Bagaimana Hukum Shalat Idul Adha 2 kali?
Bagaimana hukum shalat Idul Adha 2 kali? Apakah boleh dalam fikih Islam atau tidak? Kerap kali lebaran diwarnai dengan adanya perbedaan. Selalu saja ada yang lebih dulu merayakan lebaran. Hingga mereka sholat Ied terlebih dahulu.
Lebih jauh lagi, terkadang imam shalat Ied-nya pun mengimami lagi di suatu daerah yang mana hasil ru’yah atau hisab mereka berbeda. Bagaimana hukum shalat Idul Adha 2 kali dalam pandangan fikih Islam?
Hukum Shalat Idul Adha 2 Kali
Kasus ini, dalam fikih biasanya disebut dengan shalat i’adah. Yang masyhur ialah sunnah untuk mengulangi sholat fardhunya, namun kesunnahannya hilang ketika waktu shalat tersebut telah selesai.
Sedang dalam konteks shalat Idul Adha, boleh dilakukan 2 kali. Hanya saja, konsep I’adah keduanya berbeda. Berikut regulasinya menurut Syekh Sulaiman al-Kurdi;
قوله: (إعادة الفر ض) أي: باثني عشر شرطا، أحدها أن تكون فرضا تطلق فيه الجماعة أو نفلا كذلك، ثانيها أن تكون الصلاة التي يريد إعادتها مؤداة فلا تعاد المقضية، ثالثها أن تكون المعادة مؤداة بأن تدرك ركعة منها في الوقت إلا العيد، رابعها: أن لا تكون صلاة خوف أو شدة، خامسها: أن لا تكون وترا على ما نقله الشوبري في حواشي شرح ” المنهج” عن (م ر)، وصرح الشارح في “التحفة” بخلافه وعليه يسقط هذا الشرح من العدد،
سادسها: أن تكون الجماعة الثانية غير الأولى لكن في الكسوف خاصة، سابعها: أن لا تكون صلاة جنازة ومع ذلك إذا أعادها صحت وقعت نفلا على خلاف القياس، ثامنها: أن تكون الإعادة مرة واحدة فقط إلا صلاة الاستسقاء فتطلب إعادتها أكثر من مرة إلى أن يسقيهم الله من فضله، تاسعها: أن يكون المعيد ممن يجوز تنفله لا نحو فاقد الطهورين،
عاشرها: أن يعتقد المعاد معه جواز الإعادة، حادي عشرها: أن توقع المعادة جماعة، وقد ينتفي اشتراطه كما إذا وقع في صحة الأولى خلاف ثاني عشرها أن تكون الجماعة المعادة مما يدرك بها فضيلة الجماعة.
Mengulangi shalat fardhu ada syaratnya, yaitu 12 persyaratan yang harus terpenuhi. Antara lain sebagai berikut;
Shalat yang hendak diulangi ini merupakan shalat yang dikerjakan berjamaah, baik shalat wajib maupun shalat sunnah.
Shalat yang hendak diulangi, diharuskan masih berada di waktu shalat tersebut. Jika telah lewat, maka tidak bisa.
Yang dimaksud dengan shalat i’adah tersebut masih berada di waktunya adalah minimal satu rokaat dari shalat yang diulangi itu masih belum keluar dari waktu sholat. Hanya saja, ini dikecualikan untuk shalat Ied (Yakni boleh diulangi, meski sudah keluar waktu).
Shalat yang hendak diulangi bukan merupakan shalat khauf
Juga bukan shalat witir, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Syaubari dalam Hawasyi Syarah al-Minhaj dari Imam Syamsuddin Al-Ramli. Hanya saja komentator dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, berseberangan dengannya.
Shalat yang hendak diulangi harus tidak boleh dilaksanakan secara berjamaah di shalat yang pertama, yakni yang berjamaah diharuskan pada shalat yang kedua.
Shalat yang hendak diulangi bukanlah shalat jenazah, hanya saja jika ia mengulanginya, niscaya shalatnya menjadi shalat sunnah seketika.
Shalat yang hendak diulangi hanya dilakukan satu kali saja, kecuali shalat istisqa’ (meminta hujan). Sebab shalat ini justru dianjurkan untuk memperbanyak, sampai Allah menurunkan hujan.
Orang yang hendak mengulangi shalat diharuskan ia yang boleh melaksanakan shalat sunnah, maka orang yang faqid al-tahurain (tidak suci) tidak bisa mengulangi shalatnya.
Ia yang hendak mengulangi shalat diharuskan berkeyakinan bahwa memang ia diperbolehkan untuk mengulangi sholatnya.
Shalat yang kedua kalinya, yakni i’adah, dilakukan dengan berjamaah.
Jamaah yang dimaksudkan ialah shalat bersama yang mendapat fadilah jamaah (sebab terkadang ada orang yang berjamaah, namun ia tidak mendapatkan fadilahnya. Contohnya yaitu ia sholat di saf belakang, padahal di depan masih kosong. (Al-Hawasyi al-Madaniah ala Syarh al-Muqaddimah al-Hadramiah, Juz 2 hal. 12)
Dari ibarot tersebut, kita menemukan bahwa shalat Ied –termasuk Idul Adha-, bisa dilakukan dua kali, bahkan meski telah keluar waktu. Sehingga kasus yang ada, hukumnya sah-sah saja.
Regulasi ini pun disyairkan oleh Syekh Abdul Wahhab al-Thandata’i al-Misri, agar bis dihafalkan. Syekh Abi Bakar Syatha’ menuliskannya dalam I’anah al-Thalibin fi Hall alfadz Fath al-Mu’in Juz 2 hal. 10. Berikut redaksinya;
شرط المعادة أن تكون جماعة * * في وقتها والشخص أهل تنفل
مع صحة الاولى وقصد فريضة * * تنوي بها صفة المعاد الاول
فضل الجماعة سادس وغيره * * قيل ونفلا مثل فرض فاجعل
كالعيد، لا نحو الكسوف فلا تعد * * وجنازة لو كررت لم تهمل
ومع المعادة إن يعد بعدية * * تقبل ولا وتر إن صح فعول
ومتى رأيت الخلف بين أئمة * * في صحة الاولى أعد بتجمل
لو كنت فردا بعد وقت أدائها * * فاتبع فقيها في صلاتك تعدل
Demikianlah penjelasan bagaimana hukum mengenai shalat Idul Adha 2 kali. Namun jika masih ada orang lain yang bisa mengimami, seyogyanya ia saja yang menjadi Imam, agar tidak menjadi fitnah.
Wallahu a’lam, semoga bermanfaat.
----------------------------
Shalat Jamaah Dua Kali
Muhammad Abduh Tuasikal,
Bagaimana hukum jamaah kedua? Bolehkah mengulangi shalat berjamaah untuk kedua kalinya?....
Boleh Mendirikan Jamaah Kedua
Masjid itu ada dua model:
Pertama, masjid yang tidak memiliki imam tetap seperti masjid di pasar dan tempat lalu lalangnya manusia.
Maka di sini diperbolehkan berulangnya shalat jama’ah berdasarkan kesepakatan para ulama, dan hal ini tidak dinilai makruh.
Kedua, ada masjid yang memiliki imam tetap.
Maka di sinilah terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama tentang berulangnya jama’ah dalam satu masjid diperbolehkan atau tidak.
(Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:561)
Masih dibolehkan jamaah kedua untuk masjid yang memiliki imam tetap berdasarkan alasan dalil-dalil berikut ini.
Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang yang datang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalat, lalu beliau mengatakan kepada para sahabat,
أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّىَ مَعَهُ
“Siapakah yang mau bersedekah untuk orang ini, yaitu melaksanakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Daud, no. 574; Tirmidzi, no. 220. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)
Dari hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ صَلاَةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
“Shalat seseorang bersama lainnya lebih baik daripada shalatnya sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang lebih baik daripada shalatnya bersama satu orang. Jika jama’ahnya makin banyak, itu lebih disukai.” (HR. Abu Daud, no. 554. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Dari Abu ‘Utsman, beliau berkata, “Anas bin Malik pernah mendatangi masjid Bani Tsa’labah. Lalu Anas mengatakan, “Apakah kalian sudah shalat?” Kami pun mengatakan, “Iya, kami sudah shalat.” Anas pun mengatakan, “Kumandangkanlah azan.” Azan pun dikumandangkan, kemudian Anas melaksanakan shalat secara berjama’ah.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 1:331; ‘Abdur Razaq, 3417; Ibnul Mundzir, 4:215; sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:562.)
Dari Salamah bin Kuhail, beliau mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah memasuki masjid dan shalat jama’ah telah selesai dilaksanakan. Kemudian Ibnu Mas’ud melakukan shalat secara berjama’ah bersama ‘Alqamah, Al Aswad dan Masruq. (HR. Ibnu Abi Syaibah, 2:323; Ibnul Mundzir, 4:216; dan memiliki penguat dari ‘Abdur Razaq, 2884; sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1:562)
Syaikh Abu Malik hafizahullah mengatakan, “Tidak diketahui pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat Anas dan Ibnu Mas’ud ini. Jama’ah kedua tentu diperbolehkan karena shalat jama’ah tentu lebih utama dari shalat sendirian sebagaimana telah dijelaskan dahulu.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:562)
Mengikuti Jamaah Kedua Kalinya
Boleh mengikuti shalat jamaah untuk kedua kalinya, shalat yang kedua dihukumi sunnah. Contoh seorang suami boleh mengulang shalat jamaah bersama istrinya di rumah setelah melakukan shalat wajib di masjid.
Dari Yazid bin Al-Aswad, ia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ قَالَ عَلَيَّ بِهِمَا فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا قَالَ فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
“Aku pernah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid Al-Khaif. Ketika selesai shalat, ternyata ada dua orang laki-laki di belakang shaff yang tidak shalat bersama beliau. Beliau bersabda, ‘Bawalah dua orang laki-laki tersebut kepadaku.’ Dibawalah kedua laki-laki itu oleh para shahabat ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan gemetar sendi-sendinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat bersama kami?’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian lakukan. Apabila kalian telah shalat di rumah-rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah kalian bersama mereka, karena shalat itu bagi kalian terhitung sebagai shalat sunnah.’” (HR. An-Nasa’i, no. 858. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Dari Mihjan, ia berkata,
أَنَّهُ كَانَ فِى مَجْلِسٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَذَّنَ بِالصَّلاَةِ – فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ رَجَعَ وَمِحْجَنٌ فِى مَجْلِسِهِ – فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّىَ أَلَسْتَ بِرَجُلٍ مُسْلِمٍ ». قَالَ بَلَى وَلَكِنِّى كُنْتُ قَدْ صَلَّيْتُ فِى أَهْلِى فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا جِئْتَ فَصَلِّ مَعَ النَّاسِ وَإِنْ كُنْتَ قَدْ صَلَّيْتَ
Bahwa beliau pernah berada di majelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dikumandangkan adzan untuk shalat. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu mengerjakan shalat, sedangkan Mihjan masih dudk di tempat semula. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ”Apa yang menghalangimu shalat, bukankah engkau adalah seorang muslim?” Lalu Mihjan mengatakan, ”Betul. Akan tetapi saya sudah melaksanakan shalat bersama keluargaku.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, ”Apabila engkau datang, shalatlah bersama orang-orang, walaupun engkau sudah shalat.” (HR. An-Nasa’i, no. 858 dan Ahmad, 4: 34. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.)
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
« كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا ». قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ « صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ »
“Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?” Abu Dzarr berkata, “Aku berkata “Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat sunnah.” (HR. Muslim, no. 648).
Ada riwayat tambahan,
وَلاَ تَقُلْ إِنِّى قَدْ صَلَّيْتُ فَلاَ أُصَلِّى
“Janganlah mengatakan, aku telah shalat, maka aku tak mau shalat lagi.” (HR. Muslim, no. 648).
Semoga bermanfaat.
Allahu A'lam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar