Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi
Sabtu, 08 Juli 2017
Shalat Utaqoi
Shalat utaqoi
Ikhwan Kajian yang selalu mendapat keberkahan. Informasi atau opini terkadang membuat kita berdetak kagum dan bangga dengan info tersebut. Dan tidak sadar pula kita kadang selalu terpengaruh akan kata dan bujuk rayuannya.Namuan dengan adanya SHOLAT SUNAH 'UTAQO'I DI BULAN SYAWAL kita bisa mencari celah kebenaranya tanpa adanya sifat menyalahkannya. Namun hanya mencari letak dasar kebenaranya itu sendiri.
SHOLAT SUNAH 'UTAQO'I DI BULAN SYAWAL
mengajak kita untuk berfikir untuk menambah khasanah keilmuan kita.Dengan adanya kajian tentangnya kita mengerti yang benar dan yang salah.Jadikan memontum ini untuk menguatjan kita.Dan pastikan pula kita selalu mawas diri dalam menghadapi setiap problematik kehidupan kita.Dan selu berhati hati dalam menyikapi segala sesuatunya.
Salah satu ibadah yang termasuk jarang diketahui dan juga jarang dilakukan kecuali mereka yang mengerti adalah shalat sunnah di bulan Syawal. Sebagaimana yang diterangkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani berdasarkan pada hadits Rasulullah saw. dalam kiitabnya Al-Ghunyah juz 2 halaman 147:
حدثنا أبو نصر بن البناء عن والده قال: حدثنا أبوعبد الله الحسين بن عمر العلاف, قال: أخبرنا أبو القاسم القاضى قال: حدثنا محمد بن أحمد بن صديق قال: حدثنا يعقوب بن عبد الرحمن قال: أنبأنا أبو بكر أحمد بن خعفر المروزى, قال: حدثنا على ابن معروف قال: حدثنى محمد بن محمود قال: أخبرنا يحيى بن شبيب قال: حدثناحميد عن أنس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من صلى فى شوال ثمان ركعات ليلا كان او نهارا يقراء فى كل ركعة بفاتحة الكتاب وخمس عشرة (قل هو الله أحد ...) فاذا فرغ من صلاته سبح سبعين مرة وصلى على النبي صلى الله عليه وسلم سبعين مرة, قال النبي صلى الله عليه وسلم: والذى بعثنى بالحق ما من عبد يصلى هذه الصلاة الا أنبع الله له ينابيع الحكمة فى قلبه وأنطق به لسانه وأراه داء الدنيا ودواءها, والذى بعثنى بالحق من صلى هذه الصلاة كما وصفت لايرفع رأسه من أخر سجدة حتى يغفر الله له, وان مات مات شهيدا مغفورا له, و ما من عبد صلى هذه الصلاة فى السفر إلاسهل الله عليه السير والذهاب الى موضع مراده, وان كان مديونا قضى الله دينه, وان كان ذا حجة قضى الله حوائجه, والذى بعثنى بالحق ما من عبد يصلى هذه الصلاة إلا أعطاه الله تعالى بكل حرف وبكل أية مخرفة فى الجنة قيل وما المخرفة يا رسول الله قال صلى الله عليه وسلم بساتين فى الجنة يسير الراكب فى ظل شجرة من أشجارها مائة سنة ثم لايقطعها))
Diceritakan dari Anas Radhiallahu Anhu, dia berkata bahwasannya Rasulullah saw pernah bersabda :
"Barang siapa shalat di bulan syawal sebanyak delapan (8) raka’at baik dilakukan malam hari maupun siang hari yang mana di setiap rakaatnya
- membaca al-Fatihah dan
- Qul Huwallahu ahad (al-ikhlas)
sebanyak lima belas (15) kali.
Setelah delapan rakaat tersebut kemudian dilanjut dengan
- membaca tasbih (subhanallah wa bi hamdihi, subhanallahil adhim) tujuh puluh (70) kali dan
- shalawat (Allahumma shallli ‘ala sayyidina Muhammad) tujuh puluh (70) kali.
Maka demi Dzat yang telah mengutusku, Allah akan mengalirkan hikmah (kebijaksanaan/kebenaran) dalam hati yang diungkapkan melalui lisan seorang hamba yang telah melaksanakan shalat ini , dan Allah akan tunjukkan kepada dia penyakit-penyakit dunia serta obatnya.
Dan demi Dzat yang telah mengutusku, barang siapa yang mendirikan shalat ini sesuai tata caranya, maka akan diampuni dosa-dosanya sebelum ia mengangkat kepala setelah sujud raka'at terakhir, dan andaikan dia mati, maka dia mati dalam keadaan syahid yang dosanya telah diampuni. Dan tiada seorang hamba yang melaksanakan shalat ini dalam keadaan bepergian, kecuali Allah mudahkan baginya perjalanannya hingga tempat yang dituju. Andaikan ia memiliki hutang, maka hutangnya akan terbayar, dan seandainya ia memiliki kebutuhan, Allah akan memenuhi kebutuhannya.
Dan demi Dzat yang telah mengutusku, tiada seorang hamba yang menjalankan shalat ini kecuali Allah berikan untuknya di setiap huruf dan ayatnya sebuah makhrafah di surga nantinya. Kemudian dipertanyakan “apakah makhrafah itu Ya Rasul? Rasulullah saw menjawab makhrafah adalah dua ekor domba yang mempermudah penunggangnya mengelilingi (kebun penuh) pepohonan yang tidak pernah dipotong selama seratus tahun"
Wallohu a'lam
Catatan:
Yang dimaksud dengan shalat tersebut adalah delapan (8) rakaat shalat sunnah mutlak yang dilakukan selama bulan Syawwal.
8raka'at,4kali salam,tiap raka'at ba'da fatihah qulhu 15,tos beres tasbih 70,shalawat 70.
Wallahu musta'an..
Shalat fajar
Shalat fajar
Kobliah shubuh
Di antara shalat-shalat sunnah,
ada shalat sunnah yang memiliki keutamaan yang tak ternilai harganya. Dua rakaat yang memiliki keutamaan, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya. Sebuah amalan ringan, namun sarat pahala, yang tidak selayaknya disepelekan seorang hamba. Amalan tersebut adalah dua rakaat shalat sunnah sebelum subuh atau disebut juga shalat sunnah fajar.
Keutamaannya
Dikisahkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْر
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan satu shalat sunnah pun yang lebih beliau jaga dalam melaksanakannya melebihi dua rakaat shalat sunnah subuh.” (HR Bukhari 1093 dan Muslim 1191)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “ Ketika safar (perjalanan), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap rutin dan teratur mengerjakan shalat sunnah fajar dan shalat witir melebihi shalat-shalat sunnah yang lainnya. Tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaksankan shalat sunnah rawatib selain dua shalat tersebut selama beliau melakukan safar (Zaadul Ma’ad I/315)
Keutamaan shalat sunnah subuh ini secara khusus juga disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat shalat sunnah subuh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim725).
Lihatlah saudaraku, suatu keutamaan yang sangat agung yang merupakan karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tidak selayaknya seorang hamba melewatkan kesempatan untuk dapat meraihnya.
Melakukannya dengan Ringkas
Di antara petunjuk dan contoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan dua rakaat shalat sunnah subuh adalah dengan meringankannya dan tidak memanjangkan bacaannya, dengan syarat tidak melanggar perkara-perkara yang wajib dalam shalat. Hal ini ditunjukkan oleh kisah berikut :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ حَفْصَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ الْأَذَانِ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ
Dari Ibnu Umar, beliau berkata bahwasanya Hafshah Ummul Mukminin telah menceritakan kepadanya bahwa dahulu bila muadzin selesai mengumandangkan adzan untuk shalat subuh dan telah masuk waktu subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat sunnah dua rakaat dengan ringan sebelum melaksanakan shalat subuh.( HR Bukhari 583).
Diceritakan juga oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat ringan antara adzan dan iqamat shalat subuh.”(HR. Bukhari 584)
‘Asiyah radhiyallahu ‘anha juga menjelaskan ringannya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّيْ لأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan dua rakaat shalat sunnah subuh sebelum shalat fardhu Subuh, sampai-sampai aku bertanya : “Apakah beliau membaca surat Al-Fatihah?” (HR Bukhari 1095 dan Muslim 1189)
Hadits-hadits di atas menunjukkan sunnahnya memperingan shalat ketika melaksanakan shalat sunnah subuh. Tentu saja yang dimaksud meringankan shalat di sini dengan tetap menjaga rukun dan hal-hal yang wajib dalam shalat.
Bacaan Pada Setiap Rakaat
Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bacaan surat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah membaca surat Al Fatihah dalam shalat sunnah subuh.
Pertama. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam dua rakaat shalat sunnah subuh surat Al Kafirun dan surat Al Ikhlas” (H.R Muslim 726)
Kedua. Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فِي الْأُولَى مِنْهُمَا قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ الَّتِي فِي الْبَقَرَةِ وَفِي الْآخِرَةِ مِنْهُمَا آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca ayat قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) pada rakaat pertama dan membaca آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ (Ali Imran 52) pada rakaat kedua” ( HR. Muslim 727).
Ketiga.Hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَالَّتِي فِي آلِ عِمْرَانَ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua rakaat shalat sunnah subuh membaca firman Allah قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا (Al Baqarah 136) dan membaca تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ (Ali Imran 64)” (HR. Muslim 728).
Ringkasnya, ada tiga jenis variasai yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh, yaitu :
Rakaat pertama membaca surat Al Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al Ikhlas
Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:
قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran 52 :
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللّهِ آمَنَّا بِاللّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Rakaat pertama membaca ayat dalam surat Al Baqarah 136:
ُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Rakaat kedua membaca ayat dalam surat Ali Imran ayat 64 :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
Itulah beberapa ayat yang biasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat sunnah subuh. Namun demikian tetap dibolehkan juga membaca selain ayat-ayat di atas.
Berbaring Sejenak Setelahnya
Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbaring di sisi tubuh sebelah kanan setelah melakukan shalat sunnah subuh. Di antaranya adalah hadits berikut :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا سَكَتَ اْلمُؤَذّنُ بِاْلأُوْلَى مِنْ صَلاَةِ اْلفَجْرِ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ اْلفَجْرِ بَعْدَ اَنْ يَسْتَبِيْنَ اْلفَجْرُ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقّهِ اْلاَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ اْلمُؤَذّنُ لِلإِقَامَةِ
“Apabila muadzdzin telah selesai adzan untuk shalat subuh, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum shalat subuh, beliau shalat ringan lebih dahulu dua rakaat sesudah terbit fajar. Setelah itu beliau berbaring pada sisi lambung kanan beliau sampai datang muadzin kepada beliau untuk iqamat shalat subuh.” (HR Bukhari 590)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berbaring setelah shalat sunnah subuh dalam beberapa pendapat :
Pertama. Hukumnya sunnah secara mutlak. Ini adalah madzhab Syafi’i dan ini adalah pendapat Abu Musa Al ‘Asy’ari, Rafi’ bin Khadij, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.
Kedua. Hukumnya wajib. Ini adalah madzhab Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah. Bahkan beliau terlalu berlebihan dengan menjadikannya sebagai syarat sahnya shalat subuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana dinukil Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad I/319 : “ Ini adalah termasuk pendapat yang beliau bersendiri dengan pendapat tersebut dari para imam yang lain”
Ketiga. Hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat kebanyakan para salaf. Di anatarnya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnul Musayyib, dan An Nakha’i rahimahumullah. Al Qadhi ‘Iyad rahimahullah menyebutkan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa tidak diketahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya di masjid. Seandainya beliau melakukannya, tentu akan dinukil secara mutawatir.
Keempat. Hukumnya menyelisihi perkara yang lebih utama. Ini adalah pendapat Hasan Al Bashri rahimahullah.
Kelima. Hukumnya mustahab bagi yang melakukan shalat malam agar dapat beristirahat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul ‘Arabi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah.
Keenam. Berbaring di sini bukanlah inti yang dimaksud, namun yang dimaksud adalah memisahkan antara shalat sunnah dan shalat wajib. Ini diriwayatkan dari pendapat Imam Syafi’i. Namun pendapat ini tertolak, sebab pemisahan waktu memungkinkan dilakukan dengan selain berbaring.
Kesimpulannya, yang lebih tepat dari pendapat-pendapat di atas bahwa berbaring setelah shalat sunnah subuh hukumnya mustahab (dianjurkan), asalkan memenuhi dua syarat :
Berbaring dilakukan di rumah dan bukan di masjid karena tidak pernah dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukannya di dalam masjid.
Hendaknya orang yang melakukan sunnah ini, mampu untuk bangun kembali dan tidak tertidur sehingga tidak terlambat untuk melakukan shalat subuh secara berjamaah.
Lakukanlah di Rumah
Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat-shalat sunnah.. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat sunnah di rumah dan memerintahkan agar rumah kita diisi dengan ibadah shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْعَلُوا فِى بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلاَتِكُمْ ، وَلاَ تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Jadikanlah shalat (sunnah) kalian di rumah kalian. Janganlah jadikan rumah kalian seperti kuburan.” (HR. Bukhari 1187)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَفْضَلُ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
“Sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731 dan Ahmad 5: 186, dengan lafazh Ahmad)
Termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan shalat sunnah di rumah, termasuk shalat sunnah subuh. Namun, jika dikhawatirkan ketinggalan shalat berjamaah di masjid atau terluput dari mendapatkan shaf pertama, maka diperbolehkan untuk melaksanakannya di masjid.
Jika Terluput Melakukannya
Disyariatkan bagi yang tidak sempat melakukan shalat sunnah subuh untuk melaksanakannya setelah selesai shalat subuh atau setelah terbit matahari. Hal tersebut berdasarkan dalil-dalil di bawah ini.
Hadits Abu Hurairah rahidyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهُمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Barangsiapa yang belum shalat sunnah dua rakaat subuh maka hendaknya melakukannya setelah terbit matahari”. (HR. At Tirmidzi 424, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi: 1/133).
Hadits ini menunjukkan disyariatkan bagi orang yang belum sempat melaksanakan shalat sunnah subuh agar meng-qadha’-nya setelah matahari terbit.
Boleh juga dikerjakan tepat setelah selesai shalat subuh.Dalam hadits yang lain disebutkan :
عَنْ قَيْسِ بْنِ قَهْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ؛ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الصُّبْحَ ، وَلَمْ يَكُنْ رَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، فَلَمَّا سَلَّمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ؛ سَلَّمَ مَعَهُ ، ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَي الْفَجْرِ ، وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ ، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ عَلَيْهِ
Dari Qais bin Qahd radhiyallahu’anhu, bahwasanya ia shalat shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belum melakukan shalat sunnah dua rakaat qabliyah subuh. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah salam maka ia pun salam bersama beliau, kemudian ia bangkit dan melakukan shalat dua rakaat qabliyah subuh, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat perbuatan tersebut dan tidak mengingkarinya. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi: 1/133).
Kesimpulannya, diperbolehkan meng-qadha dua rakaat shalat sunnah qabliyah subuh setelah shalat subuh yang wajib. Pelaksanaannya bisa langsung setelah selesai shalat wajib atau setelah matahari terbit.
Bersemangatlah Menjaganya
Saudaraku, bersemangatlah untuk menjaga dua rakaat ini. Amalan yang ringan, namun besar pahalanya. Dan sebaik-baik amalan, adalah amalan yang kontinyu dalam pelaksanaannya. Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda :
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinyu, walaupun sedikit.” (HR. Muslim 783)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela seseorang yang tidak kontinyu dalam beramal. Dikisahkan oleh sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku :
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari 1152)
Semoga sajian ringkas ini bermanfaat. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk senantiasa melaksanakan amalan-amalan sunnah.
Wallahul musta’an.
Minggu, 02 Juli 2017
Orang tua nabi tidak musyrik
Orang tua nabi
tidak musyrik
Bismismillahirrohmanirrohim…
Pertama Nabi Muhammad s.a.w merupakan nabi paripurna yang menyempurnakan agama islam. Nabi Muhammad dilahirkan dari rahim seorang wanita suci yang bernama Aminah binti Wahbin dan ayahnya Abdulloh bin Abdul Mutholib.
Kedua orang tua nabi hidup dimasa sebelum islam. Yaitu suatu fase kekosangan dari dakwah nabi. fase tersebut disebut FATROH, dan orang yang hidup dimasa itu disebut Ahli Fatrah yaitu, orang-orang yang hidup diantara masa dua rasul, dan rasul yang pertama tidak diutus untuk berdakwah kepada mereka, sedangkan mereka tidak menemukan masanya rasul yang kedua.
Ulama Ahli fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah orang Arab yang hidup setelah masa hidupnya Nabi Isa AS dan belum bertemu masa Nabi Muhammad Saw.
Imam Suyuthi menjelaskan tentang Ahli Fatroh: “Ketika dalil yang pasti dan tidak terbantahkan lagi telah menenjukkan bahwasannya tiada penyiksaan (di akhirat) kecuali setelah datangnya hujjah atau agama (di dunia), maka kami bisa mengetahui bahwa mereka Ahli Fatrah tidak akan disiksa.”
Para ulama Maturidiyah berkata: “Orang yang mati sebelum melewati waktu yang sekiranya bisa berangan-angan tentang agama, sedangkan dia belum sampai iman atau kufur, maka tiada siksaan baginya (selamat). Berbeda jika dia telah mempercayai kekufuran atau meninggal setelah melewati waktu sekira bisa berangan-angan dan dia tidak mempercayai apa-apa, maka dia tidak selamat.”
Maka dari itu Ahli Fatrah ada tiga Kriteria::
1. orang yang tidak bertauhid pada Allah dihatinya. Dan sebagian tidak mengikuti syariat nabi-nabi, seperti Qis bin Saida dan Zaid bin Amr. Dan sebagiannya lagi ada yang sampai mengikuti syari’at yang benar & berlaku, seperti Tubba’.
2. orang yang mengganti, merubah, menyekutukan, menciptakan syari’at sendiri, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Contoh seperti Amr bin Lahay. Yaitu, orang yang memprakarsai penyenbahan berhala. Bukan hanya itu, dia juga membuat hukum-hukum syari’at sendiri, dan mendakwahkan pada orang lain, dan orang orang menyembah jin, dan malaikat.
3. Orang yang tidak menyekekutukan dan tidak pula bertauhid serta tidak mengikuti syari’at nabi siapapun, tidak membuat hukum syari’at, dan tetap dalam keadaan seperti itu. biasanya mereka yang hidup di hutan pedalaman
Apabila ada hadits-hadits yang mengatakan tentang siksaan kepada seseorang dari mereka para Ahli Fatrah, maka dimasukkan ke bagian yang kedua. Adapun bagian yang ketiga, adalah para Ahli Fatrah yang selamat dan tidak disiksa.
Hukum Kedua Orang Tua Rasulullah Saw.
Berkata imam ibnu hajar dalam kitab Syarh Hamaziah karya Imam Bushiri:
لم تزل في الضمائر الكون تختا * ر لك الأمهات والأباء
“Senantiasa dalam rahasia alam ini*
engkau (nabi) selalu dipilihkan dari ibu ayah pilihan”
Alloh berfirman Allah ta’ala:
وتقلُّبَك فى السَّاجدين
“dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS Asy-Syuara’ [26]: 219).
Menurut salah satu penafsiran ayat tersebut, bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut adalah pindahnya nur Muhammad dari orang yang sujud kepada orang yang sujud.. Ayat ini merupakan legalisasi bahwa garis keturunan nabi Muhammad s.a.w diwariskan dan diturunkan dengan jalur suci dari masing masing individu yang dipilih alloh s.w.t dari nabi adam. Dan sabda Nabi Muhammad Saw:
(لمْ أَزَلْ أُنْقَلُ مِن الأَصْلَابِ الطّاهراتِ إلى الأَرحام الزَّكِيَّات)
“Tiada henti-hentinya aku dipindah dari punggung-punggung yang suci ke rahim-rahim yang bersih.”
Hadits ini merupakan pengejawantahan bahwasannya tidak ada sama sekali dari sekian banyak utusan nabi yang menyekutukan Allah Swt. Dan garis keturunannya merupakan garis keturunan yang terpilih. Dan tidak ada dari datuk nabi Muhammad kecuali menjadi pemimpin di masanya seperti kata sebuah syair menyebutkan:
فألئك السادة لم ترى مثلهم * عين على متتابع الاحقاب
زهر الوجوه كريمة احسابهم * يعطون سائلهم بغسر حساب
Namun masih banyak orang yang salah faham dan mengatakan bahwa kedua orang tua nabi Muhammad s.a.w Ahli Neraka. Dengan dalih bahwa mereka tidak mengucapkan dua kalimat syahadat selama hidupnya.
Al-Imam Abu Hanifah, ia mengutarakan bahwa semua para nabi itu maksum (terpelihara) dari hakikat kekufuran begitu pula segenap orang tuanya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa kelahiran para nabi harus dari kedua orang tua yang muslim atau matinya orang tua yang bukan muslim sebelum kelahiran mereka. Akan tetapi yang kedua ini, sangatlah langka ditemukan. Bahkan tidak mungkin dan tidak terjadi dikalangan orang tua perempuan (karena ia yang melahirkan).
Dikisahkan bahwa Nabiyulloh Adam dan Sayyidatuna Hawa melahirkan 40 anak dalam 20 kandungan (setiap lahir kembar) kecuali nabi “Tsis” karena Allah ingin menunjukkan karomah bagi Nabi Muhammad s.a.w dan kemudian sesaat sebelum wafat berpesan kepada anaknya agar tidak meletakkan Nur yang diwariskan ini kepada wanita sembarangan kecuali kepada yang suci.
Sebenarnya kalau kita kroscek ternyata hadits-hadits dijadikan tendensi sebagian orang yang apatis terhadap kedua orang tua Rasulullah, semuanya kurang relevan dan kontradiktif. Haditsnya-pun derajatnya ‘ahad. Oleh karenanya, hadits tersebut tidak masuk dalam hal akidah atau yang berhubungan dengan kepercayaan. sebab dalam hal akidah atau kepercayaan yg dipakai adalah hadits mutawatir.
· Jika anda bertanya : “bukankah Azar ayah nabi ibrohim juga masuk neraka???
jawabannya : adapun hadits tentang “Azar”yang benar bahwa dia bukanlah ayahanda dari nabi Ibrahim A.S. Tetapi dia adalah paman beliau. Sedangkan ayahanda beliau bernama Faruh. Sedangkan orang arab jika memanggil paman dengan sebutan ayah. Sebab mereka menganggap paman mereka seperti ayah sendiri. Bahkan Al-Qur’an sendiri menyebutkan hal ini:
وَإِلَهَ ءَابَائِكَ إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ
“Dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail.” (QS Al-Baqarah [1]: 133) Padahal yang dimaksud adalah paman Ayyub as.
· Jika anda protes dengan bertanya : “lalu apa jawaban anda atas pengakuan nabi bahwa ayahnya di neraka seperti yang disebutkan di hadits muslim???
Jawabannya : Tentang hadits yang diriwayatkan Muslim: Seorang laki-laki berkata, dimanakah ayahku wahai Rasulullah? beliau menjawab: “Di Neraka.” lalu setelah dia berpaling, Rasulullah memanggil kembali seraya berkata: “Sesungguhnya, ayahku dan ayahmu berada di Neraka.”
Ada dua opsi untuk menjawabnya yang pertama kita Wajib melakukan penakwilan. Paling jelasnya pentakwilan menurut kami, yaitu Rasulullah Saw. bermaksud dengan ucapan ‘ayah’ adalah paman beliau sesuai adat Arab yang memanggil paman dengan panggilan ayah. Inilah yang dinamakan majaz. Adapun tanda adanya majaz dalam hal ini, yaitu ayat yang akan datang penyebutannya, yang menunjukkan kebalikan dari redaksi ayat menurut yg diakui madzhab Ahlus Sunnah pada pendapat yang paling shahih (benar). sedangkan paman beliau Nabi menanggung dan merawat nabi setelah kakeknya Abdul Muthallib.
Yang kedua maksud dari jawaban beliau Nabi dalam hadits tersebut yaitu demi menyenangkan hati pemuda tersebut agar tidak murtad. Karena yang didengar pertama kali oleh dia adalah, ayahnya berada di Neraka. Jawaban ini diperkuat dengan Argument, bahwa beliau Nabi berkata yang kedua kalinya, setelah dia berpaling untuk pergi. Atau, jawaban beliau tersebut sebelum turunnya ayat kepada beliau:
وَمَاكُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
“tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’ [17]: 15). Seperti kejadian ketika beliau ditanya tentang anak-anak orang musyrik, beliau menjawab bahwa mereka bersama ayah-ayahnya (di Neraka). lalu ketika ditanya kembali masalah itu, beliau menjawab mereka di Surga
Diriwayatkan ibnu Mardawaih saat memaknai ayat
لقد جاءكم رسول من انفسكم بفتح الفاء انا انفسكم نسبا وصهرا وحسبا ليس في ابائي نت لدن ادم سفاح كلها نكاح
Beliau mengatakan bahwa nabi berkata aku paling mulia diantara kalian nasab, keturunan, dan keluarga tidak ada diantara ayahku yang terjerumus perzinahan semuanya menikah.
· Kalau anda protes dengan berkata : “Bukankah Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa orang tua nabi di neraka??
Jawabannya : Kita perlu Kritis disini sebab tidak semudah itu sekaliber Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mulia. sebagian naskah ternyata mengatakan begini:
ووالدا رسول الله صلى الله عليه وسلم ماتا على الكفر, وأبو طالب مات كافرا
Artinya “Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. meninggal dalam kekufuran sedangkan paman beliau meninggal dalam keadaan kafir.”
Dan ini jelas tidak serasi. Karena, jika beliau Abu Hanifah bermaksud berkata begitu, maka dia akan menyebutkan semua dalam satu lafazh. Yang benar adalah bahwa ada kebohongan dari oknum yang tidak bertanggung jawab yang merubah dari naskah aslinya. Mereka menyangka, bahwa huruf mim adalah mim zaidah(tambahan). Mereka ceroboh dan membuang mim itu. Karena yang benar naskahnya adalah:
ووالدا رسول الله ما ماتا على الكفر وأبو طالب عمه مات كافرا
Artinya “Dan kedua orang tua Rasulullah Saw. tidak meninggal dalam kekufuran sedangkan paman beliau meninggal dalam keadaan kafir.”
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar menuturkan dalam kaitabnya Al fatawa, mengutib dari kitab Saddaduddin: “Apa yang dikutib dari Abu Hanifah, beliau berkata dalam kitabnya al fiqhul akbar, bahwasannya kedua orang tua Nabi meninggal dalam keadaan kafir itu tidak benar. Karena naskah yang dapat dipercaya dalam kitab tersebut, tidak disebutkan hal seperti itu. Yang benar naskah tersebut, adalah karangan Abu Hanifah Muhammad bin Yusuf Al-Bukhari bukan Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi. Kami sebutkan hal itu agar supaya, orang yang berfikir tentang kutibannya selalu berfikir dan berhati-hati dalam menulis. Wallahu A’lam.
· Jika anda bertanya; “Bukankah yang mengatakan selamatnya orang tua nabi hanya Syiah Rofidloh seperti ucapan Abi Hayyan??”
Jawabannya : Ibnu Hajar mengatakan bahwa banyak kerancauan pada pendapat Abi Hayyan yang mengatakan; “Sesungguhnya hanya penganut Syiah Rafidlah yang mengatakan bahwa kedua orang tua Nabi Muhammad Saw termasuk orang-orang mukmin yang tidak disiksa. Dengan berargumen menggunakan firman Allah ta’ala: “dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS Asy-Syuara’ [26]: 219).”
Kita menolak pendapat ini Dengan Dua alasan. Pertama sebab Abi Hayyan merupakan Pakar Gramatika Nahwu Shorrof saja. sementara untuk masalah akidah dan usul, dia tidak memiliki kapasitas di dalamnya.
Kedua disini terjadi kontradiksi dengan realita yang ada Karena Ulama madzhab Asy’ari, juga mengatakan bahwa mereka Para Ahli Fatrah termasuk orang mukmin. Penisbatan yang dilakukan Abi Hayyan hanya kepada syiah Rafidlah sedangkan disana sebegitu banyaknya para Imam Ahlus Sunnah yang mengatakan seperti itu merupakan sikap yang sangat mengentengkan dan menyepelekan.”
Sudah banyak kisah mukjizat nabi yang diberikan kepada beliau seperti mengembalikan matahari saat beliau akan tertinggal sholat asar, begitu juga membelah bulan yang satu bagian di atas jabal Abi Qubais dan yang separuhnya di jabal Qoiqo’an. Segala sesuatu yang dikehandaki nabi akan dituruti oleh alloh s.w.t termasuk juga permohonan untuk menghidupkan ayah ibunya.
Imam suyuti mempunyai sepuluh karya kitab yang menekankan kewajiban menjaga Etika kepada Rasulullah & bagi orang yang menyakiti beliau, maka ia telah menyakiti Allah ta’ala. Dan satu kitab khusus membahasa secara eksplisit mengenai kedua orang tua nabi diberi nama abaway rosul.
Suatu ketika seorang qodli bernama AlFaqih AlMuhaddits Ibnul Araby AlMaliki pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata, bahwa kedua orang tua Rasulullah Saw. telah masuk Neraka. beliau menjawab: Dia telah dilaknat, karena Allah Swt. telah berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالأَخِرَة
“Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknat di dunia dan di akhirat, dan menyediakan adzab yang menghinakan bagi mereka.” (QS Al-Ahzab [33]: 57).
Dan tiada yang lebih menyayat hati dari pada dari ucapan yang mengatakan bahwa kedua orang tua Rasulullah Saw. masuk Neraka. As-Suhaili telah meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud ra. Ketika itu, ia (Ibnu Mas’ud) bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang kedua orang tuanya. Beliau menjawab: “Aku senantiasa meminta kepada Tuhanku, Dia telah mengabulkan permintaanku. Akulah yang nantinya akan menolong mereka (kedua orang tuaku) menuju tempat yang terpuji (Surga).” Hadits ini memberikan isyarat, bahwa Rasulullah Saw. akan memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya di tempat tersebut, agar supaya kedua orang tuanya mendapatkan taufik berupa keta’atan ketika adanya cobaan besar yang terjadi di hari kiamat nanti. Seperti yang diterangkan dalam beberapa hadits pula.
Imam Qurtubi dalam tafsirnya berkata: “Secara akal dan syara’, tidak ada yang mustahil dan ketidak mungkinan tentang menghidupkan kedua orang tua Rasulullah lalu mewafatkan kembali. Karena hal seperti itu, juga diterangkan dalam Al-Qur’an Al-Karim tentang menghidupkan orang yang dibunuh dari Bani Israil, hingga dia memberi kabar tentang siapa pembunuhnya.
Al habib umar bin sumaith berkata dalam kitab hidayatul ikhwan: banyak orang berpendapat dari kalangan ahli hadits bahwa nabi menghidupkan dan mengislamkan orang tuanya dengan dalil hadits aisyah yaitu Dari Sayidah Aisyah ra.: “Rasulullah Saw. turun dari bukit Al-Hajun (bukit di Makkah, berupa pemakaman) dalam keadaan sangat duka cita dan bersedih. Lalu, mendaki kembali dengan kehendak Allah Azza wa Jalla. Setelah itu, keluar dengan keadaan sangat senang dan gembira. Kemudian dia berkata: “Aku telah meminta kepada Tuhanku –Azza wa Jalla-, Lalu, Dia menghidupkan ibundaku untukku. Setelah ibundaku beriman kepadaku, Dia mengembalikan lagi.”
walaupun hadits ini dikatakan lemah menurut sebagian tapi menurut ahli haqiqat tidak. ulama berkata dalam syairnya:
ايقنت ان ابى النبي وامه * احياهما الرب الكريم الباري
حتى له شهدا بصدق رسالة حقا وتلك كرامة المختار
هذا الحديث ومن يقول بضعفه * فهو الضعيف عن الحقيقة عاري
* Jika anda protes dengan berkata: “kalau anda katakana ahlil fatroh bukan ahli neraka lantas untuk apa orang tua nabi dihidupkan??
Jawabannya: faidahnya agar orang tua nabi mendapat keutamaan atas apa yang tidak didapatkan ahli fatroh karena Endingnya orang tua nabi harus berkumpul dengan muslimin agar selamat dari siksa. Begitu pula tingkatan derajat orang yang meyakini alloh dan islam seutuhnya lebih mulia daripada yang tidak sempat meyakini.
Al Imam nashiruddin addimsyiqi mengatakan dalam gubahan sya’ir nya:
Karena cinta Allah kepada Nabi dengan menambah keutamaan-Nya
Atas keutamaan (yang sudah diberikan) dan Dialah Maha Menyantuni
Lalu menghidupkan ibundanya begitu pula ayahandanya
Demi beriman kepadanya dari keutamaan dan kebaikan-Nya
Terimalah kabar itu, karena Allah Maha Kuasa atas segalanya
Meskipun hadits yang mengatakan itu dlo’if adanya
Dan Hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi derajat hasan:
(إنّ الله خلَق الخَلْقَ فجعلني من خيرِ فِرَقِهِمْ ثمّ تَخَيَّر القبائلَ فجعلني من خير قبيلةٍ، ثمّ تخيّر البيوتَ وجعلني في خير بيوتهم، فأنا خيرُهم نفسًا –أي روحا وذاتا- وخيرهم بيتا –أي أصلا-)
“Sungguh, Allah telah menciptakan makhluk lalu menjadikanku dari sebaik-baiknya golongan dari mereka. Kemudian memilih dari beberapa kabilah dan menjadikanku dari sebaik-baiknya kabilah. Kemudian memilih dari beberapa rumah dan menjadikanku dari sebaik-baiknya rumah. Akulah sebaik-baiknya diri (ruh dan dzat) dari mereka dan sebaik-baiknya rumah (garis keturunan).”
· Jika anda kembali protes dengan berkata: “Mengapa anda bersikukuh bahwa kedua orang tua nabi tidak disebut Kafir???
Jawabannya : Karena, orang kafir tidak berhak dikatakan ‘orang pilihan’, ‘orang mulia, ‘orang suci’. Bahkan alquran menyebutnya Najis. Seperti dalam ayat:
“Sesungguhnya orang-orang musyrik terhukumi najis.”
Sedangkan Doktrin hadist secara eksplisit menjelaskan bahwa semua orang tua Rasulullah adalah terpilih, mulia, suci. Dan juga, Dan juga Allah Swt. berfirman: “dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS Asy-Syuara’ [26]: 219).
· Jika anda protes dengan bertanya; “Bukankah Imam Nawawi berkata bahwa Ahli fatroh menjalani rutinitas sesuai adat arab yang percaya berhala masuk neraka???
Jawabannya : “Mengenai perkataan Imam Nawawi dalam mengomentari hadits Muslim: “Orang yang meninggal dalam masa fatroh dengan menjalani rutinitas sesuai adat Arab yaitu menyembah berhala, dia akan masuk Neraka yang dimaksud adalah karena mereka menyembah berhala sedangkan sebelumnya sudah ada dakwah ismail dan nabi ibrohim. Dan mengetahui bahwa itu (ajaran ibrohim) ajaran yang benar. Dan bisa saja ucapan imam Nawawi tersebut ditakwil (tafsir) dengan membawakan ucapan itu bagi orang-orang yang menyembah berhala yang sudah diriwayatkan dalam hadits-hadits bahwa mereka akan masuk Neraka.
Berhati hatilah dalam menyebutkan kekurangan kedua orang tua Rasulullah Saw. tentusaja itu akan menyakiti beliau. Karena menyakiti beliau, akibatnya akan fatal dengan adanya hadits yang diriwayatkan Ath-Thabari: “Janganlah kalian semua menyakiti orang-orang hidup dengan memaki orang-orang yang sudah meninggal.” .
orang tua nabi bukan orang sembarangan, ayahnya Abdulloh Bin Abdul Mutholib lelaki tampan yang jauh dari pergaulan jahiliyah,.beliau juga saat bayi tidak jadi disembelih dan diganti dengan fidyah 100 ekor unta. hal ini senada dengan syair pujian atas Ayahanda Nabi yang dilantunkan ibundanya menjelang wafat dan pengakuan ibundanya atas kenabiannya. Sambil menangis Aminah berkata:
بارك الله فيك من غلام * يابن الذي من حومة الحمام
نجا بعون الملك المنعام * فودي غدات الضرب بالسهام
بمائة من ابل سوام * ان صح ما ابصرت في المنام
فأنت مبعوث الى الانام * من عند ذي الجلال والاكرام
تبعث في الحل وفي الحرام * تبعث بالتحقيق والاسلام
دين ابيك البر ابراهاما * فالله انهاك عن الاصنام
Sementara ibundanya sendiri merupakan wanita cantik, suci yang jauh dari pergaulan jahiliyah. bahkan disaat wafatnya segenap Jin menangis dan melantunkan syair:
تبكي الفتات البرة الامينة * ذات الجمال العفة الرزينة
زوجة عبد الله والفرينة * أم نبي الله ذي السكينة
وصاحب المنبر في الندينة * صارت لدى حفرتها رهينة
Kesimpulannya bahwa Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah bersepakat bahwa orang tua nabi termasuk Ahli surga atas dua kemungkinan yaitu keimanannya setelah di bangkitkan atau karena mereka berada pada masa Fatroh. Sementara yang bersikukuh mengatakan bahwa orang tua Nabi kafir adalah muktazilah dan pengikutnya.
kita harus mengindari agar tidak mengingkari kejadian ini. Sebab jika kita mengingkari maka kita bertentangan dengan Al-Qur’an dan Ijma’, selain itu kejadian bangkitnya orang tua nabi ini sangat mungkin terjadi secara akal dan syara’ atas dasar kemulyaan dan kehususan yang tidak tertolak oleh Al-Qur’an dan Ijma’. Adapun perkataan yang mengatakan bahwa tidak berguna iman setelah wafat dikecualikan bagi yang mendapat kehususan dan kemulyaan..
*Moh Nasirul Haq
Santri Rubat Syafi’i Yaman
Tarim 2016
Referensi :
– Kitab Mujizul Kalam Syarah Aqidatul Awam karya Syidi Syeh Muhammad Ba’atiyah Cet. Maktabah Tarim Haditsah Tarim. Hal.37- 42
– Kitab Ghoyatul Muna Syarh Safinatun Najah karya Syidi Syeh Muhammad Ba’atiyah Cet. Maktabah Tarim Haditsah Tarim. Hal.47-53
– Kitab Abaway Rosul karya imam suyuthi Cet. Darul Jawamik. Hal.10-15
Sabtu, 01 Juli 2017
Halal bi halal
Asal Usul Tradisi
“Halal Bi Halal”
sejarah halal bi halal
Setelah hari lebaran Idul Fitri biasanya kaum muslim di Indonesia sering mengadakan acara Halal Bi Halal, Namun tahukah anda bahwasanya penggagas pertama istilah “halal bi halal” ini sebenarnya adalah KH. Abdul Wahab Chasbullah yang juga merupakan penggagas berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama.
Sejarahnya begini: Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.

Bung Karno Dan KH. Abdul Wahab Hasbullah

Pada tahun 1948, yaitu di pertengahan bulan Romadhan, Bung Karno memanggil KH. Wahab Chasbullah ke Istana Negara, untuk dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat.
Kemudian Kyai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturrahim, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, dimana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturrahim.
Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturrahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
“Itu gampang”, jawab Kyai Wahab.
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’”, tegas Kyai Wahab.

Dari saran kyai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halal bi Halal’ dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa. Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal bi Halal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara Kyai Wahab menggerakkan warga dari bawah.
Jadilah Halal bi Halal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.Kalau kegiatan halal bihalal sendiri, kegiatan ini dimulai sejak KGPAA Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.
Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya seperti ini ditiru oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.akan tetapi itu baru kegiatannya bukan nama dari kegiatannya. kegiatan seperti dilakukan Pangeran Sambernyawa belum menyebutkan istilah “Halal bi Halal”, meskipun esensinya sudah ada.
Namun, istilah “halal bi halal” ini secara nyata dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah.dengan analisa pertama (thalabu halaal bi thariiqin halaal) adalah: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Atau dengan analisis kedua (halaal “yujza’u” bi halaal) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan..