Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Kamis, 24 Oktober 2024

MAHAR DENGAN MASJID

Hukum Jadikan Masjid sebagai Mahar Nikah.

Pernikahan adalah momen sakral dalam Islam. 
Ketentuan pernikahan telah diatur secara detail dalam Al-Qur'an dan hadits, serta penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mu’tabarah. Salah satu aspek penting yang diatur adalah mengenai mas kawin atau mahar. 

Seiring berjalannya waktu, bentuk mahar nikah pun mengalami perkembangan. Jika dahulu mahar nikah lebih identik dengan benda-benda berharga atau uang, kini muncul inovasi seperti mahar nikah berupa masjid. 
 

Mahar nikah berupa masjid kini menjadi pilihan bagi sebagian pasangan. 
Hal ini merupakan salah satu bentuk kreativitas yang menarik untuk dikaji dari perspektif hukum Islam. 
mengingat nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.
 

Dalam fiqih Islam, mahar nikah menggunakan masjid hukumnya tidak sah. 
Meski demikian, akad nikahnya tetap dihukumi sah dan mahar yang wajib diserahkan adalah mahar mitsil, yakni mahar standar yang biasa diterima keluarga pihak istri.

Mahar Pernikahan dari Harta Haram dan Konsekuensi Hukumnya
Ada dua poin yang menjadi pokok pembahasan dalam permasalahan ini: 

Pertama, status kepemilikan masjid. Dalam kajian fiqih, masjid merupakan bentuk wakaf. 
Sehingga status kepemilikannya adalah milik Allah, bukan milik manusia siapapun, termasuk pewakaf itu sendiri. 
 
Karena itu, baik pewakaf, nazhir maupun yang lain, tidak dapat menyerahkan kepemilikan masjid kepada orang lain. Mereka hanya berhak untuk memanfaatkannya saja, sesuai dengan pemanfaatan wakaf. 

Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:
 
وَاعْلَمْ) أَنَّ الْمِلْكَ فِي رَقَبَةِ الْمَوْقُوْفِ عَلَى مُعَيَّنٍ أَوْ جِهَةٍ يَنْتَقِلُ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَيْ يَنْفَكُّ عَنِ اخْتِصَاصِ الْآدَمِيِّيْنَ
 
Artinya, “Ketahuilah bahwa kepemilikan pada barang yang diwakafkan untuk hal yang tertentu atau untuk umum, itu berpindah kepada Allah swt, artinya terlepas dari kepemilikan manusia.” (Fathul Mu’in Hamisy I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz III, halaman 304).

Kedua, benda-benda yang sah dijadikan mahar nikah. Secara prinsip, benda yang sah untuk dijadikan mahar nikah adalah benda-benda yang sah untuk dijadikan alat tukar dalam akad jual beli. 

Dalam penjelasannya, benda yang sah untuk dijadikan alat tukar dalam jual beli adalah benda yang suci, bermanfaat dan halal untuk dimanfaatkan, dapat diserahterimakan, serta menjadi milik orang yang melakukan transaksi. 

Jumlah Mahar Tak Sesuai Akad Nikah, Bagaimana Hukumnya?
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menjelaskan:
 
وَكُلُّ مَا صَحَّ جَعْلُهُ ثَمَنًا صَحَّ جَعْلُهُ صَدَاقًا وَالَّذِي يَصِحُّ جَعْلُهُ ثَمَنًا هُوَ الَّذِي وُجِدَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ السَّابِقَةُ فِي بَابِ الْبَيْعِ مِنْ كَوْنِهِ طَاهِرًا مُنْتَفَعًا بِهِ مَقْدُوْرًا عَلَى تَسَلُّمِهِ مَمْلُوْكًا لِذِي الْعَقْدِ

Artinya, “Setiap barang yang sah dijadikan alat tukar/pembayaran, maka sah dijadikan mahar nikah. 
Barang yang sah dijadikan mahar nikah adalah barang yang memenuhi syarat-syarat yang telah lewat dalam bab jual beli, yaitu suci, bermanfaat, mampu diserahkan, dan dimiliki oleh orang yang transaksi.” (Hasyiyah I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz III, halaman 581).
 
Sementara Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan, pemahaman dari penjelasan di atas adalah barang-barang yang tidak sah untuk dijadikan alat tukar jual beli, maka tidak sah untuk dijadikan mahar nikah. 
Pemahaman ini dikuatkan oleh pernyataan dari Khathib Asy-Syirbini." (Hasyiyah Al-Bajuri, [Surabaya, Al-Haramain: t.th], juz II, halaman 123).  

Lebih lugas Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan, setiap benda yang tidak dimiliki oleh suami, maka tidak sah untuk dijadikan mahar. 

وَكَالْمَغْصُوبِ كُلُّ مَا لَيْسَ مَمْلُوكًا لِلزَّوْجِ كَأَنْ نَكَحَ بِمَمْلُوكٍ وَخَمْرٍ أَوْ حُرٍّ
 
Artinya, “Sebagaimana barang yang dighashab adalah setiap barang yang tidak dimiliki oleh (calon) suami, seperti ia nikah dengan mahar budak yang dimiliki orang lain, arak, orang merdeka.” (Tuhfatul Muhtaj Hamisyi Hawasyis Syirwani, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2015], juz IX, halaman 376).
 
Karena itu, kewajiban mahar dalam kasus nikah dengan mahar masjid berubah menjadi mahar mitsil, bukan masjid yang disebutkan dalam akad, karena masjid tidak bisa milik termasuk oleh suami. 

Muhammad Ar-Ramli menjelaskan:
 
نَكَحَهَا) بِمَا لَا يَمْلِكُهُ كَأَنْ نَكَحَهَا ( بِخَمْرٍ أَوْ حُرٍّ أَوْ مَغْصُوبٍ ) … ( وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ ) لِفَسَادِ التَّسْمِيَةِ وَبَقَاءِ النِّكَاحِ 
 
Artinya, “Seseorang menikahi perempuan dengan mahar nikah barang yang tidak dia miliki, seperti ia menikahinya dengan mahar berupa arak, orang merdeka, atau barang ghashaban, maka yang menjadi wajib adalah mahar mitsil, karena batalnya penyebutan mahar dan tetapnya keabsahan nikah.” (Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz V, halaman 10).

Demikian penjelasan tentang hukum nikah dengan mas kawin masjid. Intinya, mas kawin dengan masjid hukumnya tidak sah karena masjid tidak dapat dimiliki oleh suami, sehingga tidak dapat diserahterimakan. 
Meski demikian, akad nikahnya tetap dihukumi sah, dan suami berkewajiban menyerahkan mahar mitsil. 
Wallahu a’lam.

 

CUKUR DULU APA AQIQOH DULU

"Waktu Mencukur Rambut Bayi saat Aqiqah
Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu,

Mengenai waktu menggundul bayi yang baru lahir, bolehkah tidak dibarengkan dengan waktu pelaksanaan aqiqah?

Misalnya karena belum mempunyai kelapangan, jadi aqiqah kami laksanakan di hari ke 21. Apakah boleh rambut bayi kami gundul tetap di hari ke 7 tanpa menunggu waktu pelaksanaan aqiqahnya?

Jazakumullahu khairan.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuhu.

Waktu mencukur rambut bayi yang sesuai sunah adalah ketika hari ketujuh pasca-kelahiran. Berdasarkan beberapa dalil yang menjelaskan tentang aqiqah, diantaranya,

Hadis dari Salman bin Amir adh-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Setiap anak ada aqiqahnya, sembelihlah di hari ketujuh dan hilangkan kotoran dari bayi itu.” (HR. Bukhari 5471).

Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, diberi nama, dan digundul kepalanya.” (HR. Nasai 4149, Abu Daud 2837, dan Turmudzi 1522)

Ibnu Qudamah mengatakan,

يستحب أن يحلق رأس الصبي يوم السابع, ويسمى; لحديث سمرة. وإن تصدق بزنة شعره فضة فحسن; لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لفاطمة, لما ولدت الحسن: احلقي رأسه, وتصدقي بزنة شعره فضة على المساكين والأفاوض

Dianjurkan menggundul kepala bayi pada hari ketujuh dan diberi nama. Berdasarkan hadis Samurah. Jika dia bersedekah dengan perak seberat rambut itu, maka itu merupakan perbuatan yang baik. Berdasarkan hadis bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Fatimah ketika melahirkan Hasan: “Cukur rambutnya, bersedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya kepada orang miskin dan ahlus sufah.” (HR. Ahmad)… (al-Mughni, 22:8)

Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan,

ذهب الجمهور المالكية والشافعية والحنابلة إلى استحباب حلق شعر رأس المولود يوم السابع, والتصدق بزنة شعره ذهباً أو فضة عند المالكية والشافعية, وفضة عند الحنابلة. وإن لم يحلق تحرى وتصدق به. ويكون الحلق بعد ذبح العقيقة..

Mayoritas ulama di kalangan Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat dianjurkan untuk mencukur rambut bayi pada hari ketujuh, kemudian bersedekah dengan emas atau perak seberat rambut menurut Malikiyah dan Syafiiyah, sementara menurut Hambali, sedekahnya dengan perak saja. Jika bayi tidak dicukur, orang tuanya bisa memperkirakan berat rambutnya dan bersedekah seberat rambut itu. Kemudian mencukur rambut dilakukan setelah menyembelih aqiqah.. (Mausu’ah al-Fiqhiyah, 26:107).

Berdasarkan keterangan di atas, penentuan waktu pelaksanaan aqiqah di hari ketujuh, hukumnya tidak wajib. Demikian pula, aqiqah dan mencukur rambut, tidak harus dilakukan bersamaan.

Allahu a’lam"

Selasa, 22 Oktober 2024

HUKUM BACA BISMILLAH DISURAH TAUBAH

Hukum Membaca Basmalah Ketika Membaca Surah At-Taubah, Pandangan Ulama
Surah At-Taubah merupakan surah ke-9 dalam Al-Qur’an. Surah ini tergolong unik karena tidak diawali dengan lafal basmalah sebagaimana surah-surah lain.

Surah At-Taubah merupakan surah ke-9 dalam Al-Qur’an. Surah ini tergolong unik karena tidak diawali dengan lafal basmalah sebagaimana surah-surah lainnya.

Keunikan ini tentu saja mendapatkan perhatian khusus dari para ulama yang pakar dalam bidang Ulumul Qur’an dan hadis untuk melakukan penelitian.

Dalam litelatur-literatur klasik yang ditulis para ulama generasi salaf banyak membahas penyebab surah tersebut tidak diawali dengan lafal basmalah.

Demikian juga tentang hukum membaca basmalah ketika membaca surah At-Taubah, para ulama juga membahas tentang hukumnya. Lalu bagaimana hukum membaca basmalah ketika membaca Surah At-Taubah ini dan apa yang menyebabkan surah ini tidak diawali dengan basmalah ?...

Ragam Pendapat Tentang Hukum Membaca Basmalah Dalam Surah At-Taubah

Salah satu kitab kuning kuno yang akan dipamerkan di festival kitab kuning di Banyuwangi (Istimewa)
Menurut KH. M. Sjafi'i Hadzami dalam buku 100 Masalah Agama, [Kudus; Menara Kudus, 1982], halaman 128, bahwa para para ulama fikih, tafsir, atau para muhadditsin telah sepakat bahwa membaca basmalah pada awal surah At-Taubah [baro'ah] hukumnya terlarang.   

Kendati terlarang, para ulama berbeda pendapat terkait konsekuensi dari "dilarang" tersebut. Apakah maksud dari terlarang itu haram, atau justru terlarang itu maksudnya adalah makruh.

Dalam hal ini para ulama tidak ada kesepakatan, terhadap hukum membaca basmalah di awal surah At-Taubah tersebut.   

Syekh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitab I'anah at-Thalibin, Jilid 1, halaman 139 menyatakan bahwa membaca basmalah di awal surah At-Taubah dianggap haram, sementara di tengah surah tersebut dihukumi sebagai perbuatan makruh.

Sementara itu dalam kitab al-Budur az-Zahirah fi Qirati al-Asyar al-Mutawatirah, Jilid I, halaman 13 karya Abdul Fatah al-Qadhi, menyebutkan para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah di awal surat At-Taubah.

Ibnu Hajar dan al-Khatib berpendapat bahwa basmalah itu haram dibaca di awal surat At-Taubah, karena surat tersebut turun dalam konteks perang. Sedangkan al-Ramli dan pengikutnya berpendapat bahwa basmalah itu makruh dibaca di awal surat At-Taubah, tetapi tidak haram.  

Pada sisi lain, terkait membaca basmalah di tengah surah At-Taubah, para ulama juga berbeda pendapat tentang konsekuensi hukumnya. 
Ibnu Hajar dan al-Khatib berpendapat bahwa basmalah itu makruh dibaca di tengah surat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu dianjurkan.

Sedangkan al-Ramli dan pengikutnya berpendapat bahwa basmalah itu sunnah dibaca di tengah surat, karena basmalah merupakan doa dan dzikir yang baik. Syekh Abdul Fatah al-Qadhi menjelaskan:  

واختلفوا في حكم الإتيان بها؛ فذهب ابن حجر والخطيب إلى أن البسملة تحرم في أولها وتكره في أثنائها. وذهب الرملي ومشايعوه إلى أنها تكره في أولها وتسن في أثنائها كما تسن في أثناء غيرها.  

Artinya: "Ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca basmalah pada surah At-Taubah. Ibnu Hajar dan al-Khatib berpendapat bahwa basmalah haram dibaca di awal surat taubah dan makruh dibaca di tengahnya. Sementara itu, al-Ramlî dan para pengikutnya berpendapat bahwa basmalah makruh dibaca di awal surat At-Taubah dan sunnah dibaca di tengah At-Taubah, sebagaimana sunnah dibaca di tengah surat-surat lainnya."  


Lanjutan tentang Hukumnya

Sementara itu, Imam Syaukani dalam kitab Nailul Authar, Jilid II, halaman 218 mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari surah At-Taubah dan Al-Anfal. Oleh karena itu, tidak perlu dibaca ketika hendak memulai membaca surat At-Taubah.

Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Thawus, Atha, Makhul, Ibnul Mubarak, dan sejumlah ulama lainnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, sejumlah ulama Kufah dan Makkah, dan mayoritas ulama Irak.

Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Al-Khathib dari Abu Hurairah dan Sa'id bin Jubair. Imam Syaukani menjelaskan:

(وقد اختلفوا) هل هي آية من الفاتحة فقط؟ أو من كل سورة؟ أو ليست بآية؟ فذهب ابن عباس وابن عمر وابن الزبير وطاوس وعطاء ومكحول وابن المبارك وطائفة إلى أنها آية من الفاتحة ومن كل سورة غير براءة، وحكي عن أحمد وإسحاق وأبي عبيد وجماعة أهل الكوفة ومكة وأكثر العراقيين، وحكاه الخطابي عن أبي هريرة وسعيد بن جبير، ورواه البيهقي في الخلافيات بإسناده عن علي بن أبي طالب والزهري وسفيان الثوري، وحكاه في السنن الكبرى عن ابن عباس ومحمد بن كعب أنها آية من الفاتحة فقط، وحكي عن الأوزاعي ومالك وأبي حنيفة وداود وهو رواية عن أحمد أنها ليست آية في الفاتحة ولا في أوائل السور. وقال أبو بكر الرازي وغيره من الحنفية: هي آية بين كل سورتين غير الأنفال وبراءة، وليست من السور بل هي قرآن مستقل كسورة قصيرة، وحكي هذا عن داود وأصحابه وهو رواية عن أحمد.  

Artinya: "(Para ulama berbeda pendapat) apakah basmalah itu merupakan ayat dari surat Al-Fatihah saja? Atau dari setiap surat? Atau bukan merupakan ayat sama sekali?   "Pendapat pertama: Basmalah merupakan ayat dari surat Al-Fatihah dan dari setiap surat kecuali surat At-Taubah. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Thawus, Atha, Makhul, Ibnul Mubarak, dan sejumlah ulama lainnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, sejumlah ulama Kufah dan Makkah, dan mayoritas ulama Irak. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Al-Khathib dari Abu Hurairah dan Sa'id bin Jubair. Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam kitab Al-Khilafiyah dengan sanadnya dari Ali bin Abi Thalib, Az-Zuhri, dan Sufyan Ats-Tsauri.

Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam kitab As-Sunan Al-Kubra dari Ibnu Abbas dan Muhammad bin Ka'ab bahwa basmalah merupakan ayat dari surat Al-Fatihah saja."   "Pendapat kedua: Basmalah bukan merupakan ayat dalam surat Al-Fatihah maupun dalam awal-awal surat. Pendapat ini dipegang oleh Al-Auza'i, Malik, Abu Hanifah, dan Daud. Pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad."   "Pendapat ketiga: Basmalah merupakan ayat yang terletak di antara dua surat, kecuali surat Al-Anfal dan At-Taubah. Basmalah bukan merupakan bagian dari surat, melainkan merupakan Al-Qur'an tersendiri seperti surat pendek. Pendapat ini dipegang oleh Abu Bakar Ar-Raazi dan sejumlah ulama Hanafi lainnya. Pendapat ini juga diriwayatkan dari Daud dan para sahabatnya, serta merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad."  

Penyebabnya

Penyebabnya adalah karena surah ini memuat ancaman langsung dari Allah dan banyak ayat di dalamnya yang berkaitan dengan perang.  

Alasan di balik hukum ini adalah karena surah At-Taubah dianggap mengandung ancaman dari Allah, yang jauh dari rahmat Allah. Pun di dalamnya terdapat banyak ayat yang berkaitan dengan perang.

Oleh karena itu, dikhawatirkan bahwa membaca basmalah di awal surah ini dapat dianggap tidak pantas atau tidak sesuai dengan konteks bacaan basmalah, yang mengandung rahmat dan kasih sayang Allah. Artinya, perang dan ancaman dalam surat ini mungkin membuat pembacaan basmalah di awal surah dianggap tidak tepat. 

Syekh Abu Bakar Syatha menjelaskan:

أما هي فليست البسملة آية منها و تكره أولها و تسن أثناءها عند م ر و عند حجر تحرم اولها و تكره اثناءها اي لان  المقام لا يناسب الرحمة لأنها نزلت باسيف  
Artinya; "Adapun basmalah, maka ia bukanlah ayat dari surat At-Taubah, dan dimakruh untuk membaca basmalah di awal, dan disunnahkan untuk membacanya di tengah-tengahnya menurut Imam Muhammad ar-Ramli. Dan menurut Ibnu Hajar al-Haitami diharamkan basmalah pada permulaannya dan dimakruhkan dipertengahannya, maksudnya karena maqamnya tidak sesuai dengan Rahmat, karena surat tersebut turun bersama pedang".  

Bagaimana Menyikapi Perbedaan Pendapat Ini?
Berdasarkan uraian di atas, hukum membaca At-Taubah para ulama berbeda pendapat. Lantas bagaimana menyikap perbedaan pendapat ini?

Sebab bacaan ta'awwudz merupakan dzikrullah [dzikir pada Allah]. 
Untuk itu, setiap perbuatan yang diawali dengan membacanya akan mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Sebagaimana dalam riwayat: 

كل أمر ذي بال لا يُبدأ فيه بذكر الله فهو أبتر

Artinya: "Setiap perkara penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah maka ia terputus (kurang) keberkahannya."

Selasa, 08 Oktober 2024

Kisah nusaibah binti ka'ab (Wonder woman)

Kisah Sahabat Nabi: Nusaibah binti Ka'ab

Nusaibah binti Ka'ab Al-Anshariyah adalah seorang sahabat wanita yang agung lagi pemberani. 
Banyak jasa telah ia ukir dalam perjuangan dakwah Islam. Ummu Imarah, demikian ia biasa dipanggil, adalah salah satu contoh keberanian yang abadi.

Diabetes Bukan Dari Makanan Manis! Temui Musuh Utama Diabetes
Ia merupakan sosok pahlawan yang tidak pernah absen melaksanakan kewajiban bilamana ada panggilan untuknya. 
Semua target perjuangannya ditujukan untuk kemuliaan dunia dan akhirat.


Ummu Imarah adalah seorang sahabat wanita yang agung. Ia termasuk satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 orang laki-laki Anshar yang hendak berbaiat kepada Rasulullah dalam Baiat Aqabah Kedua. 
Pada waktu itu, ia berbaiat bersama suaminya, Zaid bin Ashim, dan dua orang putranya.


Kisah kepahlawanan Nusaibah yang paling dikenang sepanjang sejarah adalah pada saat Perang Uhud, di mana ia dengan segenap keberaniannya membela dan melindungi Rasulullah.

Pada perang itu, Nusaibah bergabung dengan pasukan Islam untuk mengemban tugas penting di bidang logistik dan medis. 
Bersama para wanita lainnya, Nusaibah ikut memasok air kepada para prajurit Muslim dan mengobati mereka yang terluka.

Ketika kaum Muslimin dilanda kekacauan karena para pemanah di atas bukit melanggar perintah Rasulullah, nyawa beliau berada dalam bahaya. 
Ketika melihat Rasulullah menangkis berbagai serangan musuh sendirian, Nusaibah segera mempersenjatai dirinya dan bergabung dengan yang lainnya membentuk pertahanan untuk melindungi beliau.

Dalam berbagai riwayat disebutkan, bahwa ketika itu Nusaibah berperang penuh keberanian dan tidak menghiraukan diri sendiri ketika membela Rasulullah. Saat itu, Nusaibah menderita luka-luka di sekujur tubuhnya. Sedikitnya ada sekitar 12 luka di tubuhnya, dengan luka di leher yang paling parah. Namun hebatnya, Nusaibah tidak pernah mengeluh, mengadu, atau bersedih.

Ketika Rasulullah melihat Nusaibah terluka, beliau bersabda, "Wahai Abdullah (putra Nusaibah), balutlah luka ibumu! Ya Allah, jadikanlah Nusaibah dan anaknya sebagai sahabatku di dalam surga."

Mendengar doa Rasulullah, Nusaibah tidak lagi menghiraukan luka di tubuhnya dan terus berperang, membela Rasulullah dan agama Allah. "Aku telah meninggalkan urusan duniawi," ujarnya.

Dalam sejarah Islam, Nusaibah juga disebut-sebut sebagai seorang wanita yang memiliki kesabaran luar biasa dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Ketika salah seorang putranya syahid dalam sebuah pertempuran, Nusaibah menerimanya dengan penuh keyakinan bahwa putranya mendapatkan kedudukan tinggi di sisi Allah. Ia menerima berita kematian anaknya dengan penuh serta kebanggaan.

Selain Perang Uhud, Nusaibah bersama suami dan putra-putranya juga ikut dalam peristiwa Hudaibiyah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah. Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka, tapi juga memanggul senjata menyambut serangan musuh.

Setelah Rasulullah SAW wafat, sebagian kaum Muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. 
Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah Al-Kadzdzab dan menunjuk Habib, putra Nusaibah, sebagai utusannya.

Namun, Musailamah menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid. Meninggalnya Habib meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. 
Pada Perang Yamamah, Nusaibah dan putranya, Abdullah, ikut memerangi Musailamah hingga tewas di tangan mereka berdua.

Beberapa tahun setelah Perang Yamamah, Nusaibah meninggal dunia. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada Nusaibah binti Ka'ab Al-Anshariyah dengan curahan rahmat-Nya yang luas, menyambutnya dengan keridhaan, serta memuliakan kedudukannya.



RUKUN IBADAH

3 Rukun Ibadah: Tadabbur Surat Al-Fatihah.

Ibadah yang kita lakukan harus memiliki 3 Rukun sebagaimana para ulama menyebutkan yaitu cinta, harapan, takut dalam surat Al-Fatihah kalimat

الْحَمْدُ لِلَّهِ.
 Mangandung makna al-hub (cinta) . Orang yang jatuh cinta selalu menyebut nama yang dicintainya dan menuruti kemauan orang yang dicintai. 
Seorang hamba mencintai Allah, maka dia akan rela untuk melakukan seluruh hal yang diperintahkan dan menjauhi seluruh hal yang dilarang oleh yang dicintainya tersebut. 
Cinta kepada Allah juga mengharuskan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Allah agar mendapatkan cinta Allah.

Faidah dalam kalimat الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ mengandung makna Roja (harapan). Harapan akan diterimanya amal kita, harapan akan dimasukkan surga, harapan untuk berjumpa dengan Allah, harapan akan diampuni dosa, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat yang merupakan Rahmat dan kasih sayang Allah Subhana wa ta’la


Faidah kalimat مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ mengandung makna Rasa Takut (khouf). Seorang hamba yang memiliki rasa takut, akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah kepada Alloh semata agar bebas dari murka dan adzab-Nya. 
Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat karena ada hari pembalasan.

Jadi ibadah harus ada cinta,harap dan takut agar menjadi seorang mukmin muwahhid ( seorang yang beribadah dengan benar dan mentauhidkan Allah).
Kata salaf,

من عبد الله بالحب وحده فهو زنديق، ومن عبده بالرجاء وحده فهو مرجئ، ومن عبده بالخوف وحده فهو حروري، ومن عبده بالحب والخوف والرجاء فهو مؤمن موحد

Barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq .
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan raja’, maka ia adalah murji’ .
Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy . 
Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.

Pembagian Harta Sebelum Ayah Meninggal, Bolehkah?

Pembagian Harta Sebelum Ayah Meninggal, Bolehkah?

PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum Wr Wb.

Ustadz yang terhormat, ayah kami ingin membagi tanah beserta bangunan di atasnya kepada anak2nya (1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan) secara rata (masing-masing mendapat 1/3), tetapi harta tersebut baru diberikan (dialihnamakan) kepada anak2nya apabila kedua orang tua sudah tidak ada.

Untuk memperkuat hal tersebut, nantinya dibuat semacam perjanjian di atas kertas dengan saksi-saksi. Apakah hal ini dibenarkan menurut hukum Islam? Ayah berpendapat bahwa harta tersebut bukan warisan tapi harta yang diberikan oleh orang tua kepada anak2nya secara sukarela (karena memang hanya tanah & bangunannya saja, bukan semua harta benda yang dipunyai).

Wassalamu'alaikum Wr Wb

JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang dilakukan oleh ayah anda sebenarnya sah-sah saja, asalkan jangan dinamakan sebagai pembagian warisan. Yang tepat untuk kasus tersebut adalah hibah.

Harta hibah adalah harta yang diberkan oleh seseorang kepada orang lain di saat keduanya masih hidup. Tidak diperlukan syarat pada yang menerima untuk menjadi ahli warisnya atau bukan.

Jadi harta hibah itu boleh diberikan kepada siapa saja, baik anak sendiri atau anak orang lain. Besarnya pun tidak ada batasan. Boleh sebagian dan boleh juga seluruhnya.

Namun ada satu hal penting yang harus diperhatikan dalam masalah hibah, yaitu berpindahnya kepemilikan atas harta tidak dikaitkan dengan kematian seseorang. Jadi kalau ayah anda memberi hibah kepada anaknya, maka saat itu juga harta itu seharusnya sudah berpindah kepemilikan, tidak perlu menunggu si ayah meninggal terlebih dahulu.

Kalau harus menunggu ayah meninggal terlebih dahulu, maka namanya bukan hibah melainkan wasiat. Dan bila masuk ke dalam kategori wasiat, maka hukumnya berbeda lagi.

Yang paling utama dalam masalah wasiat adalah bahwa ahli waris justru tidak boleh menerima. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Tidak ada harta wasiat buat ahli waris

Itu berarti si ayah tidak boleh mewasiatkan untuk memberikan harta kepada anak-anaknya setelah dirinya meninggal nanti. Kalau mau memberi, berilah sekarang juga saat masih hidup. Kalau harus menunggu meninggal dunia dulu, maka yang boleh dilakukan adalah bagi waris.

Dan dalam hal membagi waris, sudah ada ketentuannya yang baku dari atas langit. Dan dalam hukum bagi waris, telah ditetapkan bahwa tiap anak laki-laki berhak untuk mendapatkan bagian sebesar 2 kali lipat dari bagian yang diterima anak perempuan. Ketetapan ini haram untuk dilanggar, karena Allah SWT sudah tetapkan di dalam Al-Quran.

Allah mensyari'atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa': 11)

Maka pilihannya tinggal satu saja, yaitu berilah kepada anak-anak saat ini sejak masih hidup dan pastikan mereka telah menerimanya. Tidak perlu menunggu mati terlebih dahulu. Agar pembagiannya tidak termasuk pembagian harta warisan atau harta wasiat, cukup menjadi pemberian (hibah) saja.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Selasa, 01 Oktober 2024

KEUTAMAAN NABI MUHAMMD SAW

Keutamaan Nabi Muhammad SAW Dibanding Para Rasul

Keutamaan Nabi Muhammad SAW sangat panjang untuk dibahas. Tetapi kami akan menghadirkan uraian guru kami Rektor Imam Shafie College Syeikh Muhammad Ba'athiyah tentang hal ini. Syekh Muhammad menyebutkan dalam karyanya Mujazul Kalam yang tidak lain dari penjelasan nazhom Aqidatul Awam karya Sayyid Ahmad Al-Marzuqi sebagai berikut,

نَبِيُّنَا مُحَمَّدٌ قَدْ أُرْسِلَا - لِلْعَالَمِيْنَ رَحْمَةً وَفُضِّلَا

Nabi kita Muhammad SAW telah diutus

Ke alam semesta sebagai rahmat dan beliau telah diberi keutamaan.

Yang dimaksud alam semesta adalah segala hal selain Allah SWT. Jadi risalah Nabi Muhammad SAW itu umum untuk semua mahluk bahkan untuk malaikat, benda mati, dan binatang di mana mereka tidak memunyai akal. Hanya saja risalahnya kepada mereka adalah risalah ta'rif (pengenalan). Sedangkan untuk malaikat adalah risalah tasyrif (kemuliaan) bukan risalah taklif (kewajiban menjalankan syariat Islam).

Syekh Ibnu Hajar berkata, "Bahkan risalahnya kepada malaikat adalah risalah taklif dengan kewajiban yang layak bagi mereka. Sedangkan risalah untuk manusia dan jin, begitu pula Ya'juj dan Ma'juj adalah risalah taklif secara ijma'.”

Siapa saja yang meniadakan keumuman risalahnya seperti sekte 'Isawiyah adalah kafir. 'Isawiyah adalah salah satu sekte dari Yahudi yang menganggap Nabi Muhammad SAW diutus teruntuk hanya Bangsa Arab). Hal ini berlandaskan pada Firman Allah SWT,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلَّناسِ. (سبأ : 28)

"Tidaklah kami mengutusmu melainkan untuk semua manusia". (QS. Saba': 28)

Begitu juga hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi sebagai berikut,

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلِيْ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ, وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا, فَأَيُّمَا رَجُلٌ مِنْ أُمَّتِيْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ, وَأُحِلَّتْ لِي الْغَنَائِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ مِنْ قَبْلِيْ, وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ, وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النِّاسِ كَافَّةً)). رواه البخاري ومسلم 

"Aku telah diberi 5 keistimewaan yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi sebelumku. Pertama, Aku diberi pertolongan dengan rasa takut yang ditanamkan dalam musuh dalam jangka sebulan (sebelum berperang). Kedua, bumi dijadikan masjid dan suci bagiku. Siapa pun ketika masuk waktu shalat dapat menjalankannya di mana saja. Ketiga, ghanimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku. Sedangkan ghanimah tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabi pun sebelumku. Keempat, Aku diberikan syafa'at. Kelima seorang nabi hanya diutus terbatas untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk semua umat manusia. HR Bukhari-Muslim.

Bahkan sebagian ulama berpendapat akan keumuman ayat dan hadits di atas yang menyatakan Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh manusia, bahkan termasuk umat-umat terdahulu dan nabi-nabi mereka. Penjelasan ini bisa ditarik dari sebuah ayat yang menyatakan bahwa Allah SWT telah mengambil janji saat pengutusan Nabi Muhammad SAW. Allah meminta para nabi untuk beriman kepadanya seperti dijelaskan dalam ayat berikut,

وَإِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثَاقَ النَّبِيِّيْنَ لَمَا أَتَيْتُكُمْ مِنْ كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِ وَلَتَنْصُرَنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَى ذَلِكَ إِصْرِيْ قَالُوْا أَقْرَرْنَا قَالَ فَاشْهَدُوْا وَأَنَا مَعَكُمْ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ. (آل عمران : 81).

Ketika Allah mengambil janji para nabi terhadap apa yang Aku datangkan baik dari kitab maupun hikmah, kemudian datang seorang rasul (Nabi Muhammad SAW) yang membenarkan apa yang kalian bawa, kalian akan beriman kepadanya serta menolongnya. Allah berfirman, “Apakah kalian mengikrarkan dan akan mengambil janji-Ku?” Mereka (para nabi) menjawab, “Kami berikrar.” Allah berfirman, “Saksikanlah. Aku bersama kalian menjadi saksi." (QS. Ali Imran : 81)

Risalah yang diemban Rasulullah SAW adalah rahmat bagi semesta Alam. Orang-orang yang beriman pada risalahnya akan selamat di dunia dan akhirat. Sedangkan mereka yang mengingkarinya akan ditimpakan azab yang menyedihkan.

Allah SWT berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِيْنَ. (الأنبياء : 107).

"Tidaklah kami mengutusmu melainkan sebagai Rahmat untuk semesta alam". (QS. Al-Anbiya' : 107).

Di antara hal yang wajib diyakini seorang yang mukallaf tentang Nabi Muhammad SAW adalah keutamaan Rasulullah SAW di atas para nabi dan rasul. Ayat tentang pengutusannya untuk segenap umat manusia sudah memadai sebagai dalil atas keutamaannya dibandingkan para nabi dan rasul. Allah SWT berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلَّناسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا. (سبأ : 28)

"Tidaklah kami mengutusmu melainkan untuk semua manusia sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan". (QS. Saba' : 28)

Berikut ini hadits yang menunjukkan keutamannya atas segenap nabi dan rasul,

أَنَا أَوَّلُ النَّاسِ خُرُوْجًا إِذَا بُعِثُوْا, وَأَنَا خَطِيْبُهُمْ إِذَا وَفَدُوْا, وَأَنَا مُبَشِّرُهُمْ إِذَا يَئِسُوْا. لِوَاءُ الْحَمْدِ يَوْمَئِذٍ بِيَدِيْ, وَأَنَا أَكْرَمُ وَلَدِ آدَمَ عَلَى رَبِّيْ وَلاَ فَخْرَ. رواه الترمذي

"Aku adalah manusia yang pertama kali keluar saat orang-orang dibangkitkan (dari kuburnya). Aku adalah khotib mereka tatkala mereka datang. Aku pemberi kabar gembira manakala mereka berputus asa (pada hari Kiamat). Bendera pujian pada hari itu ada di tanganku. Sedangkan aku adalah anak Adam (manusia) yang paling mulia di hadapan Tuhanku namun (aku) tidak bangga. " HR Tirmidzi.

Di antara hal yang juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad SAW adalah Hadits beliau berikut ini:

أَلاَ وَأَنَا حَبِيْبُ اللهِ وَلاَ فَخْرَ, وَأَنَا حَامِلُ لِوَاءِ الْحَمْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ, وَأَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ وَلاَ فَخْرَ, وَأَنَا أَوَّلُ مَنْ يُحَرِّكُ حَلَقَ الْجَنَّةِ فَيَفْتَحُ اللهُ لِيْ فَيُدْخِلُنِيْهَا وَمَعِيَ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ فَخْرَ, وَأَنَا أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ وَالْآخِرِيْنَ وَلاَ فَخْرَ. رواه الترمذي

Ketahuilah aku adalah kekasih Allah tetapi tidak bangga. Aku adalah pembawa bendera pujian pada hari Kiamat tetapi tidak bangga. Aku adalah orang yang pertama kali memberikan syafa'at tetapi tidak bangga. Aku adalah orang yang pertama kali mengetuk pintu surga hingga Allah membuka untukku dan memasukkanku ke dalamnya. Sedangkan ada orang-orang fakir yang beriman bersamaku tetapi tidak bangga. Aku adalah orang paling mulia dari awal sampai akhir tetapi tidak bangga". HR Tirmidzi.

Pernyataan “Aku tidak bangga” menunjukkan ungkapan ketawadhu’an sebagai tanda ketidak sombongan.