Politik uang dalam Pilkada.
Ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi momentum untuk memilih pemimpin terbaik daerah yang berkomitmen menyejahterakan warga. Namun di balik itu ada ancaman yang menjadikan cita-cita tersebut sirna, yakni money politic atau politik uang. Dengan cara tersebut, masa depan suatu daerah ‘digadaikan’ sehingga pemimpin tidak dipilih berdasarkan kompetensinya namun berdasarkan ‘isi tas’nya.
فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوْا رَبَّكُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّهُ خَيْرُ الزَّادِ، وَاتَّقُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ، فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُون
Wujud nyata dari kuatnya ketakwaan ini bisa dilihat dari komitmen kita dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Jika kita merasa tak berdosa saat meninggalkan perintah Allah dan menggampangkan larangan-larangan-Nya, maka ketakwaan kita patut dipertanyakan...?
Jika kita takwa dalam keadaan ramai saja, namun di saat sepi dengan mudah melakukan maksiat, maka ketakwaan kita tidak tertancap kuat dalam diri kita.
Rasulullah saw bersabda:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Artinya, “Bertakawalah kepada Allah di mana saja kamu berada. Ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya hal itu dapat menghapusnya. Bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR At-Tirmidzi).
Saat ini kita berada dalam suasana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih pemimpin daerah, gubernur, bupati, ataupun walikota secara serentak di Indonesia.
Pilkada dilaksanakan untuk memilih pemimpin terbaik melalui sistem demokrasi yang berlaku di negara kita. Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi kriteria memiliki hak suara untuk memilih kepala daerah, yang nanti akan memimpinnya dan menjadi orang nomor satu di daerahnya.
Memilih pemimpin bukanlah hal yang mudah.
Walau terlihat gampang dengan hanya mencoblos kertas suara dan memasukkannya ke kotak yang disediakan panitia, namun pilihan kita akan menentukan nasib daerah untuk lima tahun ke depan.
Jika pilihan kita tepat, maka daerah kita bisa menjadi makmur.
Namun jika kita salah pilih, maka siap-siap daerah kita akan stagnan atau malah mengalami kemunduran. Seharusnya kita memberikan suara kita kepada orang yang tepat.
Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58:
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
Artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Banyak hal yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan siapa calon yang akan dipilih.
Bisa jadi karena faktor kedekatan, faktor visi dan misi yang disampaikan para calon, ataupun faktor lainnya.
Namun ada faktor yang harus kita hindari dalam memilih calon kepala daerah yakni karena faktor uang atau yang sering disebut money politik atau politik uang.
Politik uang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan praktik yang memiliki dampak negatif serius terhadap kualitas demokrasi, pemerintahan, dan masyarakat secara keseluruhan.
Politik uang membuat proses pemilihan menjadi tidak adil dan tidak mencerminkan kehendak sebenarnya dari masyarakat.
Keputusan memilih bukan berdasarkan kualitas dan kapabilitas calon, melainkan karena pemberian uang atau barang.
Hal ini mengurangi integritas Pilkada sebagai proses demokrasi.
Politik uang juga berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten.
Calon yang menang bisa saja bukan yang terbaik, tetapi hanya yang mampu "membeli" suara terbanyak.
Ini akan berdampak buruk pada kualitas kebijakan dan layanan publik yang mereka hasilkan nantinya.
Rasulullah saw bersabda:
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ، فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
Artinya, “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR Al-Bukhari).
Kita perlu sadar, calon yang mengeluarkan biaya besar untuk membeli suara mungkin akan tergoda untuk mengembalikan biaya tersebut dengan melakukan korupsi atau penyalahgunaan anggaran saat menjabat.
Ini merusak tata kelola pemerintahan dan membebani keuangan negara atau daerah.
Dengan politik uang, masyarakat akan kehilangan kesadaran pentingnya partisipasi politik yang sehat.
Masyarakat akan cenderung bersikap apatis dan pragmatis, memilih hanya demi keuntungan jangka pendek, bukan demi pembangunan yang berkelanjutan.
Bahaya politik uang ini, Rasulullah saw diriwayatkan melaknat orang yang menerima sesuatu untuk mengubah pilihan dan keputusannya :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَو قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
Artinya, "Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap." (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Hanya orang BODOH yang mudah disuap,walaupun dia statusnya pintar,tetap termasuk Bodoh karena tidak bisa membedakan benar dan salah/Hak dan Bathil,disinilah berlakunya Mauliatul ilmi/pertanggung jawaban ilmu yang sudah dimiliki,siap-siap dihadapan allah swt adanya pertanggung jawaban,hal sepele tapi dampaknya mudhorot dunia akhirat.
Pemimpin hasil suap hanya akan menghasikan kerusakan dan jauh dari keberkahan.
Pemerintah juga sudah mengingatkan sanksi untuk pelaku politik uang dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
Hal ini diatur di antaranya dalam Pasal 187A Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu maka akan mendapatkan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1miliar.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2000 juga sudah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa segala bentuk suap, termasuk politik uang hukumnya adalah haram.
Dalam fatwa yang dikeluarkan pada tanggal 28 Juli 2000, MUI merinci bahwa politik uang termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan atau tindakannya.
"JANGAN KAU GADAIKAN AKHIRAAT DEMI DUNIAMU,INGAT HIDUP DIDUNIA SINGKAT DIAKIRAAT ABADI,GUNAKANLAH HIDUP YANG SINGKAT INI DENGAN SEBAIK-BAIKNYA,BERMA'SIAT SENDIRI UDAH BERAT DOSANYA APALAGI BAWA ORANG BANYAK"
Allahu a'lam
Semoga beanfa'at.
#PikirDuluSebelumBertindak
#IngatAkhirat
#DiduniaTidakLama
#AkhiratAbadi
#AdaHisabLoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar