “saya beramal berdasarkan alQuran dan hadits”, dan mengaku telah memahami hukum-hukum alquran dan hadits maka orang tersebut tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan terutama pada masa sekarang ini dimana kefasikan merajalela dan banyak tersebar dakwah-dakwah yang salah, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa”. [ Tanwiir alQuluub 74-75 ].

كل من الأئمة الأربعة على الصواب ويجب تقليد واحد منهم ومن قلد واحدا منهم خرج من عهدة التكليف وعلى المقلد أرجحية مذهبه أو مساواته ولايجوز تقليد غيرهم فى إفتاء أو قضاء. قال ابن حجر ولايجوز العمل بالضعيف بالمذهب ويمتنع التلفيق فى مسألة كأن قلد مالكا فى طهارة الكلب والشافعى فى مسح بعض الرأس (إعانة الطالبين, الجزء 1 الصفحة 17)

                    “Setiap imam yang empat itu berjalan dijalan yang benar maka wajiblah bagi umat islam untuk bertaqlid kepada salah satu diantara yang empat tadi sebab orang yang sudah bertaqlid kepada salah satu imam yang empat tersebut maka ia telah terlepas dari tanggungan dalam keagamaan dam orang yang bertaqlid haruslah yakin bahwqa madzhab yang ia ikuti itu benar dan sama benarnya dengan yang lain serta tidak boleh bertaqlid kepada madzhab lain selain madzhab yang ia ikuti, seperti apa yang dikatakan oleh ibnu hajar alhaitami: tidak boleh seseorang yang menganut suatu madzhab berbuat talfiq (mencampur adukkan madzhab untuk mencari yang ringan-ringan) misalnya mengikuti imam malik yang mensucikan anjing dan juga mengikuti imam syafi’ie dalam membasuh sebagian kepala dalam berwudu”. [ I’anatut Tholibin I/17 ]. Wallaahu A’lamu Bis Showaab ..

Kenapa kita harus bermadzhab dan taqlid pada ulama
Mazhab secara bahasa artinya adalah tempat untuk pergi. Berasal dari kata zahaba – yazhabu – zihaaban . Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut.

Sedangkan secara istilah, mazhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Mazhab yang kita maksudnya di sini adalah mazhab fiqih. Adapula yang memberikan pengertian mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.

Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama. (Lihat Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )

Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab empat adalah bid’ah yang di munculkan dalam agama, dan hasil pemikiran madzhab bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih ekstrim, bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah, dan menjadikan penyebab mundur dan bodohnya umat.  Namun yang aneh dan lucu, justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain. Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya. Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena melakukan dosa bertaqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.

Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab (asy-Syafi’i)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa? Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah tanpa bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah serta lupa dengan sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).

Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia, banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama (mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka. Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu (mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat, handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad, fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain. Jika kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.

Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang dapat di sejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka, lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad ?

Ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasar:

Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”

Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

Senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah ayat 122;

فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)

Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat golongan ini jumlahnya sangat banyak.  Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.

Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.

Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid. (Allamadzhabiyah hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. )

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah :

Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari Al-Qur’an dan Hadits.
Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan al-Kubra 1/62. )

Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid. ( Al-la Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22. )

Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taqlid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.

Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas, pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu yang datang kepada belaiau. Tamu tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut, apakah secara bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari kitab lughat ata kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan pernyataannya tersebut. Sama seperti apa yang di lakukan oleh Dr. Al-Buthi, kami juga menantang orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain dalam tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu termasuk taqlid atau ittiba’? Jika mereka mengatakan bukan taqlid, maka klaim tersebut perlu di buktikan secara ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi umat.

Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti-madzhab dengan argumen-arguman yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Sekilas tentang 4 Mazhab

Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah: Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan: Abu Hanifah An Nu’man. Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.

Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak (Ahlu Ra’yi). Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.

Dasar-dasar Mazhab Hanafi

Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al-Qiyas, Al-Istihsan, Ijma’ dan Uruf.

Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut:

Abu Yusuf bin Ibrahim Al-Anshari (113-183 H)
Zufar bin Hujail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani (132-189 H)
Hasan bin Ziyad Al-Lu’lu Al-Kufi Maulana Al-Anshari (….-204 H).
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah (Irak), kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan, Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.

Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.

 

Dasar-dasar Mazhab Maliki

Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok (dasar) yaitu:

Nashshul Kitab
Dzaahirul Kitab (umum)
Dalilul Kitab (mafhum mukhalafah)
Mafhum muwafaqah
Tanbihul Kitab, terhadap illat
Nash-nash Sunnah
Dzahirus Sunnah
Dalilus Sunnah
Mafhum Sunnah
Tanbihus Sunnah
Ijma’
Qiyas
Amalu Ahlil Madinah
Qaul Shahabi
Istihsan
Muraa’atul Khilaaf
Saddud Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya

Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Madinah dan belajar pada Imam Malik ialah:

Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim.
Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al-Utaqy.
Asyhab bin Abdul Aziz al-Qaisi.
Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam.
Asbagh bin Farj al-Umawi.
Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam.
Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al-Iskandari.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah:
Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al-Qurthubi.
Isa bin Dinar al-Andalusi.
Yahya bin Yahya bin Katsir Al-Laitsi.
Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami.
Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi.
Asad bin Furat.
Abdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Abdul Walid al-Baji
Abdul Hasan Al-Lakhami
Ibnu Rusyd Al-Kabir
Ibnu Rusyd Al-Hafiz
Ibnu ‘Arabi
Ibnul Qasim bin Jizzi
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki. Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisi, Libia, Bahrain, dan Kuwait.

Mazhab Syafi’i.
Mazhab ini dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf. Beliau lahir di Gaza (Palestina) tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al-Qur-an pada usia tujuh tahun. Setelah beliau hafal Al-Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.

Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak. Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah: Al-Um.

Dasar-dasar Mazhab Syafi’i:

Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah:

Al-Kitab.
Sunnah Mutawatirah.
Al-Ijma’.
Khabar Ahad.
Al-Qiyas.
Al-Istishab.
Ulama-ulama yang terkemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan Mazhab Syafi’i, antara lain :
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa’i
Imam Baihaqi
Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam Abu Daud
Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.

Mazhab Hambali.
Pendiri Mazhab Hambali ialah: Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain: Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.

Dasar-dasar Mazhabnya.

Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah:

Nash Al-Qur-an atau nash hadits.
Fatwa sebagian Sahabat.
Pendapat sebagian Sahabat.
Hadits Mursal atau Hadits Doif.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini di dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.

Pengembang-pengembang Mazhabnya

والله أعلم بالصواب

 

Jumat, 28 Maret 2025

HUKUM AQIQOH DENGAN DAGING MENTAHAN

Apakah aqiqah boleh dibagikan mentahan?...
Dengan tujuan lebih murah, krn dana terbatas..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Inti dari aqiqah adalah menyembelih hewan ternak (kambing) sebagai bentuk rasa syukur untuk kelahiran anak.

Al-Iraqi mengatakan,

العقيقة: الذبيحة التي تذبح عن المولود

Aqiqah adalah hewan ternak yang disembelih karena kelahiran anak. (Tharh at-Tatsrib, 5/205).

Hanya ulama berbeda pendapat mengenai jenis hewan yang boleh untuk aqiqah, apakah kambing saja ataukah boleh menyembalih sapi dan onta.

Mengenai cara pembagiannya, syariat memberikan kebebasan. Sehingga boleh juga dibagi dalam keadaan mentah. Sebagaimana yang berlaku dalam kurban.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها ـ يعني سبيل العقيقة كسبيل الأضحية .. وبهذا قال الشافعي

Tata cara aqiqah seperti cara mengkonsumsinya, menghadiahkannya atau mensedekahkanya sama sebagaimana tata cara udhiyah (berqurban)… dan ini yang dinyatakan as-Syafi’i. (al-Mughni, 9/366).

Imam Ibnu Baz menjelaskan,

وإنما العقيقة المشروعة التي جاءت بها السنة الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم هي ما يذبح عن المولود في يوم سابعه ، وهي شاتان عن الذكر ، وشاة واحدة عن الأنثى , وقد ( عق النبي صلى الله عليه وسلم عن الحسن والحسين رضي الله عنهما )

Aqiqah yang sesuai syariat dan yang diajarkan dalam sunah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hewan yang disembelih untuk kelahiran anak pada hari ketujuh. Dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meng-aqiqahi Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhu.

Kemudian beliau melanjutkan,

وصاحبها مخير إن شاء وزعها لحماً بين الأقارب والأصحاب والفقراء ، وإن شاء طبخها ودعا إليها من شاء من الأقارب والجيران والفقراء

Dan sohibul aqiqah boleh memilih, boleh membaginya dalam bentuk daging (mentah) kepada para kerabat, kawan atau orang miskin. Bisa juga dia masak, kemudian mengundang kerabat, tetangga, atau orang miskin yang dia inginkan. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 4/262).

Ini bisa kita jadikan solusi bagi mereka yang ingin aqiqah sementara dananya terbatas. Selagi cukup untuk beli kambing, aqiqah bisa diselenggarakan. Kemudian dibagikan mentahan.
________________________________________

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa aqiqah adalah hewan yang disembelih sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt atas karunia-Nya, yaitu berupa lahirnya anak baik laki-laki atau perempuan.

Jadi, pada prinsipnya aqiqah merupakan salah satu bentuk taqarrub dan wujud rasa syukur kita kepada Allah swt, yang dalam konteks ini adalah menyembelih dua kambing jika anak yang lahir adalah laki-laki, dan satu kambing apabila perempuan.

Mengenai status hukum aqiqah menurut Zakariya al-Anshari adalah sunnah muakkadah dengan didasarkan kepada sabda Rasulullah saw sebagai berikut. 

اَلْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى

“Seorang bayi itu tergadaikan dengan aqiqahnya, pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama” (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi).

Kandungan hadits ini menurut Zakariya al-Anshari adalah anjuran untuk mempublikasikan kebahagian, kenikmatan, dan nasab. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa aqiqah itu hukumnya sunnah muakkadah, dan tidak wajib karena ada hadits yang mengatakan,’Barang siapa yang senang (ingin) beribadah untuk anaknya maka lakukanlah’. Alasan lain yang menunjukkan bahwa aqiqah itu tidak wajib adalah bahwa yang dimaksud dengannya adalah mengalirkan darah bukan karena melakukan pelanggaran dan bukan pula nadzar.

وَالْمَعْنَى فِيهِ إظْهَارُ الْبِشْرِ وَالنِّعْمَةِ وَنَشْرِ النَّسَبِ. وَهِيَ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَإِنَّمَا لَمْ تَجِبْ لِخَبَرِ أَبِي دَاوُدَ: “مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ” وَلِأَنَّهَا إرَاقَةُ دَمٍ بِغَيْرِ جِنَايَةٍ ، وَلَا نَذْرٍ فَلَمْ تَجِبْ كَالْأُضْحِيَّةِ

“Makna yang terkandung dalam hadits tentang aqiqah ini adalah anjuran mempublikasikan kebahagian, kenikmatan, dan nasab. Status hukum aqiqah itu sendiri adalah sunnah muakkadah, dan tidak wajib karena ada hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, ‘Barang siapa yang senang (ingin) beribadah untuk anaknya maka lakukanlah”. Di samping itu alasan lain yang menunjukkan bahwa aqiqah itu sunnah adalah karena yang dimaksudkan dengan aqiqah adalah mengalirkan darah bukan karena melakukan pelanggaran dan bukan pula nadzar. Karenanya tidak wajib sebagaimana udhhiyyah (kurban)” (Lihat Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarhu Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet-1, 1422 H/2000 M, juz, 1, h. 547)       

Sedangkan daging aqiqah dibagikan kepada fakir-miskin agar bisa membawa keberkahan kepada si anak yang diaqiqahi, dan sebaiknya daging tersebut dibagikan dalam kondisi sudah dimasak. Demikian menurut pendapat yang paling sahih (al-ashshah).

وَيُفَرَّقُ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ لِتَعُودَ الْبَرَكَةِ عَلَى الْمَوْلُودِ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُتَصَدَّقَ بِهِ نِيئًا بَلْ مَطْبُوخًا عَلَى الْأَصَحِّ

“Daging aqiqah dibagikan kepada orang-orang fakir-miskin agar berkahnya kembali ke si anak, dan disunnahkan tidak disedekahkan dalam kondisi masih mentah, tetapi sudah matang (siap dimakan). Demikian ini menurut pendapat yang paling sahih” (Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, tt, juz, 2, h. 196)

Lantas bagaimana jika aqiqah itu diganti dengan uang? Jawaban kami atas pertanyaan ini adalah bahwa aqiqah tidak bisa digantikan dengan uang. Sebab, sejatinya aqiqah adalah mengalirkan darah atau menyembelih hewan. Yaitu, dua kambing untuk anak laki-laki, dan satu kambing untuk anak perempuan. Dan ini termasuk salah bentuk taqarrub atau ibadah yang status hukumnya adalah sunnah muakkadah. Dalam sebuah hadits shahih dikatakan;

مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا ، وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأْذَى

“Bersama seorang bayi itu ada aqiqah, maka alirkan darah untuknya (aqiqah), dan singkirkan hal yang mengganggunya (mencukurnya).” (H.R. Bukhari)

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang tua yang yang anaknya belum diaqiqahi maka sebaiknya kalau sudah dapat rejeki segera diaqiqahi. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb

HUKUM ZAKAT FITRAH BENTUK UANG

HUKUM MENGELUARKAN ZAKAT FITRAH DALAM BENTUK UANG

حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 

وقد اختلف العلماء في حكم إخراج زكاة الفطر بالقيمة بدلاً عن أعيانها على المذهبين:

المذهب الأوّل : مذهب جمهور العلماء وهو ما ذهب إليه الأئمة الثلاثة مالك والشافعي وأحمد رحمهم الله تعالى من أنه لا يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات، مستدلين بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في إخراج زكاة الفطر بأعيانها من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها . 
فعن عبدالله بن عمر رضي الله عنه، قال : »فَرَضَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ علَيْهِ وَسَلَّمَ زَكاةَ رَمَضاَنَ عَلىَ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ ، وَالذَّكِرِ وَاْلأُنْثىَ ، صاَعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صاَعًا مِنْ شَعِيْرٍ . فَعَدَلَ النَّاسُ بِهِ نِصْفَ صاَعٍ مِنْ بُرٍّ «. أخرجه النسائي (2500) واللفظ له، وأخرجه البخاري (1511)، ومسلم (984).

وأما المذهب الثاني فهو ما ذهب إليه بعض الأئمة سفيان الثوري وأبوحنيفة وأصحابه والبخاري في صحيحه رحمهم الله تعالى من أنه يجوز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات. 
وقد روى ذلك عن عمر بن عبد العزيز والحسن البصري كما ورد في مصنَّف ابن أبي شيبة. فعن عون قال سمعت كتاب عمر بن عبد العزيز يقرأ إلى عدي (يعني الوالي) بالبصرة :( يؤخذ من أهل الديوان من أعطياتهم من كل إنسان نصف درهم). 

وعن الحسن البصري قال: (لا بأس أن تعطي الدراهم في صدقة الفطر). 
وعن أبي إسحاق قال: (أدركتهم وهم يؤدون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام). 
وعن عطاء: (أنه كان يعطي في صدقة الفطر وَرِقًا – دراهم فضية). (مصنَّف ابن أبي شيبة، باب إعطاء الدراهم في زكاة الفطر، ج 3 ص 37-38). 
قال الإمام النووي: (وهو الظاهر من مذهب البخاري في صحيحه وهو وجه لنا كما سبق). انتهى (محيى الدين النووي، المجموع شرح المهذّب، ج ٥ ص ٤٢٩).

 وقد أفتى الإمام الرملي من الشافعية بجواز دفع القيمة في زكاة الفطر، تقليداً للإمام أبي حنيفة في إخراج بدل زكاة الفطر دراهم. (فتاوى الرملي على هامش كتاب الفتاوى الكبرى للإمام ابن حجرالهيتمي، ج 1 ص 56). 
فهذا كله يدل على أن القيمة معتبرة عندهم في أداء زكاة الفطر.

ويستدل هذا المذهب الثاني بالأدلة منها قول الله سبحانه وتعالى : ﴿ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً ﴾. سورة التوبة : 103.
وقال المجوّزون في إخراج زكاة الفطر بالقيمة :( فهو تنصيص على أن المأخوذ مال، والقيمة مال فأشبهت المنصوص عليه) ،أي الأعيان في صدقة الفطر من تمرٍأو شعيرٍ أو بُرٍّ أوغيرها).
(فتوى قضاة المحكمة الإستئناف العليا الشرعية دولة البحرين في جوازإخراج زكاة الفطر بالقيمة، ملحق في كتاب تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، للشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ص 51).

ويستدل أيضاً بقول النبي صلى الله عليه وسلم : »أَغْنُوْهُمْ (يعني المساكين) عَنِ الطَّواَفِ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ«. رواه البيهقي في السنن الكبرى، عن عبدالله بن عمر، ج 4 ص 175. 
والإغناء يحصل بالقيمة كما يحصل بالطعام.

والمذهب الراجح عندي هو المذهب الثاني الذي يجوّز إخراج زكاة الفطر بالقيمة. 
ووجه الترجيح هو : بالرغم من وجود أمرمن رسول الله صلى الله عليه وسلم لمعاذ بن جبل الذي أرسله إلى اليمن لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، لكنه عليه الصلاة والسلم قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
والتقرير من النبي صلى الله عليه وسلم دليل شرعي كقوله وفعله عليه الصلاة والسلام سواء بسواء. فعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ وَقَالَ لَهُ: » خُذِ الْحَبَّ مِنَ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنَ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنَ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنَ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه (1814) وأبو داود (1599).

ففي هذا الحديث قد أمر النبي صلى الله عليه وسلم معاذا بن جبل لأن يأخذ الزكاة بالأعيان، إلاّ أنه عليه الصلاة والسلم مع ذلك، قد أقرّ معاذا بن جبل في أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها. 
وقد قال الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في كتابه تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال :( إن أخذ القيمة في الزكاة ثابة عن النبي صلى الله عليه وسلم عن جماعة من الصحابة في عصره وبعد عصره). انتهى. 
(الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري ،تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10).

ثم بعد ذلك أورد الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري في الكتاب المذكور أعلاه (ص 10-11) روايات من جماعة من الصحابة تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، من ثلاثة كتب : الخراج ليحيى بن آدم القرشي، المصنّف لابن أبي شيبة، والأموال لأبي عبيد. 
وأنقل إليكم ذلك كما هو بكماله للفائدة ما يلي :

قال يحيى بن آدم القرشي في كتاب الخراج (تحقيق الشيخ أحمد شاكر، ص 138) : 
حدثنا سفيان بن عيينة، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : 
(ائتوني بعرض ثياب آخذه منكم مكان الذرة والشعير، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال يحيى بن آدم القرشي أيضاً : حدثنا سفيان بن عيينة، عن إبراهم بن ميسرة، عن طاوس قال، قال معاذ باليمن : (ائتوني بخميس أو لبيس (أي ملبوس) آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أهون عليكم، وخير للمهاجرين بالمدينة).

وقال بن أبي شيبة في المصنَّف : حدثنا عبد الرحيم، عن الحجاج، عن عمرو بن دينار، عن طاوس قال : (بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معاذاً إلى اليمن فأمره أن يأخذ الصدقة من الحنطة والشعير،فأخذ العروض والثياب بدل الحنطة والشعير).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا جرير بن عبد الحميد، عن ليث، عن عطاء : (أن عمر كان يأخذ العروض في الصدقة من الوَرِقِ وغيرها).

وقال بن أبي شيبة أيضاً : حدثنا بن عيينة، عن إبراهيم بن ميسرة، فذكر مثل ما رواه يحيى بن آدم القرشي عن سفيان في الخميس واللبيس ثم قال :
حدثنا وكيع، عن سفيان، عن إبراهيم بن ميسرة، عن طاوس : (أن معاذاً كان يأخذ العروض في الصدقة).

وقال بن أبي شيبة : حدثنا وكيع، عن أبي سنان، عن عنترة، (أن علياًّ عليه السلام كان يأخذ العروض في الجزية من أهل الابر الابر، ومن أهل المال المال، ومن أهل الحبال الحبال).

وقال أبو عبيد في الأموال : (وقد جاء الثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمرمعاذاً حين خرج إلى اليمن بالتيسير على الناس، وأن لا يأخذ كرائم أموالهم. ثم جاء مفسراً عن معاذ في حديث آخر، أنه قال هناك : ائتوني بخميس أو لبيس آخذه منكم مكان الصدقة، فإنه أيسر عليكم، وأنفع للمهاجرين بالمدينة. فالأسنان بعضها ببعض أشبه من العروض بها، وقد قبلها معاذ).

وروى عن عمر وعلي مثله في الجزية، (أنهما كانا يأخذان مكانها غيرها).

حدثني يحيى بن بكير، عن مالك، عن زيد بن أسلم، عن أبيه، عن عمر: (إنه كان يأتيه من الشام نعم كثيرة من الجزية).

حدثنا محمد بن ربيعة، وأبو نعيم، عن سعيد بن سنان، عن عنترة، عن علي عليه السلام : 
(أنه كان يأخذ الجزية من أصحاب الابر الابر)...فذكر مثل ما رواه ابن أبي شيبة، ثم قال : (قد رخّصا في أخذ العروض والحيوان مكان الجزية، وإنما أصلها الدراهيم والدنانير والطعام). 
قال : (وكذلك رأيهما في الديات من الذهب والوَرِق والإبل والبقر والغنم والخيل. إنما أرادا التسهيل على الناس، فجعلا على أهل كل بلد ما يمكنهم). انتهى (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 10-11).

فجميع هذه الروايات تدل على جواز أخذ الزكاة بالقيمة بدلاً من أعيانها، وذلك أن من المعلوم أن معاذا كان يُرسل ذلك (أي المأخوذات من الزكاة) من اليمن إلى النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة، لأنه متولي الصدقة يأخذها من اليمن ومفرّقها على الفقراء بالمدينة، وقد قبل ذلك النبيُّ صلى الله عليه وسلم بالمدينة وقد أقره النبي صلى الله عليه وسلم ذلك، أي أخذ الزكاة بالقيمة. مع العلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قال لمعاذ لأخذ الزكاة بأعيانها حين أرسله إلى اليمن : »خُذْ الْحَبَّ مِنْ الْحَبِّ وَالشَّاةَ مِنْ الْغَنَمِ وَالْبَعِيرَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرَةَ مِنْ الْبَقَرِ«. أخرجه ابن ماجه وأبو داود.

ومع ذلك، قد أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم في أخذ الزكاة بالقيمة. والإقرار من النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك دليل الجواز في أخذ الزكاة بالقيمة شرعاً، إذ لو كان ما فعله معاذ في اليمن يخالف الشرع لَماَ أقرّه النبي صلى الله عليه وسلم ذلك ولَأَمَرَ معاذا بردّ ذلك إلى أهله في اليمن ونهاه عنه. ولم يحصل شيءٌ من ذلك. (الشيخ أحمد بن محمد بن الصديق الغماري، تحقيق الآمال في إخراج زكاة الفطر بالمال، ص 12).

وبناءً على ذلك كلّه، فالخلاصة أن المذهب الراجح عندي هو القول بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة وفي سائر الزكوات كذلك، وإن كان الأفضل هو إخراج زكاة الفطر بأعيناها تمسّكاً بالنصوص الشرعية الواردة في ذلك. فمن أخرج زكاة الفطر بأعيناها فقد اختار بالأفضل، ومن أخرجها بالقيمة فلا بأس به ولا حرج.

وقد كنت أنا أرى منذ سنة 2010 أن إخراج زكاة الفطر بالقيمة لا يجوز شرعاً، مرجحاً مذهب الجمهور. وها أنا الآن في سنة 2024  أي في سنة 1445 في اليوم الخامس من شهر شوال قد تركت ذلك القول وأميل الآن إلى القول الجديد بجواز إخراج زكاة الفطر بالقيمة، بعد الدراسة والتدقيق والتمحيص في هذا الأمر، بعون الله وتوفيقه، والله أعلم.

ZAKAT KEGURU NGAJI/USTADZ

ZAKAT KE GURU NGAJI

Dalam menunaikan zakat fitrah, tidak sedikit dari masyarakat kita memilih untuk memberikan zakat tersebut kepada kiai atau guru ngaji. 
Jika dipahami dalam kategori yang berhak menerima zakat, maka kiai atau guru ngaji tersebut sebenarnya masuk dalam katagori yang mana? Lantas sah kah zakat fitrah kepadanya mengatasnamakan fi sabilillah atau kategori lainnya?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita bahas delapan (8) golongan yang dapat menerima zakat:

Pertama, fakir yaitu orang yang tidak memiliki penghasilan, memiliki sedikit harta sehingga tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari nya.

Kedua, miskin yaitu orang yang memiliki sedikit harta, dan penghasilan yang hanya bisa dibuat makan dan minum tidak lebih dari itu.

Ketiga, amil yaitu, orang yang punya legalitas untuk menyalurkan kepada orang-orang yang berhak atas zakat.

Keempat, muallaf yaitu orang yang baru masuk islam, agar dia meyakini islam menjadi agamanya.

Kelima, riqob yaitu budak yang ada dibawah kepemilikan seseorang. Agar zakat ini dapat digunakan untuk memerdekakan dirinya.

Keenam, ghorim yaitu orang yang memiliki hutang. 
Misal, berhutang karena Allah seperti berhutang tujuan mendamaikan permusuhan.

Ketujuh, sabilillah yaitu orang-orang yang berperang.

Kedelapan, Ibnu sabil yaitu orang yang dalam perjalanan kerena allah seperti merantau untuk bekerja atau mencari ilmu.

Dari penjelasan di atas kita ketahui bahwa kita bisa melihat dari berbagai sisi untuk memberikan zakat pada pihak yang tepat. 
Salah satunya adalah kiai atau guru mengaji. Kiai atau guru mengaji bisa dilihat dari sisi perekonomian (miskin), meski ada pendapat ulama yang juga bisa mengkategorikan guru ngaji sebagai fi sabilillah, namun hal tersebut masih menjadi perdebatan, berikut penjelasannnya:

Mayoritas ulama (mayoritas ulama) mengatakan sabilillah ialah orang yang berperang di jalan allah. 
Ada juga sebagian yang berpendapat bahwa Sabilillah itu atas jalan kebaikan (وجوه الخير), contoh diberikan kepada pembagunan masjid, madrasah, dll. Seperti pendapat imam qoffal dalam kitab tafsir munir:

وَنَقَلَ القَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الفُقَهَاءِ اَنَّهُمْ أَجَازُوْا صَرْفَ الصَّدَقَاتِ جَمِيْعَ وُجُوْهِ الخَيْرِ مِنْ تَكْفِيْنِ المَوْتَى وَبِنَاءِ الحُصُوْنِ وَعِمَارَةِ المَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى “فِى سَبِيْلِ اللهِ” عَامٌ فِى الكُلِّ. (تفسير المنير, 1/344)

“Dinukil dari imam qoffal dari sebagian fuqoha’ bahwa ulama memperbolehkan memberikan zakat kepada semua yang bersifat kebaikan baik berapa biaya penguburan orang mati, pembagunan benteng, dan pembangunan masjid kerena firman allah dalam teks fi sabilillah itu Am” (Tafsir munir 1/344)

(ولا لذي قوة مكتسب) 
ولو قدر على الكذب الا انه مستغل بالعلوم الشرعية ولو اقبل على الكسب لا نقطع عن التحصيل حلت له الزكاة على الصحيح

Dan tidak dikasih dari zakat orang yang quat usahanya, 
Dan walaupun mampu orang tersebut usaha, kecuali tidak bisa usaha karena orang tersebut sibuk dengan ilmu syari'at/agama, walaupun dia dihadapkan atas pekerjaan yang tdk jelas akan hasilnya, Maka halal orang tersebut menerima zakat, menurut Qaul yang shohih. 
(Kitab kifayatul akhyaar juz,1 hal, 197) 

Pendapat serupa juga muncul dalam mazhab Hanbali, disebutkan bahwa Imam Ahmad memperbolehkan penggunaan zakat untuk kepentingan umum bersifat kebaikan.

Dalam mazhab Maliki, sebagian ulama seperti Imam al-Lakhami dan Syekh Sholeh bin Salim berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada guru ngaji dan kiai, atas dasar fi Sabilillah. Hal ini disebutkan dalam Syarah Mukhtashar Khalil karya Imam al-Kharasyi (juz 3, hal. 350):

يَجُوْزُ إِعطَاءُ الزَّكَاةِ لِلْقَارِئِ وَالْعَالِمِ وَالْمُعَلِّمِ وَمَنْ فِيْهِ مَنْفَعَةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ ولَو كَانُوا أَغْنِيَاءَ لِعُمُوْمِ نَفْعِهم وَلِبَقاءِ الدِّيْنِ كمَا نَصَّ عَلَى جَوَازِها اِبنُ رُشْدٍ وَاللَّخَمِي وَقَدْ عدَّهُمُ اللّهُ سُبْحَانَه وتعالى فِي الْأَصْنَافِ الثَّمَانيَةِ التي تُعْطَى لَهُمُ الزَّكاةُ حيْثُ قال { وفي سبيل الله } يَعْنِي : المُجَاهد لإِعلَاءِ كَلِمةِ اللّهِ ، وإنَّمَا ذَلِكَ لِعُمُومِ نَفْعِهم للمُسْلِميْنَ

“Boleh memberikan zakat kepada qari (pembaca Al-Qur’an), ulama, pengajar, dan siapa saja yang memberikan manfaat bagi umat Islam, meskipun mereka kaya. 
Sebab, manfaat mereka bersifat umum dan berkontribusi dalam menjaga agama. Ibnu Rusyd dan al-Lakhami juga membolehkan hal ini, ‘Allah telah memasukkan mereka ke dalam delapan golongan penerima zakat dalam firman-Nya: ‘fi sabilillah,’ yang bermakna mujahid dalam meninggikan agama Allah karena manfaat mereka yang luas bagi kaum Muslimim. 
Wallahu A’lam.
_______________________________________________و
ما المقصود من في سبيل الله،،،؟
 الجواب
بسم الله والخمد لله والصلاة والسلام على رسو الله وعلى آله وصحبه وسلم.

أما بعد:

الإجابة عن هذا السؤال، تكون في مسائل:

الأولى: ما المقصود في سبيل الله في آية مصارف الزكاة؟ للعلماء فيه، أربعة أقوال: أحدها: أن المقصود من (سبيل الله) الغزاة في سبيل الله وهو قول جمهور المفسرين والفقهاء، ومن المعاصرين هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية .

الثاني: أن المقصود من (في سبيل الله) الغزاة، والحجاج، والعمار، وهو مروي عن ابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم، وقال به الحسن وأحمد واسحق.

الثالث: أن المقصود من (في سبيل الله) جميع وجوه البر من تكفين الموتى، وبناء الجسور، والمدارس، والمساجد، والدعوة والجمعيات الخيرية، وغير ذلك لأن قوله في سبيل الله عام في الكل، وقال به بعض المفسرين والفقهاء، كالخازن والآلوسي، والقاسمي(1). والى ذلك ذهب من الحنفية الكاساني، 
ومن الشافعية القفال، وحكاه النووي في شرح مسلم عن القاضي عياض وغيره، وقال به الصنعاني وصديق حسن خان، وحسن ايوب( 2).

قال الرازي: لا يوجب القصر على الغزاة -ثم قال- فلهذا المعنى نقل القفال في تفسيره عن بعض الفقهاء أنهم أجازوا صرف الصدقات إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الحصون وعمارة المساجد( 3).

 وقال الكاساني: وأما قوله تعالى: (وفي سبيل الله) عبارة عن جميع القرب فيدخل فيه كل من سعى في طاعة الله وسبيل الخيرات إذا كان محتاجاً( 4).

والرابع: إن المقصود من (في سبيل الله ) في أية الصدقات هو القتال والجهاد بمعناه الواسع الذي يحفظ مصالح المسلمين العامة التي فيها تحقيق النصر للدين والرفعة لشريعة الإسلام، يقول الشيخ محمد رشيد رضا: التحقيق إن سبيل الله هنا: مصالح المسلمين العامة( 5).

...والله اعلم بالصواب
_______________________

(1)مجلة البحوث الإسلامية المجلد الاول للعدد الثاني ص 56

(2)ينظر: سبل السلام للصنعاني:ح2،ص198، والروضة الندية لصديق حسن خان: ج1/ص206، الزكاة في الإسلام، لحسن ايوب ص 112.

(3)تفسير الرازي: ج16/ ص113.

(4)بدائع الصنائع للكاساني: ج2/ ص45

(5)تفسير المنار لمحمد رشيد رضا: ج10/ ص585-587


Kamis, 27 Maret 2025

NIAT FIDYAH

Ingin Membayar Fidyah, Berikut Lafal Niat yang Dibaca,

Sebentar lagi umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan, pada bulan tersebut tidak semua umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, seperti haidh pada wanita, orang tua renta, orang sakit parah, dan sebagainya. 


Atas dasar tidak melaksanakannya ibadah puasa tersebut seseorang diharuskan untuk menqadha puasa atau membayar fidyah sesuai yang ditentukan syariat Islam. Fidyah secara bahasa adalah tebusan. Menurut istilah syariat adalah denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan. 


Bagi orang yang tidak mampu berpuasa secara permanen, seperti orang tua renta, orang sakit parah yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, dan lain sebagainya, mendapat keringanan untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan. 


Baca Juga

Doa Memasuki Bulan Ramadhan, Arab Latin dan Terjemahnya

Selain itu, mereka juga tidak wajib mengqadha di lain waktu. Sebagai gantinya, mereka harus membayar fidyah atau kafarat (denda). Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili mengklasifikasi fidyah menjadi tiga bagian. 


Pertama, fidyah senilai satu mud. Kedua, fidyah senilai dua mud. Ketiga, fidyah dengan menyembelih dam (binatang) (Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili, al-Lubab, hal 186).



Kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras. 


Dilansir dari NU Online, ukuran mud bila dikonversikan ke dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75 ons. Hal ini berpijak pada hitungan yang masyhur, di antaranya disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu. Sementara menurut hitungan Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510 gram atau 5,10 ons.

Baca Juga

Telat Qadha Puasa hingga Ramadhan Tiba, Ini Hukumnya

Fidyah wajib diberikan kepada fakir atau miskin, tidak diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain, terlebih kepada orang kaya. Alokasi fidyah berbeda dengan zakat, karena nash Al-Qur’an dalam konteks fidyah hanya menyebut miskin “fa fidyatun tha‘âmu miskin” (QS al-Baqarah ayat 184). 


Sedangkan fakir dianalogikan dengan miskin dengan pola qiyas aulawi (qiyas yang lebih utama), sebab kondisi fakir lebih parah daripada miskin (Syekh Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal 176). Fidyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga disyaratkan niat dalam pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat.


Disebutkan dalam himpunan fatwa Imam Muhammad al-Ramli:


(سئل) هل يلزم الشيخ الهرم إذا عجز عن الصوم وأخرج الفدية النية أم لا


Artinya: Imam al-Ramli ditanya, apakah orang tua renta yang lemah berpuasa dan mengeluarkan fidyah wajib niat atau tidak?


(فأجاب) بأنه تلزمه النية لأن الفدية عبادة مالية كالزكاة والكفارة فينوي بها الفدية لفطره


Artinya: Imam al-Ramli menjawab bahwa ia wajib niat fidyah, sebab fidyah adalah ibadah harta seperti zakat dan kafarat, maka niatkanlah mengeluarkan fidyah karena tidak berpuasa Ramadhan (Syekh Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal 74).


Berikut lafal pembacaan niat dalam penunaian fidyah:


Niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan orang tua renta:


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هٰذِهِ الْفِدْيَةَ لإِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى


Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di bulan Ramadhan, fardhu karena Allah.


Niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هٰذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ إِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِلْخَوْفِ عَلَى وَلَدِيْ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى


Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan karena khawatir keselamatan anaku, fardhu karena Allah.


Niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh wali/ahli waris):


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هٰذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ صَوْمِ رَمَضَانِ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى


Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa Ramadhan untuk Fulan bin Fulan (disebutkan nama mayitnya), fardhu karena Allah.


Niat fidyah karena terlambat mengqadha puasa Ramadhan


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هٰذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى


Artinya: Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardhu karena Allah.


Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab zakat.

Demikianlah penjelasan mengenai fidyah dan lafal bacaan niatnya. Semoga dapat menambah khazanah keislaman kita. 
 

Jumat, 21 Maret 2025

HUKUM BERSENTUHAN KULIT KETIKA THOWAF

Hukum Bersentuhan dengan Bukan Mahram Saat Thawaf. 

Termasuk dari syarat thawaf yang harus dipenuhi adalah harus dalam keadaan suci. Dalam madzhab syafi’i saling bersentuhan kulit dua jenis bukan mahrom dapat membatalkan wudhu, sedangkan dalam thawaf hal ini bukanlah hal yang mudah dihindari dan pasti terjadi. Lantas, bagaimanakah hukum bersentuhan dengan bukan mahram saat thawaf?

Dalam literatur kitab fikih, terdapat solusi bagi seseorang yang sedang melaksanakan thawaf, ketika sulit untuk menghindari sentuhan kulit dua jenis yang bukan mahrom. 

Orang itu diberi pemilihan untuk mengikuti pendapat yang lemah dari kalangan mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa bersentuhan lain jenis tidak membatalkan wudhu selama tidak syahwat. Sebagaimana dalam kitab Syarah Al-Bahjah Al-Wardiyyah, juz 2, halaman 44 berikut,

)قَوْلُهُ : وَسَوَاءٌ إلَخْ ) وَلَنَا وَجْهٌ أَنَّهُ لَا يُنْتَقَضُ وُضُوءُ الْمَلْمُوسِ ، وَوَجْهٌ أَنَّ لَمْسَ الْعُضْوِ الْأَشَلِّ أَوْ الزَّائِدِ لَا يَنْقُضُ ، وَوَجْهٌ لِابْنِ سُرَيْجٍ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ الشَّهْوَةُ فِي الِانْتِقَاضِ قَالَ الْحَنَّاطِيُّ وَحُكِيَ هَذَا عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ ، وَوَجْهٌ حَكَاهُ الْفُورَانِيُّ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَآخَرُونَ أَنَّ اللَّمْسَ لَا يَنْقُضُ إلَّا إذَا وَقَعَ قَصْدًا ، وَأَمَّا تَخْصِيصُ النَّقْضِ بِأَعْضَاءِ الْوُضُوءِ فَلَيْسَ وَجْهًا لَنَا بَلْ مَذْهَبُ الْأَوْزَاعِيِّ وَحُكِيَ عَنْهُ أَنَّهُ لَا يَنْقُضُ إلَّا اللَّمْسُ بِالْيَدِ كَذَا فِي الْمَجْمُوعِ

Artinya : “Dari kalangan Syafiiyah juga terdapat beberapa pendapat. Ada yang menyatakan tidak menjadi batal wudhunya orang yang disentuh. Ada yang menyatakan tidak membatalkan menyentuh anggota badan yang telah lumpuh atau anggota tambahan. 

Ada yang menyatakan (pendapat Ibn Suraij) yang membatalkan saat terjadi syahwat dalam persentuhan, berkata al-Hannaathy diceritakan ini adalah hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i. 

Ada yang menyatakan (Pendapat al-Furaani dan Imam Haramain dan ulama-ulama lain) persentuhan kulit tidak membatalkan kecuali bila terjadi unsur kesengajaan. 

Sedang bersentuhan kulit yang membatalkan terbatas pada anggota wudhu’ saja bukan merupakan pendapat kalangan syafi’i. Namun pendapat al-Auzaa’i yang juga diceritakan menurutnya bahwa tidak membatalkan wudhu kecuali menyentuhnya dengan tangan, inilah yang diuraikan dalam kitab Al-Majmu’.”

Menurut pendapat Sayid Abdurrahman Ba’alawi, mengikuti pendapat lemah dalam satu madzhab ketika telah terpenuhi syaratnya itu lebih baik dari pada taklid kepada madzhab lain karena kesukaran dalam memenuhi segala syarat-syaratnya. 

Sebagaimana dalam Bughyatul Mustarsyidin, halaman 16 berikut,

 … نعم في الفوائد المدنية للكردي أن تقليد القول أو الوجه الضعيف في المذهب بشرطه أولى من تقليد مذهب الغير لعسر اجتماع شروطه اهـ. 

Artinya, “….. iya memang, dalam Al-Fawaidul Madaniyah karya Al-Kurdi, bahwa taklid pada satu pendapat atau wajah yang dhaif dalam satu madzhab dengan (memenuhi) syaratnya itu lebih utama dari pada taklid kepada madzhab lain karena susah terpenuhi berbagai macam syaratnya.”

Demikian penjelasan mengenai hukum bersentuhan dengan bukan mahram saat thawaf. Semoga bermanfaat. 
________________________________________________

Bersentuhan Kulit dengan Lawan Jenis saat Tawaf Tak Terhindarkan, Begini Solusinya. 

Ada beberapa penanya baik melalui online dan offline yang menginginkan sesuatu termasuk hukum yang solutif saat melakukan ibadah haji. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ibadah haji adalah ibadah fisik.

Misalnya tawaf. Banyak orang yang menjalankan tawaf, tentu saja mereka dari beragam latar belakang kemampuan agama yang berbeda atau latar belakang madzhab yang berbeda pula, sehingga dalam penerapan hukum juga berbeda-beda.

Seperti persentuhan kulit laki laki-laki dan perempuan lain saat tawaf. Ini memang sebuah problem yang perlu dicarikan solusi paling ringan untuk memudahkan.

Sudah biasa dan banyak diketahui oleh jamaah haji Indonesia bahwa di antara syarat tawaf menurut madzhab Syafi'i adalah suci dan di antara yang membatalkan wudhu adalah persentuhan kulit laki-laki dan perempuan lain baik sengaja atau tidak.

Tentu konsekuensi dari hukum ini sering menyulitkan, karena ketika terjadi persentuhan tersebut mereka harus cari tempat wudu dan kemudian meneruskan tawafnya dari tempat di mana ia batal. 

Dua hal ini tentu sangat merepotkan bagi jamaah haji Indonesia apalagi yang sepuh. 

Maka penulis sering memberikan solusi pada problematika tawaf ini dengan mengikuti pendapat Alfauroni dan Imam Haromain yang bermazhab Syafi'i yang menyatakan bahwa sepanjang tidak ada kesengajaan melakukan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, maka wudunya tidak batal, meski pendapat ini dianggap lemah. 

Namun pendapat lemah dalam keadaan yang sulit dan demi hal yang maslahat dalam pernyataan kitab Tarsyihul Mustafidin boleh dipakai. 

Berikut pendapat Alfauroni dan imam Haromain yang dikutip Annawawi dalam Al-Majmu':

ووجه حكاه الفوراني وإمام الحرمين وآخرون أن اللمس إنما ينقض إذا وقع قصدا

Artinya, "Dan wajah yang diceritakan oleh Alfauroni, Imam Haromain dan banyak ulama yang lain: persentuhan kulit  laki-laki dan perempuan itu dapat membatalkan wudu bila terjadi dengan sengaja". 

Mengapa tidak menggunakan madzhab Hanafi yang mengatakan: persentuhan kulit laki-laki dan perempuan itu tidak membatalkan wudu?

Alfaqir tidak merekomendasi itu karena mayoritas jamaah haji Indonesia tidak terbiasa berwudlu dengan cara Hanafi yang ketika mengusap kepala harus minimal seperempat kepala.

Hal ini untuk mengurangi resistensi di kalangan ahli fiqih mengenai talfiq (mencampuradukkan madzhab).

Bila memang menjaga suci dari hadats ini masih kesulitan karena problemnya sering "ngentut", maka sebaiknya membaca landasan hukum yang sudah Alfaqir tulis sebelumnya. 
Wallahu a'lam bishshawab

 


PAS MAU THOWAF IPADOH HAID, ADAKAH SOLUSINYA

Penulis sering dihadapkan pada pertanyaan tentang wanita haid yang akan menjalani tawaf rukun, seperti tawaf ifadah, meski waktunya tawaf ifadah itu bisa diperpanjang selama hidup menurut penjelasan kitab Al-Afshoh, tetapi ini tetap problem bagi jamaah haji Indonesia.

Dalam ritual haji yang disyaratkan suci menurut mayoritas Syafi'iyah adalah tawaf.

Memang ini problem yang perlu kecerdasan solusi yang meringankan.

Kadang-kadang para wanita itu sudah berusaha maksimal untuk tidak haid selama haji dengan minum obat resep dokter. 
Faktanya tetap saja kadang banyak yang jebol.

Padahal waktunya sudah mepet, tidak memungkinkan menunggu sampai suci untuk menjalankan tawaf rukun tersebut.

Oleh karenanya perlu ada solusi yang memudahkan, sehingga bisa melaksanakan tawaf rukun itu dengan baik.

Solusinya adalah tetap melakukan tawaf rukun tersebut, meski dalam keadaan haid, sehingga wanita ini menjadi tidak terbebani. Keterangan ini tidak menentang pendapat Syafiiyah. 

Pandangan penulis ini didasarkan pada pendapat dari kitab Bada'iusshona'i yang bermazhab Hanafi karya Ala'uddin, berikut ini.

فأما الطهارة عن الحدث والجنابة والحيض والنفاس فليست بشرط لجواز الطواف

Artinya, "Adapun suci dari hadats, janabah, haid, dan nifas bukan menjadi persyaratan bolehnya tawaf". 

Hal senada juga disampaikan Almughni dan juga Almuzani dari Syafi'iyah yang mendapat tanggapan minus dari Syafi'iyah sendiri.

Kendati demikian, bila waktunya tidak mepet, penulis menyarankan tetap menunggu suci untuk melakukan tawaf rukun tersebut. 

Sudah dijelaskan bahwa mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.

Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.
Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ.

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik. (Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).
Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid. Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.
Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.
“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).
Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.
Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama. 
Wallahu a’lam.

Kamis, 20 Maret 2025

MINUM SETELAH ADZAN SUBUH MENGIRA BELUM TERBIT FAJAR

Minum Setelah Azan (Shubuh) Karena Mengira Belum Terbit Fajar

Aku pernah tidur dan tidak mendengarkan azan, sedangkan alarm berbunyi lebih lambat dari waktu sebenarnya. Setelah aku minum segelas air, tiba-tiba dikumandangkan iqamah shalat . Apa yang menjadi kewajiban saya? Mohon fatwanya.

Pertanyaan
Alhamdulillah.

Pendapat yang shahih dari sejumlah pendapat para ulama bahwa siapa yang makan dengan perkiraan bahwa fajar belum terbit, kemudian setelah itu terbukti bahwa fajar telah terbit, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya, karena orang yang tidak mengetahui waktu termasuk memiliki uzur.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Jika orang yang berpuasa mengkonsumsi sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, maka puasanya sah, apakah dia tidak tahu waktunya, atau tidak tahu hukumnya. Contoh orang yang tidak tahu waktunya adalah, jika seseorang bangun di akhir malam, dia mengira fajar belum terbit, lalu dia makan dan minum, kemudian terbukti bahwa saat itu fajar telah terbit, maka puasanya sah, karena dia tidak tahu waktunya.

Contoh orang yang tidak tahu hukumnya, misalnya dia melakukan bekam, dia tidak tahu bahwa bekam membatalkan puasa, maka dikatakan kepadanya bahwa puasanya sah. Dalilnya dari Al-Quran adalah firman Allah Ta'ala,

ربنا لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا ربنا ولا تحمل علينا إصرا كما حملته على الذين من قبلنا ربنا ولا تحملنا ما لا طاقة لنا به واعف عنا واغفر لنا وارحمنا أنت مولانا فانصرنا على القوم الكافرين (سورة البقرة : 286)

"Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 286)

Adapun dalil dari Sunah adalah hadits Asma bin Abu Bakar radhiallahu anhuma yang diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya, dia berkata,

أفطرنا يوم غيم على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، ثم طلعت الشمس

"Kami berbuka pada hari mendung pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kemudian ternyata matahari masih tampak."

Dengan demikian mereka berbuka pada siang hari, akan tetapi mereka tidak mengetahuinya karena mengira bahwa matahari telah terbenam. Dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan mengqadha. Seandainya qadha itu wajib, niscaya beliau telah memerintahkan mereka dengannya, seandainya beliau memerintahkan mereka, niscaya sudah disampaikan riwayatnya kepada kita." (Majmu Fatawa, no. 19)

LAGI MAKAN SAHUR TERDENGAR ADZAN

Lagi Makan Sahur Terdengar Adzan, Benarkah Makan Minum Masih Boleh Diteruskan?
PERTANYAAN
Ada hadist yang menyebutkan bahwa

"Jika seseorang dari kamu mendengar adzan (Shubuh), sedangkan bejana (air) sedang di tangannya, maka janganlah dia meletakkan bejananya hingga dia menyelesaikan hajatnya darinya [minum]".

Pertanyaanya : 
1. Bila makanan yang di piring atau di tangan belum habis saat azan selesai?
2. Apakah harus dihabiskan atau tidak dilanjutkan?

Biasanya tipikal orang kita, habis makan masih harus minum juga tadz. saya bingung apa yng harus saya perbuat kalau pas sahur kesiangan, pernah ngalamin hal kayak gini, dilema mau minum atau enggak. Bagaimana pendapat ustadz?

Terima kasih atas jawabannya.

JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Untuk menjawab masalah ini sebenarnya sederhana saja, yaitu adzan yang dimaksud bukan adzan Shubuh, melainkan adzan yang biasa dikumandangkan oleh Bilal untuk membangunkan orang-orang makan sahur. Maka sama sekai tidak ada ada masalah ketika adzan itu sudah dikumandangkan dan kita masih saja makan dan minum.

Sayangnya ada semenetara kalangan yang agak rancu memahami hadits tentang bolehnya tetap makan dan minum walau pun sudah terdengar adzan shubuh.

A. Hadits Yang Membolehkan Makan Minum Meski Sudah Adzan

Kita menemukan setidaknya ada dua hadits yang terkait dengan masalah ini:

1. Hadits Pertama

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga dia habiskan isinya.” (HR. Abu Daud)

Tegas sekali hadits ini membolehkan makan dan bahkan untuk menghabiskan isi piring makan kita, meski sudah terdengar suara adzan.

2. Hadits Kedua

Selain hadits di atas, hal yang senada juga dialami oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu :

أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ قَالَ أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ نَعَمْ فَشَرِبَهَا
Adzan dikumandangkan sedangkan dan gelas masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahuanhu. Dia bertanya kepada Rasulullah SAW,“Apakah masih boleh minum?”. Beliau SAW menjawab : “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya (HR. Ibnu Jarir)

Hadits kedua ini pun juga sangat tegas menyebutkan izin untuk minum meski sudah dikumandangkan adzan. Bahkan Umar pun sempat mengkarifikasi terlebih dahulu sebelum minum. Itu berarti minum setelah adzan bukan cuma sekedar ijtihad Umar, melainkan mendapatkan rekomendasi langsung dari Nabi SAW.

B. Hadits Bertentangan Dengan Al-Quran

Kalau kita tarik kesimpulan sekilas dari dua hadits di atas, pastilah kita akan mengatakan bahwa mesikpun sudah berkumandang adzan, tetapi masih dibenarkan untuk makan dan minum, setidaknya hingga habis dari piring kita.

Padahal kita tahu bahwa batas mulai puasa adalah terbitnya fajar, dimana ketentuannya itu datang langsung lewat firman Allah SWT di dalam Al-Quran. Tentu saja secara hirarki kedudukan Al-Quran jauh lebih tinggi dan lebih utama dari pada kedudukan hadits. Perhatikan ayat berikut ini :

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar...” (QS Al-Baqarah: 187)

Tegas sekali batasan puasa menurut Al-Quran adalah datangnya fajar. Bagaimana mungkin ketika muadzin mengumandangkan adzan, kita masih saja meneruskan makan dan minum, padahal seorang muadzdzin tidak akan mengumandangkan adzan kecuali setelah mengetahui pasti fajar telah terbit?

Apakah hadits-hadits di atas secara otomatis tertolak karena berhadapan dengan Al-Quran? Ataukah hadits-hadits itu menjadi semacam kekhususuan atau pengecualian?

Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah kita tinggalkan kedua hadits di atas dan berkesimpulan bahwa makan minum bila sudah adzan termasuk membatalkan puasa. Alasannya karena kedua hadits di atas bertentangan dengan Al-Quran.

Kemungkinan kedua, kita tinggalkan ayat Al-Quran dan memenangkan kedua hadits di atas, dengan alasan bahwa kedua hadits itu merupakan kekhususan dan pengecualian. Dengan demikian maka hukum makan dan minum meski sudah adzan tetap diperbolehkan.

C. Hadits Pembanding

Namun sebelum terlalu jauh berijtihad kesana kemari, mengapa tidak kita cari dulu hadits-hadits lain yang bisa dijadikan pembanding?

Dan ternyata masih ada hadits lain yang juga shahih namun lebih lengkap dan bisa dijadikan sebagai penjelasan yang lengkap atas duduk perkara masalahnya. Setidaknya ada dua hadits yang menjadi pembanding.

1. Hadits Pertama

أَنَّ بِلاَلاً كاَنَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقاَلَ رَسُولُ اللهِ : كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتىَّ يُؤَذِّنَ بْنُ أُمِّ مَكْتُوْم فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتىَّ يَطْلَعَ الفَجْرُ
Bilal mengumandangkan adzan pada suatu malam. Maka Rasulullah SAW bersabda, ”Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”. (HR. Bukhari).

Hadits di atas telah dengan jelas mengklarifikasi kedudukan masalah, bahwa ternyata ada dua adzan di masa Nabi SAW, yaitu adzan Bilal dan adzan Abdullah bin Ummi Maktum. Dan kalaupun ada kebolehan untuk makan minum meski ada adzan, ternyata maksudnya adalah adzan yang pertama, yaitu adzan yang dikumandangkan oleh Bilal dimana adzan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan waktu Shubuh.

2. Hadits Kedua

Di dalam kitab Shahih Muslim juga ada hadits yang secara tegas membedakan antara adzan pertama dan adzan kedua.

لاَ يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سَحُورِكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ وَلاَ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيل وَلَكِنِ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الأُْفُقِ
Adzan yang dikumandangkan oleh Bilal tidak mencegah kamu dari makan sahur, dan juga fajar yang memanjang. Namun yang mencegahmu makan sahur adalah fajar yang merbak di ufuk. (HR. Muslim)

Maka semakin jelas duduk masalahnya, yaitu masih dibolehkannya makan minum meski terdengar adzan rupanya memang bukan adzan Shubuh.

Perlu diketahui bahwa adzan pada zaman Rasulullah SAW dikumandangkan dua kali. Adzan yang pertama dikumandangkan oleh Bilal, waktunya beberapa saat sebelum terbit fajar. Adzan yang kedua adalah adzan yang dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum, waktunya adalah ketika fajar telah terbit, yang juga merupakan adzan untuk dimulainya puasa dan masuknya waktu untuk shalat shubuh.

 

D. Fatwa Ulama

 

Untuk lebih yakinnya bahwa tidak benar kalau sudah berkumandang adzan shubuh, masih dibolehkan makan dan minum, mari kita simak pendapat para ulama tentang hal ini.

1. Al-Imam An-Nawawi

Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa jika fajar telah terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Hal ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

2. Syaikh Shalih Al-Munajjid

Kalangan selama ini membolehkan makan minum padahal sudah adzan pun sebenarnya tidak secara tegas membolehkan. Mereka masih bilang sebaiknya jangan makan dan minum. Merkea pun tetap berhati-hati. Simaklah perkataan Syeikh Shalih Al-Munajjid berikut. Beliau beralasan bahwa banyak muadzin melantunkan adzan sebelum waktunya, yaitu sebelum waktu Shubuh. Maka beliau mengatakan bahwa bila adzan itu dikumandangkan sebelum waktu fajar benar-benar terbit, tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin.

Jelas sekali kebolehan makan dan minum menurut beliau adalah ketika adzan itu dilantunkan tetapi memang belum masuk waktu shubuh. Dan memang benar jika masih makan minum saat dikumandangkan adzan semacam itu (bukan adzan Shubuh), puasanya tetap sah.

Namun meskipun demikian, tetap saja beliau lebih berhati-hati dan menyarankan untuk berhenti makan ketika itu.

E. Pelajaran Penting

Dari pembahasan masalah ini setidaknya ada dua pelajaran penting yang bisa kita ambil :

1. Jangan Terburu-buru Menarik Kesimpulan Hukum

Kita tidak boleh terburu-buru menarik kesimpulan hukum hanya berdasarkan satu dua hadits, padahal jumlah hadits itu banyak sekali.

Bacalaah banyak hadits biar kita tidak keliru. Kitab hadits itu banyak jumlahnya, semua haruis dibaca dulu sebelum berfatwa.

2. Bukan Mujtahid Jangan SOk Tahu

Sementara itu, ternyata kita pun bukan orang yang berkapasitas mujtahid. Kita hanyalah orang awam yang tidak pernah belajar sebagai mujtahid. Seorang mujtahid pun masih sangat berhati-hati ketika menarik kesimpulan dan berfatwa. Apalagi dengan kita yang bukan mujtahid, maka jangan sok berfatwa kalau tidak tahu duduk masalahnya.

3. Merujuk Fatwa Ulama Otoritatif

Kalau kita bukan mujtahid dan haram menarik kesimpulan hukum sendiri, lalu bagaimana cara kita mengetahui hukum-hukum syariah? Jawabnya kita rujukkan saja semua ini kepada fatwa para ulama yang otoritatif dalam berfatwa. Bukan sekedar ulama dalam arti sekedar tokoh agama.

Yang dimaksud dengan ulama otoritatif adalah ulama yang memang ahli di bidang ijtihad dan fatwanya sudah diterima umat Islam teruji sepanjang 13 abad ini, yaitu fatwa para ulama di kalangan empat mazhab.

Sebab mereka selain ahli fiqih juga menghafal ratusan ribu hadits, pastilah sudah membaca banyak hadits, sehingga kita punya rujukan dalam mengambil fatwa.Tentunya mereka terhindar dari berfatwa sembarangan, yang hanya merujuk pada satu dua hadits, padahal masih ada banyak hadits lain yang menjadi pembanding.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
 
https://www.rumahfiqih.com/konsultasi/1852