CAKUPAN IHSAN
Ihsan, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran dan Hadis mencakup tiga aspek dalam kehidupan kita :
Akhlak,
Muamalah
Dan ibadah.
Tiga aspek ini tidak bisa terlepas dari kehidupan kita maka ihsan pun tidak bisa terlepas dari ketiganya.
Aspek akhlak dan muamalah menggambarkan hubungan horizontal dengan sesama makhluk,
Sedangkan aspek ibadah vertikalnya antara kita selaku hamba dengan Allah, Dzat yang menciptakan.
Pertama, Aspek Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan cerminan dari ibadah dan muamalah yang dilakukan. Tingkatan ihsan dalam ini bisa tercapai apabila kita telah melakukan ibadah sebagaimana sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad dari sisi pelaksanaan dan penghayatan makna ibadah itu. Ini menjadi harapan Rasulullah dalam hadis yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menyatu pada akhlak atau perilaku kita, pada akhirnya bagi mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Dalam menilai akhlak kita sendiri maka lihatlah kualitas ibadah kita, tidak sebatas melaksanakan perintah dan menjauhi larangan tapi sampai pada spirit dan penghayatan dalam melaksanakannya. Shalat akan berfungsi sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar dari diri kita kalau kita melaksanakannya sesuai tuntunan dan menghayati makna setiap bacaan dengan tidak melalaikan gerakan yang baik dan benar.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw mengatakan dalam sebuah hadits :
اِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَ خْلَاقِ
“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia”
Pelaksanaan ibadah dengan baik dan benar menjadi barometer ukuran akhlak ihsan seseorang. Untuk membenahi akhlak seorang muslim maka dimulai dengan membenahi aspek ibadahnya, sebagaimana akan dijelaskan nantinya.
Kedua, Aspek Muamalah
Muamalah adalah interaksi dua pihak yang berbeda. Pada konteks ihsan ini, muamalah dapat terjadi hamba dengan manusia lain, hamba dengan hewan, dan hamba dengan tumbuh-tumbuhan, termasuk juga dengan makhluk gaib sekalipun berlaku akhlak ihsan kepadanya.
Aspek ihsan dalam muamalah ini dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri“
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Aspek muamalah dalam berihsan ini dijelaskan memalui firman Allah di atas.
Berlaku Ihsan kepada Kedua Orang Tua.
Ihsan kepada orang tua harus dilakukan setelah beribadah kepada Allah. Ibnu Abbas menyampaikan bahwa ibadahnya seorang hamba kepada Allah tidak diterima selama ia tidak berihsan kepada kedua orang tuanya. Sebaliknya, kebaikan yang dilakukan kepada orang tuanya tidak diterima Allah apabila ia tidak menyembah Allah. Subhanallah, alangkah indahnya akhlak yang diajarkan islam kepada kita. Allah mengaitkan keridaan-Nya pada seorang hamba dengan keridaan orang tua itu pada anaknya. Dalam berbuat baik pada orang tua dijelaskan Allah pada al-Isra 23-24;
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24
“ Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”” (al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada kedua orang tua adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah, baik mereka berdua masih hidup atau ada yang sudah menahului kita. Dalam sebuah hadits riwayat Turmudzi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw Bersabda:
رِضَى اللهُ فِى رِضَى اْلوَالِدَيْنِ وَ سُخْطُ اللهِ فِى سُخْطِ اْلوَاِلدَيْنِ
“Keridaan Allah berada pada keridaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua. “
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup maupun setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi:
عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِيِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه ابو داود)
Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata: “Tatkala kami sedang bersama Rasulullah saw, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya: “Ya Rasulullah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setelah keduanya wafat?” Nabi menjawab: “Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun untuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturahim dari sanak saudaranya serta memuliakan teman-temannya.
Termasuk ihsan kepada kedua orang tua yang sudah meninggal dengan tetap menjaga silaturahmi dan hubungan baik kepada teman dan kerabat orang tua ketika mereka masih hidup. Melakukan kebaikan yang sering dilakukan orangtuanya selama hidupnya seperti berbagi sedekah dengan tetangga yang sangat memerlukan bantuan, menyalurkan zakat, infak dan sedekahnya kepada lembaga yang biasa menerimanya, serta melaksanakan wasiat orang tua sebelum mereka wafat pun termasuk ihsan kepada orang tua.
Berlaku Ihsan kepada Kerabat Karib.
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka dengan mengaharapkan rida dan pahala dari Allah. Dorongan ingin mendapatkan pahala dari Allah ini yang menjadi kekuatan berihsan kepada mereka. Niat tulus ini akan mengalahkan prasangka negative (su`udz dzan) seseorang pada kita. Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silaturahim sesame kerabat karibnya dengan perusak di muka bumi. Allah berfirman:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. ?” (Muhammad: 22)
Silaturahim adalah kunci untuk mendapatkan keridaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahim. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
أَنَا اللَّهُ وَأَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barang siapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barang siapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya. ” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi. ” (HR. Syaikhani dan Abu Dawud)
Berlaku Ihsan Pada Anak Yatim dan Fakir Miskin
Anak yatim adalah mereka yang dtitinggal wafat orang tuanya sehingga memenuhi kebutuhan hidu dengan usaha sendiri. Hal ini senada dengan makna yatim yang berarti ketersendirian. Yatim juga bisa disematkan kepada anak yang masih memiliki orang tua tetapi ia memenuhi kebutuhan hidup sendiri lantara orang tuanya tidak mampu melakukannya dikarenakan sakit atau lemah. Sedangkan usia baligh menjadi batasan anak tersebut termasuk golongan yatim.
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini… (seraya menunjukkan jari telunjuk jari tengahnya). “
Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi Muhammad SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَبَضَ يَتِيمًا مِنْ بَيْنِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى طَعَامِهِ وَشَرَابِهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ إِلَّا أَنْ يَعْمَلَ ذَنْبًا لَا يُغْفَرُ لَهُ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi saw bersabda: “Barang siapa dari Kaum Muslimin yang memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”
Sedangkan fakir miskin adalah mereka yang memiliki hak untuk diberi zakat pada urutan pertama. Orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya termasuk fakir. Dan miskin adalah mereka yang mampu untuk bekerja untuk menutupi kebutuhannya namun belum mencukupi.
Berlaku Ihsan Pada Tetangga dan Teman Sejawat
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan, pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw menjelaskan hal ini dalam sabdanya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُسْلِمُ عَبْدٌ حَتَّى يَسْلَمَ قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ وَلَا يُؤْمِنُ حَتَّى يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah saw: Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah beriman (sempurna keimanannya) seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya. (HR. Ahmad)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda untuk memberikan perhatian terhadap tetangga, sekalipun ia masih mahasiswa, atau bukan kerabat dekat kita. Bagi kita yang memiliki kontrakan dan anak kos atau semisalnya, perlu adanya perhatian terhadapa mereka, telebih menjadi pengingat bagi mereka dalam berbuat kebajikan dengan cara berbuat ihsan dalam muamalah dengan mereka.
لاَ يُؤْمِنُ بِي مَنْ باَتَ شَبْعَانًا وَ جَارُهُ جَا ئِعٌ وَهُوَ يَعْرِفُهُ
“Tidak beriman kepadaku barang siapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.” (HR. ath-Thabrani)
5. Berlaku Ihsan Pada Ibnu Sabil dan Hamba Sahaya
Ibnu sabil adalah mereka yang bepergian atau orang yang hendak bepergian dalam menjalankan ketaatan, bukan kemaksiatan. Kemudian ia tidak mampu mencapai tempat tujuannya melainkan dengan adanya bantuan orang lain. Rasulullah bersabda mengenai hal ini:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya. ” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمْ أَعْفُو عَنْ الْخَادِمِ فَصَمَتَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَمْ أَعْفُو عَنْ الْخَادِمِ فَقَالَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ مَرَّةً
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab,” Maafkanlah ia tujuh puluh kali dalam sehari. ” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
إِذَا صَنَعَ لِأَحَدِكُمْ خَادِمُهُ طَعَامَهُ ثُمَّ جَاءَهُ بِهِ وَقَدْ وَلِيَ حَرَّهُ وَدُخَانَهُ فَلْيُقْعِدْهُ مَعَهُ فَلْيَأْكُلْ فَإِنْ كَانَ الطَّعَامُ مَشْفُوهًا قَلِيلًا فَلْيَضَعْ فِي يَدِهِ مِنْهُ أُكْلَةً أَوْ أُكْلَتَيْنِ
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan. ” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Demikian juga ihsan bermuamalah dengan partner kerja yang menjadi bawahan atau anak buahnya dengan menjaga dan menahan kata-kata yang menyinggung perasaan bawahannya. Meskipun ia seorang pemimpin tidak lantas memboleh segala cara dalam bermuamalah dengan bawahannya. Tidak sedikit bawahan yang mengelur lantaran perilaku atasnnya yang tidak bisa dijadikan teladan, termasuk dalam sebuah organisasi.
Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah SWT menutup firman-Nya yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ خَوَّانٍ كَفُورٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. ” (al-Hajj: 38)
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku sampai aku tertidur. ” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku”.
Berlaku Ihsan Sesama Hamba dengan Ucapan Baik
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا اَوْ لِيَصْمُتْ
Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. ” (HR. Bukhari dan Muslim) Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda :
قَوْلُ اْلمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ
“Ucapan yang baik adalah sedekah. “
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
Berlaku Ihsan Pada Binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Sebagaimana tidak boleh menelantarkan binatang dalam keadaan lapar dan terkurung dikandangnya sedangkan pemiliknya mampu untuk memberinya makan. Sekiranya pemiliknya tidak mampu maka lepaskanlah binatang itu agar ia mampu mencari makannya sendiri. Sebagaimana Allah melaknat perempuan dari bani Israel yang mengikat seekor kucingnya sampai mati dalam keadaan lapar.