Hukum Wanita Menghadiri Shalat Ied Berdasarkan Pandangan Hadis dan Pendapat Ulama
Shalat ied merupakan salah satu bentuk ibadah yang hukumnya sunnah muakkad atau sangat dianjurkan.
Dalam agama islam sendiri shalat ied dilaksakana sebanyak dua kali dalam satu tahun, yakni ketika tiba perayaan idul fitri dan yang sebentar lagi akan kita peringati adalah saat perayaan idu adha atau hari raya kurban sebagaiaman bentuk kasih sayang Allah kepada HambaNya. Tentunya dalam pelaksanaannya tendapat rukun dan syarat syarat serta juga keutamaan shalat idul fitri mengenai ibadah ini sebagaimana cara berpakaian wanita muslimah , cara berpakaian pria menurut islam dan keluarga bahagia menurut islam.
Namun, muncul sebuah pertanyaan bagaimanakan pelaksanaan shalat ied bagi kaum wanita muslim sebagaimana shalat tarawih bagi wanita , sebab dalam anjurannya Rasulullah pernah menyatakan bahwa seorang wanita lebih utama shalat di rumah ketimbang di luar rumah (masjid).
Hukum Wanita Menghadiri Shalat Ied.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : خَيْرُمَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.”
(HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
“Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat pengertian hadits ini dalam ‘Aun Al-Ma’bud, 2: 225).
Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى
“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku.
Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.)
(HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ulama besar dari ‘Unaizah, Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih rahimahullah ditanya mengenai manakah yang lebih afdhol bagi wanita, pergi keluar untuk shalat ‘ied ataukah tetap di rumah?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Yang lebih afdhol adalah para wanita ikut keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan para wanita untuk keluar melaksanakan shalat ‘ied, sampai-sampai yang diperintahkan adalah para gadis dan wanita yang sedang dipingit (padahal kebiasaan wanita semacam ini tidak keluar rumah). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita tadi untuk keluar kecuali wanita haidh. Wanita haidh memang diperintahkan keluar (menuju lapangan), namun mereka diperintahkan menjauhi tempat shalat. Jadi tetap wanita haidh keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied. Akan tetapi mereka tidak berada di tempat shalat. Karena lapangan tersebut menjadi masjid (kala itu). Sedangkan masjid (tempat shalat) tidaklah boleh didiami oleh wanita haidh. Boleh saja mereka sekedar melewati tempat tersebut, misalnya, atau mungkin ada keperluan kala itu. Tetapi mereka tidak boleh berdiam lama di tempat tersebut. Oleh karena itu, kami katakan bahwa para wanita ketika shalat ‘ied diperintahkan untuk keluar dan bisa sama-sama menjalankan shalat bersama kaum pria. Seperti ini, para wanita akan mendapatkan kebaikan, bisa berdzikir dan berdo’a kala itu.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan pula, “Kami berpendapat bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar melaksanakah shalat ‘ied. Mereka hendaknya menghadirinya agar memperoleh kebaikan yang amat banyak. Para wanita boleh bersama kaum muslimin lainnya dalam melaksanakan shalat ‘ied dan hendaklah mereka memenuhi panggilan tersebut.
Namun dengan catatan, sudah sepatutnya mereka dalam keadaan yang baik, tanpa mesti tabarruj (menampakkan perhiasan dirinya), juga tanpa menggunakan harum-haruman. Hendaklah mereka menjalankan sunnah (untuk keluar ke lapangan), dengan tetap menjaga diri agar jangan sampai menimbulkan fithah (menggoda yang lainnya).”
Keterangan, dari kitab:
Fatawa al-Imam al-Nawawi
مَسْأَلَةٌ هَلْ تُسْتَحَبُّ لِلنِّسَآءِ صَلاَةُ الْعِيْدِ جَمَاعَةً فِيْ بُيُوْتِهِنَّ وَتُؤَمِّهُنَّ إِحْدَاهُنَّ أَوْ مَحْرَمٌ أَوْ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ (الْجَوَابُ) نَعَمْ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ وَيُسْتَحَبُّ حَثُّهُنَّ عَلَيْهِ .
Pertanyaan, apakah disunatkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat hari raya secara berjamaah di rumah mereka dan salah seorang dari mereka menjadi imam, atau mahramnya atau anak kecil yang sudah pandai? Jawaban, ya demikian itu disunatkan, dan disunatkan mendorong wanita untuk melaksanakannya.
Al-Minhaj al-Qawim
وَيُسَنُّ خُرُوْجُ الْعَجُوْزِ لِصَلَوَاتِ الْعِيْدِ وَالْجَمَاعَاتِ بِبَذْلَةٍ أَيْ فِيْ ثِيَابِ مِهْنَتِهَا وَشُغْلِهَا بِلاَ طِيْبٍ وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَيُكْرَهُ بِالطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ كَمَا يُكْرَهُ الْحُضُوْرُ لِذَوَاتِ الْهَيْآتِ .
Disunatkan bagi wanita yang sudah tua untuk keluar melaksanakan shalat hari raya secara berjamaah dengan mengenakan pakaian kerja kesehariannya tanpa memakai parfum dan membersihkan tubuhnya dengan air. Dimakruhkan mempergunakan parfum dan make up sebagaimana dimakruhkan bagi wanita muda yang cantik untuk menghadirinya.
Fath al-Wahhab dan al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid
أَمَّا النِّسَآءُ فَيُكْرَهُ لِذَوَاتِ الْهَيْآتِ الْحُضُوْرُ فَيُسَنُّ لِغَيْرِهِنَّ وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَلاَيَتَطَيَّبْنَ وَيَخْرُجْنَ فِيْ ثِيَابِ بَذْلَتِهِنَّ وَتَخْرُجُ الْعَجُوْزُ وَالشَّابَةُ غَيْرُ الْجَمِيْلَةِ إِذَا لَمْ تَتَزَيَّنَا بَرْمَاوِي فَالْمُرَادُ بِذَوَاتِ الْهَيْئَةِ بَدَنًا وَمَلْبَسًا.
Adapun wanita, maka makruh menghadiri jamaah shalat Id bagi mereka yang cantik. Maka bagi selain mereka, disunatkan menghadirinya, dan membersihkan tubuhnya dengan air, tidak memakai parfum dan keluar dengan pakaian kesehariannya. Wanita yang sudah tua dan gadis yang tidak cantik boleh menghadiri jamaah shalat Id jika tidak berhias. Begitu menurut al-Barmawi. Maka yang dimaksud dengan dzawat al-hay’ah (cantik) adalah cantik tubuh dan busananya.
Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq
وَقَوْلُهُ r انْهَوْا نِسَآئَكُمْ عَنْ لُبْسِ الزِّيْنَةِ وَالتَّبَخْتُرِ فِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَآئِيْلَ لَمْ يُلْعَنُوْا حَتَّى لَبِسَتْ نِسَآئُهُمْ الزِّيْنَةَ وَالتَّبَخْتُرَ فِي الْمَسْجِدِ. قَالَ فِي الزَّوَاجِرِ: وَهُوَ مِنَ الْكَبَآئِرِ لِصَرِيْحَ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ. وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعِدَنَا عَلَى مَا إِذَا تَحَقَّقَّتْ الْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَإِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. وَعُدَّ مِنَ الْكَبَآئِرِ أَيْضًا خُرُوْجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِ زَوْجِهَا وَرِضَاهُ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ شَرْعِيَّةٍ.
Rasulullah Saw. bersabda: “Laranglah wanita kalian memakai perhiasan dan berlagak genit di mesjid. Sesungguhnya Bani Israil tidak dilaknat sampai wanita-wanita mereka memakai perhiasan dan bergenit ria di mesjid.” Dalam al-Zawajir Ibn Hajar al-Haitami berkata: ”Bahwa sesuai kejelasan hadits-hadits ini, perbuatan semacam itu termasuk dosa besar. Dan hal ini, semestinya dipahami jika nyata-nyata menimbulkan fitnah.
Sedangkan sekedar kekhawatiran adanya fitnah maka hukumnya makruh, dan bila besertaan dugaan kuat adanya fitnah maka haram yang tidak termasuk dosa besar, sebagaimana cukup jelas. Termasuk dosa besar juga, adalah keluarnya wanita tanpa izin dan persetujuan suaminya untuk keperluan yang tidak mendesak secara syar’i.
Hasyiyah al-Syirwani
(قَوْلُهُ بِقَدْرِ مَا يُسْمَعْنَ إلخ) أَيْ وَلَمْ تَقْصُدْ اْلأَذَانَ الشَّرْعِيَّ. فَإِنْ رَفَعَتْ فَوْقَ ذَلِكَ أَوْ أَرَادَتْ اْلأَذَانَ الشَّرْعِيَّ حَرُمَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ أَجْنَبِيٌّ. نَعَمْ إِنْ قَصَدَتْ مَعَ عَدَمِ رَفْعِ صَوْتِهَا التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ حَرُمَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. وَكَذَا إِنْ قَصَدَتْ حَقِيْقَةَ اْلأَذَانِ فِيْمَا يَظْهَرُ لِقَصْدِهَا عِبَادَةً فَاسِدَةً وَمَا يَتَضَمَّنُ التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ .
(Yang diperbolehkan) hanya sekedar bisa didengar sesama jamaah wanita, dan tidak bermaksud untuk mengumandangkan azan syar’i. Jika seorang wanita mengeraskan suaranya lebih dari itu, atau bermaksud mengumandangkan azan syar’i, maka hukumnya haram walaupun di sana tidak ada laki-laki lain (bukan mahram). Memang begitu, jika ia bermaksud menyerupai laki-laki walaupun tanpa mengeraskan suara, sebagaimana cukup jelas. Begitu pula bila ia bermaksud mengumandangkan adzan, menurut pendapat yang cukup kuat, karena maksudnya melakukan ibadah fasidah (rusak) dan unsur tasyabuh (menyerupai) laki-laki yang ada.
Hasyiyah al-Bajuri
(قَوْلُهُ خُطْبَتَيْنِ) كَخُطْبَتَيِ الْجُمْعَةِ فِي اْلأَرْكَانِ لاَ فِي الشُّرُوْطِ فَإِنَّهَا لاَتُشْتَرَطُ هُنَا بَلْ تُسْتَحَبُّ اْلإِسْمَاعُ وَالسَّمَاعُ وَكَوْنُ الْخُطْبَةِ عَرَبِيَّةً وَكَوْنُ الْخَطِيْبِ ذَكَرًا .
(Dua khotbah) seperti khotbah Jum’at dalam rukun-rukunnya dan bukan dalam syarat-syaratnya, karena syarat-syaratnya tidak disyaratkan di sini. Namun, disunatkan memperdengarkan dan mendengarkan khotbah, adanya khotbah dengan bahasa arab dan si khotib laki-laki.
Alauddin Ibn al-Authar, Fatawa al-Imam al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1402 H/1983 M), h. 43.
Ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim pada al-Hawasyi al-Madaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1366 H), Jilid II, h. 57.
Zakaria al-Anshari dan Muhammad Sulaiman al-Bujairimi, Fath al-Wahhab dan al-Tajrid li Naf’i al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1369 H/1950 M), Jilid I, h. 427.
Muhammad Babashil, Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah t. th.), Juz II, h. 136.
Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani (Mesir: Dar al-Shadir, t. th.), Jilid I, h. 467.
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1340 H/1922 M), Jilid I, h. 235.
Itulah tadi, Hukum wanita menghadiri shalat ied berdasarkan pandangan hadist dan pendapat ulama.
Semoga dapat memberikan tambahan pengetahuan dan referensi bagi anda sebagaimana keutamaan shalat tarawih berjamaah , shalat tahajud, shalat subuh, shalat lailatul qadar dan keutamaan shalat witir , serta semoga artikel ini dapat bermanfaat.Aamiin.