Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Selasa, 28 Oktober 2025

TIGA HARTA SIMPANAN YANG PALING BERHARGA DARI PADA HARTA BENDA

TIGA HARTA SIMPANAN YANG PALING UTAMA
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه
قال الله تعالى فى كتابه الكريم، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
وقال تعالى، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ، فإِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

Ummatal muslimiin rohima kumullah,

Sesungguhnya harta simpanan yang terbaik, yang Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam kabarkan kepada kita adalah tiga perkara, sebagaimana Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan di dalam sunannya dan dishahihkan oleh Syaikh Albani Rahimahullah. Kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلَى إِيمَانِهِ

“Harta terbaik adalah lisan yang berdzikir, hati yang bersyukur dan istri mu’minah yang membantu keimanannya (suami).” (HR. Tirmidzi)

Dan dalam riwayat yang lain, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ

“Hendaknya salah seorang dari kalian mengambil harta simpanan berupa hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan isteri mukminah yang menolong salah seorang dari kalian dalam urusan akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah)

Inilah kata Rasulullah, tiga perkara yang merupakan sebaik-baiknya harta simpanan.

LISAN YANG SELALU BERDZIKIR KEPADA ALLAH

Ketika lisan selalu berdzikir, disaat itulah Allah akan senantiasa mengingat dia. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ ﴿١٥٢﴾

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah[2]: 152)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits qudsi:

يقُولُ اللَّه تَعالى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعهُ إِذَا ذَكَرَني، فَإن ذَكرَني في نَفْسهِ، ذَكَرْتُهُ في نَفسي، وإنْ ذَكَرَني في ملإٍ، ذكَرتُهُ في ملإٍ خَيْرٍ منْهُمْ

“Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat).” (Muttafaqun ‘alaih)

Lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah menjadikan seorang hamba akan senantiasa diingat oleh Allah. Apabila Allah mengingat seorang hamba, tentunya Allah akan berikan kepada dia berbagai macam karunia dan rahmatNya, diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala inayah dan taufiqNya. Lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hatinya pun akan terjaga daripada godaan setan. Karena disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, bahwasannya berdzikir itu bagaikan benteng yang kokoh, yang membentengi seorang daripada musuhnya. Sementara musuh kita adalah setan.

Lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah, hatinya senantiasa bening dan diberikan oleh Allah kekuatan untuk menjalankan syariatNya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, ada seorang laki-laki berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ شَرَائِعَ الْإسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ ، فَأَنْبِئْنِيْ مِنْهَا بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ ؟ قَالَ : لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللهِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak pada kami. Beritahukanlah kepada kami sesuatu yang kami bisa berpegang teguh kepadanya ?’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Hendaklah lidahmu senantiasa berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla” (HR. Tirmidzi)

Ketika orang ini mengadu kepada Rasulullah tentang syariat Islam yang banyak yang tentunya kita pun sulit untuk menghafal seluruhnya, ia minta satu kuncinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan kunci semua, yaitu lisan yang senantiasa basah dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Itu menunjukkan orang yang senantiasa lisannya basah dengan dzikir kepada Allah, Allah akan berikan kekuatan ia untuk menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi laranganNya. Lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah akan angkat derajatnya dan Allah akan gugurkan dosa-dosanya. Karena ketika seseorang mengucapkan Subhanallah, Allah tuliskan untuknya 20 derajat, Allah gugurkan darinya 20 dosa dan Allah tuliskan untuknya 20 kebaikan.

Lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah, Allah tanamkan untuknya pohon-pohon di surga. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Isra’ Mi’raj, Rasulullah bertemu dengan Nabi Ibrahim di langit yang ketujuh. 
Lalu Nabi Ibrahim berkata kepada Rasulullah:

يَا مُحَمَّدُ، أَقْرِئْ أُمَّتَكَ مِنِّي السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ الجَنَّةَ طَيِّبَةُ التُّرْبَةِ عَذْبَةُ المَاءِ، وَأَنَّهَا قِيعَانٌ، وَأَنَّ غِرَاسَهَا سُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

“Wahai Muhammad, sampaikan salam dariku untuk umatmu. Beritahu mereka bahwa surga itu debunya harum. Airnya segar. 
Dan surga itu datar. Tanamannya adalah kalimat: Subhaanallahi wal hamdu lillaahi laa ilaaha illaahu wallaahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Allah Maha Besar).” (HR. Ahmad)

Maka lisan yang senantiasa banyak berdzikir kepada Allah, hakikatnya ia sedang menanam pohon-pohon dan tanaman-tanaman di surga untuk dirinya sendiri. 
Lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah, Allah jaga lisannya dari mengucapkan kata-kata yang dimurkai oleh Allah. Sehingga ia jauh dari berghibah, ia jauh dari berdusta, ia jauh dari mengucapkan kata-kata yang dimurkai dan tidak disukai oleh Allah.

Maka itulah saudaraku sekalian, lisan yang senantiasa berdzikir kepada Allah sungguh menguntungkan pelakunya, sungguh memberikan kebahagiaan dan ketenangan serta ketentraman bagi hatinya. Bukankah Allah berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّـهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d[13]: 28)

HATI YANG BERSYUKUR

Hati yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah hati yang mengakui bahwa semua nikmat yang yang ia peroleh berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati tersebut senantiasa meyakini bahwa sekecil apapun nikmat yang ia rasakan akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati tersebut kemudian berpikir bagaimana ia menggunakan nikmat-nikmat yang banyak tersebut untuk mensyukuri Allah, untuk menaati Allah.

Ketika ia diberikan oleh Allah kenikmatan, ia senantiasa berpikir, “apa jawaban saya di hadapan Allah dengan nikmat-nikmat yang saya peroleh tersebut?” Sehingga sebelum ia menggunakan kenikmatan tersebut, hati tersebut berpikir, “apakah yang saya gunakan ini dalam kerinduan Allah atau tidak?”

Hati yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hati yang senantiasa qanaah dengan yang Allah berikan kepadanya walaupun sedikit. 
Ia tidak pernah merasa serakah dan rakus, ia tahu dan ia sangat yakin bahwasanya sesuatu yang Allah berikan kepadanya itu yang terbaik untuknya. Sehingga akhirnya hatinya tidak pernah berangan-angan dan berkhayal untuk mendapatkan kehidupan dunia yang lebih banyak lagi.

Hati yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah hati yang selalu berucap dan berterima kasih kepada Allah. 
Disaat ia makan, hati tersebut yakin bahwasanya inilah nikmat Allah, maka lisannya pun berucap Alhamdulillah. Makanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنْ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) sesudah makan dan minum.” (HR. Muslim)

Hati tersebut penuh rasa syukur kepada Allah, hati tersebut senantiasa berharap agar semua nikmat-nikmat yang Allah berikan tersebut menjadi pahala untuk dirinya. Hati yang senantiasa takut kepada Allah, berharap akan karunia dan nikmatNya, berharap akan surgaNya, berharap akan keridhaanNya.

Hati tersebut takut kepada Allah, takut akan adzabNya dan kemurkaanNya. Hati tersebut senantiasa ia gantungkan harapannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati yang penuh tawakal kepada Allah, hati yang dipenuhi dengan cinta kepada Allah, hati yang senantiasa berharap kepada Allah. Sehingga akhirnya cintai ia karena Allah, benci ia karena Allah, keinginan ia hanya mengharapkan ridha Allah, dia tidak mengharapkan pujian manusia, ia tidak mengharapkan kehidupan dunia dari amal shalihnya, demikian hati yang bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala."
Istri Shalihah
Istri yang membantu ia untuk metaati Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah seindah-indah perhiasan dunia yang Rasulullah disebutkan dalam haditstnya:

الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

Istri yang shalihah adalah yang senantiasa berpikir bagaimana bakti ia kepada suaminya. Istri yang shalihah adalah yang berusaha bagaimana menjadikan suaminya sebagai jalan dirinya untuk masuk kepada surga Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Al-Imam Al-Bazzar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kedatangan seorang wanita yang ingin bertanya kepadanya karena ada kebutuhan. Lalu Rasulullah bersabda kepadanya:

“Apakah kamu memiliki suami?”

Wanita itu menjawab, “punya wahai Rasulullah”

Kata Rasulullah, “bagaimana sikap kamu terhadap suamimu?”

Wanita itu berkata, “Aku terus bersungguh-sungguh untuk mentaati suamiku keculi aku yang tidak mampu ya Rasulullah”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Lihatlah oleh kamu bagaimana kamu dimata suamimu, karena suamimu adalah surga atau nerakamu” (HR. Ahmad)

Istri yang senantiasa berpikir bagaimana ia berusaha mentaati suaminya dalam kebaikan dan membantu suaminya dalam ketaatan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut tentang suami istri yang apabila suaminya bangun diwaktu malam, ia shalat malam lalu ia bangunkan istrinya untuk shalat malam, lalu keduanya shalat malam. Kata Rasulullah:

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ رَشَّ فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى رَشَّتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ

“Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di waktu malam lalu shalat dan ia pun membangunkan istrinya lalu sang istri juga shalat. Bila istri tidak mau bangun, ia percikkan air ke wajahnya. Semoga Allah juga merahmati seorang perempuan yang bangun di waktu malam lalu ia shalat dan ia pun membangunkan suaminya. Bila suami enggan untuk bangun, ia pun memercikkan air ke wajahnya.” (HR. An Nasa’i)

Allah merahmati istri yang membantu suaminya untuk mentaati Allah, Allah merahmati suami yang membantu istrinya untuk mentaati Allah.

Demikianlah saudaraku sekalian, adalah merupakan sebaik-baik harta simpanan yang kita simpan di dunia ini untuk kehidupan akhirat kelak.

7 WASHIYAT ROSULULLAH

7 Tujuh Wasiat Rasulullah
Wasiat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Kepada Abu Dzar Al-Ghifari

عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ: أَوْصَانِيْ خَلِيْلِي بِسَبْعٍ : بِحُبِّ الْمَسَاكِيْنِ وَأَنْ أَدْنُوَ مِنْهُمْ، وَأَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنِّي وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوقِيْ، وَأَنْ أَصِلَ رَحِمِيْ وَإِنْ جَفَانِيْ، وَأَنْ أُكْثِرَ مِنْ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، وَأَنْ أَتَكَلَّمَ بِمُرِّ الْحَقِّ، وَلاَ تَأْخُذْنِيْ فِي اللهِ لَوْمَةُ لاَئِمٍ، وَأَنْ لاَ أَسْأَلَ النَّاسَ شَيْئًا.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal: 
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, 
(2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku, 
(3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahmiku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku, 
(4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah), 
(5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit, 
(6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan (7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh imam-imam ahlul-hadits, di antaranya:
1. Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/159).
2. Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (II/156, no. 1649), dan lafazh hadits ini miliknya.
3. Imam Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (no. 2041-al-Mawârid).
4. Imam Abu Nu’aim dalam Hilyatu- Auliyâ` (I/214, no. 521).
5. Imam al-Baihaqi dalam as-Sunanul-Kubra (X/91).

Dishahîhkan oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2166).


Abu Dzar Al Ghifari...

Antara nasihat beliau :

Terkandung 7 Wasiat penting Nabi pada Abu Dzar Al Ghifari…

Tujuh Wasiat Nabi saw

عَنْ أَبِي ذَرٍّ ، قَالَ : أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ :

Abu Dzar radiallahu ‘anhu berkata: Kekasih ku sallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan aku melakukan tujuh perkara:

✔ Kemiskinan

أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ ، وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ ، ،

(1) Baginda menyuruh aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,

Doa Rasulullah

اللهم احيني مسكينا وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة المساكن
قال الترمذي حسن غريب
ضعفه ابن كثير

1. Aku menjenguk ke surga dan aku melihat kebanyakan penghuninya orang-orang fakir (miskin). Lalu aku menjenguk ke neraka dan aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Orang-orang fakir-miskin akan memasuki surga lima ratus tahun[1] sebelum orang-orang kaya memasukinya. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

3. Kesengsaraan yang paling sengsara ialah miskin di dunia dan disiksa di akhirat. (HR. Ath-Thabrani dan Asysyihaab)

4. Balasan amal dari seorang miskin terhadap orang kaya ialah kesetiaan (keikhlasan) dan doa. (HR. Abu Dawud)

5. Kasihanilah tiga golongan orang yaitu orang kaya dalam kaumnya lalu melarat, seorang yang semula mulia (terhormat dalam kaumnya) lalu terhina, dan seorang 'alim yang dipermainkan (diperolok-olok) oleh orang-orang yang dungu dan jahil. (HR. Asysyihaab)

6. Hampir saja kemiskinan (kemiskinan jiwa dan hati) berubah menjadi kekufuran. (HR. Ath-Thabrani)

✔ Melihat Orang Bawah

وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي ، وَلاَ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي

(2) baginda menyuruh aku untuk melihat orang di bawah ku, dan tidak melihat orang di atas ku,

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

l Qurtubhi mengatakan, “Berlomba-lombalah di dunia dalam melakukan amalan shalih.” (At Tadzkiroh Lil Qurtubhi,  hal. 578)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا

“Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)

Inilah yang dilakukan oleh para salafush sholeh, mereka selalu berlomba-lomba dalam kebaikan sebagaimana dapat dilihat dari perkataan mereka berikut ini yang disebutkan oleh Ibnu Rojab –rahimahullah-. Berikut sebagian perkatan mereka.

Al Hasan Al Bashri mengatakan,

إذا رأيت الرجل ينافسك في الدنيا فنافسه في الآخرة

“Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”

Wahib bin Al Warid mengatakan,

إن استطعت أن لا يسبقك إلى الله أحد فافعل

“Jika kamu mampu untuk mengungguli seseorang dalam perlombaan menggapai ridho Allah, lakukanlah.”
Sebagian salaf mengatakan,

لو أن رجلا سمع بأحد أطوع لله منه كان ينبغي له أن يحزنه ذلك

“Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia sedih karena dia telah diungguli dalam perkara ketaatan.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)

✔ Silaturrahim

وَأَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ أَدْبَرَتْ ،

(3) baginda menyuruh aku menyambung hubungan silaturahim walau mereka telah bersikap buruk kepada ku,

Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ

“Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi

Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” [Muttafaq ‘alaihi].

Begitu pula firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. [ar-Ra’d/13:25)

✔ Jangan Meminta2

وَأَمَرَنِي أَنْ لاَ أَسْأَلَ أَحَدًا شَيْئًا ،

(4) baginda menyuruh aku untuk tidak meminta apa-apa daripada orang lain,

Hadis Pertama

Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”.[1]

Hadits Kedua
Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.

“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api” [2].

Hadits Ketiga
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.

“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu” [3]

Bolehnya kita meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran. Penguasa adalah orang yang memegang baitul maal harta kaum Muslimin. Seseorang yang mengalami kesulitan, boleh meminta kepada penguasa karena penguasalah yang bertanggung jawab atas semuanya.

Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ ، وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ. الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.

“Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)

✔ Berkata Benar

وَأَمَرَنِي أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا ،

(5) baginda menyuruh aku untuk berkata yang benar walau ia pahit,

Al-Ahzab Ayat 70

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

70. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar

• Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ

Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong)

✔ Jangan Takut Kpd Pencela

وَأَمَرَنِي أَنْ لاَ أَخَافَ فِي اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ ،

(6) baginda menyuruh aku untuk untuk tidak takut dicela oleh pencela ketika aku di jalan Allah,

Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ يُخَوِّفُ أَوۡلِيَآءَهُۥ فَلَا تَخَافُوهُمۡ وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ  ١٧٥

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti kamu, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar beriman.”(Ali ‘Imran: 175)

 Al-Ma'idah Ayat 54

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ۚ ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

54. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

✔ Mengulangi Sebutan Hauqalah

وَأَمَرَنِي أَنْ أُكْثِرَ مِنْ قَوْلِ : لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ ، فَإِنَّهُنَّ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ.

(7) baginda menyuruh aku untuk membanyakkan menyebut: Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah. Sesungguhnya kalimat tersebut merupakan harta karun yang ada di bawah arsy.

Dalam sebuah hadis menyebut daripada Abu Zar, beliau berkata: “Aku berjalan di belakang Rasulullah SAW, lalu Baginda berkata kepadaku: “Wahai Abu Zar, mahukah aku tunjukkan kepada kamu satu perbendaharaan daripada beberapa perbendaharaan syurga? Aku berkata: Mahu ya Rasulullah. Baginda bersabda: “La Haula wala Quwwata illa billah.”

يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ فَإِنَّهَا كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِالْجَنَّةِ أَوْ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَإِلَّا بِاللَّهِ

"Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa), ucapkan Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah. Sesungguhnya itu adalah salah satu kekayaan yang tersimpan di surga." Atau beliau mengatakan: "Tidakkah kamu mau aku tunjuki salah satu harta simpanan di surga? Laa Haula Wa Laa Quwwata Illaa Billaah’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Daripada Ibnu Mas’ud beliau berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Wahai Muaz, adakah kamu tahu tafsir (maksud) La haula wala quwwata illa billah? Muaz menjawab: 
Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui. Rasulullah SAW bersabda: La haula (tiada daya) dari menghindari maksiat kepada Allah melainkan dengan kekuatan Allah, wala quwwata (tiada kekuatan) atas mentaati Allah melainkan dengan pertolongan Allah SWT. 
Kemudian Rasulullah SAW menepuk bahu Muaz dan Baginda bersabda: “Demikianlah yang diberitahu oleh kekasihku Jibril daripada Tuhan.”

[Musnad Ahmad, hadis no:21453 . Shaikh Syu’aib al-Arnouth berkata: Hadis sahih lighairihi. Sanadnya hasan disebabkan perawi bernama Salam Abu al-Munzir]

Senin, 27 Oktober 2025

HUKUM MAHAR TIDAK SESUAI DENGAN YANG DISEBUTKAN

Assalamualaikum wr. wb.

Izin bertanya, apabila akan melangsungkan akad, tetapi mahar yang disebutkan berbeda dengan yang diberikan (mungkin lebih atau kurang), untuk hukum nikahnya seperti apa?

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dalam lindungan Allah swt. 
Dalam pernikahan, seorang calon suami harus memberikan mahar (maskawin) kepada calon istrinya, entah berapapun sebagaimana yang disepakati oleh si istri. 
Mengutip keterangan dalam al-Fiqh al-Manhaji, mahar didefinisikan sebagai:


الصداق هو المال الذي وجب على الزوج دفعه لزوجته بسبب عقد النكاح.

Artinya: “Mahar adalah harta yang wajib diberikan calon suami kepada calon istri sebab akad nikah.” (Mushthafa al-Khin, dkk, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], jilid IV, hal. 77).


Ketika melangsungkan akad nikah, hukum menyebut mahar adalah sunnah sebagaimana keterangan dari Ibnu Qasim dalam Fathul Qarib, dalam bab penyebutan mahar ketika akad. Beliau menjelaskan:


ويستحب تسمية المهر في عقد النكاح


Artinya, “Disunnahkan penyebutan mahar ketika melangsungkan akad nikah.” (Ibn Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], halaman 234).


Kemudian dalam hal penyebutan mahar, cukup menyebutkan harta yang mampu diberikan dan rela diterima oleh calon istri. Sunnahnya, mahar tidak kurang dari sepuluh dirham dan tidak lebih dari lima ratus dirham murni, sebagaimana keterangan Ibn Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib halaman 234.


Apabila dikonversi, 1 dirham setara dengan 2.975 gram perak, yang kini kurang lebih harganya adalah 11.521 rupiah. Maka sepuluh dirham jumlahnya sama dengan 115.210 rupiah. Angka ini adalah sunnah, apabila lebih tentunya lebih baik. 

Selain itu, menurut Jumhur ulama mahar bukanlah penentu sah dan tidaknya pernikahan, sebab ia bukan bagian dari rukun. 
Apabila ia bagian dari rukun, niscaya penyebutan mahar menjadi wajib ketika akad. 
Hal ini sebagaimana keterangan Syekh Wahbah az-Zuhayli dalam al-Fiqhul Islami:


“Mayoritas ulama menyatakan akad tanpa mahar atau penetapan ketidaan mahar saat akad, atau dengan menyebutkan sesuatu yang tidak pantas dijadikan mahar tidaklah membatalkan nikah. Alasannya mahar bukan merupakan rukun dan syarat, melainkan salah satu ketentuan pernikahan, maka kecacatan yang terjadi dalam mahar tidak berpengaruh pada akad.” (Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IX, hal. 73).


Ketika mahar yang disebut berbeda dengan realita
Kendati mahar tidak memiliki batas minimal sedikit dan banyak, calon suami hendaknya memberikan mahar sesuai dengan yang ia sebut ketika melangsungkan akad nikah. Ketidaksesuaian mahar bisa terjadi ketika ijab dan qabul dilangsungkan, atau setelah akad selesai.


Apabila yang terjadi adalah kesalahan penyebutan mahar dalam ijab qabul, apabila kurang, contohnya wali mengucapkan, "saya nikahkan fulan dengan putri saya dengan mahar 10 gram emas", kemudian si calon suami menjawab, “Saya terima akadnya dengan 8 gram emas.” dan itu terjadi entah sengaja maupun tidak, maka akadnya tidak sah sebagaimana keterangan Syekh Wahbah.


Akan tetapi apabila dalam qabul mahar yang disebut lebih, semisal wali mengucap, “Saya nikahkan fulan dengan putri saya dengan mahar 10 gram emas,” kemudian si calon suami menjawab, “Saya terima nikahnya dengan 12 gram emas," maka sah akadnya. (Syekh Wahbah az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islamiwa Adillatuhu, jilid IX, hal. 44).


Akan tetapi berbeda kasusnya apabila mahar yang disepakati semisal 10 gram emas, kemudian dalam ijab qabul pun demikian, si wali maupun calon suami sama-sama mengucapkan 10 gram emas tanpa ada kesalahan maupun kekeliruan. Hanya saja, ketika mahar tersebut diberikan kepada istrinya setelah akad, ternyata hanya 8 gram.


Dalam kasus ini, mahar yang telah disebut dalam akad maka jadi milik istri sesuai jumlah yang disebutkan saat itu juga. Maka 10 gram yang disebut saat akad berlangsung, dengan jumlah itu pula si istri mendapatkan haknya. Apabila kurang, maka suami harus membayarnya hingga lunas. 


Hal ini sebagaimana keterangan Imam Syafi’i dalam al-Umm, “Apabila suami menikahi perempuan dengan mahar yang telah disebutkan, maka mahar tersebut ditetapkan sebagai kewajiban suami. Jika suami atau istri meninggal sebelum melakukan hubungan suami istri atau setelah melakukan hubungan suami istri, apabila mahar yang disebut berupa uang maka suami wajib membayar dengan uang.” (Imam asy-Syafi’i, Al-Umm, jilid V, hal. 64).


Dengan demikian, mahar yang disebut saat ijab qabul mau tidak mau harus dipenuhi oleh suami. Apabila sudah berhubungan suami istri, maka mahar harus dibayarkan penuh. Apabila belum berhubungan suami istri, sementara mereka cerai, maka suami tetap berhak memberikan mahar setengahnya, sebagaimana keterangan Asy-Syafi’i:


“Jika suami telah menyerahkan mahar kepada istrinya, serta telah bergaul suami-istri, maka mahar itu hak istrinya dan si suami tak berhak menariknya sedikit pun. Demikian jika mahar belum diserahkan, maka mahar tetap menjadi hak si istri dan itu adalah kewajiban suami [untuk membayarnya]. Selanjutnya, jika suami belum mencampuri istrinya, dan telah menyerahkan maharnya, maka ia boleh menarik separuh mahar dari istrinya. Jika mahar belum diserahkan sedikitpun, maka si istri yang berhak mendapatkan separuhnya.” (Imam asy-Syafi’i, al-Umm, jilid V, halaman 216). 


Kewajiban suami dalam membayar mahar sebagaimana yang ia sebut ketika akad nikah berlangsung dapat menjadi gugur apabila sang istri merelakan maharnya tidak perlu dilunasi. Keterangan ini mengacu kepada penjelasan ayat 237 surat Al-Baqarah:


 وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ


Artinya: “Jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami atau wali) membebaskannya.” (QS Al-Baqarah).


An-Nawawi dalam Raudhatuth Thalibin menjelaskan bahwa ayat di atas menegaskan suami istri yang bercerai sebelum terjadinya hubungan badan, sedang maharnya sudah ditentukan, maka si istri berhak mendapat setengah dari mahar tersebut.


Akan tetapi, ada pengecualian, yaitu ketika istri merelakan atau menggugurkan mahar yang telah disebut ketika akad, dengan mengembalikan semuanya kepada suami atau sebaliknya, suami merelakan mahar yang telah diberikan pada istrinya agar diambil semua tanpa dikembalikan sepeserpun.


Kesimpulannya dalam kasus penanya, disarankan bagi calon suami untuk menyebutkan nominal mahar sesuai dengan jumlah mahar yang akan diberikan pada calon istri. Dalam hal akad nikah, mahar bukanlah penentu sahnya nikah, karena tidak termasuk dalam rukun.


Apabila mahar disebutkan ketika ijab kabul, sudah tentu suami harus membayar mahar sesuai yang disebut. Apabila yang diberikan pasca-nikah tidak sesuai jumlahnya, suami harus melunasi sebagaimana yang disebut saat akad berlangsung.


Hanya saja, apabila istri menggugurkan sisa mahar yang belum dibayar dengan pernyataan yang jelas bahwa dirinya rela, maka kewajiban suami dalam membayar sisanya pun gugur. 
Wallahu a’lam.

Selasa, 21 Oktober 2025

BOLEHKAH TA'ADUD SHALAT JUM'AT

BOLEHKAH TA'ADUD SHALAT JUM'AT.

Bolehkah Dua Jumatan dalam Satu Desa?

Tiap ibadah memang harus memenuhi ketentuan dan prosedur yang ditetapkan syari’at, tak terkecuali dalam pelaksanaan shalat Jumat. Salah satu permasalahan yang sering diperbincangkan adalah mengenai pendirian shalat Jumat lebih dari satu dalam satu desa, atau lebih dikenal dengan ta’addud al-jumat (berbilangnya Jumat). Motif dua jumatan dalam satu desa bermacam-macam, adakalanya karena keterbatasan daya tampung masjid, karena konflik di antara penduduk desa, atau sebatas meneruskan tradisi yang berlaku. 
Bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapi hal tersebut?

Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat sebagai berikut:

 Pendapat pertama, yaitu pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, dua jumatan dalam satu desa tidak diperbolehkan kecuali ada hajat.

Pendapat ini bertendensi bahwa Nabi dan khulafa’ al-Rasyidin setelahnya tidak menjalankan Jumat kecuali dalam satu tempat. 
Nabi sendiri memerintahkan agar umatnya melakukan shalat sebagaimana shalat beliau.

Syekh abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani mengatakan:

دليلنا أن النبي - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - والخلفاء من بعده، ما أقاموا الجمعة إلا في موضع واحدٍ، وقد قال النبي - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صلوا كما رأيتموني أصلي».

“Dalil kita adalah bahwa Nabi dan para khalifah setelahnya tidak mendirikan Jumat kecuali dalam satu tempat, dan sesungguhnya Nabi bersabda, shalatlah sebagaimana kalian melihat caraku melakukan shalat.” (Syekh Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani, al-Bayan, juz 2, halaman 620).

Sedangkan jika terdapat hajat, maka diperbolehkan. 
Hajat yang memperbolehkan berdirinya lebih dari satu Jumat dalam satu desa ada tiga. 

Pertama, sempitnya tempat shalat sekiranya tidak dapat menampung seluruh jamaah Jumat. 

Kedua, konflik internal di antara penduduk desa. 

Ketiga, jauhnya jarak menuju tempat Jumatan, adakalanya karena berada pada sebuah tempat yang tidak dapat terdengar azan Jumat di tempat tersebut, atau berada pada tempat yang seandainya seseorang berangkat dari tempat tersebut setelah terbit fajar, maka ia tidak dapat menemui Jumat.

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur menegaskan:

والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ

“Kesimpulan dari statemen para imam, sebab-sebab diperbolehkannya berbilangnya jumat ada tiga. 

Pertama, sempitnya tempat shalat, dengan sekira tidak dapat menampung jamaah jumat menurut keumumannya.

Kedua, pertikaian di antara kedua kubu sesuai dengan syaratnya. 

Ketiga, jauhnya sisi desa, dengan sekira berada pada tempat yang tidak terdengar azah atau di tempat yang seandainya seseorang keluar dari tempat tersebut setelah fajar, ia tidak akan menemui jumat, sebab tidak wajib baginya menuju tempat jumat, kecuali setelah terbit fajar subuh.” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Beirut, Dar al-Fikr, 1995, halaman 51)

 Pendapat kedua, versi Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani yang menetapkan hukum boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.

Syekh al-Sya’rani berargumen bahwa ‘illat mengapa para sahabat dan khalifah terdahulu tidak melaksanakan dua Jumat satu desa karena khawatir menimbulkan fitnah, sebab keadaan pada waktu itu menuntut orang Islam bersatu dalam satu komando imam besar, sehingga apabila ada kelompok yang membuat jumatan tandingan, maka akan menimbulkan stigma negatif dan kekacauan bahwa ada kelompok yang membelot dari al-imam al-A’zham. 
Potensi fitnah yang demikian seiring berjalannya waktu, sudah hilang, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila diadakan dua jumatan dalam satu desa. 
Maka, menurut al-Sya’rani pendirian dua Jumatan dalam satu desa sah-sah saja sepanjang tidak menimbulkan fitnah. 
Di sisi yang lain, menurut al-Sya’rani, tidak ada dalil yang secara tegas melarang pendirian dua jumat dalam satu tempat.

Beliau menegaskan:

فلما ذهب هذا المعنى الذى هو خوف الفتنة من تعدد الجمعة جاز التعدد على الأصل في إقامة الجماعة ولعل ذلك مراد داود بقوله إن الجمعة كسائر الصلوات ويؤيده عمل الناس بالتعدد في سائر الأمصار من غير مبالغة في التفتيش عن سبب ذلك ولعله مراد الشارع ولو كان التعدد منهيا عنه لا يجوز فعله بحال لورود ذلك ولو في حديث واحد فلهذا نفذت همة الشارع في التسهيل على أمته في جواز التعدد في سائر الأمصار حيث كان أسهل عليهم من الجمع في مكان واحد فافهم.

“Saat substansi pelarangan ini hilang, yaitu kekhawatiran fitnah, maka diperbolehkan berbilangnya jumat sesuai dengan hukum asal pendirian shalat jamaah. 
Yang demikian ini barang kali yang dikehendaki Imam Daud dalam statemennya, sesungguhnya Jumat seperti shalat-shalat lainnya. Kesimpulan ini dikuatkan dengan fakta bahwa terjadi berbilangnya jumatan di sekian tempat tanpa berlebihan dalam meneliti penyebabnya, barangkali ini yang dikehendaki syari’at. 
Andaikan berbilangnya Jumat dilarang, niscaya tidak diperkenankan sama sekali, karena ada hadits yang melarangnya, meski hanya satu hadits. 
Dari pertimbangan ini, terlihat jelas esensi syariat untuk memudahkan umat Islam dalam kebolehan berbilangnya jumat di seluruh penjuru dunia, sekiranya hal tersebut lebih memudahkan mereka dibandingkan dengan berkumpul dalam satu tempat Jumat. Maka pahamlah akan hal tersebut.” (Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, Semarang, Toha Putera, tt., juz 1, halaman 209)

 Pendapat ketiga, versi Syekh Isma’il Zain diperbolehkan asalkan jamaah tidak kurang dari 40 orang di masing-masing tempat.

Syekh Isma’il al-Zain, ulama bermadzhab Syafi’i dari Yaman berargumen bahwa tidak ada dalil yang tegas atau bahkan yang mendekati tegas, yang melarang pendirian dua Jumat dalam satu desa. Bahkan semakin banyak pendirian Jumat dalam satu desa justru semakin membesarkan syi’ar Islam. 
Hanya saja, kebolehan pendirian dua jumat atau lebih tersebut disyaratkan masing-masing Jumat terdiri dari minimal 40 jamaah, sebab jumlah tersebut adalah yang sesuai dengan tuntunan hadits Nabi.

Dalam fatwanya, Syekh Isma’il al-Zain mengatakan:

 مسألة - ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة مع تحقق العدد المعتبر في كل مسجد من مساجدها فهل تصح جمعة الجميع أو فيه تفصيل فيما يظهر لكم ؟ (الجواب) أما مسألة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقا بشرط أن لا ينقص عدد كل عن أربعين رجلا فإن نقص عن ذلك إنضموا إلى أقرب جمعة إليهم إذ لم ينقل عن النبي (أنه جمع بأقل من ذلك وكذلك سلف الصالح من بعده) والقول بعدم الجواز إلا عند تعذر الاجتماع في مكان واحد ليس عليه دليل صريح ولا ما يقرب من الصريح لا نصا ولا شبهه بل أن سر مقصود الشرع هو في إظهار الشعار في ذلك اليوم وأن ترفع الأصوات على المنابر بالدعوة إلى الله والنصح للمسلمين فكلما كانت المنابر أكثر كانت الشعارات أظهر وتبارزت عزة دين الإسلام في آن واحد في أماكن متعدد إذا كان كل مسجد عامرا بأربعين فأكثر هذا هو الظاهر لي والله ولى التوفيق اهـ

“Sebuah permasalahan, apa pendapat anda mengenai berbilangnya jumat dalam satu desa ketika sudah terpenuhinya jumlah minimal jamaah jumat di setiap masjidnya?..
Apakah sah jumat mereka atau ada perincian?..
Beliau menjawab, permasalahan berbilangnya jumat, pendapat yang jelas menurutku adalah diperbolehkan secara mutlak dengan syarat jumlah jamaah masing-masing jumat tidak kurang dari 40 laki-laki, apabila kurang dari jumlah tersebut, maka harus dikumpulkan dengan tempat jumat terdekat, sebab tidak pernah dikutip dari Nabi dan salaf al-Shalih setelahnya bahwa Jumat kurang dari jumlah tersebut. Adapun pendapat yang tidak memperbolehkan berbilangnya jumat dalam satu tempat kecuali saat sulitnya berkumpul, tidak memiliki dalil yang tegas bahkan yang mendekati tegaspun tidak ada, baik berupa dalil nash atau yang serupanya. Bahkan rahasia dari maksud syariat berada pada memperlihatkan syiar Islam pada hari jumat tersebut dan suara-suara dinyaringkan di atas mimbar-mimbar dengan mengajak kepada Allah dan memberi nasehat kepada kaum muslimin. 
Saat mimbar-mimbar semakin banyak, niscaya syi’ar-syi’ar Islam semakin tampak dan kemuliaan agama Islam terlihat jelas dalam satu waktu di beberapa tempat apabila setiap masjid diramaikan dengan 40 jamaah atau lebih. 
Inilah pendapat yang jelas menurutku”. (Syekh Isma’il al-Zain, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain, halaman 83).

Demikian ikhtilaf ulama dalam masalah pendirian dua Jumat atau lebih dalam satu desa. Masing-masing memiliki tendensi dan dalil sesuai dengan ijtihadnya. Penerapannya tinggal disesuaikan dengan yang paling mashlahat sesuai daerahnya masing-masing. 
Wallahu a’lam.

_______________________________

SHALAT DZUHUR SETELAH SHALAT JUM'AT

Hukum Melaksanakan Shalat Zhuhur setelah Shalat Jumat

Jumat adalah ibadah yang dilakukan secara rutin sebanyak satu kali dalam sepekan, tepatnya saat waktu zhuhur hari Jumat. 
Pada dasarnya, seseorang yang telah melaksanakan Jumat tidak perlu lagi mengulang shalat zhuhur karena Jumat telah memadai.

Dalam kondisi tertentu, mengulang shalat zhuhur hukumnya dianjurkan bahkan bisa wajib. 
Mengulang shalat zhuhur disebut dengan shalat mu‘adah (shalat yang diulang). Di beberapa masjid di kampung, ditemukan ritual shalat i‘adah zhuhur selepas Jumatan. Bagaimana sebenarnya hukum mengulang shalat zhuhur setelah shalat Jumat?

Hukum mengulangi shalat zhuhur setelah pelaksanaan shalat Jumat diperinci sebagai berikut:

Pertama, wajib.
Hukum ini berlaku dalam kondisi tidak terpenuhinya syarat keabsahan Jumat. Contohnya adalah ditemukan dua jumatan dalam satu desa tanpa ada hajat. 
Sementara diragukan mana yang terlebih dahulu melaksanakan takbiratul ihram dari dua jumatan tersebut. 
Maka, masing-masing jamaah di kedua tempat tersebut wajib untuk mengulangi shalat zhuhur. Kewajiban mengulangi zhuhur ini dikarenakan shalat Jumat yang dilakukan di kedua tempat sama-sama tidak sah.

Sedangkan apabila yang dahulu melakukan takbiratul iharam adalah salah satunya, maka yang wajib mengulang shalat zhuhur adalah Jumat yang lebih akhir takbirnya. 
Sebab, dalam kondisi tersebut, Jumat yang dinyatakan sah adalah hanya jumatan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram.

Kedua, haram.
Hukum ini berlaku saat syarat-syarat sah jumat sudah terpenuhi dan hanya dilakukan di satu tempat dalam satu desa. Dalam kondisi tersebut, haram hukumnya mendirikan shalat i‘adah zhuhur setelah shalat Jumat. 
Sebab Jumat sudah mewakili kewajiban zhuhur dan tidak ada tuntutan melakukannya. 
Ketika ibadah tidak ada anjuran dari syari’at, maka hukumnya haram dan tidak sah, sebagaimana ditegaskan dalam kaidah:

العبادة حيث لم تطلب لم تنعقد

Artinya, “Ibadah ketika tidak dituntut, maka tidak sah.”

Ketiga, sunnah.
Perincian hukum ini berlaku saat terjadi pelaksanaan dua Jumat dalam satu desa karena ada hajat, misalkan disebabkan daya tampung masjid yang tidak memadai. Pada kondisi tersebut, masyarakat diperbolehkan menyelenggarakan dua jumatan dan keduanya sah, baik yang lebih dahulu takbiratul ihramnya maupun yang lebih akhir. Selepas pelaksanaan Jumat, jamaah disunnahkan untuk mengulangi shalat zhuhur.

Sebagian pendapat dari kalangan Syafi’iyyah tidak membolehkan berbilangnya jumatan dalam satu desa secara mutlak, meski ada hajat. Oleh karena itu, dalam kondisi dibutuhkan berbilangnya jumatan, jamaah dianjurkan untuk mengulangi shalat zhuhur setelah pelaksanaan Jumat untuk menjaga perbedaan pendapat ini, sebagai pengamalan dari sebuah kaidah fiqih berikut ini:

الخروج من الخلاف مستحب

Artinya, “Keluar dari ikhtilaf (perbedaan) ulama adalah dianjurkan.”

Ketiga perincian di atas berlandaskan pada sebuah keterangan yang disampaikan Syekh Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha sebagai berikut:

والحاصل أن صلاة الظهر بعد الجمعة إما واجبة أو مستحبة أو ممنوعة فالواجبة كما في مسألة الشك والمستحبة فيما إذا تعددت بقدر الحاجة من غير زيادة والممتنعة فيما إذا أقيمت جمعة واحدة بالبلد فيمتنع فعل الظهر. والله سبحانه وتعالى أعلم

Artinya, “Kesimpulannya, shalat zhuhur setelah jumat adakalanya wajib, sunnah, dan haram. 
Yang wajib sebagaimana dalam persoalan diragukan (mana yang lebih dahulu melaksanakan takbiratul ihram saat terdapat berbilangnya jumatan tanpa ada hajat). 
Yang sunnah dalam persoalan berbilangnya Jumat dengan sebatas kebutuhan tanpa melebihi batas tersebut. 
Yang haram dalam permasalahan dilaksanakannya satu Jumat dalam satu desa, maka tercegah untuk melakukan shalat zhuhur. 

(Lihat Syekh Abu Bakr bin Sayyid Muhammad Syatha, Jam’ur Risalatain fi Ta’ddudil Jum’atain, halaman 9).

Wallahu a‘lam,” 


TAFAKUR VERSI IMAM NAWAWI

Tafakur

فَهِيَ أَفْضَلُ مِنَ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ الظَّاهِرَةِ حَتّٰى مِنَ الصَّلَاةِ.
Maka semua hal itu merupakan ibadah paling utama dibandingkan berbagai ibadah fisik lahiriah, sekalipun dibandingkan dengan sholat.

فَقَدْ وَرَدَ تَفَكّرُ سَاعَةٍ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّيْنَ سَنَةً.
Karena sungguh telah datang [hadis]: "Berfikir sesaat itu lebih utama dibandingkan ibadah selama 60 tahun",

وَأَفْضَلُ الْجَمِيْعِ الْإِيْمَانُ .
Namun yang paling utama dari keseluruhan itu adalah berkeimanan.

﴿فَائِدَةٌ﴾ قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ أَنَّ التَّفَكُّرَ عَلٰى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ إِمَّا فِيِ آيَاتِ اللهِ وَيَلْزَمُهُ التَّوَجُّهُ إِلَيْهِ وَالْيَقِيْنُ بِهِ
(Faidah) Mayoritas ulama' berkata: "Sesungguhnya berfikir terdiri atas lima bentuk, adakalanya [berfikir] mengenai tanda-tanda [keagungan] Alloh, dan hal itu meniscayakan terhadap memusatkan hati hanya kepada Alloh dan meyakini kepada kuasa-Nya, dan yakin dengan-Nya.

أَوْ فِيْ نِعْمَةِ اللهِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْمَحَبَّةُ
Atau [berfikir] mengenai nikmat Alloh, dan akan lahir darinya, rasa cinta [kepada Alloh].

أَوْ فِيْ وَعْدِ اللهِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الرَّغْبَةُ
Atau [berfikir] mengenai janji Alloh, dan akan lahir darinya, rasa suka [beribadah kepada Alloh].

أَوْ فِيْ وَعِيْدِ اللهِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الرَّهْبَةُ
Atau [berfikir] mengenai ancaman Alloh, dan akan lahir darinya, rasa gentar [terhadap ancaman Alloh].

أَوْ فِيْ تَقْصِيْرِ النَّفْسِ عَنِ الطَّاعةِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْحَيَاءُ بِالْفَتْحِ وَالْمَدِّ وَهُوَ الْإِنْقِبَاضُ وَالْإِنْزِوَاءُ.
Atau [berfikir] tentang kecerobohan diri sendiri [yang jauh] dari ketaatan, dan akan lahir darinya, rasa malu. Kalimah al-Hayaa-u itu adalah dengan dibaca fathah dan dibaca panjang huruf ya'-nya, al-Hayaa' adalah rasa tertekan dan rasa terpojokkan."

قَالَ أحْمَدُ بْنُ عَطَاءِ اللهِ مِنْ عَلَامَاتِ مَوْتِ الْقَلْبِ عَدَمُ الْحُزْنِ عَلٰى مَا فَاتَكَ مِنَ الطَّاعَاتِ وَتَرْكِ النَّدَمِ عَلٰى مَا فَعَلْتَهُ مِنْ وُجُوْدِ الزَّلَّاتِ.
Syeh Ahmad bin 'Athoillah berkata:"Diantara tanda-tanda matinya hati adalah tidak merasa sedih atas perkara yang terpaut darimu, yaitu berbagai ketaatan, dan meninggalkan penyesalan atas perkara yang telah engkau kerjakan, yaitu terwujudnya berbagai kesalahan."

وَقَالَ أَيْضًا اَلْحُزْنُ عَلٰى فُقْدَانِ الطَّاعَاتِ فِي الْحَالِ مَعَ عَدَمِ النُّهُوْضِ أَيِ الْإِرْتِفَاعِ إِلَيْهَا فِي الْمُسْتَقْبَلِ مِنْ عَلَامَاتِ الْإِغْتِرَارِ.
Dan beliaupun berkata: "Bersedih atas ketiadaan berbagai ketaatan di saat itu juga, disertai dengan ketiadaan membangkitkan diri, yakni bersemangat tinggi, untuk [melakukan] berbagai ketaatan itu, di masa yang akan datang, adalah termasuk diantara tanda-tanda terperdaya [oleh syetan]."
Allahu A'lam... 

Senin, 20 Oktober 2025

Lagu anak bahasa arab

Kumpulan lagu anak

1.      Satu-satu
Satu satu aku sayang ibu
Dua dua aku sayang ayah
Tiga tiga sayang adek kakak
Satu dua tiga sayang semuanya
وَاحِدْ وَاحِدْ أُحِبُّ أَمِّيْ
اِثْنَانْ اِثْنَانْ أُحِبُّ أَبِيْ
ثَلَاثْ ثَلَاثْ أُحِبُّ اِخْوَانِيْ
وَاحِدْ اِثْنَانْ ثَلَاثْ أُحِبُّ جَمِيْعًا
2.      Helli
Aku punya anjing kecil
Kuberi nama Helly
Ia senang bermain-main
Sambil berlari-lari
Helly! Guk! Guk! Guk!
Kemari! Guk! Guk! Guk!
Ayo lari-lari...
Helly! Guk! Guk! Guk!
Kemari! Guk! Guk! Guk!
Ayo lari-lari
أَنَا عِنْدِيْ كَلْبٌ صَغِيْر
اُسَمَّى بِـ هَيْلِيْ
هُوَ يَرْغَبُ في اللَّعْبِ
وَيَرْغَبُ فِي الرَّكْضِ
هَيْلِيْ Guk! Guk! Guk!
تَعَالِيْ  Guk! Guk! Guk!
هَيَّا نُسَابِقُ
3.      Bangun Pagi
Bangun tidur ku terus mandi
Tidak lupa menggosok gigi
Habis Mandi kutolong ibu
Membersihkan tempat tidurku
اَسْتَيْقِظُ ثُمَّ اَغْسِلُ
لَا اَنْسَى نَظِيْفَ الْاَسْنَانْ
بَعْدَ الْغُسْلِ أُسَاعِدُ أُمِّيْ
اُنَظِّفُ غُرْفَةَ نَوْمِيْ
4.      Cicak-cicak di Dinding
cicak-cicak di dinding
diam diam merayap
datang seekor nyamuk
hap ... lalu ditangkap
وَزَغَةٌ فِيْ الْحَائِطْ
تَسَلَّلَتْ بِهُدُوْء
جَاءَتِ الْبَعُوْضَةُ
هَبْ... ثُمَّ مَأْكُوْلٌ
5.      Kebunku
Lihat kebunku
penuh dengan bunga
ada yang putih,
dan ada yang merah
setiap hari
kusiram semua
mawar melati,
semuanya indah!
اُنْظُرْ بُسْتَانِيْ
مَلَاءٌ بِاَزْهَارْ
كَانَتْ اَبْيَضُ
وَكَانَتْ اَحْمَرُ
فِيْ كُلَّ يَوْمٍ اَسْقِيْ كُلَّهَا
وَرْدٌ يَسْمِيْنٌ
كُلُّهَا جَمِيْلَةٌ
6.      Topi Saya Bundar
Topi saya bundar.
Bundar topi saya.
Kalau tidak bundar,
bukan topi saya!
قُبْعَتِيْ مُدَوَّرٌ
مُدَوَّرٌ قُبْعَتِيْ
وَاِلَّا مُدَوَّرٌ
مَا قُبْعَتِيْ اَنَا
7.      Naik Gunung
Naik - naik, ke puncak gunung
tinggi - tinggi sekali
Naik - naik, ke puncak gunung
tinggi - tinggi sekali
Kiri - kanan kulihat saja
banyak pohon cemara
Kiri - kanan kulihat saja
banyak pohon cemara
تَصَاعَدٌ إِلَى الْجَبَلْ
أَعْلَى أَعْلَى جِدًّا
تَصَاعَدٌ إِلَى الْجَبَلْ
أَعْلَى أَعْلَى جِدًّا
شِمَالْ يَمِيْن اَبْصَرُ فَقَدْ
كَثِيْرٌ مِنْ شَرْبِيْن
شِمَالْ يَمِيْن اَبْصَرُ فَقَدْ
كَثِيْرٌ مِنْ شَرْبِيْن
8.      Kring-kring-kring ada sepeda
Sepedaku roda tiga
Kudapat dari ayah
karena rajin belajar
Tok-tok-tok ada sepatu
Sepatuku kulit lembu
Kudapat dari ibu
karena rajin membantu
Kring-kring-kring  دَرَّاجَةٌ
دُوْلَابٌ ثَلَاثَةٌ
اَنَالُهَا مِنْ أَبِيْ
لِاَنِّيْ مُجْتَهِدٌ
Tok-tok-tok اَحْذِيَةٌ
هِيَ مِنْ جِلْدِ بَقَرْ
اَنَالُهَا مِنْ أُمِّيْ
لِاَنِّيْ مُثَابِرٌ
9.      Pok Ame-ame
Pok ame ame
Belalang kupu kupu
Siang makan nasi
Kalau malam minum susu
Pok ame ame
جَرَادٌ فَرَاشَةٌ
نَهَارْ اَكْلُ رُزٍّ
وَلَيْلٌ شُرْبُ لَبَنْ

Kumpulan lagu anak

10. Burung Kakak tua
Burung kakak tua hingap dijendela
Nenek sudah tua giginya tinggal dua
طَيْرُ بَبْغَاءُ حَطَّتْ فِي النَّافِذَةْ
جَدَّةٌ عَجُوْزٌ أَسْنَانُهَا اِثْنَينْ
11. Ulang tahun
Selamat ulang tahun 2X
Panjang umurnya
Panjang umurnya
Panjang umurnya serta mulia
serta mulia serta mulia
Tiup lilinnya
Tiup lilinnya
Tiup lilinnya sekarang juga
sekarang juga sekarang juga
عِيدْ مِيْلَادْ سَعِيدْ
طُوْلَ الْعُمْرِ
طُوْلَ الْعُمْرِ
طُوْلَ الْعُمْرِ وَالْبَرَكَةَ
وَالْبَرَكَةَ وَالْبَرَكَةَ
اِنْفَخِ الشُّمُوْعَ
اِنْفَخِ الشُّمُوْعَ
اِنْفَخِ الشُّمُوْعَ هَيَّا اَلْآنَ
هَيَّا اَلْآنَ هَيَّا اَلْآنَ
12.Nina bobok
Nina bobok oh nina bobok
Kalau tidak bobok digigit nyamuk
نِيْنَا نَامِيْ اَوهْ نِيْنَا نَاِميْ
إِذْ لاَتَنُوْمُ عَضَّتْ بَعُوْضَةٌ
13. Anak Kambing saya
mana dimana anak kambing saya
anak kambing tuan ada di pohon waru
mana dimana jantung hati saya
jantung hati tuan ada di kampung baru
caca marica he hei
caca marica he hei
caca marica ada di kampung baru
أَيْنَ أَيْنَ جَدْيُ شَاتِيْ اَنَا
جَدْيٌ شَاتِكْ اَنْتَ فِيْ شَجَرْ كَرْكَدِيْه
أَيْنَ أَيْنَ حَبِيْبَتِيْ اَنَا
حَبِيْبَتُكْ أَنْتَ فِيْ قَرْيَةْ جَدِيْدَةْ
جَاجَا مَرِيْجَا هَيْهَيْ
جَاجَا مَرِيْجَا هَيْهَيْ
جَاجَا مَرِيْجَا فِيْ قَرْيَةْ جَدِيْدَةْ
14. Iwak Peyek
Iwak Peyek.. Iwak Peyek..
Iwak Peyek.. Iwak Peyek..
Iwak Peyek nasi jagung
sampek tuek, sampe nenek kita tetap disanjung
Disini aku menghibur kamu
Menyanyikan bergoyang bersama kamu (aselole!)
Disini aku mengajak kamu
Bergembira dan bahagia selalu
ooo… ho ..ooo..oooo
ooo… ho ..ooo..oooo
سَمَاكْ peyek سَمَاكْ peyek
سَمَاكْ peyek سَمَاكْ peyek
سَمَاكْ peyek رُزٌّ ذُرَّةْ
سَمَاكْ peyek سَمَاكْ peyek
سَمَاكْ peyek سَمَاكْ peyek
سَمَاكْ peyek رُزٌّ غُوْلِيْ
إِلَى عَجُوْزٌ إِلَى أَجْدَادْ نَحْنُ ظَلَّ مَمْدُوْحٌ
هَهُنَا اَنَا اُسْلِيْ نَفْسَكَ
اُنَشِّدُ وَاَرْقُصُ مَعَكَ
هَهُنَا اُعَاكِسُ نَفْسَكَ
نُبَشِّرُ وَنَفْرَحُ دَاِئمًا
هَوْ هَوْ هَوْ هَوْ هَوْ
هَوْ هَوْ هَوْ هَوْ هَوْ

15.lagu balonku ada lima
منطادي يوجد خمسة

انواع من لونها

اخضر اصفر رمادي

احمر و ازرق

انفجر المنطاد الاخضر

قلبي حزين جدا

منطادي بقي اربعة

امسكها بقوة

Muntodii yuujadu khamsah
anwa'un min launihaa
akhdaru asfaru ramaadii
ahmaru wa azraqu
infajaral muntadul akhdar!
qalbii haziinun jiddan
muntodii baqiya arba'ah
amsikuha biquwwatin

Kumpulan berbagai foto

Kata-kata bisa telupakan
Kenangan susah dilupakan

Penjelasan Qodlo dan Qodar

AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT

Definisi Qadla Dan Qadar man kepada Qadla dan Qadar adalah termasuk pokok-pokok iman yang enam (Ushûl al-Îmân as-Sittah) yang wajib kita percayai sepenuhnya. Belakangan ini telah timbul beberapa orang atau beberapa kelompok yang mengingkari Qadla dan Qadar dan berusaha mengaburkannya, baik melalui tulisan-tulisan, maupun di bangku-bangku kuliah. Tentang kewajiban iman kepada Qadla dan Qadar, dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
الإيْمَانُ أنْ تُؤْمِن
َ باِللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرّهِ (رواه مسلم) “

Iman ialah engkau percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir, dan engkau percaya kepada Qadar Allah, yang baik maupun yang buruk”. (HR. Muslim). Al-Qadlâ maknanya al-Khalq, artinya penciptaan, dan al-Qadar maknanya at-Tadbîr,artinya ketentuan. Secara istilah al-Qadar artinya ketentuan Allah atas segala sesuatu sesuai dengan pengetahuan (al-‘Ilm) dan kehendak-Nya (al-Masyî-ah) yang Azali (tidak bermula), di mana sesuatu tersebut kemudian terjadi pada waktu yang telah ditentukan dan dikehendaki oleh-Nya terhadap kejadiannya. Penggunaan kata “al-Qadar” terbagi kepada dua bagian: Pertama; Kata al-Qadar bisa bermaksud bagi sifat “Taqdîr” Allah, yaitu sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang ia kehendakinya. al-Qadar dalam pengertian sifat “Taqdîr” Allah ini tidak boleh kita sifati dengan keburukan dan kejelekan, karena sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu bukan suatu keburukan atau kejelekan, tetapi sifat menentukannya Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya adalah sifat yang baik dan sempurna, sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya. Sifat-sifat Allah tersebut tidak boleh dikatakan buruk, kurang, atau sifat-sifat jelek lainnya. Kedua; Kata al-Qadar dapat bermaksud bagi segala sesuatu yang terjadi pada makhluk, atau disebut dengan al-Maqdûr. Al-Qadar dalam pengertian al-Maqdûr ini ialah mencakup segala apapun yang terjadi pada seluruh makhluk ini; dari keburukan dan kebaikan, kesalehan dan kejahatan, keimanan dan kekufuran, ketaatan dan kemaksiatan, dan lain-lain. Dalam makna yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadits Jibril di atas, “Wa Tu-mina Bi al-Qadar; Khayrih Wa Syarrih”. Al-Qadar dalam hadits ini adalah dalam pengertian al-Maqdûr. Pemisahan makna antara sifat Taqdîr Allah dengan al-Maqdûr adalah sebuah keharusan. Hal ini karena sesuatu yang disifati dengan baik dan buruk, atau baik dan jahat, adalah hanya sesuatu yang ada pada makhluk saja. Artinya, siapa yang melakukan kebaikan maka perbuatannya tersebut disebut “baik”, dan siapa yang melakukan keburukan maka perbuatannya tersebut disebut “buruk”, dengan demikian penyebutan kata “baik” dan ”buruk” seperti ini hanya berlaku pada makhluk saja. Adapun sifat Taqdîr Allah, yaitu sifat menentukan Allah terhadap segala sesuatu yang Ia kehendakinya, maka sifat-Nya ini tidak boleh dikatakan buruk. Sifat Taqdîr Allah ini, sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain, adalah sifat yang baik dan sempurna, tidak boleh dikatakan buruk atau jahat. Dengan demikian, bila seorang hamba melakukan keburukan, maka itu adalah perbuatan dan sifat yang buruk dari hamba itu sendiri. Adapun Taqdîr Allah terhadap keburukan yang terjadi pada hamba itu bukan berarti bahwa Allah menyukai dan memerintahkan hamba itu kepada keburukan tersebut. Demikian pula, ketika kita katakan; Allah yang menciptakan kejahatan, bukan berarti bahwa Allah itu jahat. Inilah yang dimaksud bahwa kehendak Allah meliputi segala perbuatan hamba, terhadap yang baik maupun yang buruk. Segala perbuatan yang terjadi pada alam ini, baik kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan, dan berbagai hal lainnya, semunya terjadi dengan kehendak dan dengan penciptaan Allah. Hal ini menunjukan akan kesempurnaan Allah, serta menunjukan akan keluasan dan ketercakupan kekuasaan dan kehendak-Nya atas segala sesuatu. Karena apa bila pada makhluk ini ada sesuatu yang terjadi yang tidak dikehendaki kejadiannya oleh Allah, maka berarti hal itu menafikan sifat ketuhanan-Nya, karena dengan demikian berarti kehendak Allah dikalahkan.oleh kehendak makhluk-Nya. Tentu, ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Karena itu dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: مَا شَاءَ اللهُ كَانَ وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ (رواه أبو داود) “Apa yang dikehendaki oleh Allah -akan kejadiannya- pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehandaki oleh-Nya maka tidak akan pernah terjadi”. (HR. Abu Dawud). Dengan demikian segala apapun yang dikehendaki oleh Allah terhadap kejadiannya maka semua itu pasti terjadi. Karena bila ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya, maka hal itu menunjukkan akan kelemahan, padahal sifat lemah itu mustahil bagi Allah. Bukankah Allah maha kuasa?! Maka di antara bukti kekuasaannya adalah bahwa segala sesuatu yang dikehendaki-Nya pasti terlaksana. Oleh karena itu, dari sudut pandang syara’ dan akal, terjadinya segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya adalah perkara yang wajib adanya. Dalam hal ini Allah berfirman: وَاللهُ غَالِبٌ عَلَى أمْرِه (يوسف: 21) “Allah maha mengalahkan (menang) di atas segala urusann-Nya”. (Artinya, segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti akan terjadi, tidak ada siapapun yang menghalangi-Nya”. (QS. Yusuf: 21). Allah menghendaki orang-orang mukmin dengan ikhtiar mereka untuk beriman kepada-Nya, maka mereka menjadi orang-orang yang beriman. Dan Allah menghendaki orang-orang kafir dengan ikhtiar mereka untuk kufur kepada-Nya, maka mereka semua menjadi orang-orang yang kafir. Seandainya Allah berkehendak semua makhluk-Nya beriman kepada-Nya, maka mereka semua pasti beriman kepada-Nya. Allah berfirman: وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لأَمَنَ مَن فِي اْلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا (يونس: 99) “Dan seandainya Tuhanmu (Wahai Muhammad) berkehendak, niscaya seluruh yang ada di bumi ini akan beriman”. (QS. Yunus: 99). Tetapi Allah tidak menghendaki semuanya beriman kepada-Nya. Namun demikian Allah memerintah mereka semua untuk beriman kepada-Nya. Maka di sini harus dipahami, bahwa “kehendak Allah” dan “perintah Allah” adalah dua hal berbeda. Tidak segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah adalah sesuatu yang diperintah oleh-Nya, dan tidak segala sesuatu yang diperintah oleh Allah adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya. Perkataan sebagian orang “Segala sesuatu adalah atas perintah Allah”, atau “Banyak sekali perbuatan kita yang tidak dikehendaki oleh Allah (ia bermaksud kemaksiatan-kemaksiatan)”, adalah perkataan yang salah, karena Allah tidak memerintahkan kepada perbuatan-perbuatan maksiat atau kekufuran. Benar, kejadian kemasiatanatau kekufuran tersebut adalah dengan kehendak Allah, tetapi Allah tidak memerintahkepadanya. Dengan demikian perkataan yang benar ialah; “Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya dan dengan Ilmu-Nya. Kebaikan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dengan Ilmu-Nya, serta kebaikan ini juga dengan perintah-Nya, Mahabbah-Nya, dan dengan keridlaan-Nya. Sementara keburukan terjadi dengan kehendak Allah, dengan Taqdir-Nya, dan dengan Ilmu-Nya, tapi tidak dengan perintah-Nya, tidak dengan Mahabbah-Nya, dan tidak dengan keridlaan-Nya”. Artinya keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan tidak disukai dan tidak diridlai oleh Allah. Dengan kata lain, segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah, akan tetapi tidak semuanya dengan perintah Allah. Di antara bukti yang menunjukan bahwa perintah Allah berbeda dengan kehendak-Nya adalah apa yang terjadi dengan Nabi Ibrahim. Beliau diberi wahyu lewat mimpi untuk menyembelih putranya; Nabi Isma’il. Hal ini merupakan perintah dari Allah atas Nabi Ibrahim. Kemudian saat Nabi Ibrahim hendak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah ini, bahkan telah meletakan pisau yang sangat tajam dan menggerak-gerakannya di atas leher Nabi Isma’il, namun Allah tidak berkehendak terjadinyasembelihan terhadap Nabi Isma’il tersebut. Kemudian Allah mengganti Nabi Isma’il dengan seekor domba yang bawa oleh Malaikat Jibril dari surga. Peristiwa ini menunjukan perbedaan yang sangat nyata antara ”perintah Allah” dan ”kehendak-Nya”. Contoh lainnya, Allah memerintah kepada seluruh hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya, akan tetapi Allah berkehendak tidak semua hamba tersebut beribadah kepada-Nya. Karenanya, ada sebagian mereka yang dikehendaki oleh Allah untuk menjadi orang-orang beriman, dan ada sebagian lainnya yang dikehendaki oleh Allah menjadi orang-orang kafir. Allah berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنّ وَالإنْسَ إلاّ لِيَعْبُدُوْن (الذاريات: 56) “Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan Aku “perintahkan” mereka untuk menyembah-Ku”. (QS. adz-Dzariyat: 56). Makna firman Allah “Illâ Li-Ya’budûn” dalam ayat ini artinya “Illâ Li-Âmurahum Bi ‘Ibâdatî”, artinya bahwa Allah menciptakan manusia dan jin tidak lain ialah untuk Dia perintah mereka agar beribadah kepada-Nya. Makna ayat ini bukan “Aku (Allah) ciptakan manusia dan jin melainkan aku berkehendak pada mereka untuk menyembah-Ku”. Karena jika diartikan bahwa Allah berkehendak dari seluruh manusia dan jin untuk beriman atau beribadah kepada-Nya, maka berarti kehendak Allah dikalahkan oleh kehendak orang-orang kafir, karena pada kenyataannya tidak semua hamba beriman dan beribadah kepada Allah, tapi ada di antara mereka yang kafir dan menyembah selain Allah. Tentunya mustahil jika kehendak Allah dikalahkanoleh kehendak makhluk-makhluk-Nya sendiri. Ketentuan Allah Tidak Berubah Di atas telah dijelaskan bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah. Apa bila Allah menghendaki sesuatu akan terjadi pada seorang hamba-Nya, maka pasti sesuatu itu akan menimpanya, sekalipun orang tersebut bersedekah, berdoa, bersilaturrahim, dan berbuat baik kepada sanak kerabatnya; kepada ibunya, dan saudara-saudaranya, atau lainnya. Artinya, apa yang telah ditentukan oleh Allah tidak dapat dirubah oleh amalan-amalan kebaikan bentuk apapun. Adapun hadits Rasulullah yang berbunyi: لاَ يَرُدُّ القَضَاءَ شَىءٌ إلاّ الدُّعَاءُ (رواه الترمذي) “Tidak ada sesuatu yang dapat menolak Qadla kecuali doa” (HR. at-Tirmidzi). yang dimaksud dengan Qadla di dalam hadits ini adalah Qadlâ Mu’allaq. Di sini harus kita ketahui bahwa Qadla terbagi kepada dua bagian: Qadlâ Mubrab dan Qadlâ Mu’allaq. Pertama: Qadlâ Mubram, ialah ketentuan Allah yang pasti terjadi dan tidak dapat berubah. Ketentuan ini hanya ada pada Ilmu Allah, tidak ada siapapun yang mengetahuinya selain Allah sendiri, seperti ketentuan mati dalam keadaan kufur (asy-Syaqâwah), dan mati dalam keadaan beriman (as-Sa’âdah), ketentuan dalam dua hal ini tidak berubah. Seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan beriman maka itulah yang akan terjadi baginya, tidak akan pernah berubah. Sebaliknya, seorang yang telah ditentukan oleh Allah baginya mati dalam keadaan kufur maka pasti itulah pula yang akan terjadi pada dirinya, tidak ada siapapun, dan tidak ada perbuatan apapun yang dapat merubahnya. Allah berfirman: يُضِلّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاء (النحل: 93) “Allah menyesatkan terhadap orang yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”. (QS. an-Nahl: 93). Kedua: Qadlâ Mu’allaq, yaitu ketentuan Allah yang berada pada lambaran-lembaran para Malaikat, yang telah mereka kutip dari al-Lauh al-Mahfuzh, seperti si fulan apa bila ia berdoa maka ia akan berumur seratus tahun, atau akan mendapat rizki yang luas, atau akan mendapatkan kesehatan, dan seterusnya. Namun, misalkan si fulan ini tidak mau berdoa, atau tidak mau bersillaturrahim, maka umurnya hanya enam puluh tahun, ia tidak akan mendapatkan rizki yang luas, dan tidak akan mendapatkan kesehatan. Inilah yang dimaksud dengan Qadlâ Mu’allaq atau Qadar Mu’allaq, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang berada pada lebaran-lembaran para Malaikat. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa doa tidak dapat merubah ketentuan (Taqdîr) Allah yang Azali yang merupakan sifat-Nya, karena mustahil sifat Allah bergantungkepada perbuatan-perbuatan atau doa-doa hamba-Nya. Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu, tidak ada suatu apapun yang tersembunyi dari-Nya, dan Allah maha mengetahui perbuatan manakah yang akan dipilih oleh si fulan dan apa yang akan terjadi padanya sesuai yang telah tertulis di al-Lauh al-Mahfuzh. Namun demikian doa adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atas para hamba-Nya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (البقرة: 186) “Dan jika hamba-hamba-ku bertanya kepadamu (Wahai Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat (bukan dalam pengertian jarak), Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa jika ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memohon terkabulkan doa kepada-Ku dan beriman kepada-Ku, semoga mereka mendapatkan petunjuk” (QS. al-Baqarah: 186). Artinya bahwa seorang yang berdoa tidak akan sia-sia belaka. Ia pasti akan mendapatkan salah satu dari tiga kebaikan; dosa-dosanya yang diampuni, permintaannya yang dikabulkan, atau mendapatkan kebaikan yang disimpan baginya untuk di kemudian hari kelak. Semua dari tiga kebaikan ini adalah merupakan kebaikan yang sangat berharga baginya. Dengan demikian maka tidak mutlak bahwa setiap doa yang dipintakan oleh para hamba pasti dikabulkan oleh Allah. Akan tetapi ada yang dikabulkan dan ada pula yang tidak dikabulkan. Yang pasti, bahwa setiap doa yang dipintakan oleh seorang hamba kepada Allah adalah sebagai kebaikan bagi dirinya sendiri, artinya bukan sebuah kesia-siaan belaka. Dalam keadaan apapun, seorang yang berdoa paling tidak akan mendapatkan salah satu dari kebaikan yang telah kita sebutkan di atas. (Lebih luas lihat al-Adzkâr an-Nawawiyyah, hlm. 353) (Masalah): Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan. Namun demikian ada beberapa faham yang berusaha mengaburkan kebenaran ini dengan mengutip beberapa ayat yang sering disalahpahami oleh mereka, di antaranya, mereka mengutip firman Allah: بِيَدِكَ الْخَيْرُ (ءال عمران: 26) “Dengan kekuasaan-Mu segala kebaikan”. (QS. Ali ‘Imran: 26). Mereka berkata: “Dalam ayat ini Allah hanya menyebutkan kata ”al-Khayr” (kebaikan)saja, tidak menyebutkan asy-Syarr (keburukan). Dengan demikian maka Allah hanya menciptakan kebaikan saja, adapun keburukan bukan ciptaan-Nya”. (Jawab): Kata ”asy-Syarr” (keburukan) tidak disandingkan dengan kata al-Khayr (kabaikan) dalam ayat di atas bukan berarti bahwa Allah bukan pencipta keburukan.Ungkapan semacam ini dalam istilah Ilmu Bayan (salah satu cabang Ilmu Balaghah) dinamakan dengan al-Iktifâ’; yaitu meninggalkan penyebutan suatu kata karena telah diketahui padanan katanya. Contoh semacam ini di dalam al-Qur’an firman Allah: وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُم بَأْسَكُمْ (النحل: 81) “Dia (Allah) menjadikan bagi kalian pakaian-pakaian yang memelihara kalian dari dari panas”. (QS. an-Nahl: 81). Yang dimaksud ayat ini adalah pakaian yang memelihara kalian dari panas, dan juga dari dingin. Artinya, tidak khusus memelihara dari panas saja. Demikian pula dengan pemahaman firman Allah: ”Bi-Yadika al-Khayr” (QS. Ali ‘Imran: 26) di atas bukan berarti Allah khusus menciptakan kebaikan saja, tapi yang yang dimaksud adalah menciptakan segala kebaikan dan juga segala keburukan. Kemudian dari pada itu, dalam ayat lain dalam al-Qur’an Allah berfirman: وَخَلَقَ كُلّ شَىء (الفرقان: 2) ”Dan Dia Allah yang telah menciptakan segala sesuatu”. (QS. al-Furqan: 2). Kata “Syai’”, yang secara hafiyah bermakna “sesuatu” dalam ayat ini mencakup segala suatu apapun selain Allah. Mencakup segala benda dan semua sifat benda, termasuk segala perbuatan manusia, juga termasuk segala kebaikan dan segala keburukan. Artinya, segala apapun selain Allah adalah ciptaan Allah. Dalam ayat lain firman Allah: قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكِ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ (ءال عمران: 26) “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Allah yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (QS. Ali ‘Imran: 26). Dari makna firman Allah di atas: “Engkau (Ya Allah) berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki”, kita dapat pahami bahwa Allah adalah Pencipta kebaikan dan keburukan. Allah yang memberikan kerajaan kepada raja-raja kafir seperti Fir’aun, dan Allah pula yang memberikan kerajaan kepada raja-raja mukmin seperti Dzul Qarnain. Adapun firman Allah: مَّآأَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَآأَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ (النساء: 79) ayat ini bukan berarti bahwa kebaikan ciptaan Allah, sementara keburukan sebagai ciptaan manusia. Pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang rusak dan merupakan kekufuran. Makna yang benar ialah, sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama, bahwa kata “Hasanah” dalam ayat di atas artinya nikmat, sedangkan kata “Sayyi-ah” artinya musibah atau bala (bencana). Dengan demikian makna ayat di atas ialah: “Segala apapun dari nikmat yang kamu peroleh adalah berasal dari Allah, dan segala apapun dari musibah dan bencana yang menimpamu adalah balasan dari kesalahanmu”. Artinya, amalan buruk yang dilakukan oleh seorang manusia akan dibalas oleh Allah dengan musibah dan bala. Allah Pencipta Segala Sebab Dan Akibat Dalam hukum kausalitas ini ada sesuatu yang dinamakan “sebab” dan ada yang dinamakan “akibat”. Misalnya, obat sebagai sebab bagi akibat sembuh, api sebagai sebab bagi akibat kebakaran, makan sebagai sebab bagi akibat kenyang, dan lain-lain. Aqidah Ahlussunnah menetapkan bahwa sebab-sebab dan akibat-akibat tersebut tidak berlaku dengan sendirinya. Artinya, setiap sebab sama sekali tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Tapi keduanya, baik sebab maupun akibat, adalah ciptaan Allah dan dengan ketentuan Allah. Dengan demikian, obat dapat menyembuhkan sakit karena kehendak Allah, api dapat membakar karena kehendak Allah, dan demikian seterusnya. Segala akibat jika tidak dikehendaki oleh Allah akan kejadiannya maka itu semua tidak akan pernah terjadi. Dalam sebuah hadits Shahih, Rasulullah bersabda: إنّ اللهَ خَلَقَ الدّوَاءَ وَخَلَقَ الدّاءَ فَإذَا أصِيْبَ دَوَاء الدّاء بَرِأ بإذْنِ اللهِ (رواه ابن حبان) “Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala obat dan yang menciptakan segala penyakit. Apa bila obat mengenai penyakit maka sembuhlah ia dengan izin Allah”. (HR. Ibn Hibban). Sabda Rasulullah dalam hadits ini: “… maka sembuhlah ia dengan izin Allah” adalah bukti bahwa obat tidak dapat memberikan kesembuhan dengan sendirinya. Fenomena ini nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, seringkali kita melihat banyak orang dengan berbagai macam penyakit, ketika berobat mereka mempergunakan obat yang sama, padahal jelas penyakit mereka bermacam-macam, dan ternyata sebagian orang tersebut ada yang sembuh, namun sebagian lainnya tidak sembuh. Tentunya apa bila obat bisa memberikan kesembuhan dengan sendirinya maka pastilah setiap orang yang mempergunakan obat tersebut akan sembuh, namun kenyataan tidak demikian. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah: “… maka akan sembuh dengan izin Allah”. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa adanya obat adalah dengan kehendak Allah, demikian pula adanya kesembuhan sebagai akibat dari obat tersebut juga dengan kehendak dan ketentuan Allah, obat tidak dengan sendirinya menciptakan kesembuhan. Demikian pula dengan sebab-sebab lainnya, semua itu tidak menciptakan akibatnya masing-masing. Kesimpulannya, kita wajib berkeyakinan bahwa sebab tidak menciptakan akibat, akan tetapi Allah yang menciptakan segala sebab dan segala akibat. Firqah-Firqah Dalam Masalah Qadla Dan Qadar Dalam masalah Qadla dan Qadar umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Kelompok pertama disebut dengan golongan Jabriyyah, kedua disebut dengan golongan Qadariyyah, dan ketiga adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Golongan pertama dan golongan ke dua adalah golongan sesat, dan hanya golongan ke tiga yang selamat. Kelompok pertama, yaitu golongan Jabriyyah, berkeyakinan bahwa para hamba itu dipaksa (Majbûr) dalam segala perbuatannya, mereka berkeyakinan bahwa seorang hamba sama sekali tidak memiliki usaha atau ikhtiar (al-Kasab)dalam perbuatannya tersebut. Bagi kaum Jabriyyah, manusia laksana sehelai bulu atau kapas yang terbang ditiup angin, ia mengarah ke manapun angin tersebut membawanya. Keyakinan sesat kaum Jabriyyah ini bertentangan dengan firman Allah: وَمَاتَشَآءُونَ إِلآَّ أَن يَشَآءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ (التكوير: 29) “Dan kalian tidaklah berkehendak kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. at-Takwir: 29). Ayat ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa manusia diberi kehendak (al-Masyî-ah) oleh Allah, hanya saja kehendak hamba tersebut dibawah kehendak Allah. Pemahaman ayat ini berbeda dengan keyakinan kaum Jabriyyah yang sama sekali menafikan Masyi’ah dari hamba. Bahkan dalam ayat lain secara tegas dinyatakanbahwa manusia memiliki usaha dan ikhtiar (al-Kasb), yaitu dalam firman Allah: لَهَا مَاكَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَااكْتَسَبَتْ (البقرة: 286) “Bagi setiap jiwa -balasan kebaikan- dari segala apa yang telah ia usahakan – dari amal baik-, dan atas setiap jiwa -balasan keburukan- dari segala apa yang ia usahakan -dari amal buruk-”. (QS. al-Baqarah: 286). Kebalikan dari golongan Jabriyyah adalah golongan Qadariyyah. Kaum ini memiliki keyakinan bahwa manusia memiliki sifat Qadar (menentukan) dalam melakukan segala amal perbuatannya tanpa adanya kehendak dari Allah terhadap perbuatan-perbuatan tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia sendiri yang menciptakan perbuatan-perbuatannya tersebut. Terhadap golongan Qadariyyah yang berkeyakinan seperti ini kita tidak boleh ragu sedikitpun untuk mengkafirkannya, mereka bukan orang-orang Islam. Karenanya, para ulama kita sepakat mengkafirkan kaum Qadariyyah yang berkeyakinan semacam ini. Kaum Qadariyyah yang berkeyakinan seperti itu telah menyekutukan Allah dengan makhluk-makhluk-Nya, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah, di samping itu mereka juga telah menjadikan Allah lemah (‘Âjiz), karena dalam keyakinan mereka Allah tidak menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Padahal di dalam al-Qur’an Allah berfirman: قُلِ اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَىْءٍ (الرعد: 16) “Katakan (Wahai Muhammad), Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu”. (QS. ar-Ra’ad: 16). Mustahil Allah tidak kuasa atau lemah untuk menciptakan segala perbuatan hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah yang menciptakan segala benda, dari mulai benda paling kecil bentuknya, yaitu adz-Dzarrah, hingga benda yang paling besar, yaitu arsy, termasuk tubuh manusia yang notabene sebagai benda juga ciptaan Allah. Artinya, bila Allah sebagai Pencipta segala benda tersebut, maka demikian pula Allah sebagai Pencipta bagi segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut. Sangat tidak logis jika dikatakan adanya suatu benda yang diciptakan oleh Allah, tapi kemudian benda itu sendiri yang menciptakan sifat-sifat dan segala perbuatannya. Karena itu Imam al-Bukhari telah menuliskan satu kitab berjudul “Khalq Af’âl al-‘Ibâd”,berisi penjelasan bahwa segala perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, bukan ciptaan manusia itu sendiri. Dengan demikian menjadi sangat jelas bagi kita kesesatan dan kekufuran kaum Qadariyyah, karena mereka menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Mereka telah menjadikan Allah setara dengan makhluk-makhluk-Nya sendiri; sama-sama menciptakan. Mereka tidak hanya menetapkan adanya satu sekutu bagi Allah tapi mereka menetapkan banyak sekutu bagi-Nya, karena dalam keyakinan mereka bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya masing-masing, sebagimana Allah adalah Pencipta bagi tubuh-tubuh semua manusia tersebut. Na’ûdzu Billâh. Golongan ke tiga, yaitu Ahlussunnah Wal Jama’ah, adalah golongan yang selamat. Keyakinan golongan ini adalah keyakinan yang telah dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam dari masa ke masa, antar genarasi ke genarasi. Dan inilah keyakinan yang telah diwariskan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Mereka menetapkanbahwa tidak ada pencipta selain Allah. Hanya Allah yang menciptakan semua makhluk, dari mulai dzat atau benda yang paling kecil hingga benda yang paling besar, dan Allah pula yang menciptakan segala sifat dan segala perbuatan dari benda-benda tersebut. Perbuatan manusia terbagi kepada dua bagian; Pertama, Af’âl Ikhtiyâriyyah, yaitu segala perbuatan yang terjadi dengan inisiatif, usaha, kesadaran, dan dengan ikhtiar dari manusia itu sendiri, seperti makan, minum, berjalan, dan lain-lain. Kedua; Af’âl Idlthirâriyyah, yaitu segala perbuatan manusia yang terjadi di luar usaha, dan di luar ikhtiar manusia itu sendiri, seperti detak jantung, aliran darah dalam tubuh, dan lain sebagainya. Dalam keyakinan Ahlussunnah; seluruh perbuatan manusia, baik Af’âl Ikhtiyâriyyah, maupun Af’âl Idlthirâriyyah adalah ciptaan Allah.