Hukum Jadikan Masjid sebagai Mahar Nikah.
Pernikahan adalah momen sakral dalam Islam.
Ketentuan pernikahan telah diatur secara detail dalam Al-Qur'an dan hadits, serta penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mu’tabarah. Salah satu aspek penting yang diatur adalah mengenai mas kawin atau mahar.
Seiring berjalannya waktu, bentuk mahar nikah pun mengalami perkembangan. Jika dahulu mahar nikah lebih identik dengan benda-benda berharga atau uang, kini muncul inovasi seperti mahar nikah berupa masjid.
Mahar nikah berupa masjid kini menjadi pilihan bagi sebagian pasangan.
Hal ini merupakan salah satu bentuk kreativitas yang menarik untuk dikaji dari perspektif hukum Islam.
mengingat nilai spiritual dan sosial yang terkandung di dalamnya.
Dalam fiqih Islam, mahar nikah menggunakan masjid hukumnya tidak sah.
Meski demikian, akad nikahnya tetap dihukumi sah dan mahar yang wajib diserahkan adalah mahar mitsil, yakni mahar standar yang biasa diterima keluarga pihak istri.
Mahar Pernikahan dari Harta Haram dan Konsekuensi Hukumnya
Ada dua poin yang menjadi pokok pembahasan dalam permasalahan ini:
Pertama, status kepemilikan masjid. Dalam kajian fiqih, masjid merupakan bentuk wakaf.
Sehingga status kepemilikannya adalah milik Allah, bukan milik manusia siapapun, termasuk pewakaf itu sendiri.
Karena itu, baik pewakaf, nazhir maupun yang lain, tidak dapat menyerahkan kepemilikan masjid kepada orang lain. Mereka hanya berhak untuk memanfaatkannya saja, sesuai dengan pemanfaatan wakaf.
Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan:
وَاعْلَمْ) أَنَّ الْمِلْكَ فِي رَقَبَةِ الْمَوْقُوْفِ عَلَى مُعَيَّنٍ أَوْ جِهَةٍ يَنْتَقِلُ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَيْ يَنْفَكُّ عَنِ اخْتِصَاصِ الْآدَمِيِّيْنَ
Artinya, “Ketahuilah bahwa kepemilikan pada barang yang diwakafkan untuk hal yang tertentu atau untuk umum, itu berpindah kepada Allah swt, artinya terlepas dari kepemilikan manusia.” (Fathul Mu’in Hamisy I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz III, halaman 304).
Kedua, benda-benda yang sah dijadikan mahar nikah. Secara prinsip, benda yang sah untuk dijadikan mahar nikah adalah benda-benda yang sah untuk dijadikan alat tukar dalam akad jual beli.
Dalam penjelasannya, benda yang sah untuk dijadikan alat tukar dalam jual beli adalah benda yang suci, bermanfaat dan halal untuk dimanfaatkan, dapat diserahterimakan, serta menjadi milik orang yang melakukan transaksi.
Jumlah Mahar Tak Sesuai Akad Nikah, Bagaimana Hukumnya?
Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi menjelaskan:
وَكُلُّ مَا صَحَّ جَعْلُهُ ثَمَنًا صَحَّ جَعْلُهُ صَدَاقًا وَالَّذِي يَصِحُّ جَعْلُهُ ثَمَنًا هُوَ الَّذِي وُجِدَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ السَّابِقَةُ فِي بَابِ الْبَيْعِ مِنْ كَوْنِهِ طَاهِرًا مُنْتَفَعًا بِهِ مَقْدُوْرًا عَلَى تَسَلُّمِهِ مَمْلُوْكًا لِذِي الْعَقْدِ
Artinya, “Setiap barang yang sah dijadikan alat tukar/pembayaran, maka sah dijadikan mahar nikah.
Barang yang sah dijadikan mahar nikah adalah barang yang memenuhi syarat-syarat yang telah lewat dalam bab jual beli, yaitu suci, bermanfaat, mampu diserahkan, dan dimiliki oleh orang yang transaksi.” (Hasyiyah I’anatit Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz III, halaman 581).
Sementara Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan, pemahaman dari penjelasan di atas adalah barang-barang yang tidak sah untuk dijadikan alat tukar jual beli, maka tidak sah untuk dijadikan mahar nikah.
Pemahaman ini dikuatkan oleh pernyataan dari Khathib Asy-Syirbini." (Hasyiyah Al-Bajuri, [Surabaya, Al-Haramain: t.th], juz II, halaman 123).
Lebih lugas Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan, setiap benda yang tidak dimiliki oleh suami, maka tidak sah untuk dijadikan mahar.
وَكَالْمَغْصُوبِ كُلُّ مَا لَيْسَ مَمْلُوكًا لِلزَّوْجِ كَأَنْ نَكَحَ بِمَمْلُوكٍ وَخَمْرٍ أَوْ حُرٍّ
Artinya, “Sebagaimana barang yang dighashab adalah setiap barang yang tidak dimiliki oleh (calon) suami, seperti ia nikah dengan mahar budak yang dimiliki orang lain, arak, orang merdeka.” (Tuhfatul Muhtaj Hamisyi Hawasyis Syirwani, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2015], juz IX, halaman 376).
Karena itu, kewajiban mahar dalam kasus nikah dengan mahar masjid berubah menjadi mahar mitsil, bukan masjid yang disebutkan dalam akad, karena masjid tidak bisa milik termasuk oleh suami.
Muhammad Ar-Ramli menjelaskan:
نَكَحَهَا) بِمَا لَا يَمْلِكُهُ كَأَنْ نَكَحَهَا ( بِخَمْرٍ أَوْ حُرٍّ أَوْ مَغْصُوبٍ ) … ( وَجَبَ مَهْرُ مِثْلٍ ) لِفَسَادِ التَّسْمِيَةِ وَبَقَاءِ النِّكَاحِ
Artinya, “Seseorang menikahi perempuan dengan mahar nikah barang yang tidak dia miliki, seperti ia menikahinya dengan mahar berupa arak, orang merdeka, atau barang ghashaban, maka yang menjadi wajib adalah mahar mitsil, karena batalnya penyebutan mahar dan tetapnya keabsahan nikah.” (Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz V, halaman 10).
Demikian penjelasan tentang hukum nikah dengan mas kawin masjid. Intinya, mas kawin dengan masjid hukumnya tidak sah karena masjid tidak dapat dimiliki oleh suami, sehingga tidak dapat diserahterimakan.
Meski demikian, akad nikahnya tetap dihukumi sah, dan suami berkewajiban menyerahkan mahar mitsil.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar