Contoh Pembagian Keuntungan Bagi Hasil (Mudhorobah)
Mudharabah 1. Pemilik modal dari 1 (satu) orang dan pelaksana satu orang.
Zaed menyerahkan modal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Umar untuk diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40% untuk Zaed (pemilik modal) dan 60% untuk Umar, dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi).
Jika Untung:
Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp. 500.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Zaed :40% x Rp. 500.000 = Rp. 200.000,-
Umar :60% x Rp. 500.000 = Rp. 300.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Zaed adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 200.000 = Rp. 1.200.000
Jika Rugi:
Pada saat akhir bisnis mengalami kerugian (ingat menentukan kerugian setelah kerjasama mau berakhir/penyerahan modal kepada pemilik) yang bukan diakibatkan oleh kelalaian Umar, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Zaed selaku pemilik modal.
Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai. Dan keuntungan yang telah diperoleh Zaed selama ini dihitung menjadi bagian modal dan yang bagian Umar diserahkan kepada Zaed untuk menutupi kerugian pada modal.
Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 1000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai prosentase yang telah disepakati.
2. Pemilik modal terdiri dari beberapa orang dan pelaksana 1 orang
Zaed, Umar dan Bakar bersepakat mengumpulkan modal, kemudian akan diserahkan kepada Husen dengan sistem mudharabah. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Mereka (Zaed, Umar, Bakar) bersepakat bahwa keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing.
Rincian prosentase dari modal yang ditanam masing-masing sebesar Rp. 12.000.000,- adalah:
Zaed :40% (Rp. 4.800.000,-)
Umar :25% (Rp. 3.000.000,-)
Bakar :35% (Rp. 4.200.000,-)+
100% (Rp.12.000.000,-)
Selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Husen untuk diniagakan dengan akad mudharabah. Pada saat akad disepakati bahwa keuntungan dibagi 60% untuk pemilik modal (Zaed, Umar, Bakar) dan 40% untuk pelaksana (Husen). Keuntungan dibagikan (dihitung) setiap usaha telah memperoleh laba (satu kali putaran produksi).
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Maka cara pembagian keuntungannya:
Langkah 1
Pembagian keuntungan antara pemilik modal dengan pelaksana
- Pemilik modal :
60% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.500.000,-
- Husen
40% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.000.000,-
Langkah 2
Pembagian keuntungan Rp. 1.500.000,- antara pemilik modal sesuai dengan modal masing-masing sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Zaed :40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Umar :25% x 1.500.000 = Rp. 375.000
Bakar :35% x 1.500.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus:
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal
dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 1.500.000 = 0,125
Rp. 12.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Zaed : 0,125 x Rp. 4.800.000 = Rp. 600.000
Umar : 0,125 x Rp. 3.000.000 = Rp. 375.000
Bakar : 0,125 x Rp. 4.200.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika rugi
Kasus jika kerugian yang ada pada modal tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)
Contoh:
Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan serta dilakukan divestasi (pengembalian modal), ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian yang ada sebesar Rp.1.000.000,- (jadi sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000,- (12.000.000 – 1.000.000)
Perhitungkan kembali keuntungan yang pernah dibagikan disaat bisnis sedang berjalan.
Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi modal, sisanya menjadi keuntungan dan dibagikan sesuai prosentase yang telah disepakati pada saat akad
Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan sebagian keuntungan yang pernah diambilnya dan pemilik modal harus menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal.
Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara penghitungannya:
(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan)
11.000.000 + 2.500.000 = Rp. 13.500.000
Ternyata modal tidak mengalami kerugian, karena tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.
Uang yang ada – jumlah modal, sisanya menjadi keuntungan.
13.500.000 – 12.000.000 = Rp. 1.500.000
Berarti keuntungan yang diperoleh sebenarnya sebesar Rp. 1.500.000, maka keuntungan inilah yang dibagikan sesuai dengan kesepakatan.
Bagian masing-masing antara pemilik modal dan Husen (pelaksana)
- Pemilik modal ; 60% x 1.500.000 = Rp. 900.000
- Husen ; 40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Jika keuntungan yang pernah diterima Husen sebelum akhir bisnis sebesar Rp. 1000.000, maka ia harus mengembalikannya sebesar Rp. 400.000 (Rp. 1.000.000 – 600.000) untuk menutupi kekurangan pada modal.
Sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000 ditambah Rp. 400.000 (dari Husen) menjadi sebesar Rp. 11.400.000
Sedangkan untuk pemilik modal (Zaed, Umar dan Bakar) harus menganggap keuntungan yang pernah diterimanya sebagai bagian dari modal sesuai dengan proposional modal yang ditanamnya.
Jika keuntungan yang pernah diterima sebesar Rp. 1.500.000, sedangkan keuntungan diakhir bisnis yang sebenarnya hanya Rp. 900.000,-, maka mereka harus menganggap keuntungan yang telah diterimanya sebagai modal sebesar Rp. 600.000,- dan disesuaikan dengan proposional modal yang ditanamkan oleh masing-masing pemilik modal.
Jadi bagian keuntungan yang pernah diterima masing-masing yang harus dianggap sebagai modal, adalah:
Zaed : 40% x 600.000 = Rp. 240.000
Umar : 25% x 600.000 = Rp. 150.000
Bakar : 35% x 600.000 = Rp. 210.000 +
Rp. 600.000
Maka ketiga orang ini diakhir bisnis masing-masing akan menerima pengembalian modal, sebagai berikut:
Zaed : 4.800.000 – 240.000 = Rp. 4.560.000
Umar : 3.000.000 – 150.000 = Rp. 2.850.000
Bakar : 4.200.000 – 210.000 = Rp. 3.990.000 +
Rp.11.400.000
Meskipun mereka menerima lebih kecil dari modal yang ditanamkannya, pada dasarnya modal tidak mengalami kerugian, karena mereka telah menikmati keuntungan saat usaha sedang berjalan.
Kasus jika kerugian yang ada pada modal tidak tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)
Contoh:
Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan serta dilakukan divestasi (pengembalian modal), ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian/ kekurangan pada modal sebesar Rp. 5.000.000,- jadi sisa modal yang ada sebesar Rp. 7.000.000,- (12.000.000 – 5.000.000)
Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi modal, jika modal belum tertutupi (Rugi), maka kerugian yang ada ditanggung oleh pemilik modal sesuai saham yang diinvestasikan
Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan seluruh keuntungan yang pernah diambilnya dan tidak berkewajiban menanggung kerugian, sedangkan pemilik modal harus menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal
Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari modal
Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara perhitungannya:
(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan)
7.000.000 + 2.500.000 = Rp. 9.500.000
Ternyata modal mengalami kerugian, karena tidak tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.
Jumlah modal seharusnya – uang (modal) yang ada, sisanya menjadi kerugian yang harus ditanggung bersama-sama antara pemilik modal.
12.000.000 – 9.500.000 = Rp. 2.500.000,-
Berarti modal mengalami kerugian sebesar Rp. 2.500.000, maka kerugian ini yang ditanggung oleh pemilik modal sesuai modal yang diinvestasikan.
Dalam hal ini Husen (selaku pelaksana) hanya berkewajiban mengembalikan keuntungan yang pernah diambilnya sebesar Rp. 1.000.000 dan tidak berkewajiban menanggung kerugian.
Untuk pengembalian sisa modal kepada masing-masing pemilik modal ada beberapa cara:
Cara 1
Setiap pemilik modal harus mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, dengan rincian:
Zaed : Rp. 600.000
Umar : Rp. 375.000
Bakar : Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Kemudian dijumlahkan dengan sisa modal yang ada setelah ditambah dengan pembelian dari pelaksana.
(Sisa modal + pengambilan keuntungan dari pelaksana + pengembalian keuntungan dari pemilik modal)
7.000.000 + 1.000.000 + 1.500.000 = Rp. 9.500.000
Jadi pengembalian modal kepada masing-masing pemilik modal adalah:
Zaed : 40% x 9.500.000 = Rp. 3.800.000
Umar : 25% x 9.500.000 = Rp. 2.375.000
Bakar : 35% x 9.500.000 = Rp. 3.325.000 +
Rp. 9.500.000
Untuk melihat kerugian yang dialami masing-masing pemilik modal adalah:
(prosentase masing-masing modal yang ditanamkan dikalikan dengan jumlah kerugian yang menjadi tanggungan)
Zaed : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Umar : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Bakar : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Bandingkan dengan perhitungan dibawah ini:
(jumlah modal masing-masing – jumlah pengembalian sisa modal yang ada untuk masing-masing)
Zaed : 4.800.000 – 3.800.000 = Rp.1.000.000
Umar : 3.000.000 – 2.375.000 = Rp. 625.000
Bakar : 4.200.000 – 3.325.000 = Rp. 875.000 +
Rp.2.500.000
Cara 2
Pemilik modal tidak mengembalikan keuntungan, tetapi langsung menganggap bahwa keuntungan yang pernah diambil dianggap sebagai bagian dari modal.
Maka jumlah uang yang dibagikan antara pemilik modal adalah:
(Sisa modal + pengembalian keuntungan dari pelaksana)
7.000.000 + 1.000.000 = Rp. 8.000.000,-
Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, maka diakhir bisnis, pada saat divestasi (pengembalian modal) masing-masing pemilik modal akan menerima uang sebagai berikut:
Zaed : 40% x 8.000.000 = Rp. 3.200.000
Umar : 25% x 8.000.000 = Rp. 2.000.000
Bakar : 35% x 8.000.000 = Rp. 2.800.000 +
Rp. 8.000.000
Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil, pada saat divestasi seolah-olah pemilik modal mengalami kerugian sebagai berikut:
Zaed : 4.800.000 – 3.200.000 = Rp. 1.600.000
Umar : 3.000.000 – 2.000.000 = Rp. 1.000.000
Bakar : 4.200.000 – 2.800.000 = Rp. 1.400.000 +
Rp. 4.000.000
Musyarakah
Husin, Hasan dan Husen bersepakat untuk melakukan perjanjian kerjasama musyarakah, dalam satu usaha bisnis, dimana semua pihak mengumpulkan modal dan mengelolanya secara bersama-sama.
Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Mereka (Husin, Hasan dan Husen) bersepakat, pembagian keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing tanpa membedakan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya.
Modal yang diinvestasikan sesuai dengan kesanggupan masing-masing, yaitu:
Husin : 25% x 20.000.000 = Rp. 5.000.000
Hasan : 40% x 20.000.000 = Rp. 8.000.000
Husen : 35% x 20.000.000 = Rp. 7.000.000 +
Rp. 20.000.000
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Pembagian keuntungan antara anggota syirkah disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing anggota syirkah sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Husin : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Hasan : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus :
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 2.500.000 = 0,125
Rp. 20.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Husin : 0,125 x 5.000.000 = Rp. 625.000
Hasan : 0,125 x 8.000.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 0,125 x 7.000.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika Rugi
Jika diakhir bisnis mengalami kerugian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Terhadap keuntungan yang pernah dibagikan, setiap anggota syirkah harus menganggap sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal.
Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari modal
Cara pengembalian keuntungan bisa 2 cara yaitu:
- Masing-masing anggota syirkah tidak perlu mengembalikan keuntungan yang pernah diterima saat bisnis berjalan, melainkan langsung membagi sisa modal yang ada sesuai prosentase modal yang diinvestasikan
- Masing-masing anggota syirkah mengembalikan terlebih dahulu setiap keuntungan yang pernah diterimanya selama bisnis berjalan dan mencampurkannya dengan sisa modal yang ada, kemudian dibagikan sesuai prosentase modal yang diinvestasikannya.
Sedangkan untuk melihat berapa tanggungan masing-masing anggota syirkah dari kerugian yang ditimbulkannya adalah sama dengan cara pembagian keuntungan, yaitu dengan rumus :
Prosentase modal masing-masing
dikalikan jumlah kerugian yang ada
Cara penghitungannya sama dengan cara pembagian keuntungan atau kerugian pada kasus mudharabah diatas yang pemilik modalnya terdiri dari beberapa orang
Demikian contoh-contoh teknis pembagian keuntungan dan kerugian dalam sistem bagi hasil mudharabah dan musyarakah.
Pembaca bisa menggunakan dan mencari teknis penghitungan yang lebih mudah dan cepat, selama tidak keluar dari prinsip-prinsip mudharabah dan musyarakah yang telah ditetapkan oleh ahli fiqh.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 00.38 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP MUDHARABAH
Ø Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kedapa pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian penbagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga, perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Dalam melakukan kontrak ini, ada rukun-rukun tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bekerjasama, yaitu:Rukun mudharabah adalah :
1. Orang yang berakad :
· Pemilik modal/shahibul mal
· Pelaksana atau mudharib
2. Modal
3. Kerja atau usaha
4. Keuntungan/ribh
5. Sighat/ijab kabul
Ø Jenis –jenis Mudharabah
Ada tiga jenis mudharabah, yaitu mudharabah Muthlaqah (tidak terikat) dan mudharabah Muqayyadah (terikat).
1. Mudharabah Muthlaqah: pemilik dana memberikan keleluasan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
2. Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
3. Mudharabah musytarakah adalah bentuk mudharabah dimana pengelola mnyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Akad musytarakah ini merupakan solusi sekiranya dalam perjalanan usaha, pengelola dana memiliki modal yang dapat dikontribusikan dalam investasi, sedang disisi lain, adanya penambahan modal ini akan dapat meningkatkan kemajuan investasi. Akad musytarakah ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah. Dalam akad musyarakah, pengelola dana berdasarkan akad (mudharabah) menyertakan juga dananya dalam investasi bersama (berdasarkan akad musyarakah. Setelah penambahan dana oleh pengelola, pembagian hasil usaha antara pengelola dana dan pemilik dana dalam mudharabah adalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik dana musyarakah.
Ø Teknik Bagi Hasil Dengan Prinsip Mudharabah
Dalam hukum syar’iyah, ketetapan modal yang harus dibayar atau diserahkan kepada mudharib sesuai dengan kebijakan persyaratan yang telah ditentukan, bahwa pembayaran akan dicairkan tanpa penyesuaikan akuisisi (perolehan ) aktualnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar dana mudharabah tidak diambil begitu saja tanpa adanya persetujuan dari Bank. Ada dua alasan yang tidak bisa digunakan dalam penilaian aset non-kas yang diterima oleh Bank Islam sebagai modal adalah :
· Ketentuan nilai yang telah disepakati oleh semua pihak, tentang penilaian aset non-moneter yang akan diakui akuntansi keuangan.
· Penerapan nilai tersebut yang disepakati bersama oleh para pihak dari kontrak untuk menilai aset non-moneter akad menjurus kepada penerapan konsep kejujuran representasional.
Ø Pengakuan Laba atau Rugi Mudharabah
1. Apabila pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan :
· Laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati, dan
· Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.
2. Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh bank.
3. Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba, dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Sedangkan bagi pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah.
4. Rugi pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian mudharabah sebelum masa akad berakhir diakui sebagai pengurang pembiayaan mudharabah.
5. Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib dibebankan pada pengelola dana (mudharib).
6. Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana (mudharib) pada saat mudharabah selesai atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada pengelola dana (mudharib).
Dalam pembiayaan mudharabah ini pembagian hasil antara shahibul maal (bank) dengan mudharib (debitur) dapat dilakukan dengan metode “Revenue Sharing” atau “Profit Sharing”. Dalam pembagian dengan mempergunakan metode revenue sharing, shahibul maal tidak pernah mengalami kerugian, kecuali usaha mudharib dilikuidasi dimana jumlah aktiva lebih kecil dari kewajibannya. Lain halnya jika dalam pembagian bagi hasil tersebut mempergunakan metode profit sharing, pada setiap periode pembukuan akan dengan mudah diketahui kerugian atau keuntungan pengelolaan dana mudharabah.
Dalam pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan, laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati, dan rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah. Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh bank.
Contoh :
Atas laporan dari Tn Zulkifli atas pengelolaan pembiayaan mudharabah diperoleh hasil bersih pengelolaan dana mudharabah sebesar Rp. 1.000.000,- dan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati yaitu 70 untuk bank/shahibul maal dan 30 untuk nasabah/mudharib. Hasil untuk bank telah dibayar oleh mudharib sebelum tutup buku bank dilakukan.
Pembagian porsi masing-masing dengan perhitungan yang sangat sederhana adalah:
Shahibul maal : 70/100 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 700.000,-
Mudharib : 30/100 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 300.000,-
Jurnal sehubungan dengan penerimaan hasil tersebut adalah :
Dr. Kas/Rekening Nasabah Rp. 700.000,-
Cr. Pendapatan bagi hasil Mudharabah Rp. 700.000,-
Referensi Buku
Wiroso,dkk, Akuntansi Perbankan Syariah, Cet 1, Jakarta : LPFE Usakti, 2005.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet 4, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2006.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 00.23 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Rabu, 06 November 2013
TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP WADI’AH
A. Pengertian wadiah
Al-wadi’ah adalah titipan atau simpanan. Prinsip Al-wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendaki. Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tanagn amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
B. Jenis-jenis wadi’ah dan karakteristiknya
1. Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah yad al-manah, titipan dimana penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai di ambil kembali oleh penitip.
Wadi’ah yad al-manah ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
ü Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
ü Merupakan titipan murni.
ü Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilau maupun fisik barangnya.
2. Wadi’ah yad adh-dhamana
Wadi’ah yad adh-dhamana adalah titipan dimana barang titipan selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan olehipenerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penirima titipan.
Wadi’ah yad adh-dhamanah ini memiliki karakteristik berikut ini:
ü Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
ü Penyimpan mempunyai untuk bertanggujawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.
ü Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan.
ü Sebagai imbalan kepada pemilik brang atau dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus, yang tidak disyaratkan sebelumnya.
C. Teknik bagi hasil prinsip wadiah
1. Teknik bagi hasil giro wadiah
Pada prinsipnya, teknik perhitungan bonus wadi’ah dihitung dari saldo terendah dalam satu bulan. Namun demikian, bonus wadi’ah dapat diberikan kepada giran sebagai berikut:
a. Saldo terendah dalam satu bulan takwin di atas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus wadi’ahnya dihitung dari saldo terendah).
b. Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwin di atas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus gironya dihitung dari saldo rata-rata harian).
c. Saldo hariannya diatas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung dari saldo harian).
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus giro wadia’ah adalah sebagai berikut:
v Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadi’ah x saldo terendah bulan yang bersangkutan
v Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadi’ah x saldo rata-rata harian bulan ybs
v Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Tarif bonus wadi’ah x saldo harian ybs x hari efektif
2. Teknik bagi hasil tabungan wadi’ah
Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadi’ah, beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah.
b. Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian.
c. Bonus wadiah atas dasar saldo harian.
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut:
v Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadiah x saldo terendah bulan ybs
v Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan ybs
v Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Tarif bonus wadiah x saldo harian ybs x hari efektif
D. Contoh kasus bagi hasil wadiah
Contoh rekening giro Wadiah:
Tn. Basri memiliki rekening giro wadiah di Bank Muamalat Sungailiat dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2002 adalah Rp 1.000.000, Bonus yang diberikan Bank Muamalat Sungailiat kepada nasabah adalah 30% dengan saldo rata-rata minimal Rp 500.00, Diasumsikan total dana giro wadiah di Bank Muaamalat Sungailiat adalah Rp 500.000.000,-. Pendapatan Bank Muamalat Sungailiat dari penggunaan giro wadiah adalah rp 20.000.000,-.
Pertanyaaan: Berapa bonus yang diterima oleh Tn. Basri pada akhir bulan Mei 2002.
Jawab:
Bonus yang diterima Tn. Basri = Rp 1.000.000x Rp 20.000.000 x 30% = Rp 12.000
Rp 500.000.000 (sebelum dipotong pajak)
REFERENSI BUKU
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqh Dan Keuangan), Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010.
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, jakarta: LPFE Usakti,2009.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 20.05 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
( BAGI HASIL DAN BUNGA )
Pengertian bank syariah Bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah atau Islam namun Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist, sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang beropersional sesuai undang-undang pemerintah yang tidak menggunakan hukum agama.
Pengertian perbankan syariah menurut pasal 1 butir satu undang-undang no 7 Tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Jenis-jenis perbankan menurut pasal 5 undang-undang no 7 Tahun 1992 adaah :
Bank umum, adalah bank yang dapat memberikanjasa dalam lalulintas pembayaran (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan).
Bank perkreditan rakyat, adalah yang memberikan simpanan hanya berbentuk deposito berjangka tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan). Sedangkan dalam undang-undang no 10 Tahun 1998 pasal 1pengertian bank, bank umum dan bank perkreditan rakyat disempurnakan menjadi :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan usaha secara konvensional atau secara prinsip usaha syariah yang dalam kegiatan usahanya memberika jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank perkreditan rakyat syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Sedangkan dalam undang-undang no 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian anatara lain sebagai berikut :
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan tentang bank syariah dan unit usaha syariah mencakup, kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan.
Bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya memberikan lalu lintas pembayaran.
Unit pembiyaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan lali lintas pembayaran.
Unit usaha syariah adalah unit kerja dari kantor pusat umum bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Perbedaan lain antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah ditinjau dari hal-hal berikut ini anatar lain adalah:
Bank Syariah
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
Prinsip bagi hasil:
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Bank Konvensional
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference).
Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
Sistem bunga:
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Dapat di lihat dalam bentuk tabel perbedaan bank syariah yang lbih menrinci :
Perbedaan Bank Syariah dengan Banak Konvensional
1. Dasar hukum Al qur’an, As sunnah, Fatwa ulama, Bank indonesia dan pemerintah Bank indonesia dan pemerintah
2. Falsafah Tidak berdasar bunga (Riba), spekulasi (maysir) dan ketidakjelasan(gharar) Berdasarkan atas bunga (Riba)
3. Operasional Dana masyarakat (Dana pihak ketiga /DPK) berupa titipan (wadiah) dan investasi (mudharabah) yang baru mendapatkan hasil jika diuasahakan terlebih dahulu. Penyaluran dana (fanancing) pada usah yang halal dan menguntungkan. Dana masyarakat ( dana Pihak Ketiga) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya. Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan aspek halall tidak menjadi pertimbangan agama.
4. Apek sosial Dinyatakana secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Misi dan Visi Tidak di ketahui secara tegas.
5. Organisasi Harus memiliki Dewan Pengawas (DPS) Tidak memiliki dewan pengawas syariah (DPS)
Bunga
Bunga bank adalah sejumlah uang dibayar atau dikalkulasi untuk pengguna modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dalam satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Menurut Muhammad syafi’i antonio bunga bank adalah suatu tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dalam bentuk persentase dari yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung.Bersarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang yang di pinjamkan, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalakan oleh nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil
Perbedaan antara sistem ekonomi islam dengn sistem ekonomi lainnya adalah terletak pada penerapan bunga. Dalam ekonomi islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang diharamkan oleh syariat islam. Sehingga dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi hasil yang dalam syariat islam dihalalkan untuk dilakukan.
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan profit sharing (bagi laba) Penghitungan menurut pendekatan ini adalah hitungan bagi hasil yang berdasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Referensi :
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, 2009
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 20.01 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Minggu, 06 Oktober 2013
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
( BAGI HASIL DAN BUNGA )
Pengertian bank syariah Bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah atau Islam namun Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist, sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang beropersional sesuai undang-undang pemerintah yang tidak menggunakan hukum agama.
Pengertian perbankan syariah menurut pasal 1 butir satu undang-undang no 7 Tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Jenis-jenis perbankan menurut pasal 5 undang-undang no 7 Tahun 1992 adaah :
Bank umum, adalah bank yang dapat memberikanjasa dalam lalulintas pembayaran (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan).
Bank perkreditan rakyat, adalah yang memberikan simpanan hanya berbentuk deposito berjangka tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan). Sedangkan dalam undang-undang no 10 Tahun 1998 pasal 1pengertian bank, bank umum dan bank perkreditan rakyat disempurnakan menjadi :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan usaha secara konvensional atau secara prinsip usaha syariah yang dalam kegiatan usahanya memberika jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Bank perkreditan rakyat syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Sedangkan dalam undang-undang no 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian anatara lain sebagai berikut :
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan tentang bank syariah dan unit usaha syariah mencakup, kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan.
Bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya memberikan lalu lintas pembayaran.
Unit pembiyaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan lali lintas pembayaran.
Unit usaha syariah adalah unit kerja dari kantor pusat umum bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Perbedaan lain antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah ditinjau dari hal-hal berikut ini anatar lain adalah:
Bank Syariah
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
Prinsip bagi hasil:
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Bank Konvensional
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference).
Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
Sistem bunga:
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Dapat di lihat dalam bentuk tabel perbedaan bank syariah yang lbih menrinci :
Perbedaan Bank Syariah dengan Banak Konvensional
1. Dasar hukum Al qur’an, As sunnah, Fatwa ulama, Bank indonesia dan pemerintah Bank indonesia dan pemerintah
2. Falsafah Tidak berdasar bunga (Riba), spekulasi (maysir) dan ketidakjelasan(gharar) Berdasarkan atas bunga (Riba)
3. Operasional Dana masyarakat (Dana pihak ketiga /DPK) berupa titipan (wadiah) dan investasi (mudharabah) yang baru mendapatkan hasil jika diuasahakan terlebih dahulu. Penyaluran dana (fanancing) pada usah yang halal dan menguntungkan. Dana masyarakat ( dana Pihak Ketiga) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya. Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan aspek halall tidak menjadi pertimbangan agama.
4. Apek sosial Dinyatakana secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Misi dan Visi Tidak di ketahui secara tegas.
5. Organisasi Harus memiliki Dewan Pengawas (DPS) Tidak memiliki dewan pengawas syariah (DPS)
Bunga
Bunga bank adalah sejumlah uang dibayar atau dikalkulasi untuk pengguna modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dalam satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Menurut Muhammad syafi’i antonio bunga bank adalah suatu tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dalam bentuk persentase dari yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung.Bersarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang yang di pinjamkan, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalakan oleh nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil
Perbedaan antara sistem ekonomi islam dengn sistem ekonomi lainnya adalah terletak pada penerapan bunga. Dalam ekonomi islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang diharamkan oleh syariat islam. Sehingga dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi hasil yang dalam syariat islam dihalalkan untuk dilakukan.
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan profit sharing (bagi laba) Penghitungan menurut pendekatan ini adalah hitungan bagi hasil yang berdasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL, BAGI HASI DAN BUNGA
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran secara umum berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional
Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akd dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture/budaya.
Bank Syariah
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja (sesuai syariat agama)
2. Berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat
3. Berdasarkan prinsip bagi hasil yang telh disepakati kedua belah pihak, dimana ;
· Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan untung rugi.
· Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
· Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
· Kerugian ditanggung bersama
· Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
· Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
Bank Konvensional
1. Investasi ke semua bidang usaha sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan
2. Profit oriented (berorientasi pada keuntungan)
3. Memakai prosedur bunga pinjaman, sesuai kesepakatan yang diantaranya :
· Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
· Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
· Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
· Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
· Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
· Eksistensi bunga diragukan
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syariah
Selain itu ada beberapa perbedaan dasar seperti ; Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah agama, yakni usaha yang di dalamm menajalankan usahanya sesuai dengan syariah agama dan perbedaan lainnya secara organisasi, bank syariah dan bank konvensional secara umum itu sama. Perbedaannya hanya satu, bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah, sedangkan bank konvensional tidak.