Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 15 Juni 2025

BERSUCI KETIKA LUKA DIBALUT PERBAN

BERSUCI KETIKA LUKA DIBALUT PERBAN

 Bapak pengasuh, bagaimanakah tatacara berwudhu yang benar bila kita memiliki luka yang dibalut ? Apakah dengan cara diusap bagian balutannya atau dilewatkan saja (tidak usah dibasuh). Mohon pencerahannya.

✔️Jawaban :

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Islam adalah agama Universal. Dalam perkara-perkara pelik lagi rumit sekalipun, syariah tetap memberikan solusi. Tidak ada satupun masalah yang bila kita tempuh penyelesaiannya lewat jalan Islam akan berujung pada jalan buntu atau kesesatan.

Demikian pula, syariat Islam itu bersifat penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas. Jalan keluar yang ditawarkan senantiasa mengedepankan hakikat-hakikatnya yang sangat manusiawi.

 Termasuk dalam masalah bersuci yang sekarang ini kita bahas, kita akan temui betapa syariat ini benar-benar hendak memanusiakan manusia dan menebar rahmat bagi alam semesta.

A. Pensyariatan mengusap perban

Yang dimaksud balutan (jaba’ir) menurut istilah Fiqih adalah sesuatu yang diikat pada tempat luka, kudis, dan tempat membuang darah.[1]

Adapun ketika seseorang bersuci –sedangkan dia dalam kondisi diperban sebagian anggota badannya- maka boleh hanya dengan mengusap perbannya. Tidak usah dibuka, demikian menurut kesepakatan ulama. Adapun dalilnya adalah :

1. Dari Ali bin Abi Thalib. Dia berkata : “Lenganku telah patah, kemudian aku bertanya kepada Rasululah shalallahu’alahi wassalam tentang hukumnya, beliau menyuruhku untuk mengusapnya.” (HR. Ibnu Majah)[2]

2. Dari Jabi, Ia menyebutkan tentang seorang shahabat yang luka dikepala, lalu ia mandi hingga meninggal dunia. Setelah itu Nabi shalallahu’alahi wassalam bersabda : “Sesungguhnya dapat mencukupi kalau ia hanya mengambil tayamum dan membalut lukanya dengan perca kain, dan setelah itu ia mengusap diatasnya dan mandi kebagian tubuhnya (yang lain).”(HR. Abu Daud)[3]

Membuka perban ketika akan bersuci tentu akan memberatkan, hal ini tentu tidak diinginkan oleh syariat yang mulai ini. Sebagaimana firmanNya :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidaklah Allah menginginkan kesukaran bagimu..” (QS. al Baqarah : 185).

Lagi pula secara akal, jika mengusap khuf (sepatu) saja dibolehkan ketika seseorang bersuci, lalu bagaimana dengan perban yang mengandung kesukaran dan kemudharatan di dalamnya?[4]

Jadi, teranglah bahwa seseorang yang memiliki luka yang diperban, tidak perlu membuka perbannya bila ia bersuci. Adapun tentang hukum dan tuntunan tatacaranya, mari kita simak penjelasan ulama berikut ini :

B. Hukum mengusap perban

Menurut ijma’ ulama, hukum mengusap perban ketika bersuci adalah wajib bagi orang yang memiliki luka perban bila ia tidak membuka perbannya untuk dibasuh air.

Sedangkan bila berkaitan dengan pilihan, apakah dia membuka atau tidak membuka perbannya : bila ketika memakainya ia dalam kondisi suci dari hadats maka mengusap perban hukumnya mubah, Sedangkan bila belum bersuci, ia harus membuka perban dan membasuhnya selama tidak membahayakan. Bila takut ada kemudharatan maka mengusap perban sudah mencukupi.[5]

C. Syarat mengusap perban yang disepakati

Berikut syarat-syarat mengusap perban yang disepakati ulama bagi orang yang berwudhu atau mandi besar [6] :

 1. Hendaknya perban yang dibasuh adalah perban dari luka yang apabila terkena air maka luka itu membahayakan. Atau dikhawatirkan akan berakibat buruk apabila perban itu dibuka.

2. Perban berasal dari bahan yang suci dan bukan barang yang haram.

3. Hendaknya balutan perban tidak melewati bagian yang perlu.

D. Syarat syarat yang tidak disepakati

Berikut Syarat yang tidak disepakati oleh para ulama dalam masalah ini[7] :

1. Dipakai ketika suci dari hadats.

Kalangan Syafi’iyyah dan hanabilah menetapkan syarat harus suci ketika memakai perban. Jika syarat bersuci tidak bisa bisa dipenuhi, maka wudhu atau mandi janabah digantikan dengan tayamum. 

Sedangkan mazhab Maliki dan Hanafi tidak menetapkan syarat ini.

2. Perban bukan barang rampasan.

Syarat ini ditambahkan oleh kalangan Hanafiyyah, adapun tiga mazhab yang lainnya tidak mensyaratkannya.

E. Tatacara dan kadar yang harus diusap

Berikut tatacara mengusap perban, yang kami ringkaskan dari kitab Fiqh al Islami wa Adillatuhu juz I halaman 432 -433 :

 1. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila yang luka itu nyaris hampir semua badan, maka bukan dengan diusap melainkan dengan tayammum saja.

 2. Bila membasuh anggota tubuh yang sehat masih dimungkinkan dan tidak membahayakan anggota tubuh yang luka, maka caranya dengan berwudhu' atau mandi biasa, lalu tepat pada bagian yang luka dan diperban, cukup diusap saja.

 Sedangkan bila anggota tubuh yang sehat dibasuh namun berpengaruh juga kepada yang luka, saat itu tidak perlu berwudhu' melainkan diganti saja dengan tayammum.

 3. Jumhur Mazhab , yaitu Maliki, Syafi’I dan Hanbali mewajibkan untuk mengusap keseluruhan perban dengan air.
    
4. Jangka mengusap serban tidak dibatasi, artinya boleh dilakukan sampai sembuh.

F. Perkara-perkara yang membatalkan mengusap perban.

Berikut ini adalah hal yang dapat membatalkan mengusap perban[8] :

  1. Apabila perban terbuka baik disengaja ataupun tidak.

 2. Sembuh dari sakit.

 3. Semua yang membatalkan wudhu.

 Demikian penjelasan masalah ini. 

📚Wallahua’lam bis Shawwab.

•┈┈•••○○❁༺αѕт༻❁○○•••┈┈•

[1] Al Qawanin al Fiqhiyyah,39.
[2] Hadits ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni dn al Baihaqi dengan sanad yang lemah (Nashbur Rayah, I/186)
[3] Imam Syaukani dalam Nailul Authar (I/285) mengatakan bahwa hadits Jabir ini banyak jalur periwayatannya,dan masing-masing saling menguatkan, sehingga bisa digunakan sebagai dalil. Sedangkan imam Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini adalah yang paling shahih dalam masalah ini. (lihat Subulus Salam, I/99)
[4] Fath al Qadir,I/109.
[5] As Syarh as Shaghir, I/262/265. Syarh al Kabir,I/163. Mughni al Muhtaj, I/94. Al Muhadzab I/37.
[6] Ad Durr al Mukhtar,I/258.
[7] Fiqh al Islami wa Adillatuhu,I/430.
[8] Ibid

Jumat, 13 Juni 2025

SUNNAH BAGI PENDUDUK MAKKAH NGAMBIL MIQOT DITAN'IM DAN JI'RONAH

Orang Yang Berada Di Mekkah Dan Ingin Melaksanakan Umrah Sekali Lagi.

Pertanyaan: 

Dalam waktu dekat, Saya berniat pergi menunaikan umrah bersama saudara-saudaraku. Pesawat take off dari US. Dan kami akan memakai ihram sebelum miqat yang dekat dengan airport Jeddah. Selesai umrah, kalau kami ingin menunaikan umrah untuk orang tua kami yang telah meninggal dunia, yaitu seorang saudara menunaikan umrah untuk ayah, sementara saudara lainnya menunaikan umrah untuk ibu misalnya, dari miqat manakah kami harus pergi untuk memperbarui niat umrah dan ihram untuk kedua orang tua? Apakah kita diharuskan mengganti kain ihram untuk umrah bagi kedua orang tua?

Teks Jawaban
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:

Pertama,

Mengulang-ulang umrah bagi seorang muslim dalam satu safar, untuk dirinya atau untuk orang lain tidak sesuai dengan sunnah Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabat ridwanahhahu’anhum, dan para ulama salaf shaleh. Karena asalnya adalah untuk setiap umrah dalam satu safar.

Ibnu Qayim rahimahaullah mengatakan dalam ‘Zadul Ma’ad, 2/89, 90: “Tidak pernah dalam umrahnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam satupun umrah yang dilakukan, keluar dari Mekkah. Sebagaimana yang dilakukan kebanyak orang sekarang. Semua umrahnya dilakukan ketika hendak masuk Mekkah. Beliau menetap di Mekkah setelah mendapatkan wahyu selama tigabelas tahun. Tidak dinukil riwayat bahwa beliau melaksanakan umrah keluar dari Mekkah pada waktu itu. Maka umrah yang dilakukan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan disyariatkan adalah umrah yang masuk ke Mekkah. Bukan umrah yang ada di dalam (Mekkah) kemdian keluar ke (tanah) halal dan melakukan umrah. 
Tidak seorangpun pada masa beliau yang melakukannya, kecuali Aisyah radhiallahu anha saja saja diantara rombongan yang ikut bersama beliau. Karena beliau dahulu telah berihram untuk melaksanakan umrah kemudian datang haid, kemudian beliau memerintahkan kepada (Aisyah) untuk memasukkan haji ke umrahnya sehingga menjadi haji qiran. 
Dan beliau memberitahukan bahwa thawafnya di Ka’bah dan antara shafa dan marwah untuk haji dan umrahnya. 
Sehingga di dapati bahwa bahwa para isteri lain telah kembali dengan menunaikan haji dan umrah secara tersendiri –karena mereka menunaikan haji tamattu dan bukana qiran – sementara beliau kembali dengan umrah yang sekaligus haji. 
Sehingga (Nabi sallallahu’alaihi wa sallam) memerintahkan saudaranya untuk (membawa) umrah ke Tan’im, sebagai hibuan hatinya. Sementara beliau tidak umrah dari Tan’im pada haji itu. 
Tidak juga orang yang (berhaji) bersamanya.”

Kedua,

Jumhur ahli ilmu memberi keringanan bagi yang berumrah dalam safarnya untuk melakukan umrah lainnya khusus bagi orang (yang tinggal) sangat jauh. 
Sangat berat kembali untuk melakukan umrah lagi. Maka dia diharuskan keluar ke tanah halal terdekat, kemudian dia berihram dengan umrah lainnya.

Diriwayatkan oleh Bukhari 1215 dan Muslim, 1211 dari Aisyah radhiallahu anha beliau berkata,

" يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْتَمَرْتُمْ وَلَمْ أَعْتَمِرْ ، فَقَالَ : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ ، اذْهَبْ بِأُخْتِكَ فَأَعْمِرْهَا مِنْ التَّنْعِيمِ  ، فَأَحْقَبَهَا عَلَى نَاقَةٍ فَاعْتَمَرَتْ " . (أَحْقَبَهَا) أي أركبها خلفه

“Wahai Rasulullah, anda telah berumrah, sementara saya belum berumrah. Maka (beliau) bersabda, “Wahai Abdurrahman, pergi bersama saudarimu dan temani dia umrahkan dari Tan’im. 
Kemudian ikutilah di belakangnya dengan naik unta, kemudian (Aisyah) menunaikan umrah. 
Kata ‘Ahqabaha adalah mengikutinya dibelakangnya.

Dalam redaksi Buhkari dan Muslim, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman, “Keluarlah anda dengan saudarimu dari Tanah haram kemudian berihram umrah (darinya)."

Nawawi rahimahullah mengatakan dalam penjelasan Shahih Muslim, 8/210: “Keluarlah anda dengan saudarimu dari tanah haram dan berihram untuk umrah dari sana, adalah dalil apa yang dikatakan oleh para ulama, bahwa orang yang berada di Mekkah dan ingin menunaikan umrah,  maka miqatnya adalah tanah halal terdekat. 
Tidak dibolehkan berihram dari tanah haram. para ulama mengatakan, “Sesungguhnya diharuskan keluar ke tanah halal, agar dapat menggabungkan antara halal dan haram. 
Sebagaimana orang haji menggabungkan keduanya. Dia wukuf di Arafah dan itu tanah halal. 
Kemudian masuk Mekkah untuk thawaf dan (amalan haji) lainnya. 
Ini adalah perincian madzhab Syafi’i dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahwa dia harus keluar ke tanah halal terdekat untuk melakukan ihram Umrah. 
Jika dia berihram dari (tempatnya) di tanah haram tanpa keluar, maka dia terkena dam. 
Atha berpendapat, tidak terkena apa-apa. 
Malik mengatakan, tidak diterima sampai dia keluar ke tanah halal. 
Qadhi Iyad mengatakan, “Malik mengatakan, ihramnya diharuskan khusus dari Tan’im. Mereka mengatakan, “Dan tempat itu (Tan’im) adalah miqat bagi orang-orang yang menunaikan umrah dari Mekkah. Pendapat ini syadz (nyeleneh) tertolak. Pendapat mayoritas (ulama) adalah semua arah tanah halal adalah sama (dapat untuk memulai ihram). Tidak dikhususkan di Tan’im.”.

Imam Malik rahimahullah mengatakan dalam Muwatha, 1/282: “Adapun umrah dari Tan’im, maka siapa saja yang ingin keluar dari tanah haram kemudian berihram dari sana, hal itu diterima insyallah. 
Akan tetapi yang lebih utama adalah berihram dari Miqat yang telah ditentukan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam atau yang lebih jauh dari Tan’im.”

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, 2/133, mengatakan,”Miqat umrah bagi orang yang berada di Mekkah adalah tanah halal. 
Yang lebih utama berihram dari Ji’ronah atau tan’im.”

Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni, 3/246 mengatakan, “Penduduk Mekkah yang ingin umrah, maka dari tanah halal. 
Kalau mereka ingin haji, maka ihramnya dari Mekkah, bagi penduduk Mekkah dan orang yang tinggal di dalamnya, baik mukim atau tidak mukim, semua sama. 
Karena semua orang yang datang dari miqat, maka miqat itu tempat ihramnya. 
Begitu juga semua orang yang berada di mekkah, maka ia termasuk miqatnya bagi orang yang melakukan haji. 
Kalau dia ingin umrah, maka dari tanah halal. 
Hal ini sepengetahuan kami, tidak ada perbedaan. 
Oleh karena itu, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan Abdurahman menemani umrah Aisyah dari Tan’im.” 

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Kalau ada orang datang ke Mekkah untuk menunaian Haji atau umrah, apakah setelah selesai haji dan umrah dibolehkan menunaikan umrah lagi untuknya atau untuk orang lain pada waktu kedatangan yang sama. 
Dia keluar dari Mekkah menuju Tan’im untuk ihram kemudian menunaikan umrah ini. 
Saya mohon penjelasanya?

Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa hal itu. Alhamdulillah. Kalau dia datang untuk haji dan menunaikan haji untuk dirinya atau berumrah untuk dirinya. Atau berhaji dan berumrah untuk orang lain. 
Kemudian dia ingin menunaikan umrah lagi untuk dirinya atau untuk orang lain. 
Maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi dimulai dari tanah halal. 
Keluar dari Mekkah ke tanah halal; Tan’im atau Ji’ronah atau selain dari keduanya dan berihram darinya. 
Kemudian memulai thawaf, sa’i dan mencukur. 
Baik hal itu untuk dirinya atau untuk mayit dari kerebatanya atau orang yang dicintainya atau untuk orang yang tidak mampu, tua renta, tua sekali yang tidak mampu menunaikan umrah, hal itu tidak mengapa. Hal ini telah dilakukan oleh Aisyah radhiallahu’anha atas perintah dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Beliau umrah bersama Nabi sallallahu’alaihi wa sallam kemudian meminta izin waktu malam hisbah yaitu sore hari ketiga belas malam empat belas. 
Beliau meminta izin untuk menunaikan umrah, kemudian beliau diberi izin oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. 
Dan memerintahkan Abdurrahnman bin Abu Bakar saudaranya untuk pergi bersamanya ke Tan’im dan beliau (Aisyah radhiallahu’anha) berumrah dari sana. Dan ini berarati umrah kedua dari dalam Mekkah.

Kesimpulannya, bahwa tidak mengapa seseorang yang menunaikan haji atau umrah untuk dirinya kemudian dia berumrah untuk orang lain. 
Atau dia haji dan umrah untuk orang lain kemudian berumrah untuk dirinya. Hal itu tidak mengapa.” (Nurun Ala Ad-Darbi)

Dari situ, yang dianjurkan bagi anda kalau anda datang dari USA dan berumrah untuk diri anda kemudian ingin mengumrahkan untuk orang tua anda yang telah meninggal dunia. 
Hendaknya anda keluar ke tanah halal terdekat yaitu Tan’im. 
Dan berihram darinya kemudian kembali ke Mekkah untuk menunaikan umrah untuk orang yang meninggal dunia. 
Dan anda tidak diharuskan mengganti kain ihram yang anda gunakan untuk berihram. Bahkan dibolehkan memakai pakaian apa saja selagi semua syarat telah terpenuhi. 
Akan tetapi dianjurkan memakai pakaian putih yang bersih.

Wallahu’alam.


BOLEHKAH MENGGABUNGKAN THOWAF WADA' DAN IFADHOH.

Bolehkah Mengabungkan Thawaf Wada' dengan Ifadhah?

Semakin membludak jamaah haji dari seluruh penjuru dunia desak-desakan ekstrim tidak lagi dapat dihindari, utamanya saat thawaf. 
Ibadah haji adalah ibadah badaniyah yang membutuhkan kondisi tubuh dalam keadaan fit. 
Kenyataannya ada beberapa kondisi seseorang merasa berat atau bahkan tidak mampu melaksanakan thawaf, padahal dalam ibadah haji setidaknya ada tiga kali thawaf yakni, thawaf qudum, ifadhah dan wada'. 

Karenanya bolehkan orang menggabungkan thawaf ifadhah dan thawaf wada' menjadi satu kali thawaf dengan dua niat dengan tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisi tubuh yang sedang tidak fit?  
 
Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum thawaf wada' diperselisihkan oleh ulama se​​​​​​bagai berikut: 

Pertama, menurut mazhab Syafi'i thawaf wada' hukumnya wajib menurut pendapat ashah dan sunah menurut pendapat lain. 
Terkait pendapat madzhab Syafi'i dapat dilihat misalnya dalam kitab Al-Majmu' :
 
وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

Artinya, “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama—dan ini yang paling sahih—adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. 
Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. 
Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

Kedua, menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra: 

بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

Artinya, "Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

Abu Barakat Ad-Dardiri (wafat 1230 H) yang bermazhab Maliki dalam kitabnya As-Syarhul Kabir mengatakan:

وتَأَدَّى الوداعُ (بالإفاضة و) بطواف (العمرة) أي سقط طلبه بهما ويحصل له ثواب طواف الوداع إن نواه بهما.
 
Artinya, "Telah memenuhi thawaf wada' dengan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah. Maksudnya telah gugur tuntutan thawaf wada' dengan melakukan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah, dan telah hasil baginya pahala thawaf wada' jika ia meniatkannya dalam thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah." (Abu Barakat Ad-Dardiri, As-Syarhul Kabir, [Bairut, Dar-Fikr: tt], juz II, halaman 53). 

Kemudian, Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya: 

فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

Artinya, " Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. 
Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

Ulama lain dari mazhab hambali, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata: 
 
 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع.
 
Artinya, "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).
 
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa thawaf wada' hukumnya wajib menurut mazhab Syafi'i, sedangkan menurut mazhab Maliki, satu pendapat dalam mazhab Imam As-Syafi'i dan Mazhab Imam Ahmad, thawaf wada' hukumnya sunah.

Kemudian Madzhab Maliki dan Hanbali memperbolehkan mengumpulkan antara thawaf ifadhah dan wada' dalam satu kali thawaf. 
Hal ini berdasar pada tujuannya adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah, dan hal ini telah terlaksana dengan thawaf ifadhah.
 
Walhasil, mengingat dalam kondisi tertentu, pelaksanaan thawaf dua kali, yaitu thawaf ifadhah dan wada' secara terpisah akan sangat memberatkan (masyaqqah) terutama bagi jamaah haji dengan risiko tinggi, sakit dan lemah secara fisik, untuk meminimalisir risiko, maka dimungkinkan untuknya memilih teknis yang lebih mudah yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu waktu dengan dua niat, dan telah ia dapatkan pahala keduanya sekalipun hanya dengan satu kali thawaf. 
Wallahu a'lam bisshawab.

Minggu, 08 Juni 2025

BENARKAH TIDAK DIANJURKAN SHALAT ROWATIB KETIKA SAFAR,,,?

Benarkah Tidak Dianjurkan Shalat Sunnah Rawatib Ketika dalam Perjalanan?

shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan
Dalam sebuah pengajian, ada seorang ustadz yang menjelaskan bahwa ketika kita dalam perjalanan, kita tidak dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah shalat wajib. Hal ini karena dalam perjalanan, kita dianjurkan untuk meringankan shalat dengan jamak dan qashar, termasuk juga dengan tidak melakukan shalat sunnah rawatib. Benarkah tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan? (Baca: Doa Nabi Setelah Shalat Sunah Rawatib)

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut ulama Syafiiyah dan kebanyakan ulama yang lain, shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya tetap dianjurkan untuk kita kerjakan selama dalam perjalana. Meskipun kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, namun hal itu tidak menggugurkan anjuran melakukan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah yang lain.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

قال أصحابنا يستحب صلاة النوافل في السفر سواء الرواتب مع الفرائض وغيرها

Ulama kami berkata, ‘Dianjurkan melaksanakan shalat-shalat sunnah ketika dalam perjalanan, baik shalat sunnah rawatib maupun shalat sunnah lainnya.

Di antara dalil yang dijadikan dasar adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

كان يصلي النوافل على راحلته في السفر حيث توجهت به

Nabi Saw melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dalam perjalanan dengan menghadap sesuai kendaraannya melaju.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم الظهر في السفر ركعتين وبعدها ركعتين

Saya bersama Nabi Saw melaksanakan shalat Dzuhur dua rakaat, kemudian setelahnya melakukan shalat dua rakaat.

Adapun menurut sebagian ulama, tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah dalam perjalan, baik shalat sunnah rawatib dan lainnya. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

وقالت طائفة لا يصلي الرواتب في السفر

Sebagian kelompok ulama berkata, ‘Tidak dianjurkan melakukan shalat rawatib dalam perjalanan.’

Dari dua pendapat di atas, yang banyak diikuti oleh para ulama adalah pendapat pertama. Oleh karena itu, meskipun dalam perjalanan kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, kita tetap dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudah shalat wajib.

Lalu bagaimana cara shalat rawatib bagi orang yang menjamak ketika mukim?

Kita simak beberapa keterangan ulama yang menjelaskan urutan dan tata caranya, sebagai berikut,

[Pertama] Keterangan An-Nawawi

Dalam kitabnya – Raudhah at-Thalibin  – beliau menjelaskan teknis jamak dan shalat rawatib bagi orang yang mukim,

في جمع العشاء والمغرب يصلي الفريضتين ثم سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر .وأما في الظهر : فالصواب الذي قاله المحققون أنه يصلي سنة الظهر التي قبلها ثم يصلي الظهر ثم العصر ثم سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر

Untuk jamak isya dan maghrib, yang dilakukan adalah mengerjakan kedua shalat wajib (maghrib dan isya) terlebih dahulu, kemudian sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. Sementara untuk jamak shalat dzuhur, yang benar adalah keterangan para ulama peneliti (ahlu Tahqiq), yaitu dengan cara melaksanakan shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur, kemudian shalat asar, kemudian shalat bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar. (Raudhah at-Thalibin, 1/402).

[kedua] Keterangan Imam Zakariya al-Anshari – ulama Syafiiyah –,

وإن جمع تقديما بل أو تأخيرا في الظهر والعصر صلى سنة الظهر التي قبلها ثم الفريضتين الظهر ثم العصر ثم باقي السنن مرتبة أي سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر وفي المغرب والعشاء يصلي الفريضتين ثم السنن مرتبة سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر

Jika ada orang yang melakukan jamak taqdim atau ta’khir untuk shalat dzuhur dan asar, maka yang dia lakukan adalah shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur dan asar, kemudian shalat sunah rawatib lainnya secara berurutan, yaitu shalat sunah bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar.

Untuk maghrib dan isya, dia kerjakan shalat maghrib dan isya, kemudian shalat sunah setelahnya secara berurutan, shalat sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. (Asna al-Mathalib, 1/245)

[Ketiga] Keterangan Ibnu Qudamah

وإذا جمع في وقت الأولى فله أن يصلي سنة الثانية منهما ويوتر قبل دخول وقت الثانية لأن سنتها تابعة لها فيتبعها في فعلها ووقتها والوتر وقته ما بين صلاة العشاء إلى صلاة الصبح وقد صلى العشاء فدخل وقته

Jika ada orang telah melakukan jamak taqdim (maghrib dan isya), selanjutnya dia bisa melakukan shalat sunah rawatib keduanya (bakdiyah maghrib dan isya), kemudian melakukan shalat witir (meskipun) belum masuk waktu shalat isya. Karena shalat sunah witir mengikuti shalat isya. 
Sehingga waktu dan pelaksanaannya mengikuti pelaksanaan shalat isya. Sementara witir waktunya antara shalat isya sampai subuh. 
Dan dia melaksanakan shalat isya, sehingga telah masuk waktunya. (al-Mughni, 2/124).

[Keempat] keterangan al-Mardawi dalam al-Inshaf,

يصلي سنة الظهر بعد صلاة العصر من غير كراهة قاله أكثر الأصحاب

Orang yang melakukan jamak dzuhur dengan asar maka dia mengerjakan shalat sunah bakdiyah dzuhur setelah shalat asar, dan tidak makruh. 
Ini merupakan pendapat mayoritas hambali. (al-Inshaf, 2/241)."
ALLAHU A'LAM..

Kamis, 05 Juni 2025

KHUTBAH WUKUF AROFAH

"Khutbah Wukuf"

Hikmah Ibadah Haji untuk Pribadi yang Dicintai Ilahi". Untuk mencetak naskah khutbah ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Atau bisa mengunduhnya melalui tautan di bawah artikel ini. Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ أَمَّا بَعْدُ. فَيَاضُيُوْفَ الرَّحْمَن أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوْ الله, وَاعْمَلُوا الصَّالِحَات وَاجْتَنِبُوا الْمُنْكَرَات وَاذْكُرُوا اللهَ فِي اَيَّامٍ مَعْلُوْمَت وَاشْكُرُوْا وَاَكثِرُوا التَّلْبِيَّة : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah swt


Tiada kata yang paling layak kita ungkapkan saat ini untuk mensyukuri nikmat tak terhingga yang telah dikaruniakan Allah kepada kita semua, selain kalimat Alhamdulillah... wal hamdulillah... tsummal hamdulillahi rabbil alamin. Segala puji bagi Allah yang telah menakdirkan dan memilih kita dari miliaran manusia di muka bumi ini untuk bisa hadir di padang Arafah, untuk melaksanakan misi ibadah suci, ibadah haji. Banyak orang yang memimpikan ingin seperti kita saat ini. Banyak umat Islam yang tengah berjuang untuk menunggu dipanggil bisa menjalankan rukun Islam yang ke lima ini. Namun takdirnya, kita yang saat ini diberi nikmat yang tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata, bisa beribadah, bersimpuh, dan berdoa di tempat yang mustajabah ini. 


Kenikmatan kita saat ini, menjadi bagian dari nikmat-nikmat Allah lainnya yang tidak bisa kita hitung satu persatu. Allah berfirman:


وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


Artinya: “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nahl: 18).

Baca Juga

Khutbah Arafah: Haji Akbar dan Moderasi Beragama dari Tanah yang Mulia

Selain bersyukur atas nikmat nyata ini, kita juga harus menyampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Yang jangankan kita manusia biasa. Allah dan para Malaikat-Nya pun bershalawat kepada beliau. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَـيِّـدِنَـا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَـيِّـدِنَـا مُحَمَّدٍ


Shalawat ini juga merupakan ungkapan terima kasih kepada beliau yang telah membawa risalah suci agama Islam. Dengan jasa agung beliau, kita bisa menikmati manisnya Islam dan kita termasuk orang-orang yang sangat beruntung memilih agama Islam sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85:


وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ


Artinya: “Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 96 dan 97:


اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ


Artinya: “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”


فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
 

Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Rangkaian dua ayat inilah yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah haji untuk umat Islam. Ayat ini memiliki makna historis untuk mengingatkan kita bahwa di Tanah Suci yang diberkahi inilah pertama kali dibangun baitullah. Dari tanah suci yang saat ini kita bisa merasakan auranya secara langsung ini pulalah Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi Rahmatan lil Alamin (rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam). Dan hanya di Tanah Suci ini pulalah kewajiban haji bisa dilaksanakan untuk menjadikan kita Muslim yang paripurna, Muslim yang sempurna, Muslim yang mabrur yang akan mendapatkan balasan surga dari Allah swt. Rasulullah bersabda:


اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ له جَزَاءٌ الا الْجَنَّـةَ


Artinya: "Haji Mabrur tidak ada imbalan lain baginya kecuali surga". (HR Imam Ahmad)


Dalam melaksanakan ibadah haji kita mengawali dengan mengenakan pakaian ihram berwarna sama yakni putih yang melambangkan kesucian. Tidak mengenal dari mana kita berasal, setinggi apa pun jabatan kita, sebanyak apa pun harta kita, apa pun warna kulit kita, semuanya mengenakan pakaian ihram putih melambangkan kembalinya manusia kepada Allah, pemilik alam semesta. Semua identitas, semua jabatan, dan kekayaan ditanggalkan seraya menyadari bahwa kita semua adalah sama di hadapan Allah swt. Menyadari bahwa tidak ada yang perlu disombongkan selama hidup di dunia. Semua akan kembali kepada-Nya dengan kain putih yang membungkus kita. Hanya amal ibadah yang akan dibawa menghadap yang Kuasa, Allah swt.


Selanjutnya kita melaksanakan wukuf di padang Arafah sebagai puncak dari ibadah haji. Rasulullah bersabda:


الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ


Artinya: "Haji itu Arafah. Siapa saja yang mendapati malam Arafah sebelum terbit fajar malam Muzdalifah (malam Idul Adha), maka sempurnalah hajinya,'" (HR Ahmad) 


Wukuf, yang memiliki makna berhenti, merupakan lambang bahwa pada satu titik kehidupan, kita harus berhenti untuk melakukan muhasabah, perenungan, evaluasi, mendekatkan diri dan melambungkan jiwa serta nilai-nilai spiritual kita kepada Allah swt. Wukuf menjadi momentum bagi kita untuk menyadarkan diri bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah swt. Kita akan mempertanggungjawabkan segala yang telah lakukan selama di dunia ini, nanti di yaumul mahsyar. Sebuah masa di mana manusia dari Nabi Adam sampai dengan kiamat nanti dikumpulkan dan akan dihisab amal perbuatannya.


Wukuf di Arafah, di mana seluruh jamaah haji berkumpul di satu tempat dalam satu waktu, merupakan miniatur saat kita di Padang Mahsyar nanti. Tidak ada lagi waktu untuk memperbaiki diri dan tidak ada lagi kebohongan bisa dilakukan saat kita mempertanggungkan apa yang kita lakukan selama di dunia.


اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ


Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Selain melakukan kontemplasi (perenungan diri), dalam ibadah haji kita juga diajarkan untuk senantiasa optimis dalam menjalani kehidupan ini. Hal ini tercermin dari proses thawaf dan sa'i yang terus bergerak menuju titik tujuan sebagaimana hidup untuk menggapai harapan dan cita-cita. Semangat thawaf dan sa'i harus mampu kita wujudkan dalam setiap lini kehidupan kita sehari-hari. Semangat untuk terus menjadi hamba yang baik dalam menjalankan misi utama di dunia yakni menjadi khalifah dan menyembah Allah swt.


Selain itu, berkumpulnya jutaan jamaah dari berbagai negara dalam satu tempat ini memberi hikmah yang mendalam bagi kita. Perbedaan-perbedaan yang ada, mulai dari ras, bangsa, tradisi, dan bahasa serta perbedaan lainnya bukanlah untuk dipertentangkan. Namun semua ini bisa menyatu dalam rangka saling memahami satu sama lain. Allah swt bersabda:


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ


Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13).


Selain lebih arif dalam menyikapi perbedaan, dalam ayat ini Allah swt juga mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjadi orang yang bertakwa. Allah menegaskan bahwa ketakwaan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan standar yang ditetapkan oleh Allah, apakah seseorang masuk ke dalam golongan orang-orang yang mulia atau tidak. 


Dengan ketakwaan, kehidupan kita akan benar-benar terarah dan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Islam. Karena takwa sendiri adalah sebuah sikap mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang bertakwa merupakan orang yang paling mulia si sisi Allah.


Dalam haji, takwa juga merupakan bekal yang paling baik yang harus dibawa. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 197:


اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ


Artinya: “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Untuk mewujudkan hikmah dari rangkaian ibadah haji yang sudah dijelaskan ini, mari kita berdoa, memohon kepada Allah swt di tempat dan waktu yang mustajabah ini, semoga kita menjadi hamba yang dicintai dan disayangi Allah swt. Semoga kita diberikan kekuatan dan kesehatan serta kelancaran dalam menjalankan prosesi ibadah haji ini sampai dengan selesai. Semoga kita diberikan kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji setelah kita menyelesaikan seluruh rangkaiannya. 


Dan yang paling utama, mari kita semuanya berusaha dan berdoa, mudah-mudahan haji yang kita lakukan  pada kali ini dicatat sebagai haji yang mabrur dan mabrurah. Amin, amin, ya Rabbal alamin. 


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ


اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اَللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا كَامِلاً وَيَقِيْنًا صَادِقًا وَرِزْقًا وَاسِعًا وَقَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَحَلاَلاً طَيِّبًا وَ توبة نَصُوْحًا. اَللّهُمَّ اجْعَلْ حَجَّنَا حَجًّا مَبْرُوْرًا وَسَعْيًا مَشْكُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا وَعَمَلاً صَالِحًا مَقْبُوْلاً وَتِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ يَا عَالِمَ مَا في الصُّدُوْرِ أَخْرِجْنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ


عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ



Selasa, 03 Juni 2025

LEBARAN HARI JUM'AT,APAKAH GUGUR SHALAT JUM'AT...?

Iedul Adha Jatuh Hari Jumat, Gugurkah Kewajiban Shalat Jumatnya?..

PERTANYAAN...?
Assalamu'alaikum Wr Wb.

Al Ustadz yang semoga dirahmati Allah.

Bagaimanakah hukum shalat Jum'at jika pagi hari sudah shalat Ied. 
Beberapa kawan menyatakan boleh diganti shalat Zhuhur biasa jika pagi harinya telah mengikuti shalat Ied. 
Tetapi bukankah ada pendapat yang menyatakan bahwa yang sunnah tidak bisa menggantikan yang wajib?

Syukron atas jawabannya

JAWABAN
 
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang ada kebingungan di tengah umat Islam terkait dengan kasus hari Jumat yang jatuh berbarengan dengan salah satu dari dua hari raya, yaitu Idul Fithr atau Idul Adha, apakah shalat Jumat gugur hukumnya dan boleh tidak dikerjakan, ataukah tetap wajib dikerjakan.

Penyebab kebingungan ini karena adanya nash yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan sebagian shahabat untuk tidak melaksanakan shalat Jumat ketika harinya tetap jatuh di hari raya.

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata,“Aku melihat Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah ketika bersama Rasulullah SAW Anda pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?” Zaid bin Arqam menjawab, “Ya, saya pernah mengalaminya”. Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika itu?. Zaid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ

Siapa yang mau shalat Jumat maka lakukanlah shalat Jumat (HR. Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ »

Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia“. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)

Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).

Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.

Dalam hal ini, umumnya para ulama dari jumhur sepakat mengatakan bahwa hukum shalat Jumat tetap wajib dikerjakan, meski jatuh pada hari raya. Namun ada pendapat yang mengatakan sebaliknya, yaitu mazhab Al-Hanabilah.

1. Tetap Wajib

Jumhur ulama, yaitu para ulama dalam mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah sepakat menegaskan bahwa hukum shalat Jumat tetap wajib dikerjakan meski jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fithr atau Idul Adha.

Mazhab Asy-Syafi'iyah membedakan antara penduduk suatu negeri dengan mereka yang hidup di padang pasir (nomaden). Keringanan untuk tidak shalat Jumat ini hanya berlaku buat mereka yang tinggal di daerah pedalaman, yang memang pada dasarnya tidak memenuhi syarat-syarat kewajiban shalat Jumat. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka.

Ada banyak dalil yang dijadkan hujjah atas hal ini, antara lain :

a. Kuatnya Dalil Kewajiban Shalat Jumat

Shalat Jumat itu diwajibkan dengan ayat Al-Quran, yang dari segi nash merupakan nash sharih (jelas) dan qathi, baik dari segi tsubut maupun dari segi dilalah. Sehingga statusnya qath'iyuts-tsubut dan qath'iyud-dilalah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli..(QS. Al-Jumu’ah : 9)

Sedangkan kebolehan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat hanya didasarkan pada nash yang tidak sharih dan juga tidak qath'i, yaitu hadits-hadits yang ketegasan dan keshahihannya masih diperselisihkan para ulama.

b. Rasulullah SAW dan Para Shahabat Tetap Shalat Jumat

Meski ada dalil dari Rasulullah SAW yang membolehkan sebagian orang untuk tidak shalat Jumat, namun dalam kenyataannya, Rasulullah SAW sendiri dan umumnya para shahabat tetap melakukan shalat Jumat. Hal itu terbukti dari hadits-hadits berikut ini :

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Rasulullah SAW bersabda,"Dua hari raya jatuh di hari yang sama. Siapa tidak shalat Jumat silahkan, tetapi kami tetap mengerjakan shalat Jumat. (HR. Abu Daud)

Artinya meski hari itu bertemu dua hari raya, tidak berarti masjid Nabawi meliburkan shalat Jumat. Shalat Jumat tetap dilakukan oleh penduduk Madinah saat itu, terkecuali hanya beberapa orang saja yang dibolehkan untuk tidak ikut, karena udzur-udzur tertentu.

c. Yang Tidak Mewajibkan Tetap Menyarankan Shalat Jumat

Meski ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat Jumat hukumnya tidak wajib, seperti mazhab Al-Hanabilah, namun mereka tetap menganjurkan untuk tetap melakukan shalat Jumat, demi keluar dari khilaf dan kehati-hatian. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama yang berpendapat tidak wajibnya shalat Jumat sekalipun juga tidak secara gegabah dalam berpendapat.

Oleh karena itu jumhur ulama menyimpulkan bahwa shalat Ied (hari raya) tidak bisa menggantikan shalat Jumat.

2. Tidak Wajib

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa shalat Jumat tidak wajib adalah mazhab Al-Hanabilah. Dalil yang mereka jadikan landasan tetap sama dengan dalil-dalil di atas, namun mereka mengambil kesimpulan bahwa keringanan itu berlaku untuk seluruh umat Islam, bukan hanya untuk penduduk yang tinggal di padang pasir.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Senin, 02 Juni 2025

SHALAT QOBLIYAH MAGHRIB

Sholat sunnah rawatib adalah sholat sunnah yang dikerjakan untuk mengiringi sholat fardhu lima waktu. 
Sholat ini dikerjakan sebelum sholat fardhu (qobliyah) dan sesudah sholat fardhu (ba'diyah).
Keutamaan dalam mengerjakan sholat sunnah rawatib juga termaktub dalam salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

‏ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ ‏

Artinya: "Jika seorang hamba Allah SWT sholat karena Allah SWT dua belas rakaat (sunah) setiap hari, sebelum, dan setelah sholat wajib, maka Allah SWT akan membangunkannya sebuah rumah di surga atau rumah akan dibangun untuknya di surga. 
Aku tidak pernah absen melakukannya, sejak mendengarnya dari Rasulullah SAW." (HR Muslim).

Melansir dari buku yang berjudul Adakah Shalat Sunah Rawatib Setelah Asar dan Sebelum Maghrib? karya Ust. 
Mahmud asy-Syafrowi, para ulama telah membagi sholat sunnah rawatib menjadi dua macam berdasarkan hukum pengerjaannya, yaitu muakkad dan ghairu muakkad.

Muakkad berarti sholat sunnah rawatib yang sangat dianjurkan sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. 
Sementara itu, Ulama Hanabilah berpendapat bahwa sunnah ghairu muakkad adalalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan siksa.

Lantas, bagaimana dengan hukum mengerjakan sholat sunnah qobliyah maghrib?

Dikutip dari buku Hidup Bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
karya Daeng Naja, dari Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ . - قَالَ فِي الثَّالِثَةِ -: لِمَنْ شَاءَ ، كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

Artinya: "Shalatlah sebelum sholat maghrib," Rasulullah mengatakannya tiga kali dan pada yang ketiga, beliau berkata lagi, "Bagi yang mau," karena tidak ingin kalau umatnya menjadikan hal itu sebagai keharusan.

Hadits lainnya datang dari Anas bin Malik RA, ia berkata:

كُنَّا بِالْمَدِينَةِ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِيَ، فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ، مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا

Artinya: "Saat muadzin selesai beradzan untuk shalat Maghrib, mereka (para sahabat senior) saling berlomba mencari tiang-tiang, lalu mereka shalat 2 rakaat sampai ada orang asing yang masuk masjid untuk shalat mengira bahwa shalat maghrib sudah ditunaikan karena saking banyaknya yang melaksanakan shalat sunnah sebelum Maghrib." (HR. Muslim).

Dari Anas bin Malik RA kembali berceria, ia berkata:

كُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ، فَقُلْتُ لَهُ : أَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا ؟ قَالَ : كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا ، وَلَمْ يَنْهَنَا

Artinya: "Kami para sahabat pernah sholat sunnah setelah mahatari terbenam (sebelum sholat fardhu maghrib). 
Ketika itu Nabi SAW melihat kami mengerjakan shalat itu, beliau tidak memerintahkan kami dan tidak melarang kami." (HR. Muslim).

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

"Di antara setiap dua adzan (antara adzan dan iqamah) ada sholat, di antara setiap dua adzan (antara adzan dan iqamah) ada sholat, di antara setiap dua adzan (antara adzan dan iqamah) ada sholat, bagi yang mau," (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapat lainnya dikuatkan dari Ulama Syafi'iyah menganggap bawa waktu sholat maghrib hanya satu waktu, yaitu saat matahari tenggelam dengan lama waktu sekadar adzan, wudhu, menutup aurat, iqomah, dan sholat 5 rakaat (3 rakaat fardhu + 2 rakaat ba'diyah).

Artinya, tidak ada kesempatan untuk melaksanakan sholat sunnah sebelum maghrib. Hal ini dimungkinkan, sebab Rasulullah sendiri sebagaimana dengan hadits di atas, tidak ingin menganggap sholat sunnah qobliyah maghrib dianggap sebagai sunnah yang diwajibkan.

Dapat disimpulkan bahwa hukum mengerjakan sholat sunnah qabliyah maghrib, yaitu bukanlah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. 
Melainkan, boleh dikerjakan tetapi tidak akan menjadi masalah jika ditinggalkan. Jadi, sholat sunnah qobliyah maghrib hukumnya adalah gairu muakkad.

Bagaimana, sahabat hikmah? Jangan bingung lagi untuk melaksanakan sholat sunnah qabliyah maghrib ya.

Allahu A'lam...