Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 19 Maret 2021

Hukum Menghibahkan Wakaf

“Menghibahkan tanah wakaf hukumnya haram”

Sebelum meninggal kakek saya memberikan wakaf tanah untuk perumahan ustadz dan meninggal dunia 25th yang lalu. Kami cucunya bermusawarah untuk di hibahkan kepada salah seorang cucunya,  apakah diperbolehkan ?
Wakaf secara bahasa artinya al habs atau menahan, sedangkan menurut istilah adalah menahan benda dan mensedekahkan manfaatnya (al Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 3/107). Pengertian secara istilah tersebut berasal dari hadis

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ

Dari Ibnu Umar Ra berkata Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar kemudian mendatangai Rasulullah Saw dan berkata “Aku menerima sebidang tanah, aku berniat untuk beramal baik dengannya, apa yang engkau perintahkan kepadaku dengan tanah tersebut ? Rasulullah Saw menjawab : Jika engkau berkendak (untuk wakaf) maka tahanlah (wakafkanlah) asalnya dan bersedekahlah dengan manfaatnya. Maka Umar mensedekahkannya, sesungguhnya tanah tersebut tidak boleh dijual asalnya, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan untuk orang-orang faqir, kerabat, hamba sahaya dan di jalan Allah (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari 4/12 No. 4311, Sahih Muslim 5/73)

Dari hadis diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, pertama wakaf itu menahan asal dan mensedekahkan manfaatnya. Kedua, syarat wakaf adalah pemilik harta. Ketiga, tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. Keempat, tujuan wakaf dapat secara umum (khairi) atau terbatas (Ahli). Kelima, nadzir wakaf boleh mendapat manfaat dari pemanfaatan harta wakaf.

Jika dipastikan kakek tersebut mewakafkan tanah disertai bukti dan saksi dengan tujuan terbatas yaitu komplek untuk para ustadz, maka tidak boleh dijual, dihibahkan maupun diwariskan. Semestinya keluarga wakif memelihara wakaf tersebut sehingga ganjarannya terus mengalir kepada orang yang mewakafkan, bukan sebaliknya, apalagi menggugat harta yang sudah dipastikan berstatus wakaf.

Dengan demikian, menghibahkan tanah wakaf hukumnya haram.

Rabu, 10 Maret 2021

Khilafah

KENAPA HARUS KHILAFAH?
(memperingati 100 tahun keruntuhan Khilafah)

1. Karena Khilafah itu ajaran Islam, bukan tradisi Arab atau ajaran dari luar Islam

فكان مما سألني عنه الخلافة هل لها أصل في الشرع ووردت بها الأحاديث أو هي أمر عرفي اصطلح عليه الناس؟ فقلت: سبحان الله ومثل هذا يجهل حتى يسئل عنه. الخلافة ركن عظيم من أركان الإسلام أكدها الشرع ووردت بها الأحاديث والأخبار.

"Dan di antara yang ditanyakan kepadaku adalah soal khilafah, apakah ia memiliki dasar di dalam syariat Islam dan dimuat di hadits-hadits Nabi, ataukah ia sekedar tradisi yang dibuat oleh orang-orang?
Maka aku jawab: Subhanallah, hal begini saja tidak tahu sampai ditanyakan!? Khilafah adalah sebuah ajaran pokok yang agung di antara ajaran-ajaran pokok di dalam Islam, yang telah ditegaskan oleh syara' dan dimuat oleh banyak hadits dan khabar."
As-Suyuthi Asy-Syafi'i, Al-Inâfah fî Ratbatil Khilâfah

2. Bahkan Ajaran Islam yang hukumnya wajib, bukan ajaran yang sunnah atau sekedar perkara mubah

{ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﻣﺎﻡ ﻳﻨﺼﺐ # وما على الإله شيء يجب }

"Mengangkat seorang Imam/Khalifah itu hukumnya wajib atas kaum muslim, dan Allah itu tidak dibebani suatu kewajiban apapun."
Ibn Raslan Asy-Syafi'i, Shafwah Az-Zubad

3. Bahkan wajibnya wajib syar'ie yang jika ditinggalkan akan berdampak dosa di akhirat, bukan sebatas wajib 'aqli yang hanya berdampak malu di dunia

ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﺼﺐ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﻭﺟﻮﺑﻪ ﺑﺎﻟﺸﺮﻉ ﻻ ﺑﺎﻟﻌﻘﻞ

"Mereka (umat Islam) juga telah ber-konsensus (ijmak) bahwa kaum muslim itu wajib mengangkat seorang khalifah, dan kewajiban tersebut berdasarkan syara' bukan berdasarkan akal."
An-Nawawi Asy-Syafi'i, Syarah Shahih Muslim

4. Bahkan wajib syar'ie nya yang bersifat kifa'ie (fardhu kifayah). Bila ditinggalkan dosanya ditanggung oleh seluruh umat Islam; tidak sebatas wajib 'ain yang bila ditinggalkan dosanya hanya ditanggung oleh yang meninggalkan saja

اﻹﻣﺎﻣﺔ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻔﺎﻳﺔ

"Imamah/khilafah itu hukumnya Fardhu Kifayah"
Asy-Syirazi Asy-Syafi'i, At-Tanbih fi al-Fiqh asy-Syafi'i

5. Bahkan kewajiban kifa'i yang disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq 'alayh), bukan kewajiban yang diperselisihkan (mukhtalaf fiyhi)

أجمعت الأمة قاطبة إلا من لا يعتد بخلافه على وجوب نصب الأمام على الإطلاق

Umat Islam seluruhnya telah bersepakat (ijma') -kecuali mereka yang tidak diperhitungkan pendapatnya- atas wajibnya mengangkat seorang imam/khalifah secara mutlak."
Al-Qal'i Asy-Syafi'i, Tahdzib Ar-Riyasah wa Tartib As-Siyasah

6. Bahkan kewajiban yang disepakati yang dalilnya qath'ie. Yaitu berupa ijma' sahabat yang sampai secara mutawatir. Bukan kewajiban yang dasarnya sebatas dalil zhanni.

ﻗﺎﻝ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ اﻟﺪﻟﻴﻞ الحق اﻟﻘﺎﻃﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻮﺏ ﻗﻴﺎﻡ اﻹﻣﺎﻡ واتباعه ﺷﺮﻋﺎ ﻣﺎ ﺛﺒﺖ ﺑﺎﻟﺘﻮاﺗﺮ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻓﻰ اﻟﺼﺪﺭ اﻷﻭﻝ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﻨﺎﻉ ﺧﻠﻮ اﻟﻮﻗﺖ ﻋﻦ ﺧﻠﻴﻔﺔ ﻭﺇﻣﺎﻡ

"Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jama'ah) berpendapat: dalil yang haq serta kebenarannya pasti (qath'i) tentang wajib syar'i nya mewujudkan serta menaati seorang imam/khalifah adalah riwayat mutawatir tentang terjadinya ijmak (konsensus) kaum muslim di periode awal pasca wafatnya Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- untuk tidak membiarkan terjadi masa kekosongan dari seorang imam/khalifah."
Al-Amidi Asy-Syafi'i, Ghayah Al-Maram fi 'Ilm Al-Kalam

7. Bahkan kewajiban yang mendesak dan prioritas, karena terkait banyak kewajiban dan besarnya madharat akibat ketiadaannya.

ﻓﻜﺎﻥ ﻭﺟﻮﺏ ﻧﺼﺐ اﻹﻣﺎﻡ ﻣﻦ ﺿﺮﻭﺭﻳﺎﺕ اﻟﺸﺮﻉ اﻟﺬﻱ ﻻ ﺳﺒﻴﻞ ﺇﻟﻰ ﺗﺮﻛﻪ

"...., maka kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah ini termasuk perkara syara' yang sangat penting (dharûriyât asy-syar') yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali."
Al-Ghazali Asy-Syafi'i, Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad

ﺣﺘﻰ ﺟﻌﻠﻮﻩ ﺃﻫﻢ اﻟﻮاﺟﺒﺎﺕ ﻭﻗﺪﻣﻮﻩ ﻋﻠﻰ ﺩﻓﻨﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ.  

Sampai-sampai mereka (para sahabat) menganggapnya sebagai kewajiban yang paling prioritas, dan mendahulukannya daripada memakamkan Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam."
Syamsuddin Ar-Ramli, Ghâyah Al-Bayân Syarh Zubad Ibn Raslân. Juga Abu Al-Fadhal As-Sinori, Ad-Durr Al-Farîd.

8. Bahkan kewajiban yang sedang tidak terlaksana, bukan kewajiban kifa'ie yang sudah sedang terlaksana

الواجب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه

Wajib adalah Perkara yang apabila dilakukan mendatangkan pahala, dan apabila ditinggalkan mengakibatkan siksa

9. Bahkan tidak terlaksana sejak lama (hingga 100 tahun lamanya), bukan hanya ditinggalkan sesaat dan segera bertaubat

قال يحيى بن معاذ: من أعظم الاغترار عندي -ذكر منها- التمادي في الذنوب على رجاء العفو من غير ندامة،

Yahya bin Mu'adz: "Tertipu yang paling besar menurutku adalah -diantaranya- ketika seseorang terus berlarut-larut dalam dosa dengan mengharap ampunan sedangkan dia tidak menyesal/bertaubat."
Al-Ghazali Asy-Syafi'i, Ihya' Ulum Ad-Din

والتمادي على الفسق فسق

Berlarut-larut dalam kefasikan itu merupakan kefasikan itu sendiri (menambah kefasikan akibat meninggalkan kewajiban yang besar).
Ibnu Hajar al Haitami, Az Zawajir 'an Iqtirafil Kaba`ir

10. Apalagi khilafah sudah dijanjikan kedatangannya. Artinya perjuangan menegakkannya memiliki masa depan yang pasti, karena Nabi adalah pribadi yang ash-shadiqul wa'dil amin, dan Allah itu laa yukhliful mi'ad

ثم تكون خلافة على منهاج النبوة

"Kemudian akan berlangsung kekhilafahan di atas metode kenabian".
HR. Ahmad - shahih

Jadi kenapa harus khilafah?

Yaitu karena Khilafah adalah ajaran Islam yang hukumnya wajib, yang wajibnya wajib syar'ie dan bersifat kifa'ie (fardhu kifayah), yang disepakati oleh seluruh umat Islam (muttafaq 'alayh) dan dalilnya qath'ie, yang bersifat mendesak (min dharuriyatisy syar'ie) dan prioritas (ahammul wâjibât), yang sudah dan sedang tidak terlaksana sejak lama (hingga 100 tahun lamanya)! Selain juga dijanjikan akan kemunculannya di akhir masa.

Semoga kita termasuk yang berusaha memperjuangkan dan mengalami keberlangsungannya.. aamiin.

Senin, 08 Maret 2021

Kisah Alqomah

Kisah Kematian ‘Alqamah yang Mementingkan Istri daripada Ibunya

‘Alqamah seorang sahabat yang sangat taat. Ia tak pernah lalaikan shalat. Fadhu ataupun sunnah. Amalan puasa dan sedekah tak pernah terlewat. Namun, di penghujung hayat ia susah mengucap syahadat.

Dikisahkan, saat ‘Alqamah sakit keras, istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tujuannya memberi kabar bahwa suaminya sakit kritis dan sepertinya sedang menghadapi sakaratul maut.

Begitu menerima kabar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung mengutus ‘Ammar, Bilal, dan Shuhaib untuk menjenguk ‘Alqamah dan mengajarinya mengucap kalimat tuhid, Lailahaillallah. Namun, lisannya kelu tak kuasa berucap.

Akhirnya, mereka kembali memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya, “Apakah di antara kedua orang tuanya masih ada yang hidup?” Disampaikan kepadanya, “Ada, wahai Rasul, ibunya. Ia sudah sangat sepuh.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta, “Temuilah ibunya. Sampaikan, ‘Jika engkau masih kuat, datanglah kepada Rasulullah. Jika tidak, diamlah di rumah. Dan Rasulullah yang akan menemuimu.’”

Singkat cerita, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bergegas menemuinya. Setiba di hadapan ibunda ‘Alqamah, sang utusan menyampaikan pesan tadi. “Biarlah aku sendiri yang menemui Nabi. Aku lebih berhak menemuinya,” jawab ibunda ‘Alqamah.

Dengan bantuan tongkatnya, ibunda ‘Alqamah pun berangkat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setibanya, ia mengucap salam dan dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, Baginda Nabi bertanya, “Wahai ibunda ‘Alqamah, jujurlah kepadaku. Jika berbohong, wahyu Allah akan turun kepadaku. Bagaimana keadaan anakmu?” Ia menjawab, “Wahai Rasul, ‘Anakku itu rajin shalat, rajin puasa, dan banyak sedekah.”

“Lantas bagaimana keadaanmu kepadanya?” desak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Aku tidak suka kepadanya. Karena ia lebih mementingkan istrinya, dan durhaka kepadaku.”

“Berarti, murka sang ibunda yang membuat ‘Alqamah terhalang mengucap syahadat,” ungkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, kumpulkanlah kayu bakar sebanyak-banyaknya.”

“Untuk apa, ya Rasul?” sela ibunda ‘Alqamah.
 
“Aku akan membakar ‘Alqamah.”

“Wahai Rasul, dia itu anakku. Hatiku tetap tak tega melihatmu membakar tubuhnya. Apalagi dilakukan di depan mataku sendiri,” rajuk ibunda ‘Alqamah.

“Wahai ibunda ‘Alqamah, azab Allah itu lebih berat dan lebih kekal. Jika kau ingin Allah mengampuninya, maka ridlai dia. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, shalat, puasa, dan sedekah ‘Alqamah tidak ada manfaatnya selama engkau masih murka kepadanya,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam panjang lebar.

“Wahai Rasulullah, di hadapan Allah, para malaikat-Nya, dan seluruh kaum Muslimin yang hadir, aku bersaksi bahwa aku meridlai anakku ‘Alqamah,” ikrar sang ibunda.

Kali ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali memerintah Bilal, “Hai Bilal, pergi dan lihatlah ‘Alqamah. Apakah dia sudah bisa mengucap Lailahaillallah atau belum? Siapa tahu ibunda Alqamah mengucap sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hatinya karena malu kepadaku.”

Tak berpikir panjang, Bilal pun menuju rumah ‘Alqamah. Dari luar rumah, dirinya mendengar ‘Alqamah mengucap Lailahaillallah. Setelah itu, Bilal masuk ke dalam rumah dan menyampaikan, “Wahai semua yang hadir, sesungguhnya murka sang ibunda-lah yang membuat lisan ‘Alqamah terhalang mengucap syahadat. Setelah ibunya rida, barulah lisan
Alqamah ringan mengucapnya.

Pada hari itu juga ‘Alqamah mengembuskan napas terakhir. Tersiar kabar kematiannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir berta‘ziyah. Beliau memerintah agar jenazahnya segera dimandikan dan dikafani. Usai dikafani, bersama para sahabat, beliau menshalati jenazahnya.

 

Pada saat pemakaman, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di pinggir lubang kubur dan berpidato, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, siapa saja yang mementingkan istrinya daripada ibunya, maka laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia adalah untuknya. Allah tidak akan menerima kebaikan dan keadilannya kecuali ia bertobat kepada Allah, memperbaiki sikapnya kepada ibu, dan berusaha mengejar ridlanya. Sesungguhnya ridla Allah berada pada ridla ibu. Murka Allah juga berada pada murka ibu.”

Dari petikan kisah di atas, dapat tarik beberapa pelajaran:

 

‘Alqamah ialah gambaran seorang yang mementingkan istri tapi lalai memenuhi hak orang tua.
‘Alqamah seorang yang taat beribadah. Shalat, puasa, dan sedekah, tak luput ditunaikannya. Namun, sikap buruknya pada sang ibunda membuatnya terhalang dan berat mengucap syahadat saat sakaratul maut.
Tidak ada manfaatnya amal shalat, puasa, sedekah dan amal baik seseorang jika ia durhaka dan suka melukai hati orang tua kecuali ia bertobat dan perbaiki sikap.
Kecintaan seseorang terhadap istri jangan sampai mengabaikan hak orang tua sendiri, terutama ibu.
Betapa besarnya kasih sayang seorang ibu. Walau hati sudah tergores luka, ia tetap terbuka memaafkan karena tidak tega melihat anaknya sengsara. Demikian yang tergambar dari sikap ibunda ‘Alqamah. Ia memilih maafkan ‘Alqamah daripada melihat tubuh anaknya hangus terbakar api.
Siksaan akhirat lebih berat dan lebih kekal dibanding siksaan dunia. Siksaan api dunia tak seberapa dibanding siksa api neraka di akhirat. Demikian tutur pesan Rasulullah.
 

Demikian kisah ‘Alqamah yang disarikan dari kitab al-Kabair karya Syamsuddin Abu ‘Abdillah Adz-Dzahabi (Beirut: Darun Nadwah, hal. 46). Semoga jadi pelajaran bagi kita semua, terutama bagi mereka yang masih memiliki kedua orang tua. Wallahu a’lam.

Penjelasan Roh

Pengenal Roh Lebih Jelas
   
Setiap ciptaan Tuhan yang hidup pastilah memiliki roh atau ruh atau juga di sebut nyawa. Roh atau jiwa atau nyawa ini adalah kosa kata yang berasal dari bahasa Arab “Ar-Ruh”.
Roh juga bisa disebut Al-Nafs atau artinya jiwa.
Sangat sedikit memang yang kita ketahui tentang roh ataupun jiwa karena sesungguhnya segala sesuatu tentang roh hanya diketahui oleh Tuhan YME.
Yang sudah pasti kita ketahui adalah jika manusia ataupun makhluk hidup yang masih bernafas, maka didalam dirinya masih terdapat roh atau nyawa.

Roh pun mungkin bisa disebut sebagai partikel yang memberikan kehidupan kepada suatu objek seperti contohnya manusia.
Oleh karena itu roh atau nyawa ini bisa diibaratkan sebagai listrik yang terdapat pada lampu atau alat elektronik.
Dimana jika tidak adanya listrik ini, secara otomatis lampu atau alat elektronik lainnya tidak akan bisa hidup atau mati.
Ataupun roh bisa diibaratkan oleh udara dalam balon, dimana udara terperangkap didalam balon yang diikat ujungnya sehingga membuat balon tersebut bisa terbang.
Begitulah roh, roh terperangkap dalam tubuh sehingga tubuh dapat bergerak bebas.

Dalam dunia kebathinan, roh terbagi menjadi 9 jenis yaitu Roh Idhofi, Roh Rohani, Roh Nurani, Roh Kudus, Roh Rabbani, Roh Hewani, Roh Nabati, Roh Jasmani, dan Roh Rohmani.

Roh Idhofi =roh ini merupakan roh utama yang memerintah kedelapan roh yang lain.
Roh ini disebut juga “Johar Awal Suci” karena roh ini yang menyebabkan kita bisa hidup. Bentuk dari wujud roh ini pun sama dengan  kita.
Jika roh ini keluar dari tubuh kita, maka semua roh akan ikut keluar yang menyebabkan kita telah meninggal.
Namun meskipun ke delapan roh yang lain keluar tetapi Roh Idhofi masih berada di tubuh kita, kita pun masih bisa hidup.

Roh Rohani = roh ini identik dengan perbuatan yang ingin kita lakukan, apakah baik atau buruk, suka atau tidak suka.

Selain itu juga roh ini identik dengan nafsu manusia, jika roh ini keluar dari tubuh, maka kita tidak akan memiliki nafsu sama sekali.

Roh Nurani = roh ini adalah roh yang menimbulkan sifat tenang dan terang didalam hati.
Jika roh ini meninggalkan kita, maka jiwa dan pikiran akan menjadi gelap dan tidak tenang.

Roh Kudus = roh ini merupakan roh yang senantiasa menyuruh hati dan pikiran kita untuk beribadah dan berbuat kebaikan pada sesama.

Roh Rabbani = roh ini merupakan roh yang diam tak bergerak dan terdapat dalam cahaya yang sangat terang.
Jika kita telah dekat dengan roh ini, maka tubuh kita akan merasakan kebal atau mati rasa terhadap apa pun.

Roh Hewani = roh inilah yang mengakibatkan kita bisa bermimpi.
Jika roh ini keluar dari kita, maka kita akan dapat tertidur dan bermimpi.

Roh Nabati = Roh ini adalah roh yang mengendalikan dan juga membuat kita dapat tumbuh besar dari kecil hingga sekarang.

Roh Jasmani = roh ini mirip dengan kita hanya saja berwarna merah.
Roh ini merupakan roh yang menguasai amarah dan juga nafsu.
Karena roh ini pula lah kita dapat merasakan sakit,lapar, dan haus.
Jika roh ini keluar dari tubuh kita, maka kita tidak akan merasakan sakit sedikitpun.

Roh Rohmani = roh ini merupakan roh yang dapat membuat kita menjadi pemurah dan tidak pelit.

Dalam Al-Quran dan juga kitab lainnya, dituliskan jika roh juga membutuhkan “makanan”. Seperti yang kita ketahui bahwa manusia terdiri dari jasad dan roh, namun manusia lebih memperhatikan kebutuhan jasadnya daripada rohnya. Seperti contoh jika kita terluka dikulit, maka kita akan cepat-cepat mencari obat luka dan juga mengobati luka itu. Jika seseorang tidak memperhatikan kebutuhan roh atau ruhiyah-nya maka ruhiyah atau ruhnya akan menjadi kotor.
Roh yang kotor inilah yang bisa membuat kita melakukan hal-hal yang buruk, dan juga merugikan orang lain dan diri kita.
Cara memberi “makan” roh kita adalah dengan rajin-rajin beribadah, rajin membaca kitab seperti Al-Quran atau injil, selalu melakukan yang diperintahkan Tuhan YME dan menjauhi larangan-Nya, dan juga selalu berbuat baik kepada orang lain. Demikianlah artikel ini saya buat, semoga bisa bermanfaat dan juga menanbah ilmu bagi para pembaca sekalian. Mohon maaf jika ada salah-salah kata atau salah penafsiran.
TERIMA KASIH

Selasa, 02 Maret 2021

Kunci Selamat Dunia


Dari sepenggal cerita tersebut, syaikh Zainuddin al-Malibari -kakek dari pengarang kitab Fathul Mu’in– mampu merangkumnya menjadi dua bait syair yang begitu indah:

لِسَلَامَةِ الدُّنْيَا خِصَالٌ أَرْبَعُ # غُفْرٌ لِجَهْلِ الْقَوْمِ مَنْعُكَ تَجَهُّلَا
“Agar selamat di dunia harus memiliki empat perkara # (satu) mengampuni ketidakpahaman suatu kaum, (dua) mencegah dirimu sendiri untuk berbuat bodoh”

وَتَكُوْنَ مِنْ سَيْبِ الْأُنَاسَيْ آيْسًا # وِلِسَيْبِ نَفْسِكَ لِلْأُنَاسِ بَاذِلَا
“(tiga) Dirimu tidak berharap pemberian dari manusia # (empat) engkau memberi kontribusi pada mereka”.

Mengapa harus empat hal tersebut?. Karena pada dasarnya, ketika seseorang bisa memaklumi ketidakpahaman suatu masyarakat, ia akan sabar menghadapi kehidupan di tengah-tengah mereka. Begitu juga ketika ia tidak berbuat bodoh dan semena-mena terhadap masyarakat, tidak mengharap imbalan akan tetapi justru memberikan kontribusi yang baik, niscaya ia akan dicintai oleh masyarakatnya.

Senin, 01 Maret 2021

MEMAKAI PENGERAS SUARA

SHALAT DAN DZIKIR DENGAN PENGERAS SUARA

Pertanyaan:
Bapak pengasuh, saya ingin bertanya tentang hukum melaksanakan shalat dan dzikir sesudahnya dengan pengeras suara. Karena di lingkungan tempat saya tinggal setiap shalat lima waktu terdengar membahana bukan hanya suara adzan,  tapi juga bacaan shalat imam dan wiridan selesai shalat. Ini berlangsung hampir 15 sampai 25 menit setiap waktu shalat. Padahal ada beberapa masjid dan mushalla yang letaknya agak berdekatan, sehingga suara bising saling bersahutan tidak terelakkan. Hal ini karena di masjid – masjid itu para imam shalatnya menggunakan pengeras suara eksternal sehingga suaranya terdengar jauh keluar lingkungan masjid. 

Bukankah hal yang demikian itu justru dilarang dalam Islam ? Karena di lingkungan kami ada juga non muslim, orang yang sedang sakit, beraktivitas dan kesibukan lainnya. Saya hanya menilai ini dari akal pikiran sebagai orang awam, mohon penjelasan dari bapak ustadz apakah kesimpulan saya ini benar. Karena saya sempat mengingatkan tentang perkara ini kepada salah satu imam dan takmir masjid, namun justru hal yang tidak diinginkan terjadi. Pihak yang saya tegur merasa bahwa amalan yang dia lakukan sudah benar, dan dia justru menuding saya anti dzikir, wahabi, dan membawa ajaran sesat, terjadilah keributan saat itu.
Semoga pertanyaan saya ini bisa dimuat, sehingga penjelasan dari bapak ustadz bukan hanya saya yang membaca tapi oleh para imam,  takmir dan jama’ah masjid pada umumnya.  Jazakumullah. 

Jawaban :

            Masjid adalah rumah Allah tempat dilaksanakannya shalat dan tata ibadah lainya. Namun sebenarnya, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ditunaikannya ibadah ritual, masjid memiliki banyak fungsi, seperti untuk pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan di zaman Nabi, masjid dijadikan sebagai tempat latihan militer dan pusat pemerintahan. Pengetahuan tentang fungsi masjid ini perlu perlu kami sampaikan, karena selain banyaknya dari umat islam yang belum mengetahui, juga akan terkait dengan masalah yang akan kita bahas.
Bacaan Alquran dan dzikir-dzikir lain pada umumnya yang dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang, bukan hanya mendatangkan pahala bagi yang melakukannya, tetapi juga bagi yang mendengarkannya, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an : “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS al-A`raf : 204).
Dan boleh jadi, karena adanya motivasi ayat inilah yang membuat sebagian umat Islam sengaja memperdengarkan bacaan shalatnya dan wiridan (membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan doa) melalui pengeras suara. Sehingga suara bacaan shalat dan wirid yang sebagian besarnya memang ayat al Qur’an, menggema bukan hanya dilingkungan masjid, tapi juga seluruh kampung jadi ikut dengar. Untuk berbagi rahmat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas, baik bagi orang lain di luar masjid, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Karena ada pula firman Allah ta’ala yang berbunyi , “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. “ (QS. At Taubah :6)
Selain itu, motivasi lainnya adalah keinginan untuk menghidupkan syiar agama, sesuai firman Allah :  

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj : 32).

Niat baik seseorang atau sekelompok orang untuk mendatangkan rahmat Allah ta’ala dan kesemangatan menghidupkan syiar agama seperti itu tentu patut dihargai dan diberikan apresiasi. Terlepas apakah caranya sudah benar apakah masih perlu dibenarkan. Karena perlu kita ingat wahai saudaraku, jumlah orang seperti ini tidaklah banyak. Tidak banyak orang yang mau memikirkan masjid dan syiarnya, tidak banyak pula orang yang mau dan bisa memimpin shalat berjama’ah. Lebih banyak diluar sana para pengiklan dunia bahkan penyebar kemaksiatan dan penyebar ajaran kemunkaran. Lebih banyak orang yang suka menjadi pejabat dan pegawai instansi daripada jadi takmir sebuah masjid. Dan kebanyakan orang lebih suka untuk menjadi pelopor jama’ah nonton bola, hura-hura dan pesta –pora.
Kembali kepokok persoalan, bila kita tinjau masalah yang ditanyakan, paling tidak ada dua hal yang terkait langsung permasalahan ini. Pertama hukum mengeraskan suara ketika shalat dan dzikir secara umum, dan hukum penggunaan mikrofon itu sendiri.

Perintah untuk tidak mengeraskan bacaan  
Memang ada beberapa ayat dan hadits Nabi yang dzahirnya melarang praktek mengeraskan suara dalam ibadah, baik itu shalat, wiridan ataupun  membaca al Qur’an. Keras disini dengan pengertian mengangkat suara melebihi keperluan orang yang ingin mendengarnya. Jika kasus di zaman sekarang, yaitu menggunakan pengeras suara eksternal, sehingga bukan hanya orang yang di dalam masjid yang mendengar, tapi sampai jauh diluar masjid. Berikut ini mari kita simak.
Friman Allah dalam surat al- Isra’ ayat 110:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
 “Katakanlah : Serulah Allah atau serulah  ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaul-Husna dan  janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas   bahwa azbabun nuzul ayat ini adalah ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sedang bersembunyi di Mekah, di mana apabila  shalat dengan para sahabatnya, ia mengeraskan suaranya. Ketika orang- orang musyrik mendengarnya, mereka mencela  al-Qur’an ; siapa yang telah menurunkannya; dan pada siapa diturunkan. Maka Allah berfirman pada Nabi-Nya: “Dan  janganlah kamu mengeraskan suara  dalam shalatmu”, artinya dalam bacaannmu hingga dapat mendengarlah orang- orang musyrik lalu mencela al-Qur’an. “Dan jangan pula merendahkannya” dari  para sahabatmu hingga mereka tidak mendengar. “Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (HR. Bukhari)
Ayat di atas menjadi pedoman bagi kita, agar ketika kita mengerjakan shalat dan juga  perkara selainnya, hendaknya dilakukan seimbang, tidak  berlebihan, juga tidak dalam posisi merendah-kekurangan. Sebagaimana sebuah hadits  juga mengisyaratkan hal ini :

خَيْرِ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا
 “Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya.” (HR. Baihaqi)
Bacaan Imam yang terlalu keras ataupun terlalu lirih, hemat kami juga akan  mengganggu kekhusyukan makmum. Jika terlalu keras, maka suara Imam menjadi tidak enak didengar karena memekakkan telinga.  Jika terlalu lirih, makmum tidak akan bisa mendengar perintah/bacaan imam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda,  “Janganlah kalian mengganggu yang lain, dan jangan meninggikan suara dalam membaca Al Qur`an, atau dalam shalat."
Ibnu Sirin juga meriwayatkan bahwa Abu Bakar biasa melunakkan suaranya dalam shalat sedangkan Umar mengeraskannya. Ketika mereka ditanya mengapa melakukan hal itu maka Abu Bakar menjawab bahwa beliau bermunajat kepada Tuhannya dan Dia maha mengetahui apa kebutuhannya. Sedangkan, Umar menjawab, “Aku ingin mengusir setan dan membangunkan orang yang tidur. Ketika ayat ini diturunkan maka dikatakan kepada Abu Bakar, “keraskan suaramu sedikit!” dan dikatakan kepada Umar, “Rendahkan suaramu sedikit!”
 Penggunaan pengeras suara untuk dzikir dan shalat
Pemakaian microphone (pengeras suara) untuk adzan, imam shalat, dan khatib Jum’at, hal itu merupakan efek dari perkembangan pengetahuan dan teknologi di zaman ini. Hingga hari ini tidak ada satupun ulama  yang melarang penggunaan pengeras suara untuk membantu pelaksanaan ibadah ritual. Sehingga bisa dikatakan adanya ijma’ ulama tentang kebolehannya.  Karena memang adanya unsur kemashlahatan, yaitu jangkauan suara yang lebih luas, di mana penduduk suatu wilayah  mampu mendengar suara adzan dengan lebih jelas.
Suatu masjid yang besar dengan ribuan jamaah, seperti masjidil haram di Makkah, tentu saja penggunaan pengeras suara pada imam shalat dan khatib ketika pelaksanaan ibadah Jum’at sangat  diperlukan, agar setiap jamaah yang memenuhi tiap sudut masjid dapat mendengar suara Imam shalat atau khatib. Yang tentu hajat kasusnya tidak bisa disamakan dengan sebuah masjid kecil yang hanya dihadiri segelintir jama’ah.
Jadi, walaupun di zaman Nabi microfon tidak digunakan dalam ritual ibdah saat itu, karena memang belum ada. Hukumnya boleh digunakan karena microfon hanyalah alat yang membantu untuk mengeraskan suara untuk kemaslahatan.
Namun, kebolehan disini tentu bukan tanpa batasan. Karena apapun yang berlebihan meskipun awalnya baik bisa berubah menjadi sesuatu yang buruk. Dalam kasus ini jangan sampai maslahat yang ingin dicapai justru menimbulkan kemudharatan.
Karena itulah penggunaan TOA atau pengeras suara di masjid harus benar-benar mempertimbangkan mashalat dan mudharatnya.  Penggunaan pengeras suara yang berlebihan di masjid-masjid bisa jatuh kepada kemudharatan bila tidak diatur sedemikian rupa.    Karena boleh jadi ada orang di lingkungan masjid yang sedang sakit atau membutuhkan kenyamanan beristirahat, dan lainnya. Padahal Nabi mengajarakan, tidak boleh ada yang mengganggu kenyamanan orang lain. Tetangga dalam Islam memiliki hak yang harus dihormati. Bila menurut dugaan kuat kegiatan tersebut mengganggu orang lain maka di sini berlaku kaidah, dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (menghilangkan mafsadat/ kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan).
            Menurut kami, untuk shalat dan khutbah rasanya ‘suara dalam’ sudahlah mencukupi. Dengan ini masyarakat sekitar masjid, di mana terdapat orang yang lemah dan sakit,  bayi, orang yang ingin beristirahat; mereka yang non Muslim, tidak merasa terganggu.
Pengeras suara eksternal mungkin tepatnya disaat adzan saja, atau hal-hal penting lainnya seperti untuk mengumumkan berita dan pengumuman lainnya yang telah disepakati penggunaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya pengurus masjid agar menyetel pengeras suara, volume suara perlu diatur agar pas, tidak terlalu melengking, tapi juga tidak terlalu rendah.

✅ Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah ketika menjelaskan perincian mengangkat/mengeraskan suara di masjid, beliau berkata:

أحدهما : أن يكون بذكر الله وقراءة القرآن والمواعظ وتعليم العلم وتعلمه ، فما كان من ذلك لحاجة عموم أهل المسجد إليه ، مثل الأذان والإقامة وقراءة الإمام في الصلوات التي يجهر فيها بالقراءة ، فهذا كله حسن مأمور به . وقد كان النبي ﷺ إذا خطب علا صوته واشتد غضبه كأنه منذر جيش ، يقول : (( صبحكم ومساكم )) ، وكان إذا قرأ في الصلاة بالناس تسمع قراءته خارج المسجد ، وكان بلال يؤذن بين يديه ويقيم في يوم الجمعة في المسجد .

………….

وما لا حاجة إلى الجهر فيه ، فإن كان فيه أذى لغيره ممن يشتغل بالطاعات كمن يصلي لنفسه ويجهر بقراءته ، حتى يغلط من يقرأ إلى جانبه أن يصلي ، فإنه منهي عنه .

وقد خرج النبي ﷺ ليلة على أصحابه وهم يصلون في المسجد ويجهرون بالقراءة ، فقال : (( كلكم يناجي ربه ، فلا يجهر بعضكم على بعض بالقرآن .

وفي رواية : (( فلا يؤذ بعضكم بعضا ، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة .

خرجه الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من حديث أبي سعيد .

وكذلك رفع الصوت بالعلم زائدا على الحاجة مكروه عند أكثر العلماء …….

➡ “Jenis Pertama, (mengeraskan suara) dengan dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, nasihat-nasihat, pengajaran ilmu, dan mempelajarinya. Maka mengeraskan suara dalam katagori ini untuk memenuhi kebutuhan umumnya ahli masjid seperti adzan, iqamat, dan qira’at imam dalam shalat-shalat jahr; semua ini bagus lagi diperintahkan. Dulu Nabi ﷺ apabila berkhuthbah, maka suara beliau meninggi dan kemarahan beliau memuncak seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memperingatkan pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.[1] Apabila beliau membaca qira’at dalam shalat mengimami manusia, maka qira’at-nya tersebut terdengar hingga di luar masjid. Dan Bilaal dulu mengumandangkan adzan dan iqamat di hadapan beliau ﷺ pada hari Jum’at di dalam masjid.

……..

Adapun sesuatu yang tidak ada kebutuhan untuk mengeraskan suara padanya : Apabila menyakiti/mengganggu orang lain yang sedang melakukan amalan ketaatan seperti misal orang yang shalat sendirian seraya mengeraskan qira’at-nya hingga orang yang membaca qira’ah di sampingnya keliru dalam shalatnya; maka ini terlarang.

Nabi ﷺ pernah keluar pada suatu malam menemui para shahabat yang sedang melaksanakan shalat di masjid seraya mengeraskan qira’at-nya. Maka beliau ﷺ bersabda : ‘Kalian semua sedang bermunajat kepada Rabbnya. Maka janganlah sebagian kalian mengeraskan qira’atnya kepada sebagian yang lain’.

Dalam sebagian riwayat : ‘Janganlah sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain, dan jangan sebagian kalian mengangkat suara qira’atnya kepada sebagian yang lain’.

Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy dari hadits Abu Sa’iid.

Begitu juga mengangkat suara dalam perkara ilmu lebih dari kebutuhan adalah makruh menurut jumhur ulama…. [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 3/397-399].

✅ Beliau rahimahullah melanjutkan :

الوجه الثاني : رفع الصوت بالاختصام ونحوه من أمور الدنيا ، فهذا هو الذي نهى عنه عمر وغيره من الصحابة .

ويشبه : إنشاد الضالة في المسجد ، وفي صحيح مسلم ، عن النبي ﷺ كراهته والزجر عنه ، من رواية أبي هريرة وبريدة .

وأشد منه كراهة : رفع الصوت بالخصام بالباطل في أمور الدين ؛ فإن الله ذم الجدال في الله بغير علم ، والجدال بالباطل ، فإذا وقع ذلك في المسجد ورفعت الأصوات به تضاعف قبحه وتحريمه .

وقد كره مالك رفع الصوت في المسجد بالعلم وغيره . ورخص أبو حنيفة ومحمد بن مسلمة من أصحاب مالك في رفع الصوت في المسجد بالعلم والخصومة وغير ذلك مما يحتاج إليه الناس ؛ لأنه مجمعهم ولا بد لهم منه .

➡ Jenis Kedua, mengangkat suara dengan perdebatan dan semisalnya dari perkara dunia. Maka hal ini adalah perkara yang dilarang ‘Umar[2] dan yang lainnya dari kalangan shahabat.

Dan yang serupa dengannya : mencari barang yang hilang di masjid. Dalam Shahiih Muslim, dari Nabi ﷺ  tentang penyebutan ketidaksukaan dan celaan beliau terhadap perbuatan tersebut, dari riwayat Abu Hurairah[3] dan Buraidah[4].

Dan kemakruhan yang paling keras : mengangkat suara dengan perdebatan kebathilan dalam perkara agama, karena Allah ﷻ mencela perdebatan tentang Allah tanpa ilmu dan perdebatan kebathilan. Apabila terjadi perdebatan di masjid dan terangkat (mengeras) suaranya, maka keburukan dan keharamannya menjadi berlipat ganda.

Maalik memakruhkan mengangkat suara dalam urusan ilmu dan yang lainnya. Abu Haniifah dan Muhammad bin Maslamah dari kalangan Maalikiyyah memberikan rukhshah mengangkat suara di masjid untuk urusan ilmu dan perdebatan dalam perkara yang dibutuhkan manusia, karena masjid adalah tempat berkumpul mereka dan hal tersebut tidak dapat dihindari” [idem, 3/399].

Oleh karena itu, bukan termasuk adab dalam membaca Al-Qur’an berlomba-lomba mengeraskan bacaannyanya.

Jika dulu suara qira’at para shahabat yang dilarang Rasulullah ﷺ adalah suara asli mereka yang hanya terdengar di dalam masjid atau sekitar masjid; lantas bagaimana keadaannya dengan zaman kita sekarang yang suara-suara itu sudah disambung dengan peralatan speaker lengkap dengan amplifier-nya hingga terdengar seantero kampung/desa/kompleks ?.

Banyak orang melakukannya karena niat baik dan semangat menyebarkan syiar-syiar Islam. ‘Tadarusan’, qashidahan, atau bahkan ada yang latihan menjadi penyiar radio dengan alasan membangunkan sahur. Mereka tidak sadar (atau : sadar ?) bahwa apa yang mereka lakukan justru menganggu kaum muslimin yang lain. Dapat Anda bayangkan, betapa meriahnya suara di dalam masjid, sementara mungkin saja ada orang yang sedang membaca dan menghapal Al-Qur’an atau shalat. Atau di luar masjid, banyak orang yang sedang membutuhkan ketenangan di rumahnya karena sedang sakit, belajar, atau aktivitas lainnya.

Ketika qira’at Al-Qur’an diperdengarkan melalui speaker/toa masjid, itu artinya kaum muslimin yang berada di sekitar kompleks masjid tersebut ‘diharuskan’ mendengarkannya karena Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat” [QS Al-A’raaf : 204].

Lanjut ke halaman 2

✅ Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan:

هذا الأمر عام في كل من سمع كتاب الله يتلى، فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه.

وأما الاستماع له، فهو أن يلقي سمعه، ويحضر قلبه ويتدبر ما يستمع، فإن من لازم على هذين الأمرين حين يتلى كتاب الله، فإنه ينال خيرا كثيرا وعلما غزيرا، وإيمانا مستمرا متجددا، وهدى متزايدا، وبصيرة في دينه، ولهذا رتب الله حصول الرحمة عليهما، فدل ذلك على أن من تُلِيَ عليه الكتاب، فلم يستمع له وينصت، أنه محروم الحظ من الرحمة، قد فاته خير كثير.

“Perintah ini umum terhadap semua orang yang mendengar Kitabullah dibacakan. Maka, ia diperintahkan untuk istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) dan inshaat (diam). Perbedaan antara istimaa’ dengan inshaat adalah : inshaat (diam) secara dhaahir dilakukan dengan meninggalkan pembicaraan dan kesibukan yang dapat menganggu aktivitasnya dalam mendengarkan/memperhatikan (Al-Qur’an). Adapun istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) Al-Qur’an adalah memasang telinganya, menghadirkan hatinya, dan mentadaburi apa yang didengarkannya. Karena termasuk kelaziman dua perkara ini, ketika Al-Qur’an dibacakan, maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, ilmu yang berlimpah, keimanan yang senantiasa diperbaharui, petunjuk yang terus bertambah, dan bashiirah dalam agamanya. Oleh karena itu, Allah ﷻ menetapkan diperolehnya rahmat pada keduanya (istimaa’ dan inshaat). Hal itu juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang dibacakan kepadanya Al-Qur’an namun ia tidak mendengarkan/memperhatikannya dan diam, maka dirinya tidak mendapatkan kebaikan sehingga luput baginya kebaikan yang banyak” [Tafsiir As-Sa’diy, 1/314 – via Syaamilah].

Ketika suara tadarusan menggema via speaker/toa masjid, kaum muslimin yang ada di rumah-rumah mereka sedang melakukan aktivitas atau hajatnya yang tidak mungkin dirinya multitasking sambil mendengarkan dan diam terhadap qira’at yang terdengar di speaker/toa masjid.

Tadarusan yang banyak dilakukan kaum muslimin di masjid-masjid pada bulan Ramadlan adalah perbuatan yang baik. Baik pembaca atau yang menyimaknya akan mendapatkan limpahan pahala yang banyak.

Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitabullah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Faathir : 29-30].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ، لَهُ أَجْرَانِ

Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Orang yang pandai membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi patuh; sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan mendapatkan kesulitan padanya, baginya dua pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 798].

Allah ta’ala berfirman:

فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)

“Maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Ayat ini menjelaskan bahwa mendengarkan kalaamullah menjadi sebab diberikannya petunjuk.

Oleh karena itu, aktivitas tadarusan hendaknya cukup didengarkan di kalangan mereka (pembaca) saja tanpa perlu dikeraskan suaranya dengan speaker/toa hingga keluar masjid. Jika tujuannya adalah untuk memperbaiki bacaan, maka cukup terdengar dalam halaqah tersebut. Atau jika tujuannya hanya sekedar target mengkhatamkannya saja, maka cukup di dengar oleh Pembacanya saja atau orang di dekatnya yang ingin mendengarkan bacannya.

Bagusnya bacaan Al-Qur’an seseorang, bukan berarti semua orang harus diperdengarkan suaranya. Ada adab di sana yang telah diajarkan Nabi kita. Insyaallah, itu lebih baik dan lebih sempurna.

Apalagi jika sampai dendang qashidahan dan latihan menjadi penyiar, ini malah lebih jelas kemunkaran dab keharamannya.

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

[abul-jauzaa’ – rnn – 15 Ramadlaan 1439].

[1]    Hadits dimaksud adalah:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: ” صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ “، وَيَقُولُ: ” بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى “، وَيَقُولُ: ” أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “، ثُمَّ يَقُولُ: ” أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ

 Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah ﷺ apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak hingga seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memberikan peringatan kepada pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.’ Beliau ﷺ bersabda :’Aku diutus sedangkan (jarak) antara aku dengan hari kiamat (adalah) seperti dua hal ini’. Beliau ﷺ menunjukkan dua jarinya : jari telunjuk dan jari tengah. Beliau ﷺ melanjutkan : ‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang di ada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Kemudian beliau bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk keluarganya. Dan barangsiapa yang mati dsalam keadaan meningalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka itu adalah tanggungjawabku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].

[2]    Yaitu riwayat:

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: ” لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ”

Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : Ketika aku berdiri di dalam masjid, tiba-tiba ada seseorang yang melemparku dengan kerikil, yang ternyata orang itu adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Umar) berkata : “Pergilah dan bawalah dua orang ini kepadaku”. Maka aku pun datang dengan membawa dua orang tersebut. ‘Umar berkata : “Siapakah kalian berdua?” – atau ‘Umar berkata : “Dari mana kalian berdua berasal?”. Keduanya menjawab : “Kami berasal dari penduduk Thaaif”. ‘Umar berkata : “Sekiranya kalian dari penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya aku akan menghukum kalian berdua, karena kalian berdua telah meninggikan suara di masjid Rasulullah ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 470].

[3]    Riwayatnya adalah:

عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيَقُلْ: لا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Barangsiapa yang mendengar seseorang mencari-cari barang hilang di masjid, maka katakanlah : ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu kepadamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 568].

[4]    Riwayatnya adalah:

عَنْ بُرَيْدَةَ ، أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى الْجَمَلِ الأَحْمَرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: ” لَا وَجَدْتَ، إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ ”

Dari Buraidah : Bahwasannya ada seseorang yang mencari-cari (barang hilang) di masjid. Ia berkata : “Siapa yang dapat mendapati onta merah (yang hilang) ?. Maka Nabi ﷺ bersabda : “Semoga engkau tidak mendapatkannya, karena masjid-masjid dibangun hanyalah tujuan khusus dibangunnya masjid (yaitu berdzikir kepada Allah, shalat, ilmu, mudzakarah, dan yang lainnya – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 569].

•••••••••••••••••••••

_*Ya Allah, saksikanlah bahwa kami telah menjelaskan dalil kepada umat manusia, mengharapkan manusia mendapatkan hidayah,melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah Ta’ala, menyampaikan dan menunaikan kewajiban kami. Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa agar menampakkan kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk mengikutinya*_

_*Itu saja yang dapat Ana sampaikan. Jika benar itu datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kalau ada yang salah itu dari Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari kesalahan itu.*_

_*Sebarkan,Sampaikan,Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat kepada orang-orang terdekat Anda/Grup Sosmed,dll, Semoga Menjadi Pemberat Timbangan Amal Kebaikan Di Akhirat Kelak.*_

_*“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orangyang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.”*
(HR Muslim no. 2674).

  Wallahua'lam bish shawab.