السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Sebagian permasalahan seputar shaum,hukum merokok waktu shaum,ngupil,nelen air liyur,mencicipi makanan,
Insyaa allah akan jawab tapi ma'af sebelumnya klu jawabannya tdk memuaskan,karena ini juga hasil dari copy paste,permasalahan di bahtsul masaail di majlis ulama indonesia...
Semoga bermanfa'at..
بسم الله الرحمن الرحيم
Mengapa Merokok Dapat Membatalkan Puasa?
Berpuasa adalah menahan diri, demikian dinyatakan para ulama. Salah satu hal yang membatalkan puasa dan mesti harus dihindari adalah memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh yang terbuka secara sengaja.
Menurut bahasa fiqih, sesuatu yang masuk ke dalam lubang tubuh yang terbuka dan dapat membatalkan puasa ini disebut sebagai ‘ain. Syekh Zakariya al-Anshari menyebutkan dalam Fathul Wahhab, ‘ain ini adalah benda apa pun, baik makanan, minuman, atau obat ..
(Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab ‘ala Syarhi Manhajut Thullab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz 1, halaman 140).
Kebanyakan benda yang kita tahu membatalkan puasa, berwujud padat atau cair. Nah, bagaimana jika wujud gas, asap, atau uap?
Asap atau uap, ternyata dianggap mayoritas ulama tidak membatalkan puasa jika dihirup. Karena itulah puasa kita tidak batal dengan menghirup uap masakan yang beraroma. Begitu pula dengan menghirup asap kemenyan atau minyak angin, juga dinilai tidak membatalkan puasa.
Hukum Menghirup Inhaler atau Minyak Angin saat Puasa
Namun, di balik asap dan uap yang disebut tidak membatalkan puasa, ada satu substansi yang sedikit rumit dipaparkan, yaitu soal rokok. Apakah menghisap rokok membatalkan puasa?
Banyak masyarakat Indonesia merokok setiap harinya. Perilaku merokok, Anda tahu, tentu adalah membakar tembakau yang telah dilinting, untuk kemudian dihisap dan diembuskan asapnya.
Kendati tampaknya hanya mengisap, merokok dalam bahasa Arab disebut syurbud dukhan, atau jika diartikan secara literer artinya minum/mengisap asap. Karena nama merokok secara adat adalah asy-syurbu, serta perilaku yang tampak adalah mengisap, mayoritas ulama berpendapat bahwa merokok itu membatalkan puasa dengan berpegangan pada makna ini.
Baca juga: Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
Selain soal definisi dan pelaksanaan merokok itu sendiri, diskusi lebih lanjut seputar hukum merokok saat puasa juga berasal dari pertanyaan: apakah asap yang diisap dari rokok itu termasuk ‘ain?
Salah satu ulama mazhab Syafii bernama Syekh Sulaiman al-‘Ujaili menyebutkan dalam kitabnya Hasyiyatul Jamal:
وَمِنْ الْعَيْنِ الدُّخَانُ لَكِنْ عَلَى تَفْصِيلٍ فَإِنْ كَانَ الَّذِي يَشْرَبُ الْآنَ مِنْ الدَّوَاةِ الْمَعْرُوفَةِ أَفْطَرَ وَإِنْ كَانَ غَيْرَهُ كَدُخَانِ الطَّبِيخِ لَمْ يُفْطِرْ هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ
Artinya: “Dan termasuk dari ‘ain (hal yang membatalkan puasa) adalah asap, tetapi mesti dipilah. Jika asap/uap itu adalah yang terkenal diisap sekarang ini (maksudnya tembakau) maka puasanya batal. Tapi jika asap/uap lain, seperti asap/uap masakan, maka tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat yang mu’tamad (dirujuk ulama karena kuat argumentasinya).”
(Lihat Sulaiman al-‘Ujaili, Hasyiyatul Jumal ‘ala Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, juz 2 halaman 317)
Begitu pula dalam Tuhfatul Muhtaj dinyatakan bahwa asap tembakau yang diisap itu membatalkan puasa. Penulis kitab tersebut, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menyebutkan bahwa rokok dianggap membatalkan puasa karena memiliki ‘sensasi’tertentu yang dapat dirasakan dari kandungan tembakaunya.
(Lihat Ibnu Hajar al Haitamin, Tuhfatul Muhtajfi Syarhil Minhaj, Mesir, al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1983 M, juz 3 halaman 400-401).
Sebagai penjelas, Ibnu Hajar menyertakan kisah seorang ulama yang menemui murid-muridnya sedan membawa pipa untuk menghirup tembakau saat puasa. Syekh yang bernama Az-Ziyadi ini lantas memecahkan pipa itu di depan mereka, dan melihat ada ampas dari asap di dalamnya.
Sebelum mengecek hakikat ‘asap yang diisap dari rokok’, Syekh az-Ziyadi ini mulanya berpendapat bahwa rokok itu boleh. Namun setelah mengetahui lebih detil, ia pun menilai adanya bekas dari asap yang dihirup, dan menyimpulkan bahwa hal tersebut adalah ‘ain yang membatalkan puasa.
Karena dinilai sebagai ‘ain, asap yang diisap dari rokok ini membatalkan karena diisap secara sengaja. Berikut keterangan dalam Syekh Nawawi al-Banteni dalam kitab Nihayatuz Zain:
يفْطر صَائِم بوصول عين من تِلْكَ إِلَى مُطلق الْجوف من منفذ مَفْتُوح مَعَ الْعمد وَالِاخْتِيَار وَالْعلم بِالتَّحْرِيمِ ...وَمِنْهَا الدُّخان الْمَعْرُوف
Artinya: Sampainya ‘ain ke tenggorokan dari lubang yang terbuka secara sengaja dan mengetahui keharamannya itu membatalkan puasa...seperti mengisap asap (yang dikenal sebagai rokok).
(Lihat Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadul Mubtadiin, Beirut: Darul Fikr, juz 1, halaman 187)
Seorang ulama Nusantara bernama Syekh Ihsan Jampes menyusun kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayanil Qahwah wad Dukhan (Kitab Kopi dan Rokok). Selain menyodorkan berbagai perdebatan seputar hukum rokok, ia juga menyertakan masalah merokok saat puasa.
Ulama asal Kediri ini mengumpulkan pendapat para ulama tentang hukum merokok saat puasa, dan berkesimpulan bahwa hal tersebut memang membatalkan puasa. Kendati semisal ‘ain dari asap yang diisap dari rokok ini sulit diidentifikasi secara fisik, tapi secara 'urf ia adalah ‘ain, seperti dicatat Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj.
Dapat juga dipahami mengapa orang yang terpapar asap rokok (secondhand smoker/perokok pasif), tidak membatalkan puasa. Batalnya puasa hanya jatuh bagi sang perokok saja, toh yang melakukan syurbud dukhan adalah perokoknya. Orang di sekitarnya hanya menghirup asap yang diembuskan perokok.
Saat ini kita juga mengenal alat vape, atau shisha, yang kerap digunakan sebagai alternatif rokok. Jika merujuk beberapa argumentasi di atas, maka keduanya juga membatalkan puasa. Penggunaan di atas menggunakan cairan/gel yang diuapkan, serta tentu sengaja dihirup.
Demikianlah mengapa merokok itu membatalkan puasa, meskipun hanya tampak mengisap asap belaka. Menahan diri untuk sejenak tidak merokok, meski berat, adalah satu pembelajaran tersendiri di bulan puasa ini.
Wallahu a’lam.
Ngupil
Batas akhir di belakang Khaisyum tulang hidung.
- Fathul muin :
ولا يفطر بوصول شيء إلـى بـاطنِ قَصَبَةِ أنفٍ حتـى يجاوِزَ منتهى الـخَيْشُوم، وهو أقْصَى الأَنْفِ
- I'anatut tholibin :
(قوله: ولا يفطر بوصول شيء إلـى بـاطن قصبة أنف) أي لأنها من الظاهر، وذلك لأن القصبة من الـخيشوم، والـخيشوم جميعه من الظاهر. (قوله: حتـى يجاوز منتهى الـخيشوم) أي فإن جاوزه أفطر، ومتـى لـم يجاوز لا يفطر
- Minhajul qawim :
ثم داخل الفم إلى منتهى المهملة، والأنف إلى منتهى الخيشوم، له حكم الظاهر في الإفطار باستخراج القيء إليه أو ابتلاعه النخامة منه، وفي عدم الإفطار بدخول شيء فيه وإن أمسكه، وفي أنه إذا تنجس وجب غسله، وله حكم الباطن في عدم الإفطار بابتلاع الريق منه، وفي سقوط غسله عن الجنب
- Asnal matholib :
ثُمَّ دَاخِلُ الْفَمِ وَالأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْغَلْصَمَةِ) وَهِيَ بِغَيْنٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوحَةٍ وَلامٍ سَاكِنَةٍ وَصَادٍ مُهْمَلَةٍ الْمَوْضِعُ النَّاتِئُ فِي الْحَلْقِ (وَ) مُنْتَهَى (الْخَيْشُومِ ظَاهِرٌ) مِنْ حَيْثُ إنَّ الصَّائِمَ (يُفْطِرُ بِاسْتِخْرَاجِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلاعِ النُّخَامَةِ مِنْهُ سَوَاءٌ اسْتَدْعَاهَا) أَيْ اسْتَقْلَعَهَا إلَى الْفَمِ وَالأَنْفِ (أَمْ لا) بَلْ حَصَلَتْ فِيهِ بِلا اسْتِدْعَاءٍ (فَإِنْ جَرَتْ بِنَفْسِهَا) مِنْ الْفَمِ أَوْ الأَنْفِ وَنَزَلَتْ إلَى جَوْفِهِ (عَاجِزًا عَنْ الْمَجِّ) لَهَا (فَلا) يُفْطِرُ لِلْعُذْرِ بِخِلافِ مَا إذَا أُجْرِيَ ظَاهِرًا وَهُوَ ظَاهِرٌ أَوْ جَرَتْ بِنَفْسِهَا قَادِرًا عَلَى مَجِّهَا لِتَقْصِيرِهِ مَعَ أَنَّ نُزُولَهَا مَنْسُوبٌ إلَيْهِ وَبِهِ فَارَقَ مَا إذَا طَعَنَهُ غَيْرُهُ كَمَا سَيَأْتِي (لا بِدُخُولِ شَيْءٍ إلَيْهِ) أَيْ إلَى دَاخِلِ الْفَمِ أَوْ الأَنْفِ أَيْ لا يُفْطِرُ بِهِ وَإِنْ أَمْسَكَهُ
- Hasyiyah aljamal :
وَالأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْخَيْشُومِ لَهُ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي الإِفْطَارِ بِاسْتِخْرَاجِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلاعِ النُّخَامَةِ مِنْهُ وَعَدَمِهِ بِدُخُولِ شَيْءٍ فِيهِ وَإِنْ أَمْسَكَهُ
- Qalyubi :
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَدَاخِلُ الْفَمِ وَالأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْخَيْشُومِ لَهُ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي الإِفْطَارِ بِوُصُولِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلاعُ النُّخَامَةِ مِنْهُ وَعَدَمُ الإِفْطَارِ بِوُصُولِ عَيْنٍ إلَيْهِ وَإِنْ أَمْسَكَهَا فِيهِ
Melihat beberapa ta'bir di atas maka bisa disimpukan bahwa memasukkan air ke dalam hidung tidak membatalkan puasa. Termasuk ngupil juga tidak batal. Selagi yang dimasukkan itu tidak sampai pangkal hidung. Bagaimana dengan menghirup ingus ?....
Pada Telinga : ketika sudah melewati " Almuntabiq", yakni awal bagian dalam telinga yang tidak terlihat dari luar.
Pada Hidung : ketika melewati seluruh tulang yang keras"khaisyum".
Sedangkan menurut qoul' muqobbil asoh" yang dipelopori oleh Imam Al Ghozali, Imam Abu Ali, Imam Fauroniy, dan Qodli Husain, masuknya benda ke dalam lubang telinga tidak membatalkan puasa karena tidak mempunyai tembusan ke otak.
Ibarot kitab Ittihaf saddatul muttaqiin 4/209 :
ولا يفسد بالفصد والحجامة والإكتحال وإدخال الميل في الأذن والإحليل إلا أن يقطر فيه ما يبلغ المثانة .
( ما يبلغ المثانة ) ... إلى أن قال ... قال الرافعي في بطلان الصوم بالتقطير في الأذن بحيث يصل إلى الباطن وجهان أحدهما وبه قال الشيخ أبو محمد أنه يبطل كالسعوط والثاني لا يبطل لأنه لا منفذ من الأذن إلى الدماغ وما يصل إلى المسام فأشبه الإكتحال ويروى هذا الوجه عن الشيخ أبي علي والفوراني والقاضي الحسين وهو الذي أورده المصنف في الوجيز ولكن الأول أظهر عند أكثر الأصحاب ولهم أن يقولوا هب ان الأذن لامنفذ فيه إلى داخل الدماغ لكنه نافذ إلى داخل قحف الرأس لامحالة والوصول إليه كاف في البطلان إهــ .
- Tambahan ibarot ingus :
ثم داخل الفم والأنف إلى منتهى الغلصمة والخيشوم له حكم الظاهر في الافطار باستخراج القئ إليه وابتلاع النخامة منه وعدمه بدخول شئ فيه وإن أمسكه وإذا تنجس وجب غسله وله حكم الباطن في عدم الافطار بابتلاع الريق منه وفي سقوط غسله من نحو الجنب وفارق وجوب غسل النجاسة عنه بأن تنجس البدن أندر من الجنابة فضيق فيه دونها اه وقوله ثم داخل الفم الخ في شرح بأفضل مثله إلا أنه أبدل منتهى الغلصمة بمنتهى المهملة قال ع ش قوله أخص منه أي هو بعضه عند اللغويين وليس أخص بالمعنى المصطلح عليه عندهم لأنه ليس جزئيا من جزئيات مطلق الحلق وإنما هو جزء منه قال في المصباح والغلصمة أي بمعجمة مفتوحة فلام ساكنة فمهملة رأس الحلقوم وهو الموضع الناتئ في الحلق والجمع غلاصم وقوله م ر ثم داخل الفم أي إلى ما وراء مخرج الحاء المهملة وداخل الانف إلى ما وراء الخياشيم اه وقال الكردي على بأفضل فالخيشوم جميعه من الظاهر قال في العباب والقصبة من الخيشوم اه وهي فوق المارن وهو ما لأن من الانف اه
Bagian dalam mulut sampai ujung jakun adalah bagian luar mulut, yang apabila muntah / ingus sampai kepadanya maka batal jika ditelan kembali. Adapun hidung adalah khisyum yang apabila ingus dikeluarkan sampai kepadanya kemudian di kembalikan baik di telan atau tidak maka batal, untuk tidak batalnya jika ada yang masuk( ini benda dari luar kedua itulah yang menjadi patokan, jelasnya ujung jakun bagi mulut dan khaisyum untuk hidung !
Pertanyaannya :
1. Di manakah batas rongga hidung yang disunnahkan istinsyaq (menghirup air hidung) atau “maaf” ngupil saat puasa ?
J : Batas istinsyaq yang disunnahkan bagi orang puasa adalah sekiranya tidak sampai pada Khaisyum, sebab kalau sudah sampai pada Khaisyum kemungkinan air sulit untuk dikeluarkan lagi dan bisa masuk ke rongga yang menyebabkan mudharat batalnya puasa.
أما إذا سبق الماء إلى الجوف نتيجة المبالغة فإنه يفطر لأن المبالغة منهي عنها في الصوم
Adapun jika air terlanjur masuk ke dalam rongga sebab istinsyak yang kuat maka dapat membatalkan puasa, karena sesungguhnya menguatkan hirupan istinsyak dilarang (oleh Nabi) bagi orang yang puasa. (Fiqhul 'Ibadah).
2. Jika keluar ingus sampai pada batas luar lalu ingus itu dihirup kembali, apakah membatalkan puasa ?
J : Jika ingus dimasuikkan kembali dan mampu untuk mengeluarkan kembali. maka jika ditelan dapat membatalkan puasa.
- Tuhfatul Muhtaj :
( فَإِنْ تَرَكَهَا مَعَ الْقُدْرَةِ ) عَلَى لَفْظِهَا ( فَوَصَلَتْ الْجَوْفَ ) يَعْنِي : جَاوَزَتْ الْحَدَّ الْمَذْكُورَ ( أَفْطَرَ فِي الْأَصَحِّ ) لِتَقْصِيرِهِ بِخِلَافِ مَا إذَا لَمْ تَصِلْ لِلظَّاهِرِ ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى لَفْظِهَا ، وَمَا إذَا وَصَلَتْ إلَيْهِ وَعَجَزَ عَنْ ذَلِكَ
KESIMPULAN :
Batas akhir dari daerah dzohir bagi hidung itu adalah nomor 1 pada gambar di atas, itulah batas akhir di belakang Khaisyum tulang hidung, dengan ta'bir yang di kitab I'anah dan Tuhfatul muhtaj :
وَدَاخِلُ الْأَنْفِ إلَى مَا وَرَاءَ الْخَيَاشِيمِ
Batas batinnya hidung sampai di belakangnya khoisyum.
Bagi orang berpuasa Istinsyaq ketika wudhu' tetap sunnah, asalkan tidak mubalaghah dan berhati-hati terhadap masuknya air pada jauf.
- Imam Mawardi Al-Hawi Al-Kabir :
فَصْلٌ : وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي : فِي صِفَةِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ وَكَيْفِيَّتِهِمَا : أَمَّا الْمَضْمَضَةُ فَهِيَ إِدْخَالُ الْمَاءِ إِلَى مُقَدَّمِ الْفَمِ ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهَا إِدَارَتُهُ فِي جَمِيعِ الْفَمِ ، وَالِاسْتِنْشَاقُ فَهُوَ إِدْخَالُ الْمَاءِ مُقَدَّمَ الْأَنْفِ ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِ إِيصَالُهُ إِلَى خَيْشُومِ الْأَنْفِ ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِمَا سُنَّةٌ زَائِدَةٌ عَلَيْهِمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَائِمًا فَيُبَالِغُ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغُ فِي الِاسْتِنْشَاقِ لِقَوْلِهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} لِلَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ : " أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكْونَ صَائِمًا " .
وَالْفَرْقُ فِي الصَّائِمِ بَيْنَ أَنْ يُبَالِغَ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغَ فِي الِاسْتِنْشَاقِ ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُهُ بِإِطْبَاقِ حَلْقِهِ رَدُّ الْمَاءِ عَنْ وُصُولِهِ إِلَى جَوْفِهِ وَلَا يُمْكِنُهُ رَدُّ الْمَاءِ بِخَيْشُومِهِ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى رَأْسِهِ .
FOKUS :
وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِمَا سُنَّةٌ زَائِدَةٌ عَلَيْهِمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَائِمًا فَيُبَالِغُ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغُ فِي الِاسْتِنْشَاقِ
Mubalagah dalam Istinsyaq adalah sunnah tambahan selain pada orang yang berpuasa, maka (untuk orang puasa) boleh mubalagah dalam berkumur, dan tidak boleh mubalagah dalam beristinsyaq.
Air liyur
Ludah yang belum tercampur zat / benda lain dan masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah ludah yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan ludah yang masih ada dalam mulut bila ludah tersebut suci / tidak najis karena bercampur dengan darahnya gusi dan ludah tersebut tidak bercampur zat lain / murni ludah maka tidak membatalkan puasa.
Ringkasnya, menelan air ludah saat puasa tidak batal ketika :
1. Ludah murni, tidak bercampur dengan lainnya (sisa makanan misalnya..)
2. Ludah yg tertelan adalah ludah dari sumbernya (dalam mulut). Kalau ludahnya sudah keluar dari mulut lalu disedot dan ditelan, maka batal.
3. Menelan ludah dalam batas âdah (normal). Kalau ludahnya dikumpulkan dulu di dalam mulut, setelah itu ditelan, maka ada dua pendapat. Pendapat yang Ashoh tidak batal.
Maksud poin nomor 1 yaitu apabila ludah bercampur dengan sesuatu yang najis namun 'ain najis tersebut sudah hilang dan tidak ada perubahan kembali atau sifat-sifatnya sudah hilang dan ludahnya sudah putih kembali, semisal gusi keluar darah atau semalam habis makan suatu yang najis, namun belum mensucikan mulutnya dengan membasuh mulutnya sampai masuk waktu shubuh maka apabila menelan ludahnya menurut Kebanyakan Ulama (Ashoh) Batal Puasanya karena ludahnya najis sebab mulutnya yang belum dibasuh maka tidak boleh menalan ludahnya selama mulutnya belum disucikan dengan membasuhnya.
- Raodloh Ath-tholibin 2/359-360 :
BACA JUGA..
فرع
ابتلاع الريق لا يفطر بشروط.
أحدها: أن يتمحض الريق، فلو اختلط بغيره وتغير به، أفطر بابتلاعه، سواء كان الغير طاهرا، كمن فتل خيطا مصبوغا تغير به ريقه، أو نجسا كمن دميت لثته وتغير ريقه، فلو ذهب الدم، وابيض الريق، ولم يبق تغير، هل يفطر بابتلاعه؟ وجهان.
أصحهما عند الأكثرين: يفطر، لأنه نجس لا يجوز ابتلاعه. وعلى هذا، لو تناول بالليل شيئا نجسا، ولم يغسل فمه حتى أصبح، فابتلع الريق، أفطر.
الشرط الثاني: أن يبتلعه من معدته، فلو خرج عن فيه ثم رده بلسانه أو بغيره وابتلعه، أفطر.
ولو أخرج لسانه وعليه الريق، ثم رده وابتلع ما عليه، لم يفطر على الأصح.
ولو بل الخياط الخيط بالريق، ثم رده إلى فيه على ما يعتاد عند الفتل، فإن لم يكن عليه رطوبة تنفصل، فلا بأس، وإن كانت وابتلعها، فوجهان.
قال الشيخ أبو محمد: لا يفطر، كما لا يفطر بالباقي من ماء المضمضة. وقال الجمهور: يفطر، لأنه لا ضرورة إليه، وقد ابتلعه بعد مفارقته معدته.
وخص صاحب «التتمة» الوجهين بما إذا كان جاهلا تحريم ذلك، قال: فإن كان عالما، أفطر بلا خلاف.
الشرط الثالث: أن يبتلعه على هيئته المعتادة، فإن جمعه ثم ابتلعه، فوجهان. أصحهما: لا يفطر.
- I'anatut Tholibin :
.لا يفطر بريق طاهر صرف أى خالص ابتلعه من معدنه وهو جميع الفم ولو بعد جمعه علي الأصح وإن كان بنحو مصطكى أما لو ابتلع ريقا اجتمع بلا فعل فلا يضر قطعا وخرج بالطاهر المتنجس بنحو دم لثته فيفطر بابتلاعه وإن صفا ولم يبق فيه أثر مطلقا لأنه لما حرم ابتلاعه لتنجسه صار بمنزلة عين أجنبية. إعانة الطالبين ٢/٢٣١-٢٣٢
- Majmu' Syarh Muhadzdzab :
📚 المجموع شرح المهذب ، ج ٦ ، ص ٣١٧ - ٣١٨
(الثَّالِثَةُ) ابْتِلَاعُ الرِّيقِ لَا يُفْطِرُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا كَانَ عَلَى الْعَادَةِ لِأَنَّهُ يَعْسُرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا لَا يُفْطِرُ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ
✔ (أَحَدُهَا) أَنْ يَتَمَحَّضَ الرِّيقُ فَلَوْ اخْتَلَطَ بِغَيْرِهِ وَتَغَيَّرَ لَوْنُهُ أَفْطَرَ بِابْتِلَاعِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُغَيِّرُ طَاهِرًا كَمَنْ فَتَلَ خَيْطًا مَصْبُوغًا تَغَيَّرَ بِهِ رِيقُهُ أَوْ نَجِسًا كَمَنْ دَمِيَتْ لِثَتُهُ أَوْ انْقَلَعَتْ سِنُّهُ أَوْ تَنَجَّسَ فَمُهُ بِغَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يُفْطِرُ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّ الْمَعْفُوَّ عَنْهُ هُوَ الرِّيقُ لِلْحَاجَةِ وَهَذَا أَجْنَبِيٌّ غَيْرُ الرِّيقِ وَهُوَ مُقَصِّرٌ بِهِ بِخِلَافِ غُبَارِ الطَّرِيقِ وَنَحْوِهِ فَلَوْ بَصَقَ حَتَّى ابْيَضَّ الرِّيقُ وَلَمْ يَبْقَ فِيهِ تَغَيُّرٌ فَفِي إفْطَارِهِ بِابْتِلَاعِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ قَالَ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ يُفْطِرُ وَهَذَا هُوَ الصحيح عند غيره وقطع به المتولي وآخرون وَنَقَلَ الرَّافِعِيُّ تَصْحِيحَهُ عَنْ الْأَكْثَرِينَ لِأَنَّهُ نَجِسٌ لَا يَجُوزُ ابْتِلَاعُهُ وَلَا يَطْهُرُ الْفَمُ إلَّا بِالْغَسْلِ بِالْمَاءِ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ وَعَلَى هَذَا لَوْ أَكَلَ بِاللَّيْلِ شَيْئًا نَجِسًا وَلَمْ يَغْسِلْ فَمَهُ حَتَّى أَصْبَحَ فَابْتَلَعَ الرِّيقَ أَفْطَرَ صَرَّحَ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَا
✔ (الشَّرْطُ الثَّانِي) أَنْ يَبْتَلِعَهُ مِنْ مَعْدِنِهِ فَلَوْ خَرَجَ عَنْ فِيهِ ثُمَّ رَدَّهُ بِلِسَانِهِ أَوْ غَيْرِ لِسَانِهِ وَابْتَلَعَهُ أَفْطَرَ قَالَ أَصْحَابُنَا حَتَّى لَوْ خَرَجَ إلَى ظَاهِرِ الشَّفَةِ فَرَدَّهُ وَابْتَلَعَهُ أَفْطَرَ لِأَنَّهُ مُقَصِّرٌ بِذَلِكَ وَلِأَنَّهُ خَرَجَ عَنْ مَحَلِّ الْعَفْوِ قَالَ الْمُتَوَلِّي وَلَوْ خَرَجَ إلَى شَفَتِهِ ثُمَّ رَدَّهُ وَابْتَلَعَهُ افطر ولو اخرج لِسَانُهُ وَعَلَيْهِ رِيقٌ حَتَّى بَرَزَ لِسَانُهُ إلَى خَارِجِ فِيهِ ثُمَّ رَدَّهُ وَابْتَلَعَهُ فَطَرِيقَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ (الْمَذْهَبُ) وَبِهِ قَطَعَ الْمُتَوَلِّي أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَمْ يَنْفَصِلْ ولا يثبت حكم الخروج للشئ إلَّا بِانْفِصَالِهِ كَمَا لَوْ حَلَفَ لَا يَخْرُجُ مِنْ دَارٍ فَأَخْرَجَ رَأْسَهُ أَوْ رَجْلَهُ لَمْ يَحْنَثْ وَلَوْ أَخْرَجَ الْمُعْتَكِفُ رَأْسَهُ أَوْ رَجْلَهُ مِنْ الْمَسْجِدِ لَمْ يَبْطُلْ اعْتِكَافُهُ
(وَالثَّانِي)
فِي إبْطَالِهِ وَجْهَانِ كَمَا لَوْ جَمَعَ الرِّيقَ ثُمَّ ابْتَلَعَهُ وَقَدْ سَبَقَ مِثْلُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فِي بَابِ مَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ فِيمَا لَوْ أَخْرَجَتْ دُودَةٌ رَأْسَهَا مِنْ فَرْجِهِ ثُمَّ رَجَعَتْ قَبْلَ انفصالها هل ينتقض وضوؤه فِيهِ
وَجْهَانِ (الْأَصَحُّ) يَنْتَقِضُ
✔ (الشَّرْطُ الثَّالِثُ) أَنْ يَبْتَلِعَهُ عَلَى الْعَادَةِ فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ
Mencicipi makanan
Waktu puasa,,
Boleh dan tidak makruh bila ada hajat, asal hanya sebatas lidah dan tidak sampai tertelan. Namun bila tidak ada hajat maka dimakruhkan.
ومحل الكراهة ان لم تكن له حاجة اما الطباح رجلا كان او امراءة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي
"Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa...) tersebut bila memang bagi orang yang tidak ada kepentingan sedangkan bagi seorang pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan mencicipi makanan buat mereka seperti apa yang difatwakan Imam Az-Ziyaadi". (Assyarqowy I/445).
Allahu A'lam
Wassalaam.