Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Kamis, 26 Desember 2019

PLURALISME BERBALUT TOLERANSI

Khutbah Jum'at

PLURALISME BERBALUT TOLERANSI

Oleh. Ust,Husni Thamrin (ugm)

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

أَمَّا بَعْدُ

Puji dan syukur bagi Allah yang telah menurunkan agama Islam sebagai pedoman hidup meuju keselamatan.
Salawat dan salam.semoga terlimpah curah kepadanya panutan alam Rasulullah Muhammad SAW. Kepada keluarganya, sahabatnya dan para pengikut setianya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Berbagai upaya menjauhkan kaum muslim dari Islam terus dilakukan. Termasuk melalui serangan pemikiran (invasi pemikiran, ghzawul Fikri).

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

"Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (QS. Al-Baqarah: 217),

Bentuk invasi pemikiran tersebut antara lain pluralisme berbalut toleransi. Sebuah propaganda agar orang beragama tidak fanatik dengan agamanya, tidak mengklaim bahwa agamanya yang benar yang selainnya salah. Lalu disebarkanlah isme bahwa semua agama sama benarnya, sama baiknya dan sama menuju menuju Tuhan.

Dari paham pluralisme tersebut seorang muslim bebas berpindah agama, bebas menikah dengan yang berbeda agama, ikut terlibat kegiatan berbagai agama. Dewasa ini kita saksikan beragama acara;  Natalan bersama, do'a bersama, shalawatan di gereja pada hari natal, dsb.

Tentu pemikiran pluralisme yang mengakui semu agama benar, kemudian mencampur adukan agama adalah pemikiran dan propaganda bahaya. Dapat mengeluarkan aqidah seorang muslim sekaligus merusak Syariah Islam yang sempurna. Hakikatnya untuk menjauhkan kaum muslimin dari Islam. Sangat benar MUI pada th 2011 memfatwakan haramnya puluraslime, sekularisme dan liberalisme.

Gagasan pluralisme yang menganggap semua agama benar, mencampur adukan agama atas nama toleransi adalah pemahaman bathil dilihat dari berbagai sisi.

Pertama. Seorang muslim wajib meyakini hanyalah Islam agama yang benar yang di ridlai oleh Allah SWT.

Allah SWT Berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلامُ

“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

Nabi SAW Bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim).

Kedua. Meyakini bahwa agama  selain agama Islam adalah agama bathil.

Allah SWT Berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al Imran: 85).

Ketiga. Islam tidak akan memaksa non muslim untuk memeluk agama Islam. Sebab masuk Islam perlu keimanan, pemahaman dan keikhlasan. Bila sudah disampaikan kebenaran Islam dan kebatilan selainnnya, terserah apakah mau menerima Islam atau tetap dalam kekufuran.

Allah SWT Berfirman,

لَا إكْرَاه فِي الدِّين قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ

“Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256)

Keempat. Islam menghargai masing-masing pemeluk agama punya keyakinan tata cara peribadahan yang berbeda. Karenanya Islam mempersilahkan agama selain Islam beribadah sesuai agamanya masing-masing. Namun Islam dengan tegas tidak boleh mencampuradukan agama.

Allah SWT Berfirman,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ . لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ . وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ . لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

" Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

Kelima. Dalam pergaulan kemanusiaan, Islam mengajarkan berbuat baik sesama manusia walau beda agama. Saling menyapa, saling menghormati dalam bertetangga, saling menolong dan membantu dalam kebutuhan hidup. Islam melindungi jiwa dan harta non muslim.

Allah  SWT Berfirman.

( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) الممتحنة/8 .

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Perlu digaris bawahi. Jangan ajari Islam soal toleransi. Islam sudah khatam membahasnya sejak kelahiran hingga dalam sejarahnya yang berabad-abad. Justru toleransi  mesti diajarkan di negeri-negeri non muslim. Saksikan saja saat ini, dimana kaum muslimin minoritas, disitu terjadi penindasan. Lihatlah, pengusiran, pembantaian, pelarangan hak-hak ibadah kaum muslimin minoritas Rohgya di Myanmar, Urghir di China, di negeri-negeri Eropa. Bahkan di India di sahkan UU ANTI Warga negara Muslim.

Apakah di negeri yang mayoritas muslim ada fakta pengusiran, pembantaian dan pemaksaan terhadap nonmuslim. Karena Indonesia mayoritas muslim, Borobudur berdiri tegak berabad-abad, Bali yang mayoritas agama Hindu aman, 10 th terakhir  jumlah gereja berdiri lebih dari 350 %

Jangan ajari Islam soal toleransi. Apalagi sebagai kedok untuk mengacak-acak ajarannya. Karena Islam lahir membawa kebaikan untuk seluruh umat manusia dan alam semesta.

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ ليْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah 2

اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَه لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ

اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ.

فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. في ِالْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ

اللّهُم انْصرْ مِنْ نِصرِ الدّينِ واخْذُلْ مِنْ خِذِلَ المسلمِين.

اَللَّهُمَّ الْعَنْ كَفَرَةَ أَهْلَ الْكِتَابِ الَّذِيْنَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُونَ أَوْلِيَائَ

اَللَّهُمَّ خَالِفْ بَيْنَ كَلِمِهِمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ وَأَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِيْ لاَ تَرُدُّهُ عَنِ الْقَوْمِ الْمُجْرِمِيْنَ

رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عِبَادَالله اِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوااللهَ الْعَظِيْمِ يذكركم وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ. وَلَذِكْرُاللهِ اَكْبَرُ

Shalat Jum'at kurang dari 40 orang


PERTANYAAN
Assalamu alaikum. Mohon jawaban. Pada waktu juma'atan di kampung itu ada 40 orang tapi yang 1 orang ada keparluan yang sangat penting sehingga ia keluar dan tidak bisa sholat juma'tan. Pertanyaannya : Apakah orang yang 39 harus sholat dzuhur karena jelas kurang syarat menurut imam syafi'i. Terimakasih. [Ustdz Fathur Rozi].
JAWABAN
Wa'alaikumsalam. Manurut madhab Syafi'i tidak sah salat jum'at dengan hitungan kurang dari 40 orang. Dan sebagian Ash-habus Syafi'iyyah memilih pada boleh nya salat jum'at dengan hitungan kurang dari 40 dengan taqlid pada pendapat yang membolehkannya. Masalah hitungn jema'ah dalam jum'at itu ulama' berbeda2 pendapat hingga nyampe 25 pendapat.. Namun pendapat yang paling mu'tamat adalah 40. Menurut abu yusuf dan muhammad yang di ceritakan oleh awza'I dan abi nashir adalah 4 orang sah. Menurut ibnu hazim 2 orang cukup seperti jema'ah biasa.
- Bughyah bab shalat jum'at :
(مسألة: ج): المذهب عدم صحة الجمعة بمن لم يكمل فيهم العدد، واختار بعض الأصحاب جوازها بأقل من أربعين تقليداً للقائل به،
- Risalah Jum'ah Halaman 5 :
ثم قال الشيخ سالم الحضري في كتابه المذكورة نمرة 21 ان للشافعي رحمهالله تعالى فب العدد الذي تنعقد به الجمعة اربعة اقوال قول معتمد وهو الجديد وهو كونهم اربعين بالشروط المذكورة , وثلاثة اقوال في المذهب القديم ضعيفة احدها اربعة احدهم الامام والثاني ثلاثة احدهم الامام والثالث اثنى عشر احدهم الامام , فعلى العاقل الطالب ما عند الله تعالى من ثوابه ورضاه ان لايترك الجمعة ما نأتي فعلها على واحد من هذه الاقوال الاربعة ولكن اذا لم تعلم الجمعة انها متوفرة فيها الشروط على القول الاول وهو القول الجديد فيسن اعادة الظهر بعدها احتياطا فرارا من خلاف من منعها بدون اربعين اهـ . رسالة الجمعة
Berkata as-syaikh salim al-hudlori dalam kitabnya hal.21 : dalam madzhab syafi’i mengenai jumlah yang menjadi ketentuan jum’at ada empat qoul, yang mu’tamad adalah qoul jadid mengharuskan jumlah jum’at 40 orang. Tiga qoul lain adalah qoul qodim dan hukumnya dlo’if yaitu :
- 4 orang salah satunya imam
- 3 orang salah satunya imam
- 12 orang salah satunya imam
Bagi orang ‘Aqil yang mencari ridlo Alloh hendaknya tidak meninggalkan jum’at dengan cara menjalankan salah satu dari empat qoul yang telah disebutkan. Tetapi jika tidak tahu/ yaqin apakah jum’at nya memenuhi syarat qoul pertama maka di sunnahkan mengulang sholat dhuhur, untuk berhati2 dan menghindar dari dari ulama’ yang melarang jum’at kurang dari 40. Keterangan serupa ada di kitab Fatawi Kubro.
Dalam Qoul Qodimnya Imam Syafi'i disebutkan boleh shalat jum'at dengan 4 orang saja, dan Qoul Qodim tersebut boleh diikuti/ diamalkan karena Qoul tersebut telah dikuatkan oleh AL ASHHABUS SYAFI'I yaitu Imam Al-Muzaniy, Imam Ibnu Al-Mundzir, dan Imam As Suyuthiy. Fihris Ianah 2/58-59 dan Bughyah Al-Mustarsyidin halaman 81 :
قوله أى غير الإمام الشافعي أى باعتبار مذهبه الجديد فلا ينافي أن له قولين قديمين في العدد أيضا أحدهما أقلهم أربعة حكاه عنه صاحب التلخيص وحكاه في شرح المهذب واختاره من أصحابه المزني كما نقله الأذرعي في القوت وكفى به سلفا في ترجيحه فإنه من كبار أصحاب الشافعي ورواة كتبه الجديدة وقد رجحه أيضا أبو بكر بن المنذر في الأشراف كما نقله النووي في شرح المهذب ثاني القولين اثنا عشر وهل يجوز تقليد أحد هذين القولين الجواب نعم فإنه قول للإمام نصره بعض أصحابه ورجحه وقولهم القديم لا يعمل به محله مالم يعضده الأصحاب ويرجحوه وإلا صار راجحا من هذه الحيثية وإن كان مرجوحا من حيث نسبته للإمام وقال السيوطي كثيرا ما يقول أصحابنا بتقليد أبي حنيفة في هذه المسئلة وهو إختياري إذ هو قول للشافعي قام الدليل على رجحانه إه وحينئذ تقليد أحد هذه القولين أولى من تقليد أبي حنيفة فتنبه وقد ألفت رسالة تتعلق بجواز العمل بالقول القديم للإمام الشافعي رضي الله عنه في صحة الجمعة بأربعة وبغير ذلك فانظرها إن شئت. إعانة الطالبين ٢/٥٨-٥٩
Dalam kasus di atas menurut imam Al Bulqiniy harus shalat zhuhur, akan tetapi kalau shalat jum'at karena taqlid pada imam yang memperboleh kurang dari 40 orang jga boleh dan lebih baik lagi bla shalat jum'at kemudian disertai dengan shalat zhuhur. Bahkan menurut sebagian Ulama, takutlah meninggalkan shalat jum'at walawpun kurang dari 40 orang karena shalat jum'at bagian dari rahmat Allah dan pelebur dosa dalam seminggu.
Wallohu a'lam.

Rabu, 25 Desember 2019

5 waktu shalat terlarang


Ada lima waktu terlarang untuk shalat.

Ini butuh dipahami supaya kita tidak melakukan shalat di sembarang waktu.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah shalat Shubuh sampai matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah shalat ‘Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Bukhari, no. 586 dan Muslim, no. 827)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari  akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.”  (HR. Muslim, no. 831)

 

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Para ulama sepakat untuk shalat yang tidak punya sebab tidak boleh dilakukan di waktu terlarang tersebut. Para ulama sepakat masih boleh mengerjakan shalat wajib yang ada’an (yang masih dikerjakan di waktunya, pen.) di waktu tersebut.

Para ulama berselisih pendapat mengenai shalat sunnah yang punya sebab apakah boleh dilakukan di waktu tersebut seperti shalat tahiyatul masjid, sujud tilawah dan sujud syukur, shalat ‘ied, shalat kusuf (gerhana), shalat jenazah dan mengqadha shalat yang luput. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang masih punya sebab tadi masih boleh dikerjakan di waktu terlarang. …

Di antara dalil ulama Syafi’iyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengqadha shalat sunnah Zhuhur setelah shalat ‘Ashar. Berarti mengqadha shalat sunnah yang luput, shalat yang masih ada waktunya, shalat wajib yang diqadha masih boleh dikerjakan di waktu terlarang, termasuk juga untuk shalat jenazah.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 100)

 

Waktu terlarang untuk shalat ada lima:
Dari shalat Shubuh hingga terbit matahari terbit.
Dari matahari terbit hingga matahari meninggi (kira-kira 15 menit setelah matahari terbit).
Ketika matahari di atas kepala tidak condong ke timur atau ke barat hingga matahari tergelincir ke barat.
Dari shalat Ashar hingga mulai tenggelam.
Dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna. (Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2: 205)
DARI KESIMPULAN IMAM NAWAWI DI ATAS, WAKTU TERLARANG UNTUK SHALAT HANYA BERLAKU UNTUK SHALAT SUNNAH MUTLAK YANG TIDAK PUNYA SEBAB, SEDANGKAN YANG PUNYA SEBAB MASIH DIBOLEHKAN.

 

Hukum Shalat Gerhana diwaktu Terlarang

Hukum Shalat Gerhana Bulan Setelah Subuh
Bagaimana hukum shalat gerhana bulan setelah subuh?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Pertama, menurut pendapat yang lebih kuat, shalat di waktu terlarang berlaku untuk shalat sunah mutlak, yaitu shalat sunah tanpa sebab.

Ada 3 waktu larangan shalat, setelah subuh sampai terbit matahari, setelah asar sampai terbenam matahari, dan ketika matahari tepat di tengah, hingga tergelincir ke barat.

Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari meninggi, dan tidak ada shalat setelah asar sampai matahari terbenam.” (HR. Bukhari 586).

Waktu larangan ini berlaku untuk shalat mutlak, yaitu shalat tanpa sebab.

An-Nawawi mengatakan,

وأجمعت الأمة على كراهة صلاة لا سبب لها في هذه الأوقات، واتفقوا على جواز الفرائض المؤداة فيها، واختلفوا في النوافل التي لها سبب كصلاة: تحية المسجد، وسجود التلاوة، والشكر، وصلاة العيد، والكسوف، وفي صلاة الجنازة، وقضاء الفوائت. ومذهب الشافعي وطائفة جواز ذلك كله بلا كراهة

Kaum muslimin sepakat makruhnya shalat tanpa sebab di waktu-waktu terlarang ini. Mereka juga sepakat, bolehnya shalat wajib yang dikerjakan di waktu terlarang ini. Hanya saja, mereka berbeda pendapat mengenai shalat sunah yang memiliki sebab, seperti tahiyatul masjid, sujud tilawah, shalat id, shalat gerhana, shalat gerhana, dan qadha shalat yang ketinggalan. Dalam madzhab Syafiiyah dan beberapa madzhab lainnya, semua shalat yang memiliki sebab itu dibolehkan.

Kedua, shalat gerhana termasuk shalat sunah muakkad yang memiliki sebab. Sebabnya adalah gerhana matahari atau bulan. Sehingga shalat ini boleh dilakukan, sekalipun di waktu terlarang.

Karena itulah, menurut pendapat baru dari Imam as-Syafii, jika terlihat gerhana bulan setelah  subuh, tetap dianjurkan untuk melaksanakan shalat gerhana tersebut, meskipun di waktu larangan.

An-Nawawi mengatakan,

ولو طلع الفجر وهو خاسف -يعني القمر- أو خسف بعد الفجر قبل طلوع الشمس، فقولان، الصحيح الجديد يصلي، والقديم لا يصلي

Jika fajar telah terbit dan terjadi gerhana bulan atau terlihat gerhana setelah fajar terbit, maka ada 2 pendapat – Imam as-Syafii – dan pendapat yang benar menurut al-Qaul al-Jadid (pendapat baru Imam Syafii), shalat gerhana dianjurkan untuk dilakukan. Sementara menurut al-Qaul al-Qadim (pendapat lama Imam Syafii), tidak boleh mengerjakan shalat gerhana. (al-Majmu’, 5/54).

Ketiga, shalat gerhana dikerjakan disebabkan melihat gerhana. Sehingga selama pengaruh gerhana itu masih kelihatan, disyariatkan untuk shalat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah seusai shalat kusuf. Dalam khutbahnya, Beliau bersabda,

إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا ينكسفان لموت أحد ولا لحياته ، ولكن الله يرسلهما يخوف بهما عباده ، فإذا رأيتم ذلك فصلوا وادعوا حتى ينكشف ما بكم

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah. Mereka tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang atau lahirnya orang tertentu. namun Allah menciptakan peristiwa gerhana matahari dan bulan itu, agar membuat para hamba-Nya takut. Karena itu, jika kalian melihat peristiwa gerhana, lakukanlah shalat dan berdoalah, sampai gerhana itu selesai.”

Dalam riwayat lain:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَإِلَى الصَّلاَةِ

“Jika kalian melihat gerhana maka segeralah mengingat Allah Azza wa Jalla, dan melaksanakan shalat.” (HR. Ad-Darimi 1569, An-Nasai 1494 dan dishahihkan al-Albani).

Karena itu, selama gerhana bulan masih kelihatan setelah subuh, maka disyariatkan untuk shalat gerhana tersebut.

Imam Ibnu Utsaimin ditanya,

‘Apabila terjadi gerhana bulan setelah shalat subuh, apakah dianjurkan shalat gerhana?’

Jawaban beliau:

نعم، تصلى لما تقدم في الجواب السابق إلا إذا لم يبق على طلوع الشمس إلا قليلاً لأنه قد ذهب سلطان القمر حينئذ فلا يصلى.

Betul, dianjurkan untuk shalat gerhana, sebagaimana keterangan sebelumnya. Kecuali jika sebentar lagi terbit matahari, karena cahaya bulan gerhana ketika itu mulai tidak kelihatan, sehingga tidak dianjurkan mengerjakan shalat. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, XIII – Bab shalat Kusuf)

Keempat, terbit matahari, namun shalat belum selesai

Bagaimana jika sudah terbit matahari, sementara shalat belum selesai?

Shalat tetap dilanjutkan sampai selesai. Sebagaimana ketika ada orang yang shalat gerhana, kemudian kejadian gerhananya sudah menghilang, sementara shalat gerhana belum selesai, maka tetap dilanjutkan sampai selesai.

An-Nawawi menyebutkan,

لو شرع في الصلاة بعد الفجر فطلعت الشمس وهو فيها لم تبطل كما لو انجلي الكسوف في اثنائها

Jika ada orang yang sudah melakukan shalat gerhana setelah subuh, lalu matahari terbit, sementara shalat belum selesai, maka shalat itu tidak batal. Sebagaimana ada orang yang shalat gerhana, lalu gerhananya menghilang di tengah sedang shalat. (al-Majmu’, 5/54).

Demikian, Allahu a’lam.

Rabu, 11 Desember 2019

Contoh pembagian keuntungan mudhorobah

Contoh Pembagian Keuntungan Bagi Hasil (Mudhorobah)

Mudharabah 1. Pemilik modal dari 1 (satu) orang dan pelaksana satu orang.
Zaed menyerahkan modal sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada Umar untuk diniagakan. Pada saat perjanjian (akad) disepakati bahwa keuntungan akan dibagi 40% untuk Zaed (pemilik modal) dan 60% untuk Umar, dan keuntungan dibagikan setiap usaha setelah mendapatkan keuntungan (1 kali putaran produksi).
Jika Untung:
Setelah dilakukan usaha, keuntungan bersih (setelah dikurangi biaya-biaya) yang diperoleh sebesar Rp. 500.000,-
Maka keuntungan yang diperoleh masing-masing adalah:
Zaed :40% x Rp. 500.000 = Rp. 200.000,-
Umar :60% x Rp. 500.000 = Rp. 300.000,-
Dengan keuntungan tersebut, diakhir bisnis uang yang diterima Zaed adalah:
(seluruh modal + bagian)
1.000.000 + 200.000 = Rp. 1.200.000
Jika Rugi:
Pada saat akhir bisnis mengalami kerugian (ingat menentukan kerugian setelah kerjasama mau berakhir/penyerahan modal kepada pemilik) yang bukan diakibatkan oleh kelalaian Umar, maka kerugian tersebut ditanggung oleh Zaed selaku pemilik modal.
Untuk mengembalikannya maka komoditi yang ada dijual seluruhnya sehingga menjadi bentuk uang tunai. Dan keuntungan yang telah diperoleh Zaed selama ini dihitung menjadi bagian modal dan yang bagian Umar diserahkan kepada Zaed untuk menutupi kerugian pada modal.
Jika seluruh komoditi telah dijual dan memiliki kelebihan dari Rp. 1000.000,- (modal usaha) maka selebihnya itu dianggap keuntungan dan dibagi sesuai prosentase yang telah disepakati.
2. Pemilik modal terdiri dari beberapa orang dan pelaksana 1 orang
Zaed, Umar dan Bakar bersepakat mengumpulkan modal, kemudian akan diserahkan kepada Husen dengan sistem mudharabah. Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Mereka (Zaed, Umar, Bakar) bersepakat bahwa keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing.
Rincian prosentase dari modal yang ditanam masing-masing sebesar Rp. 12.000.000,- adalah:
Zaed :40% (Rp. 4.800.000,-)
Umar :25% (Rp. 3.000.000,-)
Bakar :35% (Rp. 4.200.000,-)+
100% (Rp.12.000.000,-)
Selanjutnya uang tersebut diserahkan kepada Husen untuk diniagakan dengan akad mudharabah. Pada saat akad disepakati bahwa keuntungan dibagi 60% untuk pemilik modal (Zaed, Umar, Bakar) dan 40% untuk pelaksana (Husen). Keuntungan dibagikan (dihitung) setiap usaha telah memperoleh laba (satu kali putaran produksi).
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Maka cara pembagian keuntungannya:
Langkah 1
Pembagian keuntungan antara pemilik modal dengan pelaksana
- Pemilik modal :
60% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.500.000,-
- Husen
40% x Rp. 2.500.000 = Rp. 1.000.000,-
Langkah 2
Pembagian keuntungan Rp. 1.500.000,- antara pemilik modal sesuai dengan modal masing-masing sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Zaed :40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Umar :25% x 1.500.000 = Rp. 375.000
Bakar :35% x 1.500.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus:
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal
dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 1.500.000 = 0,125
Rp. 12.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Zaed : 0,125 x Rp. 4.800.000 = Rp. 600.000
Umar : 0,125 x Rp. 3.000.000 = Rp. 375.000
Bakar : 0,125 x Rp. 4.200.000 = Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika rugi
Kasus jika kerugian yang ada pada modal tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)
Contoh:
Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan serta dilakukan divestasi (pengembalian modal), ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian yang ada sebesar Rp.1.000.000,- (jadi sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000,- (12.000.000 – 1.000.000)
Perhitungkan kembali keuntungan yang pernah dibagikan disaat bisnis sedang berjalan.
Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi modal, sisanya menjadi keuntungan dan dibagikan sesuai prosentase yang telah disepakati pada saat akad
Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan sebagian keuntungan yang pernah diambilnya dan pemilik modal harus menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal.
Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara penghitungannya:
(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan)
11.000.000 + 2.500.000 = Rp. 13.500.000
Ternyata modal tidak mengalami kerugian, karena tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.
Uang yang ada – jumlah modal, sisanya menjadi keuntungan.
13.500.000 – 12.000.000 = Rp. 1.500.000
Berarti keuntungan yang diperoleh sebenarnya sebesar Rp. 1.500.000, maka keuntungan inilah yang dibagikan sesuai dengan kesepakatan.
Bagian masing-masing antara pemilik modal dan Husen (pelaksana)
- Pemilik modal ; 60% x 1.500.000 = Rp. 900.000
- Husen ; 40% x 1.500.000 = Rp. 600.000
Jika keuntungan yang pernah diterima Husen sebelum akhir bisnis sebesar Rp. 1000.000, maka ia harus mengembalikannya sebesar Rp. 400.000 (Rp. 1.000.000 – 600.000) untuk menutupi kekurangan pada modal.
Sisa modal yang ada sebesar Rp. 11.000.000 ditambah Rp. 400.000 (dari Husen) menjadi sebesar Rp. 11.400.000
Sedangkan untuk pemilik modal (Zaed, Umar dan Bakar) harus menganggap keuntungan yang pernah diterimanya sebagai bagian dari modal sesuai dengan proposional modal yang ditanamnya.
Jika keuntungan yang pernah diterima sebesar Rp. 1.500.000, sedangkan keuntungan diakhir bisnis yang sebenarnya hanya Rp. 900.000,-, maka mereka harus menganggap keuntungan yang telah diterimanya sebagai modal sebesar Rp. 600.000,- dan disesuaikan dengan proposional modal yang ditanamkan oleh masing-masing pemilik modal.
Jadi bagian keuntungan yang pernah diterima masing-masing yang harus dianggap sebagai modal, adalah:
Zaed : 40% x 600.000 = Rp. 240.000
Umar : 25% x 600.000 = Rp. 150.000
Bakar : 35% x 600.000 = Rp. 210.000 +
Rp. 600.000
Maka ketiga orang ini diakhir bisnis masing-masing akan menerima pengembalian modal, sebagai berikut:
Zaed : 4.800.000 – 240.000 = Rp. 4.560.000
Umar : 3.000.000 – 150.000 = Rp. 2.850.000
Bakar : 4.200.000 – 210.000 = Rp. 3.990.000 +
Rp.11.400.000
Meskipun mereka menerima lebih kecil dari modal yang ditanamkannya, pada dasarnya modal tidak mengalami kerugian, karena mereka telah menikmati keuntungan saat usaha sedang berjalan.
Kasus jika kerugian yang ada pada modal tidak tertutupi oleh keuntungan yang telah dibagikan saat bisnis berjalan (sebelum akhir bisnis)
Contoh:
Setelah akhir bisnis dan modal yang ada diperhitungkan serta dilakukan divestasi (pengembalian modal), ternyata modal mengalami kerugian. Kerugian/ kekurangan pada modal sebesar Rp. 5.000.000,- jadi sisa modal yang ada sebesar Rp. 7.000.000,- (12.000.000 – 5.000.000)
Sisa modal yang ada ditambah keuntungan yang pernah dibagikan kemudian digunakan untuk menutupi modal, jika modal belum tertutupi (Rugi), maka kerugian yang ada ditanggung oleh pemilik modal sesuai saham yang diinvestasikan
Dalam kasus ini maka pelaksana harus mengembalikan seluruh keuntungan yang pernah diambilnya dan tidak berkewajiban menanggung kerugian, sedangkan pemilik modal harus menganggap keuntungan yang pernah diperolehnya sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal
Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari modal
Contoh diatas menunjukan pernah dibagikan keuntungan sebesar Rp. 2.500.000. Maka cara perhitungannya:
(Sisa modal + keuntungan yang dikembalikan)
7.000.000 + 2.500.000 = Rp. 9.500.000
Ternyata modal mengalami kerugian, karena tidak tertutupi oleh keuntungan yang pernah dibagikan.
Jumlah modal seharusnya – uang (modal) yang ada, sisanya menjadi kerugian yang harus ditanggung bersama-sama antara pemilik modal.
12.000.000 – 9.500.000 = Rp. 2.500.000,-
Berarti modal mengalami kerugian sebesar Rp. 2.500.000, maka kerugian ini yang ditanggung oleh pemilik modal sesuai modal yang diinvestasikan.
Dalam hal ini Husen (selaku pelaksana) hanya berkewajiban mengembalikan keuntungan yang pernah diambilnya sebesar Rp. 1.000.000 dan tidak berkewajiban menanggung kerugian.
Untuk pengembalian sisa modal kepada masing-masing pemilik modal ada beberapa cara:
Cara 1
Setiap pemilik modal harus mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, dengan rincian:
Zaed : Rp. 600.000
Umar : Rp. 375.000
Bakar : Rp. 525.000 +
Rp. 1.500.000
Kemudian dijumlahkan dengan sisa modal yang ada setelah ditambah dengan pembelian dari pelaksana.
(Sisa modal + pengambilan keuntungan dari pelaksana + pengembalian keuntungan dari pemilik modal)
7.000.000 + 1.000.000 + 1.500.000 = Rp. 9.500.000
Jadi pengembalian modal kepada masing-masing pemilik modal adalah:
Zaed : 40% x 9.500.000 = Rp. 3.800.000
Umar : 25% x 9.500.000 = Rp. 2.375.000
Bakar : 35% x 9.500.000 = Rp. 3.325.000 +
Rp. 9.500.000
Untuk melihat kerugian yang dialami masing-masing pemilik modal adalah:
(prosentase masing-masing modal yang ditanamkan dikalikan dengan jumlah kerugian yang menjadi tanggungan)
Zaed : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Umar : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Bakar : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Bandingkan dengan perhitungan dibawah ini:
(jumlah modal masing-masing – jumlah pengembalian sisa modal yang ada untuk masing-masing)
Zaed : 4.800.000 – 3.800.000 = Rp.1.000.000
Umar : 3.000.000 – 2.375.000 = Rp. 625.000
Bakar : 4.200.000 – 3.325.000 = Rp. 875.000 +
Rp.2.500.000
Cara 2
Pemilik modal tidak mengembalikan keuntungan, tetapi langsung menganggap bahwa keuntungan yang pernah diambil dianggap sebagai bagian dari modal.
Maka jumlah uang yang dibagikan antara pemilik modal adalah:
(Sisa modal + pengembalian keuntungan dari pelaksana)
7.000.000 + 1.000.000 = Rp. 8.000.000,-
Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil saat bisnis berjalan, maka diakhir bisnis, pada saat divestasi (pengembalian modal) masing-masing pemilik modal akan menerima uang sebagai berikut:
Zaed : 40% x 8.000.000 = Rp. 3.200.000
Umar : 25% x 8.000.000 = Rp. 2.000.000
Bakar : 35% x 8.000.000 = Rp. 2.800.000 +
Rp. 8.000.000
Dengan tidak mengembalikan keuntungan yang pernah diambil, pada saat divestasi seolah-olah pemilik modal mengalami kerugian sebagai berikut:
Zaed : 4.800.000 – 3.200.000 = Rp. 1.600.000
Umar : 3.000.000 – 2.000.000 = Rp. 1.000.000
Bakar : 4.200.000 – 2.800.000 = Rp. 1.400.000 +
Rp. 4.000.000
Musyarakah
Husin, Hasan dan Husen bersepakat untuk melakukan perjanjian kerjasama musyarakah, dalam satu usaha bisnis, dimana semua pihak mengumpulkan modal dan mengelolanya secara bersama-sama.
Modal yang dibutuhkan Husen sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Mereka (Husin, Hasan dan Husen) bersepakat, pembagian keuntungan akan disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing tanpa membedakan kemampuan dalam melakukan pekerjaannya.
Modal yang diinvestasikan sesuai dengan kesanggupan masing-masing, yaitu:
Husin : 25% x 20.000.000 = Rp. 5.000.000
Hasan : 40% x 20.000.000 = Rp. 8.000.000
Husen : 35% x 20.000.000 = Rp. 7.000.000 +
Rp. 20.000.000
Jika untung:
Setelah satu kali putaran produksi, diperoleh keuntungan sebesar Rp. 2.500.000,-
Pembagian keuntungan antara anggota syirkah disesuaikan dengan modal yang diinvestasikan masing-masing anggota syirkah sebagai berikut:
Cara 1
Prosentase saham masing-masing pemilik modal dikalikan dengan keuntungan yang diperoleh:
Husin : 25% x 2.500.000 = Rp. 625.000
Hasan : 40% x 2.500.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 35% x 2.500.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Cara 2
Menggunakan rumus :
Jumlah seluruh keuntungan dibagi seluruh modal dikali modal masing-masing
Jadi : Rp. 2.500.000 = 0,125
Rp. 20.000.000
Keuntungan yang diterima masing-masing pemilik modal:
Husin : 0,125 x 5.000.000 = Rp. 625.000
Hasan : 0,125 x 8.000.000 = Rp. 1.000.000
Husen : 0,125 x 7.000.000 = Rp. 875.000 +
Rp. 2.500.000
Ingat : Jika hasil bagi ini (0,125) dibulatkan menjadi 0,13 hasil penghitungannya belum tentu sesuai dengan keuntungan yang akan dibagikan
Jika Rugi
Jika diakhir bisnis mengalami kerugian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Terhadap keuntungan yang pernah dibagikan, setiap anggota syirkah harus menganggap sebagai bagian dari modal serta menanggung kerugian yang ada pada modal.
Ingat kerugian harus selalu menjadi tanggungan pemilik modal, karena kerugian merupakan reduksi dari modal
Cara pengembalian keuntungan bisa 2 cara yaitu:
- Masing-masing anggota syirkah tidak perlu mengembalikan keuntungan yang pernah diterima saat bisnis berjalan, melainkan langsung membagi sisa modal yang ada sesuai prosentase modal yang diinvestasikan
- Masing-masing anggota syirkah mengembalikan terlebih dahulu setiap keuntungan yang pernah diterimanya selama bisnis berjalan dan mencampurkannya dengan sisa modal yang ada, kemudian dibagikan sesuai prosentase modal yang diinvestasikannya.
Sedangkan untuk melihat berapa tanggungan masing-masing anggota syirkah dari kerugian yang ditimbulkannya adalah sama dengan cara pembagian keuntungan, yaitu dengan rumus :
Prosentase modal masing-masing
dikalikan jumlah kerugian yang ada
Cara penghitungannya sama dengan cara pembagian keuntungan atau kerugian pada kasus mudharabah diatas yang pemilik modalnya terdiri dari beberapa orang
Demikian contoh-contoh teknis pembagian keuntungan dan kerugian dalam sistem bagi hasil mudharabah dan musyarakah.
Pembaca bisa menggunakan dan mencari teknis penghitungan yang lebih mudah dan cepat, selama tidak keluar dari prinsip-prinsip mudharabah dan musyarakah yang telah ditetapkan oleh ahli fiqh.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 00.38 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP MUDHARABAH

Ø  Pengertian Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kedapa pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian penbagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.

Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga, perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Dalam melakukan kontrak ini, ada rukun-rukun tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bekerjasama, yaitu:Rukun mudharabah adalah :

1.             Orang yang berakad :

·                     Pemilik modal/shahibul mal
·                     Pelaksana atau mudharib

2.  Modal
3.  Kerja atau usaha
4.  Keuntungan/ribh
5.  Sighat/ijab kabul

Ø  Jenis –jenis Mudharabah
Ada tiga jenis mudharabah, yaitu mudharabah Muthlaqah (tidak terikat) dan mudharabah Muqayyadah (terikat).
1.             Mudharabah Muthlaqah: pemilik dana memberikan keleluasan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
2.             Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
3.             Mudharabah musytarakah adalah bentuk mudharabah dimana pengelola mnyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Akad musytarakah ini merupakan solusi sekiranya dalam perjalanan usaha, pengelola dana memiliki modal yang dapat dikontribusikan dalam investasi, sedang disisi lain, adanya penambahan modal ini akan dapat meningkatkan kemajuan investasi. Akad musytarakah ini pada dasarnya merupakan perpaduan antara akad mudharabah dan akad musyarakah. Dalam akad musyarakah, pengelola dana berdasarkan akad (mudharabah) menyertakan juga dananya dalam investasi bersama (berdasarkan akad musyarakah. Setelah penambahan dana oleh pengelola, pembagian hasil usaha antara pengelola dana dan pemilik dana dalam mudharabah adalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik dana musyarakah.

Ø  Teknik Bagi Hasil Dengan Prinsip Mudharabah
Dalam hukum syar’iyah, ketetapan modal yang harus dibayar atau diserahkan  kepada mudharib sesuai dengan kebijakan persyaratan yang telah ditentukan, bahwa pembayaran akan dicairkan tanpa penyesuaikan akuisisi (perolehan ) aktualnya. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar dana mudharabah tidak diambil begitu saja tanpa adanya persetujuan dari Bank. Ada dua alasan yang tidak bisa digunakan dalam penilaian aset non-kas yang diterima oleh Bank Islam sebagai modal adalah :
·                     Ketentuan nilai yang telah disepakati oleh semua pihak, tentang penilaian aset non-moneter yang akan diakui akuntansi keuangan.
·                     Penerapan nilai tersebut yang disepakati bersama oleh para pihak dari kontrak untuk menilai aset non-moneter akad menjurus kepada penerapan konsep kejujuran representasional.

Ø  Pengakuan Laba atau Rugi Mudharabah

1.      Apabila pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan :
·                     Laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati, dan
·                     Rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.
2.      Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil            dari pengelola dana yang diterima oleh bank.
3.      Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba (profit                    sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba, dihitung dari pendapatan setelah dikurangi            beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Sedangkan bagi pendapatan, dihitung              dari total pendapatan pengelolaan mudharabah.
4.      Rugi pembiayaan mudharabah yang diakibatkan penghentian mudharabah sebelum masa akad berakhir          diakui sebagai pengurang pembiayaan mudharabah.
5.      Rugi pengelolaan yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib dibebankan pada pengelola                dana (mudharib).
6.      Bagian laba bank yang tidak dibayarkan oleh pengelola dana (mudharib) pada saat mudharabah selesai          atau dihentikan sebelum masanya berakhir diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada pengelola dana            (mudharib).

Dalam pembiayaan mudharabah ini pembagian hasil antara shahibul maal (bank) dengan mudharib (debitur) dapat dilakukan dengan metode “Revenue Sharing” atau “Profit Sharing”. Dalam pembagian dengan mempergunakan metode revenue sharing, shahibul maal tidak pernah mengalami kerugian, kecuali usaha mudharib dilikuidasi dimana jumlah aktiva lebih kecil dari kewajibannya. Lain halnya jika dalam pembagian bagi hasil tersebut mempergunakan metode profit sharing, pada setiap periode pembukuan akan dengan mudah diketahui kerugian atau keuntungan pengelolaan dana mudharabah.

Dalam pembiayaan mudharabah melewati satu periode pelaporan, laba pembiayaan mudharabah diakui dalam periode terjadinya hak bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati, dan rugi yang terjadi diakui dalam periode terjadinya rugi tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah. Pengakuan laba atau rugi mudharabah dalam praktek dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil dari pengelola dana yang diterima oleh bank.

Contoh :

Atas laporan dari Tn Zulkifli atas pengelolaan pembiayaan mudharabah diperoleh hasil bersih pengelolaan dana mudharabah sebesar Rp. 1.000.000,- dan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati yaitu 70 untuk bank/shahibul maal dan 30 untuk nasabah/mudharib. Hasil untuk bank telah dibayar oleh mudharib sebelum tutup buku bank dilakukan.

Pembagian porsi masing-masing dengan perhitungan yang sangat sederhana adalah:
Shahibul maal    : 70/100 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 700.000,-
Mudharib          : 30/100 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 300.000,-

Jurnal sehubungan dengan penerimaan hasil tersebut adalah :
Dr. Kas/Rekening Nasabah                    Rp. 700.000,-
Cr. Pendapatan bagi hasil Mudharabah                Rp. 700.000,-



Referensi Buku

Wiroso,dkk, Akuntansi Perbankan Syariah, Cet 1, Jakarta : LPFE Usakti, 2005.
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Cet 4, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2006.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 00.23 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Rabu, 06 November 2013
TEKNIK BAGI HASIL DENGAN PRINSIP WADI’AH

A.    Pengertian wadiah
Al-wadi’ah adalah titipan atau simpanan. Prinsip Al-wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendaki. Penerima simpanan disebut  yad al-amanah  yang artinya tanagn amanah. Si penyimpan tidak bertanggung  jawab atas segala kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.

B.     Jenis-jenis wadi’ah dan karakteristiknya
1.      Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah yad al-manah, titipan dimana penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai di ambil kembali oleh penitip.
Wadi’ah  yad al-manah  ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
ü Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
ü Merupakan titipan murni.
ü Sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilau maupun fisik barangnya.

2.      Wadi’ah yad  adh-dhamana
Wadi’ah yad adh-dhamana adalah titipan dimana barang titipan selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan olehipenerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penirima titipan.
Wadi’ah yad adh-dhamanah ini memiliki karakteristik berikut ini:
ü Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
ü Penyimpan mempunyai untuk bertanggujawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.
ü Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan.
ü Sebagai imbalan kepada pemilik brang atau dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus, yang tidak disyaratkan sebelumnya.
C.     Teknik bagi hasil prinsip wadiah
1.         Teknik bagi hasil giro wadiah
Pada  prinsipnya, teknik perhitungan bonus wadi’ah dihitung dari saldo terendah dalam satu bulan. Namun demikian, bonus wadi’ah dapat diberikan kepada giran sebagai berikut:
a.    Saldo terendah dalam satu bulan takwin di atas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus wadi’ahnya dihitung dari saldo terendah).
b.  Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwin di atas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus gironya dihitung dari saldo rata-rata harian).
c.  Saldo hariannya diatas Rp 1.000.000, (bagi rekening yang bonus wadiahnya dihitung dari saldo harian).
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus giro wadia’ah adalah sebagai berikut:
v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadi’ah x saldo terendah bulan yang bersangkutan

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadi’ah x saldo rata-rata harian bulan ybs

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Tarif bonus wadi’ah x saldo harian ybs x hari efektif

2.          Teknik bagi hasil tabungan wadi’ah
Dalam hal bank berkeinginan untuk memberikan bonus wadi’ah, beberapa metode yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah.
b.      Bonus wadiah atas dasar saldo rata-rata harian.
c.       Bonus wadiah atas dasar saldo harian.
Rumus yang digunakan dalam memperhitungkan bonus tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut:
v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo terendah, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadiah x saldo terendah bulan ybs

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo rata-rata harian, yakni tarif bonus wadi’ah dikalikan dengan saldo rata-rata harian bulan yang bersangkutan.
Tarif bonus wadiah x saldo rata-rata harian bulan ybs

v  Bonus wadi’ah atas dasar saldo harian, yakni tarif bonus wadiah dikalikan dengan saldo harian yang bersangkutan dikali hari efektif.
Tarif bonus wadiah x saldo harian ybs x hari efektif

D.      Contoh  kasus  bagi  hasil  wadiah
Contoh rekening giro Wadiah:
Tn. Basri memiliki rekening  giro wadiah di Bank Muamalat Sungailiat dengan saldo rata-rata pada bulan Mei 2002 adalah Rp 1.000.000, Bonus yang diberikan Bank Muamalat Sungailiat kepada nasabah adalah 30% dengan saldo rata-rata minimal Rp 500.00, Diasumsikan total dana giro wadiah di Bank Muaamalat Sungailiat adalah Rp 500.000.000,-. Pendapatan Bank Muamalat Sungailiat dari penggunaan giro wadiah adalah rp 20.000.000,-.
Pertanyaaan: Berapa bonus yang diterima oleh Tn. Basri pada akhir bulan Mei 2002.
Jawab:

Bonus yang diterima Tn. Basri = Rp 1.000.000x Rp 20.000.000 x 30% = Rp 12.000
Rp 500.000.000  (sebelum dipotong pajak)

REFERENSI BUKU

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqh Dan Keuangan), Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010.
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, jakarta: LPFE Usakti,2009.
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 20.05 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
( BAGI HASIL DAN BUNGA )

Pengertian bank syariah  Bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah atau Islam namun Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist, sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang beropersional sesuai undang-undang pemerintah yang tidak menggunakan hukum agama.

Pengertian perbankan syariah menurut pasal 1 butir satu undang-undang no 7 Tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat  banyak.
Jenis-jenis perbankan menurut pasal 5 undang-undang no 7 Tahun 1992 adaah :
Bank umum, adalah bank yang dapat memberikanjasa dalam  lalulintas pembayaran (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan).
Bank perkreditan rakyat, adalah yang memberikan simpanan hanya berbentuk deposito berjangka tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan). Sedangkan dalam undang-undang no 10 Tahun 1998 pasal 1pengertian bank, bank umum dan bank perkreditan rakyat disempurnakan menjadi :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan usaha  secara konvensional atau secara prinsip usaha syariah  yang dalam kegiatan usahanya memberika jasa  dalam lalu lintas pembayaran.
Bank perkreditan rakyat syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah  yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Sedangkan dalam undang-undang no 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian anatara lain sebagai berikut :
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan tentang bank syariah dan unit usaha syariah mencakup, kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan. 
 Bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya memberikan lalu lintas pembayaran.
Unit pembiyaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan lali lintas pembayaran.
Unit usaha syariah adalah unit kerja dari kantor pusat umum bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan  kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Perbedaan lain antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah ditinjau dari hal-hal berikut ini anatar lain adalah:
Bank Syariah
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
Prinsip bagi hasil:
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

Bank Konvensional
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). 
Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
Sistem bunga:
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Dapat di lihat dalam bentuk tabel perbedaan bank syariah yang lbih menrinci :
Perbedaan Bank Syariah dengan Banak Konvensional
1.                   Dasar hukum    Al qur’an, As sunnah, Fatwa ulama, Bank indonesia dan pemerintah     Bank indonesia dan pemerintah
2.                   Falsafah    Tidak berdasar bunga (Riba), spekulasi (maysir) dan ketidakjelasan(gharar)    Berdasarkan atas bunga (Riba)
3.                   Operasional    Dana masyarakat (Dana     pihak ketiga /DPK) berupa titipan (wadiah) dan investasi (mudharabah) yang baru mendapatkan hasil jika diuasahakan terlebih dahulu. Penyaluran dana (fanancing) pada usah yang halal dan menguntungkan.    Dana masyarakat ( dana Pihak Ketiga) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya. Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan aspek halall tidak menjadi pertimbangan agama.
4.                   Apek sosial    Dinyatakana secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Misi dan Visi    Tidak di ketahui secara tegas.
5.                   Organisasi    Harus memiliki Dewan Pengawas (DPS)    Tidak memiliki dewan pengawas syariah (DPS)

Bunga
Bunga bank adalah sejumlah uang dibayar atau dikalkulasi untuk pengguna modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dalam satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Menurut Muhammad syafi’i antonio bunga bank adalah suatu tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dalam bentuk persentase dari yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung.Bersarnya  persentase berdasarkan pada jumlah uang yang di pinjamkan, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalakan oleh nasabah untung atau rugi. 

Bagi hasil

Perbedaan antara sistem ekonomi islam dengn sistem ekonomi lainnya adalah terletak pada penerapan bunga. Dalam ekonomi islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang diharamkan oleh syariat islam. Sehingga dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi hasil yang dalam syariat islam dihalalkan untuk dilakukan.

Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan profit sharing (bagi laba) Penghitungan menurut pendekatan ini adalah hitungan bagi hasil yang berdasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Referensi :
Wiroso, Produk Perbankan Syariah, 2009
Diposkan oleh Fadhlan Arief S di 20.01 Tidak ada komentar: 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Minggu, 06 Oktober 2013
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
( BAGI HASIL DAN BUNGA )

Pengertian bank syariah  Bank yang beroperasi dengan prinsip Syariah atau Islam namun Bank Syariah juga merupakan Bank yang dalam operasionalnya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist, sedangkan bank konvensional adalah perbankan yang beropersional sesuai undang-undang pemerintah yang tidak menggunakan hukum agama.
Pengertian perbankan syariah menurut pasal 1 butir satu undang-undang no 7 Tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat  banyak.
Jenis-jenis perbankan menurut pasal 5 undang-undang no 7 Tahun 1992 adaah :
Bank umum, adalah bank yang dapat memberikanjasa dalam  lalulintas pembayaran (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan).
Bank perkreditan rakyat, adalah yang memberikan simpanan hanya berbentuk deposito berjangka tabungan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu (pasal 1 undang-undang no 7 Tahun 1992 tentang perbankan). Sedangkan dalam undang-undang no 10 Tahun 1998 pasal 1pengertian bank, bank umum dan bank perkreditan rakyat disempurnakan menjadi :
Bank umum adalah bank yang melaksanakan usaha  secara konvensional atau secara prinsip usaha syariah  yang dalam kegiatan usahanya memberika jasa  dalam lalu lintas pembayaran.
Bank perkreditan rakyat syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah  yang dalam kegiatanya tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.
Sedangkan dalam undang-undang no 21 Tahun 2008 pasal 1 memberikan penjelasan dan pengertian anatara lain sebagai berikut :
Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut dengan tentang bank syariah dan unit usaha syariah mencakup, kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan. 
 Bank umum syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya memberikan lalu lintas pembayaran.
Unit pembiyaan rakyat syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatanya tidak memberikan lali lintas pembayaran.
Unit usaha syariah adalah unit kerja dari kantor pusat umum bank konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan  kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Perbedaan lain antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah ditinjau dari hal-hal berikut ini anatar lain adalah:
Bank Syariah
Islam memandang harta yang dimiliki oleh manusia adalah titipan/amanah Allah SWT sehingga cara memperoleh, mengelola, dan memanfaatkannya harus sesuai ajaran Islam
Adanya kesamaan ikatan emosional yang kuat didasarkan prinsip keadilan, prinsip kesederajatan dan prinsip ketentraman antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah atas jalannya usaha bank syariah.
Prinsip bagi hasil:
Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi. Besarnya nisbah bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh, jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. Tidak ada yang meragukan keuntungan bagi hasil. Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapatkan keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

Bank Konvensional
Pada bank konvensional, kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi, sedang kepentingan pemegang saham adalah diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman (mengoptimalkan interest difference). 
Tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara Pemegang Saham, Pengelola Bank dan Nasabah karena masing-masing pihak mempunyai keinginan yang bertolak belakang.
Sistem bunga:
Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak Bank
Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. Jumlah pembayaran bunga tidak mengikat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik
Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
Dapat di lihat dalam bentuk tabel perbedaan bank syariah yang lbih menrinci :
Perbedaan Bank Syariah dengan Banak Konvensional
1.            Dasar hukum    Al qur’an, As sunnah, Fatwa ulama, Bank indonesia dan pemerintah     Bank indonesia dan pemerintah
2.            Falsafah    Tidak berdasar bunga (Riba), spekulasi (maysir) dan ketidakjelasan(gharar)    Berdasarkan atas bunga (Riba)
3.            Operasional    Dana masyarakat (Dana     pihak ketiga /DPK) berupa titipan (wadiah) dan investasi (mudharabah) yang baru mendapatkan hasil jika diuasahakan terlebih dahulu. Penyaluran dana (fanancing) pada usah yang halal dan menguntungkan.    Dana masyarakat ( dana Pihak Ketiga) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya. Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan aspek halall tidak menjadi pertimbangan agama.
4.            Apek sosial    Dinyatakana secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam Misi dan Visi    Tidak di ketahui secara tegas.
5.            Organisasi    Harus memiliki Dewan Pengawas (DPS)    Tidak memiliki dewan pengawas syariah (DPS)
Bunga
Bunga bank adalah sejumlah uang dibayar atau dikalkulasi untuk pengguna modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dalam satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal. Menurut Muhammad syafi’i antonio bunga bank adalah suatu tanggungan pada pinjaman uang yang biasanya dalam bentuk persentase dari yang dipinjamkan dengan asumsi selalu untung.Bersarnya  persentase berdasarkan pada jumlah uang yang di pinjamkan, pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalakan oleh nasabah untung atau rugi.
Bagi hasil

Perbedaan antara sistem ekonomi islam dengn sistem ekonomi lainnya adalah terletak pada penerapan bunga. Dalam ekonomi islam, bunga dinyatakan sebagai riba yang diharamkan oleh syariat islam. Sehingga dalam ekonomi yang berbasis syariah, bunga tidak diterapkan dan sebagai gantinya diterapkan sistem bagi hasil yang dalam syariat islam dihalalkan untuk dilakukan.
Dalam aplikasinya, mekanisme penghitungan bagi hasil dapat dilakukan dengan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan profit sharing (bagi laba) Penghitungan menurut pendekatan ini adalah hitungan bagi hasil yang berdasarkan pada laba dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pendekatan revenue sharing (bagi pendapatan).
Penghitungan menurut pendekatan ini adalah perhitungan laba didasarkan pada pendapatan yang diperoleh dari pengelola dana, yaitu pendapatan usaha sebelum dikurangi dengan biaya usaha untuk memperoleh pendapatan tersebut.

PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL, BAGI HASI DAN BUNGA

Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Bank konvensional adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran secara umum berdasarkan prosedur dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Perbedaan Bank Syariah dan Konvensional
Bank syariah berbeda dengan bank konvensional dalam hal akd dan aspek legalitas, struktur organisasi, lembaga penyelesaian sengketa, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja serta corporate culture/budaya.

Bank Syariah
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja (sesuai syariat agama)
2. Berorientasi pada keuntungan (profit oriented) dan kemakmuran dan kebahagian dunia akhirat
3. Berdasarkan prinsip bagi hasil yang telh disepakati kedua belah pihak, dimana ;
·                     Besarnya disepakati pada waktu akad dengan berpedoman kepada kemungkinan untung rugi.
·                     Besar rasio didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
·                     Rasio tidak berubah selama akad masih berlaku
·                     Kerugian ditanggung bersama
·                     Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
·                     Eksistensi tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah

Bank Konvensional
1. Investasi ke semua bidang usaha sesuai dengan persyaratan yang sudah ditetapkan
2. Profit oriented (berorientasi pada keuntungan)
3. Memakai prosedur bunga pinjaman, sesuai kesepakatan yang diantaranya :
·                     Besarnya disepakati pada waktu akad dengan asumsi akan selalu untung
·                     Besarny presentase didasarkan pada jumlah modal yang dipinjamkan
·                     Bunga dapat mengambang dan besarnya naik turun
·                     Pembayaran bunga besarnya tetap tanpa pertimbangan untung rugi
·                     Jumlah bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan meningkat
·                     Eksistensi bunga diragukan
4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kreditur-debitur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis Dewan Pengawas Syariah
Selain itu ada beberapa perbedaan dasar seperti ; Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dibiayai tidak terlepas dari saringan syariah agama, yakni usaha yang di dalamm menajalankan usahanya sesuai dengan syariah agama dan perbedaan lainnya secara organisasi, bank syariah dan bank konvensional secara umum itu sama. Perbedaannya hanya satu, bank syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah, sedangkan bank konvensional tidak.