Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 02 April 2023

Shalat dibelakang Imam Fasiq

Sahkah Sholat Di Belakang Imam Yang Fasik ?...

Dahulu saya pernah melihat salah seorang guru saya yang seringkali shalat lima waktu secara munfarid (sendiri) dan tidak berjamaah di masjid. Saya pernah bertanya kepadanya tentang mengapa beliau tidak shalat berjamaah di masjid ? Lalu beliau katakan bahwa : saya tidak akan bermakmum kepada seorang yang fasik. Dalam benak saya yang waktu itu masih sangat awam berkata : benarkah ada ajaran Islam yang seperti itu? Setahu saya guru-guru saya yang lain pun tidak mempraktekkan hal itu.

Namun akhirnya setelah berjalannya waktu saya temukan juga jawabannya, Kenapa beliau bersikap seperti itu. Dalam tulisan sederhana ini saya akan sedikit mengupas tentang hukum seorang yang fasik menjadi imam dalam shalat, apakah sah bermakmum kepada nya?. untuk lebih jelasnya mari sejenak kita berselancar ke kitab-kitab para ulama.

Definisi Fasik

Fasik berasal dari kata fasaqa yafsiqu/ yafsuqu fisqan yang berarti keluar dari ketaatan, kebenaran, agama dan dari keistiqamahan. Fasik pada asalnya diartikan sebagai keluarnya sesuatu dari sesuatu yang lainnya dan hal itu akan mengakibatkan kerusakan. Seperti kita berkata : rusaknya kurma jika dia terlepas dari cangkang atau kulitnya.[1]

Adapun fasik dalam istilah definisikan sebagai seorang yang melakukan dosa besar ataupun seringkali melakukan dosa-dosa kecil. [2] Syekh Ibnu Taymiyah (w 728 H) menyatakan bahwa kefasikan itu terkadang disebabkan oleh seringnya meninggalkan shalat-shalat fardhu dan terkadang dikarenakan melakukan perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. [3] Imam Ibnu Hajar al-A’sqolani (w 852 H) menyatakan bahwa : sebagian dari para Imam berkata : dosa besar yang disebabkan oleh hati lebih besar dibandingkan dosa besar yang dilakukan oleh anggota badan dikarenakan dosa tersebutlah penyebab kefasikan itu menjadi nyata dan nampak (dalam diri manusia). [4]

Sedangkan Imam asy-Syaukani (w 1250 H) menukilkan perkataan Imam al-Qurthubi (w 671 H) : adapun kefasikan yang umumnya digunakan dalam syariat yaitu : (perbuatan yang telah menyebabkan seseorang) keluar dari zona ketaatan kepada Allah Ta’ala. Terkadang perbuatan tersebut bisa menyebabkan kekafiran dan bisa juga dianggap sebagai kemaksiatan. [5] Sebagaimana hadits berikut ini :

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

mencela seorang muslim adalah kefasikan sedangkan membunuhnya adalah kekafiran. [6]

Begitupula dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala juga dinyatakan sebagai orang fasik, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. [7]

Ada juga kefasikan didapati dari penakwilan sebagaimana seorang meminum nabidz [8] dari madu atau gandum, jika ditakwilkan kepada mazhab selain mazhab hanafiyah maka hal tersebut termasuk perbuatan yang diharamkan dikarenakan mereka menganggap nabidz madu dan gandum sebagai khamr Dan orang yang meminumnya dianggap sebagai seorang fasik. Namun jika ditakwilkan kepada mazhab Hanafiyah maka hal tersebut bukanlah perbuatan yang menjadikan pelaku sebagai seorang fasik, dikarenakan mazhab hanafiyah tidak beranggapan bahwa nabidz madu dan gandum termasuk jenis khamr. [9]

Pendapat Ulama Tentang Bermakmum Kepada Imam Yang Fasik

Bermakmum kepada seorang yang fasik adalah permasalahan yang ulama sendiri berbeda pendapat tentangnya. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid Imam Ibnu Rusyd (w 595 H) menyebutkan : para ulama berbeda pendapat tentang (bolehnya) seorang yang fasik menjadi imam dalam shalat. Sebagian ulama menolaknya (tidak membolehkannya) secara mutlak, sebagian yang yang lainnya membolehkannya secara mutlak, adapun sekelompok ulama memisahkan dengan melihat kefasikannya baik secara pasti ataupun secara tidak pasti (prasangka) dan juga ada sekelompok ulama yang membedakan kefasikannya dengan menggunakan penakwilan dalam mazhab ataupun tanpa penakwilan.[10]

Pendapat Yang Membolehkan

1. Mazhab Hanafi

Dalam mazhab hanafi bermakmum kepada seorang yang fasik dibolehkan jika dilihat kepada keumuman dalam pengertian setiap orang yang berakal, bahkan dibolehkan juga seorang budak, orang a’rabi (badui), orang buta dan anak hasil perzinahan menjadi imam sholat walaupun disertai dengan kemakruhan. Mereka mengatakan bahwa tidak seyogyanya bermakmum kepada seorang yang fasik kecuali pada sholat jumat, dikarenakan selain sholat jumat ada kesempatan untuk memilih bermakmun dengan selainnya. Namun makruh jika di dalam satu kota ada banyak masjid yang melangsungkan sholat jumat karena dia punya kesempatan untuk memilih bermakmum dengan yang lainnya. [11]

dalam pandangan hanafiyah sholat dibelakang orang fasik lebih utama daripada sholat sendirian serta bermakmum kepadanya akan mendapatkan keutamaan sholat berjamaah walaupun menurut mereka lebih utama sholat dibelakang orang yang bertakwa, sebagaimana hadits Nabi S.A.W :

من صلى خلف عالم تقي ، فكأنما صلى خلف نبي

barangsiapa yang sholat dibelakang orang alim yang bertakwa maka seolah-olah dia sedang bermakmum kepada Nabi. [12]

2. Mazhab Maliki

Dalam mazhab maliki dibolehkan dan sah jika bermakmum kepada seorang yang fasik dimana kefasikannya berkaitan dengan kemaksiatan anggota tubuh (seperti berzina, minum khamr) walaupun pembolehannya tersebut disertai dengan kemakruhan sebagaimana sahnya bermakmun kepada pelaku bid’ah yang pengkafiran terhadapnya terdapat perbedaan pendapat antara para ulama, seperti kelompok qadariyah. Adapun jika kefasikannya berkaitan erat dengan rusaknya shalat, seperti niat dan tujuannnya yang ingin menyombongkan diri dengan menjadi imam sholat ataupun sengaja membaca al-Quran dengan memakai qira'ah (bacaan) yang syadz, yang bacaan tersebut bertentangan dengan al quran versi mushaf utsmani serta merusak shalat dengan tidak melaksanakan syarat ataupun rukun-rukunnya secara sengaja. Maka bermakmun kepadanya menjadi tidak sah. [13]

3. Mazhab Syafi’i

Mazhab syafi’i membolehkan seorang untuk shalat di belakang imam yang fasik namun disertai kemakruhan. Kemakruhannya tersebut hanya berlaku jika makmumnya bukanlah seorang yang fasik adapun jika kefasikannya sama antara imam dan makmum maka tidak dimakruhkan selama kefasikan imam tersebut tidak lebih parah dibandingkan makmumnya. [14]

4. Mazhab Zhahiri

Mazhab Zhahiri menganggap bermakmum kepada imam yang fasik hukumnya sah dengan melihat kepada keumuman hadits :

يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله

Artinya : Yang layak menjadi Imam suatu kaum adalah seorang yang paling fasih bacaan Al Qurannya.[15]

Menurut mereka hadits tersebut tidak ada pengecualian antara imam yang fasik ataupun selainnya. [16] maka dari itu boleh saja jika seorang fasik yang mampu membaca al quran dengan fasih menjadi imam shalat.

Pendapat Yang Tidak Membolehkan

1. Mazhab Maliki

Dalam mazhab maliki ada pendapat yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik. Namun pendapat ini bukanlah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab maliki. [17]

2. Mazhab Hambali

Mazhab hambali berpendapat bahwa tidak sah bermakmum kepada imam yang fasik secara mutlak. Baik itu kefasikannya berkaitan dengan i’tiqod (keyakinan) ataupun berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang Allah Ta’ala haramkan. Begitu pula jika kefasikannya dia tampakkan ataupun disembunyikannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ

Artinya : Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik ? mereka tidaklah sama. [18]

Dan juga Sabda Nabi S.A.W :

لا تؤمن امرأة رجلا، ولا يؤم أعرابي مهاجرا، ولا فاجر مؤمنا إلا أن يقهره بسلطان يخاف سيفه وسوطه

Seorang perempuan tidak boleh mengimami seorang lelaki, begitu pula seorang a’rabi (badui) mengimami seorang muhajir dan seorang yang fajir (fasik) mengimami seorang mukmin. Kecuali (seorang mukmin) dipaksa dengan kekuasaan (yang dimiliki oleh si fasik), dimana seorang mukmin tersebut takut akan ditebas oleh pedangnya dan dicambuk. [19]

Namun jika seorang mukmin bermakmum kepada imam yang fasik maka di haruskan untuk mengulang shalatnya Kecuali shalat jumat dikarenakan darurat ataupun udzur, dalam artian tidak ada lagi kesempatan untuk mencari imam selain si fasik tersebut. [20]

Penyebab perbedaan pandangan para ulama

Masalah ini adalah masalah ijtihadi dimana syariat tidak menjelaskannya secara gamblang dan pasti sehingga akhirnya para ulama berijtihad dengan menggunakan qiyas (analogi). Pengqiyasan yang mereka gunakan pun juga sangat kontradiktif (saling bertentangan antara satu dengan lainnya) dimana kelompok ulama yang menyatakan sahnya shalat dibelakang seorang yang yang fasik berhujjah bahwa yang dibutuhkan seorang makmum dari seorang imam hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan sahnya shalat. Sedangkan kelompok ulama yang menyatakan batalnya shalat di belakang imam yang fasik berargumen dengan menggunakan qiyas. Mereka mengqiyaskan imamah dalam shalat dengan persaksian di depan hakim. Mereka mennyatakan bahwa seorang yang fasik sangat memungkinkan untuk merusak shalatnya sebagaimana mereka berbohong ketika bersaksi di pengadilan. [21]

Wallahu A’lam Bishowab.

**footnote

[1] lisanul arab maddah fasaqa. Tafsir Ar rozi 2/147. Al faruq fil lughoh karya Abi Hilal Al Askary hal 257 cet. Darul Kutub Al Ilmiyah.

[2] Raddul Muhtar A’la Durril Mukhtar2/298 yang ditahqiq oleh Syekh A’dil Ahmad dan Ali Ahmad Mua’awad cet Daru A’lim Al Kutub Riyadh, hasyiyah Al Qalyubi Wa U’mairah a’la syarhi Al Mahalli 3/227 cet. Isa Halbi, Kasyful Qonna’ 1/475 Darul Fikr.

[3] majmu’ fatawa 7/637

[4] al jawazir a’n iqtiraaf al kabaair 1/52 cet darul ma’rifah

[5] Tafsir Fathul qadir 1/583 cet 1 darul ifham An nasyir ad duwali

[6] Fathul Bari 10/464 . Shohih Muslim 1/81

[7] Q.S. Al Maidah ayat 47

[8] minuman-minuman yang dibuat dari kurma, gandum, anggur dan lainnya yang diletakkan di bejana yang berisi air lihat lisanul arab 3/512.

[9] Badai’ Ash Shonai’ 6/2946 cet Al A’shimah. Al fatawa Al Hindiyah 5/413 cet. Darul fikr. Raddul Muhtar A’la Durril Mukhtar 10/34 yang ditahqiq oleh Syekh A’dil Ahmad dan Ali Ahmad Mua’awad cet Daru A’lim Al Kutub Riyadh. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hal 123, cet kedua. Dar Ibnu Hazm tahun 2006.

[10] Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hal 123, cet kedua. Dar Ibnu Hazm tahun 2006

[11] Raddul muhtar ala durril mukhtar 2/298 yang ditahqiq oleh Syekh A’dil Ahmad dan Ali Ahmad Mua’awad cet Daru A’lim Al Kutub Riyadh

[12] Raddul muhtar ala durril mukhtar 2/301 cet Daru A’lim Al Kutub Riyadh

[13] Jawahir Al Iklil syarhu mukhtashor Kholil 1/78 cet darul fikr. Fawakih ad dawani 1/239 cet. Mushtofa halbi.

[14] Hasyiyah Al Bujairimi Ala Al Khotib 2/120 cet. Mushthofa al halbi

[15] Shohih Muslim 1/465 cet. Al Halbi

[16] Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hal 123, cet kedua. Dar Ibnu Hazm tahun 2006

[17] Jawahir Al Iklil syarhu mukhtashor Kholil 1/78 cet darul fikr. Fawakih ad dawani 1/239 cet. Mushtofa halbi.

[18] Q.S. As Sajadah ayat 18

[19] Sunan Ibnu Majah 1/343 dari hadits Jabir Bin Abdullah. Hadits ini dhoif lihat kitab Misbahu Az Zujajah Fii Zawaid Ibni Majah 1/203 cet. Darul Jinan

[20] Syarhu Mumtahal Iradat 1/257 cet. Darul Fikr. Kasyful Qona’ 1/474 cet. Darul Fikr

[21] Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid hal 123, cet kedua. Dar Ibnu Hazm tahun 2006

Ulama dalam hal ini berbeda pendapat.
Namun, sebelum kita masuk kedalam pokok masalah, kita perlu tau apa itu fasiq dan siapa yang disebut orang yang fasiq.

Fasiq secara bahasa ialah keluar istiqomah (keteguhan), da secara syara' fasiq ialah keluar dari ta'at kepada Allah. Dan Jumhur (Kebanyakan) Ulama mengatakan bahwa orang yang disebut fasiq ialah orang yang melakukan dosa besar walaupun hanya sekali "atau" orang yang melakukan dosa kecil tapi berkali-kali.

Dalam masalah ini ada 3 pendapat ulama. Berikut penjelasannya :

Kelompok (ulama) yang membolehkan. ini adalah pendapat ulama yang melihat bahwa kefasikan tidak membatalkan sholat, dan ma'mum tidak membutuhkan kesholihan imam dalam sholat melainkan ke-sah-an nya sholat saja. Dan perkara ini tidak dibahas oleh syariat (maskuut 'anhu) jadi imam fasiq boleh dan sah sholatnya. Mereka juga berdalil dengan hadits Nabi 'alaih as-sholatu wa-ssalam :

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا

"yang meng-imami suatu kaum ialah yang paling banyak hafalan qur'annya dan baik bacaannya, jika dalam bacaan qur'an mereka sama, maka yang paling tahu tentang sunnah, jika dalam sunnah mereka sama maka yang paling dahulu hijrah, jika hijrah mereka sama maka yang paling dahulu islamnya." (HR. Muslim)

Dalam hadits ini tidak dikecualikan orang yang fasiq atau tidak fasiq.

Dan jumhur ulama dalam kelompok ini, mereka membolehkan tapi memakruhkan. Mereka berdalil dengan hadits Nabi 'alaih as-sholatu wa-ssalam:

الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَاجِبَةٌ خَلْفَ كُلِّ مُسْلِمٍ بَرًّا كَانَ أَوْ فَاجِرًا وَإِنْ عَمِلَ الْكَبَائِرَ

" sholat maktubah (5 waktu) itu wajib (bagi setiap muslim) di belakang muslim yang baik atau yang fasiq walaupun ia melakukan dosa besar." (HR. Abu daud)

2. Kelompok ulama yang menolaknya. Mereka mengkiyaskan imamah dengan syahadat; orang fasiq ketika bersyahadat, tertuduh bahwa ada kebohongan dalam syahadatnya, maka begitupun sholatnya. Bahwa ada cela dalam sholatnya yang membatalkan sholat.

3. Kelompok ulama yang membedakan antara orang fasik yang kefasikannya di akui/sepakati (maqtu'un bihi) dan orang fasiq yang kefasikannya tidak diakui (ghoir maqtu'un bihi). Jika sholat dibelakang orang fasiq maqtu'un bihi maka sholat makmum harus di ulang, tapi jika sholat dibelakang orang fasiq ghoir maqtu'un bihi maka sholat makmum tidak harus diulang.

Dari ketiga pendapat tersebut, penulis condong ke pendapat pertama yaitu boleh imam fasiq namun makruh. Artinya kalo ada yang lebih baik dari orang fasiq untuk jadi imam maka ia lebih utama, tapi jika tidak ada orang yang memenuhi syarat untuk jadi imam sholat dan hanya orang fasiq itu saja yang memenuhi syarat tersebut, maka tidak jadi masalah.

Pun tidak ada dalil baik dari alqur'an atau pun sunnah Nabi yang melarang seorang fasiq menjadi imam sholat. Dalil-dali yang disampaikan kelompok pertama pun jelas dan shohih. Juga para shohabatradhiyallahu 'anhu diantaranya Ibnu 'umar pernah sholat dibelakang Hajjaj bin yusuf ats-tsaqofy seorang pemimpim fasiq pada masa itu. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar