Menghormati Madzhab Suatu Negri Merupakan Tanda Kefaqihan Seorang Faqih
Memilih suatu pendapat fiqh di antara pendapat-pendapat yang ada hukumnya boleh, Ibnu Qudamah dalam kitab beliau Raudhah an-Nadzir berkata:
وإذا كان في البلد مجتهدون فللمقلد مساءلة من شاء منهم. ولا يلزمه مراجعة الأعلم، كما نقل في زمن الصحابة؛ إذ سأل العامّة الفاضل والمفضول في أحوال العلماء[1]
Apabila di suatu negri terdapat banyak mujtahid, maka bagi orang awam boleh mengambil pendapat yang mana saja yang dia mau. Tidak mesti mengambil pendapat mujtahid yang paling alim. Ini seperti dinukilkan dari zaman Sahabat, ketika seorang yang awam boleh bertanya kepada ulama, baik ulama itu yang utama atau yang biasa saja.
Namun bagi orang yang alim yang faqih, memperhatikan madzhab fiqh suatu negri, terutama negri yang dia tempati, merupakan salah satu tanda kefaqihannya.
Mari kita lihat beberapa potongan sejarah dari kisah-kisah para alim, para faqih di masa lalu:
قال الوزير أبو المظفر يحيى بن محمد بن هبيرة: حكى لي الشيخ محمد بن يحيى عن القاضي أبى يعلى أنه قصده فقيه ليقرأ عليه مذهب أحمد فسأله عن بلده فأخبره فقال له إن أهل بلدك كلهم يقرأون مذهب الشافعي فلماذا عدلت أنت عنه إلى مذهبنا فقال له إنما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت فقال ان هذا لا يصلح فانك إذا كنت في بلدك على مذهب أحمد وباقي أهل البلد على مذهب الشافعي لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا بل كونك على مذهب الشافعي حيث أهل بلدك على مذهبه أولى ودله على الشيخ أبى إسحاق.[2]
Berkata al-Wazir Ibnu Hubairah (w 560 H):
Syekh Muhammad bin Yahya menceritakan kisah al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali (w 458 H), bahwasannya beliau didatangi seorang ahli fiqh untuk belajar madzhab Hanbali, maka al-Qodhi bertanya tentang asal negri ahli fiqh ini, setelah dijawab al-Qodhi berkata:
Sesungguhnya penduduk negri mu semuanya bermadzhab Syafi’i, lalu mengapa engkau berpaling pada madzhab Hanbali?
Dia menjawab: sesungguhnya aku berpaling ke madzhab mu karena aku mengagumimu.
Al-Qodhi berkata: sikapmu ini tidaklah pantas, karena apabila kamu kembali ke negri mu dengan madzhab Hanbali sedangkan penduduk negrimu bermadzhab Syafi’i, kamu tak akan sama dengan mereka dalam teknis Ibadah, orang-orang juga tidak akan belajar kepadamu dan kamu akan menciptakan bibit permusuhan dan menimbulkan pertikaian.
Justru yang lebih utama bagimu adalah tetap bermadzhab syafi’I sebagaimana penduduk negrimu. Kemudian al-Qodhi membawa ahli fiqh ini menemui Abu Ishaq as-Syairozi as-Syafi’i (w 476 H). (al-Musawwadah Fii Ushul al-Fiqh)
Kemudian kisah Imam Malik dengan seseorang dari Kufah:
قال علي بن جعفر: أخبرنا إسماعيل ابن بنت السدي، قال: كنت في مجلس مالك، فسئل عن فريضة، فأجاب بقول زيد، فقلت ما قال فيها علي وابن مسعود رضي الله عنهما فأومأ إلى الحجبة، فلما هموا بي، عدوت، وأعجزتهم، فقالوا: ما نصنع بكتبه ومحبرته؟ فقال: اطلبوه برفق. فجاؤوا إلي، فجئت معهم، فقال مالك: من أين أنت؟ قلت: من الكوفة. قال: فأين خلفت الأدب؟ فقلت: إنما ذاكرتك لأستفيد. فقال: إن عليا وعبد الله لا ينكر فضلهما، وأهل بلدنا على قول زيد بن ثابت، وإذا كنت بين قوم، فلا تبدأهم بما لا يعرفون، فيبدأك منهم ما تكره[3]
Ali bin Ja'far berkata: Ismail bin Bint as-suddy telah menceritakan pada kami, beliau berkata: aku pernah duduk di majlis Imam Malik (w 179 H), beliau ditanya tentang masalah waris (faroidh), maka imam Malik menjawab dengan membawakan pendapat Zaid bin Tsabit.
Kemudain aku menimpali: Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud tidak berpendapat seperti itu. Maka imam malik memberi isyarat kepada penjaga, ketika para penjaga hendak menangkapku, aku menghindar dan membuat mereka tak berdaya.
Kemudian para penjaga berkata: apa yang harus kami lakukan pada kitab-kitaba dan pena nya? Imam Malik menjawab: ajaklah dia dengan lembut. Kemudian mereka datang kepadaku dan aku pergi bersama mereka (kepada imam Malik).
Imam malik kemudian bertanya: kamu dari negri mana? aku menjawab: dari Kufah, lalu kemana adabmu? Saya menyebutkan (pendapat itu) kepada mu agar aku bisa mendapat faidah.
Imam Malik menjawab: sesungguhnya keutamaan Ali dan Ibnu Mas’ud tidak dapat dipungkiri, tetapi penduduk negri kami (Madinah) mengambil pendapatnya Zaid bin Tsabit. (kitab Siar A’lam an-Nubala)
Bila kamu dalam suatu masyarakat, janganlah memulai dengan apa yang mereka tidak ketahui, sehingga akhirnya mereka berbuat susuatu yang tak menyenangkanmu.
Kemudian kisah Imam Malik dengan Khalifah al-Manshur:
اجعل هذا العلم علما واحدا، فقال له: إن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم تفرقوا في البلاد فأفتى كل في مصره بما رأى، فلأهل المدينة قول، ولأهل العراق قول تعدوا فيه طورهم.[4]
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berkata kepada Imam Malik: wahai Abu Abdillah jadikanlah ilmu (fiqh) itu satu madzhab saja.
Imam Malik menjawab: sesungguhnya para sahabat Rasulallah ﷺ telah berpencar ke berbagai negri, dan mereka berfatwa di tiap negri itu sesuai dengan apa yang mereka lihat. Peduduk Madinah punya pendapat (madzhab) sendiri, begitu juga penduduk Irak, (apabila engkau paksakan satu madzhab) engkau telah melampaui batas. (kitab Syarh Zarqoni ‘Ala Syarh al-Muwatho’)
ترتيب المدارك وتقريب المسالك (2/ 72)
إن أهل العراق لا يرضون علمنا، فقال أبو جعفر: يضرب عليه عامتهم بالسيف، ونقطع عليه ظهورهم بالسيا: فقلت يا أمير المؤمنين لا تفعل فإن الناس قد سبقت لهم أقاويل وسمعوا أحاديث وروايات وأخذ كل قوم بما سبق إليهم وعملوا به ودالوا له من اختلاف أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم وغيرهم وإن ردهم عما اعتقدوا شديد، فدع الناس وما هم عليه وما اختار أهل كل بلد لأنفسهم
Dalam kitab Tartib al-Madarik disebutkan:
Imam Malik berkata kepada khalifah al-Manshur: Sesungguhnya penduduk Irak tidak puas dengan ilmu kami, maka khalifah menjawab: kami akan penggal dengan pedang dan kami pecut punggung mereka dengan pecut.
Imam Malik menjawab: jangan lakukan wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya orang-orang sudah mendapat pendapat-pendapat (ulama), mendengar hadits-hadits dan riwayat-riwayat, kemudian setiap mereka mengambil pendapat-pendapat itu, beramal dengan pendapat itu, yang mana itu merupakan perkara yang diperselisihkan para sahabat dan selain mereka (tabi’in).
Apabila engkau hendak memaksakan kepada mereka (pendapatku) yang menyelisihi apa yang selama ini mereka yakini, maka engkau sungguh terlalu. Biarkanlah orang-orang dengan kebiasaaanya, yang mana setiap penduduk negri telah memilih (pendapatnya) masing-masing.
Dari kisah-kisah ulama salaf di atas, kita bisa mengambil pelajaran, bahwa walaupun memilih pendapat fiqh itu boleh yang mana saja, tetapi hal lain, ada aspek lain yang mesti kita pertimbangkan, yaitu aspek sosial.
Ketika qunut ada yang mengatakan boleh dan tidak boleh, maka kita boleh mengambil yang manapun yang kita yakini, tetapi akan menjadi masalah, ketika pedapat yang kita pilih, kita terapkan, kita ajarkan dan kita paksakan pada masyarakat yang berbeda pilihan dengan kita.
Ketika di Indonesia misalnya, masyarakat terbiasa melakukan Qunut karena mengambil pendapat madzhab Syafi’i, bukan berarti yang mengatakan bahwa Qunut subuh bid’ah adalah salah, tetapi yang salah adalah sikap memaksakan pendapat yang bebeda dengan apa yang selama ini masyarakat Indonesia yakini, apalagi kalau sampai mengklaim bahwa hanya pendapat dia yang benar. Terlalu.
Lalu kemudia bila ada komentar: bukan masalah madzhab suatu negri, tetapi yang diamalkan adalah yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunah, yang sesuai dalil.
Nampaknya kita harus lebih rajin belajar lagi, berguru lebih banyak lagi dan berdo’a lebih ikhlas lagi.
Ilmu fiqh itu adalah ilmu yang wilayah dalilnya dzanniyat, sebatas praduga, ada yang praduga akan kebenarannya kuat, ada juga yang tidak terlalu kuat, tergantung keluasan ilmu dan ijtihad para mujtahid masing-masing, sehingga tidak ada satupun di antara Mujtahid yang mengkalim kebenaran mutlak, jikalau pun ada pasti itu bukan atas dasar dalil dzanniyat.
Oleh sebab itulah ada yang namanya perbedaan pendapat, bukan karena para mujtahid tidak mengerti dalil, justru mereka ahlinya, hanya saja karena dalil-dalil ini sifatnya dzan (praduga), maka para mujtahid berbeda-beda dalam sudut pandangnya.
Meskipun kebenaran itu hanya satu, namun kebenaran yang satu ini hanya Allah yang tau, sengaja Allah tidak singkap, agar manusia diberi keluasan memilih pendapat yang paling maslahat dan paling memberi solusi atas setiap permasalahan yang ada.
Lagi pula, memilih dan menentukan kuat tidaknya sebuah pendapat adalah tugas mujtahid, sedangkan bagi kita orang awam? Tidak usahlah kita mencuri tugas mereka, sadarlah dengan kemampuan kita, alhamdulillah kita diberi kemudahan oleh Allah, yaitu tinggal bertanya, bertanya kepada ulama, tentu ulama yang kredibel, yang jelas ilmu dan amalnya.
Tentu sembari terus belajar, beramal, belajar, beramal, ikhlas dalam keduanya, Insya Allah, Allah akan tunjukan jalan yang benar.
Wallahu a’lam
Menghormati Madzhab Suatu Negri Merupakan Tanda Kefaqihan Seorang Faqih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar