4 PINTU MASUK MAKSIAT
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa agama Islam terbagi menjadi dua bagian besar. Yang pertama, adalah menjalankan segala macam perintah Allah, dan bagian yang lain adalah menjauhi segala macam larangan.
Di situlah sebenarnya syaithan bermain. Syaithan membujuk manusia agar meninggalkan semua ketaatan, dan membujuk manusia mengerjakan perkara – perkara yang dilarang oleh-Nya.
Imam Ibn Qayyim menyebutkan bahwa, senjata syaithan ada dua. Yang pertama adalah syubhat dan yang kedua adalah syahwat. Syubhat berkaitan dengan pemikiran. Dimana seseorang menganggap sesuatu sebagai ilmu atau kebaikan sedang sesuatu itu bukan bagian dari syariat. Penyakit syubhat ini misalnya: keraguan, kemunafikan, bid’ah, kekafiran, dan kesesatan lainnya.[1]
Adapun syahwat, adalah masuk dalam perkara nafsu. Penyakit syahwat ini bisa berupa rakus terhadap jabatan, tamak terhadap harta, menginginkan posisi dan popularitas, menyenangi perkara-perkara keji, seperti zina, meminum khamr, berjudi, serta berbagai kemaksiatan lainnya.
Dengan dua senjata itu, ternyata syaithan juga sudah menarget empat pintu yang bisa dimasuki olehnya lewat maksiat syahwat. Empat pintu itu adalah,
Pertama, al-Lahazaat (Pandangan Mata)
Lirikan adalah pelopor atau utusan ‘syahwat’. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan modal dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan pandangannya tanpa kendali diri, nisacaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri ke jurang kebinasaan.
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassallam bersabda,
“Janganlah kamu ikuti pandangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya). Pandangan (pertama) itu boleh, tapi tidak dengan pandangan selanjutnya” (HR at-Turmidzy, hadits Hadits Gharib)
Di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassallam
“Pandangan itu adalah anak panah beracun milik iblis. Maka barang siapa yang memalingkan pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah semata, maka Allah akan memberikan di hatinya kenikmatan hingga hari kiamat” (HR. Ahmad)
Beliau juga bersabda,
“Palingkanlah pandangan kalian, dan jagalah kemaluan kalian” (HR. at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir)
Pandangan adalah pangkal petaka yang menimpa manusia. Sebab, pandangan akan melahirkan lintasan dalam hati, kemudian lintasan akan melahirkan pikiran, dan pikiran akan melahirkan syahwat, dan syahwat akan membangkitkan keinginan, kemudian keinginan itu menjadi kuat dan berubah menjadi tekad yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama tidak ada yang menghalanginya.
Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli hikmah bahwa, “Bersabar dalam menahan pandangan mata (bebannya) lebih ringan disbanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya”.
Pandangan yang dilepaskan begitu saja akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang dan hati panas terasa disulut. Terkadang mata seorang hamba melihat sesuatu, yang dia tidak sanggup menahan diri, membendung keinginan, namun tak kuasa mewujudkan keinginannya, tentu jiwanya sangat tersiksa; dapat melihat namun tak kuasa menjalankannya.
Sungguh aneh, pandangan merupakan anak panah yang tidak mengena sasaran yang dipandang, sementara anak panah itu benar – benar mengena hati orang yang memandang ?.
Suatu hal yang mengherankan lagi, bahwa satu lirikan dapat melukai hati dan (dengan lirikan kedua) berarti dia menorah luka baru di atas luka lama; namun ternyata perihnya luka – luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus melukainya.
Oleh karena itu dikatakan, “Sesungguhnya menahan pandangan mata lebih mudah dari pada menahan penyesalan berkepanjangan”.
Kedua, al-Khatarat (Pikiran yang Terlintas di Hati)
Adapun al-Khatarat (pikiran yang terlintas di hati) maka urusannya lebih rumit. Di sinilah tempat bermulanya aktivitas, yang baik atau pun yang buruk. Dari sinilah lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah menjadi tekad yang bulat.
Maka siapa yang mampu mengendalikan pikiran – pikiran yang melintas di hatinya, niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan menundukkan hawa nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mngendalikan pikiran – pikirannya, maka hawa nafsunya akan berbalik menguasainya. Dan barang siapa yang menganggap remeh pikiran – pikiran yang melintas di hatinya, maka ia akan diseret menuju kebinasaan secara paksa.
Pikiran – pikiran itu akan terus melintas di hati seorang, sehingga akhirnya dia akan menjadi angan – angan tanpa makna (palsu).
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَعۡمَٰلُهُمۡ كَسَرَابِۢ بِقِيعَةٖ يَحۡسَبُهُ ٱلظَّمَۡٔانُ مَآءً حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءَهُۥ لَمۡ يَجِدۡهُ شَيۡٔٗا وَوَجَدَ ٱللَّهَ عِندَهُۥ فَوَفَّىٰهُ حِسَابَهُۥۗ وَٱللَّهُ سَرِيعُ ٱلۡحِسَابِ ٣٩
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya (QS. an-Nur: 39)
Orang yang paling nista cita – citanya dan paling hina jiwanya adalah orang yang merasa puas dengan angan – angan semu. Dia genggam angan – angan itu untuk dirinya dan dia pun merasa bangga dan senang dengannya. Padahal demi Allah, angan – angan itu adalah modal orang – orang pailit, dan barang dagangan para pengangguran serta merupakan makanan pokok jiwa yang hampa, yang bisa merasa puas dengan bayangan dalam khayalan, dan angan – angan palsu.
Angan – angan adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi manusia. Dia melahirkan sikap lalai, penderitaan dan penyesalan. Orang yang suka berhayal saat tak kuasa menjamah realita yang dia inginkan ke dalam hatinya; dia mendekap dan memeluknya. Selanjutnya dia akan merasa puas dengan gambaran – gambaran palsu yang dikhayalkan oleh pikirannya. Padahal, semua itu, sedikit pun tidak berfaedah, seperti orang yang sedang lapar dan dahaga, membayangkan sedang makan dan minum, padahal dia tidak sedang makan dan minum.
Khatharat, pikiran yang melintas di hati itu terbagi banyak macam, namun pada pokoknya ada empat:
Pikiran yang mengarah untuk mencari keuntungan dunia / materi.
Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian dunia/materi.
Pikiran yang mengarah untuk mencari kemaslahatan akhirat.
Pikiran yang mengarah untuk mencegah kerugian akhirat.
Semestinya, seorang hamba menjadikan pikiran – pikiran dan keinginannya hanya berkisar pada empat macam di atas. Bila semua bagian itu ada padanya, maka selagi mungkin dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya untuk yang lain. Kalau ternyata pikiran – pikiran yang datang itu banyak dan bertumpang tindih, maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih penting, yang dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan untuk itu, kemudian mengakhirkan yang tidak terlalu penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk itu.
Tinggallah sekarang dua bagian lagi, yaitu:
Pertama, yang penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Kedua: yang tidak penting, namun dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Dua bagian ini sama – sama mempunyai alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir sikap ragu dan bimbang untuk memilih. Bia dia dahulukan yang penting, dia khawatir akan kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia mendahulukan yang lain, dia akan sesuau yang penting. Begitulah terkadang seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak dapat dicapai kecuali dengan mengorbankan yang lain.
Disinilah akal, bijak dan pengetahuan itu berperan. Di sini akan diketahui siapa orang yang sukses, dan siapa orang yang merugi. Kebanyakan orang yang mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan anda lihat dia mengorbankan sesuatu yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan untuk itu, demi melakukan sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan anda tidak akan menemukan seorangpun yang selamat dari hal seperti itu. Hanya saja, ada yang jarang dan ada pula yang sering menghadapinya.
Ketiga, al-Lafazhat (Ungkapan Kata – Kata)
Adapun tentang al-Lafazhat (ungkapan kata – kata), maka cara menjaganya adalah dengan mencegah keluarnya kata – kata atau ungkapan yang tidak bermanfaat dari lidahnya. Dengan cara tidak berbicara kecuali dalam hal yang diharapkan bisa memberikan keuntungan dan tambahan agama. Bila ingin berbicara, hendaklah seorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan keuntungan atau tidak ?. Bila tidak menguntungkan, tahan lidah agar tidak berbicara, dan bila diperkirakan ada keuntungannya, lihat lagi, apakah ada kata – kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata – kata tersebut ? Bila memang ada, maka janganlah sia – siakan.
Yahya bin Mu’adz berkata, “hati itu laksana panci yang sedang menggodok isinya, dan lidah bagaikan gayungnya, maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab lidah orang itu sedang menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis atau asam, tawar atau asin, dan sebagainya. Ia menjelaskan kepada anda bagaimana “rasa” hatinya, melalui ucapan lidahnya, artinya: sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada dalam dalam panci itu dengan dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya, anda dapat merasakan apa yang ada dalam hatinya dengan lidahnya, sebagaimana anda juga mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.
Dan yang mengherankan adalah bahwa banyak orang yang merasa mudah menjaga dirinya dari makanan yang haram, perbuatan aniaya, zina minum khamr dan lain – lain namun sangat sulit mengawasi gerak lidahnya, sampai – sampai orang yang dikenal punya pemahaman agama, dikenal dengan kezuhudan dan kekhusyu’an ibadahnya, juga masih mengucapkan kata – kata yang dapat mengundang kemurkaan Allah SWT, tanpa dia sadari bahwa satu kata saja dari apa yang dia ucapkan dapat menjauhkannya (dari Allah dengan jarak) lebih jauh dari jarak antar timur dan barat. Dan betapa banyak anda lihat orang yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan kotor dan aniaya, namun lidahnya tetap saja membicarakan aib orang – orang, baik yang sudah mati atau pun yang masih ihdup, dan dia tidak memperdulikan ucapannya.
Karena itu, Rasulullah Salallahu ‘alaihi wassallam bersabda, “Termasuk (salah satu tanda) kebaikan Islam seseorang yaitu dia meningglkan hal – hal yang tidak berguna baginya”
Empat, al-Khuthuwaat (Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan)
Adapun tentang al-Khuthuwat, maka hal ini bisa dicegah dengan cara seseorang hamba tidak menggerakkan kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan mendatangkan pahala dari Allah. Bila ternyata langkah kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka menyurutkan langkah tersebut tentu lebih baik.
Tergelincirnya seorang hambar dari perbuatan salah itu ada dua macam: tergelincirnya kaki dan lidah. Oleh karena itu, kedua macam ini disebutkan berurutan oleh Allah dalam firman-Nya.
وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا ٦٣
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan (QS. al-Furqan: 63)
Di sisi lain, Allah menjelaskan bahwa sifat mereka itu adalah istiqamah dalam ucapan dan langkah – langkah mereka, sebagaimana Allah juga mensejajarkan antara pandangan dan lintasan pikiran, dalam firman-Nya.
يَعۡلَمُ خَآئِنَةَ ٱلۡأَعۡيُنِ وَمَا تُخۡفِي ٱلصُّدُورُ ١٩
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati (QS. Ghafir: 19)
Semua hal yang kami sebutkan di atas adalah sebagai pendahuluan bagi penjelasan akan haramnya zina, dan kewajiban menjaga kemaluan.
Wallahu a'lam.