Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 30 Maret 2019

Mendoakan yg hendak pergi haji

Do’a untuk Orang yang Hendak Pergi Haji

Apakah ada do’a khusus untuk keselamatan orang yang pergi haji?

Dalam masalah ini tentu kita harus merujuk pada dalil. Pergi haji sama dengan bentuk safar lainnya. Sehingga yang lebih tepat dalam masalah ini adalah cukup membacakan seperti halnya do’a saat safar. Berikut ada do’a yang bisa diamalkan.

1- Do’a orang yang hendak pergi haji pada orang yang ditinggalkan

أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ

“Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’uhu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya).”

Dalilnya adalah,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ »

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi meninggalkanku dan beliau mengucapkan, “Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’uhu (Aku menitipkan kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya)” (HR. Ibnu Majah no. 2825 dan Ahmad 2: 358. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2– Do’a orang yang ditinggalkan pada orang yang hendak pergi haji

أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

“Astawdi’ullaha diinaka, wa  amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”.

Dalilnya adalah,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ لِلرَّجُلِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا ادْنُ مِنِّى أُوَدِّعْكَ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوَدِّعُنَا.فَيَقُولُ « أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ »

Sesungguhnya Ibnu ‘Umar pernah mengatakan pada seseorang yang hendak bersafar, “Mendekatlah padaku, aku akan menitipkan engkau sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitipkan kami, lalu beliau berkata: “Astawdi’ullaha diinaka, wa  amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada Allah)”.(HR. Tirmidzi no. 3443 dan Ahmad 2: 7. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Begitu pula bisa membaca do’a pada orang yang pergi berhaji,

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى وَغَفَرَ ذَنْبَكَ  وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Zawwadakallahut taqwa wa ghofaro dzanbaka wa yassaro lakal khoiro haytsuma kunta (Semoga Allah membekalimu dengan takwa, mengampuni dosa-dosamu, dan memudahkanmu di mana saja engkau berada).”

Dalilnya adalah,

عَنْ أَنَسٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى أُرِيدُ سَفَرًا فَزَوِّدْنِى. قَالَ « زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى ». قَالَ زِدْنِى. قَالَ « وَغَفَرَ ذَنْبَكَ ». قَالَ زِدْنِى بِأَبِى أَنْتَ وَأُمِّى. قَالَ « وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ »

Dari Anas, ia berkata, “Seseorang pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata pada beliau, “Wahai Rasulullah, aku ingin bersafar, bekalilah aku.” Beliau bersabda, “Zawwadakallahut taqwa (moga Allah membekalimu dengan ketakwaan).” “Tambahkan lagi padaku”, mintanya. Beliau bersabda, “Wa ghofaro dzanbaka (moga Allah ampuni dosamu).” “Tambahkan lagi padaku, demi ayah dan ibuku”, mintanya. Beliau bersabda, “Wa yassaro lakal khoiro haytsuma kunta (moga Allah memudahkanmu di mana saja engkau berada).”  (HR. Tirmidzi no. 3444. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Dimasyarakat sekarang ini banyak ritual atau acara sebelum keberangkatan ibadah haji atau umroh seperti walimatussafar,
bershilaturrohiim,bertawasul dan saling doa mendoakan,jelas acara seperti itu tidak ada contoh dari rosulullah saw,tetapi walapun tidak ada contoh dari rosulullah saw,tetap didalamnya banyak nilai kebaikan,dan rosulullah memerintakan untuk melakukan kebaikan dan allahpun memerintahkan melakukan kebaikan,berarti selama kegiatan tersebut didalamnya ada nilai kebaikan kenapa tidak,ayo kita rawat dan pertahankan kebiasan baik tersebut,karena ritual tersebut hanya cesing atau cangkang,yang penting isinya,
Allahu a'lam,

Ustadz Husni Thamrin (ugm)..

Isro miroj

HAKIKAT ISRA’ MI’RAJ
Isra’: berasal dari kata اسرى – يسرى – اسراءyang artinya berjalan di waktu malam.
Mi’raj: berasal dari kataاعرج – يعرج – اعراج yang berarti naik ke atas, معراج adalah alat untuk naik (tangga).
Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Nabi saw dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha kemudian naik ke langit ke tujuh lalu bertemu dengan Allah di Sidratul Muntaha yang kemudian Nabi saw menerima perintah shalat kemudian kembali ke bumi pada malam yang sama sebelum subuh. Peristiwa ini terjadi pada malam ke 27 Rajab/tahun ke sebelas dari kenabian (622M).
Ulama’ berbeda pendapat tentang apakah isra’ mi’raj itu dilaksanakan dalam satu malam atau lebih, dalam keadaan tidur atau bangun dan dilakukan hanya sekali atau berkali-kali?
Ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut, antara lain:
1. Menurut sebagian ahli tafsir dan ahli hadits, bahwa isra’ mi’raj itu dilaksanakan dalam satu malam dan dalam keadaan bangun. Sebagaimana firman Allah yang artinya: Maha Suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. (Q.S. Al-Isra’: 1). Kata ‘abd (hamba) dalam ayat tersebut mewakili ruh dan jasad, seandainya isra’ mi’raj itu dilakukan dalam keadaan tidur maka Allah tidak menggunakan lafadz ‘abd dalam ayat tersebut melainkan bi ruuhi abdihi. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “ad-Dalail”.
2. Isra’ dan mi’raj itu dilampaui oleh Nabi dalam mimpi dan jasadnya masih di bumi (Mekah). Sebagaimana firman Allah yang artinya: Dan tidaklah kami menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu kecuali sebagai ujian bagi manusia. (Q.S. Al-Isra’: 60). Kata ru’yah dalam ayat tersebut diartikan sebagai mimpi. Adapun hadits yang menjadi dasar pendapat mereka adalah:
حدثني سليمان عن شريك بن عبد الله أنه قال سمعت أنس بن مالك يقول ليلة أسري برسول الله صلى الله عليه و سلم من مسجد الكعبة إنه جاءه ثلاثة نفر قبل أن يوحى إليه وهو نائم في المسجد الحرام فقال أولهم أيهم هو ؟ فقال أوسطهم هو خيرهم
Mereka juga mengatakan bahwa manusia bisa mengeluarkan ruhnya dari jasadnya, hal ini didasarkan pada kisah seseorang yang dibius ketika dioperasi. Dia dibius sehingga terasa ringan dan ruhnya terbang, dia melihat badannya dioperasi. Ruhnya melayang ke luar rumah sakit dan menjumpai seseoang yang dia kenal sedang berdiri di sebuah toko sepatu dan melihat-lihat etalase. Kemudian ruhnya kembali ke jasadnya lagi, dan ketika dicek ternyata benar, kawan yang ia lihat di toko sepatu itu sesuai dengan pengamatannya. Namun, kebenaran dari peristiwa tersebut belum bisa dibuktikan kebenarannya dalam sains.
3. Isra’ dilakukan dalam keadaan bangun sedangkan mi’raj dilakukan dalam keadaan tidur.
Ketika Nabi saw memberitakan so’al isra’ mi’rajnya, mereka medustakan isra’nya. Selain itu, dalam al-Qur’an hanya terdapat kata isra’, andaikata mi’raj dilakukan dalam keadaan bangun pasti ayat tersebut tidak berhenti pada kata “al-Masjid al-Aqsha”.
4. Isra’ dilakukan satu malam sedangkan mi’raj pada malam yang lain. Orang yang berpendapat tersebut berdalil dengan hadits dla’if yang berbunyi sebagai berikut:
انه كان عليه السلام يسال ربه ان يريه الجنة والنار, فلما كانت ليلة السبت لسبع عشر من رمضان قبل الهجرة بثمانية عشر شهرا ورسول الله نائم في بيته اتاه ميكائيل وجبريل فقالا: انطلق الى ما سالت الله فانطلقا به الى ما بين المقام وزمزم فاتى المعراج فاذا هو احسن شيئ مىظرا فعرجا به الى السماوات
Artinya: sesungguhnya Nabi meminta kepada Tuhannya supaya diperlihatkan surga dan neraka, maka ketika malam sabtu tanggal 17 Ramadhan sebelum hijrahnya yaitu tanggal 18 Ramadhan, rasulullah tidur di rumahnya maka datanglah Mikail dan Jibril kepadanya dan berkata: “pergilah kepada sesuatu yang engkau memintanya kepada Allah” lalu keduanya pergi bersama rasulullah ke suatu tempat antara Maqam dan Zamzam lalu mendatangi mi’raj, jika dia melihat paling bagusnya pemandangan maka keduanya naik bersmanya ke langit yang lain.
5. Isra’ dan mi’raj itu terjadi dua kali (pertama dalam keadaan tidur dan yang ke-dua terjadi ketika bangun). Fungsi isra’ mi’raj yang pertama adalah sebagai persiapan isra’ mi’raj yang ke dua yang dilakukan dalam keadaan bangun.

Hikmah adanya peristiwa isra’ mi’raj:
1. Pengakuan kebesaran Tuhan.
Peristiwa ini membuktikan bahwa manusia dengan kekuasaan-Nya dapat melakukan sesuatu yang tidak mungkin yaitu perjalanan dari Mekkah ke Palestina dan naik langit ke-7 dan kembali lagi dengan waktu yang sangat singkat.
2. Tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Tujuan Allah mengisra’ mi’rajkan Nabi dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha adalah supaya manusia memahami bahwa seorang khalifah itu harus menguasai dunia dan mengetahui keadaan di sekitarnya serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi ini.
3. Penguasaan sumber daya alam.
Dengan mengetahui terjadinya peristiwa isra’ mi’raj maka seorang muslim harus dapat menguasai dunia dan seluruh permukaan bumi sehingga mempunyai kekuasaan dan kekayaan, namun semuanya itu dilakukan dengan penuh kesucian dan untuk menghambakan diri kepada Allah.
4. Kesucian diri dan kekuatan iman dan ilmu.
Sebelum Nabi berangkat, Allah membasuh hatinya dan mengisi dengan iman. Hal ini memberikan pelajaran kepada manusia agar sebelum melakukan perjalanan untuk menguasai dunia maka perlu adanya penyucian hati dan pengisian iman.
5. Penguasaan teknologi.
Teknologi itu dilambangkan dengan adanya buraq yang artinya kilat dan untuk bisa naik ke langit membutuhkan alat yang disebut tangga. Kejayaan yang di dapat di bumi itu dengan alat dan teknologi begitu juga dengan kejayaan akhirat didapatkan dengan amal ibadah, seperrti shalat merupakan alat untuk menuju kebahagiaan di akhirat bagi seorang mukmin.
6. Memimpin dalam segala bidang.
Nabi diangkat menjadi seorang imam shalat ketika isra’ mi’raj dan makmumnya adalah semua nabi. Ini menggambarkan seorang muslim harus menjadi pemimpin dalam segala bidang, pemimpin segala zaman dan pemimpin dunia akhirat.
7. Konsultasi dengan yang berpengalaman.
Ketika Nabi mendapat perintah shalat dari Allah maka beliau mengkonsultasikannya dengan Nabi Musa yang lebih berpengalaman.
8. Menjadikan shalat sebagai inti dari kehidupan.
Nabi diwajibkan shalat dalam sehari semalam, sehingga segala kesibukan harus ditujukan untuk penyembahan dan ibadah kepada Allah. Kesibukan kerja dan kehidupan dunia tidak boleh melalaikan kewajiban kepada Allah.
Kesimpulan:
Isra’ mi’raj merupakan mukjizat yang agung dan sakral namun dalam memahaminya terdapat perbedaan pemahaman dan pemahaman. Isra’ mi’raj adalah pintu utama diwajibkannya shalat fardlu dan dalam peristiwa tersebut terdapat hikmah yang banyak sebagaimana telah dipaparkan oleh penulis pada pembahasan yang terdahulu.
Do’a:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Sumber:
– Maktabah Syamilah

Jumat, 29 Maret 2019

Mahrom tiga kelompok

MAHROM

Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah مُحْرِمٌ , mimnya di-dhammah, yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Adapun mahram bahasa Arabnya adalah ,مَحْرَمٌ mimnya di-fathah.

Mahram dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.

Mereka kita bagi menjadi tiga kelompok. Yang pertama, mahram karena nasab (keturunan), kedua mahram karena penyusuan, dan ketiga mahram mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan).

Kelompok yang pertama ada tujuh golongan:

Ibu, nenek, dan seterusnya ke atas, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu.
Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu.
Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita.
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala,

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki, dan anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan….”  (an-Nisa: 23)

Kelompok yang kedua juga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan. Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ
“Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (an-Nisa: 23)

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan milik dia melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih[1] bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut[2]. Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti masuk di dalamnya anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, begitu pula dua anak yang disusui oleh wanita yang sama, maka ayat ini dan hadits yang marfu’,

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)

Keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Ibu dari orang tua susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.

Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.

Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu, dan seterusnya ke bawah, adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.

Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur (mayoritas) dan dipilih oleh asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullah, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia dua tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ
“Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (al-Baqarah: 233)

Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi menerangkan bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa suatu penyusuan tidaklah mengharamkan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.

Yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan, setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan (meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali).

Adapun kelompok yang ketiga maka jumlahnya 4 golongan sebagai berikut.

Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat an-Nisa ayat 22.
Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan an-Nisa ayat 23.
Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan an-Nisa ayat 23.
Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah)[3], cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan an-Nisa ayat 23.
Golongan 1, 2, dan 3 menjadi mahram hanya dengan sekadar akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri), adapun yang keempat maka dipersyaratkan terjadinya jima’ bersama dengan akad yang sah, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati, rabibah misalnya tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.

Selain dari apa yang disebutkan di atas, bukan mahram, jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.

Begitu pula saudara perempuan istri atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan; bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, boncengan motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi, tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri sampai kalau seandainya dia dicerai atau meninggal, baru boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ
“Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (an-Nisa: 23)

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alaihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama.

Wallahu a’lam bish-shawab. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir as-Sa’di, asy-Syarhul Mumti’, 5/168—210)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Abdiilah Muhammad as-Sarbini

[1] Istilah dalam ilmu ushul fiqih yang artinya penyebutan sesuatu yang dengannya menunjukkan kepada yang lain yang serupa hukumnya.

[2] Ini adalah pendapat jumhur dan ini yang rajih (kuat). Lihat Syarah Shahih Muslim (10/18)

[3] Adapun anak lelaki istri dari suami lain namanya rabib.

Senin, 25 Maret 2019

Mendidik anak


Inspirasi Al qur`an dan sunnah tentang tarbiyyatul aulad dalam mengimplementasikan doa kita di atas:

1. Tarbiyyah Aqidah

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَيَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ. 13

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

Di ayat 13 dilukiskan pengalaman hikmah itu oleh Luqman, serta pelestariannya kepada anaknya. Ini pun mencerminkan kesyukuran beliau atas anugerah itu.

Ayat ini berbunyi: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia dari saat ke saat memberi pelajaran kepadanya bahwa "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) dengan sesuatu apapun, dan jangan juga mempersekutukan-Nya sedikit persekutuan pun, lahir maupun batin. Persekutuan yang jelas maupun tersembunyi. Sesungguhnya syirik yakni mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar". Itu adalah penempatan sesuatu yang sangat agung pada tempat yang sangat buruk

2. Tarbiyyah Ibadah

"Perintahkanlah anak-anak mu untuk sholat saat usia mereka 7 tahun, dan pukullah dengan pukulan yang mendidik jika mereka meinggalkan sholat disaat usia mereka 10 tahun " (riwayat Abu Daud)

3. Tarbiyyah Akhlaq

Dalam aspek akhlaq, adab dan kepribadian, Rasulullah tidak hanya mengajarkan sejak dini adab makan, namun juga beliau mengajarkan kepada kita untuk memisahkan kamar tidur anak laki-laki dan perempuan, agar mereka belajar adab, tata krama, akhlaq dan kesusilaan serta sopan santun sejak dini.

4.  Tarbiyyah jasadiyyah

"Mukmin yang kuat lebih Allah ta`aala cintai dari pada mukmin yang lemah" (riwayat Muslim)

"Ajarkanlah, anak- anak mu berkuda, memanah dan berenang"

5. Tarbiyyah Fikriyyah

Ayat pertama yang Allah ta`aala turunkan adalah berbicara tentang semanagat belajar, semangat membaca, walau pun jika kita lihat ayat ini diturunkan ditengah-tengah masyarakat yang masih banyak dari mereka tidak mampu baca tulis. Dan peristiwa penawanan tentara musuh dalam perang badar yang diminta oleh Rasulullah untuk mengajarkan kaum muslimin membaca dan menulis merupakan cerminan dimana Islam begitu memotivasi agar pemeluk nya dan terlebih khusus generasi muda nya menjadi generasi yang cerdas.

6. Tarbiyyah Mihariyyah (skill)

Tak ayal lagi, bahwa kita berada pada realita kehidupan dimana kaum muslimin dan generasi penerus mereka harus mampu bersaing secara positif dengan semua orang dalam kemampuan duniawi, yang mana hal tersebut mampu berperan aktif membantu kemajuan dienul Islam, maka kita juga memiliki tugas memberikan skill yang memadai kepada anak-anak kita dalam menjadikan generani yang ber-IPTEK dengan disertai IMTAQ yang kuat. Dahulu sahabat Zaid bin Tsabit dalam usia belasan tahun diperintahkan mempelajari bahasa Ibrani dalam waktu setengah bulan.

Semoga dengan merealisasikan doa kita dengan beberapa hal diatas, kita dapat menjadikan anak-anak sebagai ladang investasi akhirat kita.

wallahu a`lam bisshawab

Minggu, 24 Maret 2019

Hukum nifas terputus-putus

DARAH NIFAS

بسم الله الرحمن الرحيم
Definisi Nifas
Nifas menurut bahasa berarti melahirkan. Adapun menurut istilah Syara’, Nifas ialah darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita setelah melahirkan (wiladah), dan sebelum melampui 15 hari dan malam dari lahirnya anak. Permulaan nifas itu dimulai dari keluarnya darah, bukan dari keluarnya anak.
maka Darah yang keluar bersama bayi atau sebelum melahirkannya, tidak dihukumi darah nifas, tetapi termasuk darah istihadlat atau darah rusak (darah penyakit). (Fathul Qarib: 109, Bughiyatul Mustarsyidin: 22).
Dasar Hukum Nifas
Masa kebiasaan seorang wanita atas keluarnya darah nifas adalah 40 hari, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah, dimana ia berkata:…

“Pada masa Rasulullah Saw. Para wanita yang sedang menjalani masa nifas menahan diri selama empat puluh hari atau empat puluh malam.” (HR. Abu Da-wud dan Tirmidzi).
Para ulama dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. dan para tabi’in telah menempuh kesepakatan, bahwa wanita-wanita yang sedang men-jalani masa nifas harus meninggalkan shalat selama empat puluh hari. Apabila telah suci sebelum masa tersebut, maka hendaklah mandi dan mengerjakan shalat, demikian dikatakan oleh Imam Tirmidzi.
Lamanya Nifas dan Sucinya
Sekurang-kurangnya seorang wanita keluar darah nifas adalah satu tetesan, kebiasaannya Nifas 40 hari dan malam, sedang sebanyak-banyaknya nifas, selama 60 hari dan malam. Semuanya ini juga dengan dasar hasil penelitian Imam Syafi’i Ra. Kepa-da wanita Arab di Timur Tengah (Hasyiyah Al-Bajuri: 1/111 dan Abyanal Hawaij: 11/268).
Paling lama nifas 60 hari tersebut, di hitung mulai dari keluarnya bayi. Adapun yang dihukumi darah nifas itu mulai dari keluarnya darah. Sehingga, seumpama seorang wanita melahirkan anak pada tanggal1 kemudian ketika mengeluarkan darah mulai tanggal 5 itu penuh 60 hari dan malamnya, dimulai tanggal 5, dan yang dihukumi darah nifas adalah mulai tanggal 5. Adapun waktu antara lahirnya bayi dengan keluarnya darah, dihukumi suci. Oleh karena itu ia tetap kewajiban shalat dan kewajiban kewajiban yang lain.
Masalah-Masalah
1. Batas antara lahirnya bayi dengan keluarnya darah nifas seorang wanita, paling lama 15 hari. Apabila jarak antara keduanya lebih dari 15 hari, maka tidak dihukumi darah nifas, tetapi dihukumi darah haid.
2. Apabila seorang wanita setelah melahirkan anak kemudian mengeluarkan darah dengan terputus-putus (setelah putus lalu keluar lagi), yang masih dalam 60 hari dan terputus-putusnya darah tidak sampai 15 hari, maka semua darah yang dikeluarkan maupun putus-putus yang ada sela-selanya, darah tersebut dihukumi darah nifas (Hasyiyah Sulai-man al-Jamal ‘ala Syarhi al-Minhaj: 1/227).
Contoh-Contoh:
Seorang wanita melahirkan anak, kemudian langsung mengeluar-kan darah selama 15 hari, lalu putus selama 14 hari, lalu keluar darah lagi selama 10 hari, maka darah yang keluar serta putus di sela-selanya itu dihukumi nifas. Dan ia pada waktu berhenti tersebut diwajibkan mandi, shalat dan lain sebagainya seperti halnya orang yang suci, wala-upun akhirnya ternyata semuanya itu tidak sah, karena sebenarnya masih ada di dalam nifas. Darah yang kedua (darah keluar setelah berhenti) itu, mulai keluar darah setelah tenggang 60 hari dari lahirnya anak, maka darah yang pertama (darah sebelum berhenti) dihukumi da-rah nifas, darah kedua dihukumi darah haid dan berhentinya dihukumi keadaan suci.
Seorang wanita melahirkan anak, kemudian mengeluarkan darah selama 59 hari, lalu berhenti selama dua hari, kemudian mengeluarkan darah
lagi selama tiga hari, maka darah yang pertama dihukumi nifas, darah yang kedua dihukumi haid dan berhentinya dihukumi suci yang memisah antara haid dan nifas.
Dan seumpama darah yang kedua masih ada di dalamnya 60 hari, tetapi berhentinya selama 15 hari, maka darah yang pertama juga dihu-kumi nifas, darah yang kedua dihukumi haid dan berhentinya juga di hukumi suci.
Contohnya: Seorang wanita melahirkan anak, kemudian mengelu-arkan darah selama 10 hari, lalu berhenti selama 16 hari, kemudian mengeluarkan darah lagi, selama 4 hari, maka darah yang pertama dihukumi nifas, darah yang kedua. dihukumi haid dan berhentinya dihukumi suci yang memisah antara haid dan nifas.
Contoh keadaan waktu suci yang memisahkan antara haid dengan nifas ialah:
1. Seorang wanita hamil mengeluarkan darah 5 hari, kemudian berhenti sehari, lalu ia melahirkan anak, kemudian mengeluarkan darah selama 40 hari, maka darah yang sebelum melahirkan dihukumi haid, dan darah yang sesudah melahirkan dihukumi nifas. Jadi waktu suci yang memisahkan antara haid dan nifas hanya sehari.
2. Seorang wanita melahirkan anak, kemudian mengeluarkan darah selama 60 hari, kemudian berhenti sehari, lalu keluar darah lagi selama 10 hari, maka darah yang sebelum berhenti dihukumi nifas, dan darah keluar yang setelah berhenti dihukumi haid. Jadi waktunya suci yang memisahkannya hanya sehari.
3. Waktu keadaan suci yang memisahkan antara nifas dengan nifas: Se-orang wanita melahirkan anak, kemudian disetubuhi oleh suaminya masih dalam keadaan nifas, dan akhirnya wanita itu hamil lagi, lalu setelah selesainya nifas cukup 60 hari, darahnya berhenti selama sehari, lalu ia melahirkan berupa segumpal darah, kemudian nifas lagi, maka berhenti yang lamanya sehari itu dihukumi suci, yang memisahkan antara nifas dengan nifas (Minhaju al-Qawim dengan Hasyiyah Sulaiman Kurdi :1/131, Syarhu al-Mihaj serta Hasyiyah Sulaiman al-Jamal: 1/227).
والله اعلم
terakhir, saya mohon maaf terhadap teman – teman yang bermadzhab diluar syafi’i, karena berbeda pendapat dengan apa yang sekarang temen – temen baca. tapi percayalah, semua ( para ulama mazhab ) itu benar walaupun ada yang bertolak belakang satu sama lain, mereka ( para ulama madzhab ) itu sama memiliki dasar yang kuat dan ilmu keagamaan yang sangat tinggi dibanding kita yang masih miskin ilmu ini. mereka mendidikasikan seluruh jiwa raga dan hartanya untuk mengakaji alqur’an dan ribuan hadist untuk dijadikan dasar, sehingga perbedaan diantaranya pun sangat mustahil dienyahkan. namun mereka ( ulama mazhab ) itu sangat dewasa menyikapi perbedaan diantaranya, malahan saling koreksi, mengkaji ulang, memuji dan menghormati diantaranya. sehingga sangat keterlaluan sekali kalau kita harus melakukan hal yang berlawanan dari apa yang saya sebutkan diatas. saling caci – mencaci, ribut-ribut, tidak tegur sapa bahkan sampe memutuskan hubungan silaturrahim dengan saudara lantaran berbeda pendapat. naudzubillah…

Akibat hubungan Intim di masa nifas

Risiko Nekat Berhubungan Intim di Masa Nifas

Meninggal saat bercinta bisa saja terjadi.
Tak hanya karena tersedak saat memberikan seks oral seperti yang terjadi baru-baru ini di Florida, kematian akibat bercinta juga terjadi saat seorang wanita nekat bercinta saat dia berada di masa nifas.

Di tahun 1998, BBC melaporkan meninggalnya dua wanita usia 22 dan 29 tahun di West Yorkshire ketika bercinta 8 dan 5 hari setelah melahirkan. Keduanya diketahui melahirkan secara normal dan meninggal saat berhubungan intim.

Peneliti mengatakan peristiwa ini terjadi akibat munculnya emboli atau gelembung udara yang masuk ke tubuh dan mengalir ke jantung kemudian ke otak. Meski demikian, peneliti menekankan jika kejadian seperti ini jarang terjadi.

Nah, terkait hal ini, dr Noviyanti SpOG dari Mayapada Hospital Tangerang mengatakan saat dilakukan penetrasi penis, kemungkinan akan terjadi gelembung udara. Ketika wanita masih dalam masa menstruasi atau masih mengeluarkan darah nifas, kemungkinan ada pembuluh darah yang terbuka.

dr Novi mengungkapkan, jika gelembung udara tersebut masuk ke aliran darah dan menghambat peredaran darah di area jantung akan berbahaya. Dalam kasus ini, kematian disebabkan karena masuknya gelembung udara yang dalam dunia kedokteran disebut emboli atau sumbatan pada aliran pembuluh darah, sehingga menyebabkan organ tubuh tersebut kekurangan oksigen.

Baca juga: Nekat Bercinta Saat Haid, Hati-hati Risikonya

"Emboli bila mengenai pembuluh darah otak dan jantung akan menyumbat dan menyebabkan kematian. Normalnya, pembuluh darah pada ibu hamil melebar atau mengalami vasodilatasi dan membutuhkan waktu minimal 3 minggu setelah melahirkan untuk kembali ke ukuran dan kondisi normal," tutur dr Novi saat berbincang dengan detikHealth, Rabu (9/5/2017).

Masa nifas, kata dr Novi terjadi selama 42 hari setelah ibu melahirkan. Nah, selama itu pula darah dari vagina masih hilang timbul. Sehingga, sama seperti saat seseorang menstruasi, wanita sebaiknya bercinta ketika darah sudah tidak keluar atau benar-benar bersih.

Dalam kondisi darah nifas masih keluar, nekat berhubungan intim juga bisa menimbulkan risiko infeksi ke rahim. Pada prinsipnya, saat bercinta ada benda asing masuk ke dalam vagina dan ketika sedang haid atau dalam masa nifas yang notabene kotor, bisa memicu infeksi.

"Dalam waktu 42 hari itu juga memberi organ rahim waktu pemulihan. Lagipula ibunya sendiri juga belum tentu mau ya bercinta. Kalau lahiran normal kan jahitannya akan terasa nyeri. Bisa memungkinkan terbukanya jahitan di robekan vagina karena jahitan per vaginam umumnya akan pulih dalam waktu 42 hari," tutur dr Novi.

Selasa, 12 Maret 2019

Hukum jualan online

Hukum jualan online

Seiring dengan perkembangan zaman, interaksi sesama manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang  hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara  penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan  fasilitas dan  semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet sebagaimana pertanyaan yang saudari sampaikan.

Pertanyaan ini mirip dengan yang pernah dibahas dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya  dengan dasar pengambilan hukum;

1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:

وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ

Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:

(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ

(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.

Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).

Saudari Ica yang kami hormati.

Jawaban ini kiranya dapat dijadikan acuan dalam tindakan yang anda lakukan. Karena pada dasarnya Islam sangat menekankan kepuasan (taradhin) diantara pihak penjual dan pembeli disamping juga mengantisipasi terjadinya penipuan dalam transksi jual beli. Mudah-mudahan interaksi yang kita lakukan sesuai dengan subtansi ajaran Rasulullah SAW. Amin.

Minggu, 10 Maret 2019

Maksud 27 derajat

Maksud dari 27 derajat pahala sholat jama’ah

Pertanyaan :
Asssalamu alaikum
Aku mau nanya nih, jika sholat sendirian mendapat 1 derajat, jika berjamaah mendapat 27 derajat, berapah ukuran derajat tersebut? apakah 27 pahala?
Mohon dijawab beserta ibarotnya dan terimakasih

Jawaban :
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh

Ulama’ berbeda pendapat mengenai madsud dari “derajat” dalam hadits yang menjelaskan fadhilah sholat jama’ah, terdapat 2 pendapat dalam masalah ini;

1. Pendapat pertama menyatakan, maksud dari “derajat” tersebut adalah bahwa pahal yang didapatkan dari sholat jama’ah mengungguli pahala sholat yang dikerjakan sendirian dengan selisih 27 kali lipat pahala.

2. Pendapat kedua menyatakan, maksud dari derajat tersebut adalah “sholat”, artinya orang yang mengerjakan sholat secara berjama’ah mendapatkan pahala 27 kali sholat.

Dari kedua pendapat tersebut, menurut Syekh Ibnu Daqiq Al-‘Id pendapat yang kedua adalah yang paling jelas (adhhar) sebagaimana secara jelas disebutkan dalam sebagian riwayat hadits yang menjelaskan fadhilah sholat jama’ah. Selain itu hal tersebut juga diisyaratkan dengan penggunaan kata “tudho’afu” (dilipat gandakan) dalam sebagian riwayat hadits tersebut.

Wallohu a’lam.

( Dijawab oleh : Wildan Zidan, Su Kakov dan Siroj Munir )

Referensi :
1. Faidhul Qodir Syarah Jam’us Shoghir, Juz : 4  Hal : 216
2. Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam, Juz 1  Hal : 188
3. Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 339

Ibarot :
Faidhul Qodir Syarah Jam’us Shoghir, Juz : 4  Hal : 216

صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. (مَالك حم ق ت ن هـ) عن ابن عمر
..........................................
صلاة الجماعة) هم العدد من الناس يجتمعون يقع على الذكور والإناث أي الصلاة فيها (تفضل) بفتح أوله [ص:217] وسكون الفاء وضم الضاد (صلاة الفذ) بفتح الفاء وشد الذال المعجمة الفرد أي تزيد على صلاة المنفرد (بسبع وعشرين درجة) أي مرتبة والمعنى أن صلاة الواحد في جماعة يزيد ثوابها على ثواب صلاته وحده سبعا وعشرين ضعفا وقيل: المعنى إن صلاة الجماعة بمثابة سبع وعشرين صلاة

Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam, Juz 1  Hal : 188

الثالث: قد وقع بحث في أن هذه " الدرجات " هل هي بمعنى الصلوات؟ فتكون صلاة الجماعة بمثابة خمس وعشرين صلاة، أو سبع وعشرين، أو يقال: إن لفظ " الدرجة " و " الجزء " لا يلزم منهما أن يكون بمقدار الصلاة؟ والأول هو الظاهر؛ لأنه ورد مبنيا في بعض الروايات وكذلك لفظة " تضاعف " مشعرة بذلك

Hasyiyah Al-Bujairomi Ala Syarhil Manhaj, Juz : 1  Hal : 339

قوله: مفوتة لفضيلة الجماعة) أي فيما قارن فيه فقط كما أفتى به الوالد - رحمه الله تعالى - فيفوته سبعة وعشرون جزءا فيما قارنه فيه فإذا قارنه في الركوع فاته سبعة وعشرون ركوعا لأن صلاة الجماعة تفضل صلاة المنفرد بسبع وعشرين درجة أي صلاة شيخنا ح ف