Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Kamis, 27 Februari 2020

10 hari dibulan mulia

10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah?

Sebentar lagi musim haji akan tiba. Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang dimuliakan di dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kalian semuanya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At Taubah: 36)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السموات والأرض، السنة اثنا عشر شهرا، منها أربعة حرم، ثلاثة متواليات: ذو القعدة وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر، الذي بين جمادى وشعبان

“Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan yang haram (berperang di dalamnya – pen). 3 bulan berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah,  Al Muharram, (dan yang terakhir –pen) Rajab Mudhar, yaitu bulan di antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari)

Di dalam bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang dipilih oleh Allah sebagai hari-hari terbaik sepanjang tahun. Allah berfirman:

والفجر وليال عشر

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (Qs. Al Fajr: 1-2)

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan 10 malam yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut. Penafsiran para ulama ahli tafsir mengerucut kepada 3 pendapat:

Yang pertama: 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Yang kedua: 10 malam terakhir bulan Ramadhan.

Yang ketiga: 10 hari pertama bulan Al Muharram.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Hal ini berdasarkan atas 2 hal sebagai berikut:

Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Jabir radhiyallaahu ‘anhuma
إن العشر عشر الأضحى، والوتر يوم عرفة، والشفع يوم النحر

“Sesungguhnya yang dimaksud dengan 10 itu adalah 10 bulan Al Adh-ha (bulan Dzulhijjah –pen), dan yang dimaksud dengan “ganjil” adalah hari Arafah, dan yang dimaksud dengan “genap” adalah hari raya Idul Adh-ha. (HR. Ahmad, An-Nasaa’i, hadits ini dinilai shahih oleh Al-Haakim dan penilaiannya disepakati oleh Adz-Dzahabi)

Konteks ayat dalam surat Al Fajr. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “al fajr” dalam ayat tersebut adalah fajar pada hari raya Idul Adh-ha. Oleh karena itu yang dimaksudkan dengan “10 malam” yang termaktub dalam ayat kedua surat tersebut adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Ini lebih sesuai dengan konteks antar ayat. Wallaahu a’lam.
Keutamaan-keutamaan bulan Dzulhijjah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر. قالوا ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله ولم يرجع من ذالك بشيء. (رواه البخاري)

“Tidak ada hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini (10 awal Dzulhijjah –pen).” Para sahabat bertanya: “Apakah lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda, “Iya. Lebih baik daripada jihad fii sabiilillaah, kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi (mati syahid –pen).” (HR. Al Bukhari)

Ibnu Rajab Al Hanbaly berkata:

وإذا كان أحب إلى الله فهو أفضل عنده

“Apabila sesuatu itu lebih dicintai oleh Allah, maka sesuatu tersebut lebih afdhal di sisi-Nya.”

Berikut ini di antara keutamaan bulan Dzulhijjah:

1. Islam disempurnakan oleh Allah pada bulan Dzulhijjah

Allah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah meridhai Islam itu agama bagi kalian.”  (Qs. Al Maidah: 3)

Para ulama sepakat bahwa ayat itu turun di bulan Dzulhijjah saat haji wada’di hari Arafah. Hal ini berdasarkan atsar dari Umar bin Al Khaththaab radhiyallaahi ‘anhu, bahwasanya seorang ulama Yahudi berkata kepada Umar, “Wahai Amiirul Mu’miniin, tahukah engkau satu ayat dalam kitab suci kalian yang kalian baca, yang jika seandainya ayat itu turun kepada kami maka kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai hari raya.” Umar berkata, “Ayat apakah itu?” Yahudi itu membacakan ayat tersebut, “Al yauma akmaltu lakum….” Umar pun berkata, “Sungguh kami telah mengetahui di mana dan kapan ayat itu turun. Ayat itu turun pada saat Nabi sedang berada di padang Arafah di hari Jum’at.” (HR. Al Bukhari)

2. Puasa Arafah adalah di antara kekhususan umat Islam

Di dalam bulan Dzulhijjah ada sebuah hari yang sangat agung, yaitu hari Arafah. Pada hari tersebut disunnahkan bagi yang tidak sedang melaksanakan haji untuk melakukan puasa. Puasa Arafah dapat menggugurkan dosa-dosa selama dua tahun. Pahala puasa Arafah (9 Dzulhijjah) lebih afdhal daripada pahala puasa Asyura (10 Al Muharram).

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صوم عاشوراء يكفر السنة الماضية وصوم عرفة يكفر السنتين الماضية والمستقبلة (رواه النسائي)

“Puasa Asyura dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu, dan puasa Arafah itu dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. An Nasaa’i)

Puasa Arafah termasuk keistimewaan ummat Islam, berbeda halnya dengan puasa Asyura. Oleh karena berkahnya Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Allah melipatgandakan penghapusan dosa dalam puasa Arafah dua kali lipat lebih besar daripada puasa Asyura. Walillaahil hamd.

3. Darah-darah hewan kurban ditumpahkan terbanyak di bulan Dzulhijjah

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الحج العج والثج

“Sebaik-baik pelaksanaan haji adalah yang paling banyak bertalbiyah dan yang paling banyak berhadyu (menyembelih hewan sebagai hadiah untuk fuqara’ Makkah -pen).” (HR. Abu Ya’la, An Nasaa’i, Al Haakim, dan Al Baihaqi. Syaikh Al Albaani menilai hadits ini hasan)

Bulan Dzulhijjah selain sebagai bulan haji juga disebut sebagai bulan kurban, karena banyaknya hewan kurban yang disembelih pada bulan tersebut.

4. Dzulhijjah adalah bulan muktamar umat Islam tingkat dunia

Di hari Arafah, umat Islam yang datang dari seluruh penjuru dunia untuk melaksanakan haji berkumpul di padang Arafah, demi melakukan prosesi puncak pelaksanaan manasik haji, yaitu wukuf di Arafah.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الحج عرفة (رواه الجماعة)

“Haji itu (wukuf –pen) di Arafah.” (HR. Al Jama’ah)

Amalan-amalan di bulan Dzulhijjah

Karena keutamaan yang banyak inilah, maka disyari’atkanlah amal-amal shalih dan diberi ganjaran yang luar biasa. Di antara amal-amal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dzikir

Allah berfirman:

ليشهدوا منافع لهم ويذكروا اسم الله في أيام معلومات

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (Qs. Al Hajj: 28)

Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Hari-hari yang telah ditentukan adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.”

Berdzikir yang lebih diutamakan di hari-hari yang sepuluh ini adalah memperbanyak takbir, tahlil dan tahmid.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فأكثروا فيهن من التهليل والتكبير والتحميد

“Maka perbanyaklah di hari-hari tersebut dengan tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad, Shahih)

Bukan hanya dilakukan di masjid atau di rumah, namun berdzikir ini bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Bahkan para Sahabat Nabi sengaja melakukannya di tempat-tempat keramaian seperti pasar.

Al Bukhari berkata:

وكان ابن عمر، وأبو هريرة يخرجان إلى السوق في أيام العشر، فيكبران ويكبر الناس بتكبيرهما

“Ibnu Umar dan Abu Hurairah senantiasa keluar ke pasar-pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Mereka bertakbir, dan orang-orang pun ikut bertakbir karena mendengar takbir dari mereka berdua

2. Puasa

Tidak syak lagi kalau berpuasa termasuk amal shalih yang sangat disukai oleh Allah. Di samping anjuran melakukan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, maka disukai juga untuk memperbanyak puasa di hari-hari sebelumnya (dari tanggal 1 sampai dengan 8 Dzulhijjah) berdasarkan keumuman nash-nash hadits tentang keutamaan berpuasa.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

والذي نفسي بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi minyak kasturi.” (Muttafaqun ‘alaih)

3. Tilawah Al Qur’an

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

القرآن أفضل الذكر

“Al Qur’an adalah sebaik-baik dzikir.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih)

Adalah hal yang sangat baik jika dalam waktu 10 hari tersebut, kita dapat mengkhatamkan bacaan Al Qur’an dengan membaca 3 juz setiap harinya. Hal ini sebenarnya mudah untuk dilakukan, yaitu dengan memanfaatkan waktu sebelum dan sesudah shalat fardhu. Dengan membaca 3 lembar sebelum shalat dan 3 lembar sesudah shalat, insyaAllah dalam 10 hari kita mampu mengkhatamkan Al Qur’an. Intinya adalah mujaahadah (bersungguh-sungguh).

4. Sedekah

Di antara yang menunjukkan keutamaan bersedekah adalah cita-cita seorang yang sudah melihat ajalnya di depan mata, bahwa jika ajalnya ditangguhkan sebentar saja, maka kesempatan itu akan digunakan untuk bersedekah.

Allah berfirman menceritakan saat-saat seseorang menjelang ajalnya:

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkanku sampai waktu yang dekat, sehingga aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih.” (Qs. Al Munaafiquun: 10

5. Kurban

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فصل لربك وانحر

“Maka shalatlah kamu untuk Tuhanmu dan berkurbanlah!” (Qs. Al Kautsar: 2)

Kurban adalah ibadah yang disyari’atkan setahun sekali dan dilaksanakan di bulan Dzulhijjah.

Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من صلى صلاتنا، ونسك نسكنا، فقد أصاب النسك. ومن نسك قبل الصلاة فلا نسك له

“Barangsiapa yang shalat seperti kita shalat, dan berkurban seperti kita berkurban, maka sungguh dia telah mengerjakan kurban dengan benar. Dan barangsiapa yang menyembelih kurbannya sebelum shalat ‘Idul Adh-ha, maka kurbannya tidak sah.” (HR. Al Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa ibadah kurban itu merupakan kekhususan dan syi’ar yang hanya terdapat di dalam bulan Dzulhijjah

6. Haji

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الحج أشهر معلومات

“Haji itu pada bulan-bulan yang tertentu.” (Qs. Al Baqarah: 197)

Yang dimaksudkan dengan haji dalam ayat di atas adalah ihram untuk haji bisa dilaksanakan dalam bulan-bulan yang sudah ditentukan, yaitu: Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Selain bulan-bulan tersebut, maka ihram seseorang untuk haji tidak sah.

Bahkan hampir sebagian semua prosesi manasik haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah.

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan taufiq-Nya agar kita bisa mengisi sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah dengan amal-amal shalih, dan diterima oleh Allah sebagai pemberat timbangan kebaikan kita di yaumil hisaab kelak.

Washallallaahu ‘ala nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.

Selasa, 25 Februari 2020

SYARAT SAH SHALAT

SYARAT-SYARAT SAHNYA SHALAT

Agar shalat menjadi sah, disyaratkan hal-hal berikut:
A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa’: 103].

Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.

B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…” [Al-Maa-idah: 6].

Dan hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.

“Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci.” [1]

C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:

وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ

“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.

“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.”[2]

Adapun dalil bagi disyaratkannya kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:

تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.

“Wudhu’ dan basuhlah kemaluanmu.” [3]

Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:

اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.

“Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah.” [4]

Adapun dalil bagi sucinya tempat adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:

أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.

“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]

Catatan:
Barangsiapa telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat, maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib mengulang.

Berdasarkan hadits Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka. Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, ‘Kenapa kalian melepas sandal kalian?’ Mereka menjawab, ‘Kami melihat Anda melepasnya, maka kami pun melepasnya.’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.’”[6]

D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid…” [Al-A’raaf: 31].

Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]

Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:

مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.

“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]

Dari Jarhad al-Aslami, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:

غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.

“Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat.” [9]

Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.

“Wanita adalah aurat.” [10]

Juga sabda beliau:

لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.

“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup.” [11]

E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah: 150].

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.

“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat…” [12]

Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.

Allah berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”

Nafi’ berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]

Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.

Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

“… maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” [Al-Baqarah: 115].”[15]

F. Niat
Hendaklah orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur, ‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya. Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat, empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai atau qadha’…”

Ini semua adalah bid’ah. Tidak seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha’if, musnad atau pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang empat. [17]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428 no. 331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no. 125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[7]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/215 no. 655).
[8]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.
[9]. Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi (IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995), lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus Sunan (XVII/6).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 319 no. 1183).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan Ibni Majah (I/ 215 no. 655).
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/36 no. 6251)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397).
[13]. Shahih: [Muwaththa’ al-Imam Malik (126/442)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/199 no. 4535).
[14]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/487 no. 700 (69))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/575 no. 1098), secara mu’allaq.
[15]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216 no. 343), Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh serupa, begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).
[16]. Talkhiish Shifat ash-Shalaah, karya Syaikh al-Albani, hal. 12.
[17]. Zaadul Ma’aad (I/51).

Senin, 24 Februari 2020

YAA ROSULALLAH


يارسول الله سلام عليك ، يارفيع الشان والدرج

Yâ Rosûlallâh salâmun ‘alaik, yâ rofî’asy-syâni waddaroji
Wahai utusan Allah, semoga keselamatan tetap padamu, Wahai yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi

عطفة ياجيرة العلم ، ياأهيل الجود والگرم

‘Athfatan yâ jîrotal ‘alami, yâ uhailal jûdi wal karomi
Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga, Wahai ahli dermawan dan pemurah hati

نحن جيران بذا الحرم ، حرم الإحسان والحسن

Nahnu jîrônu bidzâl haromi, haromil ihsâni wal hasani
Kami tetangga di tanah haram ini. Tanah haram tempat berbuat baik dan memberi kebaikan.

نحن من قوم به سگنوا ، وبه من خوفهم امنوا

Nahnu min qoumin bihî sakanû, wa bihî min khoufihim âminû
Kami dari kaum yang tinggal di tempat itu. Tempat yang mereka merasa aman dari ketakutan.

وبأيات القرآن عنوا ، فاتئد فينا أخا الوهن

Wa bi âyâtil qur-ãni ‘unû, fatta-id fînâ akhôl wahani
Dengan ayat-ayat Al-Qu’an mereka mendapat inayah.
Renungkanlah di hati kita, wahai yang berjiwa lemah.

نعرف البطحا وتعرفنا ، والصفا والبيت يألفنا

Na’riful bath-hâ wa ta’rifunâ, wash-shofâ wal baitu ya,lafunâ
Kami mengenal padang pasir dan ia mengenal kami,
Bukit Shafa dan Baitil-Haram menawan hati kami.

ولنا المعلی وخيف منا ، فاعلمن هذا وکن زکن

Wa lanâl Ma’lâ wa khoifu minâ, fa’laman hâdzâ wakun zakini 
Kami punya Ma’la dan masjid Kha’if di kota Mina.
Ketahuilah ini, beradalah dan beribadahlah di sana.

ولنا خير الأنام أب ، وعلي المرتضی حسب

Wa lanâ khoirul anâmi abu, wa ‘Aliyyul murtadlô hasabu
Kami mempunyai ayah sebaik-baik makhluk.
Dan adalah keturunan Ali yang diridhai.

وإلی السبطين ننتسب ، نسبا ما فيه من دخن

Wa ilâs-sibthoini nantasibu, nasabân mâ fîhi min dakhuni
Kepada kedua cucunya kami berketurunan,
Keturunan suci bersih dari kotoran.

گم إمام بعده خلفوا ، منه سادات بذا عرفوا

Kam imâmin ba’dahu kholafû, minhu Sâdâtun bidzâ ‘urifû
Banyak Imam yang menggantikan sesudahnya,
dengan gelar Sayyid mereka dikenal

وبهذا الوصف قد وصفوا ، من قديم الدهر والزمن

Wa bihâdzâl washfi qod wushifû, min qodîmid-dahri wazzamani
Dengan gelar itu benar-benar mereka disebut.
Dari sepanjang tahun dan zaman.

مثل زين العابدين علی ، وابنه الباقر خير ولی

Mitslu Zainil ‘Âbidîna ‘Alî, wabnihil-Bâqiri khoiri walî
Seperti Zainal Abidin yakni Ali, dan putranya Baqir itu sebaik-baiknya wali.

والإمام الصادق الحفل ، وعلي ذی العلا اليقن

Wal imâmish-Shôdiqil hafili, wa ‘Aliyyin dzîl ‘ulâl yaqini
Dan Imam Ja’far Ash-Shodiq yang penuh keberkahan. Dan Ali yang mempunyai ketinggian dan keyakinan

فهم القوم الذين هدوا ، وبفضل الله قد سعدوا

Fahumul qoumulladzîna hudû, wa bifadl-lillâhi qod sa’idû
Merekalah kaum yang memperoleh hidayah. Dan dengan karunia Allah mereka benar-benar bahagia.

ولغير الله ما قصدوا ، ومع القران فی قرن

Wa lighoirillâhi mâ qoshodû, wa ma’al qur-ãni fî qoroni
Kepada selain Allah mereka tak bertujuan. Dan beserta Al-Quran mereka berpegangan.

أهل بيت المصطفی الطهر ، هم أمان الأرض فالدکر

Ahlu baitil Mushthofâth-thuhuri, hum amânul ardli faddakiri
Ahli rumah nabi pilihan yang disucikan. Mereka itu pengaman bumi, maka ingatlah

شبهوا بالأنجم الزهر ، مثل ماقد جاء فی السنن

Syubbihû bil anjumiz-zuhuri, mitsla mâ qod jâ,a fîs-sunani
Mereka itu bagaikan bintang gemerlapan.
Perumpamaan itu telah benar-benar datang di dalam hadits Nabi.

و سفين للنجاة إذا ، خفت من طوفان کل أذی

Wa safînun linnajâti idzâ khifta min thûfâni kulli adzâ
Dan bagaikan bahtera penyelamat ketika engkau takut dari topan badai segala duka.

فانج فيها لاتکون گذا ، واعتصم بالله واستعن

Fanju fîhâ lâ takûnu kadzâ, wa’tashim billâhi wasta’ini
Maka selamatlah engkau di dalamnya tiada khawatir lagi. Dan berpegang teguhlah kepada Allah serta mohonlah pertolongan.

رب فانفعنا ببرگتهم ، واهدناالحسنی بحرمتهم

Robbi fanfa’nâ bibarkatihim wahdinâl husnâ bi hurmatihim
Ya Allah, dengan barokah mereka, berila kami kemanfaatan. Dan dengan kehormatan mereka, tunjukkan kami kepada kebaikan

وأمتنا فی طريقتهم ، ومعافاة من الفتن

Wa amitnâ fî thorîqotihim, wa mu’âfâtin minal fitani
Dan wafatkanlah kami di jalan mereka, dan selamat dari segala fitnah.

Hukum Puasa Rajab

*HUKUM PUASA RAJAB*
_oleh KH Hafidz Abdurrahman_

Rajab termasuk bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), selain Muharram, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Nabi saw. bersabda:

صُمْ أَشْهُرَ الْحُرُم

“Puasalah pada bulan-bulan Haram.” [Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1741]

Karena Rajab merupakan salah satu bulan suci (al-Asyhur al-Hurum), maka puasa di bulan ini hukumnya sunah (mandub), sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Ibn Majah di atas.

Mengenai sebagian ulama’ yang menyatakan larangan puasa di bulan Rajab, baik yang mengatakan makruh ataupun haram, maka status hadits yang digunakan oleh mereka adalah hadits-hadits yang lemah. Sebagai contoh, dari Ibn ‘Abbas ra. berkata:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ رَجَب

“Rasulullah saw. telah melarang puasa Rajab.” [Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1743].

Di dalam isnad (jalur periwayatannya) terdapat Dawud bin ‘Atha’ yang disepakati kedhaifannya. Begitu juga hadits yang diriwayatkan oleh Kharasyah bin al-Hurr yang mengatakan:

رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَضْرِبُ أَكِفَّ الرِّجاَلِ فِي صَوْمِ رَجَب، حَتَّى يَضَعُوْهَا فِي الطَّعَامِ، وَيَقُوْلُ: رَجَب مَا رَجَب؟ إِنَّمَا رَجَبُ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، فَلَمَّا جَاءَ الإسْلاَمُ تُرِكَ

“Aku melihat ‘Umar bin al-Khatthab memukul telapak orang-orang karena puasa Rajab, hingga mereka meletakkannya ke makanan. ‘Umar berkata, “Rajab, ada apa dengan Rajab?” Rajab itu adalah bulan yang diagungkan oleh orang Jahiliyah. Ketika Islam datang, maka ia telah ditinggalkan.” [Hr. at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 7632]

Ibn Hajar al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya terdapat al-Hasan bin Jabalah. Aku tidak tahu ada orang yang menyebutnya.” Jadi, statusnya jelas majhul (tidak dikenal).

Begitu juga hadits yang menjelaskan tentang Nabi saw. berpuasa sebulan penuh, di luar Ramadhan, kecuali bulan Rajab dan Sya’ban [Hr. at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 9418]

Al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya ada Yusuf bin ‘Athiyyah as-Shaffar. Dia orang yang daif.” Dan banyak yang lain. Semuanya lemah, atau menipu, dan tidak bisa digunakan sebagai hujah.

Karena itu, hukum puasa Rajab tetap sunah (mandub) berdasarkan dalil umum tentang kesunahan puasa di bulan-bulan suci (asyhur hurum). Mengenai berapa hari yang disunahkan, apakah di awal, di tengah, di akhir, atau sebagian kecil, setengah atau sebagian besar bulan Rajab? Tidak ada ketentuan nashnya. Karena itu, kapan saja puasa di dalamnya hukumnya sunah.

Mengenai niat, niat bagian dari rukun dalam puasa, baik sunah maupun wajib. Karena ini merupakan ibadah. Dasarnya adalah hadits Nabi saw:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ

“Amal perbuatan [ibadah] bergantung pada niatnya.” [Hr. Bukhari]

Meski dalam pelaksanaannya bisa berbeda. Niat untuk puasa wajib, wajib dinyatakan di malam hari, atau sebelum terbit fajar. Sedangkan niat puasa sunah, boleh dinyatakan hingga pertengahan hari, jika mulai malam hingga fajar belum dinyatakan. Meski ada juga ulama’ yang menyatakan, bahwa niatnya juga bisa dinyatakan meski hari telah melewati waktu zawal (matahari tergelincir), tengah hari.

Adapun satu niat puasa untuk dua puasa, misalnya puasa Ramadhan sekaligus niat puasa sunah Senin dan Kamis, misalnya, karena kebetulan harinya hari Senin atau Kamis, maka niat seperti ini tidak sah. Begitu juga, niat puasa sunah Rajab sekaligus Senin atau Kamis, juga sama. Karena niat dalam ibadah adalah rukun, dan rukun tersebut berlaku untuk satu ibadah, tidak lebih. Puasa sunah Rajab adalah satu ibadah, sedangkan puasa Senin dan Kamis juga satu ibadah. Jika satu niat untuk dua ibadah, maka niatnya tidak sah.

Jadi, tetap niat wajib dinyatakan untuk satu ibadah. Puasa Rajab, Senin, Kamis atau yang lain. Masing-masing satu niat.

Wallahu a’lam.

Jumat, 21 Februari 2020

Mengingat MATI

Mengingat Mati

Renungan Berharga dari Ayat yang Mulia

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَ نِ الرَّحِيمِ

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

✅“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Ali Imron: 185

📋Makna Ayat Secara Global:

Asy-Syaikhul Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,

هذه الآية الكريمة فيها التزهيد في الدنيا بفنائها وعدم بقائها، وأنها متاع الغرور، تفتن بزخرفها، وتخدع بغرورها، وتغر بمحاسنها، ثم هي منتقلة، ومنتقل عنها إلى دار القرار، التي توفى فيها النفوس ما عملت في هذه الدار، من خير وشر.

✅“Dalam ayat yang mulia ini ada motivasi untuk zuhud terhadap dunia karena dunia ini fana’ dan tidak kekal, dan peringatan bahwa dunia adalah kesenangan yang menipu, keindahannya menggoda, pesonanya menipu dan kecantikannya memperdaya, kemudian ia akan berganti, dan makhluk akan berpindah darinya ke negeri yang kekal, yang jiwa-jiwa akan diwafatkan sesuai dengan apa yang mereka amalkan di dunia, apakah kebaikan atau keburukan.” Tafsir As-Sa’di, hal. 159

‪#Beberapa_Pelajaran‬:

1) Anjuran mengingat kematian dan mempersiapkan bekal untuk menghadapinya demi meraih husnul khatimah. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ العَبْدَ لَيَعْمَلُ، فِيمَا يَرَى النَّاسُ، عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ فِيمَا يَرَى النَّاسُ، عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِخَوَاتِيمِهَا

✅"Sungguh seorang hamba benar-benar beramal dalam pandangan mata manusia sebagai amalan penghuni surga, dan sungguh ia termasuk penghuni neraka. Dan seorang hamba beramal dalam pandangan mata manusia sebagai amalan penghuni neraka, sedang ia termasuk penghuni surga, dan hanyalah amalan itu tergantung pada penutupnya." HR. Al-Bukhari dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu'anhu

Apa manfaat mengingat mati dan bahaya melupakannya? Ad-Daqoq rahimahullah berkata,

مَنْ أَكْثَرَ ذِكْرَ الْمَوْتِ أُكْرِمَ بِثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ : تَعْجِيلِ التَّوْبَةِ وَقَنَاعَةِ الْقَلْبِ وَنَشَاطِ الْعِبَادَةِ ، وَمَنْ نَسِيَهُ عُوقِبَ بِثَلَاثٍ : تَسْوِيفِ التَّوْبَةِ وَتَرْكِ الرِّضَا بِالْكَفَافِ وَالتَّكَاسُلِ فِي الْعِبَادَةِ

✅Barangsiapa banyak mengingat mati maka ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: (1) Segera bertaubat, (2) Hati yang merasa cukup, (3) Semangat beribadah.

Dan barangsiapa melupakannya maka ia akan dihukum dengan tiga perkara: (1) Menunda-nunda taubat, (2) Tidak merasa cukup, (3) Malas Beribadah. At-Tadzkiroh lil Qurthubi, hal. 8

2) Kesuksesan yang hakiki adalah keselamatan dari azab Allah dan dimasukkan ke dalam surga, maka orang yang cerdas tidak tertipu dengan kesuksesan di dunia dan selalu mengejar kesuksesan di akhirat yang kekal. Seorang Sahabat Anshar bertanya kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ؟ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» ، قَالَ: فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ؟ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا، وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ»

✅"Wahai Rasulullah, seorang mukmin manakah yang paling mulia? Beliau bersabda: Yang paling baik akhlaknya. Sahabat tersebut bertanya lagi: Seorang mukmin manakah yang paling cerdas? Beliau bersabda: Yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk menghadapi kehidupan setelahnya, mereka itulah orang-orang yang cerdas." HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, Ash-Shahihah: 1384

3) Seorang mukmin hendaklah beramal shalih untuk masa depannya di akhirat, bukan untuk dunia yang fana’.

4) Peringatan dari bahaya godaan dunia dengan segenap kenikmatan dan kemewahannya yang memperdaya.

5) Kewajiban mentauhidkan Allah ta’ala dan meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena inilah jaminan kesuksesan dan keselamatan dari azab Allah ta’ala, oleh karena itu penting sekali bagi setiap hamba untuk menuntut ilmu agama agar dapat mengamalkan kewajiban terbesar ini dengan baik.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Senin, 17 Februari 2020

Adab adab Bertetangga

Adab adab Bertetangga

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على سيد الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد:

ففي هذا الزمن تباعد الجيران بعضهم عن بعض فأصبحت تمر الشهور بل السنوات ولا يعرف الواحد منا جاره وأحواله بينما في بعض الأحياء كثرت شكاوى بعض الجيران ممن جاورهم لأمور متعددة كاطلاع على العورات أو روائح مؤذية أو مشاكل الأولاد أو رمي القمامة أمام منزل الجار أو إغلاق مدخل سيارته أو غير ذلك من صور الإيذاء لذا فقد جمعت في هذه الرسالة ما تيسير لي من أدلة من الكتاب والسنة وأقوال العلماء في بيان حقوق الجار وحرمة إيذائه سائلا المولى جل جلاله أن ينفعنا بها فأقول مستعينا به:
قال الله تعالى: (وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا (النساء 36) قال ابن القيم رحمه الله تعالى: وكل مَن ذكر في هذه الآية فحقه واجب وإن كان كافرا.ا.هـ(1)

وروى جابر بن عَبْدِ الله رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: (الجِيرانُ ثَلاثَةٌ: جَارٌ لهُ حَقٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ أَدْنَى الجيرانِ حقًّا، وجار له حقَّان، وجَارٌ له ثلاثةُ حُقُوقٍ، وَهُوَ أفضلُ الجيرانِ حقا، فأما الذي له حق واحد فجار مُشْرِكٌ لا رَحمَ لَهُ، لَهُ حق الجَوار. وأمَّا الَّذِي لَهُ حقانِ فَجَارٌ مُسْلِمٌ، له حق الإسلام وحق الْجِوارِ، وأَمَّا الَّذِي لَهُ ثَلاثةُ حُقُوقٍ، فَجَارٌ مُسْلِمٌ ذُو رَحِمٍ لَهُ حق الجوار وحق الإسلام وحَقُّ الرحِمِ)(2)

قال الحافظ ابن حجر رحمه الله تعالى: واسم الجار يشمل المسلم والكافر والعابد والفاسق والصديق والعدو والغريب والبلدي والنافع والضار والقريب والأجنبي والأقرب دارا والأبعد وله مراتب بعضها أعلى من بعض فأعلاها من اجتمعت فيه الصفات الأول كلها ثم أكثرها وهلم جرا إلى الواحد وعكسه من اجتمعت فيه الصفات الأخرى كذلك فيعطى كل حقه بحسب حاله وقد تتعارض صفتان فأكثر فيرجح أو يساوي ا.هـ(3)

وفي الصحيح(4) عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ). ولمسلم(5) بلفظ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ). قال القاضي عياض رحمه الله: معنى الحديث إن من التزم شرائع الإسلام لزمه إكرام جاره وضيفه وبرهما وكل ذلك تعريف بحق الجار وحث على حفظه (6).

ومن لوازم الإكرام والإحسان ترك أذية الجار فعن أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ)(7) فهنا رغب النبي صلى الله عليه وسلم في ترك أذية الجار وعدها من أمارات صدق الإيمان.

ومن أعظم صور الإيذاء إيذاء الجار في أهله أو ماله عن المقداد بن الأسود رضي الله عنه قال: سأل رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أصحابه عن الزنى؟ قالوا: حرام حرمه الله ورسوله. فقال (لأن يزني الرجل بعشر نسوة أيسر عليه من أن يزني بامرأة جاره) وسألهم عن السرقة؟ قالوا: حرام حرمها الله عز وجل ورسوله فقال (لأن يسرق من عشرة أهل أبيات أيسر عليه من أن يسرق من بيت جاره) (8).

وكانت العرب تفتخر بحماية الجار وأمنه لهم قال الأوزاعي رحمه الله تعالى: قد قال شاعر من العرب يذكر فخر قومه ويذكر أمن جارهم فيهم ويمثل ذلك بحمام مكة في الأمن فقال:

يَرَى الْجَارُ فِيهِمْ أَمْناً مِنْ عَدُوِّهِ *** كَمَا أَمِنَتْ عِنْدَ الْحَطِيمِ حَمَامُهَا (9)

ومن لوازم ذلك غض البصر وعدم الاطلاع على عورات الجيران من نوافذ وغيرها.

إذا شئتَ أنْ ترْقَى جدارَكَ مَرّةً *** لأمرٍ فآذِنْ جارَ بيتِكَ من قبلُ (10)

وقال حاتم الطائي:

نَارِي وَنَارُ الْجَارِ وَاحِدَةٌ *** وَإِلَيْـهِ قَبْلِي تَنْزِلُ الْقِدْرُ
مَا ضَرَّ جَـارًا لِي أُجَاوِرُهُ *** أَنْ لَا يَكُـونَ لِبَابِهِ سِتْرُ
أَعْمَى إذَا مَا جَارَتِي بَرَزَتْ *** حَتَّى تُوَارِي جَارَتِي الْجُدْرُ(11)

بل من الإحسان إلى الجار ترك أذية دوابه ولو تعدت فعن أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها قالت: إنه كانت ليلتى من النبي صلى الله عليه وسلم فطحنت شيئا من شعير فجعلت له قرصا فدخل فرد الباب ودخل إلى المسجد وكان إذا أراد أن ينام أغلق الباب وأوكأ القربة وأكفأ القدح وأطفأ المصباح فانتظرته أن ينصرف فأطعمه القرص... فأقبلت شاة لجارنا داجنة(12) فدخلت ثم عمدت إلى القرص فأخذته ثم أدبرت به قالت وقلقت عنه واستيقظ النبي صلى الله عليه وسلم فبادرتها إلى الباب فقال النبي صلى الله عليه وسلم (خذي ما أدركت من قرصك ولا تؤذى جارك في شاته)(13).

مؤذ الجار ناقص الإيمان عن أبي شريح رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (والله لا يؤمن والله لا يؤمن والله لا يؤمن). قيل ومن يا رسول الله؟ قال (الذي لا يأمن جاره بوائقه) (14).

وعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ (لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ) (15) قال البغوي رحمه الله: قوله " بوائقه " يريد غوائله وشره، يقال: أصابتهم بائقةٌ، أي: داهيةٌ.(16) قال القرطبي رحمه الله تعالى: قال القرطبي فمن كان مع هذا التأكيد الشديد مضرا لجاره كاشفا لعوراته حريصا على إنزال البوائق به كان ذلك منه دليلا على فساد اعتقاد ونفاق فيكون كافرا ولا شك أنه لا يدخل الجنة وأما على امتهانه بما عظم الله من حرمة الجار ومن تأكيد عهد الجوار فيكون فاسقا فسقا عظيما ومرتكب كبيرة يخاف عليه من الإصرار عليها أن يختم له بالكفر فإن المعاصي بريد الكفر فيكون من الصنف الأول فإن سلم من ذلك ومات بلا توبة فأمره إلى الله وقد كانوا في الجاهلية يبالغون في رعايته وحفظ حقه (17).

أما المحسن للجار فكما في حديث أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي عليه الصلاة والسلام أنه قال (أَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا).(18)
وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا وَصِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ قَالَ: (هِيَ فِي النَّارِ) قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا وَصَلَاتِهَا وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ(19) مِنْ الْأَقِطِ وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ قَالَ: (هِيَ فِي الْجَنَّةِ) (20).

وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فشكا إليه جارا له فقال النبي صلى الله عليه وسلم - ثلاث مرات -: (اصبر) ثم قال له في الرابعة أو الثالثة: (اطرح متاعك في الطريق) ففعل قال: فجعل الناس يمرون به ويقولون: ما لك؟ فيقول: آذاه جاره فجعلوا يقولون: لعنه الله فجاءه جاره فقال: رد متاعك لا والله لا أوذيك أبدا (21).

________________

(1)    أحكام أهل الذمة 2/793.
(2)    رواه البزار (1896) والطبراني في مسند الشاميين (2458) وأبو نعيم في الحلية 5/207 قال البزار: لا نعلم أحدا روى عن عبد الرحمن بن الْفُضَيْل إلا ابْنُ أَبِي فُدَيْك. وقال أبو نعيم: غريب من حديث عطاء عن الحسن لم نكتبه إلا من حديث ابن أبي فديك.وقال ابن رجب: وقد روي هذا الحديث من وجوه أخرى متصلة ومرسلة ولا تخلو كلها من مقال. جامع العلوم والحكم 1/138
(3)    فتح الباري 10/441 عمدة القاري 32/197
(4)    رواه البخاري (5673).
(5)    صحيح مسلم (185)
(6)    شرح صحيح مسلم للنووي 2/18
(7)    رواه مسلم (183)
(8)    رواه أحمد (23905) والبخاري في الأدب (103) قال المناوي: وإسناده صحيح. التيسير بشرح الجامع الصغير 2/561
(9)    أخبار مكة للفاكهي 3/388
(10)    البيت للمعري. اللزوميات له 2/180
(11)    مكارم الأخلاق للخرائطي 1/2تاريخ دمشق 18/59 ونسبه بعضهم لمسكين الدارمي. عيون الأخبار 1/359 الأغاني 20/229
(12)    الداجن: كل ما أَلِف البيوت وأقام بها من حيوان وطير. انظر: شرح مسلم للنووي 4/55 الديباج شرح مسلم 2/204 وقال ابن الأثير: الداجن الشاة التي تألف البيت وتتربى فيه. جامع الأصول 11/350 عمدة القاري 19/10
(13)    روا البخاري في الأدب (120) بإسناد ضعيف لضعف الإفريقي عبدالرحمن بن زياد بن أنعم.
(14)    رواه البخاري (5670)
(15)    رواه مسلم (181)
(16)    شرح السنة 13/72
(17)    حاشية الزرقاني على الموطأ 4/384
(18)    رواه أحمد (8081) والترمذي (2305) والطبراني في الأوسط (7054) والبيهقي في الشعب(10616) وابن عساكر في معجمه (991) وقال: هذا حديث حسن غريب. كما حسنه الألباني في صحيح الجامع (100)
(19)    أثوار بالمثلثة وهو الصواب جمع ثور: وهي قطعة من الأقط وهو لبن جامد مستحجر. السلسلة الصحيحة (190)
(20)    رواه أحمد (9673)والبخاري في الأدب (119) قال البوصيري: رواه مسدد وأحمد بن حنبل وأبو بكر بن أبي شيبة بإسناد صحيح.إتحاف الخيرة المهرة 5/490 وصححه الحاكم (7304).
(21)    رواه أبو داود (5155) وأبو يعلى (6630) وصححه ابن حبان (520).