Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 19 Februari 2021

Tiga Utusan Kematian

3 Utusan Kematian untuk Nabi Ya‘qub

Mengutip kitab Zuhur al-Riyâdhah,
Imam al-Ghazali mengisahkan dalam Mukasyafatul Qulub bahwa Nabi Ya‘qub ‘alaihissalam bersahabat dengan malaikat maut.
Pada suatu ketika, malaikat datang kepadanya.
Ditanya oleh Nabi Ya‘qub, “Wahai malaikat maut, engkau datang kemari untuk bertamu atau mencabut ruhku?” Malaikat menjawab, “Aku datang hanya bertamu.”

Nabi Ya’qub ‘alaihissalam bertanya, “Jika begitu, aku ingin menyampaikan suatu permintaan.” Malaikat bertanya, “Permintaan apa itu?” Nabi melanjutkan, “Aku harap engkau memberitahuku saat ajalku sudah dekat dan engkau ingin mencabut ruhku.” Malaikat pun menyanggupi, “Baiklah, aku akan mengirim dua atau tiga utusan.”

Tatkala ajal Sang Nabi sudah habis, malaikat maut kembali datang.
Ditanya lagi oleh Nabi alaihissalam, “Apakah engkau sekadar bertamu, atau hendak mencabut ruh?”
Malaikat menjawab, “Aku datang untuk mencabut ruhmu.” Sang Nabi terkejut, sebab malaikat datang tiba-tiba untuk mencabut nyawa tanpa pemberitahuan sebelumnya, “Bukankah engkau pernah memberi tahuku akan mengirim dua atau dua utusan?”
Malaikat menjawab, “Benar, dan aku telah mengirim putih rambutmu sebagai utusan pertama.
Padahal engkau tahu, rambutmu sebelumnya hitam.
Kemudian aku mengirim lemah badanmu sebagai utusan kedua. Padahal, engkau tahu tubuhmu sebelumnya kuat.
Terakhir, aku mengirim bongkok tubuhmu sebagai utusan ketiga. Padahal, tubuhmu sebelumnya tegak. Itulah utusan-utusanku kepadamu, wahai Ya‘qub, sekaligus kepada Bani Adam menjelang kematian mereka.”

Di antara pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah jangan pernah lalai dalam mengingat kematian. Cukuplah putihnya uban, lemah dan bongkoknya badan menjadi pertanda dekatnya kematian. Kendati demikian, kematian bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Adapun waktu, tempat, dan caranya dirahasiakan. Pesan kisah ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Perbanyaklah mengingat perkara yang memutus berbagai kenikmatan,” (H.R. at-Tirmidzi). Maksudnya adalah kematian.

Mengapa beliau berpesan demikian? Sebab pada dasarnya, manusia memiliki sifat lalai dan pelupa. Tak terkecuali para nabi. Contohnya seperti yang terjadi pada Nabi Yaqub ‘alaihissalam. Namun, menurut para ulama, kelalaian Nabi Yaqub ‘alaihissalam ini bukan sebuah kekurangan, melainkan semata agar menjadi pelajaran bagi umatnya dan juga umat-umat berikutnya.

Dalam kaitan ini, as-Samarqandi menambahkan, ada banyak manfaat dari mengingat kematian, di antaranya (1) semakin giat dalam beribadah, (2) menyegerakan bertaubat, (3) merasa cukup atas apa yang diberikan Allah. Sebaliknya, melalaikan kematian akan mewarisi sifat malas dalam beribadah, menuda-nunda bertaubat, dan tamak alias tidak puas atas pemberian Allah. (Lihat: Syekh Ibrahim as-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin, [Surabaya: Harisma], hal. 10).

Manfaat lain dari mengingat kematian adalah menghilangkan sifat hasud, menjernihkan hati, menghapus dosa-dosa, menjauhkan kesusahan, dan mengendalikan diri dari perbuatan hura-hura serta mencari kegembiraan semata. Bahkan, mengingat kematian hingga 20 kali dalam sehari semalam akan mewarisi kematian husnul khatimah dan dibangkitkan bersama para syuhada pada hari Kiamat. Demikian sebagaimana yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah radliyallahu ‘anha.

Wallahu ‘alam.






Kamis, 18 Februari 2021

Mencium Kaki Orang Tua Bisa Halal bisa Harom

Hukum mencium kaki ibu dalam islam boleh dilakukan dan boleh juga tidak. Seperti pengibaratan surga di bawah kaki ibu itu hanya makna kiasan untuk lebih mudah dipahami oleh setiap orang bahwa ibu adalah manusia yang wajib kita hargai dan kita hormati karena pengorbanannya yang begitu besar untuk anak-anaknya.

Dalam islam mencium kaki ibu jika niatnya karena untuk menunjukkan kasih sayang kita kepadanya sebenarnya tidak menjadi masalah. Namun apabila mencium kaki ibu dengan niat mengagung-agungkannya, itu dianggap sebuah syirik. Mengapa demikian? karena yang boleh disembah hanyalah Allah, jika anda mencium kaki ibu untuk mengagung-agungkannya sama saja anda sedang menyembah-Nya. Hal tersebut masuk dalam kategori menyekutukan Allah dan Allah sangat membencinya.

Berikut dijelaskan dalam hadits :

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

(an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214)

”Maksudnya yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya”.

(Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, jilid 4, hlm. 676)

1. Bisa Haram dan Bisa Juga Halal

Tindakan tersebut bisa dikatakan haram apabila saat mencium kaki ibu kita mempunyai niat untuk memuja atau pun menghormati secara berlebihan, namun bukan termasuk kategori orang murtad karena tidak ada niat untuk menyembah. Sedangkan tindakan tersebut bisa dikatakan halal apabila saat mencium kaki ibu kita hanya ingin menunjukkan rasa sayang kepada ibu ataupun hanya untuk berbakti kepada beliau. Masih banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menunjukkan bakti kita kepadanya dan tidak harus mencium kaki beliau.

Untuk itu sebaiknya tidak melakukan hal tersebut. Islam merupakan agama yang toleran dan sempurn. Oleh karena itu untuk menghormati kedua orang tua khususnya ibu, sudah ada cara tersendiri dan syariat-syariat yang sudah dijelaskan di Al-Qur’an.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

(QS.Al An’am : 151)

Selain dalil Al-Qur’an diatas, ada pula dalil al – qur’an yang menjelaskan terkait mencium kaki ibu, yaitu:

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”

(QS. Luqman: 14).

2. Tidak Dibenarkan Dalam Ajaran Islam

Mencium kaki ibu sebenarnya terlalu berlebihan, jika kita memang menyayangi, menghormati, ataupun mengasihi cukup hanya mencium tangan ataupun wajah beliau. Itu sudah cukup mewakili rasa sayang dan hormat kepada ibu. Sebenarnya kebiasaan mencium kaki ibu berasal dari ajaran Hindhu. Budaya yang mengharuskan para calon pengantin untuk mencium kaki kedua orang tua dan juga mertua. Hal ini juga sangat berpengaruh dengan kesehatan kita. Kaki adalah bagian yang sangat mudah berinteraksi dengan kotoran dan debu. Jadi tidak dianjurkan untuk melakukannya, karena terkesan seperti orang sujud. Hal ini dijelaskan dalam AL-Qur’an surat An-Nisa ayat 36 penjelasannya sebagai berikut :

“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

(An-Nisa : 36)

3. Tidak Ada Penjelasan Di Dalam Al-Qur’an Ataupun Hadits

Dari beberapa pengalaman saya membaca Al-Qur’an dan Hadits, tidak ada penjelasan mengenai hukum mencium kaki ibu dalam ajaran agama islam. Ada lagi pernyataan yang terlalu berlebihan mengenai membasuh kaki ibu kemudian meminum air cuciannya. Hal tersebut sangatlah tidak wajar dan tentunya tidak dianjurkan.

Namun untuk penjelasan mengenai surga terdapat di bawah kaki ibu ada penjelasan di hadits, dan hanya dijelaskan secara harfiah saja. Dalam arti hanya sebuah makna kiasan, karena pada kehidupan nyata yang kita jalani, apabila kita mencarinya di bawah telapak kaki beliau, kita tidak akan menemukannya.
Allahu A'lam

Hukum Membasuh Kaki Orang Tua Bisa Harom Dan Mubah

Bismillah walhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’d

Sepengetahuan kami, tidak ada ayat ataupun hadits yang menganjurkan seorang muslim untuk berbakti kepada ibu dengan cara seperti itu. Bahkan perbuatan seperti itu adalah perbuatan berlebihan (ghulluw) yang bisa menjerumuskan orang dalam kesesatan beragama. Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ ؛ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Wahai manusia, hati-hatilah dari perbuatan berlebihan/ghulluw dalam beragama! Sesungguhnya yang membuat hancur umat-umat sebelum kalian adalah ghulluw dalam agama.” (HR. An-Nasai no. 3057, Ibnu Majah no. 3029, dan Ahmad no. 1851)

Bentuk Bakti kepada Orangtua yang Benar

Adapun bentuk-bentuk bakti seorang anak kepada orangtuanya yang diajarkan dalam Islam sangat banyak sekali, antara lain:

Pertama, menemani orangtua dengan baik terlebih lagi ketika mereka sudah berumur yang tentunya sangat senang apabila anak-anaknya berada di sisinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ۖ

“Dan pergaulilah keduanya di dunia ini dengan cara yang baik” (QS. Luqman 31: 15)

Kedua, berkata dengan perkataan yang lemah lembut dan berisi yang baik-baik. Bedakan berkata dengan orangtua dengan berkata pada teman atau orang yang lebih muda. Jangan berkata dengan nada meremehkan, apalagi perkataan yang menghardik orangtua. Selain itu, usahakan untuk tidak menyampaikan perkataan yang bisa membuat hati orangtua tidak enak. Hal yang demikian ini lebih ditekankan lagi apabila orangtua kita sudah berusia lanjut.

Allah Ta’ala berfirman,

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Israa 17: 23)

Ketiga, senantiasa mendoakan mereka baik ketika mereka masih hidup terlebih lagi ketika mereka sudah wafat jika mereka seorang muslim. Jika orangtua non-muslim dan masih hidup kita bisa mendoakan meminta agar Allah memberikan hidayah Islam kepadanya. Adapun jika orangtua non-muslim dan sudah wafat maka kita tidak boleh mendoakannya.

Allah berfirman memerintahkan kita untuk mendoakan keduanya:

وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا         

“dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil” (QS. Al-Israa 17: 24)

Adapun larangan mendoakan orangtua non-muslim yang sudah meninggal adalah firman Allah Ta’ala:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَن يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah 9: 113)

Keempat, membantu orangtua secara finansial terlebih lagi kalau mereka membutuhkan. Jika mereka tidak membutuhkan karena sudah cukup berada misalnya, kita bisa sesekali memberikan hadiah kepada mereka dengan barang-barang/makanan yang mereka sukai.

Allah berfirman,

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ ۖ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah 2: 215)

Kelima, tetap menjalin hubungan baik kepada orang-orang yang baik dengan orangtua ketika mereka masih hidup.

Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ أَبَرَّ الْبِرِّ صِلَةُ الْوَلَدِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ 

“Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menjaga hubungan baik kepada teman-teman ayahnya” (HR. Muslim no. 2552)

Demikian beberapa hal yang diajarkan oleh Islam untuk berbakti kepada kedua orangtua ketika mereka masih hidup maupun sesudah wafat. Semoga bermanfaat. 

Dalam Islam, menghormati orang tua adalah wajib.
Dalam tradisi orang Indonesia, di antara bentuk menghormati orang tua adalah dengan mencium kakinya. Bahkan ada sebagian orang yang sengaja meminum bekas air wudhu orang tuanya untuk mendapat keberkahan dan keridhaan dari orang taunya.

Menurut Imam Al-Hafidz Al-‘Iraqi, mencium tangan dan kaki orang shaleh, jika bertujuan untuk tabarruk dan penghormatan, hukumnya adalah baik dan terpuji.
Tidak masalah mencium tangan dan kaki orang shaleh jika bertujuan untuk menghormatinya dan mengharapkan berkah darinya.
Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin berikut;

وَقَالَ اَلْحَافِظْ اَلْعِرَاقِيْ : وَتَقْبِيْلُ اْلأَمَاكِنِ الشَّرِيْفَةِ عَلَى قَصْدِ التَّبَرُّكِ وَأَيْدِيْ الصَّالِحِيْنَ وَأَرْجُلِهِمْ حَسَنٌ مَحْمُوْدٌ بِاعْتِبَارِ الْقَصْدِ وَالنِّيَةِ

Menurut Al-Hafidz Al-‘Iraqi, mencium tempat-tempat mulia dengan tujuan tabarruk dan mencium tangan atau kaki orang-orang shaleh merupakan perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya.

Jika mencium kaki orang-orang shaleh dengan tujuan tabarruk dan menghormati hukumnya boleh, maka hal itu juga berlaku untuk orang tua.
Hal itu karena menghormati orang tua dan mengharap berkah darinya lebih dianjurkan lagi.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Tirmidzi disebutkan bahwa Shafwan bin ‘Asal berkisah;

أن يهوديا قال لصاحبه: اذهب بنا إلى هذا النبي صلى الله عليه وسلم .قال: فقبلا يديه ورجليه وقالا: نشهد أنك نبي الله صلى الله عليه وسلم

Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya; Mari kita pergi menemui Nabi ini (Nabi Muhammad).
Shafawan bin ‘Asal berkata; Kemudian mereka berdua menicum tangan dan kaki Nabi Saw dan mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah nabi Allah.

Berdasarkan hadis ini, maka mencium kaki seseorang yang mulia seperti orang-orang shaleh hukumnya boleh.
Bahkan Syaikh Utsaimin dengan tegas membolehkan mencium kaki orang tua berdasarkan hadis ini.
Beliau berkata dalam kitab Syarh Riyadhus Shalihin;

وفي هذا جواز تقبيل اليد والرِّجْل للإنسان الكبير الشرَف والعلم  كذلك تقبيل اليد والرِّجْل من الأب والأم وما أشبه ذلك ؛ لأن لهما حقّاً وهذا من التواضع

Hadis ini menunjukkan bolehnya mencium tangan dan kaki orang tua orang-orang mulia dan berilmu.
Juga boleh mencium tangan dan kaki ayah dan ibu dan yang semisalnya, karena keduanya memiliki hak untuk dihormati, dan ini bagian dari rasa tawadhu.

Wallahu a’lam.

Kamis, 11 Februari 2021

Talak Kondisi Marah

Sahkah Talak dalam Kondisi Sangat Marah?

Assalamu’alaikum wr.wb. Langsung saja, saja mau mau menanyakan kepada pengasuh rubrik bahtsul masail NU Online tentang talak ketika dalam kondisi sangat marah. Tetangga saya adalah orang yang penyabar dan kalau bicara tidak pernah kasar.<> Saya tahu dia orang baik karena memang kita sejak kecil berteman. Ia pernah bercerita bahwa dirinya pada suatu waktu pernah bertengkar hebat dengan isterinya. Ia sebenarnya sudah berusaha sabar, tetapi karena isterinya terus mengajak bertengkar akhirnya tanpa sadar karena emosi yang tak bisa terbendung ia mengucapkan kata talak. Yang ingin saya tanyakan apakah talak dalam kondisi sangat marah sehingga menghilangkan kesadaran normalnya itu sah (jatuh)? Mohon kiranya pengasuh rubrik bahtsul masail menjelasakan. Dan atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb
Wa’laikum salam wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Dalam kehidupan rumah tangga perselisihan antara suami-isteri merupakan hal yang tak bisa dielakkan. Ini merupakan hal biasa dalam kehidupan rumah tangga. Namun acapkali di tengah-tengan perselisihan itu muncul kemarahan yang sangat luar biasa, sehingga tanpa sadar terucap kata talak dari pihak suami.

Sedang mengenai jatuh apa tidaknya talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah, para ulama terjadi perselisihan pendapat. Namun dalam kasus ini ada yang menarik dari penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, salah satu ulama pengikut madzhab hanbali.

Pertama-tama yang dilakukan beliau sebelum menetapkan sah atau tidaknya talak dalam kondisi marah.
Beliau terlebih dahulu membagi bentuk kemarahan.
Setidaknya ada tiga klasifikasi atau level kemarahan.

Level pertama, kemarahan yang biasa, yang tidak mempengaruhi kesadarannya. Artinya, pihak yang marah masih menyadari dan mengetahui apa yang ia ucapkan atau maksudkan dalam kondisi tersebut.
Dalam kasus kemarahan yang seperti ini jika sampai terucap kata talak maka talaknya sah atau jatuh.

Kedua, kemarahan yang sangat luar biasa sehingga menyebabkan orang yang mengalami kemarahan ini tidak menyadari apa yang terucap dan apa yang dikehendaki.
Apa yang terucap ketika dalam kemarahan yang seperti ini tidak memiliki konsekwensi apa-apa. Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan kata talak dalam kondisi kemarahan yang sangat luar biasa maka talaknya tidak sah atau jatuh.
Alasannya adalah ketika seseorang dalam kondisi marah yang sangat luar biasa itu seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang diucapkan dan tidak mengerti maksud dari apa yang diucapkan tersebut.

Ketiga, kemarahan yang berada di tengah yang berada antara kemarahan pada level pertama dan kedua.
Kemarahan pada level tidak menjadikan seseorang seperti orang yang gila.
Bagi Ibnu al-Qayyim, jika ada seseorang mengalami kemarahan pada level ini kemudian terucap kata talak maka talak tersebut tidak sah atau tidak jatuh.     

قُلْتُ : وَلِلْحَافِظِ ابْنِ الْقَيِّمِ الْحَنْبَلِيِّ رِسَالَةٌ فِي طَلَاقِ الْغَضْبَانِ قَالَ فِيهَا : إنَّهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : أَحَدُهَا أَنْ يَحْصُلَ لَهُ مَبَادِئُ الْغَضَبِ بِحَيْثُ لَا يَتَغَيَّرُ عَقْلُهُ وَيَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ ، وَهَذَا لَا إشْكَالَ فِيهِ .وَالثَّانِي أَنْ يَبْلُغَ النِّهَايَةَ فَلَا يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَلَا يُرِيدُهُ ، فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ شَيْءٌ مِنْ أَقْوَالِهِ .الثَّالِثُ مَنْ تَوَسَّطَ بَيْنَ الْمَرْتَبَتَيْنِ بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ كَالْمَجْنُونِ فَهَذَا مَحَلُّ النَّظَرِ ، وَالْأَدِلَّةُ عَلَى عَدَمِ نُفُوذِ أَقْوَالِهِ 

“Saya berkata, bahwa al-hafizh Ibn al-Qayyim al-Hanbali memeliki risalah mengenai talak dalam kondisi marah. Dalam risalah tersebut ia mengatakan bahwa kemarahan itu ada tiga macam. Pertama, adanya dasar-dasar kemarahan bagi seseorang namun nalarnya tidak mengalami kegoncangan sehingga ia masih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan. Dan dalam konteks ini tidak ada persoalan sama sekali. Kedua, ia sampai pada puncak (kemarahannya) sampai tidak menyadari apa yang dikatakan dan dikehendaki. Dan dalam konteks ini tidak ada keraguan bahwa apa yang terucap tidak memeliki konsekwensi apa-apa. Ketiga, orang yang tingkat kemarahannya berada di tengah di antara level yang pertama dan kedua. Dan dalam konteks perlu ditinjau lebih lanjut lagi (mahall an-nazhar). Namun, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa apa yang terucap tidak memiliki konsekwensi apa-apa. (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyatu Durr al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr.
Namun jika seseorang mengalami kemarahan pada level ketiga, yaitu di antara level pertama dan kedua kemudian terucap darinya kata talak, maka menurut mayoritas ulama talaknya sah. Artinya dalam pandangan mereka kemarahan yang tidak sampai berakibat pada hilangnya kesadaran dan rasionalitas seseorang, meskipun menyebakan ia keluar dari kebiasaanya tetaplah jatuh. Sebab, ia tidak seperti orang gila.

اَلثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ الْغَضَبُ وَسَطًا بَيْنَ الْحَالَتَيْنِ بِأَنْ يَشَتَدَّ وَيُخْرِجُ عَنْ عَادَتِهِ وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ كَالْمَجْنُونِ الَّذِي لَا يَقْصِدُ مَا يَقُولُ وَلَا يَعْلَمُهُ وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْقِسْمَ الثَّالِثَ يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ

“Ketiga, adanya kemarahan itu pada level sedang yaitu di antara level pertama dan kedua. Artinya, ada kemarahan yang sangat sehingga ia keluar dari kebiasannya, akan tetapi ia tidak seperti orang gila yang tidak menyadari kemana arah dan tujuan apa yang diucapkannya dan tidak mengetahuinya. Menurut mayoritas ulama talaknya seseorang yang mengalami kemarahan pada level ketiga ini jatuh” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 142 )

Hasil verifikasi atau tahqiq yang dilakukan para ulama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang mengakibatkan seseorang keluar dari karakter dan kebiasannya, dimana igauan mendominasi perkataan dan tindak lakunya adalah ini tidak jatuh, meskipun ia menyadari apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan.

Alasan yang dikemukakan mereka adalah, bahwa ia dalam keadaan mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang kehendaki atau dimaksudkan tidak didasarkan pada pemahaman yang sahih. Jadi, ia seperti orang gila.

وَالتَّحْقِيقُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ الْغَضْبَانَ الَّذِي يُخْرِجُهُ غَضَبُهُ عَنْ طَبِيعَتِهِ وَعَادَتِهِ بِحَيْثُ يَغْلُبُ الْهَذَيَانُ عَلَى أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ فَإِنَّ طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ لِأَنَّهُ يَكُونُ فِي حَالَةٍ يَتَغَيَّرُ فِيهَا إِدْرَاكُهُ فَلَا يَكُونُ قَصْدُهُ مَبْنِيًّا عَلَى إِدْرَاكٍ صَحِيحٍ فَيَكُونُ كَالْمَجْنُونِ

“Hasil verifikasi kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang menyebabkan seseorang keluar dari tabiat dan kebiasaannya, dimana igauan menguasai perkataan dan perbuatannya, maka talaknya tidak jatuh meskipun ia mengetahui apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Sebab, ia berada dalam kondisi mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang dikehendaki itu tidak didasarkan atas pemahaman yang sahih sehingga ia menjadi seperti orang gila” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 144 )

Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah bahwa talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah sehingga hilang kesadarannya adalah tidak jatuh atau tidak sah.

Begitu juga talak tidak sah ketika kemarahan itu sampai membuat seseorang keluar dari tabiat dan kebiasannya, meskipun ia menyadari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan. Dalam ini tentunya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama, yang menyatakan tetap jatuh atau sah talaknya.   

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dimengerti dengan baik. Bagi para suami agar selalu mengontrol kemarahannya, dan bagi para isteri agar tidak perlu memancing kemarahan suami. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb

Selasa, 02 Februari 2021

10 Orang Tdk Mencium Wangi Surga

Orang_orang tidak mencium Bau Surga

Orang-Orang Yang Tidak Bisa Mencium Bau Surga
Surga adalah tujuan terakhir yang dijanjikan Allah kepada orang Mukmin. Kenikmatannya yang luar biasa, baunya bisa tercium dari jarak 70 tahun perjalanan.
Namun, ada orang-orang yang tidak bisa mencium bau surga saja tidak bisa. Siapakah mereka?

1. Orang yang sombong
Orang yang sombong, ia tidak bisa masuk surga. Juga tidak bisa mencium bau surga.

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ»

“Tidak akan masuk ke dalam surga seseorang yang di dalam hatinya ada setitik kesombongan.” HR. Muslim, no. 275

2. Orang yang mencari ilmu akhirat untuk tujuan duniawi

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا

“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk Allah, namun ia tidak menuntutnya kecuali untuk mencari dunia, maka pada hari kiamat ia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR. Ibnu Majah dishahihkan Al-Albany)

3. Menisbatkan nasab bukan kepada ayahnya
Islam melarang umatnya menisbatkan nama kepada nama orang tua angkat

مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ قَدْرِ سَبْعِينَ عَامًا أَوْ مَسِيرَةِ سَبْعِينَ عَامًا قَالَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa mengaku keturunan dari orang lain yang bukan ayahnya sendiri tidak akan mendapatkan bau surga. Padahal bau surga telah tercium pada jarak tujuh puluh tahun, atau tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. Ahmad dishahihkan Al-Albany di Sohihul Jami’5988)

4. Wanita yang berpakaian tapi telanjang
Kelompok wanita yang berpakaian tapi telanjang ini tidak pernah dijumpai beliau. Dan kini, sabda beliau terbukti. Banyak wanita yang model demikian di zaman sekarang.

Rasulullah bersabda: “Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.” (HR. Muslim, 2128)

Nabi bersabda: “Perempuan yang memakai baju tetapi telanjang, dan dia memandang lelaki lain, dan membuatkan lelaki-lelaki lain terpandang kepadanya, maka perempuan ini tidak akan cium bau surga. Sedangkan bau surga sudah pun boleh dibau dari jarak 500 tahun perjalanan.” (HR Bukhari dan Muslim)

5. Orang yang menyemir rambutnya, dengan warna hitam

يَكُونُ قَوْمٌ يَخْضِبُونَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ بِالسَّوَادِ كَحَوَاصِلِ الْحَمَامِ لَا يَرِيحُونَ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Pada akhir zaman nanti akan ada orang-orang yang mengecat rambutnya dengan warna hitam seperti warna mayoritas dada merpati, mereka tidak akan mendapat bau surga.” (HR. Abu Daud dishahihkan Al-Albany)

6. Wanita yang minta cerai dari suaminya tanpa alasan

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Siapa pun wanita yang meminta talak pada suaminya tanpa alasan maka bau surga haram baginya.” (Abu Daud dishahihkan Al-Albany, 1187)

7. Orang yang membunuh kafir mu’ahad, dan kafir dzimmy
Islam sangat menjunjung kesetiaan dan perdamaian. Islam melindungi hak-hak manusia sebagaimana diatur dalam syariat. Maka seorang muslim tidak boleh membunuh orang kafir yang terikat perjanjian dengan pemerintah Islam (kafir mu’ahad).
Jika seorang muslim membunuh kafir mu’ahad, ia terancam tidak bisa mencium bau surga.

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa membunuh orang kafir mu’ahad, maka dia tidak akan mencium bau wangi surga” (HR. Bukhari, 3166)

Sabda Rasulullah, “Barangsiapa membunuh kafir zimmi maka tidak akan mencium baunya surga. Sesungguhnya baunya surga itu bias dicium sejauh perjalanan 40 tahun” (Hadis Riwayat Imam Ahmad disohihkan Al-Albany di At-Tarhib, 2452)

8. Orang-orang yang mendurhakai kedua ibu bapanya, wanita yang berpenampilan menyerupai laki-laki dan dayyuts.
ثلاثةٌ لا ينظرُ اللهُ إليهمْ يومَ القيامةِ : العاقُّ لوالديهِ والمرأةُ المُتَرَجِّلَةُ المتشبهةُ بالرجالِ، و الديوثُ

Nabi bersabda: Tiga manusia tidak akan masuk syurga, yaitu orang yang mendurhakai kedua-dua ibu bapanya, perempuan yang menyerupai dan lelaki dan dayyuts (lelaki yang tidak menjaga maruah istrinya)” (HR As-Suyuthi disohihkan Al-Albany di Sohih Al-Jami’, 3542).

و ثلاثةٌ لا يدخلونَ الجنةَ : العاقُّ لوالديهِ، و المدمنُ الخمرَ، و المنانُ بما أعطَى

Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk syurga orang yang derhaka kepada kedua ibu bapanya, orang yang ketagihan minuman keras dan orang yang suka mengungkit-ungkit pemberiannya” (HR Al-Nasai’ disohihkan Al-Albany di Sohih Al-Jamai’, 3542)

9. Orang-orang yang memutuskan tali persaudaraan dan laki-laki yang memanjangkan pakaiannya melebihi mata kaki.
Dari Al-Zuhri, Rasulullah bersabda : “Tidak akan masuk syurga bagi yang memutuskan silaturahim”. (HR Muslim). Rasulullah bersabda:

فإنَّ ريحَ الجنَّةِ يُوجَدُ مِن مسيرةِ ألفِ عامٍ واللهِ لا يجِدُها عاقٌّ ولا قاطعُ رحِمٍ ولا شيخٌ زانٍ ولا جارٌّ إزارَه خُيَلاءَ رواه الطبراني : المعجم الأوسط تفرد به أحمد بن محمد بن طريف

Sabda Rasulullah, “Baunya surga dapat dicium sejauh perjalanan 1000 tahun. Demi Allah tidak akan menciumnya seseorang yang mendurhaka kepada ibu bapaknya dan orang yang memutuskan tali persaudaraan, orang tua yang berzina, dan orang yang memanjangkan pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong” (HR At-Tabrani 6/18, bersrendiri periwayatannya Ahmad bin Muhammad bin Thorif)

10. Pemimpin-pemimpin yang berkhianat kepada rakyat.

عن الحسن: أن عبيد الله بن زياد، عاد معقل بن يسار في مرضه الذي مات فيه، فقال له معقل: إني محدِّثك حديثاً سمعته من رسول الله صلى الله عليه وسلم:سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (ما من عبد يسترعيه الله رعية، فلم يحطها بنصحه، إلا لم يجد رائحة الجنة).اخرجه البخاري

Dari Hasan meriwayatkan bahwa Ubaidallah bin Ziad ketika tiba ajalnya berkata :“Aku ceritakan padamu sebuah hadis yang aku dengar dari Rasulullah .
Baginda bersabda: “Mana-mana pemimpin yang dipilih oleh Allah untuk menjaga rakyatnya, tetapi tidak memberi teladan yang baik kepada mereka melainkan tidak mencium bau syurga” (HR Bukhari,7150)

Walāhu a’lam, Wabillāhit taufiq