Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 26 Juni 2023

HUKUM WANITA MENGHADIRI SHALAT IED

Hukum Wanita Menghadiri Shalat Ied Berdasarkan Pandangan Hadis dan Pendapat Ulama

Shalat ied merupakan salah satu bentuk ibadah yang hukumnya sunnah muakkad atau sangat dianjurkan.
Dalam agama islam sendiri shalat ied dilaksakana sebanyak dua kali dalam satu tahun, yakni ketika tiba perayaan idul fitri dan yang sebentar lagi akan kita peringati adalah saat perayaan idu adha atau hari raya kurban sebagaiaman bentuk kasih sayang Allah kepada HambaNya. Tentunya dalam pelaksanaannya tendapat rukun dan syarat syarat serta juga keutamaan shalat idul fitri mengenai ibadah ini sebagaimana cara berpakaian wanita muslimah , cara berpakaian pria menurut islam dan keluarga bahagia menurut islam.
Namun, muncul sebuah pertanyaan bagaimanakan pelaksanaan shalat ied bagi kaum wanita muslim sebagaimana shalat tarawih bagi wanita , sebab dalam anjurannya Rasulullah pernah menyatakan bahwa seorang wanita lebih utama shalat di rumah ketimbang di luar rumah (masjid).
 
Hukum Wanita Menghadiri Shalat Ied.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :                                                                           خَيْرُمَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.”
(HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,                                                          صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

“Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat pengertian hadits ini dalam ‘Aun Al-Ma’bud, 2: 225).

Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku.
Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) 
(HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ulama besar dari ‘Unaizah, Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih rahimahullah ditanya mengenai manakah yang lebih afdhol bagi wanita, pergi keluar untuk shalat ‘ied ataukah tetap di rumah?

Syaikh rahimahullah menjawab, “Yang lebih afdhol adalah para wanita ikut keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memerintahkan para wanita untuk keluar melaksanakan shalat ‘ied, sampai-sampai yang diperintahkan adalah para gadis dan wanita yang sedang dipingit (padahal kebiasaan wanita semacam ini tidak keluar rumah). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita tadi untuk keluar kecuali wanita haidh. Wanita haidh memang diperintahkan keluar (menuju lapangan), namun mereka diperintahkan menjauhi tempat shalat. Jadi tetap wanita haidh keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied. Akan tetapi mereka tidak berada di tempat shalat. Karena lapangan tersebut menjadi masjid (kala itu). Sedangkan masjid (tempat shalat) tidaklah boleh didiami oleh wanita haidh. Boleh saja mereka sekedar melewati tempat tersebut, misalnya, atau mungkin ada keperluan kala itu. Tetapi mereka tidak boleh berdiam lama di tempat tersebut. Oleh karena itu, kami katakan bahwa para wanita ketika shalat ‘ied diperintahkan untuk keluar dan bisa sama-sama menjalankan shalat bersama kaum pria. Seperti ini, para wanita akan mendapatkan kebaikan, bisa berdzikir dan berdo’a kala itu.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan pula, “Kami berpendapat bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar melaksanakah shalat ‘ied. Mereka hendaknya menghadirinya agar memperoleh kebaikan yang amat banyak. Para wanita boleh bersama kaum muslimin lainnya dalam melaksanakan shalat ‘ied dan hendaklah mereka memenuhi panggilan tersebut.
Namun dengan catatan, sudah sepatutnya mereka dalam keadaan yang baik, tanpa mesti tabarruj (menampakkan perhiasan dirinya), juga tanpa menggunakan harum-haruman. Hendaklah mereka menjalankan sunnah (untuk keluar ke lapangan), dengan tetap menjaga diri agar jangan sampai menimbulkan fithah (menggoda yang lainnya).”

Keterangan, dari kitab:

Fatawa al-Imam al-Nawawi

مَسْأَلَةٌ هَلْ تُسْتَحَبُّ لِلنِّسَآءِ صَلاَةُ الْعِيْدِ جَمَاعَةً فِيْ بُيُوْتِهِنَّ وَتُؤَمِّهُنَّ إِحْدَاهُنَّ أَوْ مَحْرَمٌ أَوْ صَبِيٌّ مُمَيِّزٌ (الْجَوَابُ) نَعَمْ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ وَيُسْتَحَبُّ حَثُّهُنَّ عَلَيْهِ .

Pertanyaan, apakah disunatkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat hari raya secara berjamaah di rumah mereka dan salah seorang dari mereka menjadi imam, atau mahramnya atau anak kecil yang sudah pandai? Jawaban, ya demikian itu disunatkan, dan disunatkan mendorong wanita untuk melaksanakannya.

Al-Minhaj al-Qawim 

وَيُسَنُّ خُرُوْجُ الْعَجُوْزِ لِصَلَوَاتِ الْعِيْدِ وَالْجَمَاعَاتِ بِبَذْلَةٍ أَيْ فِيْ ثِيَابِ مِهْنَتِهَا وَشُغْلِهَا بِلاَ طِيْبٍ وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَيُكْرَهُ بِالطِّيْبِ وَالزِّيْنَةِ كَمَا يُكْرَهُ الْحُضُوْرُ لِذَوَاتِ الْهَيْآتِ .

Disunatkan bagi wanita yang sudah tua untuk keluar melaksanakan shalat hari raya secara berjamaah dengan mengenakan pakaian kerja kesehariannya tanpa memakai parfum dan membersihkan tubuhnya dengan air. Dimakruhkan mempergunakan parfum dan make up sebagaimana dimakruhkan bagi wanita muda yang cantik untuk menghadirinya.

Fath al-Wahhab dan al-Tajrid li Naf’ al-‘Abid 

أَمَّا النِّسَآءُ فَيُكْرَهُ لِذَوَاتِ الْهَيْآتِ الْحُضُوْرُ فَيُسَنُّ لِغَيْرِهِنَّ وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَلاَيَتَطَيَّبْنَ وَيَخْرُجْنَ فِيْ ثِيَابِ بَذْلَتِهِنَّ وَتَخْرُجُ الْعَجُوْزُ وَالشَّابَةُ غَيْرُ الْجَمِيْلَةِ إِذَا لَمْ تَتَزَيَّنَا بَرْمَاوِي فَالْمُرَادُ بِذَوَاتِ الْهَيْئَةِ بَدَنًا وَمَلْبَسًا.

Adapun wanita, maka makruh menghadiri jamaah shalat Id bagi mereka yang cantik. Maka bagi selain mereka, disunatkan menghadirinya, dan membersihkan tubuhnya dengan air, tidak memakai parfum dan keluar dengan pakaian kesehariannya. Wanita yang sudah tua dan gadis yang tidak cantik boleh menghadiri jamaah shalat Id jika tidak berhias. Begitu menurut al-Barmawi. Maka yang dimaksud dengan dzawat al-hay’ah (cantik) adalah cantik tubuh dan busananya.

Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq 

وَقَوْلُهُ r انْهَوْا نِسَآئَكُمْ عَنْ لُبْسِ الزِّيْنَةِ وَالتَّبَخْتُرِ فِي الْمَسْجِدِ فَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَآئِيْلَ لَمْ يُلْعَنُوْا حَتَّى لَبِسَتْ نِسَآئُهُمْ الزِّيْنَةَ وَالتَّبَخْتُرَ فِي الْمَسْجِدِ. قَالَ فِي الزَّوَاجِرِ: وَهُوَ مِنَ الْكَبَآئِرِ لِصَرِيْحَ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ. وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعِدَنَا عَلَى مَا إِذَا تَحَقَّقَّتْ الْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَإِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. وَعُدَّ مِنَ الْكَبَآئِرِ أَيْضًا خُرُوْجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِ زَوْجِهَا وَرِضَاهُ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ شَرْعِيَّةٍ.

Rasulullah Saw. bersabda: “Laranglah wanita kalian memakai perhiasan dan berlagak genit di mesjid. Sesungguhnya Bani Israil tidak dilaknat sampai wanita-wanita mereka memakai perhiasan dan bergenit ria di mesjid.” Dalam al-Zawajir Ibn Hajar al-Haitami berkata: ”Bahwa sesuai kejelasan  hadits-hadits ini, perbuatan semacam itu termasuk dosa besar. Dan hal ini, semestinya dipahami jika nyata-nyata menimbulkan fitnah.
Sedangkan sekedar kekhawatiran adanya fitnah maka hukumnya makruh, dan bila besertaan dugaan kuat adanya fitnah maka haram yang tidak termasuk dosa besar, sebagaimana cukup jelas. Termasuk dosa besar juga, adalah keluarnya wanita tanpa izin dan persetujuan suaminya untuk keperluan yang tidak mendesak secara syar’i.

Hasyiyah al-Syirwani

(قَوْلُهُ بِقَدْرِ مَا يُسْمَعْنَ إلخ) أَيْ وَلَمْ تَقْصُدْ اْلأَذَانَ الشَّرْعِيَّ. فَإِنْ رَفَعَتْ فَوْقَ ذَلِكَ أَوْ أَرَادَتْ اْلأَذَانَ الشَّرْعِيَّ حَرُمَ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ثَمَّ أَجْنَبِيٌّ. نَعَمْ إِنْ قَصَدَتْ مَعَ عَدَمِ رَفْعِ صَوْتِهَا التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ حَرُمَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. وَكَذَا إِنْ قَصَدَتْ حَقِيْقَةَ اْلأَذَانِ فِيْمَا يَظْهَرُ لِقَصْدِهَا عِبَادَةً فَاسِدَةً وَمَا يَتَضَمَّنُ التَّشَبُّهَ بِالرِّجَالِ .

(Yang diperbolehkan) hanya sekedar bisa didengar sesama jamaah wanita, dan tidak bermaksud untuk mengumandangkan azan syar’i. Jika seorang wanita mengeraskan suaranya lebih dari itu, atau bermaksud mengumandangkan azan syar’i, maka hukumnya haram walaupun di sana tidak ada laki-laki lain (bukan mahram). Memang begitu, jika ia bermaksud menyerupai laki-laki walaupun tanpa mengeraskan suara, sebagaimana cukup jelas. Begitu pula bila ia bermaksud mengumandangkan adzan, menurut pendapat yang cukup kuat, karena maksudnya melakukan ibadah fasidah (rusak) dan unsur tasyabuh (menyerupai) laki-laki yang ada.

Hasyiyah al-Bajuri 
                                                                       (قَوْلُهُ خُطْبَتَيْنِ) كَخُطْبَتَيِ الْجُمْعَةِ فِي اْلأَرْكَانِ لاَ فِي الشُّرُوْطِ فَإِنَّهَا لاَتُشْتَرَطُ هُنَا بَلْ تُسْتَحَبُّ اْلإِسْمَاعُ وَالسَّمَاعُ وَكَوْنُ الْخُطْبَةِ عَرَبِيَّةً وَكَوْنُ الْخَطِيْبِ ذَكَرًا .

(Dua khotbah) seperti khotbah Jum’at dalam rukun-rukunnya dan bukan dalam syarat-syaratnya, karena syarat-syaratnya tidak disyaratkan di sini. Namun, disunatkan memperdengarkan dan mendengarkan khotbah, adanya khotbah dengan bahasa arab dan si khotib laki-laki.

 Alauddin Ibn al-Authar, Fatawa al-Imam al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1402 H/1983 M), h. 43.

 Ibn Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim pada al-Hawasyi al-Madaniyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1366 H), Jilid II, h. 57.

Zakaria al-Anshari dan Muhammad Sulaiman al-Bujairimi, Fath al-Wahhab dan al-Tajrid li Naf’i al-‘Abid, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1369 H/1950 M), Jilid I, h. 427.

 Muhammad Babashil, Is’ad al-Rafiq ‘ala Sullam al-Taufiq, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah t. th.), Juz II, h. 136.

Abdul Hamid al-Syirwani, Hasyiyah al-Syirwani (Mesir: Dar al-Shadir, t. th.), Jilid I, h. 467.

 Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1340 H/1922 M), Jilid I, h. 235.

Itulah tadi, Hukum wanita menghadiri shalat ied berdasarkan pandangan hadist dan pendapat ulama.
Semoga dapat memberikan tambahan pengetahuan dan referensi bagi anda sebagaimana keutamaan shalat tarawih berjamaah , shalat tahajud, shalat subuh, shalat lailatul qadar dan keutamaan shalat witir , serta semoga artikel ini dapat bermanfaat.Aamiin.

SHALAT IED DUA KALI

Bagaimana Hukum Shalat Idul Adha 2 kali?

Bagaimana hukum shalat Idul Adha 2 kali? Apakah boleh dalam fikih Islam atau tidak? Kerap kali lebaran diwarnai dengan adanya perbedaan. Selalu saja ada yang lebih dulu merayakan lebaran. Hingga mereka sholat Ied terlebih dahulu.

Lebih jauh lagi, terkadang imam shalat Ied-nya pun mengimami lagi di suatu daerah yang mana hasil ru’yah atau hisab mereka berbeda. Bagaimana hukum shalat Idul Adha 2 kali dalam pandangan fikih Islam?

Hukum Shalat Idul Adha 2 Kali
Kasus ini, dalam fikih biasanya disebut dengan shalat i’adah. Yang masyhur ialah sunnah untuk mengulangi sholat fardhunya, namun kesunnahannya hilang ketika waktu shalat tersebut  telah selesai.

Sedang dalam konteks shalat Idul Adha, boleh dilakukan 2 kali. Hanya saja, konsep I’adah keduanya berbeda. Berikut regulasinya menurut Syekh Sulaiman al-Kurdi;

قوله: (إعادة الفر ض) أي: باثني عشر شرطا، أحدها أن تكون فرضا تطلق فيه الجماعة أو نفلا كذلك، ثانيها أن تكون الصلاة التي يريد إعادتها مؤداة فلا تعاد المقضية، ثالثها أن تكون المعادة مؤداة بأن تدرك ركعة منها في الوقت إلا العيد، رابعها: أن لا تكون صلاة خوف أو شدة، خامسها: أن لا تكون وترا على ما نقله الشوبري في حواشي شرح ” المنهج” عن (م ر)، وصرح الشارح في “التحفة” بخلافه وعليه يسقط هذا الشرح من العدد،

سادسها: أن تكون الجماعة الثانية غير الأولى لكن في الكسوف خاصة، سابعها: أن لا تكون صلاة جنازة ومع ذلك إذا أعادها صحت وقعت نفلا على خلاف القياس، ثامنها: أن تكون الإعادة مرة واحدة فقط إلا صلاة الاستسقاء فتطلب إعادتها أكثر من مرة إلى أن يسقيهم الله من فضله، تاسعها: أن يكون المعيد ممن يجوز تنفله لا نحو فاقد الطهورين،

عاشرها: أن يعتقد المعاد معه جواز الإعادة، حادي عشرها: أن توقع المعادة جماعة، وقد ينتفي اشتراطه كما إذا وقع في صحة الأولى خلاف ثاني عشرها أن تكون الجماعة المعادة مما يدرك بها فضيلة الجماعة.

Mengulangi shalat fardhu ada syaratnya, yaitu 12 persyaratan yang harus terpenuhi. Antara lain sebagai berikut;

Shalat yang hendak diulangi ini merupakan shalat yang dikerjakan berjamaah, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
Shalat yang hendak diulangi, diharuskan masih berada di waktu shalat tersebut. Jika telah lewat, maka tidak bisa.
Yang dimaksud dengan shalat i’adah tersebut masih berada di waktunya adalah minimal satu rokaat dari shalat yang diulangi itu masih belum keluar dari waktu sholat. Hanya saja, ini dikecualikan untuk shalat Ied (Yakni boleh diulangi, meski sudah keluar waktu).
Shalat yang hendak diulangi bukan merupakan shalat khauf
Juga bukan shalat witir, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Syaubari dalam Hawasyi Syarah al-Minhaj dari Imam Syamsuddin Al-Ramli. Hanya saja komentator dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, berseberangan dengannya.
Shalat yang hendak diulangi harus tidak boleh dilaksanakan secara berjamaah di shalat yang pertama, yakni yang berjamaah diharuskan pada shalat yang kedua.
Shalat yang hendak diulangi bukanlah shalat jenazah, hanya saja jika ia mengulanginya, niscaya shalatnya menjadi shalat sunnah seketika.
Shalat yang hendak diulangi hanya dilakukan satu kali saja, kecuali shalat istisqa’ (meminta hujan). Sebab shalat ini justru dianjurkan untuk memperbanyak, sampai Allah menurunkan hujan.
Orang yang hendak mengulangi shalat diharuskan ia yang boleh melaksanakan shalat sunnah, maka orang yang faqid al-tahurain (tidak suci) tidak bisa mengulangi shalatnya.
Ia yang hendak mengulangi shalat diharuskan berkeyakinan bahwa memang ia diperbolehkan untuk mengulangi sholatnya.
Shalat yang kedua kalinya, yakni i’adah, dilakukan dengan berjamaah.
Jamaah yang dimaksudkan ialah shalat bersama yang mendapat fadilah jamaah (sebab terkadang ada orang yang berjamaah, namun ia tidak mendapatkan fadilahnya. Contohnya yaitu ia sholat di saf belakang, padahal di depan masih kosong. (Al-Hawasyi al-Madaniah ala Syarh al-Muqaddimah al-Hadramiah, Juz 2 hal. 12)
Dari ibarot tersebut, kita menemukan bahwa shalat Ied –termasuk Idul Adha-, bisa dilakukan dua kali, bahkan meski telah keluar waktu. Sehingga kasus yang ada, hukumnya sah-sah saja.

Regulasi ini pun disyairkan oleh Syekh Abdul Wahhab al-Thandata’i al-Misri, agar bis dihafalkan. Syekh Abi Bakar Syatha’ menuliskannya dalam I’anah al-Thalibin fi Hall alfadz Fath al-Mu’in  Juz 2 hal. 10. Berikut redaksinya;

شرط المعادة أن تكون جماعة * * في وقتها والشخص أهل تنفل

مع صحة الاولى وقصد فريضة * * تنوي بها صفة المعاد الاول

فضل الجماعة سادس وغيره * * قيل ونفلا مثل فرض فاجعل

كالعيد، لا نحو الكسوف فلا تعد * * وجنازة لو كررت لم تهمل

ومع المعادة إن يعد بعدية * * تقبل ولا وتر إن صح فعول

ومتى رأيت الخلف بين أئمة * * في صحة الاولى أعد بتجمل

لو كنت فردا بعد وقت أدائها * * فاتبع فقيها في صلاتك تعدل

Demikianlah penjelasan bagaimana hukum mengenai shalat Idul Adha 2 kali. Namun jika masih ada orang lain yang bisa mengimami, seyogyanya ia saja yang menjadi Imam, agar tidak menjadi fitnah.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.

----------------------------

Shalat Jamaah Dua Kali
Muhammad Abduh Tuasikal,

Bagaimana hukum jamaah kedua? Bolehkah mengulangi shalat berjamaah untuk kedua kalinya?....

Boleh Mendirikan Jamaah Kedua
Masjid itu ada dua model:

Pertama, masjid yang tidak memiliki imam tetap seperti masjid di pasar dan tempat lalu lalangnya manusia.
Maka di sini diperbolehkan berulangnya shalat jama’ah berdasarkan kesepakatan para ulama, dan hal ini tidak dinilai makruh.

Kedua, ada masjid yang memiliki imam tetap.
Maka di sinilah terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama tentang berulangnya jama’ah dalam satu masjid diperbolehkan atau tidak.
(Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:561)

Masih dibolehkan jamaah kedua untuk masjid yang memiliki imam tetap berdasarkan alasan dalil-dalil berikut ini.

Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang yang datang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalat, lalu beliau mengatakan kepada para sahabat,

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّىَ مَعَهُ

“Siapakah yang mau bersedekah untuk orang ini, yaitu melaksanakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Daud, no. 574; Tirmidzi, no. 220. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

Dari hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّ صَلاَةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

“Shalat seseorang bersama lainnya lebih baik daripada shalatnya sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang lebih baik daripada shalatnya bersama satu orang. Jika jama’ahnya makin banyak, itu lebih disukai.” (HR. Abu Daud, no. 554. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Dari Abu ‘Utsman, beliau berkata, “Anas bin Malik pernah mendatangi masjid Bani Tsa’labah. Lalu Anas mengatakan, “Apakah kalian sudah shalat?” Kami pun mengatakan, “Iya, kami sudah shalat.” Anas pun mengatakan, “Kumandangkanlah azan.” Azan pun dikumandangkan, kemudian Anas melaksanakan shalat  secara berjama’ah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1:331; ‘Abdur Razaq, 3417; Ibnul Mundzir, 4:215; sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:562.)

Dari Salamah bin Kuhail, beliau mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah memasuki masjid dan shalat jama’ah telah selesai dilaksanakan. Kemudian Ibnu Mas’ud melakukan shalat secara berjama’ah bersama ‘Alqamah, Al Aswad dan Masruq. (HR. Ibnu Abi Syaibah, 2:323; Ibnul Mundzir, 4:216; dan memiliki penguat dari ‘Abdur Razaq, 2884; sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1:562)

Syaikh Abu Malik hafizahullah mengatakan, “Tidak diketahui pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat Anas dan Ibnu Mas’ud ini. Jama’ah kedua tentu diperbolehkan karena shalat jama’ah tentu lebih utama dari shalat sendirian sebagaimana telah dijelaskan dahulu.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:562)

Mengikuti Jamaah Kedua Kalinya
Boleh mengikuti shalat jamaah untuk kedua kalinya, shalat yang kedua dihukumi sunnah. Contoh seorang suami boleh mengulang shalat jamaah bersama istrinya di rumah setelah melakukan shalat wajib di masjid.

Dari Yazid bin Al-Aswad, ia berkata,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ قَالَ عَلَيَّ بِهِمَا فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا قَالَ فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Aku pernah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid Al-Khaif. Ketika selesai shalat, ternyata ada dua orang laki-laki di belakang shaff yang tidak shalat bersama beliau. Beliau bersabda, ‘Bawalah dua orang laki-laki tersebut kepadaku.’ Dibawalah kedua laki-laki itu oleh para shahabat ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan gemetar sendi-sendinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat bersama kami?’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ‘Jangan kalian lakukan. Apabila kalian telah shalat di rumah-rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah kalian bersama mereka, karena shalat itu bagi kalian terhitung sebagai shalat sunnah.’” (HR. An-Nasa’i, no. 858. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)

Dari  Mihjan, ia berkata,

أَنَّهُ كَانَ فِى مَجْلِسٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَذَّنَ بِالصَّلاَةِ – فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ رَجَعَ وَمِحْجَنٌ فِى مَجْلِسِهِ – فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّىَ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ ». قَالَ بَلَى وَلَكِنِّى كُنْتُ قَدْ صَلَّيْتُ فِى أَهْلِى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ

Bahwa beliau pernah berada di majelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikumandangkan adzan untuk shalat. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu mengerjakan shalat, sedangkan Mihjan masih dudk di tempat semula. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ”Apa yang menghalangimu shalat, bukankah engkau adalah seorang muslim?” Lalu Mihjan mengatakan, ”Betul. Akan tetapi saya sudah melaksanakan shalat bersama keluargaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, ”Apabila engkau datang, shalatlah bersama orang-orang, walaupun engkau sudah shalat.” (HR. An-Nasa’i, no. 858 dan Ahmad, 4: 34. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

« كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا ». قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ « صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ »

“Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?” Abu Dzarr berkata, “Aku berkata “Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat sunnah.” (HR. Muslim, no. 648).

Ada riwayat tambahan,

وَلاَ تَقُلْ إِنِّى قَدْ صَلَّيْتُ فَلاَ أُصَلِّى

“Janganlah mengatakan, aku telah shalat, maka aku tak mau shalat lagi.” (HR. Muslim, no. 648).

Semoga bermanfaat.

Allahu A'lam....

HUKUM QODHO SHOLAT IED

HUKUM QODHO SHOLAT IED

JAWABAN :

Wa'alaikumsalam Wr Wb.
1. Pendapat yang SHAHIH pada Madzhab Syafi’i sunnah diqadha, lihat al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab V/29 :

(فرع)في مذاهب العلماء إذا فاتت صلاة العيد * قد ذكرنا ان الصحيح من مذهبنا انها يستحب قضاؤها ابدا وحكاه ابن المنذر عن مالك وابي ثور وحكى العبدرى عن مالك وابي حنيفة والمزني وداود انها لا تقضي وقال أبو يوسف ومحمد تقضى صلاة الفطر في اليوم الثاني والاضحى في الثاني والثالث وقال اصحاب ابي حنيفة مذهبه كمذهبهما وإذا صلاها من فاتته مع الامام في وقتها أو بعده صلاها ركعتين كصلاة الامام وبه قال أبو ثور وهو رواية عن احمد وعنه رواية يصليها أربعا بتسليمة وان شاء بتسليمتين وبه جزم الخرقي والثالثة مخير بين ركعتين واربع وهو مذهب الثوري وقال ابن مسعود يصليها اربعا وقال الاوزاعي ركعتين بلا جهر ولا تكبيرات زوائد وقال اسحق ان صلاها في المصلى فكصلاة الامام والااربعا

Pendapat-pendapat ulama diberbagai madzhab bila shalat i’ed telah terlewat.
Kami sebutkan bahwa yang shahih di madzhab Syafi’i sesungguhnya shalat ied tersebut sunnah diqadha ‘selamanya’.
Ibn Mundzir menhikayahkan pendapat dari Imam Malik dan Abu Tsaur, al-‘Abdari menhikayahkan pendapat dari Imam Malik, Abu Hanifah, al-Mazani dan Daud “Sesungguhnya shalat ied tersebut tidak dapat diqadha”. Abu Yusuf dan Muhammad menilai “Untuk shalat Ied Fitri diqadha dihari kedua sedang shalat Ied al-Adha diqadha dihari kedua dan ketiga”.

Pendapat yang berkembang pada para Pengikut-pengikut Abu Hanifah sebagaimana madzhab dua madzhab tersebut “Bila shalat Ied terlewatkan dikerjakan bersama Imam pada waktunya atau pada setelah waktunya maka jalanilah shalat dua rakaat shalat sebagaimana shalat Imam”, pendapat ini senada dengan Abu Tsaur dan juga salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad Bin Hanbal yang riwayat kedua dari pendapatnya sebagaimana yang dimantapi oleh Al-Kharraqy “Jalanilah shalat empat rakaat dengan sekali salam atau dua kali salam”, sedang riwayat yang ketiga dari Imam Ahmad yang merupakan madzhab dari at-Tsauri menyatakan “Baginya diperkenankan memilih dua atau empat rakaat”.

Ibn Mas’ud memilih “Kerjakanlah shalat empat rakaat”Al-Auzaa’i menyatakan “Dua rakaat dengan bacaan yang tidak keras dan tanpa takbir-takbir tambahan”Imam Ishaq berkata “Bila dikerjakan dimushalla maka sebagaimana shalat ied yang dikerjakan oleh imam (dua rakaat), namun bila tidak maka empat rakaat”. [al-Majmuu’ ala Syarh al-Muhadzdzab V/29].

- Nihayatul Muhtaj :

‎( وَلَا يُكَبِّرُ فِي قَضَاءِ صَلَاةِ الْعِيدِ ) ؛ لِأَنَّ التَّكْبِيرَ شِعَارٌ لِلْوَقْتِ وَقَدْ فَاتَ ذَكَرَهُ فِي الْكِفَايَةِ عَنْ الْعِجْلِيّ وَيُؤْخَذُ مِنْ تَعْلِيلِهِ أَنَّهُ يُكَبِّرُ فِي الْمَقْضِيَّةِ فِي الْوَقْتِ بَلْ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ يَقْتَضِي أَنَّهُ يُكَبِّرُ مُطْلَقًا فَيُخَالِفُ مَا ذُكِرَاسنى المطالب ج 4 ص 103
وَأَمَّا كَوْنُ آخِرِ وَقْتِهَا الزَّوَالَ فَمُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، لَكِنْ لَوْ وَقَعَتْ بَعْدَهُ حُسِبَتْ
( قَوْلُهُ : لَكِنْ لَوْ وَقَعَتْ بَعْدَهُ حُسِبَتْ ) أَيْ اُعْتُدَّ بِهَا وَكَانَتْ قَضَاءًنهاية المحتاج ج 7 ص 352

Adapun adanya akhir waktu bagi shalat 'ied pada saat zawal adalah sudah menjadi kesepakatan, namun jika shalat ied ternyata terjadi setelah zawal maka sudah dianggap. artinya sudah dihitung sebagai shalat ied dan shalat itu menjadi shalat 'ied yang qadha.

- I'anatut tholbin juz 1 hal 302 :

1. ويسن قضاؤها إن فاتت لانه يسن قضاء النفل المؤقت إن خرج وقته.

Dan disunnahkan mengqodlo' sholat ied jika waktunya udah lewat karena menqodlo' sholat sunnah yang punya waktu saat waktunya keluar / sudah lewat itu sunnah.
- Hawasyi assyarwani juz 9 hal 370 :
قوله ( وإن مات ) قال في العباب ويعق عمن مات بعد السابع وأمكن الذبح لا قبل السابع أو التمكن من الذبح قال الشارح في شرحه على ما اقتضاه كلام الروضة وأصلها واعتمده في الكفاية لكن المجزوم به في المجموع أنه يعق عنه وإن مات قبل السابع وقول الأذرعييبعد ندبها عمن مات عقب الولادة أو قبل السبع ولعل ما في المجموع سبق قلم من بعد إلى قبل اه ليس في محله إذ سبق القلم لا يقدم عليه بالترجي وإنما غاية الأمر أن في المسألة خلافا فأجري في الروضة على وجه منه وجرى عليه في المجموع هنا لكنه في آخر الباب جرى على مقابلة فقال لو مات المولود قبل السابع استحبت العقيقة عندنا خلافا للحسن ومالك فقوله عندنا في مقابلة هذين الإمامين صريح في أن هذا هو المذهب انتهى اه سم عبارة المغني والأسنى والنهاية ويسن أن يعق عمن مات قبل السابع وبعد التمكن من الذبح.
الله اعلم بالصواب...

SHALAT IED SENDIRI

Hukum Shalat Id di Rumah

Orang yang tidak bisa menghadiri shalat Id berjama’ah di lapangan karena suatu udzur atau orang yang terlewat darinya, disunnahkan untuk melaksanakannya di rumah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, yaitu pendapat madzhab Syafi’i, Hambali dan Maliki. 

Dalilnya sebagaimana disebutkan Imam Al Bukhari dalam Shahih Al Bukhari:

باب: إذا فاتته صلاة العيد يصلي ركعتين، وكذلك النساء ومن كان في البيوت والقرى لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “هذا عيدنا أهل الإسلام”، وأمر أنس بن مالك مولاه ابن أبي عتبة بالزاوية فجمع أهله وبنيه وصلى كصلاة أهل المصر وتكبيرهم. وقال عكرمة: أهل السواد يجتمعون في العيد يصلون ركعتين كما يصنع الإمام. وقال عطاء: إذا فاته العيد صلى ركعتين

“Bab: jika seseorang terlewat shalat Id, maka ia shalat dua raka’at. Demikian juga para wanita dan orang yang ada di rumah serta di pedalaman. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “ini adalah Id orang Islam”. Dan Anas bin Malik memerintahkan pembantunya (shalat dua raka’at), yaitu Ibnu Abi Utbah untuk menjadi imam, ketika berada di Zawiyah. Dan beliau mengumpulkan istrinya dan anak-anaknya, dan beliau shalat seperti shalat Id yang dikerjakan penduduk kota (yang tidak sedang safar) dan dengan cara takbir yang sama.

Ikrimah berkata: ahlus sawad (orang yang tinggal di pedalaman gurun) di hari Id mereka mengumpulkan keluarganya lalu shalat 2 rakaat sebagaimana shalat yang diadakan oleh imam (ulil amri)

Atha’ berkata: jika seseorang tertinggal shalat Id, maka ia shalat 2 rakaat” [selesai nukilan dari Shahih Bukhari].

Dalam atsar ini disebutkan Anas bin Malik radhiallahu’anhu mengumpulkan keluarganya untuk mengerjakan shalat Id berjama’ah di rumah, ketika beliau sedang safar di tempat bernama Zawiyah. Ini menunjukkan disyariatkannya shalat Id di rumah secara berjama’ah ketika tidak bisa menghadiri shalat Id di lapangan. Jika dikerjakan secara berjama’ah, maka posisi imam dan makmum sama seperti pada shalat berjama’ah yang lainnya.

Namun shalat Id di rumah itu boleh dikerjakan sendiri-sendiri, tidak harus berjama’ah. Ibnu Qudamah rahimahullah setelah membawakan atsar dari Anas bin Malik di atas, beliau menjelaskan:

وفكان على صفتها، كسائر الصلوات، وهو مخير، إن شاء صلاها وحده، وإن شاء في جماعة. 

“(shalat Id di rumah) caranya sebagaimana shalat-shalat yang lainnya. Dan seseorang boleh memilih. Jika ia ingin, boleh shalat sendirian. Jika ia ingin, boleh shalat secara berjama’ah.” (Al Mughni, 2/289).

Al Muzanni Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan:

ويصلي العيدين المنفرد في بيته ، والمسافر ، والعبد ، والمرأة

“Disyariatkan shalat Id sendirian di rumah bagi musafir, budak dan wanita” (Mukhtashar Al Umm, 8/125).

Allahu A'lam...
Semoga bermanfa'at.

Rabu, 21 Juni 2023

MISI HAJI PADA TAHUN 9 HIJRIYYAH

Misi Haji Rasulullah pada Tahun 9 Hijriah

Guru besar hukum Islam di Mesir, Syekh Muhammad Afifi Al-Baijuri, atau dikenal dengan nama pena Syekh Muhammad Khudari Bek (1872-1927 M) dalam karyanya Tarikh Tasyri Al-Islami (Beirut, Darul Fikr: 1995 M/1415 H) menceritakan sejarah rangkaian penyelenggaraan ibadah haji.

Ibadah haji diwajibkan pada tahun 6 H/627 M (tahun perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrik Makkah). Pada tahun yang sama Rasulullah saw berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah. Tetapi ia dihalangi untuk melakukan aktivitas umrah di Ka’bah. Rasulullah saw kemudian mengqadha (meski ini diperdebatkan ulama) umrahnya pada tahun 7 H. (Khudari Bek, 1995 M/1415 H: 31).

Pada tahun 9 H, Rasulullah mengirimkan misi haji dari Madinah. Rasulullah saw menunjuk sahabat Abu Bakar sebagai amirul hajj. Sedangkan pada tahun 10 H, Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji dengan segenap umat Islam sebagai haji wada. Pada kesempatan ini Rasulullah saw menjelaskan tata cara (kaifiat) ibadah haji.

Al-Qaththan mengatakan, ibadah umrah disyariatkan sebagaimana ibadah haji.
Ibadah haji dan umrah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim as.
Umrah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah saw pascahijrah terjadi pada tahun 6 H, tahun Hudaibiyah, yaitu tahun perjanjian umat Islam Madinah dan kaum musyrikin Makkah.

Aktivitas umrah ini gagal karena dihalangi oleh kaum musyrikin Makkah.
Rasulullah kemudian menyembelih unta.
Beliau dan para sahabat mencukur rambut.
Mereka bertahalul dan kembali ke Madinah pada tahun itu juga. (Manna’ Al-Qaththan, Tarikhut Tasyri Al-Islami At-Tasyri wal Fiqh, [Riyadh, Maktabah Al-Ma’arif: 2012 M/1433 H], halaman 149).

Pada tahun 7 H, Rasulullah melakukan umrah yang diperselisihkan ulama sebagai umrah qadha atau umrah baru. Sedangkan umrah ketiga Rasulullah dilakukan dari Ji’ranah pada tahun 8 H, yaitu pada saat Perang Hunain. Rasulullah saw kemudian kembali ke Makkah dan masuk melalui Ji’ranah.

Adapun umrah keempat Rasulullah dilakukan berbarengan dengan ibadah haji pada tahun 10 H. Menurut pendapat yang paling sahih, Rasulullah melakukan haji qiran, yaitu melaksanakan ibadah haji yang berbarengan dengan pelaksanaan ibadah umrah. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).

Pakar sejarah, kata Al-Qaththan, berbeda pendapat perihal awal kewajiban haji di masa Rasulullah saw.
Sebagian ahli menyebut, haji diwajibkan pada tahun 6 H/627 M, yaitu tahun perjanjian Hudaibiyah.
Mereka mengaitkan pandangannya dengan waktu turun Surat Al-Baqarah ayat 196, "Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah." Surat Al-Baqarah ayat 196 turun di kota kecil Hudaibiyah. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).

Pandangan ini dibantah oleh pakar lainnya.
Pakar ini mengatakan, Surat Al-Baqarah ayat 196 tidak berbicara terkait awal kewajiban ibadah haji dan umrah.
Surat Al-Baqarah ayat 196 hanya berisi perintah untuk menyempurnakan ibadah haji yang telah diwajibkan sebelumnya sehingga ayat ini tidak menuntut awal kewajiban ibadah haji dan umrah.  

Pakar lainnya mengatakan, awal kewajiban ibadah haji diturunkan pada tahun 4 H.
Pandangan ini didukung oleh waktu turunnya Surat Ali Imran ayat 97, "(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana."

Surat Ali Imran ayat 97 turun pada tahun 4 H.
Sebagaimana kita tahu bahwa awal Surat Ali Imran ayat 97 turun perihal kunjungan delegasi Najran. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).

Pakar sejarah yang berbeda berpendapat, awal kewajiban ibadah haji disyariatkan pada paruh terakhir tahun 9 H. Rasulullah saw menunjuk sahabat Abu Bakar ra sebagai amirul hajj.
Rasulullah saw meminta sahabat Abu Bakar ra untuk memaklumatkan bahwa setelah tahun itu tidak boleh lagi ada orang musyrik yang berhaji di Masjidil Haram.

Rasulullah saw menyusulkan Sayyidina Ali ra di belakang sahabat Abu Bakar ra untuk memaklumatkan awal-awal Surat At-Taubah yang berisi pembatalan perjanjian sosial-politik Allah, rasul, dan kaum musyrikin. 

"(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka).
Satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, sungguh Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kalian (kaum musyrikin) bertaubat, maka itu lebih baik bagi kalian; dan jika kalian berpaling, maka ketahuilah bahwa kalian tidak dapat melemahkan Allah. Berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kalian dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa." (Surat At-Taubah ayat 1, 3, dan 4).

Pengiriman misi haji dengan sahabat Abu Bakar ra sebagai amirul hajj pada tahun 9 H ini menjadi langkah awal ibadah haji Nabi Muhammad saw pada tahun 10 H.
Dengan persiapan demikian pada tahun sebelumnya, pelaksanaan ibadah haji Rasulullah saw tidak ternodai oleh tradisi kemusyrikan masyarakat Makkah. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).

Pakar lain menyebutkan ibadah haji diwajibkan pada tahun 10 H. Oleh karena itu, Rasulullah saw segera melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan kita semua memaklumi bahwa Rasulullah saw tidak sepatutnya menunda pelaksanaan haji setelah datang perintah kewajiban. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150).

Al-Qaththan juga mengutip ragam pendapat ulama perihal awal mula kewajiban ibadah haji dari Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani melalui Kitab Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari. Menurutnya, ulama memang berbeda pendapat perihal awal kewajiban ibadah haji.

Satu pendapat, kata Al-Asqalani, mengatakan, ibadah haji diwajibkan sebelum peristiwa hijrah.
Tetapi pendapat ini tergolong minor. Sebagian ulama berpendapat, ibadah haji diwajibkan setelah peristiwa hijrah.

Mayoritas ulama mengatakan, ibadah haji diwajibkan pada tahun 6 H sebagaimana tahun turunnya Surat Al-Baqarah ayat 196. Yang dimaksud dengan “atimmu/itmam” atau “sempurnakanlah” adalah awal mula kewajiban haji.
Pandangan ini didukung oleh qiraah Alqamah, Masruq, dan Ibrahim An-Nakha’i “Aqīmul hajja wal umrata lillāhi,” atau “laksanakanlah haji dan umrah karena Allah” riwayat At-Thabari dengan sanad yang sahih. (Al-Qaththan, 2012 M/1433 H: 150-151).

Adapun sebagian ulama mengatakan, yang dimaksud dengan “itmam” pada Surat Al-Baqarah ayat 196 adalah penyempurnaan pelaksanaan ibadah haji dan umrah setelah disyariatkan sebelumnya. Artinya, haji dan umrah sebelum turun Surat Al-Baqarah ayat 196 pada tahun 6 H memang telah diwajibkan.
Kisah Dhamam menyebut perintah haji sebagaimana kedatangannya pada tahun 5 H yang disebutkan Al-Waqidi.
Ini menunjukkan bahwa ibadah haji diwajibkan pada tahun 5 H atau haji dilaksanakan pada tahun tersebut.

Ibnul Qayyim dalam Kitab Zadul Ma‘ad mengatakan, ibadah haji diwajibkan pada tahun 9 atau 10 H.
Adapun pengepungan/blokade memang terjadi pada tahun 6 H, tahun perjanjian Hudaibiyah di mana kaum musyrikin Makkah menghalangi rombongan umrah Rasulullah saw untuk sampai ke Ka’bah.dari sana kemudian turun Surat Al-Baqarah ayat 196.

“Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat.” (Surat Al-Baqarah ayat 196).

Muhammad Salam Madkur mengutip pandangan Ibnu Abidin.
Menurutnya, kewajiban ibadah haji disyariatkan pada akhir tahun 9 H.
Nabi Muhammad saw baru dapat melaksanakan perintah tersebut pada awal kesempatan sebelum wafatnya, yaitu musim haji tahun 10 H.
(M Salam Madkur, Tarikhut Tasyri Al-Islami wa Mashadiruhu, wa Nazharatuhu lil Amwal wa lil Uqud, [Kairo, Al-Maktabah Al-Azhariyyah lit Turats: 2018 M/1440 H], halaman 87).




PUASA AROFAH SUDAH ADA SEBELUM WUKUF DIAROFAH

Puasa Arafah Sudah Ada Sebelum Ada Wukuf di Arafah?...

Benarkah puasa arafah sudah ada sebelum adanya wukuf di arafah?...
Ini terkait penentuan kapan puasa arafah yg benar.

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa puasa arafah sudah ada sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wukuf di arafah.

Diantaranya, hadis riwayat Nasai dari salah satu istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis. (HR. Nasai 2429 dan dishahihkan al-Albani).

Kemudian, dalam hadis dari Maimunah Radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

أَنَّ النَّاسَ شَكُّوا فِى صِيَامِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ عَرَفَةَ ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِحِلاَبٍ وَهْوَ وَاقِفٌ فِى الْمَوْقِفِ ، فَشَرِبَ مِنْهُ ، وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ

Manusia ragu apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ketika hari arafah. Kemudian aku membawakan segelas susu ke tempat beliau wukuf. Lalu beliau meminumnya dan orang-orang melihatnya. (HR. Bukhari 1989 & Muslim 2692).

Keterangan:

Para sahabat ragu apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa ataukah tidak puasa, karena mereka meyakini bahwa hari itu adalah hari untuk puasa sunah Arafah. Sehingga mereka bertanya-tanya, apakah beliau ketika wukuf itu puasa ataukah tidak. Kemudian oleh Maimunah ditunjukkan bahwa beliau tidak puasa.

Seperti yang kita tahu dalam buku sejarah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji di tahun 10 Hijriyah, sementara beliau wafat bulan Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah. Artinya, bulan Dzulhijjah tahun 10 H, adalah Dzulhijjah terakhir yang beliau jumpai. Karena di tahun 11 H, beliau meninggal di awal tahun, di bulan ketiga (Rabiul Awal).

Sehingga para ulama memahami, hadis riwayat Nasai yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam rutin melakukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah, itu terjadi sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji wada’.

Keberangkatan Haji Pertama dalam Islam
Di bulan Dzulqa’dah (bulan ke-11) tahun 6 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat datang ke Mekah untuk melakukan Umrah. Namun dihalangi orang musyrikin dan beliau dilarang masuk kota Mekah. Hingga terjadilah perjanjian Hudaibiyah. Dengan salah satu poin perjanjian, kaum muslimin harus kembali tahun itu, dan baru boleh datang tahun depan untuk hanya tinggal di Mekah selama 3 hari.

Di tahun 7 Hijriyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik ke Mekah untuk melakukan Umrah qadha. Mengqadha umrah tahun sebelumnya digagalkan oleh orang musyrikin Quraisy. Beliau memerintahkan semua yang umrahnya gagal, untuk turut serta.

Kemudian di tahun 8 Hijriyah tepatnya bulan Ramadhan (bulan ke-9), terjadilah penaklukan kota Mekah (fathu Mekah). Selanjutnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disibukkan dengan perang Hunain, dan perang thaif. Kemudian setelah masuk bulan Dzulqa’dah (th. 8 H) dari Thaif beliau mengambil miqat di Ji’ranah dan melakukan umrah. Setelah itu beliau balik ke Madinah.

Bulan Rajab, 9 hijriyah, beliau melakukan penyerangan ke Tabuk untuk menaklukan sebagian wilayah romawi. Setelah kembali ke Madinah, di bulan Dzulqa’dah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar sebagai amirul haj (pemimpin haji). Beliau berangkat bersama 300 kaum muslimin. Dan inilah haji pertama dalam islam. Selama di Mekah dan awal dakwah di Madinah, kaum muslimin tidak melakukan haji. Kaum muslimin baru bisa melaksanakan haji, setelah kota Mekah ditaklukkan.

Apakah Puasa Arafah sudah ada Sebelum Adanya Wukuf?
Kami tidak bisa memastikan hal ini, karena kita tidak tahu kapan tepatnya adanya anjuran puasa Arafah? Dan apakah haji yang dipimpin Abu Bakar as-Shidiq juga melakukan wukuf di Arafah?

Hanya saja, ada penggalan hadis yang bisa kita garis bawahi, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah’. Kalimat ini menunjukkan bahwa puasa arafah termasuk rutinitas beliau. Dan sesuatu iti disebut rutinitas jika dilakukan beberapa kali.

Bulan Dzulhijjah tahun 9 H, Abu Bakr berhaji, dan pada Dzulhijjah tahun 10 H, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat haji.

Andai puasa arafah harus dilakukan bertepatan dengan kegiatan wukuf di arafah, dan kita menganggap bahwa haji yang dilakukan Abu Bakr juga ada wukuf di Arafah, berarti puasa arafah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru SEKALI. Tepatnya, ketika hajinya Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Dan semacam ini tidak tepat jika disebut kebiasaan.

Terlebih, jika wukuf di Arafah pertama terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji wada’. Berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukkan puasa arafah, sekalipun belum ada kegiatan wukuf di Arafah.

Bisa Jadi Orang Musyrik telah Melakukan Wukuf?

Kita tidak tahu bagaimana tata cara haji mereka. Dan andaipun mereka melakukan wukuf, tentu wukuf mereka tidak dianggap karena mereka orang musyrik. Lebih dari itu, kita tidak pernah mendapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat berusaha mencari tahu kapan hari wukufnya orang musyrikin, sehingga mereka jadikan acuan untuk pelaksanaan puasa Arafah. Sehingga puasa arafah yang dilaksanakan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat di Madinah, tidak dibarengi dengan kegiatan wukuf di Arafah.

Karena itu, kami berpendapat, bahwa puasa arafah adalah puasa di tanggal 9 Dzulhijjah sesuai daerah masing-masing. Sekalipun tidak bertepatan dengan kegiatan wukuf di Arafah. Karena puasa arafah tidak ada kaitannya dengan kegiatan wukuf di Arafah.

Allahu a’lam.

Selasa, 20 Juni 2023

Benarkah Hari Arofah dan Puasa Tidak Boleh Beda

Benarkah Hari Arafah dan Puasa Arafah Tidak Boleh Berbeda?

Tersiar kabar dari pemerintahan Saudi Arabiyah menetapkan bahwa wukuf di Arofah untuk jamaah haji tahun ini jatuh pada hari jumat, tertanggal 3 oktober 2014, itu artinya pemerintah Saudi menetapkan hari itu sebagai tanggal 9 dzulhijjah.

Tentunya keputusan ini diambil setelah melalui prosesnya yang ma’lum, dengan terlebih dahulu sebelumnya melakukan rukyat hilal untuk menentukan tanggal 1 dzulhijjah. Hingga pada akhirnya menurut pemerintah Saudi 1 dzulhijjah itu jatuh pada hari kamis 25 september 2014.

Namun kabar berikutnya tersiar dari pemerintah kita setempat, melalui Kementrian Agama Republik Indonesia bahwa ternyata dari hasil rukyat yang dilakukan menetapkan bahwa 1 dzulhijjah itu jatuh pada hari jumat 26 sepetember 2014, itu artinya bahwa tanggal 9 dzulhijjah jatuh pada hari sabtu, dan ahadnya Idul Adha.

Perbedaan hasil rukyat kedua negara ini membuat ramai sebagian masyarakat Indonesia khususnya. Mungkin ada yang bingung, terutama dalam menentukan kapan kita yang di Indonesia ini melakukan puasa sunnah Arofah? Untuk seterusnya juga membingungkan, kapan kita berlebaran? Ikut pemerintah Saudi atau Indonesia?

Hari Arofah dan Puasa Arofah

Hari Arofah adalah hari dimana semua jamaah haji melakukan puncak ritual haji dengan melakukan wukuf di Arofah, inilah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW bahwa “Al-Hajju Arofah”; Haji itu Arofah. Dan hari Arafah itu bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah.

Jadi wukuf di Arofah itu harus bertepatan dengan dua hal; waktu dan tempat. Waktunya pada tangal 9 dzulhijjah, dan tempatnya adalah di Arofah.

Sedangkan puasa Arofah adalah puasa sunnah yang dilakukan oleh mereka yang tidak sedang melaksanakan wukuf dimana waktunya bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah, waktu dimana mereka yang sedang menunaikan ibadah haji melaksanakan wukuf di Arofah.

Jadi ada titik temu antara dua jenis ibadah ini (wukuf dan puasa) yaitu waktunya bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Dan yang perlu diketahui bahwa dua ibadah ini tidak saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dimana ibadah wukuf akan tetap sah walaupun orang-orang diluar Mekkah sana tidak sedang melaksanakan ibadah puasa, dan sebaliknya ibadah puasa sunnah tanggal 9 itu tetap sah walaupun orang yang sedang berhaji itu tidak wukuf.

Karena sangat mungkin bahwa mereka yang berhaji itu berhalangan untuk wukuf, karena dihadang musuh misalnya, bencana alam, atau kendala lainnya, atau mereka wukuf tapi waktunya salah, atau mereka wukuf pada waktunya tapi tempatnya salah, dst..

Jadi sekali lagi bahwa puasa Arofah bukan karena mereka wukuf, tapi puasa itu dilakuakan karena ia beretepan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Pun begitu sebaliknya, wukuf itu dilakuakn bukan karena orang diluar sana puasa, tapi karena ia bertepatan dengan tanggal 9 dzulhijjah. Karena standar ibadah kita adalah waktu.

Disebut hari Arofah untuk mengingatkan jamaah haji akan pentingnya hari ini, karena hari ini adalah intinya haji, dimana mereka diwajibkan untuk wukuf di Arofah, selebihnya maka sebenarnya hari ini bisa disebut dengan hari sembilan, dan puasa sunnah itu juga bisa disebut dengan puasa hari sembilan.

Menentukan Tanggal 9 Dzulhijjah

Disinilah letak permasalahannya, yaitu pada cara kita menentukan kapan jatuhnya tanggal 9 dzulhijjah. Dan semua ulama menyepakati bahwa standar perhitungan ibadah ini adalah peredaran bulan.

Maka cara menentukannya sudah pasti dengan terlebih dahulu mengetahui kapan jatuhnya tanggal 1 dzulhijjah. Maka dalam hal ini kita akan kembali diingatkan dengan bagaimana cara penentuan 1 Ramadhan, caranya sama persis, dan perbedaan ulama dalam hal ini juga sama persis.

Penentuannya bisa dengan metode rukyat ataupun hisab; hisab wujud al-Hilal atau juga Hisab Imkan ar-Ru’yah, atau gabungan dari keduanya. Hingga akhirnya kita akan menemukan perbedaan ulama pada masalah rukyat lokal atau Internasional; apakah setiap masyarakat harus mengikuti hasil perhitungan lokal, atau boleh juga mengikuti hasil dari negara Islam lainnya? Yang dalam bahasa fikihnya dikenal dengan sebutan wihdah al-Mathali’ wa ikhtilaf al-mathali’.

Setiap Negri Boleh Memutuskan Sendiri

Lebih kurang ini adalah hasil dari perbedapatan ulama  dalam masalah penentuan awal bulan baru, kita tidak boleh menafikan bahwa banyak juga para ulama yang meyakini bahwa setiap negri boleh untuk memutuskan sendiri waktu ibadah mereka, tentunya ketupusan ini bukan dengan semua gue, tetap harus melalui metode yang benar.

Hal ini disandarkan dengan hadits Kuraib yang sudah masyhur ditelinga kita, diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa:

أن أم الفضل بنت الحارث بعثته في حاجة إلى معاوية بالشام، قال: فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه يوم الجمعة، فقال: أنت رأيته؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه، فقلت: فلا تكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم.

“Bahwa Ummu Fadhl bintu al-Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku

“Kapan kalian melihat hilal?” tanya Ibnu Abbas.

“kami melihatnya malam jumat.” Jawab Kuraib.

“Kamu melihatnya sendiri?” tanya Ibnu Abbas.

“Ya, saya melihatnya dan  masyarakatpun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyahpun puasa.” Jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan:

لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه

 

“Kalau kami melihatnya malam sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal.”

Kuraib bertanya lagi,

“Mengapa kalian tidak mengikuti rukyah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?”

Jawab Ibnu Abbas,

لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Tidak, seperti ini yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kami.” (HR. Muslim 2580)

Dari cerita Kuraib diatas bisa kita ambil beberapa pelajaran, bahwa walaupun pada waktu itu ummat Islam masih berada dalam satu kepemimpinan (khilafah) namun memungkin bagi Ibnu Abbas untuk berbeda dengan keptusan kholifah, dan tidak terdengar bahwa Ibnu Abbas adalah bagian dari mereka yang ‘membangkang’ dari kepemimpinan Muawiyah.

Padahal dalam waktu yang bersamaan seorang Kuraib ini adalah Tabiin yang sholih, beliau mengabarkan kesaksiannya sudah melihat bulan dan dikabarkan juga keapda Ibnu Abbas bahwa masyarakat lainnya juga sudah melihat bulan, tapi justru ibnu Abbas menegaskan untuk memutuskan sendiri dengan menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW yang beliau bacakan.

Jadi jika kita tarik ke zaman sekarang maka sebagaimana pemerintah Saudi Arabiyah boleh memutuskan sendiri perihal puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, maka hal sama bahwa pemerintah Indonesia juga boleh untuk menetapkan sendiri waktu puasa, Idul Fitri dan Idul Adhanya.

Mau Ikut Saudi Arabiyah?

Memang ada pendapat lainnya yang mejelaskan kebolehan untuk megambil satu kesaksian dengan alasan wihdah al-Mathali’, namun perlu diketahui juga bahwa yang dimaksud dengan satu kesaksian bukanlah milik orang Saudi saja, karenannya memungkin bagi kita juga untuk mengambil keputusan negri tetangga lainnya, walaupun bukan Saudi.

Sebagaimana kita boleh mengikuti Saudi, namun hal yang sama juga sebenarnya orang Saudi boleh mengikuti keputusan negri kita, jika saja dalam keputusannya kemarin kita yang terlebih dahulu memberikan hasil keputusan.

Namun ternyata justru ada salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri malah meyarankan kepada kita untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal, dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukan dalam fatwanya:

والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا(

“Dan yang benar itu dalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka.

Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا

 

“Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi (hari raya), maka berbukalah” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin)

Jadi Kesimpulannya?

Kesimpulannya bahwa perkara ini sangat longgar, bahwa tidak ada yang salah dengan pemerintah kita yang sudah bersusah payah melakuakan usaha dalam penentuan awal dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah Saudi Arabiyah.

Untuk mereka yang sekarang berada di Saudi Arabiyah, dari manapun asalnya, maka mereka terikat dengan waktu Saudi dalam hal apa saja; Sholat, puasa, berbuka, wukuf, dan idul adha, namun untuk mereka yang berada di luar Saudi, mereka juga baiknya mengikut penjadwalan waktu setempat. Walaupun khusus untuk perkara puasa ramadhan, puasa 9 dzulhijjah dan dua lebaran boleh-boleh saja mengkuti keputusan Saudi.

Secara pribadi saya sendiri agak kaget dengan salah satu pernyataan ust muda ketika beliau menuliskan di webnya (Lihat: http://felixsiauw.com/home/tentang-perbedaan-penentuan-ied-adha-dan-puasa-arafah/) perihal penentuan Idul Adha dan Puasa Arafah, beliau menuliskan:

 “Mengenai penetapan Ied ‘Adha ini berbeda dengan Penentuan Awal Ramadhan yang memang penetapannya berbeda-beda tergantung madzhab yang digunakan. Dalil Penentuan Awal Dzulhijjah ini berbeda karena kewenangan menentukannya khusus diberikan pada penguasa Makkah yang mengurusi Haji”

Wallahu A’lam Bisshawab dari mana beliau menemukan kesimpulan tersebut, seakan tidak ada opsi lain dalam masalah ini, padahal dari dulu sekali sahabat Ibnu Abbas sudah meyakinkan bahwa dalam perkara ini memungkin bagi kita untuk berbeda.

Wallahu A’lam Bisshawab"
https://rumahfiqih.com/y.php?id=291#:~:text=Toggle%20navigation-,Hari%20Arafah%20dan%20Puasa%20Arafah%20Tidak%20Boleh%20Berbeda%3F,Wallahu%20A%E2%80%99lam%20Bisshawab,-Baca%20Lainnya%20%3A