Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 31 Mei 2019

Ust Geledeg Muda (ugm)-Kisah Pereman Masuk Islam

Preman Masuk Islam

Luqman Hakim meriwayatkan bahwa suatu ketika seorang preman yang suka mencuri, berjudi, dan meminum minuman keras datang menemui Rasulullah saw. Ia bermaksud untuk bertobat sehingga Rasulullah mengajaknya pada Al-Islam.

Setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat, ia mengadu kepada Rasulullah saw, "Wahai Rasulullah, saya adalah orang yang banyak melakukan dosa. Bagaimanakah caranya agar aku bisa meninggalkan kebiasaan burukku?"

Rasulullah menjawab, "Berjanjilah untuk tidak berbohong!"

Syarat yang mudah, pikir preman tersebut, ia pun menyanggupinya.

Dalam perjalanan pulang, setiap kali ia hendak berbuat jahat selalu teringat pesan Rasulullah untuk tidak berbohong.

"Apa jawabanku jika Rasulullah bertanya tentang apa yang aku lakukan hari ini? Sanggupkah aku berbohong kepadanya?"

Pada kesempatan lain, godaan untuk berbuat jahat muncul kembali. Ia kembali teringat pesan Rasulullah. Ia bergumam, "Kalau aku berbohong kepada Rasulullah, berarti aku mengkhianati janjiku kepadanya. Jika aku berkata benar bahwa aku telah melakukan kejahatan, aku harus menerima hukuman sesuai dengan aturan Islam."

Ia pun mengurungkan niat jahatnya. Demikianlah setiap ada keinginan untuk mabuk, mencuri, dan berjudi, ia selalu teringat pesan Rasulullah tersebut hingga ia selalu mengurungkan niatnya untuk berbuat dosa.
"Ya Allah, ternyata dalam pesan Rasulullah itu terkandung hikmah yang sangat berharga," pikirnya.

Ia pun berhasil meninggalkan kebiasaan buruknya dan menjadi mukmin saleh dan mulia.

Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda, "Wahai anakku, jika kau mampu menyambut pagi dan soremu dengan hati yang bersih dari niat curang kepada orang lain maka lakukanlah!"

Kemudian Rasulullah saw melanjutkan ucapannya, "Hal tersebut merupakan sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkannya maka itulah bukti kecintaannya kepadaku dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga." (HR Turmudzi)

Rabu, 29 Mei 2019

Enam bentuk Jihad


Bentuk-Bentuk Jihad
Jihad sebagai salah satu wujud pengamalan ajaran Islam dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh umat Islam.
Pertama, perang (ghazwah/qital). Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan perang untuk menghilangkan fitnah atau kezaliman. Firman Allah Swt, “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim,” (QS al-Baqarah [2]: 193).

Kedua, menyampaikan kebenaran atau mengkritik penguasa yang zalim. Perintah berjihad melwan pengasa yang zalim disebutkan, antara lain, sabda Rasulullah Saw, “Susungguhnya diantara jihad yang paling besar adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim” (HR Tirmidzi).

Ketiga, berbakti kepada kedua orang tua (bir al-walidaini). Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah Saw meminta izin berjihad (berperang) bersama beliau. Namun Rasulullah menyuruhnya berjihad dengan cara lain, yakni berbakti kepad kedua orang tua. Dalam al-Qur’an allah Swt berfirman, “… Hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya, (QS al-Isra’ [17]: 23).

Keempat, menuntut ilmu dan mengembangkan lembaga pendidikan. Dalam sebuah hadits dijelaskan “Orang yang datang ke masjidku ini tidak lain karena kecuali karena kebaikan yang dipelajarinya atau yang diajarkannya, maka ia sama dengan orang yang berjihad (berperang) di jalan Allah,” (HR Ibnu Majah).

Kelima, membantu fakir miskin. Bentuk jihad yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang miskin, peduli terhadap sesame dan menyantuni kaum papa. Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah menjelaskan bahwa orang yang menolong dan memberikan perlindungan kepad janda dan roang miskin sama seperti orang yang melakukan jihad di jalan Allah.

Keenam, bekerja. Suatu ketika Rasulullah Saw dalam perjalanan keluar kota untuk berperang. Rasulullah Saw dan rombongan bertemu dengan pemuda kekar yang sedang mencangkul di sawah. Lantas seorang sahabat mengusulkan untuk mengajak pemuda tersebut berperang bersama Rasulullah Saw. Beliau menjawab, “Jika ia bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka ia juga pejuang (jihad) seperti kita”.
Wallahu a’lam bis shawab.
Disarikan dari buku Nasir Abbas.

Jumat, 17 Mei 2019

Woder women

WONDER WOMEN
DIMASA ROSULULLAH SAW.

Para sahabat wanita dijaman Baginda Nabi Muhammad Rasulullah SAW tidak hanya pandai dalam hal membaca Al Qur’an, tetapi juga jago dalam hal memainkan pedangnya, menggunakan panah, menunggang kuda dan juga jago dalam dunia kedokteran seperti yang zizi comot di blog Rameteo.

Selain mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, tak jarang mereka juga ikut turun dalam medan perang. Bahkan, ada juga di antara mereka yang terpotong tangannya karena melindungi Rasulullah! Subhanallah. Siapa saja sih sahabat wanita Rasulullah yang terkenal pemberani itu, Inilah beberapa diantaranya:

*Nusaibah, sang Jago Pedang
Rasulullah SAW yang Mulia, berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Rasulullah SAW memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang wanita mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi Rasul. Rasulullah SAW memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadapi bahaya demi melindungi sang Pemimpin orang-orang beriman.
Kata Rasulullah SAW kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada pertempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”
Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju memutar-mutarkan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalamdalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.
Nusaibah adalah satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasehati mereka, “Jangan mengalirkan darah dengan sia-sia.”
Dalam perang Uhud, Nusaibah membawa tempat air dan mengikuti suami serta kedua orang anaknya ke medan perang. Pada saat itu Nusaibah menyaksikan betapa pasukan Muslimin mulai kocar-kacir dan musuh merangsek maju sementara Rasulullah SAW berdiri tanpa perisai. Seorang muslim berlari mundur sambil membawa perisainya, maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam berseru kepadanya, “Berikan perisaimu kepada yang berperang”. Lelaki itu melemparkan perisainya, yang lalu dipungut oleh Nusaibah untuk melindungi Nabi.

*Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah SAW. yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah SAW, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah SAW dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”
Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibnu Qumaiah memukulku.”Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surga!” Mendengar itu, Nusaibah berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia ini.”
Subhanallah, sungguh setianya beliau kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.

*The Black Rider, Khaulah binti Azur
Ksatria Berkuda Hitam! Itulah sosok Khaulah binti Azur. Seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.
Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, diriwayatkan, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Bagai singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.
Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwaThe Black Rider, si penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita!
Keberanian Khaulah kembali teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Di mana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”
Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.
Dikisahkan bahwa akhirnya, karena keyakinan mereka, Khaulah dan kawan-kawannya berhasil melarikan diri dari kurungan musuh!

*Nailah, si Cantik yang Pemberani: Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan.
Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku”. Subhanallah!
Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman.
Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”
Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”.
Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta!
Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.
Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”

*Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Islam Pertama
Sebagai seorang muslim, kita juga mempunyai tokoh yang menjadi pelopor dunia keperawatan Islam. Ia adalah Rufaidah binti Sa’ad, yang merupakan perawat Islam pertama sejak zaman Rasulullah. Rufaidah binti Sa’ad merupakan perawat muslim pertama di zaman Rasulullah SAW. Wanita berhati mulia ini bernama lengkap Rufaidah binti Sa’ad Al Bani Aslam Al Khazraj. Beliau lahir di Yastrib dan tinggal di Madinah. Rufaidah termasuk kaum Anshar, yaitu golongan yang pertama kali menganut Islam di Madinah. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan saat ia bekerja membantu ayahnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
Menurut Prof. Dr. Omar Hasan Kasule, Sr, dalam studi Paper Presented at the 3rd International Nursing Conference “Empowerment and Health: An Agenda for Nurses in the 21st Century” yang diselenggarakan di Brunei Darussalam 1-4 Nopember 1998, Rufaidah adalah perawat profesional pertama dimasa sejarah Islam. Beliau hidup di masa Nabi Muhammad SAW di abad pertama Hijriah/abad ke-8 Sesudah Masehi, dan diilustrasikan sebagai perawat teladan, baik dan bersifat empati. Rufaidah seorang pemimpin, organisatoris, mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain.
Dan digambarkan pula memiliki pengalaman klinik yang dapat ditularkan kepada perawat lain, yang dilatih dan bekerja dengannya. Dia tidak hanya melaksanakan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun juga melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Rufaidah adalah public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam.
Ketika perang Badr, Uhud, Khandaq, dan perang khaibar, Rufaidah menjadi sukarelawan yang merawat sahabat yang terluka akibat perang. Beberapa kelompok wanita dilatihnya untuk menjadi perawat. Dalam perang Khaibar, mereka minta ijin kepada Rasulullah Muhammad SAW, untuk ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat mereka yang terluka, dan Rasulullah SAW mengijinkannya.
Ketika damai, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat kaum muslimin yang sakit. Kemudian berkembang, dan berdirilah Rumah Sakit lapangan yang terkenal saat perang, dan Rasulullah SAW sendiri memerintahkan sahabat yang terluka dirawat olehnya. Tercatat pula dalam sejarah saat perang Ghazwat al Khandaq, Sa’ad bin Ma’adh yang terluka dan tertancap panah di tangannya, dirawat oleh Rufaidah hingga stabil/homeostatis.
Rufaidah memiliki kepribadian luhur dan empati yang memberikan pelayanan keperawatan dengan baik pada para sahabat terluka. Sentuhan sisi kemanusiaan merupakan hal yang sangat penting bagi seorang perawat, sehingga perkembangan sisi tehnologi dan kemanusiaan (human touch) berjalan seimbang.
Rufaidah juga sebagai pemimpin dan pencetus Sekolah Keperawatan pertama di dunia Islam.
Beliau juga merupakan penyokong advokasi pencegahan penyakit (preventif care) dan menyebarkan pentingnya penyuluhan kesehatan.
Dalam sejarah Islam mencatat beberapa nama yang bekerja bersama Rufaidah seperti:
Ummu Ammara, Aminah binti Qays al Ghifariyat, Ummu Ayman, Safiyat, Ummu Sulaiman, dan Hindun.
Dan beberapa wanita muslim yang terkenal sebagai perawat diantaranya, Ku’ayibat, Aminah binti Abi Qays Al Ghifari, Ummu Atiyah Al Ansariyat, Nusaibat binti Ka’ab Al Maziniyat, dan Zainab dari kaum Bani Awad yang ahli dalam penyakit dan bedah mata.
Ternyata umat muslim juga memiliki jagoan wanita yang memang nyata adanya.
Dan semoga para muslimah dapat mengambil dan meniru teladan dari mereka.
So,,, inginkah muslimath era millenies menjadi seperti mereka yang melebihi jagoan wanita yang terkenal saat ini seperti, The bionic women, elastigirl istri Incredible, Cat Women, dan banyak lainnya.

Gimana...???
الله اعلم بالصواب...

Selasa, 07 Mei 2019

Hukum suntik infus sedang puasa

Suntik sama infus itu mebatalin puasa ataukah tidak?,,

JAWABAN :

Ada 5 lubang bagi laki-laki dan 6 bagi perempuan. Jika masuk sesuatu yang kelihatan (ainiyah) ke dalamnya, maka batal lah puasanya, Yaitu Lubang: 1.Hidung, 2.Telinga, 3.Mulut, 4.Dubur, 5.Kemaluan dan 6.Susu (bagi perempuan).

[Kitab Sabilul Muhtadin].

Di kitab tersebut juga disebutkan tiada batal puasanya karena memasukkan jarum suntik, karena kulit tidak termasuk lubang yang terbuka yang 5 atau 6 ini. Ini mazhab Imam Syafi'i 'alaihi ridhwanulloh wa ardhoh. Kalau mazhab Imam Maliki ditambah mata (maka bercelak membatalkan puasa menurut mazhab beliau 'alaihi ridhwanulloh wa ardhoh). Wallahu a'lam. Mohon dikoreksi. Maaf tidak menyertakan teks kitabnya.

Adapun hukum suntik bagi orang yang berpuasa, maka boleh jika dalam keadaan darurat. Namun ulama’ berbeda pendapat dalam masalah suntik membatalkan puasa atau tidak ?

1.Pendapat pertama :

Membatalkan secara mutlak. Karena sampai ke dalam tubuh.

2.Pendapat kedua :

Tidak membatalkan secara mutlak. Karena sampainya ke dalam tubuh bukan melalui lubang yang terbuka
3.Pendapat ketiga : diperinci sebagai berikut :

a.Jika suntikan tersebut berisi suplemen, sebagai pengganti makanan atau penambah vitamin, maka membatalkan puasa. Karena ia membawa makanan yang dibutuhkan ke dalam tubuh.
b.Jika tidak mengandung suplemen (hanya berisi obat), maka diperinci :
i.Apabila disuntikkan lewat pembuluh darah maka membatalkan puasa.
ii.Disuntikkan lewat urat-urat yang tidak berongga maka tidak membatalkan puasa.

روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 1 / ص 274)
فصل في مبيحات الفطر في رمضان وأحكامه : فالمرض والسفر مبيحان بالنص والاجماع كان مقيما صحيح البدن ثم شرط كون المرض مبيحا أن يجهده الصوم معه فيلحقه ضرر يشق احتماله على ما ذكرنا من وجوه المضار في التيمم. ثم المرض إن كان مطبقا فله ترك النية بالليل وإن كان يحم وينقطع نظر إن كان محموما وقت الشروع فله ترك النية وإلا فعليه أن ينوي من الليل ثم إن عاد واحتاج إلى الافطار أفطر وشرط كون السفر مبيحا كونه طويلا ومباحا ولو أصبح صائما ثم مرض في أثناء النهار فله الفطر ولو أصبح مقيما صائما ثم سافر لم يجز له فطر ذلك اليوم وقال المزني يجوز وبه قال غيره من أصحابنا.
التقريرات السديدة / 452
حكم الإبرة : تجوز للضرورةو ولكن اختلفوا في ابطالها للصوم على ثلاث اقوال :
1. ففي قول : انها تبطل مطلقا لأنها وصلت الى الجوف.
2. وفي قول : انها لا تبطل مطلقا ، لأنها وصلت الى الجوف من غير منفذ مفتوح.
3. وقول فيه تفصيل – وهو الأصح- : اذا كانت مغذية فتبطل الصوم, واذا كانت غير مغذية فننظر : اذا كان في العروق المجوفة-وهي الأوردة- : فتبطل، واذا كان في العضل – وهي العروق غير المجوفة – فلا تبطل

Berikut hasil Bahtsul Masaail PP Nurul Hudaa/1997/35 tentang Berobat Dalam Keadaan Puasa :
Saya adalah seorang karyawan rumah sakit Islam di Mojokerto dan sering menjumpai permasalahan sebagaimana di bawah, khususnya di bulan Ramadlan ini. Adapun permasalahannya itu sebagai berikut:

1.Bagamana hukumnya orang puasa yang diberi injeksi / suntikan?

2.Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa dipasang infus?
3.Bagaimana hukumnya orang puasa yang diberi obat tetes mata/tetes mata atau tetes telinga?
Jawaban:

1.Orang yang berpuasa dan disuntik, puasanya tidak batal, sebab obat yang dimasukan melalui injeksi itu adalah ke dalam daging, dan tidak ke dalam rongga badan.
Dasar pengambilan Kitab Al Mahali, Hamisy dari Kitab Al Qalyubi juz 2 halaman 56:

وَلَوْ اَوْصَلَ الدَّوَاءَ لِجَرَاحَةٍ عَلَى اسَّاقِ اِلَى دَاخِلِ الَّلخْمِ اَوْ غَرَزَ فِيْهِ سِكَّيْنًا وَصَلَتْ مُحَّهُ لَمْ يُفْطِرْ لأَِنَّهُ لَيْسَ بِجَوْفٍ.
Andaikata seseorang menyampaikan obat bagi luka betis sampai luka kedalam daging, atau menancapkan pisau pada betis tersebut sampai ke sumsum, maka hal itu tidak sampai membatalkan puasanya, daging itu bukan rongga badan.

2.Infus yang diberikan kepada pasien itu ada dua macam, meskipun caranya sama, yaitu infus untuk memasukan obat dan infus untuk memasukan makanan. Namun yang jelas, kedua macam infus tersebut dilakukan dengan memasukan jarum infus ke dalam saluran darah.
Masalahnya sekarang, apakah saluran darah itu oleh ilmu kedokteran dianggap rongga seperti usus yang menjadi saluran makanan, maka memasukan jarum injeksi ke dalam urat nadi tersebut oleh ilmu kedokteran tidak di anggap rongga seperti usus, maka memasukan jarum injeksi itu tidak di masukan melalui jarum infus tersebut adalah bahan makanan.
Sebab orang yang di infus dengan bahan makanan, yang terkadang beberapa tube, dia akan sanggup hidup meskipun berbulan-bulan meskipun tanpa makanan dan minuman lewat mulutnya. Maka ditinjau dari kandungan hikmah disyariatkan puasa, memasukan bahan makanan melalui jarum infus dapat membatalkan puasa.
Dasar pengambilan

Kitab Al Mahalli,
Hamisy dari Kitab Al Qalyubi juz 2 halaman 56:

وَلَوْ طَعَنَ نَفْسَهُ اَوْ طَعَنَهُ غَيْرُهُ بِاِذْ نهِ فَوَصَلَ السِّكِيْنُ جَوْفَهُ أَفْطَرَ.

Dan andaikata seorang menikam dirinya sendiri atau orang lain menikam dirinya dengan izinnya, kemudian pisaunya sampai pada rongga, maka hal itu membatalkan puasanya.

3.Memasukan obat tetes ke dalam telinga hukumnya membatalkan puasa. Memasukkan obat tetes mata tidak membatalkan puasa.
Dasar pengambilan,,

Kitab Al Fiqhul Manhaji ala Madzahibil Imam Asy Syafi'i halaman 84:

فَا قَطْرَةُ مِنَ الأُذُنِ مُفْطِرَةٌ, لأَنَّهَا مَنْفَدٌ مَفْتُوْحٌ. وَالْقَطْرَةُ فِآ الْعَيْنِ غَيْرُ مُفْطِرَةٍ لأَِنَّهُ مَنْفَدٌ غَيْرُ مَفْتُوْحٍ.

Maka tetesan ke dalam lubang dari telinga adalah membatalkan puasa, karena telinga itu adalah lubang yang terbuka. Dan tetesan ke dalam mata itu tidak membatalkan puasa, karena mata itu lubang yang tidak terbuka.

Allahu A'lam...

Hukum merokok waktu shaum,ngupil,nelen air liyur,mencicipi makanan,

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sebagian permasalahan seputar shaum,hukum merokok waktu shaum,ngupil,nelen air liyur,mencicipi makanan,

Insyaa allah akan jawab tapi ma'af sebelumnya klu jawabannya tdk memuaskan,karena ini juga hasil dari copy paste,permasalahan di bahtsul masaail di majlis ulama indonesia...
Semoga bermanfa'at..

بسم الله الرحمن الرحيم

Mengapa Merokok Dapat Membatalkan Puasa?

Berpuasa adalah menahan diri, demikian dinyatakan para ulama. Salah satu hal yang membatalkan puasa dan mesti harus dihindari adalah memasukkan sesuatu ke dalam lubang tubuh yang terbuka secara sengaja.

Menurut bahasa fiqih, sesuatu yang masuk ke dalam lubang tubuh yang terbuka dan dapat membatalkan puasa ini disebut sebagai ‘ain. Syekh Zakariya al-Anshari menyebutkan dalam Fathul Wahhab, ‘ain ini adalah benda apa pun, baik makanan, minuman, atau obat ..

(Lihat Syekh Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab ‘ala Syarhi Manhajut Thullab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz 1, halaman 140).

Kebanyakan benda yang kita tahu membatalkan puasa, berwujud padat atau cair. Nah, bagaimana jika wujud gas, asap, atau uap?

Asap atau uap, ternyata dianggap mayoritas ulama tidak membatalkan puasa jika dihirup. Karena itulah puasa kita tidak batal dengan menghirup uap masakan yang beraroma. Begitu pula dengan menghirup asap kemenyan atau minyak angin, juga dinilai tidak membatalkan puasa.

Hukum Menghirup Inhaler atau Minyak Angin saat Puasa
Namun, di balik asap dan uap yang disebut tidak membatalkan puasa, ada satu substansi yang sedikit rumit dipaparkan, yaitu soal rokok. Apakah menghisap rokok membatalkan puasa?

Banyak masyarakat Indonesia merokok setiap harinya. Perilaku merokok, Anda tahu, tentu adalah membakar tembakau yang telah dilinting, untuk kemudian dihisap dan diembuskan asapnya.

Kendati tampaknya hanya mengisap, merokok dalam bahasa Arab disebut syurbud dukhan, atau jika diartikan secara literer artinya minum/mengisap asap. Karena nama merokok secara adat adalah asy-syurbu, serta perilaku yang tampak adalah mengisap, mayoritas ulama berpendapat bahwa merokok itu membatalkan puasa dengan berpegangan pada makna ini.

Baca juga: Bahtsul Masail tentang Hukum Merokok
Selain soal definisi dan pelaksanaan merokok itu sendiri, diskusi lebih lanjut seputar hukum merokok saat puasa juga berasal dari pertanyaan: apakah asap yang diisap dari rokok itu termasuk ‘ain?

Salah satu ulama mazhab Syafii bernama Syekh Sulaiman al-‘Ujaili menyebutkan dalam kitabnya Hasyiyatul Jamal:

وَمِنْ الْعَيْنِ الدُّخَانُ لَكِنْ عَلَى تَفْصِيلٍ فَإِنْ كَانَ الَّذِي يَشْرَبُ الْآنَ مِنْ الدَّوَاةِ الْمَعْرُوفَةِ أَفْطَرَ وَإِنْ كَانَ غَيْرَهُ كَدُخَانِ الطَّبِيخِ لَمْ يُفْطِرْ هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ

Artinya: “Dan termasuk dari ‘ain (hal yang membatalkan puasa) adalah asap, tetapi mesti dipilah. Jika asap/uap itu adalah yang terkenal diisap sekarang ini (maksudnya tembakau) maka puasanya batal. Tapi jika asap/uap lain, seperti asap/uap masakan, maka tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat yang mu’tamad (dirujuk ulama karena kuat argumentasinya).”

(Lihat Sulaiman al-‘Ujaili, Hasyiyatul Jumal ‘ala Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, juz 2 halaman 317)

Begitu pula dalam Tuhfatul Muhtaj dinyatakan bahwa asap tembakau yang diisap itu membatalkan puasa. Penulis kitab tersebut, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, menyebutkan bahwa rokok dianggap membatalkan puasa karena memiliki ‘sensasi’tertentu yang dapat dirasakan dari kandungan tembakaunya.

(Lihat Ibnu Hajar al Haitamin, Tuhfatul Muhtajfi Syarhil Minhaj, Mesir, al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1983 M, juz 3 halaman 400-401).

Sebagai penjelas, Ibnu Hajar menyertakan kisah seorang ulama yang menemui murid-muridnya sedan membawa pipa untuk menghirup tembakau saat puasa. Syekh yang bernama Az-Ziyadi ini lantas memecahkan pipa itu di depan mereka, dan melihat ada ampas dari asap di dalamnya.

Sebelum mengecek hakikat ‘asap yang diisap dari rokok’, Syekh az-Ziyadi ini mulanya berpendapat bahwa rokok itu boleh. Namun setelah mengetahui lebih detil, ia pun menilai adanya bekas dari asap yang dihirup, dan menyimpulkan bahwa hal tersebut adalah ‘ain yang membatalkan puasa.

Karena dinilai sebagai ‘ain, asap yang diisap dari rokok ini membatalkan karena diisap secara sengaja. Berikut keterangan dalam Syekh Nawawi al-Banteni dalam kitab Nihayatuz Zain:

يفْطر صَائِم بوصول عين من تِلْكَ إِلَى مُطلق الْجوف من منفذ مَفْتُوح مَعَ الْعمد وَالِاخْتِيَار وَالْعلم بِالتَّحْرِيمِ ...وَمِنْهَا الدُّخان الْمَعْرُوف

Artinya: Sampainya ‘ain ke tenggorokan dari lubang yang terbuka secara sengaja dan mengetahui keharamannya itu membatalkan puasa...seperti mengisap asap (yang dikenal sebagai rokok).

(Lihat Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadul Mubtadiin, Beirut: Darul Fikr, juz 1, halaman 187)

Seorang ulama Nusantara bernama Syekh Ihsan Jampes menyusun kitab berjudul Irsyadul Ikhwan fi Bayanil Qahwah wad Dukhan (Kitab Kopi dan Rokok). Selain menyodorkan berbagai perdebatan seputar hukum rokok, ia juga menyertakan masalah merokok saat puasa.

Ulama asal Kediri ini mengumpulkan pendapat para ulama tentang hukum merokok saat puasa, dan berkesimpulan bahwa hal tersebut memang membatalkan puasa. Kendati semisal ‘ain dari asap yang diisap dari rokok ini sulit diidentifikasi secara fisik, tapi secara 'urf ia adalah ‘ain, seperti dicatat Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj.

Dapat juga dipahami mengapa orang yang terpapar asap rokok (secondhand smoker/perokok pasif), tidak membatalkan puasa. Batalnya puasa hanya jatuh bagi sang perokok saja, toh yang melakukan syurbud dukhan adalah perokoknya. Orang di sekitarnya hanya menghirup asap yang diembuskan perokok.

Saat ini kita juga mengenal alat vape, atau shisha, yang kerap digunakan sebagai alternatif rokok. Jika merujuk beberapa argumentasi di atas, maka keduanya juga membatalkan puasa. Penggunaan di atas menggunakan cairan/gel yang diuapkan, serta tentu sengaja dihirup.

Demikianlah mengapa merokok itu membatalkan puasa, meskipun hanya tampak mengisap asap belaka. Menahan diri untuk sejenak tidak merokok, meski berat, adalah satu pembelajaran tersendiri di bulan puasa ini.
Wallahu a’lam.

Ngupil

Batas akhir di belakang Khaisyum tulang hidung.

- Fathul muin :

ولا يفطر بوصول شيء إلـى بـاطنِ قَصَبَةِ أنفٍ حتـى يجاوِزَ منتهى الـخَيْشُوم، وهو أقْصَى الأَنْفِ

- I'anatut tholibin :

(قوله: ولا يفطر بوصول شيء إلـى بـاطن قصبة أنف) أي لأنها من الظاهر، وذلك لأن القصبة من الـخيشوم، والـخيشوم جميعه من الظاهر. (قوله: حتـى يجاوز منتهى الـخيشوم) أي فإن جاوزه أفطر، ومتـى لـم يجاوز لا يفطر
- Minhajul qawim :

ثم داخل الفم إلى منتهى المهملة، والأنف إلى منتهى الخيشوم، له حكم الظاهر في الإفطار باستخراج القيء إليه أو ابتلاعه النخامة منه، وفي عدم الإفطار بدخول شيء فيه وإن أمسكه، وفي أنه إذا تنجس وجب غسله، وله حكم الباطن في عدم الإفطار بابتلاع الريق منه، وفي سقوط غسله عن الجنب

- Asnal matholib  :

ثُمَّ دَاخِلُ الْفَمِ وَالأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْغَلْصَمَةِ) وَهِيَ بِغَيْنٍ مُعْجَمَةٍ مَفْتُوحَةٍ وَلامٍ سَاكِنَةٍ وَصَادٍ مُهْمَلَةٍ الْمَوْضِعُ النَّاتِئُ فِي الْحَلْقِ (وَ) مُنْتَهَى (الْخَيْشُومِ ظَاهِرٌ) مِنْ حَيْثُ إنَّ الصَّائِمَ (يُفْطِرُ بِاسْتِخْرَاجِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلاعِ النُّخَامَةِ مِنْهُ سَوَاءٌ اسْتَدْعَاهَا) أَيْ اسْتَقْلَعَهَا إلَى الْفَمِ وَالأَنْفِ (أَمْ لا) بَلْ حَصَلَتْ فِيهِ بِلا اسْتِدْعَاءٍ (فَإِنْ جَرَتْ بِنَفْسِهَا) مِنْ الْفَمِ أَوْ الأَنْفِ وَنَزَلَتْ إلَى جَوْفِهِ (عَاجِزًا عَنْ الْمَجِّ) لَهَا (فَلا) يُفْطِرُ لِلْعُذْرِ بِخِلافِ مَا إذَا أُجْرِيَ ظَاهِرًا وَهُوَ ظَاهِرٌ أَوْ جَرَتْ بِنَفْسِهَا قَادِرًا عَلَى مَجِّهَا لِتَقْصِيرِهِ مَعَ أَنَّ نُزُولَهَا مَنْسُوبٌ إلَيْهِ وَبِهِ فَارَقَ مَا إذَا طَعَنَهُ غَيْرُهُ كَمَا سَيَأْتِي (لا بِدُخُولِ شَيْءٍ إلَيْهِ) أَيْ إلَى دَاخِلِ الْفَمِ أَوْ الأَنْفِ أَيْ لا يُفْطِرُ بِهِ وَإِنْ أَمْسَكَهُ

- Hasyiyah aljamal :

وَالأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْخَيْشُومِ لَهُ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي الإِفْطَارِ بِاسْتِخْرَاجِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلاعِ النُّخَامَةِ مِنْهُ وَعَدَمِهِ بِدُخُولِ شَيْءٍ فِيهِ وَإِنْ أَمْسَكَهُ
- Qalyubi :

قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِيُّ: وَدَاخِلُ الْفَمِ وَالأَنْفِ إلَى مُنْتَهَى الْخَيْشُومِ لَهُ حُكْمُ الظَّاهِرِ فِي الإِفْطَارِ بِوُصُولِ الْقَيْءِ إلَيْهِ وَابْتِلاعُ النُّخَامَةِ مِنْهُ وَعَدَمُ الإِفْطَارِ بِوُصُولِ عَيْنٍ إلَيْهِ وَإِنْ أَمْسَكَهَا فِيهِ

Melihat beberapa ta'bir di atas maka bisa disimpukan bahwa memasukkan air ke dalam hidung tidak membatalkan puasa. Termasuk ngupil juga tidak batal. Selagi yang dimasukkan itu tidak sampai pangkal hidung. Bagaimana dengan menghirup ingus ?....

Pada Telinga : ketika sudah melewati " Almuntabiq", yakni awal bagian dalam telinga yang tidak terlihat dari luar.
Pada Hidung : ketika melewati seluruh tulang yang keras"khaisyum".
Sedangkan menurut qoul' muqobbil asoh" yang dipelopori oleh Imam Al Ghozali, Imam Abu Ali, Imam Fauroniy, dan Qodli Husain, masuknya benda ke dalam lubang telinga tidak membatalkan puasa karena tidak mempunyai tembusan ke otak.

Ibarot kitab  Ittihaf saddatul muttaqiin 4/209 :

ولا يفسد بالفصد والحجامة والإكتحال وإدخال الميل في الأذن والإحليل إلا أن يقطر فيه ما يبلغ المثانة .
( ما يبلغ المثانة ) ... إلى أن قال ... قال الرافعي في بطلان الصوم بالتقطير في الأذن بحيث يصل إلى الباطن وجهان أحدهما وبه قال الشيخ أبو محمد أنه يبطل كالسعوط والثاني لا يبطل لأنه لا منفذ من الأذن إلى الدماغ وما يصل إلى المسام فأشبه الإكتحال ويروى هذا الوجه عن الشيخ أبي علي والفوراني والقاضي الحسين وهو الذي أورده المصنف في الوجيز ولكن الأول أظهر عند أكثر الأصحاب ولهم أن يقولوا هب ان الأذن لامنفذ فيه إلى داخل الدماغ لكنه نافذ إلى داخل قحف الرأس لامحالة والوصول إليه كاف في البطلان إهــ .
- Tambahan ibarot  ingus :

ثم داخل الفم والأنف إلى منتهى الغلصمة والخيشوم له حكم الظاهر في الافطار باستخراج القئ إليه وابتلاع النخامة منه وعدمه بدخول شئ فيه وإن أمسكه وإذا تنجس وجب غسله وله حكم الباطن في عدم الافطار بابتلاع الريق منه وفي سقوط غسله من نحو الجنب وفارق وجوب غسل النجاسة عنه بأن تنجس البدن أندر من الجنابة فضيق فيه دونها اه‍ وقوله ثم داخل الفم الخ في شرح بأفضل مثله إلا أنه أبدل منتهى الغلصمة بمنتهى المهملة قال ع ش قوله أخص منه أي هو بعضه عند اللغويين وليس أخص بالمعنى المصطلح عليه عندهم لأنه ليس جزئيا من جزئيات مطلق الحلق وإنما هو جزء منه قال في المصباح والغلصمة أي بمعجمة مفتوحة فلام ساكنة فمهملة رأس الحلقوم وهو الموضع الناتئ في الحلق والجمع غلاصم وقوله م ر ثم داخل الفم أي إلى ما وراء مخرج الحاء المهملة وداخل الانف إلى ما وراء الخياشيم اه‍ وقال الكردي على بأفضل فالخيشوم جميعه من الظاهر قال في العباب والقصبة من الخيشوم اه‍ وهي فوق المارن وهو ما لأن من الانف اه‍

Bagian dalam mulut sampai ujung jakun adalah bagian luar mulut, yang apabila muntah / ingus sampai kepadanya maka batal jika ditelan kembali. Adapun hidung adalah khisyum yang apabila ingus dikeluarkan sampai kepadanya kemudian di kembalikan baik di telan atau tidak maka batal, untuk tidak batalnya jika ada yang masuk( ini benda dari luar kedua itulah yang menjadi patokan, jelasnya ujung jakun bagi mulut dan khaisyum untuk hidung !

Pertanyaannya :

1. Di manakah batas rongga hidung yang disunnahkan istinsyaq (menghirup air hidung) atau “maaf” ngupil saat puasa ?
J : Batas istinsyaq yang disunnahkan bagi orang puasa adalah sekiranya tidak sampai pada Khaisyum, sebab kalau sudah sampai pada Khaisyum kemungkinan air sulit untuk dikeluarkan lagi dan bisa masuk ke rongga yang menyebabkan mudharat batalnya puasa.

أما إذا سبق الماء إلى الجوف نتيجة المبالغة فإنه يفطر لأن المبالغة منهي عنها في الصوم

Adapun jika air terlanjur masuk ke dalam rongga sebab istinsyak yang kuat maka dapat membatalkan puasa, karena sesungguhnya menguatkan hirupan istinsyak dilarang (oleh Nabi) bagi orang yang puasa. (Fiqhul 'Ibadah).
2. Jika keluar ingus sampai pada batas luar lalu ingus itu dihirup kembali, apakah membatalkan puasa ?
J : Jika ingus dimasuikkan kembali dan mampu untuk mengeluarkan kembali. maka jika ditelan dapat membatalkan puasa.

- Tuhfatul Muhtaj :

( فَإِنْ تَرَكَهَا مَعَ الْقُدْرَةِ ) عَلَى لَفْظِهَا ( فَوَصَلَتْ الْجَوْفَ ) يَعْنِي : جَاوَزَتْ الْحَدَّ الْمَذْكُورَ ( أَفْطَرَ فِي الْأَصَحِّ ) لِتَقْصِيرِهِ بِخِلَافِ مَا إذَا لَمْ تَصِلْ لِلظَّاهِرِ ، وَإِنْ قَدَرَ عَلَى لَفْظِهَا ، وَمَا إذَا وَصَلَتْ إلَيْهِ وَعَجَزَ عَنْ ذَلِكَ
KESIMPULAN :
Batas akhir dari daerah dzohir bagi hidung itu adalah nomor 1 pada gambar di atas, itulah batas akhir di belakang Khaisyum tulang hidung, dengan ta'bir yang di kitab I'anah dan Tuhfatul muhtaj :

وَدَاخِلُ الْأَنْفِ إلَى مَا وَرَاءَ الْخَيَاشِيمِ

Batas batinnya hidung sampai di belakangnya khoisyum.
Bagi orang berpuasa Istinsyaq ketika wudhu' tetap sunnah, asalkan tidak mubalaghah dan berhati-hati terhadap masuknya air pada jauf.

- Imam Mawardi Al-Hawi Al-Kabir :

فَصْلٌ : وَأَمَّا الْفَصْلُ الثَّانِي : فِي صِفَةِ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ وَكَيْفِيَّتِهِمَا : أَمَّا الْمَضْمَضَةُ فَهِيَ إِدْخَالُ الْمَاءِ إِلَى مُقَدَّمِ الْفَمِ ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهَا إِدَارَتُهُ فِي جَمِيعِ الْفَمِ ، وَالِاسْتِنْشَاقُ فَهُوَ إِدْخَالُ الْمَاءِ مُقَدَّمَ الْأَنْفِ ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِ إِيصَالُهُ إِلَى خَيْشُومِ الْأَنْفِ ، وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِمَا سُنَّةٌ زَائِدَةٌ عَلَيْهِمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَائِمًا فَيُبَالِغُ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغُ فِي الِاسْتِنْشَاقِ لِقَوْلِهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} لِلَقِيطِ بْنِ صَبِرَةَ : " أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكْونَ صَائِمًا " .
وَالْفَرْقُ فِي الصَّائِمِ بَيْنَ أَنْ يُبَالِغَ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغَ فِي الِاسْتِنْشَاقِ ؛ لِأَنَّهُ يُمْكِنُهُ بِإِطْبَاقِ حَلْقِهِ رَدُّ الْمَاءِ عَنْ وُصُولِهِ إِلَى جَوْفِهِ وَلَا يُمْكِنُهُ رَدُّ الْمَاءِ بِخَيْشُومِهِ عَنِ الْوُصُولِ إِلَى رَأْسِهِ .

FOKUS :

وَالْمُبَالَغَةُ فِيهِمَا سُنَّةٌ زَائِدَةٌ عَلَيْهِمَا إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَائِمًا فَيُبَالِغُ فِي الْمَضْمَضَةِ وَلَا يُبَالِغُ فِي الِاسْتِنْشَاقِ

Mubalagah dalam Istinsyaq adalah sunnah tambahan selain pada orang yang berpuasa, maka (untuk orang puasa) boleh mubalagah dalam berkumur, dan tidak boleh mubalagah dalam beristinsyaq.

Air liyur

Ludah yang belum tercampur zat / benda lain dan masih berada dalam rongga mulut (belum keluar dari mulut) adalah ludah yang masih murni, maka bila ditelan tidak membatalkan puasa. Menelan ludah yang masih ada dalam mulut bila ludah tersebut suci / tidak najis karena bercampur dengan darahnya gusi dan ludah tersebut tidak bercampur zat lain / murni ludah maka tidak membatalkan puasa.

Ringkasnya, menelan air ludah saat puasa tidak batal ketika :
1. Ludah murni, tidak bercampur dengan lainnya (sisa makanan misalnya..)
2. Ludah yg tertelan adalah ludah dari sumbernya (dalam mulut). Kalau ludahnya sudah keluar dari mulut lalu disedot dan ditelan, maka batal.
3. Menelan ludah dalam batas âdah (normal). Kalau ludahnya dikumpulkan dulu di dalam mulut, setelah itu ditelan, maka ada dua pendapat. Pendapat yang Ashoh tidak batal.

Maksud poin nomor 1 yaitu apabila ludah bercampur dengan sesuatu yang najis namun 'ain najis tersebut sudah hilang dan tidak ada perubahan kembali atau sifat-sifatnya sudah hilang dan ludahnya sudah putih kembali, semisal gusi keluar darah atau semalam habis makan suatu yang najis, namun belum mensucikan mulutnya dengan membasuh mulutnya sampai masuk waktu shubuh maka apabila menelan ludahnya menurut Kebanyakan Ulama (Ashoh) Batal Puasanya karena ludahnya najis sebab mulutnya yang belum dibasuh maka tidak boleh menalan ludahnya selama mulutnya belum disucikan dengan membasuhnya.

- Raodloh Ath-tholibin 2/359-360 :
BACA JUGA..
فرع
ابتلاع الريق لا يفطر بشروط.
أحدها: أن يتمحض الريق، فلو اختلط بغيره وتغير به، أفطر بابتلاعه، سواء كان الغير طاهرا، كمن فتل خيطا مصبوغا تغير به ريقه، أو نجسا كمن دميت لثته وتغير ريقه، فلو ذهب الدم، وابيض الريق، ولم يبق تغير، هل يفطر بابتلاعه؟ وجهان.
أصحهما عند الأكثرين: يفطر، لأنه نجس لا يجوز ابتلاعه. وعلى هذا، لو تناول بالليل شيئا نجسا، ولم يغسل فمه حتى أصبح، فابتلع الريق، أفطر.
الشرط الثاني: أن يبتلعه من معدته، فلو خرج عن فيه ثم رده بلسانه أو بغيره وابتلعه، أفطر.
ولو أخرج لسانه وعليه الريق، ثم رده وابتلع ما عليه، لم يفطر على الأصح.
ولو بل الخياط الخيط بالريق، ثم رده إلى فيه على ما يعتاد عند الفتل، فإن لم يكن عليه رطوبة تنفصل، فلا بأس، وإن كانت وابتلعها، فوجهان.
قال الشيخ أبو محمد: لا يفطر، كما لا يفطر بالباقي من ماء المضمضة. وقال الجمهور: يفطر، لأنه لا ضرورة إليه، وقد ابتلعه بعد مفارقته معدته.
وخص صاحب «التتمة» الوجهين بما إذا كان جاهلا تحريم ذلك، قال: فإن كان عالما، أفطر بلا خلاف.

الشرط الثالث: أن يبتلعه على هيئته المعتادة، فإن جمعه ثم ابتلعه، فوجهان. أصحهما: لا يفطر.

- I'anatut Tholibin :

.لا يفطر بريق طاهر صرف أى خالص ابتلعه من معدنه وهو جميع الفم ولو بعد جمعه علي الأصح وإن كان بنحو مصطكى أما لو ابتلع ريقا اجتمع بلا فعل فلا يضر قطعا وخرج بالطاهر المتنجس بنحو دم لثته فيفطر بابتلاعه وإن صفا ولم يبق فيه أثر مطلقا لأنه لما حرم ابتلاعه لتنجسه صار بمنزلة عين أجنبية. إعانة الطالبين ٢/٢٣١-٢٣٢

- Majmu' Syarh Muhadzdzab :

📚 المجموع شرح المهذب ، ج ٦ ، ص ٣١٧ - ٣١٨
(الثَّالِثَةُ) ابْتِلَاعُ الرِّيقِ لَا يُفْطِرُ بِالْإِجْمَاعِ إذَا كَانَ عَلَى الْعَادَةِ لِأَنَّهُ يَعْسُرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ قَالَ أَصْحَابُنَا: وَإِنَّمَا لَا يُفْطِرُ بِثَلَاثَةِ شُرُوطٍ
✔ (أَحَدُهَا) أَنْ يَتَمَحَّضَ الرِّيقُ فَلَوْ اخْتَلَطَ بِغَيْرِهِ وَتَغَيَّرَ لَوْنُهُ أَفْطَرَ بِابْتِلَاعِهِ سَوَاءٌ كَانَ الْمُغَيِّرُ طَاهِرًا كَمَنْ فَتَلَ خَيْطًا مَصْبُوغًا تَغَيَّرَ بِهِ رِيقُهُ أَوْ نَجِسًا كَمَنْ دَمِيَتْ لِثَتُهُ أَوْ انْقَلَعَتْ سِنُّهُ أَوْ تَنَجَّسَ فَمُهُ بِغَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يُفْطِرُ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّ الْمَعْفُوَّ عَنْهُ هُوَ الرِّيقُ لِلْحَاجَةِ وَهَذَا أَجْنَبِيٌّ غَيْرُ الرِّيقِ وَهُوَ مُقَصِّرٌ بِهِ بِخِلَافِ غُبَارِ الطَّرِيقِ وَنَحْوِهِ فَلَوْ بَصَقَ حَتَّى ابْيَضَّ الرِّيقُ وَلَمْ يَبْقَ فِيهِ تَغَيُّرٌ فَفِي إفْطَارِهِ بِابْتِلَاعِهِ وَجْهَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ قَالَ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ يُفْطِرُ وَهَذَا هُوَ الصحيح عند غيره وقطع به المتولي وآخرون وَنَقَلَ الرَّافِعِيُّ تَصْحِيحَهُ عَنْ الْأَكْثَرِينَ لِأَنَّهُ نَجِسٌ لَا يَجُوزُ ابْتِلَاعُهُ وَلَا يَطْهُرُ الْفَمُ إلَّا بِالْغَسْلِ بِالْمَاءِ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ وَعَلَى هَذَا لَوْ أَكَلَ بِاللَّيْلِ شَيْئًا نَجِسًا وَلَمْ يَغْسِلْ فَمَهُ حَتَّى أَصْبَحَ فَابْتَلَعَ الرِّيقَ أَفْطَرَ صَرَّحَ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَالرَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُمَا
✔ (الشَّرْطُ الثَّانِي) أَنْ يَبْتَلِعَهُ مِنْ مَعْدِنِهِ فَلَوْ خَرَجَ عَنْ فِيهِ ثُمَّ رَدَّهُ بِلِسَانِهِ أَوْ غَيْرِ لِسَانِهِ وَابْتَلَعَهُ أَفْطَرَ قَالَ أَصْحَابُنَا حَتَّى لَوْ خَرَجَ إلَى ظَاهِرِ الشَّفَةِ فَرَدَّهُ وَابْتَلَعَهُ أَفْطَرَ لِأَنَّهُ مُقَصِّرٌ بِذَلِكَ وَلِأَنَّهُ خَرَجَ عَنْ مَحَلِّ الْعَفْوِ قَالَ الْمُتَوَلِّي وَلَوْ خَرَجَ إلَى شَفَتِهِ ثُمَّ رَدَّهُ وَابْتَلَعَهُ افطر ولو اخرج لِسَانُهُ وَعَلَيْهِ رِيقٌ حَتَّى بَرَزَ لِسَانُهُ إلَى خَارِجِ فِيهِ ثُمَّ رَدَّهُ وَابْتَلَعَهُ فَطَرِيقَانِ حَكَاهُمَا الْبَغَوِيّ وَغَيْرُهُ (الْمَذْهَبُ) وَبِهِ قَطَعَ الْمُتَوَلِّي أَنَّهُ لَا يُفْطِرُ وَجْهًا وَاحِدًا لِأَنَّهُ لَمْ يَنْفَصِلْ ولا يثبت حكم الخروج للشئ إلَّا بِانْفِصَالِهِ كَمَا لَوْ حَلَفَ لَا يَخْرُجُ مِنْ دَارٍ فَأَخْرَجَ رَأْسَهُ أَوْ رَجْلَهُ لَمْ يَحْنَثْ وَلَوْ أَخْرَجَ الْمُعْتَكِفُ رَأْسَهُ أَوْ رَجْلَهُ مِنْ الْمَسْجِدِ لَمْ يَبْطُلْ اعْتِكَافُهُ
(وَالثَّانِي)
فِي إبْطَالِهِ وَجْهَانِ كَمَا لَوْ جَمَعَ الرِّيقَ ثُمَّ ابْتَلَعَهُ وَقَدْ سَبَقَ مِثْلُ هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ فِي بَابِ مَا يَنْقُضُ الْوُضُوءَ فِيمَا لَوْ أَخْرَجَتْ دُودَةٌ رَأْسَهَا مِنْ فَرْجِهِ ثُمَّ رَجَعَتْ قَبْلَ انفصالها هل ينتقض وضوؤه فِيهِ
وَجْهَانِ (الْأَصَحُّ) يَنْتَقِضُ
✔ (الشَّرْطُ الثَّالِثُ) أَنْ يَبْتَلِعَهُ عَلَى الْعَادَةِ فَلَوْ جَمَعَهُ قَصْدًا ثُمَّ ابْتَلَعَهُ فَهَلْ يُفْطِرُ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ذَكَرَهُمَا الْمُصَنِّفُ بِدَلِيلِهِمَا (أَصَحُّهُمَا) لَا يُفْطِرُ وَلَوْ اجْتَمَعَ رِيقٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِغَيْرِ قَصْدٍ فَابْتَلَعَهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ

Mencicipi makanan
Waktu puasa,,

Boleh dan tidak makruh bila ada hajat, asal hanya sebatas lidah dan tidak sampai tertelan. Namun bila tidak ada hajat maka dimakruhkan.
ومحل الكراهة ان لم تكن له حاجة اما الطباح رجلا كان او امراءة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي

"Dimakruhkan mencicipi makanan (bagi orang yang puasa...) tersebut bila memang bagi orang yang tidak ada kepentingan sedangkan bagi seorang pemasak makanan baik laki-laki atau perempuan atau orang yang memiliki anak kecil yang mengunyahkan makanan buatnya maka tidak dimakruhkan mencicipi makanan buat mereka seperti apa yang difatwakan Imam Az-Ziyaadi". (Assyarqowy I/445).
Allahu A'lam
Wassalaam.