Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Rabu, 23 September 2020

Berwasiat ke ahli waris

Bolehkan Berwasiat Untuk Ahli Waris,,

Bagikan lewat Wasiat dalam istilah ilmu fiqih adalah pemberian harta berupa benda atau manfaatnya, bersifat sukarela (tabarru’), akadnya dilakukan selagi masih hidup, dan penerimaannya dilakukan setelah pemberi wasiat meninggal dunia. Kalau dalam bahasa Arabnya kira-kira seperti ini: تَمْلِيكٌ مُضَافٌ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ بِطَرِيقِ التَّبَرُّعِ ، سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي الأَعْيَانِ أَوْ فِي الْمَنَافِعِ[1 Definisi wasiat seperti di atas, nampaknya agak berbeda dengan pengertian wasiat dalam bahasa Indonesia. Kata wasiat yang sering digunakan orang Indonesia pada umumnya, mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya berkaitan dengan harta benda, melainkan semua yang berkaitan dengan pesan seseorang sebelum meninggal. Contohnya, pak Qosim berpesan kepada anaknya, “Nak, kalau bapak meninggal tolong kuburannya jangan ditembok ya.” Secara bahasa, apa yang dikatakan Pak Qosim kepada anaknya itu bisa disebut sebagai wasiat. Tapi itu tidak termasuk dalam pengertian wasiat yang dibahas dalam ilmu fiqih, karena wasiat dalam istilah ilmu fiqih hanya berkaitan dengan penyerahan harta benda atau manfaatnya. Contoh, Pak Ucup punya anak namanya Jajang, kemudian Pak Ucup berkata kepada Jajang, “Nak, kalau bapak mati, nanti rumah ini buat kamu ya.” Rumah yang disebutkan Pak Ucup itu adalah harta wasiat yang diberikan untuk jajang dan akan menjadi miliknya setelah Pak Ucup meninggal. Selama Pak Ucup masih hidup, Jajang belum punya hak atas rumah tersebut. Ilustrasi di atas hanya sekedar contoh, sebagai gambaran dasar tentang apa itu wasiat. Karena ada ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam berwasiat. Misalnya berapa jumlah maksimal harta yang boleh diwasiatkan, kepada siapa saja wasiat itu boleh diberikan, bagaimana cara melakukan akad wasiat yang benar, dan lain-lain. Tapi untuk membahas semua itu tentu saja tidak cukup ditulis dalam satu atau dua artikel saja, oleh karena itu kita tidak akan bahas semuanya disini. Perbedaan Wasiat dan Waris Sebagian kita mungkin masih bingung membedakan antara wasiat dan waris, karena dua-duanya memang punya persamaan, yaitu harta wasiat dan harta waris sama-sama boleh dimiliki jika pewasiat dan pewarisnya telah meninggal dunia. Namun ada bebererapa hal mendasar yang membedakan antara wasiat dan waris, di antaranya: 1. Sukarela dan Ketetapan Wasiat bersifat sukarela, artinya seseorang boleh berwasiat boleh tidak. Karena wasiat itu mirip dengan shadaqah yang mana keduanya bergantung pada kerelaan seseorang. Sedangkan waris mau tidak mau harus terjadi ketika seseorang meniggal dunia, artinya perpindahan harta dari tangan pewaris ke tangan ahli waris tidak tergantung pada kerelaan sang pewaris, tapi bersifat ketetapan yang memang harus dilaksanakan sesuai aturannya. Dengan kata lain, ketika seseorang meninggal dunia, hartanya akan otomatis menjadi hak milik ahli warisnya tanpa menunggu persetujuan dari siapapun, karena ketentuan waris, Allah sendiri yang menetapkan langsung dalam al-quran. 2. Akad dan Non akad Ketika seseorang berwasiat ada akad yang terjadi antara dia sebagai pewasiat dan orang lain sebagai penerima wasiat. Karena akad wasiat itu dilakukan ketika pewasiat masih hidup. Tapi lain halnya dengan waris, tidak ada akad yang terjadi antara pewaris dengan ahli waris. Karena ketika pewaris meninggal dunia, hartanya akan pindah kepada ahli waris secara otomatis sesuai ketentuan pembagian yang ditetapkan dalam al-quran. 3. Berbeda dari sisi jumlah dari sisi jumlah, wasiat boleh diberikan dengan ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Sedangkan waris, ketentuannya bervariasi tergantung siapa ahli warisnya, ada yang mendapat setengah, seperempat, sepertiga, dan lain-lain sebagaimana termaktub dalam al-quran surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 176. 4. Berbeda dari sisi penerima Penerima harta waris hanyalah dia yang ditetapkan bagiannya oleh syariat, tidak semua orang bisa menerima harta waris dari orang yang meninggal. Sebalikanya, wasiat justru tidak boleh diberikan kepada ahli waris yang sudah ditetapkan bagiannya itu. Wasiat hanya boleh diberikan kepada orang yang tidak mendapatkan bagian waris. Poin keempat di atas, adalah fokus kita kali ini. Yaitu apa hukumnya berwasiat kepada ahli waris menurut para ulama? Hukum Berwasiat Kepada Ahli Waris Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua kelompok: 1. Tidak boleh kecuali dengan izin dari ahli waris yang lain Yang berpendapat demikian di antaranya ulama madzhab Hanafiyyah[2], sebagian Malikiyyah[3], sebagian Syafi’iyyah[4] dan sebagian Hanabilah[5]. Menurut pendapat pertama ini, jika seseorang berwasiat kepada seorang ahli warisnya, lalu kemudian ahli warisnya yang lain menyetujui maka wasiatnya boleh dan sah. Namun jika tidak disetujui oleh ahli waris yang lain maka wasiatnya tidak sah dan tidak boleh dilaksanakan. Pendapat pertama ini, berdasarkan kepada beberapa dalil, antara lain: 1. Surat Al-Nisa ayat 11: مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” ayat di atas secara dzhahir (tekstual) menunjukkaan kebolehan wasiat secara mutlak tanpa dibatasi siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh menerima wasiat.[6] 2. Hadits riwayat dari Ibnu Abbas: لا تجوز لوارث وصية إلا أن يجيزه الورثة “Tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, kecuali jika disetujui oleh ahli waris yang lain” 3. Illat Larangan wasiat Larangan wasiat kepada ahli waris bertujuan untuk menjaga hak ahli waris yang lain, karena pada dasarnya masing-masing ahli waris sudah ditetapkan bagiannya, sehingga jika ada ahli waris yang mendapatkan jatah wasiat, maka bagiannya akan bertambah dari jatah seharusnya dan dampaknya jatah ahli waris lain menjadi berkurang. Oleh karena itu, jika ahli waris yang lain tersebut mengizinkan dan merelakan haknya menjadi berkurang, maka wasiatnya menjadi sah dan boleh dilaksankan.[7]   2. Tidak Boleh Walaupun Dengan Izin Ahli Waris Yang Lain Yang berpendapat demikian di antaranya sebagian ulama Malikiyah[8], sebagian Syafi’iyyah[9], sebagian Hanabilah[10], dan madzhab Dzhohoriyah[11]. Menurut pendapat ini, wasiat kepada ahli waris tidak boleh walau bagaimanapun, termasuk ketika ahli waris sudah mengizinkan sekalipun. Pendapat kedua ini, dalilnya sebagai berikut: 1. Hadits Ibnu Abbas: إن الله أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث “Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris.” Hadits di atas menunjukkan bahwa hak masing-masing ahli waris dan yang bukan ahli waris sudah ditetapkan bagiannya. Ahli waris mendapatkan bagian dari jatah waris dan yang bukan ahli waris mendapatkan bagian dari jatah wasiat apabila almarhum pernah berwasiat.   2. Mengarah kepada Perbuatan Haram Memberikan wasiat kepada sebagian ahli waris akan menimbulkan ketidak harmonisan karena rasa iri dari ahli waris yang lainnya. Sehingga lambat laun akan menyebabkan putusnya tali silaturahim. Sedangkan memutus tali silaturahim dalam syariat Islam hukumnya haram. Dan sesuatu yang menyebabkan timbulnya perbuatan haram, hukumnya menjadi haram.[12] 3. Larangan dari Allah Tidak Bisa Dibatalkan Oleh Manusia Allah subhanahu wata’ala telah jelas-jelas melarang wasiat kepada ahli waris melalui lisan Nabi Muhmmad Shallallhu ‘alaihi wasallam di dalam hadits yang telah dikutip di atas. Dan jika ahli waris mengizinkan wasiat itu diberikan kepada ahli waris yang lainnya, maka itu sama saja dengan menentang dan membatalkan larangan dari Allah. Dan itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa karena manusia tidak berhak untuk membatalkan perintah Allah. Sehingga hukumnya tetap haram sekalipun ada izin dari ahli waris. Adapun jika memang pada kenyataannya ahli waris tersebut mengizinkan dan merelakan wasiat itu diberikan, maka menurut pendapat kedua ini, itu pada hakikatnya bukanlah wasiat, tetapi pemberian atau hibah dari ahli waris itu sendiri. Jadi tidak langsung diberikan sebagai wasiat. Melainkan dibagikan dulu semua harta almarhum kepada semua ahli waris. Kemudian ahli waris yang mengizinkan tersebut memberikan bagiannya kepada ahli waris yang seharusnya mendapatkan wasiat sebagai hibah atau pemberian. Fatwa Kontemporer Dari ulasan di atas kita tahu bahwa ulama dari dua kelompok, baik yang berpegangan kepada pendapat pertama dan kedua semuanya sepakat bahwa tidak boleh wasiat kepada ahli waris jika tidak ada izin dari ahli waris yang lainnya. walaupun harta yang diwasiatkan itu tidak lebih dari sepertiga harta almarhum. Tetapi menarikanya ada fatwa ulama kontemporer yang agak berbeda dengan pendapat kedua kelompok ulama yang telah disebutkan di atas. Fatwa tersebut dikeluarkan oleh DR. Ali Jum’ah yang dimuat di dalam website lembaga fatwa Mesir Dar Al-Ifta Al-Mishriyyah. Di dalam fatwanya tersebut beliau menyebutkan bahwa wasiat itu hukumnya boleh baik kepada ahli waris maupun kepada non ahli waris selama tidak melebihi sepertiga harta. Adapun jika lebih dari sepertiga harta maka itu tergantung kepada izin dari ahli waris yang lainnya.[13] Sedangkan fatwa kerjaan Arab Saudi yang termuat dalam website resminya lebih condong kepada pendapat ulama kelompok kedua yang berpendapat bahwa wasiat tidak boleh kepada ahli waris secara mutlak baik ada izin dari ahli waris yang lain atau tidak.[14]   Kesimpulan Terlepas dari perbedaan para ulama seperti yang telah dipaparkan di atas, kita tentunya tidak menginginkan timbulnya perpecahan di dalam keluarga kita selepas kita tiada. Maka alangkah baiknya sebagai ‘camat’ alias calon mati, ketika kita ingin berwasiat hendaknya kita pertimbangkan dengan matang siapa orang yang paling tepat dan berhak untuk menerima wasiat kita nanti. Jangan sampai awalnya niat kita baik malah berujung pada perpecahan dan terputusnya tali silaturahim di antara ahli waris. Harus dipertimbangkan, Jika kita memutuskan untuk memberikan wasiat kepada keluarga kita yang sejatinya akan mendapatkan jatah dari waris, maka wasiat kita akan percuma saja karena wasiat itu tidak sah jika kita mengikuti pendapat kelompok ulama kedua yang mengatakan tidah sah wasiat itu walaupun semua ahli waris yang lain rela dan mengizinkan. Dan kalaupun kita mengikuti pendapat kelompok ulama yang pertama yang mengatakan boleh dengan syarat persetujuan dari ahli waris yang lain. Tidak menutup kemungkinan setelah kita meninggal mereka berubah pikiran yang awalnya menyetujui akhrinya karena alasan tertentu tidak mengizinkan wasiat itu diberikan. Maka hasilnya akan sama saja, wasiat kita jadi percuma. Padahal bisa jadi ada keluarga kita yang lain yang tidak mendapat jatah waris sedangkan dia sangat membutuhkan. Contohnya cucu yang orangtuanya sudah tiada sedangkan paman-pamannya masih hidup, maka ketika kita meninggal cucu tersebut tidak akan mendapatkan apa-apa karena terhalang oleh paman-pamannya. Padahal cucu tersebut lebih membutuhkan karena orang tuanya sudah meninggal dan tidak ada yang memberi nafkah untuknya. Dan karena cucu tersebut tidak akan mendapatkan jatah dari waris, maka jalan satu-satunya adalah dengan jalan wasiat. Di Mesir, bahkan wasiat dalam kasus seperti ini diwajibkan dan diatur dalam undang-undang sehingga dikenal dengan istilah al-washiyyah al-wajibah (wasiat wajib). Walaupun undang-undang tersebut banyak dikritik karena dianggap bertentangan dengan teks-teks al-quran dan as-sunnah karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkan wasiat tersebut. Wallahu a’lam bi al-shawab                           [1] Mughni al-Muhtaj, 38-39/3, Kasysyaf al-Qina’ 336/4 [2] Al-Kasani, Bada’i Al-Shana’i 380/7, Ibnu al-Humam, Fath Al-Qadir 382/9, Al-Marginani, Al-Hidayah Syarh Bidayah Al-Mubtadi 233/4 [3] Al-Dasuqi, Hasyiah Al-Dasuqi 427-428/4, Al-Namari Al-Qurthubi, Al-Kafi Fi Fiqh Ahl Al- Madinah 219,221/2 [4] Al-Syairazi, Al-Muhadzdzab 71,712/3, Al-Nawawi, Raudhah Al-Thalibin 108-109/6, Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj 44/3 [5] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Syarh Al-Kabir 522-523/3, Al-Buhuthi, Kasysyaf Al-Qina’ 339-340/4 [6] Al-Jashshash, Ahkam Al-Quran 56/2 [7] Al-Maidani, al-Lubab 168/4, Rajab, Al-Washiyah Wa al-Waqfu 99 [8][8] Al-Dasuqi, Hasyiah Al-Dasuqi 427-428/4 [9] Al-Syairazi, Al-Muhadzdzab 712-713/3, Al-Nawawi, Raudhah Al-Thalibin, 108-109/6 [10] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Syarh Al-Kabir 522-524/3 [11] Ibnu Hazm, Al-Muhalla 356/8 [12] Al-Kasani, Bada’i al-Shana’i 337-338/7 [13]...

Selasa, 22 September 2020

Gadai dialap manfaat

PERTANYAAN :

Assalamualaikum,
bagaimana hukum kita pinjam uang dengan gadai tanah, tapi si peminjam menggarap dan mengambil hasil dari tanah tersebut, riba / bukan ? mohon pencerahannya dari semua madzhab ?....

JAWABAN :

Wa'alaikumsalam. Dalam permasalahan semacam ini terdapat tiga pendapat dari para ulama Fiqh :

1. Haram : sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya
2. Halal : Bila tidak terdapat syarat pada waktu akad sebab menurut pendapat ulama fiqh yang masyhur adat yang berlaku di masyarakat tidak termasuk syarat

Dalil-dalil keharamannya antara lain, hadits dari Anas bin Malik ra, bahwa dia pernah ditanya, "Ada seseorang dari kami memberikan pinjaman (qardh) kepada saudaranya lalu saudaranya memberikan hadiah kepadanya." Maka Anas bin Malik ra berkata," Rasulullah SAW telah bersabda, "Jika salah seorang dari kamu memberikan pinjaman (qardh) lalu peminjam memberinya hadiah atau menaikkannya di atas kendaraan [milik peminjam], maka janganlah dia menaikinya dan janganlah dia menerimanya, kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan di antara keduanya sebelumnya." (HR Ibnu Majah, no 2432.
Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi. Lihat Imam Munawi, Faidhul Qadir Syarah Al Jami' Al Shaghir, 1/293).

3. Syubhat : (Tidak jelas halal haramnya) karena terjadi perselisihan pendapat dalam permasalahan ini
Referensi :

و منها : لو عم في الناس اعتياد إباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن قال الجمهور : لا و قال القفال : نعم
Jika sudah umum dikalangan masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadaian oleh pemilik gadai apakah kebiasaan tersebut sama dengan pemberlakuan syarat (kebolehan pemanfaatan) sampai barang yang digadaikan tersebut rusak ? Mayoritas Ulama menyatakan tidak sama sedang Imam ql-Qaffal menyatakan sama. [ Asybah wa an-Nazhooir I/192 ].

( و ) جاز لمقرض ( نفع ) يصل له من مقترض كرد الزائد قدرا أو صفة والأجود في الرديء ( بلا شرط ) في العقد بل يسن ذلك لمقترض…. وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا
( قوله ففاسد ) قال ع ش ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد
Diperbolehkan bagi sipemberi pinjaman untuk memanfaatkan (sesuatu kelebihan) yang diperoleh dari si peminjam seperti pengembalian yang lebih baik ukuran ataupun sifat dan lebih baik pada pinjaman yang jelek asalkan tidak tersebutkan pada waktu akad sebagai persyaratan bahkan hal yang demikian bagi peminjam disunahkan (mengembalikan yang lebih baik dibandingkan barang yang dipinjamnya)
Adapun peminjaman dengan syarat boleh mengambil manfaat oleh peminjam maka hukumnya rusak/haram sesuai dengan hadits “semua peminjaman yang menarik sesuatu (terhadap yang dipinjamkanny maka termasuk riba”

Dengan ini diketahui akan rusaknya akad tersebut jika memang disyaratkan dalam akad. Sedangkan jika keduanya (Si peminjam dan yang dipinjami uang) saling sepakat dan tanpa ada persyaratan tertentu dalam akad maka akad itupun tidak menjadi rusak (hukumnya boleh). [ I’aanah at-Thoolibiin III/353 ].
Wallohu a'lam

Sabtu, 19 September 2020

Dosa RIBA

Memakan Riba Sama dengan 36X Zinah,
HUKUM ISLAM MUAMALAH
Memakan Satu Dirham dari Hasil Riba …

Di akhir zaman sekarang ini, telah nampak praktek riba tersebar di mana-mana. Dalam ruang lingkup masyarakat yang kecil hingga tataran negara, praktek ini begitu merebak baik di perbankan, lembaga perkreditan, bahkan sampai yang kecil-kecilan semacam dalam arisan warga. Entah mungkin kaum muslimin tidak mengetahui hakekat dan bentuk riba. Mungkin pula mereka tidak mengetahui bahayanya. Apalagi di akhir zaman seperti ini, orang-orang begitu tergila-gila dengan harta sehingga tidak lagi memperhatikan halal dan haram. Sungguh, benarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

“Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau haram.” (HR. Bukhari no. 2083)
Oleh karena itu, sangat penting sekali materi diketengahkan agar kaum muslimin apa yang dimaksud dengan riba, apa saja bentuknya dan bagaimana dampak bahanya. Allahumma yassir wa a’in. Ya Allah, mudahkanlah kami dan tolonglah kami dalam menyelesaikan pembahasan ini.

Seorang Pedagang Haruslah Memahami Hakekat Riba
As Subkiy dan Ibnu Abi Bakr mengatakan bahwa Malik bin Anas mengatakan,

فَلَمْ أَرَ شَيْئًا أَشَرَّ مِنْ الرِّبَا ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَذِنَ فِيهِ بِالْحَرْبِ

“Aku tidaklah memandang sesuatu yang lebih jelek dari riba karena Allah Ta’ala menyatakan akan memerangi orang yang tidak mau meninggalkan sisa riba yaitu pada firman-Nya,

فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنْ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

“Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu (disebabkan tidak meninggalkan sisa riba).” (QS. Al Baqarah: 279)
‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا .

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.”
‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ
“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Mughnil Muhtaj, 6/310)

Apa yang Dimaksud dengan Riba?

Secara etimologi, riba berarti tambahan (al fadhl waz ziyadah). (Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 350 dan Al Misbah Al Muniir, 3/345). Juga riba dapat berarti bertambah dan tumbuh (zaada wa namaa). (Lihat Al Qomus Al Muhith, 3/423)

Contoh penggunaan pengertian semacam ini adalah pada firman Allah Ta’ala,

فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ

“Maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bertambah dan tumbuh subur.” (QS. Fushilat: 39 dan Al Hajj: 5)
Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda-beda dalam mengungkapkannya.
Di antara definisi riba yang bisa mewakili definis yang ada adalah definisi dari Muhammad Asy Syirbiniy. Riba adalah:

عَقْدٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوصٍ غَيْرِ مَعْلُومِ التَّمَاثُلِ فِي مِعْيَارِ الشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ أَوْ مَعَ تَأْخِيرٍ فِي الْبَدَلَيْنِ أَوْ أَحَدِهِمَا

“Suatu akad/transaksi pada barang tertentu yang ketika akad berlangsung tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari’at, atau adanya penundaan penyerahan kedua barang atau salah satunya.” (Mughnil Muhtaj, 6/309)
Ada pula definisi lainnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Qudamah, riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 7/492)
Hukum Riba

Seperti kita ketahui bersama dan ini bukanlah suatu hal yang asing lagi bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan dalam syari’at Islam. Ibnu Qudamah mengatakan,

وَهُوَ مُحَرَّمٌ بِالْكِتَابِ ، وَالسُّنَّةِ ، وَالْإِجْمَاعِ

“Riba itu diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ (kesepakatan kaum muslimin).” (Al Mughni, 7/492)

Bahkan tidak ada satu syari’at pun yang menghalalkan riba. Al Mawardiy mengatakan, “Sampai dikatakan bahwa riba sama sekali tidak dihalalkan dalam satu syari’at pun. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَأَخْذِهِمْ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya.” (QS. An Nisaa’: 161). Maksudnya adalah riba ini sudah dilarang sejak dahulu pada syari’at sebelum Islam. (Mughnil Muhtaj, 6/309)

Di antara dalil Al Qur’an yang mengharamkan bentuk riba adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imron: 130)

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275)
Di antara dalil haramnya riba dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa memakan riba termasuk dosa besar.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ »

“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “[1] Menyekutukan Allah, [2] Sihir, [3] Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, [4] Memakan harta anak yatim, [5] memakan riba, [6] melarikan diri dari medan peperangan, [7] menuduh wanita yang menjaga kehormatannya lagi (bahwa ia dituduh berzina).” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melaknat para rentenir (pemakan riba), yang mencari pinjaman dari riba, bahkan setiap orang yang ikut menolong dalam mu’amalah ribawi juga ikut terlaknat.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”(HR. Muslim no. 1598)

Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.” (Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64)

Dampak Riba yang Begitu Mengerikan

Sungguh dalam beberapa hadits disebutkan dampak buruk dari memakan riba. Orang yang mengetahui hadits-hadits berikut ini, tentu akan merasa jijik jika harus terjun dalam lembah riba.

[Pertama] Memakan Riba Lebih Buruk Dosanya dari Perbuatan Zina

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Kedua] Dosa Memakan Riba Seperti Dosa Seseorang yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

[Ketiga] Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah Ta’ala

Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi)

Allahu Subhaanahu Wata'ala A'lam.

 

Kamis, 17 September 2020

Khutbah Tentang Taqwa

MAKNA DAN NASIHAT UNTUK BERTAQWA KEPADA ALLAH

إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه
قال الله تعالى فى كتابه الكريم، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
وقال تعالى، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
أَمَّا بَعْدُ، فإِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

Jama’ah sidang Jumat yang berbahagia.

Pertama-tama Saya berpesan untuk diri saya dan untuk para jamaah sekalian agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena taqwa adalah sebaik-baik bekal menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ

“Berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwa.” (QS. Al-Baqarah[2]: 197)

Baca Juga:
Orang Yang Berilmu Takut Dengan Sebenarnya Kepada Allah
Kemudian kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan banyak-banyak memujiNya atas segala nikmat dan karunia yang Allah limpahkan kepada kita semua. Teramat banyak nikmat-nikmat yang telah kita terima namun sangat sedikit syukur yang telah kita berikan. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menggolongkan kita sebagai hamba-hamba yang bersyukur. Walaupun kita menyadari bahwa syukur kita tidak akan mampu untuk menebus semua nikmat yang telah kita terima. Namun Allah berjanji akan menambah nikmat-nikmat itu untuk kita jika kita mensyukurinya.

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Jika kamu bersyukur, maka Aku akan tambah nikmat-nikmatKu untuk kamu.” (QS. Ibrahim[14]: 7)

Dan tentunya hamba yang bersyukur itu sedikit.

…وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ ﴿١٣﴾

“…Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba'[34]: 13)

Mudah-mudahan kita termasuk hamba yang sedikit itu. Dan cara kita mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menggunakan nikmat-nikmat itu untuk menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jama’ah, kaum muslimin yang dimuliakan Allah..

Didalam Al-Qur’an, dalam ayat yang kita bacakan tadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّـهَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah.”

وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

“Dan hendaklah tiap-tiap orang memperhatikan bekal apa yang akan dibawa untuk hari esoknya.”

وَاتَّقُوا اللَّـهَ ۚ إِنَّ اللَّـهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١٨﴾

“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr[59]: 18)

Didalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaqwa. Dua kali perintah, di awal ayat dan di penghujung ayat. “Bertakwalah kamu kepada Allah”, ini merupakan pesan yang terbaik yang disampaikan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya. Apabila saudara kita minta nasihat kepada kita, maka wajib bagi kita untuk menasihatinya.

Baca Juga:
Ahlussunnah wal Jamaah Memperingatkan Bahayanya Menyerupai Orang Kafir - Kitab Al-Ishbah
وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ

“Jika saudaramu meminta nasihat, maka nasihatilah dia.” (HR. Muslim)

Kalaulah berat kita menyampaikan nasihat yang panjang, maka cukup bagi kita berkata kepadanya, “Ya Fulan, Ittaqillah (Wahai Fulan, bertakwalah kamu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)”

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyampaikan pesan taqwa ini kepada NabiNya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ…

“Wahai Nabi, bertaqwalah kamu kepada Allah...” (QS. Al-Ahzab[33]: 1)

Demikian pula Nabi berpesan kepada kita semua di dalam sabda beliau:

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا، وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, dan iringilah keburukan itu dengan kebaikan niscaya akan menghapusnya, dan bergaullah kamu kepada manusia dengan akhlak mulia.” (HR. Tirmidzi)

Dalam hadits ini Nabi berpesan kepada umatnya agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka pesan taqwa ini adalah pesan yang paling banyak kita dapatkan di dalam Al-Qur’an. Diantaranya ayat yang sering kita baca:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa.” (QS. Ali-Imran[3]: 102)

Sebenar-benar taqwa mengandung tiga makna:

Pertama, sebenar-benar taqwa seperti yang dikatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ

 “Bertaqwa kamu kepada Allah dimanapun kamu berada.”

Yaitu bertaqwa kepada Allah pada saat kita sedang sendirian maupun ditengah keramaian. Ketika kita seorang diri maupun kita berada di tengah-tengah sahabat-sahabat/teman-teman kita. Inilah hakikat taqwa yang sebenar-benarnya. Taqwa tanpa memandang tempat dan kondisi, dimanapun kita berada, baik ada yang memantau dan melihat kita maupun tidak ada yang melihat dan memantau kita, kita tetap menjaga taqwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga:
Enam Langkah Iblis dalam Menyesatkan Manusia
Itulah makna حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa).

Kedua, حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa) juga bermakna bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apapun kondisinya. Baik pada saat suka maupun duka, pada saat lapang maupun sempit, pada saat kaya maupun miskin. Bagaimanapun keadaannya kita tetap mempertahankan taqwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak hanya bertaqwa pada saat senang, tapi kita lupa taqwa pada saat susah. Atau sebaliknya, kita bertaqwa kepada Allah pada saat susah tapi kita lupa kepadaNya pada saat senang.

حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa) itu bertakwa kepada Allah, menjaga hukum-hukum Allah, agama Allah, menjaga halal dan haram, baik pada saat kita senang maupun susah, lapang maupun sempit, miskin maupun kaya. Di sana ada sebagian orang yang bertakwa kepada Allah hanya pada saat-saat dia lapang. Ketika Allah memberikan kelapangan rezeki, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kemudahan usaha dan urusannya, maka diapun bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kesempitan, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menahan sebagian rezekinya, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mencobanya dengan musibah dan kesulitan, maka taqwanya pun hilang. Atau sebaliknya, ketika dia diuji dengan kesulitan, ketika dia diuji dengan kesempitan, ketika dia diuji dengan kemiskinan, dia bertakwa kepada Allah. Dia rajin ke masjid, bolak-balik, mondar-mandir berdoa kepada Allah, merintih sambil menangis, itu waktu sempit. Tapi ketika Allah beri kelapangan, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kekayaan, Allah gelontorkan rezeki dan nikmat kepadanya, dia lupa. Dia lupa masjid, dia lupa ketaatan, dia lupa segala amal shalih yang dia lakukan dahulu waktu dia miskin. Dia lupa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal waktu miskin dulu dia rajin berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nah, sekarang dia sudah kayak dia lupa berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Baca Juga:
Muqadimah Kitab Ar-Risalah At-Tabukiyyah
Maka حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa) adalah taqwa yang tetap kita jaga bagaimanapun keadaan kita. Saat kita susah maupun senang, lapang maupun sempit, tanpa pandang bulu.

Ketiga, makna حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa) adalah taqwa kepada Allah tanpa pamrih. Bukan karena pujian, sanjungan, apresiasi, komentar manusia. Bukan karena apa kata manusia atau apa kata dunia. Tapi dia bertakwa kepada Allah murni Lillahi Ta’ala, tanpa pamrih, tanpa mengharapkan pujian, sanjungan ataupun apresiasi komentar manusia. Sebagian orang ketika sepi komentar dari manusia, maka diapun melemah, maka dia pun meninggalkan ketaatan dan amal shalihnya. Tapi ketika mendapat pujian, ketika dia mendapat apresiasi, komentar dari manusia, maka diapun semangat mengerjakan amal-amal kebaikan. Taqwanya hanya karena pamrih manusia.

Maka حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa) itu adalah bertakwa kepada Allah tanpa pamrih. Baik ada yang mengomentari kita ataupun tidak, baik ada yang memuji kita ataupun tidak, baik ada yang memberikan sanjungan kepada kita maupun tidak, kita tetap menjaga dan mempertahankan taqwa kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah makna dari حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa). Ayat yang mungkin sering kita baca, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa.”

Itulah makna dari حَقَّ تُقَاتِهِ (sebenar-benar taqwa).

فَاعْتَبِرُوا يَا أولى النّهى

KHUTBAH KEDUA – KHUTBAH JUMAT TENTANG MAKNA DAN NASIHAT UNTUK BERTAQWA KEPADA ALLAH
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله، نبينا محمد و آله وصحبه ومن والاه، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أنَّ محمّداً عبده ورسولهُ

Baca Juga:
Tatkala Al-Qur'an Ditinggalkan - Khutbah Jumat (Ustadz Abu Fairuz Ahmad Ridwan, M.A.)
Para jamaah kau muslimin yang dimuliakan Allah..

Taqwa ini adalah sebaik-baik bekal kita untuk menghadapi alam-alam berikutnya. Taqwa inilah yang menjaga kita. Karena hakikat taqwa itu adalah menjaga agama Allah, batasan-batasan Allah, halal haram, perintah dan larangan, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah bahwa taqwa kepada Allah itu diwujudkan dengan tiga hal:

Pertama, engkau beribadah kepada Allah, beramal, berbuat, maka tidak mungkin taqwa dengan berpangku tangan, tidak mungkin taqwa hanya dengan menganggur, tidak beribadah, tidak beramal shalih.

Kedua, dengan bimbingan cahaya ilmu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu bahwa taqwa identik dengan ilmu. Tidak dikatakan taqwa orang yang menjauh dari ilmu. Orang yang malas menuntut ilmu tidak bisa dikatakan dia orang yang bertaqwa.

Ketiga, semata-mata karena kamu takut kepada adzab Allah, yaitu dengan niat yang ikhlas. Dengan mengikhlaskan ketaatan-ketaatan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah definisi taqwa yang terbaik yang diungkapkan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Terangkum padanya tiga perkara, yaitu amal ibadah, ilmu dan keikhlasan kita di dalam mengerjakan seluruh amal-amal shalih tersebut.

Demikianlah mudah-mudahan kita menjadi hamba yang beruntung pada hari kiamat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala masukkan ke dalam surga yang luas yang lebarnya selebar langit dan bumi.

أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

 “Disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”

Dan hanya orang yang bertaqwa yang akan mendapatkan kesudahan yang baik.

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Kesudahan yang baik (happy ending), hanyalah milik orang-orang yang bertaqwa.”

Tentunya kita ingin bahagia di akhir, bukan bahagia di awal tapi menderita dan sengsara di akhir. Kita ingin bahagia tanpa batas, dunia dan akhirat. Baik di alam dunia maupun alam-alam selanjutnya yang jauh lebih panjang. Alam barzakh, alam akhirat yang tentunya masanya lebih panjang daripada alam dunia.

Baca Juga:
Hadits Tentang Sedekah Sembunyi-Sembunyi
Kita ingin bahagia yang hakiki, bahagia tanpa batas yang tidak terbatas dengan kematian. Itulah bahagia yang dimiliki oleh orang-orang yang bertaqwa. Hanya orang aneh bertaqwa yang akan mendapatkan kenikmatan yang hakiki dan abadi.

Demikianlah mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita semua hamba-hamba yang tetap menjaga ketaqwaan kita kepadaNya.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

  اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ، فَيَا قَاضِيَ الحَاجَات

اللهم تقبل أعمالنا يا رب العالمين، اللهم وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم، اللهم اصلح ولاة أمورنا يا رب العالمين، واجعلنا من التوابين واجعلنا من المتطهرين

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

عباد الله:

إِنَّ اللَّـهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
فَاذْكُرُوا الله العَظِيْمَ يَذْكُرْكُم، وَاشْكُرُوهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُم، ولذِكرُ الله أكبَر.

Tafsir Quran Surah Attaubah ayat 118

alqur'anmulia Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 118-119 untungsugiyarto 3 tahun yang lalu Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 118-119 Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah (Pengampunan) Surah Madaniyyah; surah ke 9: 129 ayat

(وَعَلَى ٱلثَّلَـٰثَةِ ٱلَّذِینَ خُلِّفُوا۟ حَتَّىٰۤ إِذَا ضَاقَتۡ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَرۡضُ بِمَا رَحُبَتۡ وَضَاقَتۡ عَلَیۡهِمۡ أَنفُسُهُمۡ وَظَنُّوۤا۟ أَن لَّا مَلۡجَأَ مِنَ ٱللَّهِ إِلَّاۤ إِلَیۡهِ ثُمَّ تَابَ عَلَیۡهِمۡ لِیَتُوبُوۤا۟ۚ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِیمُ)
[سورة التوبة 118]

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (At-Taubah ayat 118-119) Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami keponakan Az-Zuhri (yaitu Muhammad ibnu Abdullah), dari pamannya (Muhammad ibnu Muslim Az-Zuhri), telah menceritakan kepadaku Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Ka’b ibnu Malik, bahwa Ubaidillah ibnu Ka’b ibnu Malik yang menjadi juru penuntun Ka’b ibnu Munabbih setelah matanya buta mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ka’b ibnu Malik menceritakan hadis tentang dirinya ketika ia tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Tabuk. Ka’b ibnu Malik mengatakan, “Aku tidak pernah absen dari Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan pun yang dilakukannya, kecuali dalam Perang Tabuk. Hanya dalam Perang Badar aku tidak ikut, dan tidak ada seorang pun yang ditegur karena tidak mengikutinya. Karena sesungguhnya saat itu Rasulullah Saw. berangkat hanya bertujuan untuk menghadang kafilah orang-orang Ouraisy, tetapi pada akhirnya Allah mempertemukan mereka dengan musuh mereka tanpa ada perjanjian sebelumnya. Sesungguhnya aku ikut bersama Rasulullah Saw. dalam malam ‘Aqabah ketika kami mengucapkan janji setia kami kepada Islam, dan aku tidak suka bila malam itu diganti dengan Perang Badar, sekalipun Perang Badar lebih dikenal oleh orang daripadanya. Termasuk berita yang menyangkut diriku ketika aku tidak ikut berangkat bersama Rasulullah Saw. dalam Perang Tabuk ialah bahwa pada saat itu keadaanku cukup kuat dan cukup mudah, yaitu ketika aku absen dari Rasulullah Saw. dalam peperangan tersebut. Demi Allah, aku belum pernah mengumpulkan dua rahilah (unta kendaraan lengkap dengan perbekalannya) melainkan aku mampu mengumpulkannya buat perang itu. Rasulullah Saw. apabila hendak berangkat menuju suatu medan perang jarang sekali menyebutkan tujuannya, melainkan menyembunyi­kannya di balik tujuan yang lain. Ketika tiba saat perang itu, maka Rasulullah Saw. berangkat menuju medannya dalam musim yang panas sekali dan perjalanan yang sangat jauh serta padang sahara yang luas, juga akan menghadapi musuh yang sangat banyak. Maka Rasulullah Saw. memberikan kesempatan kepada kaum muslim untuk membuat persiapan sesuai dengan musuh yang akan mereka hadapi, dan beliau Saw. memberitahukan kepada mereka tujuan yang akan ditempuhnya. Saat itu jumlah kaum muslim yang bersama Rasulullah Saw. sangat banyak sehingga sulit untuk dicatat jumlahnya.” Ka’b melanjutkan kisahnya, “Jarang sekali seorang lelaki yang berkeinginan untuk absen melainkan ia menduga bahwa dirinya pasti tidak diketahui, selagi tidak turun wahyu kepada Nabi Saw. dari Allah Swt. yang memberitahukannya. Rasulullah Saw. berangkat ke medan Perang Tabuk di saat musim buah sedang masak dan naungan yang rindang, sedangkan diriku (Ka’b) lebih cenderung kepada kedua hal ini. Rasulullah Saw. melakukan persiapan untuk menghadapinya bersama-sama kaum muslim, dan aku pun pergi dengan mereka untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan masih belum dapat menyelesaikan sesuatu pun dari persiapanku. Lalu aku berkata kepada diri sendiri, ‘Aku mampu membuat persiapan jika aku meng­hendakinya.’ Hal tersebut berkepanjangan dalam diriku, sedangkan orang lain terus membuat persiapannya dengan penuh kesungguhan. Hingga pada suatu hari Rasulullah Saw. dan kaum muslim berangkat, sedangkan aku masih belum menunaikan sesuatu pun dari persiapanku. Dan aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Aku akan membuat persiapanku dalam satu dua hari lagi, lalu aku akan berangkat menyusul Rasulullah Saw.’ Pada keesokan harinya setelah mereka semuanya pergi, aku pergi untuk membuat persiapanku, tetapi akhirnya aku kembali dalam keadaan masih belum mempersiapkan sesuatu pun dari urusanku itu. Lalu pada keesokan harinya aku pergi lagi untuk membuat persiapan, tetapi aku kembali dalam keadaan belum menunaikan apa-apa. Hal itu berkepanjangan atas diriku, hingga pasukan kaum muslim telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Kemudian aku berniat berangkat dan menyusul mereka —sebenar­nya alangkah baiknya bagiku bila niat tersebut kulakukan—, tetapi aku tidak mampu melakukan hal itu. Sejak saat itu apabila keluar menemui orang-orang sesudah ke­berangkatan Rasulullah Saw., aku selalu dilanda kesedihan, karena aku memandang diriku sendiri tiada lain seperti seseorang yang tenggelam dalam kemunafikannya, atau sebagai seorang lelaki yang dimaafkan oleh Allah Swt. karena berhalangan. Rasulullah Saw. tidak menyebut tentang diriku melainkan sesudah sampai di medan Tabuk. Ketika beliau sudah sampai di Tabuk di saat beliau sedang duduk di tengah-tengah kaum muslim, beliau Saw. bertanya, ‘Apakah yang telah dilakukan Ka’b ibnu Malik?’ Seorang lelaki dari kalangan Bani Salamah menjawab, ‘Wahai Rasulullah, dia tertahan oleh dua lapis kain burdahnya dan memandang kepada kedua sisi pundaknya,’ yakni cenderung kepada duniawi. Maka perkataannya itu dibantah oleh Mu’az ibnu Jabal, ‘Perkataanmu itu buruk sekali. Demi Allah, wahai Rasulullah, sepanjang pengetahuan kami dia adalah orang yang baik.’ Rasulullah Saw. diam.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Ketika sampai kepadaku berita yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. dalam perjalanan pulangnya dari medan Tabuk, maka diriku dilanda kesedihan dan kesusahan, lalu aku mulai berpikir mencari alasan dengan berdusta untuk menyelamatkan diriku dari murka Rasulullah Saw. pada keesokan harinya. Untuk itu, aku bermusyawarah dengan orang-orang yang pandai dari kalangan keluargaku. Tetapi ketika diberitakan bahwa Rasulullah Saw. kini telah dekat, maka lenyaplah kebatilan dari diriku, dan kini aku sadar bahwa diriku tidak akan selamat darinya dengan alasan apa pun. Maka akhirnya aku Pada pagi harinya Rasulullah Saw. tiba. Kebiasaan Rasulullah Saw. apabila baru tiba dari suatu perjalanan, beliau memasuki masjid terlebih dahulu, lalu salat dua rakaat, setelah itu duduk menghadapi orang-orang. Ketika Rasulullah Saw. telah melakukan hal itu, maka berdatangan­lah kepadanya orang-orang yang tidak ikut berperang, lalu mereka mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepadanya untuk menguatkan alasannya. Yang melakukan demikian ada delapan puluh orang lebih, maka Rasulullah Saw. menerima lahiriah mereka dan memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka, sedangkan mengenai isi hati mereka beliau serahkan kepada Allah Swt. Setelah itu aku tiba dan mengucapkan salam kepadanya, maka ia kelihatan tersenyum sinis kepadaku, lalu bersabda, ‘Kemarilah!’ Aku berjalan ke arahnya hingga duduk di hadapannya, lalu ia bersabda, ‘Apakah yang menyebabkan kamu tidak ikut perang? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?’ Aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya jika aku duduk di hadapan selain engkau dari kalangan penduduk dunia, niscaya aku dapat keluar dari kemarahannya dengan berbagai alasan, sesungguhnya aku telah dianugerahi pandai berbicara. Tetapi demi Allah, aku merasa yakin bahwa jika aku berbicara kepadamu pada hari ini dengan pembicaraan yang dusta hingga aku dapat membuatmu rida, niscaya Allah akan membuat engkau murka terhadap diriku dalam waktu yang dekat (yakni melalui wahyu-Nya yang menerangkan hal sebenarnya). Dan sesungguhnya jika aku mengatakan hal yang sebenarnya kepadamu, niscaya engkau akan murka terhadap diriku karenanya; hanya saja aku benar-benar berharap semoga Allah memberikan akibat yang terbaik bagiku dalam kejujuranku ini. Demi Allah, sebenarnya aku tidak mempunyai uzur (halangan) apa pun. Demi Allah, aku belum pernah mengalami keadaan yang luas dan mudah seperti ketika aku tidak ikut perang bersamamu’.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Rasulullah Saw. bersabda: Adapun orang ini, maka ia berkata sejujurnya. Sekarang pergilah hingga Allah memberikan keputusan. Maka aku bangkit dan pergi, lalu bangkitlah banyak kaum lelaki dari kalangan Bani Salamah mengikuti diriku, lalu mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami belum pernah melihat engkau melakukan suatu dosa (kesalahan) pun sebelum ini. Kali ini engkau tidak mampu mengemuka­kan alasan seperti apa yang dikemukakan oleh mereka yang tidak ikut perang itu. Padahal dosamu sudah cukup akan dihapus oleh permohonan ampun Rasulullah Saw. kepada Allah buat dirimu.” Ka’b melanjutkan kisahnya, “Demi Allah, mereka terus-menerus menegurku hingga timbul perasaan dalam hatiku seandainya aku kembali kepada Rasulullah Saw., lalu aku berdusta terhadap diriku. Kemudian aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah ada orang lain yang mengalami seperti apa yang aku lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Ya, engkau ditemani oleh dua orang lelaki yang kedua-duanya mengatakan hal yang sama dengan apa yang telah kamu katakan, lalu dijawab dengan jawaban yang sama seperti yang diutarakan kepadamu.’ Aku bertanya, ‘Siapakah keduanya itu?’ Mereka menjawab, ‘Mararah ibnu Rabi’ Al-Amiri dan Hilal ibnu Umayyah Al-Waqifi.’ Mereka menceritakan kepadaku perihal dua orang lelaki yang pernah ikut dalam Perang Badar, kedua-duanya adalah orang yang saleh, dan pada diri keduanya terdapat teladan yang baik bagi diriku. Lalu aku meneruskan perjalananku setelah mereka menceritakan kedua orang itu kepadaku.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Rasulullah Saw. melarang kaum muslim berbicara dengan kami bertiga dari kalangan orang-orang yang tidak ikut perang bersamanya. Maka kami dijauhi oleh orang-orang. Sikap mereka berubah total terhadap kami, hingga terasa olehku bahwa bumi yang aku huni ini bukanlah bumi yang pernah aku tinggal padanya dan bukanlah bumi yang aku kenal. Kami tinggal dalam keadaan demikian selama lima puluh hari. Kedua temanku itu diam saja dan hanya tinggal di dalam rumahnya masing-masing sambil menangis tiada henti-hentinya (menyesali perbuatannya), tetapi aku adalah orang yang paling sabar dan paling tahan dalam menderita di antara mereka. Aku tetap ikut salat berjamaah bersama kaum muslim dan berkeliling Di pasar-pasar tanpa ada seorang pun yang mau berbicara kepadaku. Dan aku datang menghadap Rasulullah Saw. ketika beliau sedang berada di majelisnya sesudah salat, lalu aku mengucapkan salam kepadanya, dan aku berkata kepada diriku sendiri bahwa apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku ataukah tidak. Kemudian aku salat di dekatnya dan mencuri pandang ke arahnya. Tetapi apabila aku menghadapi salatku, beliau memandang ke arahku, dan apabila aku memandang ke arahnya, maka beliau berpaling dariku. Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama kualami, semua orang muslim tidak mau berbicara kepadaku, hingga aku berjalan menelusuri tembok kebun milik Abu Qatadah. yaitu saudara sepupuku dan orang yang paling aku sukai. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya, tetapi —demi Allah—- dia tidak menjawab salamku. Lalu aku berkata, ‘Hai Abu Qatadah. aku memohon kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah engkau mengetahui bahwa aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?’.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Sepupuku itu diam saja.” Ka’b ibnu Malik mengulangi salam dan pertanyaannya, tetapi sepupunya itu tetap diam. Ketika Ka’b ibnu Malik mengulangi lagi hal itu kepadanya, barulah ia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Maka berlinanganlah air mata Ka’b ibnu Malik, hingga pergi dan meniti jalan dengan bersembunyi di balik tembok. Ketika aku (Ka’b ibnu Malik) sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba aku bersua dengan seorang Nabti dari negeri Syam yang biasa mendatangkan bahan makanan untuk dijual di Madinah. Dia bertanya, “Siapakah yang akan menunjukkan Ka’b ibnu Malik kepadaku?” Maka orang-orang menunjukkan kepadanya rumahku, hingga orang itu datang kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat untukku dari Raja Gassan. Kebetulan aku adalah orang yang pandai baca tulis. Ketika kubaca isinya, ternyata di dalamnya terdapat kata-kata berikut, “Amma ba’du. Sesung­guhnya telah sampai kepada kami suatu berita yang mengatakan bahwa temanmu (yakni Nabi Saw.) telah menjauhimu, dan sesungguhnya Al­lah tidak menjadikanmu berada di negeri yang semuanya menghina dan menyia-nyiakanmu. Maka bergabunglah dengan kami, kami pasti akan membantumu.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Setelah kubaca isi surat itu. jiku berkata kepada diriku sendiri. Inipun suatu malapetaka lagi. Lalu aku menuju tempat pembakaran roti. kemudian surat itu aku masukkan ke dalamnya. Setelah berlalu empat puluh hari dari lima puluh hari yang telah kami sebutkan, tiba-tiba Rasulullah Saw. —yakni utusannya— datang kepadaku seraya membawa pesan bahwa Rasulullah Saw. memerintah­kan aku agar menjauhi istriku. Aku bertanya, ‘Apakah aku harus menceraikannya ataukah harus bagaimana?’ Utusan itu menegaskan. ‘Tidak, tetapi kamu harus menjauhinya, janganlah kamu mendekatinya.” Hal yang sama telah dikatakan pula kepada kedua orang temanku.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu aku berkata kepada istriku, ‘Pulanglah ke rumah orang tuamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah memutuskan perkaraku ini menurut apa yang dikehendaki-Nya’.” Lain halnya dengan istri Hilal ibnu Umayyah (teman Ka’b yang juga dijauhkan). Ia datang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Hilal adalah orang yang telah berusia lanjut lagi lemah keadaannya, dia pun tidak mempunyai pembantu, apakah engkau tidak suka bila aku melayaninya?” Rasulullah Saw. menjawab, “Tidak, tetapi dia tidak boleh mendekatimu.” Istri Hilal berkata, “Sesungguhnya dia, demi Allah, tidak mempunyai selera apa pun. Dia, demi Allah, masih terus-menerus menangis sejak peristiwa yang dialaminya sampai sekarang.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu salah seorang istriku ada yang mengatakan kepadaku,’ Sebaiknya engkau meminta izin kepada Rasulullah Saw. agar istrimu diberi izin untuk melayanimu seperti apa yang diizinkan kepada istri Hilal ibnu Umayyah untuk melayaninya.’ Aku berkata, ‘Demi Alah, aku tidak mau meminta izin kepada Rasulullah Saw. untuk istriku itu, apakah nanti yang akan dikatakan oleh Rasulullah Saw. tentang diriku yang masih muda ini bila aku meminta izin kepadanya’.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Kami tinggal selama sepuluh hari dalam keadaan demikian, hingga genaplah lima puluh hari sejak Rasulullah Saw. melarang orang-orang berbicara kepada kami.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu aku melakukan salat Subuh pada pagi hari yang kelima puluhnya di atas loteng salah satu rumahku. Ketika itu aku sedang duduk dalam keadaan seperti apa yang disebutkan oleh Allah, bahwa jiwaku merasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Dalam keadaan demikian aku mendengar suara seruan keras dari atas Bukit Sala’ yang menyerukan dengan suara keras sekali, ‘Bergembiralah engkau, hai Ka’b ibnu Malik!’ Maka aku menyungkur bersujud, dan aku mengetahui bahwa telah datang jalan keluar dari Allah Swt., yaitu dengan menerima tobat kami. Rasulullah Saw. seusai salat Subuhnya memaklumatkan penerimaan tobat kami oleh Allah Swt. Maka orang-orang pun pergi untuk menyampaikan berita gembira itu kepadaku dan kepada kedua orang temanku. Ada seorang lelaki yang memacu kudanya dari kalangan kabilah Aslam, dan seorang lagi berlari menaiki puncak Bukit (Sala’) untuk menyerukan hal itu, dan ternyata suara lebih cepat daripada kuda. Ketika datang kepadaku orang yang telah kudengar suaranya menyampaikan berita gembira dari atas bukit itu, maka aku tanggalkan kedua bajuku, lalu kuberikan kepadanya sebagai penghargaan atas jasanya; padahal, demi Allah, aku tidak mempunyai baju lagi yang selainnya pada saat itu. Lalu aku meminjam dua lapis baju dan kukenakan, lalu aku berang­kat dengan tujuan akan menghadap Rasulullah Saw. Setiap orang yang aku jumpai secara berbondong-bondong menyampaikan ucapan selamat mereka kepadaku karena tobatku diterima oleh Allah. Mereka mengata­kan, ‘Selamat dengan penerimaan tobatmu oleh Allah.’ Ketika aku memasuki masjid, kujumpai Rasulullah Saw. sedang duduk dikelilingi oleh orang banyak. Maka Talhah ibnu Ubaidillah berlari kecil datang kepadaku dan menyalamiku serta mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah dialah satu-satunya orang dari kalangan Muhajirin yang bangkit menyambutku.” Perawi mengatakan bahwa atas peristiwa itu Ka’b tidak pernah melupakan kebaikan Talhah ibnu Ubaidillah. Ka’b melanjutkan kisahnya, “Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah Saw. (dan beliau menjawab salamku), maka kelihatan wajah Rasulullah Saw. bercahaya karena gembira, lalu bersabda: ‘Bergembiralah engkau dengan sebaik-baik hari yang kamu alami sejak kamu dilahirkan oleh ibumu.’ Aku bertanya, ‘Apakah dari sisimu, hai Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?’ Rasul Saw. menjawab, ‘Tidak, tetapi dari sisi Allah.’ Rasulullah Saw. bila wajahnya bersinar hingga kelihatan seperti bulan purnama, maka hal itu merupakan suatu pertanda bahwa beliau sedang gembira. Ketika aku duduk di hadapannya, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya untuk menunjukkan tobatku, aku melepaskan semua hartaku untuk aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Rasulullah Saw. bersabda, ‘Peganglah sebagian dari hartamu, hal itu lebih baik bagimu.’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya mau memegang bagianku yang ada di Khaibar.’ Dan aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkan diriku hanya dengan berkata benar, dan sesungguhnya termasuk tobatku ialah aku tidak akan berbicara melainkan sejujurnya selagi aku masih hidup’.” Ka’b ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui seseorang dari kalangan kaum muslim yang diuji dengan kejujuran dalam berbicara sejak aku mengucapkan kejujuran itu kepada Rasulullah, yakni dengan hasil yang lebih baik daripada apa yang pernah diujikan oleh Allah kepadaku. Demi Allah, aku tidak punya niat melakukan suatu kedustaan pun sejak aku mengucapkan hal itu kepada Rasulullah Saw. sampai sekarang. Dan sesungguhnya aku berharap semoga Allah Swt. memelihara diriku dari dusta dalam sisa usiaku.” Firman Allah Swt.: {لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ. وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ} Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesung­guhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas danjiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 117-119) Ka’b ibnu Malik mengatakan, “Demi Allah, tidak ada suatu nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadaku sesudah Dia memberiku petunjuk kepada Islam, yakni nikmat yang paling besar artinya bagiku selain dari kejujuranku kepada Rasulullah Saw. pada hari itu. Karena aku tidak mau berdusta kepadanya, sebab aku akan dibinasakan oleh Allah seperti apa yang telah Dia lakukan kepada orang-orang yang berdusta kepada Rasul Saw.” Allah Swt. mengecam dengan kecaman yang sangat keras terhadap orang-orang yang berdusta kepada Rasul Saw. melalui firman yang diturunkan-Nya, yaitu: {سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ} Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam: sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rida kepada mereka. Tetapi jika sekiranya kamu rida kepada mereka, maka sesungguhnya Allah tidak rida kepada orang-orang yang fasik itu. (At-Taubah: 95-96) Ka’b ibnu Malik mengatakan, “Kami bertiga adalah orang-orang yang berbeda dengan mereka yang diterima uzurnya oleh Rasulullah Saw.; ketika mereka tidak ikut perang, lalu Rasulullah Saw. membaiat mereka dan memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Sedangkan terhadap kami bertiga, Rasulullah Saw. menangguhkan urusan kami hingga Allah Swt. sendiri yang memutuskannya. Karena itulah Allah Swt. berfirman: {وَعَلَى الثَّلاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا} ‘dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat)mereka.’ (At-Taubah: 118) Penangguhan Allah terhadap kami tentang urusan kami itu bukanlah karena pelanggaran kami yang tidak ikut perang, melainkan ditangguhkan dari orang-orang yang mengemukakan uzurnya dan bersumpah kepada Nabi untuk mempercayainya, lalu Nabi Saw. menerima alasan mereka.” Hadis ini sahih lagi terbuktikan kesahihannya dan telah disepakati kesahihannya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Az-Zuhri dengan lafaz yang semisal. Hadis ini mengandung tafsir ayat ini dengan penafsiran yang paling baik dan paling detail. Hal yang sama telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan ulama Salaf dalam tafsir ayat ini, seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Al-A’masy dari Abu Sufyan, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Swt.: dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka. (At-Taubah: 118); Mereka adalah Ka’b ibnu Malik, Hilal ibnu Umayyah, dan Mararah ibnu Rabi’, semuanya dari kalangan Ansar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ad- Dahhak, Qatadah, As-Saddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Semuanya mengatakan bahwa salah seorangnya adalah Mararah ibnu Rabi’ah. Hal yang sama disebutkan dalam salah satu salinan dari kitab Muslim,disebutkan Ibnu Rabi’ah; sedangkan dalam salinan yang lainnya disebutkan Mararah ibnur Rabi’. Di dalam suatu riwayat dari Ad-Dahhak disebutkan Mararah ibnur Rabi’, seperti yang terdapat di dalam kitab Sahihain, dan ini adalah yang benar. Teks hadis yang menyebutkan bahwa mereka (orang-orang dari Bani Salamah) menyebutkan dua orang lelaki yang pernah mengikuti Perang Badar; menurut suatu pendapat, ini merupakan kekeliruan dari Az-Zuhri, karena sesungguhnya keikutsertaan seseorang dari mereka dalam Perang Badar tidak dikenal. Setelah Allah menyebutkan jalan keluar yang telah diberikan-Nya kepada mereka dari kesempitan dan musibah yang menimpa mereka, yaitu diasingkan oleh kaum muslim selama lima puluh hari, dalam masa-masa itu jiwa mereka terasa sempit dan bumi yang luas ini terasa sempit oleh mereka. Semua jalan dan semua pemikiran tertutup bagi mereka sehingga mereka tidak menemukan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan. Tetapi mereka tetap bersabar kepada perintah Allah dan tenang menunggu perintah-Nya serta bersikap teguh, sehingga Allah memberikan jalan keluar bagi mereka berkat kejujuran mereka terhadap Rasulullah Saw. dalam mengemukakan alasan ketidakikut-sertaan mereka. Mereka mengatakan bahwa ketidakikutsertaan mereka dalam perang bukanlah karena beruzur, sehingga mereka mendapat hukuman selama masa itu. Kemudian pada akhirnya Allah menerima tobat mereka, dan ternyata akibat yang baik bagi mereka adalah berkat kejujuran mereka hingga tobat mereka diterima. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ} Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119) Yakni jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari urusan kalian. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ ؛ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، هُوَ ابْنُ مَسْعُودٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الكذب، حتى يُكْتَبُ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا”. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Syaqiq. dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas’ud r.a.) yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Jujurlah kalian, karena sesungguhnya kejujuran itu membimbing ke arah kebajikan; dan sesungguhnya kebajikan itu membimbing ke arah surga. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kejujuran serta berpegang teguh kepada kejujuran pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur (benar). Hati-hatilah kalian terhadap kebohongan, karena sesungguhnya bohong itu membimbing kepada kedurhakaan; dan sesungguhnya kedurhakaan itu membimbing ke arah neraka. Dan seseorang yang terus-menerus melakukan kebohongan serta bersikeras dalam kebohongannya, pada akhirnya dia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pembohong (pendusta). Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab shahihnya. Syu’bah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah bahwa ia pernah mendengar Abu Ubaidah menceritakan hadis dari Abdullah ibnu Mas’ud r.a. yang mengatakan bahwa dusta itu tidak layak dilakukan, baik dalam keadaan sungguhan maupun dalam keadaan bersenda gurau. Bacalah oleh kalian firman Allah Swt. yang mengatakan:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119) Demikianlah bunyi ayat seperti yang dibacakan oleh Nabi Saw. Maka apakah kalian menjumpai padanya suatu rukhsah (kemurahan) bagi seseorang? Diriwayatkan dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan firman-Nya:Bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar. (At-Taubah: 119) Yaitu bersama Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Menurut Ad-Dahhak, bersama Abu Bakar dan Umar serta teman-teman keduanya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, “Jika engkau ingin bersama orang-orang yang benar, maka berzuhudlah kamu terhadap duniawi, dan cegahlah dirimu dari (menyakiti) saudara seagamamu.” Share this: Terkait Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 101 29 Juni 2016 dalam "Tafsir Al-Qur'an" Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 85 29 Juni 2016 dalam "Tafsir Al-Qur'an" Tafsir Ibnu Katsir Surah At-Taubah ayat 106 4 November 2017 dalam "Tafsir Al-Qur'an" Kategori: Tafsir Al-Qur'an Tag: 118-119, 9, agama islam, al bara'ah, Al-qur'an, at-taubah, ayat, bahasa indonesia, ibnu katsir, islam, religion, surah, surah al bara’ah, surah at taubah, surat, surat at taubah, tafsir, tafsir alquran, tafsir ibnu katsir Berikan Komentar alqur'anmulia Kembali ke atas