Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 20 November 2022

PERMASALAHAN AMMA BA'DU

ASAL KATA: “AMMA BA’DU” DAN “WA BA’DU”

“Amma Ba’du” atau “Wa Ba’du” kalimat ini sering diucapkan oleh para da’i atau sering kita temukan saat membaca muqaddimah (kata pengantar) kitab-kitab ulama yang dibuka dengan basmalah, hamdalah, shalawat dan salam, kemudian diakhiri dengan kalimat “Amma Ba’du” atau “Wa Ba’du” lalu berlanjut pada pembahasan berikutnya.

Dalam gramatika bahasa Arab (ilmu nahwu), kalimat أَمَّا بَعْدُ terdiri dari dua lafadz, yaitu أمّا dan بعد. Apabila kita urai satu persatu dari kalimat dasarnya maka kita akan menemukan bahwa lafadz أمَّا berasal dari kalimat:

مَهْمَا يَكُنْ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ.

Berikut penjelasan lengkap dari Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuriy asy-Syafi’i (w. 1277 H) baik dalam kitab Tuhfatu al-Murid Syarhu Jawahiru at-Tauhid atau dalam kitab Hasyiyah al-Bajuriy yang diberi nama Tahqiqu al-Maqam ala Kifayatu al-Awam fi Ilmi al-Kalam:

“Asalnya مهما adalah isim syarat yang menjadi mubtada’, يكن sebagai fi’il syarat, mudhari’ dari madhi كان dengan fa’il berupa dhamir mustatar dengan mengira-ngirakan adanya lafadz هو yang kembali pada مهما. Sedangkan من شيئ sebagai penjelas dari مهما meskipun sifatnya penjelas adalah takhsish (menentukan) namun juga terkadang mempunyai sifat sama yang menunjukkan kesempurnaan jenis tersebut”.

Lebih lanjut Syaikh Ibrahim al-Bajuriy menjelaskan: “Kemudian مهما، يكن، من شيئ dibuang, lalu ganti dengan أما untuk mempati posisi tersebut. Kemudian, sebagian ulama membaca “أما بعد” sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagian ulama lain ada yang membuang أمَّا seraya menggantinya dengan wawu, maka menjadi وبعد.
Wawu di sini berkedudukan menjadi penggantinya pengganti.

Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuriy Lafadz “وبعد” sama dengan “أما بعد” bisa dibaca Dhommah huruf akhirnya dengan membuang Mudhaf Ilaih dan diniati maknanya. Bila dijelaskan menjadi:

وبعد البسملة والحمدلة والصلاة والسلام على النبي صلى الله عليه وسلم وآله وصحبه وحزبه.

Artinya: Setelah basmalah, hamdalah, shalawat dan salam kepada Nabi, keluarga, sahabat dan pengikutnya.
” Lafadz “وبعد” juga bisa dibaca Nasab tanpa tanwin dengan membuang Mudhaf Ilaih dan dan diniati lafadznya tetapi yang masyhur di kalangan ulama Nahwu adalah pendapat yang pertama, yaitu dibaca Dhommah. Keduanya berfungsi memindah dari satu pembahasan pada pembahasan yang lain yaitu, memindah dari pembahasan basmalah, hamdalah dan setelahnya pada pembahasan tujuan dari berbicara atau mengarang sebuah kitab.

Lafadz “وبعد” kebanyakan menjadi Dharaf Zaman (waktu) meninjau apa yang diucapkan atau tulisan dan jarang menjadi Dharaf Makan (tempat) jika meninjau nomer halaman kitab yang dibaca atau ditulis.

Sementara dalam kitab al-Awail karya al-Hafidz Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad ath-Thabariy (w. 360 H) dan kitab Khizatu al-Adab wa Lubbu Lubabi Lisani al-Arab karya Syaikh Abdul Qadir bin Umar al-Baghdadiy (w. 1093 H) mengatakan: Ulama berbeda pendapat, ketika menjelaskan siapa orang pertama kali mengucapakan: “أما بعد”?

Asy-Sya’biy ra dalam Tafsir Ibnu Katsir, al-‘askariy dari riwayat Abu Musa ra dalam Tafsir al-Qurthubiy mengatakan:
Orang pertama kali mengucapakan “أما بعد” adalah Nabi Daud as yang diistilahkan dengan “فصل الخطاب” pemisah antar satu kalam dengan yang lainnya arti dari firman Allah ﷻ:

وَاٰتَيْنٰهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ

Artinya: “Dan Kami berikan hikmah kepadanya serta kebijaksanaan dalam memutuskan perkara.
” (QS. Shad: 20).
Pendapat ini juga disampaikan as-Suyuthiy dalam ar-Rasail fi Ma’rifati al-Awail.

Al-Qurtubiy mengatakan: Adapun orang yang pertama kali mengucapakan “أما بعد” adalah Rasulullah ﷺ dalam sebuah khatbahnya.

Sementa Zubair bin Bakar mengatakan:
Orang yang pertama kali mengucapakan
“أما بعد”
Adalah Ka’ab bin Lu’ay.
Pada saat itu Ka’ab bin Lu’ay mengumpulkan orang-orang di hari Jum’at dan berpidato. Di antara isi pidatonya:

أما بعد، فعظموا حرمكم وزينونه وكرموه، فإنه يخرج منه نبي كريم

“Amma ba’du, Maka agungkan tanah haram kalian,hiasi dan muliakan sesungguhnya akan lahir darinya Nabi yang mulia.”

Juga terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa orang yang pertama kali mengucapakan “أما بعد” di zaman Jahiliyah adalah Suhban bin Wail, ia adalah orang yang pertama kali beriman pada hari Ba’ts (pembangkitan dari kubur) dan orang yang pertama kali berjalan berpegangan pada tongkat.
Ia hidup dalam usia 180 tahun. Menurut pendapat ini, seandainya pendapat yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengucapakan “أما بعد” adalah Nabi Daud as itu benar, maka bisa dipastikan Nabi Daud as mengucapkan kala itu bukan dengan bahasa Arab tapi menggunakan bahasanya sendiri dan hanya Allah ﷻ yang tahu.

Dikatakan pula bahwa orang yang pertama kali mengucapakan dan menulis “أما بعد” adalah Qais bin Sa’adah al-Iyadi.
Pada saat ia mengumpulkan orang dan berkata:

أما بعد فإن المعى تكفيه البقلة، وترويه المذقة إلى آخر كلامه.

“Amma Ba’du, sesungguhnya kata-kata yang baik mengalahkan lezatnya sayuran dan merenungkannya terasa meminum wedang susu.”

Waallahu A’lamu

MENIKAH TANPA WALI

Seorang Perempuan Menikah Tanpa Ada Wali

Saya hidup di negara asing dan telah menikah dengan seorang gadis Nashrani yang juga bukan penduduk asli negara di mana saya tinggal.
Sama sekali tidak ada kerabat kami di sana.
Lalu saya meminang gadis tersebut dan dia menerima pinangan saya kemudian kami mengikrarkan lafaz ijab qabul, saya lupa berapa mahar yang ditetapkan saat itu kemudian saya membayar sejumlah uang kepadanya, dan dia tidak memiliki wali.
Dia seorang wanita yang baligh dan mandiri serta tidak ada saksi pada saat itu.
Apakah pernikahan saya ini sah dan benar? kami telah menikah dengan tanpa melihat kebiasaan masyarakat pada umumnya karena memang tujuan kami hanya Allah semata dan untuk meraih keridhaan-Nya.
Ada perasaan dihantui ketakutan jika memang pernikahan kami tidak sah maka akan terjadi perceraian diantara kami, apakah hal ini benar?...
Apakah wajib bagi saya untuk melangsungkan akad nikah yang baru lagi di hadapan wali si wanita dan dihadiri saksi-saksi?
Teks Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama :

Tidak halal bagi seorang lelaki menikahi seorang wanita tanpa mendapatkan izin dari walinya baik dia masih gadis atau sudah janda.
Yang demikian itu merupakan perkataan jumhur Ulama di antaranya adalah; As Syafi’i, Malik dan Ahmad mereka menggunakan dalil dengan dalil-dalil berikut,

Firman Allah Ta’ala :

فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواجهن (سورة البقرة: 232)

“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.." (QS. Al Baqarah : 232)

ولا تُنكحوا المشركين حتى يؤمنوا (سورة البقرة: 221)

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (QS. Al Baqarah : 221)

وأنكحوا الأيامى منكم (سورة النور: 32)

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, ... “ (QS. An Nuur: 32)

Intinya, ayat-ayat tersebut di atas sebagai dalil sangatlah jelas yaitu syarat keberadaan seorang wali dalam pernikahan.
Karena arah pembicaraan Allah Ta’ala adalah orang-orang yang di bawah perwaliannya. Kalau saja perintah tersebut bukan untuk mereka (para wali) pastilah tidak diperlukan mengarahkan hal tersebut kepada mereka.

Di antara fikih Imam Bukhari Rahimahullah bahwa beliau memberikan bab tersendiri untuk ayat-ayat tersebut dengan ungkapannya, “Bab bagi yang mengucapkan     لا نكاح إلا بولي tidak sah pernikahan melainkan dengan keberadaan seorang wali,

dan dari Abu Musa al Asy’ari dia berkata : Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “

لا نكاح إلا بولي (رواه الترمذي، رقم 1101 وأبو  داود،  2085  وابن ماجه، رقم 1881)

"Tidak sah pernikahan melainkan dengan keberadaan seorang wali." (HR.  Tirmizi, no. 1101,  Abu Daud, no. 2085, Ibnu Majah, no. 1881.
Dishahihkan oleh Syekh Al Albani Rahimahullah dalam Shahih At Tirmizi, 1/318 ).

Dari Aisyah Radliyallahu Anha dia berkata :
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : 

أيما امرأة أنكحت نفسها بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، باطل ، باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له  (رواه الترمذي، رقم 1102 وأبو داود، رقم  2083  وابن ماجه، رقم 1879 وقال أبو عيسى الترمذي : هذا حديث حسن)

"Siapa saja wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, batil, batil. Jika suaminya telah menggaulinya maka bagi wanita tersebut mahar dari kehormatan yang telah diberikannya dan dihalalkan baginya.
Jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada walinya.
" (HR. Tirmizi, no. 1120, Abu Daud, no. 2083, Ibnu Majah, no.  1879. Abu Isa At Tirmizi mengatakan, Hadits ini derajatnya Hasan.
Dishahihkan oleh Al Albani dalam Irwa Al Ghalil, no. 1840).

Kedua :

Dan jika walinya menolak menikahkan putrinya dengan lelaki yang dikehendaki tanpa alasan yang dibenarkan syari’at, maka hak perwaliannya berpindah kepada orang yang setelahnya misalnya hak perwalian berpindah dari seorang ayah kepada kakek.

Ketiga :

Namun jika semua wali menolak untuk menjadi wali tanpa uzur syar’i, maka hak perwalian beralih kepada penguasa atau wali hakim sebagaimana hadits terdahulu:

فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له

"Dan jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada walinya."

Keempat :

Jika tidak ada wali atau penguasa (wali Hakim) maka seorang yang memiliki kuasa di daerahnyalah yang berhak menikahkannya, seperti hakim lokal, kepala desa atau sesepuh desa dan yang semacamnya, dan jika mereka pun tidak ada maka diwakilkan kepada seorang Muslim yang dapat dipercaya yang berhak menikahkannya.

Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, "Dan apabila orang-orang yang memiliki hak sebagai wali nikah berhalangan maka hak perwalian beralih kepada seseorang yang baik yang memiliki semacam kekuasan yang tidak ada hubungannya dengan pernikahan seperti Kepala Desa, kepala kabilah dan yang semacamnya." (Al Ikhtiyaraat, hal.  350)

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, "Jika tidak ada bagi seorang wanita wali maupun penguasa yang menikahkannya, maka diriwayatkan dari Imam Ahmad yang mngisyaratkan bahwa yang menikahkannya adalah lelaki yang adil dengan seizinnya." (Al Mughni, 9/362).

Syekh Umar Al ‘Asyqar berkata : Apabila tidak ada penguasa kaum muslimin atau perempuan tersebut dalam kondisi dimana tidak ada bagi kaum muslimin penguasa dan juga wali secara umum sebagaimana kaum Muslimin yang berada di negara Amerika dan yang lainnya, maka jika di negara tersebut terdapat yayasan Islam yang bergerak dalam urusan Kaum Muslimin, maka yayasan tersebut memiliki kewenangan untuk menikahkannya. Demikian pula apabila terdapat kaum Muslimin pemimpin yang ditaati atau penanggung jawab yang mengatur urusan mereka, maka merekalah yang berhak untuk menjadi wali.
" (Dari kitab  Al Wadhih Fi Syarhi Qonuunil Ahwal As Syakhshiyyah Al Urduni, hal. 70)

Wajib pada saat akad nikah disaksikan oleh dua orang lelaki muslim yang baligh dan berakal sehat.
Dengan demikian maka pernikahan anda yang pertama adalah bathil dan wajib bagi anda mengulang akad nikah yang harus dihadiri oleh wali mempelai wanita sebagaimana telah diterangkan dan dua orang saksi.

Wallahu a’lam.

Kamis, 10 November 2022

Mengkodho sholat bagi yan wafat

Hukum Qadha Shalat untuk Orang Wafat

Qadha shalat diwajibkan bagi siapapun yang meninggalkan shalat, baik sengaja maupun tidak.
Untuk orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, diwajibkan mengqadha shalat secepat mungkin (faur).
Bahkan ia diharuskan mengerjakan shalat qadha terlebih dahulu, sebelum mengerjakan shalat wajib lainnya atau shalat sunah.

Misalnya, ketika ada yang secara sengaja meninggalkan shalat dzuhur dan waktunya sudah habis, ia diwajibkan untuk mengqadhanya sebelum menunaikan shalat ashar. Beda halnya dengan orang yang lupa atau ketiduran, mereka dianjurkan  untuk menyegerakan (wa yubadiru bihi nadban), dan tidak diwajibkan sebagaimana halnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja.

Kewajiban qadha ini mengukuhkan bahwa bagaimanapun dan dalam kondisi apapun shalat wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali bagi perempuan haidh.

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah meninggal? Apakah ahli  waris atau keluarganya dianjurkan untuk mengqadha shalat orang yang sudah wafat? Persoalan ini sudah dibahas dan diperdebatkan oleh para ulama sejak dulu. Dalam Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه، وفي قول: إنها تفعل عنه، أوصى بها أم لا، حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه

Artinya, “Orang yang sudah meninggal dan memiliki tanggungan shalat wajib tidak diwajibkan qadha dan tidak pula bayar fidyah.
Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha’, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini.
Bahkan, As-Subki melakukan (qadha shalat) untuk sebagian sanak-familinya.”

Memang tidak terdapat hadits yang secara tegas menunjukkan kebolehan qadha shalat.
Ulama yang membolehkan hal ini berdalil pada hadis kewajiban qadha puasa bagi ahli waris. ‘Aisyah pernah mendengar Rasulullah bahwa:

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

Artinya, “Siapa yang meninggal dan memiliki tanggungan puasa, wajib bagi keluarganya untuk mengqadhanya,” (HR Al-Bukhari).

Anjuran mengqadha puasa ini disematkan pada shalat, karena keduanya sama-sama ibadah badaniyah (ibadah fisik).
Dalam Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi juga menguraikan perdebatan ulama terkait hal ini. Persoalannya, apakah ibadah yang dilakukan orang yang masih hidup, pahalanya sampai kepada orang yang meninggal atau tidak? An-Nawawi menjelaskan:

ذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفي صحيح البخاري في باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلي عنها

Artinya, “Sekelompok ulama berpendapat bahwa pahala seluruh ibadah (yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal) sampai kepada mereka, baik ibadah shalat, puasa, dan membaca Al-Qur’an.
Dalam shahih al-Bukhari, bab orang yang meninggal dan masih memiliki kewajiban nadzar, Ibnu Umar memerintahkan kepada orang yang meninggal ibunya dan memiliki tanggungan shalat untuk mengerjakan shalat untuk ibunya.”

Demikianlah pendapat ulama terkait kebolehan mengqadha shalat untuk orang yang sudah wafat.
Selain pendapat, sebagian ulama besar seperti As-Subki juga melakukan untuk keluarganya yang telah wafat.
Bagi siapa yang tidak setuju dengan pendapat di atas, alangkah baiknya untuk tidak menyalahkan orang yang mengqadha’ shalat untuk keluarganya yang telah wafat. Sebab persoalan ini masih diperdebatkan dan diperselisihkan oleh para ulama (khilafiyah).
Wallahu a’lam."

Minggu, 28 Agustus 2022

NIKAH BEDA AGAMA

Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hukum Positif di Indonesia

PENDAHULUAN

Kembali jagad dunia maya digemparkan dengan pernikahan beda agama yang terjadi kota Semarang dua hari terakhir ini, Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat Indonesia.

Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara.
Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat. Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, di mana soal iman seringkali diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup.

Kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi, dampaknya yang kita rasakan saat ini adalah meningkatnya angka keretakan rumah tangga yang disebabkan oleh perilaku yang kalau kita mau akui lebih jujur, biang keladinya adalah lemahnya iman.

Ironisnya saat ini malah justru semakin banyak kasus perkawinan antar agama, yaitu perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita yang tunduk pada agama yang berbeda, demikian menurut Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul 'Perkawinan Antar Agama'.

Tuntutan agar perkawinan antar pasangan yang berbeda agama bisa disahkan di Indonesia agaknya semakin deras belakangan ini. Apalagi hal ini umumnya dilakukan oleh para selebritis yang notabene disaksikan publik karena pernikahan mereka biasanya di blow up oleh media.

Hal inilah yang kemudian dapat membentuk opini masyarakat bahwa pernikahan antar agama itu adalah hal biasa, karena secara sosiologis, sebuah kesalahan  sekalipun jika terlalu sering dibiasakan lama-kelamaan biasa dianggap baik.

Ketika muncul lagi kasus-kasus baru pernikahan beda agama ini, banyak orang atau sebagian orang masih memperdebatkan soal pernikahan beda agama. Lantas, bagaimana hukum menikah beda agama menurut Al-Qur’an dan aturan perundang-undangan tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia?

PEMBAHASAN

⦁ Landasan Berkeluarga dalam Islam
Dalam  pandangan umum keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang minimal terdiri dari suami dan istri. Pada ayat 221 al-Qur’an Surat al-Baqarah diatas, Allah SWT memberikan tuntunan bagaimana memilih pasangan, suami atau istri yang menjadi cikal bakal dari sebuah keluarga.

Pemilihan pasangan, suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam membentuk rumah tangga, karena kekuatan  bangunan  rumah tangga itu sangat tergantung pada suami dan istri sebagai pilar utamanya.

Pilar ini harus kuat agar bangunan rumah tangga tetap berdiri dengan kokoh dalam menghadapi persoalan kehidupan. Kekuatan itu, tidak terletak pada kecantikan dan ketampanan, karena keduanya akan pudar dimakan waktu dan juga bersifat relatif, bukan pula pada harta kekayaan, karena harta kekayaaan itu sangat mudah datang dan pergi, dan bukan pula karena kedudukan dan status sosial, karena ini juga akan berubah sejalan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Kekuatan pilar utama itu akan ditemukan pada kekuatan iman dan ketaatan dalam menjalankan tuntunan Allah. Oleh karena itu, tuntunan pertama dan utama yang  diberikan oleh Allah kepada manusia untuk mendirikan rumah tangga adalah keimanan.

Rasulullah SAW mengingatkan agar seorang Muslim dalam menentukan pilihan jodoh tidak tertipu oleh hal-hal yang bersifat duniawi saja, tetapi harus memperhatikan keimanannya.
Ibnu Majah meriwayatkan Hadits yang bersumber dari Abdullah bin ‘Amr, : “Dari Abdullah bin ‘Amr berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan mengundang malapetaka. Janganlah kalian menikahi wanita karena hartanya, bisa jadi harta bendanya akan membuatnya bertindak semena-mena. Nikahilah wanita karena agamanya. Sungguh budak hitam yang beragama itu lebih baik (Ibnu Katsīr, Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Azhīm,hlm. 560).

Di  Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi  juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka.

Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia  yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama.

Sebenarnya, Allah SWT dalam firman-firman-Nya yang tercantum di Al-Qur'an telah menjelaskan hukum pernikahan seorang muslim dengan non-muslim, atau singkatnya disebut sebagai pernikahan beda agama.

Semua Ulama mayoritas sepakat bahwa sesungguhnya pernikahan antar agama ini sampai kapanpun tidak dapat dibenarkan, mengapa? Setidaknya  karena ada tiga alasan:

1. Melanggar Hukum Agama
Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ - ٢٢١

Artinya: “Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak perempuan yang mu'min itu lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kalian menikahkan laki-laki musyrik (dengan Wanita Muslimah) sehingga mereka beriman. Sesungguhnya budak laki-laki yang beriman itu lebih baik dari pada orang musyrik sekalipun dia menarik hatimu. Mereka itu mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya, dan Allah menjelaskan ayat-ayatnya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran” (QS.Al-Baqarah:221).

Adapun  sebab  turun ayat 221 ini, menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim dan al-Wahidi yang bersumber dari al-Muqatil adalah berkenaan dengan Ibnu Abi Mirtsad al-Ghanawi yang meminta izin kepada Rasulullah saw untuk menikahi ‘Anāq, seorang  wanita Quraisy yang miskin tapi cantik, namun masih musyrik, sedangkan Ibnu Abi Mirtsad seorang Muslim. Lalu Allah  menurunkan ayat ini. (Ali Ibnu Ahmad al-Wāhidī al-Naysābūrī, Asbāb al-Nuzūl, (Kairo: Maktabah al-Manār, th.1388H/ 1968M), hlm. 39)

Kata al-musyrikāt (الْمُشْرِكَاتُ) yang berarti perempuan-perempuan musyrik dan kata al-musyrikīn (الْمُشْرِكِيْنَ) yang berarti laki-laki musyrik, merupakan bentuk jamak dari al-musyrik (الْمُشْرِكُ) yang berarti orang yang menyekutukan Allah SWT dengan selain-Nya atau orang yang melakukan suatu kegiatan dengan tujuan utama ganda, kepada Allah dan kepada selain-Nya, misalnya  Ahlul Kitab.

Dalam  Q.S. Al-Taubah (9): 29-30 dijelaskan bahwa di antara  kelompok  Ahlul Kitab adalah  penganut  Yahudi  dan Nasrani.

Orang-orang Yahudi  mempercayai bahwa Uzair adalah anak Allah, demikian juga orang-orang Nasrani yang mempercayai Isa al-Masih adalah anak Allah juga.

Inilah yang menjadi  dasar  bagi  segolongan ulama untuk mengatakan bahwa yang dimaksud dengan  الْمُشْرِكَاتُ dan الْمُشْرِكِيْنَ dalam  ayat  ini mencakup Ahlul Kitab.

Di  antara  alasan  para ulama yang mengelompokkan Yahudi dan Nasrani  sebagai  ahlul kitab yang melakukan perbuatan syirik adalah firman Allah dalam Q.S.al-Taubah (9):31, yang berbunyi سُبْحَانَهُ عَمَّا ُيُشْرِكُوْنَ yang berarti  “Maha  Suci  Dia  (Allah) dari apa yang mereka persekutukan” dan Q.S.al-Nisa’ (4):48,

yang berbunyi

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَآءُ

yang berarti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya, dan Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia  kehendaki”.

Menurut  pendapat ini, kalau mereka bukan termasuk  orang  musyrik  tentulah Allah akan mengampuni mereka. (Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Manār, (Beirut; Dār al-Ma’rifah, th 1414H/1993M) jilid II, hlm. 348-349).

Namun demikian, sebagian  besar mufassir  mempunyai  pandangan lain. Menurut  mereka yang dimaksud dengan musyrikat  dan musyrikin  adalah musyrikat Arab yang tidak mempunyai kitab, dan mereka adalah para penyembah berhala, karena inilah makna yang biasa dipakai oleh al-Qur’an untuk  pengertian musyrik.

Dengan demikian, orang Yahudi yang mengatakan Uzair anak  Allah atau orang Nasrani yang mengatakan Isa  al-Masih anak Allah dan mempercayai trinitas, yang oleh Islam dinilai telah  mempersekutukan Allah, namun al-Qur’an  tidak menyebut mereka sebagai orang musyrik, tetapi menyebut mereka sebagai ahlul kitab sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Q.S.al-Baqarah (2):105:

مَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلاَ الْمُشْرِكِيْنَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ

Artinya: ”Orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu kebaikan dari Tuhanmu”. dan firman Allah dalam Q.S. al-Bayyinah (98):1,

لَمْ يَكُنِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ مُنْفَكِّيْنَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ.

Artinya: ”Orang-orang kafir dari golongan ahlul kitab  dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”.

Dalam  kitab  Tafsīr  Ibnu Katsīr tercantum hadis yang menjelaskan sebab  turunnya ayat 221 tersebut  (Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm,(Kairo: Dār al-Hadīs, th.1426H/2005M), jilid I, hlm.560).

Ayat tersebut turun  berkenaan  dengan  Abdullah Bin Rawahah yang mempunyai seorang hamba  sahaya wanita yang hitam.

Pada suatu waktu Abdullah bin Rawahah marah  kepadanya, sampai  menamparnya.  Kemudian  ia  menyesali perbuatannya itu, lalu menghadap Rasulullah SAW untuk menceritakan hal itu.

Kemudian  terjadilah  dialog antara Rasulullah SAW dan Abdullah Bin Rawahah sebagai berikut:

قال النبي صلى الله عليه و سلم له : ما هي يا عبد الله قال : تصوم وتصلي وتحسن الوضوء وتشهد أن لا إله إلآ الله وأنك رسول الله فقال : يا عبد الله هذه مؤمنة فقال عبد الله : فوالذي بعثك بالحق لأعتقنها ولأتزوجنها ففعل فطعن عليه ناس من المسلمين

Artinya: “Rasulullah berkata kepada Abdullah,“Perempuan seperti apa dia?” Abdullah menjawab,“Ia berpuasa, shalat, wudhunya bagus, Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain  Allah  dan engkau utusan Allah.” Nabi bersabda,“Hai Abdullah, ini adalah perempuan mukmin.” Abdullah menjawab,“Demi Allah yang telah mengutus Engkau dengan benar, saya akan memerdekakannya dan akan mengawininya.” Kemudian  iapun  menikahinya.  Pada  waktu itu sebagian orang-orang  muslim mencela tindakannya itu.

Hadis di atas menegaskan bahwa mengawini wanita budak, yang status sosialnya  lebih  rendah  dan tidak cantik, tetapi beriman lebih baik dari mengawini wanita musyrik, walaupun cantik, dari keturunan terhormat dan menarik hati.

Di sini  ditegaskan  bahwa  dalam  menentukan  pilihan jodoh untuk dinikahi, pertimbangan utama bukan pada kecantikan, status sosial, harta kekayaan, dan seumpamanya, tetapi adalah iman. Karena dengan iman, seorang akan mencapai kesempurnaan agama dan dunia sekaligus, sedangkan dengan kecantikan, status sosial dan harta kekayaan, orang hanya akan memperoleh kesempurnaan dunia.

Kebahagiaan rumah tangga tidak bisa dicapai hanya dengan kesempurnaan dunia semata, karena itu, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh  al-Bukhari  dan  Muslim  dari Abu Hurairah Ra dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ : تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Dahulukanlah karena agamanya, anda akan bahagia”.

Selain QS.Al-Baqarah:221 di atas, salah satu ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hukum pernikahan beda agama adalah QS. Al-Maidah ayat 5:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖوَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَالْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْٓ اَخْدَانٍۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖوَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ࣖ - ٥

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al-Maidah: 5).

Ayat di atas menyiratkan bahwa Allah SWT menghalalkan atau mengizinkan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim yang termasuk dalam golongan Kitabiyyah (ahli kitab) asli. Perempuan Kitabiyyah ialah perempuan Yahudi dan Nasrani.

Terhadap ayat tersebut, al-Nawawy menjelaskan bahwa menurut Imam al-Syafi’I, kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah tersebut apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an, dan mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab.

Sementara menurut tiga madzhab lainnya, Hanafi, Maliki dan Hambali, berpendapat bahwa kebolehan laki-laki muslim mengawini wanita kitabiyah bersifat mutlak, meski agama ahli kitab tersebut telah dinasakh (al-Nawawi, tafsir Munir Juz I : 192).

Antara kata ahlul kitab dan al-musyrikin terdapat huruf athaf (menghubungkan)  yang menunjukkan bahwa keduanya berbeda, namun keduanya menunjukkan kelompok orang kafir  (Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, hlm. 349).

Pendapat  yang membedakan antara musyrik dan ahlul kitab ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):5, yang mengizinkan seorang muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab yang berbunyi:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَآ آتَيْتُمُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَافِحِيْنَ وَلاَ مُتَّخِذِيْ أَخْدَانٍ

Artinya: “(Dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga  kehormatan  di antara orang-orang yang diberi  al-Kitab  sebelum kamu, bila kamu  telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.

Dalam ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT juga menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim menikah dengan orang kafir. Hal ini dijelaskan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 10 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ - ١٠

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Kutipan ayat di atas berisi sebuah kisah yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW yaitu perempuan-perempuan kafir yang lari dari suaminya, kemudian memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kemudian perempuan-perempuan yang telah memeluk Islam tersebut menjadi haram untuk kembali ke suami-suaminya yang kafir.

Demikian pula suami-suaminya yang kafir tersebut menjadi haram bagi perempuan-perempuan muslim tersebut. Ayat di atas sering dijadikan landasan untuk menerangkan hukum Islam yang melarang seorang perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim.

Muhammadiyah telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslim atau ahlul kitab di atas dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur, dengan beberapa alasan sebagai berikut:

- Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW.
- Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
- Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
- Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.

Sementara itu MUI mengeluarkan fatwa hukumnya tentang larangan pernikahan beda agama ini nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang menetapkan:

- Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
- Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah.

2. Melanggar Undang-Undang  Perkawinan
Perkawinan antar pemeluk agama tidak diatur dalam Undang-Undang Pekawinan. Di dalam UU perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak dikenal istilah perkawinan antar agama sebagaimana dalam pasal 2 ayat 1, yaitu “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.
Undang-Undang Pekawinan hanya mengatur tentang perkawinan di luar Indonesia dan perkawinan campuran. Dalam hal ini, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan hasil Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991 yang ditandatangani Presiden pada tanggal 10 Juni 1991 dan tanggal 22 Juli 1991 diperkuat oleh KMA No.154 Tahun 199l tentang pelaksanan Inpres tersebut.

Bahkan KMA tersebut lebih tegas lagi dengan mengkategorikan perkawinan antar pemeluk agama ke dalam bab larangan perkawinan yang termaktub dalam Pasal 40 (c), Pasal 44, Bab X Pencegahan Perkawinan Pasal 61 KHI. Pasal 40 (c) berbunyi:

“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam keadaan tertentu: c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Sedangkan Pasal 44 KHI berbunyi:”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”, dan Pasal 61 KHI : " Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien".

Jadi kalau Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah merupakan hasil ijtihad atau inovasi hukum dalam menafsirkan ketentuan al-Qur’an yang bersifat kolektif, ia merupakan hukum yang harus dipedomani bagi umat Islam Indonesia.

Walhasil, Perkawinan antar pemeluk agama tidak diperbolehkan secara hukum, karena ia jelas-jelas suatu bentuk halangan perkawinan dan wajib dicegah pelaksanaannya.

Berdasarkan penjelasan diatas perkawinan yang dilakukan diwilayah hukum Indonesia harus dilakukan dengan satu jalur agama artinya perkawinan beda agama tidak di perbolehkan untuk dilaksanakan dan jika tetap dipaksakan untuk melangsungkan pernikahan beda agama berarti pernikahan itu tidak sah dan melanggar undang-undang.

Jadi, menurut hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga pernikahan beda agama belum bisa diresmikan di Indonesia.
Pernikahan pasangan beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan pernikahan pasangan beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Hal ini membuktikan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh seseorang yang berbeda agama dan keyakinan jelas melanggar hukum dan tidak bisa dilaksanakan di Negara Republik Indonesia dan seharusnya tidak ada toleransi atau pembelaan terhadap mereka yang melakukan itu baik oleh perseorangan maupun lembaga apapun.

Kantor Urusan Agama dan Catatan Sipil sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk melayani pencatatan pernikahan pun tidak akan melayani sebuah pernikahan selama pasangan calon suami istri masih berbeda agama.
Masyarakat juga diharapkan bisa mengikuti aturan ini dengan baik, artinya jangan kemudian disiasati dengan cara berpura-pura masuk ke agama yang dianut oleh pasangannya hanya karena ingin memenuhi persyaratan administratif, tapi setelah berumah tangga ia kembali ke agamanya semula.

Pernikahan antara dua mempelai yang berbeda bukanlah hal yang sederhana di Indonesia. Selain harus melewati gesekan sosial dan budaya, birokrasi yang harus dilewati pun berbelit. Tak heran jika banyak pasangan dengan perbedaan keyakinan akhirnya memilih menikah di luar negeri.

Pasangan yang memutuskan menikah di luar negeri nantinya akan mendapatkan akta perkawinan dari negara bersangkutan atau dari perwakilan Republik Indonesia setempat (KBRI).

Sepulangnya ke Indonesia, mereka dapat mencatatkan perkawinannya di kantor catatan sipil untuk mendapatkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
Meski begitu, bukan berarti pernikahan dengan perbedaan agama tak bisa diwujudkan di dalam negeri.

Sejatinya, berdasar putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 para pasangan beda keyakinan dapat meminta penetapan pengadilan. Yurisprudensi tersebut menyatakan bahwa kantor catatan sipil boleh melangsungkan perkawinan beda agama, sebab tugas kantor catatan sipil adalah mencatat, bukan mengesahkan.
Hanya saja, tidak semua kantor catatan sipil mau menerima pernikahan beda agama.

Kantor catatan sipil yang bersedia menerima pernikahan beda agama pun nantinya akan mencatat perkawinan tersebut sebagai perkawinan non-Islam. Pasangan tetap dapat memilih menikah dengan ketentuan agama masing-masing.

Caranya, mencari pemuka agama yang memiliki persepsi berbeda dan bersedia menikahkan pasangan sesuai ajaran agamanya, misalnya akad nikah ala Islam dan pemberkatan Kristen.

Namun, cara ini juga tak mudah karena jarang pemuka agama dan kantor catatan sipil yang mau menikahkan pasangan beda keyakinan.
Akhirnya, jalan terakhir yang sering dipakai pasangan beda agama di Indonesia untuk melegalkan pernikahannya adalah tunduk sementara pada salah satu hukum agama.
Biasanya, masalah yang muncul adalah gesekan antar-keluarga ihwal keyakinan siapa yang dipakai untuk pengesahan.

3. Tidak akan tercapai tujuan perkawinan
Setiap perkawinan pasti bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, keberkahan, mendapatkan ketenangan batin yang dalam Al-Qur'an disebut dengan istilah sakinah.
Menurut Prof. DR. Quraisy Shihab, larangan perkawinan antar agama yang berbeda itu dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.

Perkawinan baru akan langgeng dan tentram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, latar belakang sosial atau bahkan perbedaan tingkat pendidikanpun tidak jarang mengakibatkan kegagalan dalam perkawinan.

Para ulama pun sepakat bahwa prasyarat penting yang harus dipenuhi seseorang dalam mencapai sakinah dalam rumah tangganya adalah sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: Fazfar bidzatiddin.

Artinya, tolak ukur keberagamaan seseorang adalah yang paling utama Seperti yang tercermin dalam keluarga Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW dapat merasakan suasana surgawi (baiti jannati) dalam rumah tangganya, karena semua anggota keluarganya adalah orang-orang yang taat kepada Allah SWT.

Persoalannya kemudian adalah bagaimana mungkin perkawinan seseorang bisa mencapai suasana sakinah jika tidak dilandasi dengan keyakinan yang sama?.

Jawabanya adalah tidak mungkin, kalaupun mereka terlihat “bahagia” pasti kebahagiaan yang semu.
Sebab dalam pandangan Islam, hakekat kebahagiaan itu adalah ketenangan batin (ithmi'nanul qolb) dan hal itu hanya akan didapat ketika orang dekat dengan Tuhannya.

الابذكرالله تطمئن القلوب

Ketahuilah hanya dengan zikir (dekat) kepada Allah hati bisa tenang. (QS.Al Ra'ad : 28)

Pertanyaannya, “Apakah ada orang yang dapat mengekspresikan ketaatannya kepada Allah secara totalitas sementara di sisinya ada orang yang 'dicintainya' menyembah tuhan yang lain ???”.

Setiap anggota keluarganya akan sangat sulit mencapai ketaatan hakiki dalam agamanya masing-masing.
Karena setiap kali akan menjalankan ajaran agama, ia akan mempertimbangkan perasaan anggota keluarga yang lain.

Yang bergama Islam, misalnya akan sulit memelihara sholat 5 waktu, puasa, apalagi amalan-amalan sunah yang menunjukkan ketaatan secara totalitas, begitu juga yang bergama lain pasti akan punya perasaan yang sama.
Memang selama ini nampak juga sikap toleransi dari pasangan yang berbeda agama, tapi itu hanya pada tataran kulit, tegasnya hanya pada simbol-simbol agama – seperti pada perayaan natal atau lebaran saja- bukan pada substansi ajaran agama.

b. Akibat Pernikahan Beda Agama
Di  Indonesia, perkawinan beda agama tidak hanya merupakan larangan agama, tetapi  juga telah dilarang oleh undang-undang, namun demikian tidak sedikit umat Islam Indonesia dengan berbagai alasan telah melakukan perkawinan dengan orang yang tidak seagama dengan mereka.

Karena negara tidak memfasilitasi perkawinan yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang, maka ada di antara mereka yang pergi ke luar negeri untuk melakukan perkawinan atau memanfaatkan jasa lembaga tertentu di Indonesia  yang memang memfasilitasi perkawinan beda agama.

Di samping itu, ada  pula yang menyatakan diri memeluk agama Islam karena akan menikah.
Namun demikian, sekelompok orang yang  bergabung dalam Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI punya pendapat lain.

Mereka membolehkan perkawinan antara orang Islam dan orang non-Islam. Dalam pengantar buku Counter Legal Draft KHI tahun 2004, mereka menjelaskan bahwa perkawinan seperti itu dibolehkan dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip pluralisme, nasionalisme, HAM, demokrasi dan kemashlahatan (Lebih lanjut tentang prinsip-prinsip yang dikemukakan ini dapat dilihat pada:

Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Counter Legal Draft KHI, (Jakarta: t.p, 2004), hlm.25-29). Kalau diamati, pembolehan menikah antaragama ini didasari oleh pemikiran mereka bahwa pelarangannya hanya bersifat ijtihadi, tidak ditetapkan dengan nash yang qath’i, kecuali larangan perkawinan dengan  orang musyrik, yang mereka pahami sebagai musyrik Arab saja.

Menyangkut hal ini, Zainun Kamal, yang mempunyai pandangan yang sama dengan  Tim Pengarusutamaan Gender ini, menyatakan bahwa tidak terdapat teks ayat al-Qur’an yang secara tegas dan pasti yang mengharamkan perkawinan antara umat beragama, baik laki-laki ataupun perempuan, selain dengan kaum musyrik Arab (Zainun Kamal, Menafsir Kembali Perkawinan Antar Umat Beragama, dalam Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama: Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), hal. 164).

Sejalan  dengan itu, Siti Musdah Mulia, salah sorang penggagas Counter Legal Draft menjelaskan bahwa semua pendapat yang berkaitan dengan perkawinan lintas agama, hanya bersifat ijtihadi, tidak ditemukan teks al-Qur’an dan Hadis yang secara qath’i  melarang dan membolehkannya (Siti Musdah Mulia, Menafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, dalam ibid., hal. 129-130).

Apabila diperhatikan ayat yang sedang dibicarakan ini dan pendapat para ulama yang telah dipaparkan diatas, maka pendapat ini akan sulit diterima. Terlebih lagi, ketika mereka membolehkan perempuan muslimah menikah  dengan non muslim.

Selain tidak akan tercapainya kebahagiaan yang hakiki dalam rumah tangga, perkawinan beda agama akan menimbulkan berbagai ekses yang berkepanjangan di belakang hari,seperti:

1. Melahirkan keturunan yang tidak jelas Nasabnya
Karena pernikahan beda agama tidak sah menurut hukum Islam, maka keturunan yang terlahir dari pasangan tersebut disebut anak garis ibu, artinya dia terputus nasabnya dari bapaknya yang memproses secara biologis.

Jika kemudian terlahir anak perempuan dari pernikahan mereka, kemudian anak perempuan ini beragama islam sedangkan bapaknya beragama lain, maka dia tidak bisa diwalikan oleh bapak.

Apabila dipaksakan bapak biologisnya menjadi wali nikah, maka pernikahan anak tersebut tidak sah.
Dan pernikahan yang tidak hanya akan sah melahirkan hubungan suami istri yang tidak sah alias zina.

2. Terputusnya Hak Waris
Dalam agama Islam, salah satu penyebab seseorang tidak bisa mendapatkan harta waris (terputus hak warisnya) yaitu perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris.

Akhasil, ini bisa saja menimbulkan konflik (perebutan harta waris) yang berkepanjangan jika terdapat beberapa ahli waris yang berbeda agama dalam sebuah keluarga.

3. Membuat Ketidakpastian dalam memilih agama
Karena biasanya orangtua yang berbeda agama cenderung memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-anaknya. Kebebasan ini justru sebenarnya akan menjadi beban psikologis terhadap anak-anak mereka, sebab :

a. Seorang anak yang belum mencapai kematangan berfikir dan tidak memiliki wawasan keagamaan, sesungguhnya akan membuat mereka bingung dalam menentukan pilihan agamanya. Hal inilah yang kemudian membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan akan selalu diliputi keragu-raguan.

b. Beban psikologis besar juga akan dirasakan oleh anak dari pasangan berbeda agama ini ketika mereka mempertimbangkan perasaan salah satu dari orangtuanya, apakah akan ikut agama bapak atau ibu.
Hal ini tidak bisa dianggap remeh sekalipun orangtua memberi kebebasan, tetap anak akan merasakan kebimbangan dalam menentukan pilihannya.

c. Yang paling dihawatirkan adalah, karena selalu diliputi kebingungan dan ketidakpastian pada akhirnya anak-anak mereka masa bodo terhadap agama, mereka memilih hidup bebas seperti orang yang tidak beragama. Renungkanlah........!!!

PENUTUP

Menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat Indonesia.
Polemik ini tidak hanya menjadi bahasan dari sudut pandang agama saja, namun juga norma-norma atau aturan perundang-undangan negara.
Seiring dengan kemajuan zaman, penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat.

Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan.
Hal ini setidaknya merupakan akibat dari dua hal: pertama, lemahnya pemahaman agama, kedua dampak dari proses akulturasi dan asimilasi budaya sehingga budaya-budaya yang terkesan “modern” lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajaran agama.

Oleh karena itu, untuk menjaga kesucian lembaga perkawinan itu, maka perkawinan atau pernikahan bagi umat Islam hanya sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum negara.

Al-Qur'an dengan tegas melarang pernikahan seorang muslim / muslimah dengan orang musyrik / kafir, sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 221, QS. Al-Maidah ayat 5, dan al-Mumtahanah ayat 10.

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa para wali nikah mempunyai peranan yang cukup besar dalam kelangsungan perkawinan puteri-puterinya atau wanita yang berada di bawah perwaliannya, sehingga mereka diperintahkan untuk tidak mengawinkan wanita-wanita Muslimah yang di bawah perwaliannya dengan orang musyrik.

Terkait dengan pandangan mayoritas ulama yang tidak memasukkan ahlul kitab dalam terminologi musyrik, itu bukan berarti bahwa wanita beriman boleh kawin dengan pria ahlul kitab.

Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman adalah perbedaan akidah.
Orang yang tidak beriman akan selalu mengajak kepada kekafiran, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pelakunya masuk neraka.
Bagaimana mungkin akan terjalin hubungan yang harmonis antara suami dan isteri, ataupun antara keluarga yang berbeda keyakinan ini, jika nilai-nilai yang mereka anut, tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan.

Pasangan yang musyrik, tentu akan berupaya setiap waktu memberikan pengaruh akidahnya kepada pasangannya yang Muslim, baik lewat ucapan maupun perbuatan.

Bila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama, tidak mustahil pengaruh kesyirikan itu akan masuk sedikit demi sedikit tanpa disadari, dan akhirnya tanpa disadari mereka sudah tidak lagi berbeda dari pasangannya yang musyrik itu. Selain itu, faktor lain dari larangan perkawinan dengan orang musyrik itu adalah anak.

Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Kedua produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. 
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".

Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 (c) dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Hukum bukan hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum.

Oleh karenanya kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.

Perkembangan kontemporer manusia dalam meresmikan pasangan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan akan tetapi perkembangan jaman menuntun pada permasalahan baru yaitu perkawinan beda agama.

Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran.
Adapun perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Allahu A'lam.

Senin, 18 Juli 2022

Untuk anakku

UNTUK ANAKKU
Selamat Mondok Nak....!

Demi Allah, bukan Kami benci hingga membuangmu jauh ke pesantren.
Bukan kami tak cinta wahai anak kesayanganku.
Kami bahagia melihat tangismu yang kamu tahan-tahan,mau foto bersama terakhirpun kamu tidak mau nak,mungkin demi menjaga perasaan yang bergelora campur aduk sedih dan hampa akan pisah sementara dengan orang tua,bahkan berbagai cara kamu nak menyembunyikan tangisan didepan ibu sama ayah,saat kami tinggal pulang.
Kami rindu kamu nak,Rindu candaanmu,Rindu ngeyelmu,Rindu melihatmu ceria diwaktu bermain,terngiang selalu suaramu nak,setiap pagi nyuruh mandi,makan,kami panggil,tapi dengan cepat dan singkat atas kuasanya allah swt, kau menjadi anak sholeh,sesuai harapan ayah dan ibu,
Kelak suatu saat kau kan merindukan tangis perpisahan itu....

Selamat berjuang, Nak ! Nanti juga kau kan paham mengapa kami titipkan engkau di pesantren.
Maafkan kami tidak bisa seperti orang tua lain.
Memberimu segudang fasilitas dan kemewahan.
Maafkan kami hanya bisa memberikanmu fasilitas akhirat....
Jadilah pembela Bapak dan Ibu di hari pengadilan Allah kelak.
Dan kami harap engkaulah yang mengimami sholat jenazah kami nanti, menggotong keranda kami, memandikan diri kami, membungkus kain kafan kami, Tak perlu kami memanggil
Ustadz-ustadz untuk mendoakan kami,...Untuk apa...?

Bukankah nanti saat kami berbaring di ruang tengah dengan kaku. Ada anak2k di samping kepalaku. . Itulah hari terbahagia kami nanti menjadi orang tua, Nak. Jenazah kami teriring doa anak-anak kami sendiri...

Bukankah junjungan kita Baginda Nabi Muhammad saw, pernah berkata, saat kita semua mati semua amal akan terputus kecuali tiga perkara. Do'amu lah salah satunya.

Laa takhof wa laa tahzan, Nak.

Di pesantren sangat mengasyikkan. Temanmu teramat banyak seperti
keluarga sendiri. Pengalamanmu akan luas. Jiwamu kan tegar. Kesabaranmu kan gigih. Kami hanya ingin kau bisa mendoakan kami sepanjang waktumu. Menyayangi kami dihari tua kami nanti. Selayaknya kami sayangi engkau dihari kecilmu. Kami tak ingin nanti ketika jenazah kami belum dikuburkan. Namun kau dan adikmu sudah menghitung-hitung harta, hingga permusuhan pun terjadi.

Selamat berjuang, Nak ! Dengarkan ustadz dan semua gurumu, muliakan mereka. Seperti kau muliakan Bapak Ibumu. Beliau-beliau adalah pengganti Bapak Ibumu di rumah.

Selamat berproses, Nak !..
Berbahagialah, Nak... !
Tersenyumlah, Nak..!
Kelak kau kan paham maksud Kami.....

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم اجعل ولدي حلوا نور شريعة،ومحمد نجوان سابق الحسين من اهل العلم والبر والخير والمجاهد والمجاهدة في سبيل الله ولا تجعل واياهما من اهل الجهل والشر والضير،امين ياالله يارب العالمين.

#Ayah dan Bunda Selalu meridukanmu nak ,,,😭😭😭😭😭

Sabtu, 16 Juli 2022

BOLEH FASAKH NIKAH SEBAB LIMA PERKARA

Boleh Fasakh/Menggugat pernikahan karena empat sebab.👇👇👇

Setiap istri pasti mengharapkan pernikahannya menjadi keluarga yang sakinah, sejahtera dan berjalan dengan baik dengan sang suami. Namun kadang harapan tersebut terhempas di tengah jalan karena sang suami terkena penyakit fatal seperti kelainan kejiwaan atau gila. Dalam kondisi demikian, kadang seorang istri tidak bisa bertahan sehingga ada keinginan menikah dengan orang lain. Jika suami gila, bolehkah istri menikah lagi?

Istri tidak bisa langsung menikah dengan orang lain kecuali ikatan pernikahan dengan suami pertama sudah putus. Sebelum ditalak oleh suaminya, dia tetap berstatus sebagai istri sah meskipun suaminya gila. Karena itu, dia tidak boleh menikah dengan orang lain hanya karena suaminya gila.

Meski demikian, Islam menawarkan alternatif dalam kasus seperti ini. Jika suami gila, maka istri boleh mengajukan gugat cerai dengan suami kepada hakim atau pengadilan agama. Dalam Islam, menggugat cerai suami ke hakim atau pengadilan agama disebut dengan faskhun nikah.

Disebutkan bahwa salah satu alasan yang dibenarkan seorang istri menggugat cerai suaminya ke hakim adalah penyakit gila yang menimpa suami. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Syuja’ dalam kita Taqrib berikut;

ويردّ الرجل بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص والجبّ والعنّة

“Seorang laki-laki atau suami boleh dikembalikan atau digugat cerai dengan adanya lima aib; gila, terkena penyakit lepra, terkena barash atau penyakit kulit, penisnya terputus atau impoten.”

Juga disebutkan dalam kitab Alfiqhu ‘alal Mazahibil Arba’ah sebagai berikut;

أما البرص والجذام والجنون فإنها تجعل لأحد الزوجين الحق في طلب الفسخ في الحال سواء كان الزوج صغيرا أو كبيرا

“Adapun penyakit barash atau penyakit kulit, lepra dan gila, semuanya memberikan hak kepada suami atau istri untuk menggugat cerai pada waktu itu juga, baik suami masih anak kecil atau sudah dewasa.”

Berdasarkan keterangan ini, istri dibenarkan secara syar’i menggugat cerai suami ke hakim jika suami gila. Setelah hakim menjatuhkan putusan bahwa ikatan pernikahan di antara istri dan suaminya telah putus dan setelah lewat masa iddah, maka istri boleh menikah lagi dengan orang lain.

Mendengar kata kusta, apa yang ada di pikiran Anda? Barangkali dari penyakit satu ini terbayang gambaran berikut: kumuh, miskin, terpinggirkan, sangat menular, serta mesti dijauhi.

Penyakit kusta berasal dari bahasa India kustha, dan dalam berbagai budaya bangsa telah dikenal bahkan sejak era sebelum Masehi. Dulu ia dikira sebagai kutukan Tuhan. Dalam tradisi Islam, kita dapat sangat sering mengetahui bahwa kusta atau lepra ini adalah salah satu penyakit yang cukup diwaspadai. Nabi Muhammad sendiri dalam sebuah hadits mengajarkan doa secara khusus perihal lepra ini,

عن أنس – رضي الله عنه – : أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يقول : “ اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ البَرَصِ ، والجُنُونِ ، والجُذَامِ ، وَسَيِّيءِ الأسْقَامِ" . رواه أَبُو داود بإسناد صحيحٍ .

Artinya: Diriwayatkan dari Anas -radliyallahu anhu- bahwa Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam berdoa: “Ya Allah, aku berlindung padamu dari belang, gila, kusta dan penyakit-penyakit buruk”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad sahih.

Lafal-lafal teks hadits banyak menyebutkan kata البرص dan الجذام bersamaan, karena gambarannya yang serupa. Ibnul Manzhur dalam Lisanul Arab menyebutkan bahwa makna (البرص) al-barash adalah penyakit dengan gambaran putih di kulit. Dalam literatur medis terkini, ia dikenal dengan albino – yang muncul akibat proses genetik, dan tidak menular lewat kontak.

Sedangkan (الجذام) judzam sendiri berasal dari kata jadzama – yajdzamu yang semakna dengan qatha’a -yaqtha’u (قطع – يقطع ), artinya memotong/terpotong. Hal ini penting diketahui karena kondisi penderita kusta yang sudah lanjut, sebagaimana nanti akan disinggung di bawah, adalah adanya bagian tubuh yang buntung tanpa rasa sakit, terutama di tangan dan kaki – dari sinilah kata al-judzam berasal.

Nabi bersabda,

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلأَسَدِ

"Menghindarlah kamu dari orang yang terkena judzam (kusta), sebagaimana engkau lari dari singa yang buas" (HR al-Bukhari).

Hal ini menunjukkan bahwa kusta adalah penyakit yang cukup ditakuti sedari dulu. Namun di sisi lain, Nabi juga disebutkan pernah membaiat penderita kusta, bahkan makan bersama. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunan at-Tirmidzi

أَنَّ رَسُوْلَ الله: أَخَذَ بِيَدِ مَجْذُوْمٍ فَأَدْخَلَهُ مَعَهُ فِيْ اْلقَصْعَةِ ثُمَّ قَالَ كُلْ بِاسْمِ اللهِ ثِقَةً بِاللهِ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ

"Sesungguhnya Rasulullah saw. memegang tangan seorang penderita kusta, kemudian memasukannya bersama tangan Beliau ke dalam piring. Kemudian Beliau mengatakan: "makanlah dengan nama Allah, dengan percaya serta tawakal kepada-Nya" (HR at-Turmudzi).

Dalam literatur fiqih pun, kondisi kusta menjadi salah satu hal yang memperbolehkan batalnya nikah (faskhun nikah).
Dicatat dari Syekh Abu Syuja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb berikut aib nikah yang bisa menjadi alasan dibatalkannya pernikahan.

وترد المرأة بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص والرتق والقرن ويرد الرجل بخمسة عيوب بالجنون والجذام والبرص الجب والعنة.

Artinya: “Seorang perempuan bisa dibatalkan pernikahannya karena lima aib, yakni: gila, judzam (kusta), barash (albino), rataq, dan qarn. Sedangkan lelaki bisa dibatalkan pernikahannya karena lima aib, yakni gila, judzam, barash, al-jubb (tiadanya alat kelamin), dan al-‘anat (impotensi).”

Selain itu, dalam kitab Hasyiyatul Jumal misalnya, penderita kusta tidak boleh turut serta ikut shalat berjamaah karena takut menular.

فقد نقل القاضي عياض عن العلماء منع الأجذم والأبرص من المسجد، ومن اختلاطهما بالناس

Artinya: Dikutip dari (perkataan) Qadli Iyadh, dari para ulama bahwa penderita kusta dan belang (al-barash) dilarang masuk masjid, serta dilarang berkumpul dengan orang-orang.

Agaknya pengetahuan tentang kusta yang berkembang di masa hidup ulama kala itu belum memadai, yang sayangnya, berujung pengucilan penderita kusta. Hemat penulis, keterangan dari ulama fiqih di atas sejalan dengan konteks zaman itu, dan di masa sekarang kurang relevan – mengingat keilmuan penyebab dan terapi penyakit telah ditemukan.
Kaidah al-ijtihâd lâ yunqadlu bil ijtihad, ijtihad atau pendapat ulama yang sudah ada tidak batal sebab adanya pendapat lainnya, tetap berlaku namun mesti disikapi dengan cermat. Nah, dengan segala pendapat dan pandangann ulama akan penyakit ini, berikut hal-hal yang perlu diketahui tentang kusta.

Kusta atau lepra (disebut juga Morbus Hansen) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam Mycobacterium leprae. Mekanisme penularannya belum diketahui pasti, namun yang paling umum diketahui adalah ia menular dengan kontak kulit yang lama dan erat. Sekadar interaksi yang tidak intens belum tentu memicu penularan kuman kusta.
Penyakit kusta bersifat kronik, yaitu infeksinya sudah berlangsung lama dalam tubuh – sehingga muncul gejalanya bisa sekian bulan bahkan tahun kemudian, sesuai masa tunas kuman lepra ini.

Berdasarkan keterangan buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI, bakteri ini pertama kali menyerang saraf tepi, lalu kulit, saluran napas bagian atas, serta dapat berlanjut ke organ lain, kecuali sistem saraf pusat yaitu otak dan sumsum tulang belakang.
Karena itu, meski jarang menyebabkan kematian, hal yang paling ditakutkan dari kusta adalah kecacatan serta stigma dan diskriminasi dari masyarakat.

Kusta adalah penyakit yang dapat diobati. Angka kejadian penyakit ini sudah menurun sangat drastis di negara-negara endemis kusta, termasuk Indonesia. Faktor-faktor penunjang munculnya penyakit ini antara lain tinggal di area endemis, adanya keluarga serumah penderita kusta, serta kemiskinan (malnutrisi) yang berimbas pada kurang baiknya sistem imun.

Kemampuan invasi bakteri ini sebenarnya rendah, sehingga penderita yang terinfeksi kuman lepra ini belum tentu menunjukkan gejala yang parah. Beda gambaran infeksi dan kondisi gejala penyakit ini disebabkan oleh respons imun seluler yang berbeda-beda.

Gejala berikut perlu dicermati untuk diagnosis kusta: adanya gambaran bercak yang kemerahan/lebih gelap dibanding sekitarnya, dan di bercak tersebut terasa kering, lalu ada baal, kesemutan, atau hilang rasa. Selain itu, gejala yang perlu dicermati adalah ketika sering dikeluhkan ada kesemutan, nyeri atau hilang sensasi rasa di tangan atau kaki, diikuti kesulitan menggerakkan otot, jari atau persendian di tangan atau kaki. Hal ini menggambarkan bahwa sakit kusta menyerang sistem saraf tepi. Dapat juga dikeluhkan alis atau rambut rontok serta pandangan buram. Pada taraf lanjut, banyak keluhan gejala lainnya yang dapat menjadi informasi organ tertentu yang telah diserang.

Mutilasi atau putusnya bagian tubuh, sebagaimana gambaran kusta dalam literatur Islam klasik itu diakibatkan bagian tubuh yang ada sudah mati rasa, serta tidak berfungsi kembali. Ketika sudah mati rasa itulah kerap ada luka yang tidak nyeri dan sulit sembuh, serta bagian tersebut tidak dapat berfungsi normal dan buntung sedikit demi sedikit.

Berat ringannya gejala kusta ini ditinjau dari gambaran dan jumlah bercak, kerusakan saraf, serta hasil laboratorium. Pemeriksaan laboratorium paling utama untuk kusta adalah kerok daerah kulit yang memiliki kelainan. Hasil bakteri yang ditemukan adalah jenis bakteri berbentuk batang yang tahan asam (BTA).

Pengobatan kusta bisa diakses di puskesmas atau RS terdekat. WHO menetapkan terapi kusta mesti diminum rutin tiap hari selama sekurang-kurangnya 6 bulan tergantung jenis kusta yang didapat. Bercak kulit yang ada, hendaknya dijaga agar tidak digaruk, tergesek, ataupun terbentur. Bila muncul bercak baru, bercak semakin melebar atau menebal, atau muncul demam dan nyeri pada tubuh mesti segera kembali ke dokter.

Tujuan utama pengobatan kusta adalah memutus rantai penularan serta mengobati dan menyembuhkan penderita. Penyakit yang terdeteksi sedari awal, dapat mencegah kecacatan yang menjadi beban dan stigma bagi penderita kusta. Setelah dimulai pengobatan, kuman kusta ini akan sudah sangat berkurang kemampuan menularnya.

Penderita kusta hendaknya dijauhkan dari stigma dan diskriminasi dalam ruang kerja maupun kehidupan bermasyarakat. Pengucilan tersebut membuat penderita kusta baik dengan atau tanpa disabilitas ini kehilangan semangat hidup, produktivitas, yang mestinya tanpa stigma dan diskriminasi – ditunjang dengan dukungan moral maupun fisik dari berbagai pihak – bisa membuat mereka berdaya.

Tentu stigma dan diskriminasi ini menepikan hak-hak mereka dalam kehidupan sosial. Para penderita juga punya hak bermasyarakat dan bekerja. Memahami kondisi penyakit ini kiranya memperbaiki sudut pandang kita atas para penderitanya. Kusta bisa diobati dan dicegah kecacatannya, dan tentu ia bukan adzab atau kutukan.

Sejumlah Ketentuan Fasakh Pernikahan dalam Kajian Fiqih.

Jika didapati salah satu cacat, penyakit, atau sebab lainnya setelah menikah, baik pada istri maupun pada suami, baik setelah hubungan badan maupun belum, baik cacat yang menghalangi hubungan badan maupun yang tidak, maka ada hak fasakh bagi keduanya, dengan catatan fasakh dilakukan di hadapan hakim atau diputuskan oleh hakim. 

Jika ada pasangan yang sepakat untuk memfasakh pernikahannya tanpa hakim maka fasakhnya tidak tercapai, terutama fasakh yang disebabkan oleh cacat, penyakit, atau sebab yang membutuhkan pertimbangan hakim dan juga tim medis. Demikian yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam Kitab I‘anatuth Thalibin.

إنما يصح الخيار فورا في فسخ النكاح إن كان حاصلا بحضور الحاكم، وذلك لأن الفسخ بالعيوب المذكورة أمر مجتهد فيه كالفسخ بإعسار فتوقف ثبوتها على مزيد نظر واجتهاد، وهو لا يكون إلا من الحاكم
فلو تراضيا بالفسخ بها من غير حاكم لم ينفذ

Artinya, “Khiyar dalam fasakh
nikah hanya sah jika dihadiri oleh penguasa (hakim).

Pasalnya, fasakh karena cacat-cacat tersebut di atas merupakan perkara ijtihadi. Begitu pula fasakh yang terjadi karena kesulitan memberi nafkah. Maka penetapannya membutuhkan pandangan dan ijtihad lebih jauh. Walhasil, tidak sah fasakh kecuali atas putusan hakim. Sehingga seandainya suami-istri sepakat untuk fasakh karena suatu cacat tanpa hakim maka tetap tidak terlaksana,” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatuth Thalibin, jilid III, halaman 383).

Lain halnya fasakh yang diakibatkan oleh sebab yang jelas. Ia dapat dilakukan tanpa melalui keputusan hakim. Contohnya fasakh karena ada hubungan mahram antara kedua mempelai. Hal ini ditegaskan dalam pendapat Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah. (Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 115).

Demikian halnya fasakh boleh dilakukan tanpa hakim ketika syarat fasakh diajukan sewaktu akad. Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus di hadapan hakim.

ويجوز لكل من الزوجين خيار بخلف شرط وقع في العقد لا قبله كأن شرط في أحد الزوجين حرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا فإن بان أدنى مما شرط فله فسخ ولو بلا قاض

Artinya, “Diperbolehkan bagi suami atau istri mengambil hak khiyar (fasakh) yang diikuti dengan syarat sewaktu akad, bukan sebelum akad. Seperti halnya disyaratkan pada salah seorang suami atau istri harus merdeka, berketurunan terpandang, berparas cantik atau tampan, berasal dari kalangan berada, masih perawan atau masih perjaka, atau selamat dari cacat. Saat akad, si wali mengatakan, ‘Aku nikahkan engkau dengan syarat dia masih perawan atau merdeka,’ misalnya. Maka jika terbukti si perempuan tidak memenuhi syarat, maka suami boleh memfasakh nikahnya walaupun tanpa hakim.” (Lihat Syekh Zainudddin Al-Malaibari, Fathul Mu‘in, halaman 106).

Hanya saja ada pengecualian dalam cacat lemah syahwat. Jika cacat itu terjadi setelah hubungan badan, kemudian terjadi fasakh, maka hak istri berupa mahar menjadi gugur karena sudah tercapainya tujuan pernikahan, yaitu hubungan badan. Begitu pula bila cacat yang dialami istri memungkinkan untuk dihilangkan, seperti dengan proses operasi, dan ia rela dengan proses itu, maka tidak ada hak fasakh bagi suaminya. Sebab, tidak ada alasan kuat yang membolehkannya untuk fasakh.  Selain itu, sejak penyakit lemah syahwat ditetapkan oleh hakim berdasarkan pengakuan suami atau sumpah istri, maka hakim harus memberikan tempo selama satu tahun qamariyah guna memberikan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut seiring perjalanan musim dan waktu. Jika sembuh, maka fasakh batal. Jika tidak, maka fasakh dijatuhkan.  Kemudian, jika ada pasangan yang sudah mengetahui cacat atau penyakit pasangannya, namun ia tetap diam dan tidak segera mengajukan fasakh, maka hak fasakhnya gugur kecuali jika ia tidak tahu bahwa ada hak fasakh yang diberikan kepada dirinya. Demikian sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi dalam mengambil hak fasakh, baik oleh suami maupun oleh istri.

Wallahu a’lam