Tidak Semua Pernikahan Halal,6 Jenis Nikah Ini Hukumnya Haram
Terdapat lima jenis pernikahan yang haram dilakukan umat Islam.
Terdapat enam jenis pernikahan yang haram dilakukan umat Islam.
Nikah merupakan amalan sunnah yang disyariatkan dalam Islam dan mempunyai banyak keutamaan.
Terdapat banyak dalil landasan anjuran menikah antara lain firman Allah SWT QS An-Nisaa ayat tiga:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ
“Nikahilah wanita-wanita (lainnya)yang kalian senangi, dua, tiga atau empat.”
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya Fiqih Wanita menyampaikan, meski nikah merupakan bagian dari syariat, namun Allah dan Rasulnya melarang pernikahan dalam lima kondisi. Di antaranya nikah syighar, nikah mut'ah, nikah dengan wanita belum idah, nikah muhallil, nikah dengan yang menjalankan ihram.
1. Nikah syighar
Syekh Kamil menjelaskan nikah syighar yaitu, seseorang menikahkan anak perempuannya dengan syarat orang yang menikahi anaknya itu juga menikahkan Putri yang ia miliki dengannya. Baik itu dengan memberikan mas kawin bagi keduanya maupun salah satu darinya saja atau tidak memberikan mas kawin sama sekali."Semuanya itu tidak dibenarkan menurut syariat Islam," katanya.
Dalam pernikahan semacam ini, kata Syekh Kamil, tidak ada kewajiban atas nafkah, warisan dan juga mas kawin. Tidak berlaku pula segala macam bentuk hukum yang berlaku pada kehidupan suami-istri pada umumnya.
Syekh Kamil menambahkan, jika seseorang mengetahui akan adanya larangan pernikahan syighar namun Ia tetap melaksanakannya, maka harus diberlakukan baginya "had" atau hukuman secara penuh dan anak yang dilahirkan dari pernikahan semacam ini tidak diserahkan kepadanya.
Akan tetapi, jika tidak mengetahuinya, maka tidak ada baginya dan anak yang telah dilahirkan tetap berada di pihaknya.
Demikian juga dengan wanita yang dinikahinya, jika ia mengetahui larangan tersebut maka ia harus mendapatkan hukuman dalam kurung dan jika tidak mengetahuinya maka tidak ada hukuman apapun baginya.
Larangan nikah Syighar ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، قَالَ : " نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ : زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي ، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي
Rasulullah SAW melarang pelaksanaan nikah syighar. "Nikah syighar itu adalah seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain: nikahkan aku dengan putraimu maka aku akan menikahkan kamu dengan putriku. Atau nikahkan aku dengan saudara perempuanmu maka aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku.” (HR Muslim).
Namun kata Syekh Kamil para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Malik mengatakan, pernikahan semacam ini sama sekali tidak diperbolehkan di dalam syariat Islam. Itu artinya tidak sah baik sudah berhubungan badan maupun belum.
Demikian juga jika seseorang mengatakan ‘Aku nikahkan kamu dengan putriku, akan tetapi kamu harus meningkatkan aku dengan putrimu, dengan mas kawin 100 Dinar maka tidak ada kebaikan sama sekali dalam hal itu.’
Sementara menurut Ibnu qasim, pernikahan seperti itu tetap sah jika telah berhubungan badan. sedangkan Imam Syafi'i mengatakan, nikah ini menjadi batal jika mahar tidak disebutkan di dalamnya.
Jika mahar disebutkan di dalamnya, baik itu dari kedua belah pihak maupun salah satu dari keduanya, maka ditetapkan sebagai pernikahan bersama dan mahar yang disebutkan menjadi batal.
"Untuk itu bagi masing-masing dari keduanya harus membayar mahar dalam jumlah yang sama jika meninggal dunia atau berhubungan badan dengannya atau setengah dari mahar jika menceraikannya sebelum berhubungan badan." kata Imam Syafi'i.
2. Nikah mut'ah
Ibnu Hazm mengatakan, nikah Mut'ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan hal ini dilarang dalam Islam. Nikah mut'ah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah dan kemudian Allah menghapuskannya melalui lisan Rasul-nya untuk selamanya sampai hari kiamat kelak.
Dari Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Rasulullah SAW melarang nikah Mut'ah dan juga daging keledai peliharaan pada masa perang khabir."
Dari Ibnu Abbas RA, ia mengatakan sebenarnya nikah mut'ah itu ada hanya pada awal masa Islam. ada seseorang mendatangi suatu negeri yang asing baginya. Lalu ia menikahi seorang wanita penduduk asli Negeri tersebut dengan perkiraan bahwa ia akan tinggal di sana dan wanita yang ia nikahi bisa menjaga serta mengatur barang-barang dagangannya.
Sehingga turun firman Allah yang artinya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, Ibnu Abbas melanjutkan, semua kemaluan selain dua kemaluan tersebut, maka hukumnya adalah haram. (HR Ath-Thabrani).
3. Menikahi wanita sedang iddah
Baik karena perceraian maupun karena kematian suaminya. Syekh Kamil mengatakan, jika menikahinya sebelum masa iddahnya selesai, maka nikahnya dianggap batal, baik sudah berhubungan badan maupun belum atau sudah berjalan lama maupunu pun belum. Di samping itu, tidak ada warisan di antara keduanya dan tidak ada kewajiban memberikan nafkah serta mahar bagiku wanita tersebut darinya.
"Jika salah satu dari keduanya telah mengetahui akan adanya larangan nikah tersebut, maka diberlakukan kepadanya had atau hukuman atas orang yang berzina, yaitu rajam," katanya.
4.Istri yang ditalak tiga,
Yaitu wanita Muslim yang sudah ditalak tiga kali oleh suaminya dan suami diharamkan untuk kembali lagi kepadanya,kecuali ada orang menikahinya (Muhalil) lalu bercerai maka boleh dinikahi kembali,
Hal ini didasarkan pada firman Allah surat Al Baqarah ayat 230:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
"Jika suami telah menthalaknya (sesudah dijatuhkan talak yang kedua), maka perempuan itu tidaklah lagi halal baginya, hingga ia menikahi laki-laki lain."
Syekh Kamil menegaskan, apabila sang suami menyuruh orang lain untuk menikahi istri yang sudah dithalak tiga kali, dengan maksud suami pertama dapat menikahi wanita itu kembali, maka pernikahan seperti ini sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini didasarkan pada riwayat Ibnu Mas'ud: Rasulullah melaknat muhallil dan muhallal lahu (HR. Abu Dawud Ibnu Majah dan Tirmidzi)
5. Nikahnya orang ihram
Yaitu apabila seorang melaksanakan pernikahan ketika ia sedang menunaikan ibadah Islam baik dalam Haji maupun umrah melakukan tahallul maka pernikahan semacam ini dianggap batal.
Jika ingin menikah maka hendaklah ia melakukannya setelah menyelesaikan ibadah haji atau umrohnya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
((لا يَنكِحِ المُحْرِمُ، ولا يُنكِحْ، ولا يَخْطُبْ))
"Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang." (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi). Dengan pengertian lain apabila dilakukan maka pernikahan tersebut tidak sah.
6. Jenis Pernikahan Badal (Tukar Menukar Istri)
Pernikahan badal adalah pernikahan tukar menukar istri. Hal ini terjadi karena seorang laki-laki mengadakan perjanjian untuk menyerahkan istrinya kepada orang lain dan mengambil istri orang lain tersebut sebagai istrinya dengan memberi sejumlah uang tambahan.
7.Nikah Tafwidh,nyaitu nikah tanpa maskawin,ulama ikhtilaf ada yang membolehkan ada yg mengharomkan hususnya dari madzhab imam syafi'i
Karena berdasarkan dasar dalil didalam surah annisa ayat 4.
{ وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓـٔٗا مَّرِيٓـٔٗا }
[سُورَةُ النِّسَاءِ: ٤]
Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati,
8,Saudara sepersusuan :
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ من النَّسَبِ. متفق عليه
Artinya, “Haram dinikah sebab susuan apa yang haram dinikah sebab nasab.” (Muttafaq ‘Alaih)
9,Isteri orang lain dan wanita yang masih dalam ‘iddah (masa menunggu seorang wanita setelah cerai atau ditinggal mati suaminya, untuk boleh menikah lagi).
Karena Allah Ta’ala berfirman :
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.” [An-Nisaa’/4: 24]
Maksudnya adalah, diharamkan atas kalian menikahi wanita-wanita yang masih menjadi isteri orang lain, kecuali tawanan perempuan, karena tawanan perempuan halal karena status tawanannya. Hal itu dilakukan setelah istibra’ (dibebaskan dengan minta izin imam) meskipun masih mempunyai suami, sebagaimana hadits riwayat Abu Sa’id, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ جَيْشًا إِلَى أَوْطَاسَ فَلَقِيَ عَدُوًّا فَقَاتَلُوهُمْ فَظَهَرُوا عَلَيْهِمْ وَأَصَابُوا سَبَايًا، وكَانَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَرَّجُوا مِنْ غِشْيَانِهِنَّ مِنْ أَجْلِ أَزْوَاجِهِنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، فَأَنْزَلَ اللهُ عزوجل فِي ذَلِكَ ((وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ)) أَيْ فَهُنَّ لَكُمْ حَلاَلٌ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهُنَّ.
“Bahwasanya pada suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan ke Authas, pasukan tersebut bertemu dengan musuh, kemudian memerangi mereka hingga menang dan mendapatkan beberapa tawanan wanita. Akan tetapi sebagian dari Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa enggan untuk menggauli mereka dikarenakan mereka masih mempunyai suami-suami dari kalangan musyrikin. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firman-Nya: ‘Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki.’ (An-Nisaa: 24)
Maksudnya, mereka halal bagi kalian jika ‘iddahnya telah selesai.
10. Menikah dengan wanita pezina.
Tidak boleh bagi seorang lelaki untuk menikahi wanita pezina, sebagaimana juga tidak boleh bagi wanita baik-baik untuk menikah dengan laki-laki pezina, kecuali apabila setiap dari keduanya telah bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” [An-Nuur/24 : 3]
Dan dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhuma dari bapaknya dari kakeknya:
أَنَّ مُرْثِدَ بْنَ أَبِيْ مُرْثِدٍ الْغَنَوِيْ كَانَ يَحْمِلُ الأَسَارَى بِمَكَّةَ، وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقٌ، وَكَانَتْ صَدِيْقَتَهُ. قَالَ: جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ أَنْكِحُ عَنَاقًا؟ قَالَ: فَسَكَتَ عَنِّيْ فَنَزَلَتْ: ))وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ )) فَدَعَانِيْ فَقَرَأَهَا عَلَيَّ، وَقَالَ: لاَ تَنْكِحُهَا.
“Bahwa Murtsid bin Abi Murtsid al-Ghanawi pernah membawa beberapa tawanan ke Makkah, sedang di Makkah terdapat wanita pelacur bernama ‘Anaq yang merupakan teman dekatnya. Ia (Murtsid) mengatakan bahwa ia datang untuk menemui Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam. Lalu ia bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku boleh menikahi ‘Anaq?’ Maka beliau pun terdiam, kemudian t-runlah ayat ‘Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina, atau laki-laki musrik.’ (An-Nuur: 3) selanjutnya beliau memanggil Murtsid dan membacakan ayat tersebut seraya bersabda, ‘Janganlah engkau menikahinya.’”
Wanita-Wanita Yang Diharamkan Sementara,
1. Menghimpun (dalam perkawinan) dua wanita yang bersaudara.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…” [An-Nisaa: 23]
Menghimpun (dalam perkawinan) antara wanita dan ‘ammahnya (bibi dari pihak ayah) atau khalahnya (bibi dari pihak ibu), sebagaimana disebutkan dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.
“Janganlah seorang wanita dihimpun (dalam perkawinan) dengan ‘ammah atau khalahnya.
=========================
Pernikahan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan, menikah merupakan suatu bagian dari penyempurnaan agama dan iman. Tentunya dalam Islam sendiri, jenis pernikahan ada banyak dan masing masing memiliki hukum serta dalil yang mendasarinya.
Abdus Salam Nawawi mengatakan beberapa jenis pernikahan sebagian diperbolehkan karena telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan.
Sementara sebagian jenis pernikahan lain dilarang atau haram dilakukan meski telah memenuhi rukun dan syaratnya.
Nawawi menjelaskan dilarangnya sebuah pernikahan dalam Islam karena melenceng dari tujuan pernikahan dalam Islam yakni mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Nawawi, tujuan pernikahan tersebut dapat dilihat dari arti pernikahan itu sendiri.
Lantas, seperti apa jenis-jenis pernikahan dalam Islam beserta hukumnya?
Dalam Islam terdapat macam-macam pernikahan yang digolongkan berdasarkan hukum Islam yang berlaku.
Macam-macam pernikahan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Pernikahan Wajib (Az Zawaj Al Wajib)
Pernikahan Az Zawaj Al Wajib ialah pernikahan yang harus dilakukan oleh individu yang memiliki kemampuan untuk melakukan pernikahan (berumah tangga), serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir pribadinya melakukan dosa yang paling berat dalam Islam. Yakni perbuatan zina yang dosa dan dilarang Allah manakala tidak melakukan pernikahan.
Kewajiban melakukan pernikahan ini didasarkan atas alasan bahwa menghindari balasan zina dalam islam dengan mempertahankan kehormatan pribadi dari kemungkinan melakukan zina adalah wajib.
Dan satu satunya sarana untuk menghindarkan pribadi dari perbuatan zina yang dosa dan dilarang Allah itu ialah pernikahan, maka melakukan pernikahan menjadi wajib bagi individu yang seperti ini.
2. Pernikahan yang Dianjurkan (Az Zawaj Al Mustahab)
Jenis pernikahan ini ialah pernikahan yang dianjurkan kepada individu yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan pribadinya dari kemungkinan melakukan zina yang dosa.
Seorang muslim yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat, maka dia tetap dianjurkan supaya melakukan pernikahan meskipun individu yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan pribadinya.
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda:
“Dari Abdillah berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “hai para pemuda barang siapa pribadi kalian mampu untuk melakukan pernikahan maka melakukan pernikahanlah, sesungguhnya pernikahan itu menundukkan pandangan dan menjaga farji (kehormatan). Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu baginya sebagai penahan. (pribadiwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Pernikahan)”.”
3. Jenis Pernikahan yang Kurang atau Tidak Disukai (Az Zawaj Al Makruh)
Pernikahan Az Zawaj Al Makruh merupakan pernikahan yang kurang atau tidak disukai oleh Allah.
Pernikahan ini bisa terjadi karena seorang muslim tidak memiliki kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri.
Hal itu terjadi apabila seorang muslim akan menikah tetapi tidak berniat memiliki anak, juga ia mampu menahan diri dari berbuat zina.
Padahal, apabila ia menikah ibadah sunnahnya akan terlantar. Jika kondisi individu seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahan kurang (tidak disukai) sebab pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.
4. Jenis Pernikahan yang Dibolehkan (Az Zawaj Al Mubah)
Jenis pernikahan Az Zawaj Al Mubah adalah pernikahan yang dilakukan tanpa ada faktor-faktor yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang halangi. Pernikahan inilah yang umum terjadi di tengah tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama’ dinyatakan sebagai hukum islam dasar atau hukum islam asal dari pernikahan.
Bagi individu yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan melakukan zina yang dosa dan dilarang Allah dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri.
Perkawinan bagi individu tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.
Hukum islam mubah ini juga ditujukan bagi individu yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan individu yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.
5. Jenis Pernikahan yang Diharamkan ( Larangan Keras)
Pernikahan Haram adalah pernikahan yang berdasarkan hukum Islam haram apabila seorang muslim menikah justru akan merugikan istrinya, karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin.
Atau jika menikah, ia akan mencari mata pencaharian yang diharamkan oleh Allah padahal sebenarnya ia sudah berniat menikah dan mampu menahan nafsu dari zina.
Keharaman pernikahan ini sebab pernikahan dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga.
Jika seorang muslim melakukan pernikahan tersebut, wanita pasti akan mengalami penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki laki itu, seperti melarang hak hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, yang kemudian pernikahan tersebut menjadi haram untuknya.
Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 195, Allah berfirman:
Wa anfiqu fii sabiilillaahi wa laa tulqu bi’aidiikum ilat-tahlukati wa ahsinu, innallaaha yuhibbul-muhsiniin
Artinya:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
***
Demikian penjelasan mengenai macam-macam jenis pernikahan dalam Islam.
Semoga informasi di atas bermanfaat.