Kumpulan Ilmu Pengetahuan
Akibat dari maksiat yang diremehkan
Ibadallah!
Pertemuan kita pada hari ini, dimana kaum muslimin menampakkan syiar mereka yang terbesar setelah Iedul Fitri dan Iedul Adha, mereka berkumpul di dalam masjid-masjid untuk beribadah dan berdzikir kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala
Semua itu telah mengingatkan kita, kepada abad-abad kejayaan Islam. Dimana kaum muslimin berada dalam bimbingan sebuah khilafah. Dimana kaum muslimin memegang peranan. Dunia dari batas timur dan barat menaruh hormat kepada agama kita. Kaum muslimin menjadi orang-orang yang mulia, mempunyai izah dan harga diri, penuh karamah dan siyadah, dinaungi oleh garis-garis besar haluan Al-Qur’an dan Sunnah. Kehidupan para pemimpinnya tunduk dan hormat kepada keputusan ulama, ulamanya patut menjadi Panutan. Rakyat pun bahagia, santosa dan sejahtera, damai tentram lahir dan batin. Mendapatkan segala haknya sebagai rakyat, mulai dari hak pelayanan, hak mendapatkan pendidikan, rasa aman, keadilan, dan mengungkapkan pendapat dan nasehat kepada sang pemimpin.
Semua itu mengingatkan abad-abad di mana orang ahlu dzimmah (selain Islam yang hidup di negeri Islam) tunduk dan hormat kepada setiap muslim, tunduk dan taat kepada hukum dan tatanan muamalat Islam. Tak seorang pun dari mereka yang berani mengangkat bahu dan wajahnya. Mereka wajib membayar jizyah, dengan jaminan penuh berupa rasa aman, bebas menjalankan peribadatan mereka di tempat-tempat peribadatan mereka.
Akan tetapi ya ma’asyiral muslimin, semua itu hanya tinggal kenangan, di sana sini Ummat Islam dibantai, disiksa, diusir dibikin lapar setengah mati, semuapun diam tanpa basa-basi, kalau dahulu kita dapat melarang ahlu dzimmah dari berlatih kuda, maka pada hari ini, abad ini, mereka telah menaiki kepala-kepala kita, yang dahulu mereka dapat hidup nyaman di negeri kita, sekarang merekalah yang mencabik-cabik tubuh kita di pelbagai belahan dunia, ditetangga kita, di dekat kita, bahkan mungkin di depan mata kita dan kitapun hanya bisa diam!
Berapa banyak orang yang berani berpura-pura masuk Islam, kemudian menikahi anak kita, akhwat kita, kemudian ternyata bulan madupun berubah menjadi bulan racun yang mematikan!!
Kurang puas dari itu semua ... dipaksalah anak kita, akhwat kita untuk murtad dari agamanya, dipaksalah ia untuk menjadi seorang pelacur murahan, menjual murah harga diri dan kehormatannya!!
Segalanya terjadi tidak lain karena kita telah menjauhi ajaran Islam. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu maka baginya kehidupan yang sempit.”
Semuanya terjadi karena kita selalu berbuat maksiat, jauh dari tunduk dan taat kepada Allah. Karena harus kita akui bahwa Allah tiada akan menimpakan musibah kecuali karena adanya maksiat. Dan tak akan mencabutnya kembali kecuali dengan adanya taubat dan istighfar.
Kalau bukan karena maksiat kenapa Iblis dilaknat oleh Allah?! Dijauhkan dari rahmatNya, diusir dari Surga dan alam malakutNya, dijadikan lemah dan hina.
Allah berfirman:
“Keluarlah dari Surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk dan sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat” (Al-Hijr: 34-35)
Kalau bukan karena maksiat apa sebabnya Allah menumpahkan air dari langit, memuntahkannya ke bumi. Hingga mereka umat Nabi Nuh yang kafir dan durhaka itu tenggelam dan binasa. Mati terkubur di dalam lumpur.
Dan Nuh berkata: “Naiklah kamu sekalian kedalamnya dengan menyebut nama Allah diwaktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Penghampun lagi Maha Penyanyang.”
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada ditempat yang jauh terpencil. “ Hai anakku naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.
Anaknya menjawab” Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!
Nuh berkata “ Tidak ada yang melindungi hari ini dari adzab Allah selain Allah saja yang Maha Penyanyang
Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya: maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 41-43).
Kalau bukan karena maksiat lantas apa yang menyebabkan Allah menghancurkan kaum Nabi Hud Alaihissalam ditumpas habis tiada tersisa.
“Maka mereka mendustakan (Hud) lalu kami binasakan mereka karena sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah tetapi kebanyakan mereka tidak beriman.” (Asy-Syu’ara’: 139).
Kalau bukan karena maksiat, kenapa kaum Tsamud harus menelan mentah-mentah adzab yang sangat pedih?!
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. Dan mereka berkata, ‘Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus Allah’, karena itu mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka.” (Al-A’raf: 77-78).
Kaumnya Nabi Luth pun hancur berkeping-keping karena maksiat pula tujuh kota hancur berantakan, mereka diangkat setinggi-tingginya ke atas langit dengan cepat lantas dibenturkan ke bumi sedang yang tadinya berada di atas berubah menjadi di bawah lantas dihujani bebatuan dari sijjil.
“Maka tatkala datang adzab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikan) dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar bertubi-tubi yang diberi tanda oleh Tuhanmu dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim.” (Hud: 82-83)
Negeri Fir’aun dilanda taufan kencang, hama belalang, tersebarnya kutu, merejalelanya kodok dan menyebarkan darah karena maksiat juga.
“Maka kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.”
Kemudian karena mereka tidak merubah sikapnya dalam berbuat maksiat kepada Allah, maka lanjutnya:
Kemudian Kami menghukum mereka maka kami tenggelam-kan mereka dilaut disebabkan mendustakan ayat-ayat kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikannya. (Al-A’raf: 133 dan 136).
Bangsa Yahudi bertubi-tubi mendapatkan laknat dan adzab
Kadang mereka merasa puas setelah menyakiti NabiNya, bahkan mereka telah membunuh beberapa nabi, maka pantas sekali kalau Allah merubah mereka menjadi binatang yang paling keji didunia, mereka dirubah menjadi babi dan kera, karena tabiat mereka memang seperti babi dan kera, menjadikan tak tahu balas budi dan rakus, maka Allah mendatangkan kepada mereka bala tentara yang tidak mengasihi mereka, menghancurkan segala yang ada, mereka akan selalu terusir dan selamanya mereka tidak akan merasa tentram. Bahkan sampai akhir zamanpun selama mereka tidak merubah sikap dan bertaubat, maka murka Allah itu akan selalu berulang atas mereka.
Oleh karena itu ma’asyiral muslimin, segala musibah yang menimpa selama ini tidak lain karena ulah tangan manusia sendiri. Allah berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41).
Karena ketidak adilan, karena korupsi, suap menyuap, narkoba yang selalu erat dengan perzinaan, pelacuran dan pencurian, karena riba, salah memilih pendidikan, karena ambisi, hasad, iri dan dengki, buruk sangka serta segala bentuk kemak-siatan yang lainnya. Oleh karena itu ketetapan Allah (sunnatulah) pasti berlaku sepanjang zaman.
Sunnatullah yang pertama:
“Barangsiapa berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kaffah, ridha, ikhlash dan tulus dalam meniti jalannya para salafus shalih, membekali dirinya dengan ilmu yang benar, niat yang kuat dan amal yang tepat, maka dialah yang akan menuai segala kebaikan, kemuliaan, kejayaan dan kemenangan.”
Sedang Sunnatullah yang kedua adalah:
“Barangsiapa yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengikuti trend orang-orang kafir, meninggalkan ilmu dan amal, pastilah menuai kehancuran, kekacauan, kenistaan dan kebinasaan, dimanapun dia berada. Oleh karena itu tiada jalan yang pas kecuali ajakan, seruan untuk kembali ke jalan Allah dan tiada jalan yang pas kecuali ajakan, seruan untuk kembali kejalan Allah dan Rasulnya, ajaran Allah dan Rasulnya, Bimbingan Allah dan Rasulnya. Agar kita bahagia, sentosa dan menjadi ummat yang berjaya!!!
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ مُعِيْدِ الْجَمْعِ وَاْلأَعْيَادِ، وَمُبِيْدِ اْلأُمَمِ وَاْلأَجْنَادِ وَجَامِعِ النَّاسِ بَعْدَ الرَّقَابِ، إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيْعَادَ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلاَ نِدَّ وَلاَ مُضَادَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمِّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَفَضِّلَةُ عَلَى جَمِيْعِ الْعِبَادِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ؛ عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
Marilah kita selalu meningkatkan ketaqwaan kita, marilah kita selalu mensyukuri nikmat karena dengan taqwa dan syukur akan terbentang jalan keselamatan untuk kita, serta agar selalu berdo’a semoga Allah selalu melimpahkan kepada kita kehidupan yang selamat di dunia dan akhirat. Amin
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْعَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ اْلأَبْرَارِ. رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَّسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا، رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِن قَبْلِنَا، رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ، وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنتَ مَوْلاَنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ. أَقِيْمُوا الصَّلاَةَ.
Bacaan Khutbah Pertama :
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ اْلأَكْبَرِ، خَلَقَ الْكَوْنَ وَدَبَّرَ، خَلَقَ اْلإِنْسَانَ ثُمَّ أَمَاتَهُ ثُمَّ أَقْبَرَ، وَأَرْسَلَ الرُّسُلَ وَأَخْبَرَ، وَأَنْزَلَ الْقُرْآنَ الْكَرِيْمَ فِيْهِ الْعِظَاتُ وَالْعِبَرُ، فَهَدَى وَأَحَلَّ وَأَمَرَ، وَنَهَى وَحَرَّمَ وَزَجَرَ، فَقَالَ فِيْ سُوْرَةَ الْكَوْثَرِ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ: إِنَّآ أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، وَهُوَ الْقَائِلُ سُبْحَانَهُ: يَوْمَ يُسْحَبُونَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ذُوقُوا مَسَّ سَقَرَ. إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ. وَمَآأَمْرُنَآ إِلاَّ وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَهُوَ خَيْرُ الْبَشَرِ، وَصَاحِبُ الْحَوْضِ الْكَوْثَرِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ الْمُطَهَّرِ، وَعَلَى مَنْ صَاحَبَهُ وَأَزَرَهُ وَوَقَرَ، وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ فِيْ كُلِّ أَثَرٍ، إِلَى يَوْمِ الْمَحْشَرِ.
أَمَّا بَعْدُ؛ عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ، فَاتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
Oleh : Edi Kasdi
Unknown di 07.20 Tidak ada komentar:
Berbagi
Akhir Hidup Yang Baik_ oleh A. Baqi
AKHIR HIDUP YANG BAIK
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
KHUTBAH PERTAMA
Ma’asyiral Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!
Setelah kita mengucapkan kalimat tahmid, kalimat tahlil sebagai bentuk sanjungan dan pujian kita kepada Dzat satu-satunya tempat kita menggantungkan diri dari segala sesuatu, maka tiada kata dan ungkapan yang sepatutnya kita sampaikan dalam majelis yang mulia ini melainkan washiyatut taqwa, yaitu satu kalimat yang dengannya Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah menyebutkannya dalam sekian banyak ayat, dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun seringkali memberikan washiyat kepada para shahabatnya dalam khutbah-khutbahnya dengan kalimat tersebut, sebagaimana yang pernah beliau sampaikan juga kepada dua orang sahabat yang bernama Abu Dzar dan Mu’ad bin Jabal dalam riwayat at-Tirmidzi beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bersabda
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَاَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, dan barengilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan yang baik dan berakhlak baiklah kepada semua manusia” (HR. at-Tirmudzi).
Hadits yang mulia ini, jelas-jelas telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa ketaqwaan itu tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu. Namun demikian apa yang dipahami oleh para sahabat dari kalimat yang agung ini tidaklah sesederhana yang kita pahami, sebagai kalimat yang sering kita dengar, mudah kita ucapkan, namun kita acapkali susah dalam mencernanya apalagi merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena pentingnya makna kalimat ini hadirin yang mulia, Umar bin Khathab Radhiayallahu 'anhu pernah mengatakan dalam riwayat yang shahih,
التَّقْوَى هُوَ اْلخَوْفُ بِاْلجَلِيلِ وَاْلعَمَلُ بِالتَّنْزِيلِ وَالرِّضَى بِالْقَلِيلِ وَاْلاِسْتِعْدَادِ بِيَوْمِ الرَّحِيلِ.
“At-Taqwa adalah perasaan takut kepada Allah, beramal dengan apa yang datang dari Allah dan Nabi-Nya, merasa cukup dengan apa yang ada dan mempersiapkan diri dalam menghadapi hari akhir.”
Ma’asyiral Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!
Sesungguhnya bagian manusia dari dunia ini adalah umurnya. Apabila dia membaguskan penanaman modalnya pada apa yang dapat memberikan manfaat kepadanya di akhirat kelak, maka perdagangannya akan beruntung. Dan jika dia menjelekkan penanaman modalnya dengan perbuatan-perbuatan maksiat dan kejahatan sampai dia bertemu dengan Allah pada penghabisan (akhir hidup) yang jelek itu, maka dia termasuk orang-orang yang merugi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dan dia (dalam keadaan) beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan " (Q.S an-Nahl:97).
Dalam ayat yang lain Allah Ta'ala berfirman,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شّرًّا يَرَهُ.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah:7-8)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala menegaskan,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَتُرْجَعُونَ . فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لآإِلَهَ إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya;tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia.” (QS. al-Mu’minun:115-116)
Ma’asyiral Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!
Karenanya orang yang berakal adalah orang yang dapat menghisab (menghitung) amalan dirinya sebelum Allah Ta'ala menghitungnya, dan dia merasa takut dengan dosa-dosanya itu menjadi sebab akan kehancurannya.
Hadirin yang mulia sementara itu kematian dan akhir hidup seseorang akan selalu menjemputnya, kapan Allah Ta'ala menghendaki niscaya tidak ada seorangpun yang dapat merubahnya, dia tidak dapat menghindari dari sebuah kenyataan yang akan menjemputnya. Allah
Ta'ala berfirman,
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran:185)
Marilah kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, apa yang telah menjadikan diri kita terpedaya dengan gemerlapnya kehidupan dunia, akankah akhir hidup kita akhir hidup yang baik atau bahkan sebaliknya? Na'udzubillahi min dzalik.
Ma’asyiral Muslimin Rahimani wa Rahimakumullah!!
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Said al-Khudriy yang mengisahkan seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, kemudian genap seratus orang. Dan pada akhir cerita, dia dikisahkan meninggal dalam keadaan mukmin karena taubatnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Said al-Khudhriy).
Dan Sebaliknya dalam riwayat yang lain dikisahkan suatu ketika ada seorang laki-laki ikut berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallamuntuk menghadapi kaum Musyrikin sehingga dia terluka. Dan karena tidak kuasa menahan rasa sakit, akhirnya dia bunuh diri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Dia termasuk ahli neraka". Setelah itu seseorang mendatangi nabi menceritakan kejadian ini. Kemudian Rasullah bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ اْلجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ (رواه البخاري ومسلم)
“Sungguh seorang benar-benar melakukan perbuatan penduduk surga di hadapan manusia, namun (sebenarnya) dia termasuk penghuni neraka, dan sungguh seseorang benar-benar melakukan perbuatan penghuni nereka di hadapan manusia, namun (sebenarnya) di a termasuk penghuni surga .” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dua riwayat di atas telah tegas dan jelas menunjukkan bahwa akhir hidup seseorang, baik dan buruknya tidak ada seorangpun yang dapat mengetahuinya.
Dan akhir hidup seseorang ditentukan oleh baik-dan buruknya akhir perjalanan hidupnya, yang telah Allah Subhanahu wata’ala tentukan dalam taqdirnya.
Dalam riwayat Ahmad dengan sanad yang shahih dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ اْلجَنَّةِ وَهُوَ مَكْتُوبٌ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَإِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ تَحَوَّلَ، فَعَمِلَ أَهْلَ النَّارِ، فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ. وَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَهُوَ مَكْتُوبٌ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ، فَإِذَا كَانَ قَبْلَ مَوْتِهِ تَحَوَّلَ، فَعَمِلَ أَهْلَ اْلجَنَّةِ، فَمَاتَ فَدَخَلَ اْلجَنَّةَ.
“Sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan perbuatan penghuni surga, sedangkan dia dicatat sebagai penghuni neraka. Maka sebelum kematian menjemput, ia berubah dan mengerjakan perbuatan penghuni neraka, kemudian ia mati, maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar melakukan perbuatan penghuni neraka sedangkan dia dicatat sebagai penghuni surga. Maka sebelum kematian menjemput, ia berubah dan melakukan perbuatan penghuni surga, kemudian ia mati, maka masuklah ia ke dalam surga.”.
Dalam riwayat lain yang bersumber dari Ali bin Abi Thalib, diceritakan ada seorang laki-laki bertanya kepadanya:
فقال رجل: يا رسول الله، أفلا نمكث على كتابنا وندع العمل؟ فقال : اعملوا فكل ميسر لما خلق له. أما أهل السعادة فييسرون لعمل أهل السعادة. وأما أهل الشقاوة فييسرون لعمل أهل الشقاوة، ثم قرأ : (فأما من أعطي واتقي ) سورة الليل: 5)
“Seseorang lelaki bertanya, Wahai Rasulullah!, apakah kita tidak pasrah terhadap taqdir (ketentuan)Allah Ta'ala terhadap kita dan meninggalkan amalan? Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Beramalah kalian! Maka setiap orang akan dimudahkan sebagaimana apa yang ditakdirkan baginya.” Adapun orang yang ditakdirkan bahagia, maka ia akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan golongan orang-orang yang bahagia. Sedangkan orang yang ditakdirkan sengsara, maka ia pun akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan golongan orang-orang yang sengsara. Kemudian beliau membaca ayat, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, (QS. al-Lail : 5)
Dalam hadits-hadits di atas telah menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan di akhir hayat telah Allah Ta'ala tentukan di dalam kitabNya (taqdirnya). Dan yang demikian berdasarkan amalnya yang merupakan sebab keduanya. Maka akhir hidup yang baik atau sebaliknya ditentukan dengan keadaan akhir amalannya.
sebagaimana Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda dalam riwayat yang lain dari Sahl bin Said:
إنما الأعمال بالخواتيم.
“Sesungguhnya segala amal itu tergantung dengan akhirnya.”
Maka barangsiapa yang yang telah mengikuti tuntunan Allah Ta'ala dan NabiNya, maka akhir hayatnya adalah merupakan akhir hayat yang baik, sebaliknya barangsiapa dalam hidupnya senantiasa mengikuti hawa nafsu dan syaithan, maka niscaya dia akan mendapatkan akhir hidup yang tidak baik, karena dosa-dosa yang dia lakukan selama hidupnya, sebagaimana pernah dikisahkan oleh Abdul Aziz bin Rawad yang dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitabnya, suatu hari dia menjumpai seorang yang akan meninggal dunia, kemudian ditalqinkan untuk mengucapkan kalimat Tauhid, namun ternyata dia tidak bisa mengucapkan, dan dia berkata pada akhir perkataannya: Dia telah mengkufuri kalimat tersebut. Dan meninggal dalam kekufuran. Kemudian Abdul Azis menanyakan tentang dia, maka dikatakan dia adalah seorang peminum khamr. Kemudian Abdul Aziz mengatakan:
اتقوا الذنوب فإنها هي التى أوقعته
“Berhati-hatilah kalian terhadap segala (bentuk) dosa dan maksiat, karena dosa-dosa itulah yang menyebabkannya.”
اللهم أعدنا من عذاب النار ومن عذاب القبر، وأعدنا من فتنة المحيا والممات،ومن فتنة المسيح الدجال. اللهم ارحمنا عند سكرات الموت، ووسع لنا في قبورنا, وثبتنا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الأخرة.وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون، إنه هو الغفور الرحيم.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذا أَسْتَغْفِرُ اللهَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ
KHUTBAH KEDUA
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
Ma'asyiral Muslimin Jama'ah Shalat Jum'ah Rahimakumullah.
Marilah kita menengok ke belakang bagaimana para as-Salafus Shalih bersikap dalam menyikapi akhir hayatnya dengan harapan dapat menjadi peringatan dan pelajaran bagi kita.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang shahih, diceritakan sebagian para sahabat meneteskan air mata, manakala mengingat akhir hayatnya, ditanyakan kepadanya kenapa sampai demikian, salah seorang diantara mereka menjawab: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam bersabda:
إن الله تعالي قبض خلقه قبضتين، فقال: هؤلاء في الجنة وهؤلاء في النار، ولا أدري في أي القبضتين كنت؟
“Sesunggunya Allah Ta’ala menggenggam penciptaannya dalam dua genggaman, dan beliau bersabda, Diantara mereka berada di Surga dan diantara mereka yang lain berada di neraka, dan aku tidak tahu, dalam genggaman yang mana aku akan berada?”
Berkata sebagian Salaf:
ما أبكى العيون ما أبكاها الكتاب السابق.
“Tidaklah mata ini menangis, melainkan ketentuan (Allah) yang telah tertulis (di Lauhul Mahfudz) yang menyebabkannya.”
Suatu saat Sufyan ast-Tsauri didapati gelisah dan resah karena memikirkan akhir hayatnya, bahkan dia meneteskan air mata seraya berkata:
أخاف أن أكون قي أم الكتاب شقيا، أخاف أن أسلب الإيمان عند الموت
“Aku khawatir kalau (ketentuanku) di dalam kitab (Lauhul Mahfudz) termasuk yang sengsara (celaka). Dan keimanan dicabut manakala kematian menjemput” (HR. abu Nu’aim dalam al-Hilyah)
Diceritakan Malik bin Dinar selalu bangun malam sambil memegangi janggutnya dan berkata:
يا رب قد علمت ساكن الجنة من ساكن النار، ففي أي الدارين منزل مالك؟
“Wahai Tuhanku, sungguh Engkau telah mengetahui penghuni Surga dari penghuni neraka, maka di mana tempat Malik berada di antara keduanya?.” (HR. abu Nu’aim dalam al-Hilyah)
Demikianlah keutamaan mereka para as-Salafus Shalih, selalu khawatir dan was-was terhadap akhir hayat dan kehidupannya. Tentunya kita yang hadir di majelis yang mulia ini lebih dari itu, disebabkan dosa-dosa dan kemaksiatan yang senantiaasa kita lakukan. Namun demikian yang ada justru sebaliknya, kita selalu merasa aman dengan makar Allah Subhaanahu wa Taala, merasa selamat dari adzabnya sehingga sekian bencana, cobaan dan ujian baik berupa gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin puyuh, gunung meletus terasa belum menjadikan kita sadar padahal Allah Subhaanahu wa Taala berfirman:
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلاَيَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 99)
Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir: “Sesungguhnya perbuatan dosa, maksiat dan kecondongan kepada hawa nafsu, pengaruhnya akan mendominasi pelakunya ketika menjelang kematian dan syaithan akan menguatkannya, maka berkumpul padanya dua kekalahan dengan lemahnya keimanan, sehingga dia akan terjatuh pada akhir hidup yang tidak baik, Allah Ta’ala berfirman:
وكان الشيطان للإنسان خذولا
“Dan adalah Syaithan itu tidak mau menolong manusia” (QS. al-Furqan: 29)
Dan akhir hidup yang buruk semoga Allah Ta’ala menjauhkannya dari kita tidak akan menimpa kepada orang yang shalih secara lahir dan bathin, yang jujur perkataannya, dan tidak terdengar cerita yang demikian. Akan tetapi akhir hidup yang buruk akan selalu menimpa seseorang yang telah rusak bathinnya, keimanannya dan lahirnya, yaitu perbuataanya serta bagi orang-orang yang berani melakukan perbuatan dosa besar dan suka melakukan perbuatan jahat, maka perkara yang demikian akan selalu menguasai sampai nyawa menjemput sebelum melakukan taubat.
Ma'asyiral Muslimin Jama'ah Shalat Jum'ah Rahimakumullah.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah bagi orang yang berakal untuk berhati-hati atas keterikatan dan ketergantungan dengan sesuatu yang terlarang. Selayaknya hati, lisan dan anggota tubuhnya selalu mengingat Allah Ta’ala, dan menjaga diri supaya selalu dalam ketaatan kepada-Nya dalam kondisi dan situasi apapun.
“Ya Allah jadikanlah sebaik-baik perbuatan kami pada akhir hidup kami, dan sebaik-baik kehidupan kami sebagai akhir hayat kami, dan sebaik-baik hari kami, hari di mana kami akan bertemu dengan Mu. Ya Allah tunjukilah kami semua kepada perbuatan yang baik dan jauhkanlah diri kami dari perbuatan yang mungkar dan terlarang.”
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى أله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.
(oleh: Khusnul Yaqin Arba’in)
Unknown di 07.15 Tidak ada komentar:
Berbagi
ADAB ADAB YANG WAJIB DI DALAM PUASA_oleh A. Baqi
ADAB ADAB YANG WAJIB DI DALAM PUASA
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
يَاأَيّهَا النَاسُ اتّقُوْا رَبّكُمُ الّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتّقُوا اللهَ الَذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَام َ إِنّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
يَاأَيّهَا الّذِيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا، أَمّا بَعْدُ ...
فَأِنّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمّدٍ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَشَرّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةً، وَكُلّ ضَلاَلَةِ فِي النّارِ.
Alhamdulillah kita bersyukur kepada Alah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mempertemukan kita dengan bulan yang mulia ini. Bulan yang penuh keberkahan, bulan yang banyak dinantikan oleh hambaNya yang beriman. Bulan yang memiliki banyak keistimewaan, seperti malam lailatul qadar yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Sidang shalat Jum’at rahimakumullah,
Sesungguhnya puasa itu memiliki banyak adab sebagai penyempurnanya.Adab-adab tersebut terbagi dua: adab-adab yang wajib yang harus diperhatikan dan dijaga oleh orang yang berpuasa, dan adab-adab sunnah yang selayaknya dikerjakan.
Di antara adab yang wajib adalah orang yang berpuasa juga harus melaksanakan berbagai ibadah lain yang telah Allah wajibkan, baik itu berupa perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh yang paling penting adalah Shalat wajib, yang merupakan rukun Islam yang paling mendasar setelah dua kalimat syahadat. Ia wajib diperhatikan dengan menjaga rukun, kewajiban, syarat dan waktu pelaksanaanya di masjid secara berjama’ah. Ini merupakan bagian dari ketakwaan yang juga menjadi alasan diwajibkannya puasa atas ummat ini. Menyia-nyiakan shalat akan meniadakan ketakwaan dan menyebabkan terjadinya hukuman.
Sidang shalat Jum’at rahimakumullah,
Ada orang yang berpuasa tetapi meremehkan shalat berjama’ah, padahal hal itu merupakan kewajibannya. Apabila Allah telah memerintahkan pelaksanaan shalat berjama’ah dalam kondisi peperangan dan ketakutan, maka pada saat tentram tentu lebih ditekankan.
Disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
أَنّ رَجُلاً أَعْمَى قَالَ: يَا رَسُوْلُ الله لَيْسَ لَِي قَائِدٌ يَقُوْدُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَرَخّصَ لَهُ، فَلَمّا وَلّى دَعَاهُ وَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النّدَاءَ بِالصّلاِةِ؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ فَأَجِبْ
“Ada pria buta yang mengadu kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, ya Rasulullah, aku tidak mempunyai penuntun yang membimbingku ke masjid,’ Beliau lalu memberinya keringanan untuk tidak hadir shalat berjama’ah, Namun, tatkala dia hendak pergi, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya kembali, lalu bertanya, apakah engkau mendengar panggilan shalat? Dia menjawab, Ya, Beliau bersabda: “Maka penuhilah panggilan tersebut.” (HR. Muslim)
Lihatlah, betapa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberi keringanan terhadap pria tersebut, padahal dia orang buta yang tidak mempunyai penuntun. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah telah menyia-nyiakan suatu kewajiban sekaligus menghalangi dirinya sendiri dari kebaikan yang banyak, berupa berlipat gandanya kebaikan. Dia juga tidak mendapatkan keuntungan sosial yang didapat dari berkumpulnya kaum muslimin ketika pelaksanaan shalat berjama’ahm seperti tentramnya rasa persatuan, cinta, nilai pendidikan, bantuan kepada pihak yang membutuhkan, dan lain sebagainya.
Sidang shalat Jum’at rahimakumullah,
Ada juga orang yang benar-benar melampaui batas di dalam masalah shalat, sampai-sampai dia shalat dei luar waktu yang ditentukan disebabkan tidurnya. Sebagian ulama berkata: “Barangsiapa yang mengakhirkan shalat di luar waktunya tanpa adanya udzur syar’I, maka shalatnya tersebut tidak diterima meskipun ia melakukannya sebanyak seratus kali. Sholat yang dilakukan di luar waktu yang ditentukan itu tidak sesuai dengan perintah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itum, shalatnya tertolak dan tidak diterima.
Adab-adab berikutnya yaitu harus menjauhi perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya, dia tidak boleh berdusta. Dan yang dimaksud dengan dusta adalah memberikan kabar yang tidak sesuai dengan realita. Perbuatan dusta yang paling besar adalah dusta atas nama Allah dan RasulNya, seperti menisbatkan halal dan haramnya suatu perkara kepada Allah atau Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ilmu.
Firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-ngadakan kebohongan kepada Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-ngadakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (QS. An-Nahl: 116-117)
Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَذّبَ عَلَيّ مُتَعَمّدًا فَلْيَتَبَوّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النّارِ.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di Neraka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sidang shalat Jum’at rahimakumullah,
Orang yang berpuasa juga wajib menjauhi ghibah, yaitu menyebutkan sesuatu yang tidak disukai dari saudaranya tanpa sepengetahuannya, baik itu memang benar ataupun tidak, dan baik itu berkaitan dengan bentuk fisiknya dalam rangka untuk menyebarkan aib atau menghinanya, ataupun berkaitan dengan tingkah lakunya. Larangan terhadap ghibah juga disebutkan didalam Al-Qur’an. Sampai-sampai Allah menyerupakan perbuatan ghibah dengan gambaran yang paling buruk, yaitu seperti seorang yang memakan daging saudaranya yang telah menjadi bangkai.
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa ketika beliau naik ke langit (pada peristiwa Isra’ dan Mi’raj), beliau melalui sekelompok orang yang mempunyai kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakari wajah dan dada mereka dengan kuku tersebut. Beliau bertanya:
مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لَُحُوْمَِ النّاسِ وَ يَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (berbuat ghibah) dan menodai kehormatan mereka.” (HR. Abu Dawud).
Orang yang berpuasa juga wajib menjauhi namimah, yaitu menukil perkataan seseorang tentang orang lain untuk merusak hubungan baik di antara keduanya. Perbuatan ini masuk ke dalam kategori dosa besar.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang sering melakukan namimah tidak akan masuk Surga.” (Muttafaq ‘alaihi).
Di dalam shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim ada riwayat dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Suatu ketika Nabi berjalan melewati dua kuburan lalu bersabda, “Kedua penghuni kuburan ini sedang diadzab, dan mereka berdua diadzab dengan sebab dua perkara: yang pertama menerima adzab dengan sebab tidak bersuci setelah buang air kecil, dan yang kedua dengan sebab melakukan namimah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ingatlah, barangsiapa menceritakan perkataan jelek mengenai orang lain kepadamu, maka ia juga akan menceritakan perkataanmu kepada orang lain, maka berhati-hatilah.
Sidang shalat Jum’at rahimakumullah,
Pelaku puasa juga wajib menjauhi tipu daya dalam seluruh mu’amalah, baik itu di dalam jual beli, sewa-menyewa, kerajinan tangan, pegadaian, ataupun selainnya. Perbuatan ini termasuk dosa besar, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari pelakunya. Beliau bersabda,
مَنْ غَشّنَا فَلَيْسَ مِنّا
“Barangsiapa yang menipu kami, maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” Dan dalam lafazh yang lain: “Barangsiapa yang menipu maka ia tidak termasuk dari golonganku.” (HR. Muslim).
Tipu daya itu akan menghilangkan amanah dan kepercayaan manusia. Dan setiap penghasilan yang didapat dari tipu daya adalah penghasilan yang haram dan kotor, tidak akan menambah pemiliknya kecuali hanya semakin jauh dari Allah.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang menjalankan ibadah puasa dengan benar, dan semoga puasa yang kita lakukan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا أَسْتَغْفِرُ الله لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرّحِيْمُ
[KHUTBAH KEDUA]
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.
Sidang shalat Jum’at rahimani wa rahimakumullahu
Berikutnya, pelaku puasa juga wajib untuk menjauhi segala bentuk dan jenis alat musik yang menjerumuskan seseorang dalam kelalaian dan itu semua adalah haram. Dosa dan keharamannya akan bertambah jika diiringi nyanyian pembangkit hawa nafsu yang dilagukan dengan suara yang indah.
Firman Allah,
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan Allah itu olok-olokana. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)
Telah shahih dari Ibnu Mas’ud, ketika beliau ditanya tentang ayat ini, beliau menjawab: “Demi Allah, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan hanya Dia, hal itu adalah nyanyian.”
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan untuk berhati-hati dari alat-alat musik dan beliau menyertakan penyebutannya bersama zina. Beliau bersabda,
لَيَكُوْنَنّ مِنْ أُمّتِي أَقْوَامٌ يََسْتَحِلّوْنَ الْحِرَ وَاْلحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan datang beberapa golongan dari ummatku yang menghalalkan zina, sutera, khamer dan alat-alat musik.” (HR. Al Bukhari)
Kata al-Hir artinya adalah kemaluan, maksudnya adalah zina. Dan makna menghalalkanny adalah melakukannya tanpa peduli, seperti layaknya orang yang menghalalkan. Hal ini terjadi di zaman kita ini, ada sebagian orang yang memainkan alat musik atau mendengarkannya seolah-olah itu adalah perkara yang halal. Banyak kaum muslimin yang lebih senang mendengarkan musik dibandingkan mendengarkan al-Quran, hadits dan perkataan ahli ilmu, yang mengandung penjelasan hukum-hukum syari’at sekaligus berbagai hikmahnya.
Sidang shalat Jum’at rahimani wa rahimakumullahu
Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Jika engkau berpuasa, maka hendaklah pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu juga berpuasa dari dusta serta perkara-perkara yang diharamkan. Janganlah menyakiti tetangga, dan hendaklah engkau menghiasi diri dengan kewibawaan dan ketenangan. Jangan sampai hari puasamu sama dengan hari ketika engkau tidak berpuasa.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اَللّهُمّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنًاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنّكَ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ
رَبّنََا لاَتًؤَخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلىَ الّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تُحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلىَ الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبّنَا آتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لله رَبّ الْعَالَمِيْنَ.
Oleh : Abu Ukasyah
Unknown di 07.12 Tidak ada komentar:
Berbagi
Selasa, 26 Juli 2016
Dekskripsi masalah : Kebiasaan dimasyarakat bahwa zakat fitrah itu 2,5 kg beras atau uang seharga beras itu. Sepengetahuan saya, bahwa dalam kitab Fathul Mu'in menyebutkan , zakat fitrah itu 1 sho' (1 sho' = 4 mud, 1mud = 1 liter lebih sepertiga) dan yang dizakatkan adalah Gholibi quuti baladihi (makanan pokok daerahnya).
Soal :
1. Benarkah zakat fitrah beras 2,5 kg tersebut?
2. Bolehkan dengan memakai uang seharga beras? Bagaimanakah dalilnya?
3. Bagaimana sholatnya sopir/pengemudi yang setiap harinya (waktu sholatnya) selalu diperjalanan?
Jawaban:
1. Benar
2. Tidak boleh, namun ada qoul yang memperbolehkan yaitu qoulnya Imam Bulqini dan qoul ini boleh diikuti.
Keterangan dari kitab Ghoyatu al- Talhishi al- Murad 112
أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.
Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i , Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut.
3. Boleh diqoshor
حاشية البيجورى جزء 1 صـ298
وخرج بقولنا: ولم يختلف فى جواز قصره .من اختلف فى جواز قصره كملاح يسافر فى البحر ومعه عياله فى سفينة ومن يديم السفر مطلقا كالساعى فإن الاتمام افضل له خروجا من خلاف من اوجبه كالإمام احمد رضي الله عنه
1. Bagaimana hukumnya orang Islam yang menjadi hakim pada Pengadilan Negeri, di mana dalam mengadili suatu perkara tidak didasarkan pada hukum Islam. Akan tetapi pada ketentuan hukum positif, seperti KUHP, KUH Perdata, Hukum Adat dsb, yang mana dalam ketentuan tersebut dimungkinkan adanya ketentuan yang tidak sejalan dengan hukum Islam, misalnya pencuri di hukum penjara dan tidak dipotong tangannya dst.
2. Bagaimana hukumnya Hakim yang menerima pemberian uang/hadiah dari pihak yang berperkara:
a. Bila pemberian itu tidak diperjanjikan, diberikan sebagai ungkapan terima kasih atau sekedar pemberian tanpa syarat-syarat tertentu.
b. Bila pemberian itu didasarkan pada syarat-syarat tertentu misalnya bila perkaranya dimenangkan, padahal sebenarnya posisi pihak tersebut, secara hukum (hukum positif/syariah) ada dipihak yang benar dan sudah seharusnya dimenangkan. Bagaimana bila dalam hal:
3. Sang Hakim memenangkan perkara tersebut pada pihak yang menjanjikan uang dan ia terpengaruh dengan pemberian itu?
a. Sama sekali tidak terpengaruh dengan hadiah.
4. Dalam memutuskan suatu perkara, putusan ditentukan oleh Majlis Hakim yang terdiri dari tiga orang Hakim. Bagaimana hukumnya seorang Hakim dari Majelis tersebut yang dalam mengambil putusan mempunyai pendirian benar tetapi ‘kalah suara’ dengan Hakim lain yang ‘nyeleweng’.
5. Dalam perkara tindak pidana subversi yan pelakunya Tokoh Agama, dalam banyak kasus secara syariat tokoh agama yang menjadi terdakwa tersebut dapat dibenarkan bahkan dapat diklarifikasikan sebagai tindakan jihad fi sabilillah. Akan tetapi dipandang dari hukum positif dapat terjerat pasal-pasal UU anti subversi. Bagaimana sikap yang harus diambil oleh Hakim (yang beragama Islam) yang mengadili perkara tersebut: menghukum (sesuai UU), membebaskan (dengan konsekwensi), meringankan hukuman, atau mengundurkan diri (biar diadili oleh Hakim yang lain).
Jawaban:
1. Jika hakim yang memutuskan perkara dengan ketentuan hukum yang tidak sesuai dengan syariat agama Islam menganggap halal terhadap ketentuan hukum tersebut, maka hukumnya menjadi orang kafir. Jika dia tidak menganggap halal ketentuan hukum tersebut, maka hukumnya dia menjadi orang fasiq; sedang fasiq itu adalah haram.
Disamping itu perlu kita ketahui bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang dipakai di pengadilan-pengadilan negeri diseluruh wilayah Indonesia sekarang ini sebagian besar adalah masih warisan dari pemerintah penjajah Belanda, sehingga para ahli hukum dari putera-putera bangsa Indonesia ini dituntut untuk segera menggali sendiri hukum-hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
2.
a. Yang memberi hadiah tidak berdosa, tetapi hukum yang menerimanya tetap berdosa.
b. Orang yang memberi hadiah serta hakim yang menerimanya sama-sama berdosa.
Dasar pengambilan:
Kitab al-Bajuri juz 2 halaman 343
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ قَبُولُ الرَّشْوَةِ وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لِلْقَاضِى لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الحَقِّ أو لِيَمْتَنِعَ مِنْ الحُكْمِ بِالحَقِّ لِخَبَرِ" لَعَنَ اللهُ الرَّاشِ وَالمُرْتَشِ فِى الحُكْمِ". وَأَمَّ لَو دَفَعَ لَهُ شَيْئًا لِيَحْكُمَ لَهُ بِالحَقِّ فَلَيْسَ مِنَ الرَّشْوَةِ المُحَرَّمَةِ, لَكِنَّ الجَوَازَ مِنْ جِهَّةِ الآخِذِ, لأَنَّهُ لاَيَجُوزُ أَخْذُ شَيْءٍ عَلَى الحُكْمِ سَوَاءٌ أُعْطِيَ شَيئًا مِنْ بَيْتِ المَالِ اَمْ لاَ فَمَا يَأخُذُونَكَ مِنَ المَحْصُولِ حَرَامٌ.
... dan haram atasnya menerima suap, yaitu apa yang diberikan kepada qadli/hakim agar dia (qadli) menetapkan hukum dengan tidak benar, atau agar dia mencegah putusan hukum yang berdasar kebenaran, karena hadist: Allah melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap dalam menetapkan hukum. Adapun andaikata seseorang memberikan sesuatu kepada qadli agar qadli tersebut menetapkan hukum baginya dengan benar, maka pemberian itu tidak termasuk suap yang diharamkan; akan tetapi ketidak haraman tersebut dari pihak orang yang memberi dan bukan dari pihak orang yang menerima, karena qadli itu tidak boleh menerima sesuatu pemberian karena menetapkan hukum, baik dia diberi sesuatu dari baitul maal atau tidak. Sehingga apa yang mereka ambil dari apa yang dihasilkan adalah haram.
3. Hakim tersebut sudah tidak berdosa, manakala dia telah menyatakan atau mengemukakan hukum yang benar pada sidang majelis hakim.
4. Dia harus menghukumi (menetapkan hukum) sesuai dengan ketentuan undang-undang. Karena jihad fi sabilillah itu tidaklah dengan jalan melakukan tindakan subversi yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat; tetapi dengan jalan mendakwakan ajaran agama Islam yang benar kepada masyarakat, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi saw, para Khulafaur Rasyidin dan para wali songo
Deskripsi masalah : Rangkaian bacaan tahlil ini sangat bagus sekali, sebab yang dibaca adalah kalimah-kalimah thoyibah dan ayat-ayat suci al-Quran. Hanya saja dalam teknis pelaksanaanya biasanya di desa-desa pada hari-hari tertentu. Sebagai contoh: umpamanya ada orang meninggal dunia kemudian dibacakan tahlil sampai tujuh hari terus disusul hari keempat puluh dan terakhir mendak pindho (nglepas) setelah waktu dua tahun.
Soal :
1. Apakah hal tersebut memang ada dasar hukumnya dari agama Islam (al Quran-Hadist). Karena ada yang berkomentar bahwa itu adalah merupakan sinkretisme antara ajaran Islam dan non-Islam.
2. Bagaimanakah hukumnya bertawasul dalam berdoa dengan orang-orang yang telah wafat yang notabenenya mereka kita yakini shalih.
Jawaban:
1. Dasar hukum yang menerangkan bahwa pahala dari bacaan yang dilakukan oleh keluarga mayit atau orang lain itu dapat sampai kepada si mayit yang dikirimi pahala dari bacaan tersebut adalah banyak sekali. Antara lain hadist yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas aluunaka fid Diini wal Hayaah juz 1 halaman 442, sebagai berikut:
وَقَدِ اسْتَدَلَّ الفُقَهَاءُ عَلَى هَذَا بِأَنَّ أَحَدَ الصَّحَابَةِ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنُحَجُّ عَنْهُمْ وَنَدعُو لَهُمْ هَلْْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُوْنَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ اَحَدُكُمء بِالطَّبَقِ إِذَا أُهْدِيَ إِلَيْهِ!
Sungguh para ahli fiqh telah mengambil dalil atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!
Hanya saja dalam kitab Fatawa al-Kubra juz 2 halaman 7 diterangkan bahwa menempatkan selamatan mayat para hari ke-3 dan seterusnya, hukumnya adalah bid’ah yang makruh. Kecuali jika selamatan tersebut dilakukan dengan memaksakan diri (takalluf) sampai berhutang atau mempergunakan harta warisan anak yatim atau lainnya yang dilarang agama, maka hukumnya haram.
Adapun orang yang memberi komentar bahwa hal tersebut adalah sinkretisme antara ajaran agama Islam dengan non-Islam, maka sebenarnya orang tersebut tidak memahami sistem dakwah yang dilakukkan oleh Rasulullah saw, yang hanya memberikan bimbingan dan pengarahan terhadap kebudayaan dari bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam yang bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Sehingga tidak lagi bertentangan dengan pokok-pokok ajaran agama Islam. Sehingga karenanya, maka komentar tersebut tidak perlu diperhatikan.
2. Hukumnya boleh, sebab mukjizat dari para nabi, karomah dari para wali dan maunah dari para ulama shaleh itu tidak terputus dengan kematian mereka. Dalam kitab Syawahidul Haq, karangan Syeikh Yusuf Ibn Ismail an-Nabhani, cetakan Dinamika Berkah Utama Jakarta, tanpa tahun, halaman 118 disebutkan sebagai berikut:
وَيَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِهِمْ إلَى اللهِ تَعَالَى ، وَالإِسْتِغَاثَةُ بِالأنْبِيَاءِ وَالمُرْسَلِيْنَ وَالعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ بَعْدَ مَوتِهِمْ لأَنَّ مُعْجِزَةَ الأَنْبِيَاءِ وَكَرَمَاتِ الأَولِيَاءِ لاَتَنْقَطِعُ بِالمَوتِ.
Boleh bertawassul dengan mereka (para nabi dan wali) untuk memohon kepada Allah taala dan boleh meminta pertolongan dengan perantara para Nabi, Rasul, para ulama dan orang-orang yang shalih setelah mereka wafat, karena mukjizat para Nabi dan karomah para wali itu tidaklah terputus sebab kematian
Soal :
1. Bagaimana hukumnya bila memegang disket computer yang berisi ayat-ayat al-Quran, dalam keadaan tidak mempunyai wudlu? Mohon dijelaskan beserta dalil nashnya!
2. Seumpama disket computer tersebut dilayarkan ke dalam monitor computer, apakah boleh memegang tanpa wudlu ke monitor tersebut? Kalau boleh, apakah ada dasarnya dari kitab/sunnah? Kalau tidak boleh, apa ada dasarnya dari kitab/sunnah?
3. Bagaimana terhadap pandangan Islam tentang ayat-ayat al-Quran yang ada di dalam disket computer itu?
4. Apakah boleh saya letakkan ke dalam kantong celana seperti disket-disket yang lainnya?
Jawaban:
1. Jika ayat-ayat al-Quran yang direkam dalam disket tersebut dapat dikatakan tulisan, maka hukumnya haram; apabila tidak dapat dikatagorikan tulisan, maka hukumnya tidak haram, berdasarkan keterangan dari kitab Nihayatuz Zain halaman 32 sebagai berikut:
وَرَابِعُهَا مَسُّ المُصْحَفِ وَلَو بِحَائِلٍ ثَخِيْنٍ حَيْثُ عُدَّ مَاسًّا لَهُ عُرْفًا, وَالمُرَادُ بِالمُصْحَفِ كُلُّ مَا كُتِبَ فِيْهِ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ بِقَصْدِ الدِّرَاسَةِ كَلَوحٍ أو عَمُودٍ, او جِدَارٍ كُتِبَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنَ القُرْآنِ لِلدِّرَاسَةِ فَيَحْرُمُ مَعَ الحَدَثِ حِيْنَئِذٍ.
Yang keempat dari hal-hal yang diharamkan sebab hadast kecil adalah menyentuh mushaf meskipun dengan lapis yang tebal, sekira orang yang menyentuh dengan lapis tersebut dihitung sebagai orang yang menyentuh mushaf menurut adat kebiasaan. Yang dimaksud dengan mushaf adalah segala sesuatu yang padanya ditulis sesuatu dari al-Quran dengan maksud untuk belajar, seperti batu tulis atau tiang atau tembok yang ditulisi sesuatu dari al-Quran untuk tujuan belajar, maka haram menyentuh beserta hadast pada waktu itu.
2. Tidak boleh, sebab layar monitor dari komputer tersebut sudah bertuliskan ayat-ayat al-Quran, sehingga seluruh monitor tersebut hukumnya menjadi mushaf.
Dasar pengambilan
Kitab Nihayatuz Zain halaman 32, sebagai berikut:
فَيَحْرُمُ مَسُّهُ مَعَ الحَدَثِ حِينَئِذٍ سَوَاءٌ فِى ذَلِكَ القَدَرِ المَشْغُولٌ بِالنُّقُوشِ وَغَيْرِهِ كَالهَامِشِ, وَمَا بِيْنَ السُّطُورِ وَيَحْرُمُ ايْضًا مَسُّ جِلْدِهِ المُتَّصِلِ بِهِ.
Maka haram menyentuh mushaf beserta hadast pada waktu itu, baik dalam ukuran tersebut adalah bagian yang penuh dengan tulisan atau lainnya, seperti pinggirnya, dan apa yang ada diantara baris-baris tulisan. Haram juga menyentuh kulitnya yang bersambung dengan mushaf.
3. Agama Islam tetap memandangnya sebagai firman Allah yang harus dihormati, dimuliakan dan diagungkan.
4. Meletakkan disket al-Quran dalam kantong celana adalah memberi kesan menyamakan disket tersebut dengan disket-disket lainnya yang berisi permainan (game), sehingga menunjukkan kurangnya penghormatan kepada al-Quran.
Dasar pengambilan
Kitab Qomiut Tughyan halaman 8 sebagai berikut:
وَالشُّعْبَةُ التَّاسِعَةَ عَشَرَ تَعْظِيْمُ القُرْآنِ وَاحتِرَامُهُ ... إلَى أنْ قَالَ: وَأنْ لاَ يَضَعَ فَوقَهُ شَيْئًا مِنَ الكُتُبِ حَتَّى يَكُونَ أبَدًا عَالِيًا عَلَى سَائِرِ الكُتُبِ.
Cabang iman yang ke 19 adalah mengagungkan al-Quran dan menghormatinya… sampai pada ucapan pengarang: … dan agar jangan meletakkan sesuatu diatas mushaf al-Quran sesuatu dari kitab-kitab lainnya, sehingga mushaf al-Quran itu selamanya berada diatas seluruh kitab-kitab
Deskripsi masalah :
Di desa kami, Simpang Wetan Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan, ada sebuah masjid kuno yang terletak di tepi jalan raya, sehingga apabila sewaktu-waktu ada pelebaran jalan, pasti masjid tersebut akan digusur. Untuk mengantisipasi hal tersebut, takmir masjid membentuk panitia pembangunan yang melakukan pemugaran total, dengan cara:
§ Separo dari masjid tersebut, yaitu bagian depan, akan dijadikan halaman dan tempat parkir, karena masjid tersebut sekarang ini tidak mempunyai halaman dan tempat parkir. Dengan demikian, halaman yang asalnya masjid tersebut kemungkinan besar akan terkena najis.
§ Separo dari masjid bagian depan yang dijadikan halaman tersebut, diganti dengan tanah tanah wakaf yang berada di belakang masjid tersebut. Kemudian masjid yang baru dibuat dua tingkat dan tingkat yang kedua berbentuk letter U, sehingga masjid masjid menjadi lebih megah dan lebih besar kapasitasnya menapung jama'ah.
Soal :
1. Bolehkah menukar tanah wakaf masjid ?
2. Bagaimana hukum merubah fungsi tanah yang semula berupa masjid menjadi halaman masjid atau tempat parkir untuk kemaslahatan masjid tersebut?
Jawaban:
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama' sebagai berikut:
1. Hukum menukar tanah wakaf masjid:
a. Menurut madzhab Syafi'i tidak boleh!
b. Menurut madzhab boleh, dengan syarat:
§ Tanah wakaf tersebut ditukar dengan yang lebih baik manfaat dan kegunaannya.
§ Manfaat dan kegunaan yang lebih baik seperti tersebut di atas harus berdasarkan putusan seluruh pengurus takmir masjid dan para ulama setempat.
c. Menurut madzhab Hambali, jika fungsi dari bagian depan masjid yang akan dijadikan halaman atau tempat parkir tersebut tidak mungkin dapat dipertahankan keabadiannya; karena keberadaan masjid di tepi jalan itu mutlak memerlukan halamman dan tempat parkir untuk menjaga keselamatan para pengunjung masjid dari kecelakaan lalu lintas dan kemungkinan ada pelebaran jalan, maka hukumnya boleh.
2. Hukum tanah yang semula berfungsi sebagai masjid, kemudian berubah menjadi halaman atau tempat parkir:
a. Menurut madzhab Syafi'i, tanah tersebut hukumnya tetap seperti hukum masjid, sehingga tidak boleh ada wanita yang sedang haidl berada di halaman tersebut dan hukum-hukum masjid lainnya.
b. Munurut madzhab Hanafi, setelah tanah tersebut diputuskan menjadi halaman masjid, maka hukumnya seperti halaman masjid yang lain yang tidak sama dengan hukum masjid.
c. Menurut madzhab Hambali, setelah tanah tersebut berubah fungsinya menjadi bukan masjid, maka hukumnya juga berubah.
Dasar Pengambilan:
1. Kitab I'aanatut Thaalibiin juz III halaman 181:
وَلاَ يَنْقُضُ الْمَسْجِدُ اَيِ الْمُنْهَدِمُ الْمُتَقَدِّمُ ذِكْرُهُ فِى قَوْلِهِ " فَلَوِ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ " ، وَمِثْلُ الْمُنْهَدِمِ اَلْمُتَطِّلُ . ( وَالْحَاصِلُ ) اَنَّ هذَا الْمَسْجِدَ الَّذِى انْهَدَمَ اَىْ اَوْ تَعَطَّلَ بِتَعْطِيْلِ اَهْلِ الْبَلَدِ لَهُ كَمَا مَرَّ لاَ يُنْقَضُ اَىْ لاَ يُبْطَلُ بِنَاؤُهُ بِحَيْثُ يُتَمَّمُ هَدْمُهُ فِىْ صُوْرَةِ الْمَسْجِدِ الْمُنْهَدِمِ اَوْ يُهْدَمُ مِنْ اَصْلِهِ فِى صُوْرَةِ الْمُتَعَطَّلِ ؛ بَلْ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ مِنَ الاِنْهِدَامِ اَوْ التَّعْطِيْلِ . وَذلِكَ لإِمْكَانِ الصَّلاَةِ فِيْهِ وَهُوَ بِهذِهِ الْحَالَةِ وَلإِمْكَانِ عَوْدِهِ كَمَا كَانَ .
"Dan tidak boleh masjid dirusak. Artinya, masjid yang roboh yang telah disebutkan sebelumnya dalam ucapan mushannif "Maka andaikata ada sebuah masjid yang roboh". Masjid yang menganggur adalah seperti masjid yang roboh. Walhasil, sesungguhnya masjid yang telah roboh ini, artinya, atau telah menganggur sebab dianggurkan oleh penduduk desa tempat masjid tersebut berada sebagaimana keterangan yang telah lalu, maka masjid tersebut tidak boleh dirusak, artinya bangunannya tidak boleh dibatalkan dengan jalan disempurnakan penghancurannya dalam bentuk masjid yang roboh, atau dihancurkan mulai dari asalnya dalam bentuk masjid yang dianggurkan. Akan tetapi hukum masjid tersebut tetap dalam keadaannya sejak roboh atau menganggur. Yang demikian itu ialah karena masih mungkin melakukan shalat di masjid tersebut dalam keadaannya yang roboh ini dan masih mungkin mengembalikan bangunannya seperti sediakala".
2. Kitab As Syarqawi juz II halaman 178:
وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَاِنْ خَرَبَ ، خِلاَفًا لِلْحَنَفِيَّةِ . وَصُوْرَتُهُ عِنْدَهُ اَنْ يَكُوْنَ الْمَحَلُّ قَدْ آلَ اِلَى السُّقُوْطِ فَيُبْدَلُ بِمَحَلٍّ آخَرَ اَحْسَنَ مِنْهُ بَعْدَ حُكْمِ حَاكِمٍ يَرَى صِحَّتَهُ .
"Tidak boleh menukarkan barang wakaf menurut madzhab kami (Syafi'i), walaupun sudah rusak. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang membolehkannya. Contoh kebolehan menurut pendapat mereka adalah apabila tempat yang diwakafkan itu benar-benar hampir longsor, kemudian ditukarkan dengan tempat lain yang lebih baik dari padanya, sesudah ditetapkan oleh Hakim yang melihat kebenarannya".
3. Kitab Raddul Mukhtar juz III halaman 512:
اَرَادَ اَهْلُ الْمَحَلَّةِ نَقْضَ الْمَسْجِدِ وَبِنَاءَهُ اَحْكَمَ مِنَ الاَوَّلِ ، إِنِ الْبَانِى مِنْ اَهْلَ الْمَحَلَّةِ لَهُمْ ذلِكَ ، وإِلاَّ فَلاَ .
"Penduduk suatu daerah ingin membongkar masjid dan membangunnya kembali dengan bangunan yang lebih kokoh dari yang pertama. Jika yang membangun kembali masjid tersebut adalah penduduk daerah tersebut, maka hukumnya boleh, dan jika tidak maka hukumnya tidak boleh".
4. Kitab Syarhul Kabir juz III halaman 420:
فَاِنْ تَعَطَّلَتْ مَنَافِعُهُ بِالْكُلِّيَّةِ كَدَارٍ اِنْهَدَمَتْ اَوْ اَرْضٍ خَرَبَتْ وَعَادَتْ مَوَاتًا لَمْ يُمْكِنْ عِمَارَتُهَا اَوْ مَسْجِدٍ اِنْتَقَلَ اَهْلُ الْقَرْيَةِ عَنْهُ وَصَارَ فِى مَوْضِعٍ لاَ يُصَلَّى فِيْهِ اَوْ ضَاقَ بِاَهْلِهِ وَلَمْ يُمْكِنْ تَوْسِيْعُهُ فِى مَوْضِعِهِ ، فَاِنْ اَمْكَنَ بَيْعُ بَعْضِهِ لِيُعَمَّرَ بَقِيَّتُهُ جَازَ بَيْعُ الْبَعْضِ وَاِنْ لَمْ يُمْكِنِ الإِنْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ بِيْعَ جَمِيْعُهُ .
"Jika manfaat dari wakat tersebut secara keseluruhan sudah tidak ada, seperti rumah yang telah roboh atau tanah yang telah rusak dan kembali menjadi tanah yang mati yang tidak mungkin memakmurkannya lagi, atau masjid yang penduduk desa dari masjid tersebut telah pindah; dan masjid tersebut menjadi masjid di tempat yang tidak dipergunakan untuk melakukan shalat, atau masjid tersebut sempit dan tidak dapat menapung para jama'ah dan tidak mungkin memperluasnya di tempat tersebut, ... jika mungkin menjual sebahagiannya untuk memakmurkan sisanya, maka boleh menjual sebahagian. Dan jika tidak mungkin memanfaatkannya sedikitpun, maka boleh menjual seluruhnya".
1. Bagaimana hukumnya perkawinan wanita hamil, yang hamilnya sulit untuk dinisbatkan sebelum/sesudah cerai mati/hidup sudah jelas kumpul tidur dengan laki-laki lain? Mohon dijelaskan berkenaan dengan iddah dari wanita tersebut.
2. Kalau anak yang lahir dari wanita tersebut (no.1) perempuan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya?
3. Bagaimana hukumnya wanita hamil (perkawinannya) yang jelas hamilnya hasil zina dengan laki-laki lain, karena wanita itu tak punya suami? Mohon dijelaskan berkenaan dengan apakah wanita itu memiliki masa iddah atau tidak?
4. Kalau wanita tersebut (no.3) melahirkan anak perempuan, siapakah yang berhak menjadi wali nikahnya?
5. Kalau suatu perkawinan (sudah dilaksanakan) yang menurut hasil pemeriksaan secara Islam (sebelum dikawinkan) sudah memenuhi syarat dan rukun nikah, tapi setelah selesai beberapa hari dari akad nikah ternyata penentuan walinya salah (tidak sengaja) akibat ada informasi baru dari pihak keluarga yang dapat dibenarkan secara hukum Islam. Hasil pemeriksaan sebelumnya: yang berhak menjadi wali adalah wali hakim, karena dari wali nasab tidak ada sama sekali atau ada tapi tidak memenuhi syarat sebagai wali, maka:
a. Bagaimana hukumnya perkawinan tersebut?
b. Bagaimana cara mengatasinya?
c. Dalam keadaan yang tidak disengaja, dosakah pemeriksa/wali hakimnya yang mengawinkan, yang sudah mendapat izin mengawinkan dari pihak mempelai perempuan?
6. Bagaimana hukumnya wali hakim/muhakkam dalam perkawinan berwakil kepada orang lain?
Jawaban:
1. Dalam hal ini harus dilihat lebih dahulu perceraian wanita tersebut dengan suaminya. Jika cerai karena suaminya mati, maka iddahnya 4 bulan 10 hari, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 134; dan jika cerai hidup, maka iddahnya adalah 3 kali suci, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228.
Kemudian kita teliti kehamilan wanita tersebut. Jika janin yang ada dalam perut wanita tersebut sudah berumur 4 bulan misalnya, sedangkan dia baru 6 bulan dicerai atau ditinggal mati suaminya, maka berarti kehamilan tersebut dimulai pada waktu wanita tersebut masih dalam waktu iddah; dengan demikian maka janin yang ada dalam perutnya dinisbatkan kepada suaminya yang mati atau menceraikannya, sehingga wanita tersebut harus menjalani iddah sampai melahirkan anaknya.
Jika kehamilannya mulai sesudah iddahnya dari suaminya yang mati atau menceraikannya habis, maka janin yang ada dalam perutnya dihukumi sebagai hasil dari zina dengan laki-laki lain yang mengumpulinya. Dalam hal ini wanita tersebut tidak memiliki iddah meskipun dalam keadaan hamil, artinya boleh dikawin oleh lelaki lain.
2. Jika janinnya dapat dinisbatkan kepada suaminya yang mati atau menceraikannya, maka walinya adalah wali nasab. Jika janinnya adalah hasil zina, maka yang menjadi wali nikahnya adalah hakim, karena anak tersebut hanya dapat dinisbatkan kepada ibunya saja.
3. Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai iddah, sehingga dia boleh dikawini oleh laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain dalam keadaan hamil.
Dasar pengambilan:
a. Kitab al-Madzahibul Arbaah juz 4 halaman 523
أمَّ وَطْءُ الزِّنَا فَإِنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءُهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعى.
Adapun wathi zina (hubungan seksual di luar nikah), maka sama sekali tidak ada iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari zina dan menyetubuhinya sedangakan di dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah menurut madzhab Syafii.
b. Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201
(مسألَة ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّانِى أو غَيْرُهُ وَوَطْءُهَا حِينَئِذٍ مَعَ الكَرَاهَةِ.
(Masalah Syin) Boleh menikahi wanita hamil dari zina, baik oleh laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain; dan boleh menyetubuhi waktu itu dengan hukum makruh.
4. Yang berhak menjadi wali adalah hakim.
Dasar pengambilan:
Kitab Sunan Ibn Maajah juz 1 halaman 605
... فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَالِيَ لَهُ.
…maka sultan itu adalah wali dari orang yang sama sekali tidak mempunyai wali.
5.
a. Hukum pernikahannya batal, karena dinikahkan oleh bukan walinya.
Dasar pengambilan:
Kitab Sunan Ibn Maajah juz 1 halaman 605
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يَنْكِحْهَا الوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمضا اَصَابَ مِنْهَا. فإِنِ اشْتَجَارُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.
Diriwayatkan dari Aisyah ra. Beliau berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Yang manapun dari seseorang perempuan yang walinya tidak menikahkannya, maka nikahnya adalah batal. Jika laki-lakinya telah menyetubuhinya, maka perempuan tersebut berhak mendapat mahar/maskawin sebab persetubuhan yang diperoleh laki-laki dari perempuan tersebut. Jika diantara anggota keluarga tidak ada yang berhak menjadi wali, maka sultan adalah wali dari orang yang sama sekali tidak mempunyai wali.
b. Cara mengatasinya adalah harus dilakukan nikah ulang oleh walinya sendiri.
c. Tidak berdosa, karena tidak disengaja.
6. Sebagaimana wali nasab boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, maka wali hakim juga boleh mewakilkannya, sebab hakim itu adalah wali yang sah bagi perempuan yang sama sekali tidak mempunyai wali nasab
Saat ini banyak berdiri koprasi simpan pinjam, koprasi yag dimaksud adalah menerima simpanan sekaligus mengasih pinjaman kepada anggota. Dimana peminjam tidak dikenakan "Bunga", namun diharuskan membeli semacam blanko yag harganya bervariasi sesuai dengan besar uang yang dipinjam. Misalnya untuk pinjam uang Rp 50.000,- harus membeli dulu blanko Rp 2.500,-, untuk pinjam Rp 100.000,- blankonya Rp 5.000,- dan seterusnya. Jadi sebelum bendahara menyerahkan uang yang akan dipinjam, pemimjam harus membeli blanko, baru kemudian bendahara menyerahkan uang pinjaman kepada pemimjam, untuk selanjutnya pemimjam mengangsur sebanyak lima kali selama lima minggu tanpa ada tambahan lagi. Sedangkan jumlah uang dari penjualan blanko akan dibagi pada semua anggota sesuai dengan jumlah simpanan/tabungan anggota masing-masing.
Bagaimana hukumnya koperasi simpan pinjam tersebut menurut syari'at Islam?
Jawaban:
Tidak boleh.
حاشية اعانة الطالبين جزء 3 صـ 20
ومنه ربا القرض بأن يشترط فيه ما فيه نفع للقرض
§ Bolehkah memotong rambut dan kuku saat haid? Adakah tuntutannya di akhirat nanti?
§ Halalkah memakan jangkrik?
Jawaban:
§ Disunnahkan untuk tidak dilakukan.
نهاية الزين صــ31
ومن لزمه غسل يسن له الا يزيل شيئا من بدنه ولو دما او شعرا او ظفرا حتى يغتسل لأن كل جزء يعود له فى الآخرة فلو أزاله قبل الغسل عاد عليه الحدث الاكبر تبكيتا للشخص.
Dan seseorang yang berkewajiban mandi disunnahkan baginya untuk tidak menghilangkan sesuatupun dari badannya walaupun hal itu berupa darah, rambut, dan atau kuku sampai orang tersebut mandi, karena setiap bagian tubuh manusia akan dikembalikan kelak di akhirat, Jikalau dihilangkan sebelum mandi maka hadats besar tersebut akan kembali lagi sebagai hujjah yang bisa mengalahkan bagi seseorang.
§ Haram memakan jangkrik.
قليزبى جزء 4 صــ260
(قوله كخفشاء) منها للزعقوق ويسمى الجُعلان بضم الجيم ومنها الجدجد بمعجميين مضمومنين وهو الصرصار
Saya pernah diundang tetangga menghadiri tajdidun nikah (Jawa; mbangun nikah). Bagaimana sebenarnya hal tersebut?
Jawaban:
Khilaf (terdapat perbedaan pendapat Ulama'). Menurut Qaul shahih (pendapat yang benar) hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada 'Akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui 'Aqad itu hanya sekedar keindahan (al-Tajammul) atau berhati-hati (al-Ihtiyath). Menurut qaul lain (pendapat lain) 'aqad baru tersebut bisa mereusak 'aqad yang telah terjadi.
Keterangan dari kitab Hasyaih al-Jamal ala al-Minhaj juz IV hal. 245
حاشية الجمل على المنهج الجزء الرابع صحيفة 245
وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
الأنوار لأعمال الأبرار ج-7 ص: 88
لو جدد رجل نكاح زوجته لزمه مهر أخر لأنه إقرار في الفرقة وينتقص به الطلاق ويحتاج إلي التحليل في المرة الثالثة.
Seandainya seseorang memperbaharui nikah dengan istrinya maka wajib baginya membayar mahar lagi karena hal tersebut merupakan penetapan didalam perceraian (al-Firqati
Di daerah Tuban, sudah banyak orang yang mempunyai peternakan jangkrik dan banyak yang mencarinya setiap malam kemudian dijual. Bagaimana hukumnya menjual jangkrik, dan uangnya termasuk uang apa?
Jawaban:
Hukum membudidayakan jangkrik itu adalah boleh, Sedangkan jual beli jangkrik hukumnya juga boleh.
Dasar pengambilan:
1. المغنى على شرح الكبير الجزء الرابع -صحيفة: 239
وَلَنَا أَنَّ الدُّوْدَ حَيَوَانٌ طَاهِرٌ يَجُوْزُ إِقْتِنَاءُ هُ لِتَمَلُّكِ مَا يُخْرَجُ مِنْهُ أَشْبَهَ الْبَهَائِمِ
2. البيجورى الجزء الاول - صحيفة:343
وَلاَبَيْعُ مَا لاَمَنْفَعَةَ فِيهِ كَعَقْرَبٍ وَنَمْلٍ
Dengan makin maraknya sholawatan/qosidah sekarang ini. Tentu saja membantu membangkitkan rasa cinta kepada Rosalullah. Namun yang menjadi permasalahan adalah sarana pengiringnya, di mana sekarang peralatan musik beraneka ragam bentuknya, tidak hanya rebana saja sebagaimana di zaman Rosullah.
Bagaimana hukumnya melantunkan sholawat/qosidah dengan diiringi musik selain rebana? Misalnya organ, piano, mandolin dan sebagainya.
Jawaban:
إرشاد العباد
(الأصوات المحرمات) المطربة, وغيرها من الأوتار, وغيرها لأن اللذة الحاصلة منها تدعو إلي فساد كضرب خمر ولأنها شعار أهل الفسق كما مر.
(Suara-suara yang diharamkan) Suara biduanita, gitar dan sejenisnya, karena kenikmatan yang diperoleh bisa mendatangkan kerusakan seperti minum arak (minuman keras) dan hal tersebut merupakan syiar orang-orang yang fasik sebagaimana yang telah terdahulu.
إرشاد العباد، ص:102
(إلات اللهو المحرمة كالطنبور والرباب والمزمار) بل (و) جميع الأوتار.
(Alat-alat Lahwi (alat musik untuk permainan) yang diharamkan adalah genderang, rebana, dan seruling) dan bahkan semua alat musik yang menggunakan tali (biasanya terbuat dari senar atau kawat)
Kebiasaan dimasyarakat bahwa zakat fitrah itu 2,5 kg beras atau uang seharga beras itu. Sepengetahuan saya, bahwa dalam kitab Fathul Mu'in menyebutkan , zakat fitrah itu 1 sho' (1 sho' = 4 mud, 1mud = 1 liter lebih sepertiga) dan yang dizakatkan adalah Gholibi quuti baladihi (makanan pokok daerahnya).
1. Benarkah zakat fitrah beras 2,5 kg tersebut?
2. Bolehkan dengan memakai uang seharga beras? Bagaimanakah dalilnya?
3. Bagaimana sholatnya sopir/pengemudi yang setiap harinya (waktu sholatnya) selalu diperjalanan?
Jawaban:
1. Benar
2. Tidak boleh, namun ada qoul yang memperbolehkan yaitu qoulnya Imam Bulqini dan qoul ini boleh diikuti.
Keterangan dari kitab Ghoyatu al- Talhishi al- Murad 112
أفتى البلقيني بجواز إخراج الفلوس الجدد المسماة بالمناقر في زكاة النقد والتجارة قال إن الذي اعتقده وبه اعمل وإن كان مخالفا بالمذهب الشافعي والفلوس انفع للمستحقين وليس فيها غش كما في الفضة المغشوشة ويتضرر للمستحق إذا وردت عليه ولا يجد بدلا أه ويسع المقلد تقليده لأنه من أهل التخريج والترجيح لاسيما إذا راجت الفلوس وكثرة رغبة الناس فيها.
Imam al-Bulqiny telah berfatwa tentang bolehnya mengeluarkan mata uang yang baru yang dinamakan dengan al-Munaqir dalam hal zakat mata uang dan perdagangan. Pengarang kitab berkata: "Sesungguhnya sesuatu yang Aku (pengarang) telah menyakininya, Aku mengerjakanya meskipuin hal itu bertentangan dengan Madzhab al-Syafi'i , Dan uang lebih bermanfaat bagi orang yang berhak menerima zakat sedangkan didalamnya tidak ada unsur penipuan sebagaimana yang terjadi didalam permalsuan (percampuran) perak yang bisa merugikan bagi pemiliknya ketika hal itu sampai padanya sedangkan orang tersebut tidak emendapatkan penggatinya (selesai perkataan pengarang). Dan pengikut mempunyai toleransi terhadap yang diikuti karena Dia termasuk golongan ahli al-Tahrij dan al-Tarjih, Apalgi ketika uang itu yang diharapkan dan manusia (masyarakat) lebih suka dengan hal tersebut.
3. Boleh diqoshor
حاشية البيجورى جزء 1 صـ298
وخرج بقولنا: ولم يختلف فى جواز قصره .من اختلف فى جواز قصره كملاح يسافر فى البحر ومعه عياله فى سفينة ومن يديم السفر مطلقا كالساعى فإن الاتمام افضل له خروجا من خلاف من اوجبه كالإمام احمد رضي الله عنه
Di desa saya ada sebuah masjid kuno yang kondisinya agak memperhatinkan. Kemudian masyarakat sepakat untuk memperbiki denga cara mengganti secara total bangunan masjid itu. Dengan demikian banyak bangunan masjid tersebut yang tidak terpakai.
Menurut keyakinan orang ditempat saya, bahwa benda-benda bekas masjid (misalnya genteng, kayu, bata dan sebagainya) tidak boleh dipakai untuk keperluan lain (misalnya untuk rumah), apalagi dijual tambah tidak boleh. Pokoknya, kalau ditanya alasannya, mereka menjawab ora apik, barang masjid kok didol (tidak baik, barang masjid kok dijual).
Tapi dipihak lain, jika barang itu tidak dimanfaatkan (misalnya, diberikan orang yang tidak mampu atau dijual kemudian uangnya masuk kekas masjid) akan hancur dimakan hujan atau rusak dengan sendirinya.
Pertanyaan saya, betulkah benda masjid itu mengandung kekuatan ghaib, sehingga orang-orang mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak baik jika dimanfaatkan oleh orang lain? Apakah ada dalilnya tentang masalah ini? Lalu lebih baik mana antara dibiarkan dengan dimanfaatkan?
Jawaban:
Saudara yang terhormat. Menjawab pertanyaan Anda mengenai kebenaran bahwa benda masjid mengandung kekuatan gaib. Sehingga orang-orang mempercayainya sebagai sesuatu yang tidak baik jika dimanfaatkan oleh orang lain, atau lebih tepatnya untuk kepentingan orang lain.
Di sini perlu kami tegaskan, bahwa benda masjid itu tidak mempunyai kekuatan gaib yang berakibat tidak baik bagi pemakainya. Islam tidak mengenal bahkan menolak anggapan tersebut. Kalau orang-orang ditempat Anda berkeyakinan bahwa benda-benda bekas masjid tidak boleh dijual atau lainnya dengan alasan, 'Ora apik, barang masjid kok didol' sebenarnya keyakinan tersebut mempunyai landasan agama yang kuat.
Sebab dalam agama Islam, barang yang sudah diwakafkan, itu tidak boleh dijual atau diberikan kepada orang lain, sebagaimana tersebut dalam kitab fiqh. Sehingga jika meminjam barang wakaf masjid misalnya pengeras suara kita bawa pulang kemudian kita setel (kita pakai) di rumah kita, maka hukumnya haram (yang diterjemahkan oleh orang-orang di kampung saudara dengan kata 'ora apik')
Adapun jika saudara menanyakan mana yang lebih baik, apakah benda-benda bekas masjid tersebut dibiarkan saja sampai hancur tanpa guna ataukah dimanfaatkan?
Jika kita mau memakai madzhab Syafi'i dan tidak mau berpindah ke madzhab lain dalam masalah ini, maka benda-benda tersebut harus kita biarkan saja sampai hancur dengan sendirinya. Atau diberikan ke masjid lain yang memerlukannya.
Jika orang-orang kampung Anda mau berpindah ke madzhab Hanafi, maka benda-benda tersebut dapat kita tukarkan dengan benda lain yang dapat dimanfaatkan oleh masjid tersebut dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana disebutkan dalam fiqh-fiqh Hanafi, misalnya kitab Raddul Mukhtar juz 3 hal 387
Deskripsi masalah :
1. Bagaimana caranya supaya qurban sunah bisa terhindar dari wajib, sehingga saya bisa makan dagingnya hingga 1/3 bagian?
Jawaban
1. Karena pertanyaan saudara sangat erat hubungannya dengan masalah nadzar maka sebaiknya kita tinjau dulu bagaimana nadzar bisa terjadi.
a. Penjelasan kitab Bajuriy juz 2 halaman 329:
وَأرْكَانُهُ ثَلاَثَةٌ: نَاذِرٌ وَمَنْذُورٌ وَصِيْغَةٌ ... وَفِى الصِّيغَةٍ كَونُهَا لَفْظًا يُشْعِرُ بِاللإلْتِزَامِ وَفِى مَعْنَاهُ مَا مَرَّ فِى الضَّمَانِ كَللَّهِ عَلَيَّ كَذَا وَعَلَيَّ كَذَا فَلاَ تَصِحُّ بِالنِيَّةِ كَسَائِرِ العُقُودِ وَلاَ بِمَا لاَيُشْعِرُ بِالإلْتِزَامِ كَأَفْعَلُ كَذَا.
Rukun-rukun nadzar ada tiga: 1. orang-rang yang nadzar 2. perkara yang dinadzari 3. sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)' Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata 'Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: 'Saya melakukan seperti ini'.
b. Kitab Tadzhib halaman 254:
... وَشَرْعًا الوَعْدُ بِالخَيْرِ خَاصَّةُ أو اِلْتِزَامُ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ بِأصْلِ الشَّرْعِ... وَالثَّانِى أنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَلَّقٍ كَأنْ يَقُولَ للهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أو حَجٌّ أو غَيْرُ ذَلِكَ.ٌ و َجٌّ و َيْرُ َلِكَ..
'Pengertian nadzar secara syara' berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib' Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak diambangkan/digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: 'Demi Allah, wajib bagiku puasa atau haji atau yang lainnya.
2. Selanjutnya marilah kita perhatikan ucapan-ucapan Jumhurul Ulama' (mayoritas ulama) pada keterangan di bawah ini mengenai nadzar dan qurban:
a. Kitab Bajuriy juz 2 halaman 310:
وَقَولُهُ مِنَ الأُضْحِيَّةِ المَنْذُورَةِ اى حَقِيْقَةً كَمَا لَو قَالَ: للهِ عَلَيَّ ان أُضْحِيَ بِهَذِهِ, فَهَذِهِ مُعَيَّنَةٌ بِالنَذْرِ إبْتِدَاءً, كَمَا لَو قَالَ للهِ عَلَيَّ أُضْحِيَّةٌ... أوْ حُكْمًا كَمَا لَوْ قَالَ هَذِه اُضْحِيَةٌ اَو جَعَلْتُ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ فَهَذِهِ وَاجِبَةٌ بِالجَعْلِ لَكِنَّهَا فِى حٌكْمِ المَنْذُرَةِ.
Yang termasuk qurban nadzar sebenarnya adalah seperti apabila seseorang berkata: 'Demi Allah wajib atasku berqurban dengan ini' maka ucapan itu jelas sebagai nadzar sejak awal. Hal ini sebagaimana apabila seseorang berkata 'Demi Allah wajib atasku qurban" atau secara hukum sebagai nadzar. Seperti bila seseorang berkata: Ini adalah hewan qurban' atau diucapkan 'Aku menjadikan ini sebagai hewan qurban'. Maka ini adalah wajib disebabkan kata 'menjadikan', akan tetapi dalam konteks hukum yang dinadzari.
b. Kitab Bajuriy juz II halaman 305
... مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ اُضْحِيَةٌ, تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمْ الأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يَقْبَلُ قَولُهُمْ, أرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ وَقَالَ الشِبْرَامَلِسِى: لاَيَبْعُدُ اِغْتِفَارُ ذَلِكَ العَوَام وَهُوَ قَرِيْبٌ... نَعَمْ لاَتَجِبُ بِقَولِهِ وَقْتَ ذَبْحِهَا: اللَّهُمَّ هَذِهِ اُضْحِيَتِى فَتَقَبَّلْ مِنِّى يَاكَرِيْمُ.
'Dari perkataan orang-orang, 'Ini adalah hewan qurban,' maka hewan qurban tersebut menjadi wajib. Tersebab perkataan itu haram hukumnya memakan dagingnya. Tidak diterima alasan (atas perkataan itu) mereka 'Aku menghendakinya sebagai qurban sunah' Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama. Imam Sibromalisi berkata: '(Tetapi) bagi orang awam (orang yang belum mengetahui hukum ucapan tersebut) mudah untuk dimaafkan. Perkataan Imam Sibromalisi ini mudah untuk difahami (diterima)' Memang demikianlah hukumnya, namun qurban tidak menjadi wajib sebab ucapan orang waktu menyembelihnya: Ya Allah ini adalah hewan qurbanku, maka semoga Engkau menerimanya dariku, wahai Dzat Yang Maha Mulia'.
c. Kitab Sulaiman Kurdi juz 2 halaman 204
وَقَالَ العَلاَّمَةُ السَّيِّد عُمَرُ البَصْرِى فِى حَوَاشِ التُّحْفَةِ يَنْبَغِى أَنْيَكُونَ مَحَلُّهُ مَالَمْ يَقْتَصِدُ الأَخْبَارُ فَإنْ قَصَدَهُ اى هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِى أُرِيْدُ التَّضْحِيَةِ بِهَا فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الجَوَابُ كَذَالِكَ فِى نَازِلَةٍ وَقَعَتْ لِهَذَا الحَقِيْر وَهِيَ اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَحْصٌ آخَرَ فَقَالَ مَاهَذِهِ فَقَالَ أُضْحِيَتِى.
Al Allamah As Sayid Umar Al Bashriy berkata dalam komentar atas kitab Tuhfatul Muhtaj: Seyogyanya letak status nadzar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar. Kemudian jika memang bermaksud memberi kabar, 'Kambing ini yang saya maksudkan untuk qurban', maka tak ada penentuan dan berlaklkan jawaban. Demikian pula dalam peristiwa yang terjadi pada seorang yang naif ini, yakni seseorang membeli kambing untuk digunakan qurban lalul bersua dengan seseorang lain kemudian bertanya: 'Apa ini?' Maka jawab si orang tadi: 'Qurbanku'.
3. Dari keterangan-keterangan tersebut, maka dapat dijelaskan di sini, bahwa pertanyaan Anda yang pertama mengenai pendapat Pak Kyai tetangga saudara itu bisa dianggap benar. Karena jawaban saudara ada kata 'menjadikan', yang mempunyai makna sama dengan nadzar. Kata menjadikan yang berkonotasi mewajibkan hewan tersebut untuk qurban (Bajuri 2:310). Akan tetapi bisa juga jawaban Anda itu tidak mengubah qurban Anda menjadi nadzar karena ketidaktahuan Anda. Hal tersebut berpegang pada pendapat Imam Syibromalisi dan pendapat Sayid Umar al-Bashriy: bahwa jawaban saudara tersebut hanya bermaksud memberi kabar.
4. Untuk pertanyaan Anda yang kedua, bisa membaca lagi keterangan masalah nadzar tadi.
5. Untuk pertanyaan ketiga, Anda bisa berpegang pada keterangan Sayid Umar al-Bashriy.
Yang perlu diingat, beribadah itu tidak sulit dan tak perlu dipersulit. Niatlah yang ikhlas semata karena patuh kepada Allah
Deskripsi masalah :
1. Rumah saya berdekatan dengan masjid, namun saya sering salat berjamaah di rumah bersama istri dan anak-anak. Kemudian ada orang mengatakan, bila rumah seseorang dekat dengan masjid jarak 40 rumah ke arah timur, barat, utara dan selatan, maka salat jamaah di rumah tetap mendapat dosa, sekalipun salatnya sah. Karena di masa nabi, beliau tidak pernah salat berjamaah kecuali di masjid. Yang ingin saya tanyakan adalah:
a. Apakah salat saya bersama keluarga di rumah bisa diterima, dengan alasan membimbing isteri dan anak?
b. Benarkah perkataan orang itu? jika benar apa alasannya?
2. Saya pergi ke masjid pada hari Jumat, pada waktu itu khatib sudah di atas mimbar dan membaca khutbah. Yang saya tanyakan:
a. Apakah kita masuk langsung duduk atau melakukan salat?
b. Kalau salat, salat apa yang harus dikerjakan?
Jawaban
1. Untuk menjawab pertanyaan saudara yang pertama, perlu kiranya kami ketengahkan hadist-hadist Nabi saw, antara lain:
a. Hadist riwayat Abu Dawud dari Ibn Ummi Maktum sebagaimana tersebut dalam kitab Irsyadul Ibad halaman 23, yang artinya kurang lebih:
Sesungguhnya Ibn Ummi Maktum telah datang kepada Nabi saw, kemudian berkata: 'Wahai Rasulullah sesungguhnya di kota Madinah ini, banyak binatang melata dan binatang buas. Sedangkan saya adalah orang yang buta lagi jauh rumahnya, dan saya mempunyai teman yang selalu menuntun saya! maka adakah keringanan bagiku untuk salat di rumahku?'. Nabi bersabda:'Apakah engkau mendengar adzan?' Dia menjawab:' Ya!' Nabi bersabda: 'Engkau wajib datang ke masjid. Sesungguhnya aku tidak mendapatkan keringanan bagimu!'
b. Dalam kitab Majmu' karangan Imam Ahmad Ibn Zaini Dahlan salah seorang mufti madzhab Syafi'i di Makkah, halaman 22, beliau mengemukakan sebuah hadist Nabi saw, sebagai berikut:
لاَصَلاَةَ بِجَارِ المَسْجِدِ إلاَّ فِى المَسْجِدِ
'Tidak ada salat bagi tetangga masjid, kecuali di masjid'.
Arti dari 'tidak ada salat' dalam hadist di atas, menurut madzhab Syafi'i adalah "Tidak ada salat itu diberi pahala". Sedangkan menurut madzhab lainnya ada yang mengatakan 'tidak ada salat itu sah'
Jadi meskipun salat saudara beserta anak dan isteri di rumah itu sah, namun tidak ada pahalanya. Sedang pengertian 40 rumah adalah diambil dari pengertian tetangga (kitab Taisirul Kholaq halaman 8).
c. Dalam kitab Kifayatul Akhyar juz 1 halaman 133 disebutkan:
الجَمَاعَةُ تَحْصُلُ بِصَلاَةِ الرَجُلِ فِى بَيْتِهِ مَعَ زَوْجَتِهِ وَغَيْرِهَا وَلَكِنَّهَا فِى المَسْجِدِ أفْضَلُ.
Berjamaah itu dapat berhasil dengan salat seseorang di rumahnya bersama isterinya dan lainnya. Akan tetapi berjamaaah di masjid itu lebih utama.
2. Dari dalil-dalil yang telah kami kemukakan di atas, kiranya pertanyaan saudara nomer 1.a. dan 1.b. sudah terjawab.
3. Untuk menjawab pertanyaan nomer 2, baiklah kami tuliskan hadist Nabi saw sebagimana diriwayatkan oleh Jabir RA:
قَالَ: إذَا جَاءَ أحَدُكُمْeأَنَّ رَسُولَ اللهِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَاليُصَلَّ رَكْعَتَيْنِ.
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: 'Jika salah seorang dari kalian datang di masjid pada hari Jum'at, sedangkan imam berkhutbah, maka hendaklah dia salat dua rokaat'.
Menurut pengarang kitab al Muhadzdzab, niat dari salat tersebut adalah salat tahiyatul masjid. Salat tersebut dilakukan jika imam tidak di akhir khutbah
Deskripsi masalah :
1. Makanan mereka (orang kristen) yang bagaimana yang dihalalkan? Sebab ada makanan dari sembelihannya dan ada yang tidak, seperti kue dan sebagainya.
2. Ucapan salam yang mana? Assalamu'alaikum atau yang lainnya?
Jawaban:
1. Yang kami maksudkan dengan makanan pemberian orang nasrani yang halal kita makan, ialah makanan yang jelas kesuciannya, seperti tempat memasak makanan tersebut tidak pernah kena najis dari babi atau lainnya. Bukan pula makanan dari sembelihannya. Sebab sembelihan ahli kitab yang halal kita makan adalah ahli kitab yang tidak musyrik sedang ahli kitab yang telah musyrik maka telah menjadi kafir, sebagaimana firman Allah dalam Al Quran surat Al Maidah 73 yang antara lain berbunyi:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوا إنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari Tuhan yang tiga.
2. Ucapan salam yang boleh kita berikan kepada orang non muslim yang jelas bukanlah Assalamualaikum karena mengucapkan salam kepada mereka itu, dengan salam seperti salam tersebut hukumnya haram. Jadi yang boleh adalah ucapan salam dengan bentuk lain
Deskripsi masalah :
1. Bagaimana yang sebaiknya harus kami ucapkan sebagai seorang muslim dari kalimat-kalimat ini. Contoh, kenikmatan dan rizki ini dari Tuhan Yang Maha Esa, atau dari Nya, dari Tuhan Allah swt, dari Tuhan Allah.
2. Ada berapa macam zakat itu? bagaimana realisasinya? apa hubungannnya antara zakat fitrah dan zakat maal? Sahkah istilah latihan zakat? Bagaimana hukumnya zakat dari potong gaji?
3. Apa bedanya qurban Idul Adha, qurban aqiqah dan qurban nadzar?
4. Bolehkah yang berkorban ikut makan. Bolehkah qurban urunan dan arisan dan latihan qurban?
Jawaban
1. Untuk menjawab pertanyaan saudara yang pertama, kami tuliskan ibarat dari kitab Kasyifatus Saja, syarah dari kitab Safinatun Naja halaman 3 sebagai berikut:
وَأحْسَنُ العِبَارَاتِ فِى ذَلِكَ الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ
'dan sebaik-baik ungkapan dalam menyatakan syukur atas kenikmatan adalah 'segala puji bagi Allah, Tuhan Sekalian Alam'.
2. Untuk pertanyaan kedua, kalau kami jawab secara terperinci, maka akan merupakan sebuah kitab yang lumayan tebalnya. Oleh karena itu akan kami ringkas sebagai berikut:
a. Zakat itu ada dua macam: 1. Zakat Fitrah, 2 Zakat Maal (Harta) yang terdiri dari 6 macam, yaitu a. zakat emas dan perak termasuk didalamnya zakat uang, b. zakat binatang ternak, c. zakat rikaz, d. zakat harta dagangan e. zakat tanaman dan tumbuhan dan f. zakat piutang.
b. Realisasi dari zakat-zakat tersebut sudah diatur dan diuraikan dalam kitab fiqh (silahkan mempelajarinya). Istilah 'latihan zakat'tidak dikenal dalam agama Islam. Tetapi yang Anda maksud mungkin adanya penyaluran zakat fitrah yang dikelola sekolah bagi muridnya. Oleh para guru dimaksudkan sebagai latihan zakat, tetapi hakekatnya zakat fitrah yang sebenarnya juga.
c. Mengenai zakat dari potong gaji, maka kami perlu kami informasikan bahwa selama kami menjadi pengawai negeri dan gaji kami dipotong untuk zakat fitrah, maka potongan tersebut selalu kami anggap sedekah saja. Sebab untuk menamakannya sebagai zakat, kami menemui dua kesulitan pokok: a. kesulitan untuk berniat, sebab sudah dipotong lebih dahulu. Jadi kami tidak merasa menyerahkan. b. potongan tersebut biasanya selalu memakai standar harga beras jatah. Padahal beras yang kami makan sehari-hari mutunya jauh lebih tinggi dari beras jatah, sehingga karenanya zakat kami tersebut menjadi tidak sah. Sebab zakat fitrah itu mutunya paling tidak harus sama dengan yang dimakan sehari-hari. Belum lagi ditambah dengan pendapat madzhab Syafii yang menyatakan fitrah itu harus berupa barang makanan sehari-hari dan tidak boleh diganti dengan harganya.
d. Apalagi kami juga tidak tahu apakah orang yang menerima zakat kami tersebut berhak menerima atau tidak menurut syariat Islam. Hal ini mengingat setahu kami yang mengurus juga orang-orang yang tidak pandai mengenai hukum zakat. Jadi kami selalu zakat lagi sesuai dengan keyakinan dan kemantapan hati kami.
3. Untuk pertanyaan ketiga, jawabannya sebagai berikut:
a. qurban ialah binatang (kambing, sapi, unta, kerbau) yang disembelih pada hari raya idul adha atau pada hari tasyrik
b. qurban ini asal hukumnya menurut madzhab Syafii adalah sunah, kecuali jika qurban itu dinadzarkan, maka hukumnya menjadi wajib.
c. untuk qurban sunah, orang yang berqurban boleh ikut makan dagingnya sampai 1/3. Yang 1/3 boleh dihadiahkan kepada orang-orang yang mampu, sedang yang 1/3 dibagikan kepada fakir miskin.
d. Jika qurban itu wajib, maka semua daging sampai dengan kulit dan tanduknya harus disedekahkan
Deskripsi masalah :
Ada sepasang suami isteri A dan B. pada awalnya pasangan ini termasuk keluarga yang sakinah. Namun setelah dikaruniai dua orang anak timbul titik-titik perpecahan yang mengarah kepada perceraian. Pasalnya tanpa sepengetahuan B ternyata A kawin lagi dengan C. Setelah B dapat memastikan bahwa A memang benar kawin lagi dengan c, akhirnya B minta cerai. Permintaan ini dikabulkan oleh A. A mentalak b dengan talak satu.
Sebulan kemudian setelah A mentalak B, anak-anak dari A dan B membujuk kedua orang tuanya agar ruju'. Namun sebelum ruju' dilaksanakan, B mengajukan sebuah syarat. B mau rujuk asalkan A menceraikan C.
Dihadapan B, A menyetujui syarat yang diajukan B. namun ternyata A ingkar janji. A tidak menceraikan C.
Pertanyaan saya adalah
1. Apakah yang dimaksud ta'liq?
2. Apakah syarat yang diajukan b ketika ruju' dengan a termasuk ta'liq?
3. Jika ternyata A betul-betul tidak menceraikan C, sahkah ruju' A dan B?
Jawaban:
1. Yang dimaksud dengan ta'liq (bukan takliq), ialah menggantungkan sesuatu pekerjaan dengan sesuatu kejadian yang lain. Misalnya ada seorang suami mengatakan kepada isterinya: ' Engkau saya talak atau saya cerai jika engkau masuk ke kamar saya!' dalam hal ini jika ternyata sang isteri masuk kamar sang suami, maka jatuhlah talak dari sang suami kepada sang isteri tersebut.
2. Syarat yang diajukan di luar ijab dan qobul atau di luar aqad, baik aqad nikah atau aqad lainnya, maka hukumnya tidak mempengaruhi keabsahan dari akad itu sendiri. Adapun syarat yang diajukan oleh B ketika ruju' dengan A tidak termasuk ta'liq, sebab yang melakukan sighat ruju' adalah sang suami.
3. Jika ternyata A betul betul tidak menceraikan C, maka ruju' si A kepada si B tetap sah. Untuk lebih mantabnya saudara kami persilahkan menelaah ibarat yang tersebut dalam kitab I'anatut Thalibin juz 4 halaman 30.
وَلاَيَصِحُّ تَعْلِقُهَا اى صِيغَةُ الرَجْعَةِ وَمِثْلُ التَعْلِيقِ التَّأقِيْتُ فَهُوَ لاَيَصِحُّ اَيْضًا كَرَاجَعْتُكِ شَهْرًا. وَقَوْلُهُ كَرَاجَعْتُكِ الخ تَمْثِيْلٌ لِتَّعْلِيْقِ
dan tidak sah ta'liq dari sighat ruju'. Dan seperti ta'liq adalah menentukan waktu,maka hukumnya juga tidak sah, misalnya seorang suami mengatakan kepada isterinya:'saya merujuk engkau dalam waktu satu bulan !'. ucapan pengarang 'aku merujuk engkau'dst' adalah perumpamaan dari ta'liq
Deskripsi masalah :
Pernah pak guru menerangkan kepada kami bahwa, bagi seorang yang berobat kerumah dukun guna mengobatkan sakitnya sedang dukun tersebut memakai bantuan syaitan yang orang-orang menyebutnya dengan istilah dukun bancik dan secara kebetulan sakit yang diobatkan sembuh.
Maka menurut dawuh pak guru kepada kami, bahwa kelak orang tersebut kalau meninggal akan dikumpulkan bersama sama dengan syaitan dan dijadikan pelayan oleh syaitan, karena dukun tersebut dibantu oleh syaitan.
Pertanyaan saya adalah, benarkah penuturan pak guru tersebut? jikalau memang benar mohon diterangkan dalil-dalil yang menunjukkan atau yang membenarkan, dan terdapat di kitab apa?
Sekian pertanyaan dan permohonan kami. Atas jawabannya kami ucapkan banyak terima kasih. Dan bila ada kata-kata kami yang salah, atau tidak berkenan dihati bapak, maka kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Jawaban:
Dalam kitab Irsyadul Ibad ada hadist Nabi saw, yang menerangkan bahwa seseorang yang datang ke dukun, maka salatnya 40 hari 49 malam tidak diterima oleh Allah, dan apabila petunjuk-petunjuk atau nasihat atau syarat-syarat yang telah ditentukan oleh sang dukun tersebut diikuti atau ditaati, maka orang yang mengikuti atau mentaati tersebut dianggap kufur.
Masalah orang yang diobatkan kepada dukun kebetulan sembuh, maka kesembuhan tersebut memang sudah waktunya diberikan oleh Allah, sehingga apabila dia berobat kelain dukun tersebutpun akan sembuh juga, karena kesembuhan itu pada hakekatnya hanya dari Allah, sebagaimana tersebut dalam hadist-hadist Nabi saw yang dapat kita baca dalam kitab Riyadus Shalihin. Catatan: dukun dalam pengertian jawaban ini adalah orang yang biasa memberi pengobatan dengan menggunakan suwuk yang meminta jasa syaitan
Deskripsi :
1. Apabila pegawai negeri meninggal dunia, isterinya mendapat: a) uang pensiun; b) uang asuransi; c) uang tabungan asuransi pensiun; d) sumbangan dari masyarakat. Yang ingin kami tanyakan uang manakah yang termasuk tirkah yang harus dibagi secara Islam (faraid).
2. Sementara itu, dalam peraturan Taspen ada kalimat: 'Apabila pegawai negeri sipil/pejabat negara meninggal dunia sebelum pensiun, maka PT. Taspen (perseroan) akan membayar tunjangan hari tua, asuransi, kematian dan pensiun; janda/duda/yatim piatu pertama (apabila THT dan Askam belum dibayarkan).
Untuk itu tolong pak Kyai,masalah ini saya tanyakan supaya kami dapat mengerti benar. Ini sering terjadi, tetapi orang-orang masih belum tahu persis hukumnya. Sekian pertanyaan kami, atas perkenan Kyai kami haturkan banyak terima kasih.
Jawaban:
Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, maka terlebih dahulu kami ketengahkan dalil-dalil nas kitab-kitab, sebagai berikut:
1. Kitab Ianatut Thalibin juz III halaman 233:
وَ التِّرْكَةُ مَا خَلَفَهُ المَيِّتُ مِنْ مَالٍ اَوْ حَقٍّ
Tirkah (harta peninggalan) itu ialah apa yang ditinggalkan oleh mayit, berupa harta atau hak.
2. Kitab At Ta'rifat halaman 49
التِّرْكَةُ هُوَ المَالُ الصَّافِى أَنْ يَتَعَلَّقَ حَقَّ الغَيْرِ بِعَيْنِهِ
Tirkah adalah harta yang bersih dari keterkaitan hak orang lain.
3. Kitab Nihayatul Muhtaj juz VI halaman 3:
(مِنْ تِرْكَةِ المَيِّتِ) وَهِيَ مَا يَخْلُفُهُ مِنْ حَقٍّ كَجِنَايَةٍ وَحَدِّ قَذَفٍ أوْ إِخْتِصَاصٍ أو مَالٍ كَخَمْرٍ تَخَلَّلَتْ بَعْدَ مَوْتِهِ وَدِيَةٍ أُخِذَتْ مِنْ قَاتِلِهِ لِدُخُولِهَا فِى مِلْكِهِ وَكَذَا مَا وَقَعَ بِشَبَكَةٍ نَصَبَهَا فِى حَيَاتِهِ عَلَى مَا قَالَهُ الزَّرْكَشِى.
Diantara tirkah mayit ialah apa yang ditinggalkan oleh mayit mengenai hak, seperti: jinayah, hukuman tuduhan zina, atau wewenang atau harta seperti arak yang telah berubah menjadi cuka setelah kematian dan harta tebusan yang diambil dari orang yang membunuhnya, karena harta tersebut masuk dalam miliknya. Demikian pula ikan yang masuk ke dalam jaring yang dipasang pada waktu hidupnya, menurut pendapat Az Zarkasyi.
Dari keterangan kitab-kitab tersebut di atas, maka: 1) >Uang pensiun janda, 2) Uang asuransi, 3) Taspen (Tabungan asuransi Pensiun), sekilas adalah merupakan harta warisan (tirkah) dari sang suami yang meninggal dunia. Akan tetapi jika kita teliti peraturan Pemerintah mengenai ketiga hal tersebut di atas bukan merupakan harta tirkah, karena ada keterkaitannya dengan hak orang lain. Seperti isteri dan anak-anak.
Mengenai uang sumbangan dari masyarakat, maka yang jelas sumbangan tersebut menjadi hak milik keluarga yang ditinggalkan, karena niat masyarakat menyumbang tersebut adalah kepada para ahli waris yang ditinggal mati dan bukan kepada si mayit
Deskripsi :
1. Bagaimana hukumnya salatnya salat Jum’at dengn cara melihat imam di TV sedang imam yang asli bermakmum di atas (masjid bertingkat) dan makmum yang berada di bawah dengan melihat imam yang berada/ yang kelihatan di dalam televisi tersebut.
2. Sahkah salat jum’at tersebut bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Shalat Jum’at tersebut sah! Jika imam dan makmum tersebut berada dalam satu masjid, maka hukumnya boleh!
Dasar pengambilan hukum:
1. Kitab Nihayatuz Zain halaman 121:
وَ الثَاِ لثُ (عِلمٌ بِنتِقَا لاَتِ اِمَامٍ) بِرُؤ يةِ صَفِّ اَو بَعضِهِ اَو سِمَا عِ صَو تِهِ ……
Dan yang ketiga dari syarat-syarat makmum adalah mengetahui perpindahan-perpindahan imam (dari satu rukun ke rukun lain) dengan melihat imam tersebut atau melihat shaf di mukanya atau melihat sebagian dari shaf atau mendengar suara imam.
2. Kitab Nihayatuz Zain halaman 122
(فَاءِن كَانَ فِي مَسجِدٍ ) فَالمَدَارُ عَلَى العِلمِ بِا لاِْ نْتِقَالاَتِ بِطَرِيْقٍٍ مِنَ الطُرُقِ الْمُتَقَدَّ مَةِ وَحِنَئِدٍ (صّحَّ الاِقْتِدَ…