SHALAT DAN DZIKIR DENGAN PENGERAS SUARA
Pertanyaan:
Bapak pengasuh, saya ingin bertanya tentang hukum melaksanakan shalat dan dzikir sesudahnya dengan pengeras suara. Karena di lingkungan tempat saya tinggal setiap shalat lima waktu terdengar membahana bukan hanya suara adzan, tapi juga bacaan shalat imam dan wiridan selesai shalat. Ini berlangsung hampir 15 sampai 25 menit setiap waktu shalat. Padahal ada beberapa masjid dan mushalla yang letaknya agak berdekatan, sehingga suara bising saling bersahutan tidak terelakkan. Hal ini karena di masjid – masjid itu para imam shalatnya menggunakan pengeras suara eksternal sehingga suaranya terdengar jauh keluar lingkungan masjid.
Bukankah hal yang demikian itu justru dilarang dalam Islam ? Karena di lingkungan kami ada juga non muslim, orang yang sedang sakit, beraktivitas dan kesibukan lainnya. Saya hanya menilai ini dari akal pikiran sebagai orang awam, mohon penjelasan dari bapak ustadz apakah kesimpulan saya ini benar. Karena saya sempat mengingatkan tentang perkara ini kepada salah satu imam dan takmir masjid, namun justru hal yang tidak diinginkan terjadi. Pihak yang saya tegur merasa bahwa amalan yang dia lakukan sudah benar, dan dia justru menuding saya anti dzikir, wahabi, dan membawa ajaran sesat, terjadilah keributan saat itu.
Semoga pertanyaan saya ini bisa dimuat, sehingga penjelasan dari bapak ustadz bukan hanya saya yang membaca tapi oleh para imam, takmir dan jama’ah masjid pada umumnya. Jazakumullah.
Jawaban :
Masjid adalah rumah Allah tempat dilaksanakannya shalat dan tata ibadah lainya. Namun sebenarnya, masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat ditunaikannya ibadah ritual, masjid memiliki banyak fungsi, seperti untuk pendidikan, sosial, ekonomi, bahkan di zaman Nabi, masjid dijadikan sebagai tempat latihan militer dan pusat pemerintahan. Pengetahuan tentang fungsi masjid ini perlu perlu kami sampaikan, karena selain banyaknya dari umat islam yang belum mengetahui, juga akan terkait dengan masalah yang akan kita bahas.
Bacaan Alquran dan dzikir-dzikir lain pada umumnya yang dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang, bukan hanya mendatangkan pahala bagi yang melakukannya, tetapi juga bagi yang mendengarkannya, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an : “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS al-A`raf : 204).
Dan boleh jadi, karena adanya motivasi ayat inilah yang membuat sebagian umat Islam sengaja memperdengarkan bacaan shalatnya dan wiridan (membaca tasbih, tahmid, takbir, tahlil, dan doa) melalui pengeras suara. Sehingga suara bacaan shalat dan wirid yang sebagian besarnya memang ayat al Qur’an, menggema bukan hanya dilingkungan masjid, tapi juga seluruh kampung jadi ikut dengar. Untuk berbagi rahmat sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas, baik bagi orang lain di luar masjid, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Karena ada pula firman Allah ta’ala yang berbunyi , “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. “ (QS. At Taubah :6)
Selain itu, motivasi lainnya adalah keinginan untuk menghidupkan syiar agama, sesuai firman Allah :
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi´ar-syi´ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS al-Hajj : 32).
Niat baik seseorang atau sekelompok orang untuk mendatangkan rahmat Allah ta’ala dan kesemangatan menghidupkan syiar agama seperti itu tentu patut dihargai dan diberikan apresiasi. Terlepas apakah caranya sudah benar apakah masih perlu dibenarkan. Karena perlu kita ingat wahai saudaraku, jumlah orang seperti ini tidaklah banyak. Tidak banyak orang yang mau memikirkan masjid dan syiarnya, tidak banyak pula orang yang mau dan bisa memimpin shalat berjama’ah. Lebih banyak diluar sana para pengiklan dunia bahkan penyebar kemaksiatan dan penyebar ajaran kemunkaran. Lebih banyak orang yang suka menjadi pejabat dan pegawai instansi daripada jadi takmir sebuah masjid. Dan kebanyakan orang lebih suka untuk menjadi pelopor jama’ah nonton bola, hura-hura dan pesta –pora.
Kembali kepokok persoalan, bila kita tinjau masalah yang ditanyakan, paling tidak ada dua hal yang terkait langsung permasalahan ini. Pertama hukum mengeraskan suara ketika shalat dan dzikir secara umum, dan hukum penggunaan mikrofon itu sendiri.
Perintah untuk tidak mengeraskan bacaan
Memang ada beberapa ayat dan hadits Nabi yang dzahirnya melarang praktek mengeraskan suara dalam ibadah, baik itu shalat, wiridan ataupun membaca al Qur’an. Keras disini dengan pengertian mengangkat suara melebihi keperluan orang yang ingin mendengarnya. Jika kasus di zaman sekarang, yaitu menggunakan pengeras suara eksternal, sehingga bukan hanya orang yang di dalam masjid yang mendengar, tapi sampai jauh diluar masjid. Berikut ini mari kita simak.
Friman Allah dalam surat al- Isra’ ayat 110:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaul-Husna dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa azbabun nuzul ayat ini adalah ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam sedang bersembunyi di Mekah, di mana apabila shalat dengan para sahabatnya, ia mengeraskan suaranya. Ketika orang- orang musyrik mendengarnya, mereka mencela al-Qur’an ; siapa yang telah menurunkannya; dan pada siapa diturunkan. Maka Allah berfirman pada Nabi-Nya: “Dan janganlah kamu mengeraskan suara dalam shalatmu”, artinya dalam bacaannmu hingga dapat mendengarlah orang- orang musyrik lalu mencela al-Qur’an. “Dan jangan pula merendahkannya” dari para sahabatmu hingga mereka tidak mendengar. “Dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (HR. Bukhari)
Ayat di atas menjadi pedoman bagi kita, agar ketika kita mengerjakan shalat dan juga perkara selainnya, hendaknya dilakukan seimbang, tidak berlebihan, juga tidak dalam posisi merendah-kekurangan. Sebagaimana sebuah hadits juga mengisyaratkan hal ini :
خَيْرِ اْلأُمُوْرِ أَوْسَطُهَا
“Sebaik-baik urusan adalah pertengahannya.” (HR. Baihaqi)
Bacaan Imam yang terlalu keras ataupun terlalu lirih, hemat kami juga akan mengganggu kekhusyukan makmum. Jika terlalu keras, maka suara Imam menjadi tidak enak didengar karena memekakkan telinga. Jika terlalu lirih, makmum tidak akan bisa mendengar perintah/bacaan imam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian mengganggu yang lain, dan jangan meninggikan suara dalam membaca Al Qur`an, atau dalam shalat."
Ibnu Sirin juga meriwayatkan bahwa Abu Bakar biasa melunakkan suaranya dalam shalat sedangkan Umar mengeraskannya. Ketika mereka ditanya mengapa melakukan hal itu maka Abu Bakar menjawab bahwa beliau bermunajat kepada Tuhannya dan Dia maha mengetahui apa kebutuhannya. Sedangkan, Umar menjawab, “Aku ingin mengusir setan dan membangunkan orang yang tidur. Ketika ayat ini diturunkan maka dikatakan kepada Abu Bakar, “keraskan suaramu sedikit!” dan dikatakan kepada Umar, “Rendahkan suaramu sedikit!”
Penggunaan pengeras suara untuk dzikir dan shalat
Pemakaian microphone (pengeras suara) untuk adzan, imam shalat, dan khatib Jum’at, hal itu merupakan efek dari perkembangan pengetahuan dan teknologi di zaman ini. Hingga hari ini tidak ada satupun ulama yang melarang penggunaan pengeras suara untuk membantu pelaksanaan ibadah ritual. Sehingga bisa dikatakan adanya ijma’ ulama tentang kebolehannya. Karena memang adanya unsur kemashlahatan, yaitu jangkauan suara yang lebih luas, di mana penduduk suatu wilayah mampu mendengar suara adzan dengan lebih jelas.
Suatu masjid yang besar dengan ribuan jamaah, seperti masjidil haram di Makkah, tentu saja penggunaan pengeras suara pada imam shalat dan khatib ketika pelaksanaan ibadah Jum’at sangat diperlukan, agar setiap jamaah yang memenuhi tiap sudut masjid dapat mendengar suara Imam shalat atau khatib. Yang tentu hajat kasusnya tidak bisa disamakan dengan sebuah masjid kecil yang hanya dihadiri segelintir jama’ah.
Jadi, walaupun di zaman Nabi microfon tidak digunakan dalam ritual ibdah saat itu, karena memang belum ada. Hukumnya boleh digunakan karena microfon hanyalah alat yang membantu untuk mengeraskan suara untuk kemaslahatan.
Namun, kebolehan disini tentu bukan tanpa batasan. Karena apapun yang berlebihan meskipun awalnya baik bisa berubah menjadi sesuatu yang buruk. Dalam kasus ini jangan sampai maslahat yang ingin dicapai justru menimbulkan kemudharatan.
Karena itulah penggunaan TOA atau pengeras suara di masjid harus benar-benar mempertimbangkan mashalat dan mudharatnya. Penggunaan pengeras suara yang berlebihan di masjid-masjid bisa jatuh kepada kemudharatan bila tidak diatur sedemikian rupa. Karena boleh jadi ada orang di lingkungan masjid yang sedang sakit atau membutuhkan kenyamanan beristirahat, dan lainnya. Padahal Nabi mengajarakan, tidak boleh ada yang mengganggu kenyamanan orang lain. Tetangga dalam Islam memiliki hak yang harus dihormati. Bila menurut dugaan kuat kegiatan tersebut mengganggu orang lain maka di sini berlaku kaidah, dar'ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih (menghilangkan mafsadat/ kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan).
Menurut kami, untuk shalat dan khutbah rasanya ‘suara dalam’ sudahlah mencukupi. Dengan ini masyarakat sekitar masjid, di mana terdapat orang yang lemah dan sakit, bayi, orang yang ingin beristirahat; mereka yang non Muslim, tidak merasa terganggu.
Pengeras suara eksternal mungkin tepatnya disaat adzan saja, atau hal-hal penting lainnya seperti untuk mengumumkan berita dan pengumuman lainnya yang telah disepakati penggunaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya pengurus masjid agar menyetel pengeras suara, volume suara perlu diatur agar pas, tidak terlalu melengking, tapi juga tidak terlalu rendah.
✅ Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah ketika menjelaskan perincian mengangkat/mengeraskan suara di masjid, beliau berkata:
أحدهما : أن يكون بذكر الله وقراءة القرآن والمواعظ وتعليم العلم وتعلمه ، فما كان من ذلك لحاجة عموم أهل المسجد إليه ، مثل الأذان والإقامة وقراءة الإمام في الصلوات التي يجهر فيها بالقراءة ، فهذا كله حسن مأمور به . وقد كان النبي ﷺ إذا خطب علا صوته واشتد غضبه كأنه منذر جيش ، يقول : (( صبحكم ومساكم )) ، وكان إذا قرأ في الصلاة بالناس تسمع قراءته خارج المسجد ، وكان بلال يؤذن بين يديه ويقيم في يوم الجمعة في المسجد .
………….
وما لا حاجة إلى الجهر فيه ، فإن كان فيه أذى لغيره ممن يشتغل بالطاعات كمن يصلي لنفسه ويجهر بقراءته ، حتى يغلط من يقرأ إلى جانبه أن يصلي ، فإنه منهي عنه .
وقد خرج النبي ﷺ ليلة على أصحابه وهم يصلون في المسجد ويجهرون بالقراءة ، فقال : (( كلكم يناجي ربه ، فلا يجهر بعضكم على بعض بالقرآن .
وفي رواية : (( فلا يؤذ بعضكم بعضا ، ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة .
خرجه الإمام أحمد وأبو داود والنسائي من حديث أبي سعيد .
وكذلك رفع الصوت بالعلم زائدا على الحاجة مكروه عند أكثر العلماء …….
➡ “Jenis Pertama, (mengeraskan suara) dengan dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, nasihat-nasihat, pengajaran ilmu, dan mempelajarinya. Maka mengeraskan suara dalam katagori ini untuk memenuhi kebutuhan umumnya ahli masjid seperti adzan, iqamat, dan qira’at imam dalam shalat-shalat jahr; semua ini bagus lagi diperintahkan. Dulu Nabi ﷺ apabila berkhuthbah, maka suara beliau meninggi dan kemarahan beliau memuncak seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memperingatkan pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.[1] Apabila beliau membaca qira’at dalam shalat mengimami manusia, maka qira’at-nya tersebut terdengar hingga di luar masjid. Dan Bilaal dulu mengumandangkan adzan dan iqamat di hadapan beliau ﷺ pada hari Jum’at di dalam masjid.
……..
Adapun sesuatu yang tidak ada kebutuhan untuk mengeraskan suara padanya : Apabila menyakiti/mengganggu orang lain yang sedang melakukan amalan ketaatan seperti misal orang yang shalat sendirian seraya mengeraskan qira’at-nya hingga orang yang membaca qira’ah di sampingnya keliru dalam shalatnya; maka ini terlarang.
Nabi ﷺ pernah keluar pada suatu malam menemui para shahabat yang sedang melaksanakan shalat di masjid seraya mengeraskan qira’at-nya. Maka beliau ﷺ bersabda : ‘Kalian semua sedang bermunajat kepada Rabbnya. Maka janganlah sebagian kalian mengeraskan qira’atnya kepada sebagian yang lain’.
Dalam sebagian riwayat : ‘Janganlah sebagian kalian menyakiti sebagian yang lain, dan jangan sebagian kalian mengangkat suara qira’atnya kepada sebagian yang lain’.
Diriwayatkan oleh Al-Imaam Ahmad, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy dari hadits Abu Sa’iid.
Begitu juga mengangkat suara dalam perkara ilmu lebih dari kebutuhan adalah makruh menurut jumhur ulama…. [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 3/397-399].
✅ Beliau rahimahullah melanjutkan :
الوجه الثاني : رفع الصوت بالاختصام ونحوه من أمور الدنيا ، فهذا هو الذي نهى عنه عمر وغيره من الصحابة .
ويشبه : إنشاد الضالة في المسجد ، وفي صحيح مسلم ، عن النبي ﷺ كراهته والزجر عنه ، من رواية أبي هريرة وبريدة .
وأشد منه كراهة : رفع الصوت بالخصام بالباطل في أمور الدين ؛ فإن الله ذم الجدال في الله بغير علم ، والجدال بالباطل ، فإذا وقع ذلك في المسجد ورفعت الأصوات به تضاعف قبحه وتحريمه .
وقد كره مالك رفع الصوت في المسجد بالعلم وغيره . ورخص أبو حنيفة ومحمد بن مسلمة من أصحاب مالك في رفع الصوت في المسجد بالعلم والخصومة وغير ذلك مما يحتاج إليه الناس ؛ لأنه مجمعهم ولا بد لهم منه .
➡ Jenis Kedua, mengangkat suara dengan perdebatan dan semisalnya dari perkara dunia. Maka hal ini adalah perkara yang dilarang ‘Umar[2] dan yang lainnya dari kalangan shahabat.
Dan yang serupa dengannya : mencari barang yang hilang di masjid. Dalam Shahiih Muslim, dari Nabi ﷺ tentang penyebutan ketidaksukaan dan celaan beliau terhadap perbuatan tersebut, dari riwayat Abu Hurairah[3] dan Buraidah[4].
Dan kemakruhan yang paling keras : mengangkat suara dengan perdebatan kebathilan dalam perkara agama, karena Allah ﷻ mencela perdebatan tentang Allah tanpa ilmu dan perdebatan kebathilan. Apabila terjadi perdebatan di masjid dan terangkat (mengeras) suaranya, maka keburukan dan keharamannya menjadi berlipat ganda.
Maalik memakruhkan mengangkat suara dalam urusan ilmu dan yang lainnya. Abu Haniifah dan Muhammad bin Maslamah dari kalangan Maalikiyyah memberikan rukhshah mengangkat suara di masjid untuk urusan ilmu dan perdebatan dalam perkara yang dibutuhkan manusia, karena masjid adalah tempat berkumpul mereka dan hal tersebut tidak dapat dihindari” [idem, 3/399].
Oleh karena itu, bukan termasuk adab dalam membaca Al-Qur’an berlomba-lomba mengeraskan bacaannyanya.
Jika dulu suara qira’at para shahabat yang dilarang Rasulullah ﷺ adalah suara asli mereka yang hanya terdengar di dalam masjid atau sekitar masjid; lantas bagaimana keadaannya dengan zaman kita sekarang yang suara-suara itu sudah disambung dengan peralatan speaker lengkap dengan amplifier-nya hingga terdengar seantero kampung/desa/kompleks ?.
Banyak orang melakukannya karena niat baik dan semangat menyebarkan syiar-syiar Islam. ‘Tadarusan’, qashidahan, atau bahkan ada yang latihan menjadi penyiar radio dengan alasan membangunkan sahur. Mereka tidak sadar (atau : sadar ?) bahwa apa yang mereka lakukan justru menganggu kaum muslimin yang lain. Dapat Anda bayangkan, betapa meriahnya suara di dalam masjid, sementara mungkin saja ada orang yang sedang membaca dan menghapal Al-Qur’an atau shalat. Atau di luar masjid, banyak orang yang sedang membutuhkan ketenangan di rumahnya karena sedang sakit, belajar, atau aktivitas lainnya.
Ketika qira’at Al-Qur’an diperdengarkan melalui speaker/toa masjid, itu artinya kaum muslimin yang berada di sekitar kompleks masjid tersebut ‘diharuskan’ mendengarkannya karena Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat” [QS Al-A’raaf : 204].
Lanjut ke halaman 2
✅ Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan:
هذا الأمر عام في كل من سمع كتاب الله يتلى، فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه.
وأما الاستماع له، فهو أن يلقي سمعه، ويحضر قلبه ويتدبر ما يستمع، فإن من لازم على هذين الأمرين حين يتلى كتاب الله، فإنه ينال خيرا كثيرا وعلما غزيرا، وإيمانا مستمرا متجددا، وهدى متزايدا، وبصيرة في دينه، ولهذا رتب الله حصول الرحمة عليهما، فدل ذلك على أن من تُلِيَ عليه الكتاب، فلم يستمع له وينصت، أنه محروم الحظ من الرحمة، قد فاته خير كثير.
“Perintah ini umum terhadap semua orang yang mendengar Kitabullah dibacakan. Maka, ia diperintahkan untuk istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) dan inshaat (diam). Perbedaan antara istimaa’ dengan inshaat adalah : inshaat (diam) secara dhaahir dilakukan dengan meninggalkan pembicaraan dan kesibukan yang dapat menganggu aktivitasnya dalam mendengarkan/memperhatikan (Al-Qur’an). Adapun istimaa’ (mendengarkan/memperhatikan) Al-Qur’an adalah memasang telinganya, menghadirkan hatinya, dan mentadaburi apa yang didengarkannya. Karena termasuk kelaziman dua perkara ini, ketika Al-Qur’an dibacakan, maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, ilmu yang berlimpah, keimanan yang senantiasa diperbaharui, petunjuk yang terus bertambah, dan bashiirah dalam agamanya. Oleh karena itu, Allah ﷻ menetapkan diperolehnya rahmat pada keduanya (istimaa’ dan inshaat). Hal itu juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang dibacakan kepadanya Al-Qur’an namun ia tidak mendengarkan/memperhatikannya dan diam, maka dirinya tidak mendapatkan kebaikan sehingga luput baginya kebaikan yang banyak” [Tafsiir As-Sa’diy, 1/314 – via Syaamilah].
Ketika suara tadarusan menggema via speaker/toa masjid, kaum muslimin yang ada di rumah-rumah mereka sedang melakukan aktivitas atau hajatnya yang tidak mungkin dirinya multitasking sambil mendengarkan dan diam terhadap qira’at yang terdengar di speaker/toa masjid.
Tadarusan yang banyak dilakukan kaum muslimin di masjid-masjid pada bulan Ramadlan adalah perbuatan yang baik. Baik pembaca atau yang menyimaknya akan mendapatkan limpahan pahala yang banyak.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ (29) لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (30)
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitabullah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri” [QS. Faathir : 29-30].
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ” الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ، لَهُ أَجْرَانِ
Dari ‘Aaisyah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Orang yang pandai membaca Al-Qur’an bersama para malaikat yang mulia lagi patuh; sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan mendapatkan kesulitan padanya, baginya dua pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 798].
Allah ta’ala berfirman:
فَبَشِّرْ عِبَادِ (17) الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ (18)
“Maka sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Ayat ini menjelaskan bahwa mendengarkan kalaamullah menjadi sebab diberikannya petunjuk.
Oleh karena itu, aktivitas tadarusan hendaknya cukup didengarkan di kalangan mereka (pembaca) saja tanpa perlu dikeraskan suaranya dengan speaker/toa hingga keluar masjid. Jika tujuannya adalah untuk memperbaiki bacaan, maka cukup terdengar dalam halaqah tersebut. Atau jika tujuannya hanya sekedar target mengkhatamkannya saja, maka cukup di dengar oleh Pembacanya saja atau orang di dekatnya yang ingin mendengarkan bacannya.
Bagusnya bacaan Al-Qur’an seseorang, bukan berarti semua orang harus diperdengarkan suaranya. Ada adab di sana yang telah diajarkan Nabi kita. Insyaallah, itu lebih baik dan lebih sempurna.
Apalagi jika sampai dendang qashidahan dan latihan menjadi penyiar, ini malah lebih jelas kemunkaran dab keharamannya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – rnn – 15 Ramadlaan 1439].
[1] Hadits dimaksud adalah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ، يَقُولُ: ” صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ “، وَيَقُولُ: ” بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ، وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى “، وَيَقُولُ: ” أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “، ثُمَّ يَقُولُ: ” أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ، مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَيَّ وَعَلَيَّ
Dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : “Rasulullah ﷺ apabila berkhuthbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak hingga seakan-akan keadaannya seperti panglima perang yang memberikan peringatan kepada pasukannya seraya berkata : ‘Awas kalian akan diserang pagi-pagi, awas kalian akan diserang petang hari.’ Beliau ﷺ bersabda :’Aku diutus sedangkan (jarak) antara aku dengan hari kiamat (adalah) seperti dua hal ini’. Beliau ﷺ menunjukkan dua jarinya : jari telunjuk dan jari tengah. Beliau ﷺ melanjutkan : ‘Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad ﷺ. Seburuk-buruk perkara adalah perkara baru yang di ada-adakan, dan setiap bid’ah adalah kesesatan’. Kemudian beliau bersabda : ‘Aku lebih berhak terhadap setiap mukmin daripada dirinya sendiri. Oleh karena itu, barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu adalah untuk keluarganya. Dan barangsiapa yang mati dsalam keadaan meningalkan hutang atau keluarga yang terlantar, maka itu adalah tanggungjawabku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 867].
[2] Yaitu riwayat:
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: ” لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ”
Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : Ketika aku berdiri di dalam masjid, tiba-tiba ada seseorang yang melemparku dengan kerikil, yang ternyata orang itu adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Umar) berkata : “Pergilah dan bawalah dua orang ini kepadaku”. Maka aku pun datang dengan membawa dua orang tersebut. ‘Umar berkata : “Siapakah kalian berdua?” – atau ‘Umar berkata : “Dari mana kalian berdua berasal?”. Keduanya menjawab : “Kami berasal dari penduduk Thaaif”. ‘Umar berkata : “Sekiranya kalian dari penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya aku akan menghukum kalian berdua, karena kalian berdua telah meninggikan suara di masjid Rasulullah ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 470].
[3] Riwayatnya adalah:
عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيَقُلْ: لا رَدَّهَا اللَّهُ عَلَيْكَ، فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Barangsiapa yang mendengar seseorang mencari-cari barang hilang di masjid, maka katakanlah : ‘Semoga Allah tidak mengembalikan barang itu kepadamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 568].
[4] Riwayatnya adalah:
عَنْ بُرَيْدَةَ ، أَنَّ رَجُلًا نَشَدَ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: مَنْ دَعَا إِلَى الْجَمَلِ الأَحْمَرِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: ” لَا وَجَدْتَ، إِنَّمَا بُنِيَتِ الْمَسَاجِدُ لِمَا بُنِيَتْ لَهُ ”
Dari Buraidah : Bahwasannya ada seseorang yang mencari-cari (barang hilang) di masjid. Ia berkata : “Siapa yang dapat mendapati onta merah (yang hilang) ?. Maka Nabi ﷺ bersabda : “Semoga engkau tidak mendapatkannya, karena masjid-masjid dibangun hanyalah tujuan khusus dibangunnya masjid (yaitu berdzikir kepada Allah, shalat, ilmu, mudzakarah, dan yang lainnya – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 569].
•••••••••••••••••••••
_*Ya Allah, saksikanlah bahwa kami telah menjelaskan dalil kepada umat manusia, mengharapkan manusia mendapatkan hidayah,melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah Ta’ala, menyampaikan dan menunaikan kewajiban kami. Selanjutnya, kepadaMu kami berdoa agar menampakkan kebenaran kepada kami dan memudahkan kami untuk mengikutinya*_
_*Itu saja yang dapat Ana sampaikan. Jika benar itu datang dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Kalau ada yang salah itu dari Ana pribadi, Allah dan RasulNya terbebaskan dari kesalahan itu.*_
_*Sebarkan,Sampaikan,Bagikan artikel ini jika dirasa bermanfaat kepada orang-orang terdekat Anda/Grup Sosmed,dll, Semoga Menjadi Pemberat Timbangan Amal Kebaikan Di Akhirat Kelak.*_
_*“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orangyang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.”*
(HR Muslim no. 2674).
Wallahua'lam bish shawab.