Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Jumat, 21 Februari 2025

PEREMPUAN HAID BOLEH MASUK MASJID,,,?

Sudah kita ketahui mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan orang yang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. 

Sedangkan pada sesi kali ini, kita mengangkat pandangan mazhab Syafi’i perihal solusi untuk ustadzah TPQ yang harus mengajar di dalam masjid dalam keadaan junub atau haid.
Dalam Kitab Bahrul Mazhab pada bab li'an, Imam Ar-Ruyani (wafat 502 H)–seorang ulama paruh akhir abad ke-5 Hijriyah yang bermazhab Syafi'i–merekam sebuah pendapat tentang kebolehan orang junub dan perempuan haid untuk masuk dan berdiam di dalam masjid dari Imam Al-Muzani (Isma'il bin Yahya Al-Muzani, wafat 264 H), salah seorang murid Imam Syafi'i yang paling masyhur.
Al-Muzani berpendapat bahwa perempuan haid tidak dilarang masuk masjid sebagaimana tidak terlarangnya bagi perempuan musyrik.

قال المزني: رَحِمَهُ اللَّهُ - : " إِذَا جُعِلَ لِلْمُشْرِكَةِ أَنْ تَحْضُرَهُ فِي الْمَسْجِدِ وَعَسَى بِهَا مَعَ شِرْكِهَا أَنْ تَكُونَ حَائِضًا كَانَتِ الْمُسْلِمَةُ بِذَلِكَ أَوْلَى " .هَذَا مَذْهَبُهُ أَنَّ الحَائِضَ لَا تُمْنَعُ مِنَ الْمَسْجِدِ كَالْمُشْرِكَةِ.

Artinya, “Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja, dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Begitulah pendapat Imam Al-Muzani bahwa muslimah yang haid tidak terlarang masuk masjid sebagaimana perempuan musyrik. (Imam Abdul Wahid bin Ismail Ar-Ruyani, Bahrul Mazhab, [Beirut, Dar Ihya Turats: 2002 M] juz 10, halaman 339).
Di sini, Imam Al-Muzani tidak menganggap masalah terkait muslimah yang haid untuk masuk masjid sebagaimana wanita yang tidak beriman boleh-boleh saja memasukinya yang mungkin saja juga sedang haid. Wanita tidak beriman saja boleh, apalagi wanita beriman? Demikian kiranya argumentasi Imam Al-Muzani.
Pendapat Imam Al-Muzani yang direkam oleh Imam Ar-Ruyani tersebut juga dapat ditelusuri dalam kutipan ulama periode sebelumnya, yakni Imam Al-Mawardi (wafat 450 H), seorang pemuka mazhab Syafi'i yang juga hakim agung pada ujung kekuasaan dinasti Abbasiyah–yang mensyarahi Kitab Mukhtasor-nya Imam Al-Muzani.
“Imam Al-Muzani berkata, ‘Ketika perempuan musyrik diperbolehkan masuk masjid, padahal mungkin saja dalam keadaan musyrik itu ia haid, maka perempuan muslimah lebih boleh lagi untuk masuk masjid.’ Imam Al-Mawardi berkata, ‘Statemen Imam Al-Muzani ini menjelaskan pendapatnya tentang kebolehan masuk masjid bagi muslim yang junub dan muslimah yang haid, sebagaimana kebolehan masuk masjid bagi kafir dzimmi meskipun ada orang junub dan haid di antara mereka.’” (Imam Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtasar Al-Muzani).
Pendapat Imam Al-Lakhmy dari mazhab Maliki dan Imam Al-Muzani dari mazhab Syafi'i dapat dijadikan solusi bagi ustadzah TPQ yang harus mengajar di masjid.
Namun demikian, bila masih ada cara lain semisal dengan pengajar pengganti atau beralih lokasi, alangkah baiknya cara tersebut yang diprioritaskan agar tetap mengikuti pendapat mayoritas ulama. Allahu a'lam.

HUKUM SHALAT DIPESAWAT

Hukum Shalat dalam Pesawat


Hukum Shalat dalam Pesawat
BincangSyariah.Com– Bagaimana hukum shalat dalam pesawat?  Pasalnya, shalat adalah perkara wajib yang harus dikerjakan semua orang Islam yang telah baligh. Selama nyawa masih dikandung badan, selama nafas masih berhembus, dan pikiran masih dalam keadaan waras, selama itu pula kewajiban shalat harus dikerjakan.

Syekh Muhammad Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitabnya Fath al-Qorib bahkan mengatakan;

ولا يتركها ما دام عقله ثابتا

Shalat tidak boleh ditinggalkan selama akalnya masih ada.

Dalam keadaan bagaimanapun, kapanpun, dan dimanapun, shalat tetap harus dikerjakan. Tidak boleh bagi seorang pun berani untuk meninggalkan shalat, karena seluruh amal tergantung pada shalat yang kita kerjakan. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,

أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة، فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله

“Amal ibadah yang pertama yang akan dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka baiklah seluruh amalannya yang lain dan jika shalatnya rusak maka rusaklah seluruh amalannya yang lain”

Shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab di akhirat dan menjadi tolak ukur kebaikan amalan yang lain. Namun bagi sebagian orang yang memiliki urusan penting di luar daerah dan sering bepergian menggunakan pesawat sering bertanya-tanya, bagaimana hukum melaksanakan shalat dalam pesawat?

Hukum Shalat dalam Pesawat
Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf dalam kitabnya At-Taqrirat as-Sadidah, juz I hal. 201, memberikan penjelasan terkait hal ini, beliau menjelaskan;

الصَّلَاةُ فِي الطَّائِرَةِ، فَتَجُوْزُ مَعَ الصِّحَّةِ صَلَاةُ النَّفْلِ، وَأَمَّا صَلَاةُ الْفَرْضِ إِنْ تَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ أَثْنَاءَ الرِّحْلَةِ وَكَانَتِ الرِّحْلَةُ طَوِيْلَةً بِأَنْ لَمْ يَسْتَطِعِ الصَّلَاةَ قَبْلَ صُعُوْدِهَا أَوِ إنْطِلَاقِهَا أَوْ بَعْدَ هُبُوْطِهَا فِي الْوَقْتِ وَلَوْ تَقْدِيْمًا اَوْ تَأْخِيْرًا، فَفِي هَذَا الْحَالَةِ يَجِبُ عَلَيْهِ اَنْ يُصَلِّيَ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ مَعَ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ وَفِيْهَا حَالَتَانِ (١) إِنْ صَلَّى بِإِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ فَفِي وُجُوْبِ القَضَاءِ عَلَيْهِ خِلَافٌ لِعَدَمِ اسْتِقْرَارِ الطَّائِرَةِ فِي الْأَرْضِ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ (٢) وَإِنْ صَلَّى بِدُوْنِ إِتْمَامِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ أَوْ بِدُوْنِ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ مَعَ الْإِتْمَامِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ القَضَاءُ بِلَا خِلَافٍ

“Shalat di dalam pesawat, boleh serta dihukumi sah Shalat sunah dalam pesawat. Sedangkan untuk shalat fardhu, jika ia hanya bisa melaksanakan Shalat di tengah perjalanan sementara perjalanannya masih jauh dengan gambaran ia tidak mampu melaksanakan shalat pada waktunya, baik sebelum pesawat lepas landas atau akan mendarat, sekalipun dengan jama’ taqdim atau ta’khir, maka dalam keadaan seperti ini wajib baginya untuk shalat lihurmatil waqti dengan tetap menghadap arah kiblat. 

Dan dalam hal ini, ada dua keadaan: (1) Jika ia shalat dengan menyempurnakan ruku’ dan sujud, maka dalam kewajiban mengqadha shalat ada perbedaan -ada yang berpendapat tidak wajib qadha (mengganti) ada yang berpendapat wajib qadha- karena tidak tetapnya pesawat pada bumi. Pendapat yang kuat berpandangan, ia wajib mengqadha shalatnya. 

(2) Jika ia shalat dapat menyempurnakan ruku’ dan sujud atau tidak menghadap ke arah kiblat maka ia wajib mengulangi shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat.”

Kesimpulan
Untuk shalat sunah yang dikerjakan di pesawat hukumnya boleh dan sah, sedangkan untuk shalat fardhu yang sudah masuk waktu dan tidak memungkinkan untuk shalat selain di dalam pesawat sekalipun dengan jamak taqdim atau takhir, maka wajib mengerjakan shalat di dalam pesawat.

Untuk kewajiban mengqadha atau tidak maka ditafshil (diperinci), apabila shalatnya dengan menyempurnakan ruku’, sujud dan menghadap kiblat maka ada yang berpendapat tidak wajib qadha ada yang berpendapat wajib qadla’. Apabila shalatnya tanpa rukuk, sujud atau menghadap kiblat, maka hukumnya wajib qadla’.

Hari-hari yang dipenuhi dengan kesibukan, sesungguhnya adalah karunia dari Allah. Allah memberi kita kesempatan untuk memiliki kegiatan yang begitu banyak, dimana banyak orang lain justru kesulitan untuk mendapatkan kesempatan itu. Allah memberi kita kesempatan bekerja di saat banyak orang lain kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan.

Oleh karena itu, kita harus mensyukuri dan menyikapinya dengan bijak serta membagi waktu kita dengan baik, dengan tetap memprioritaskan ibadah kepada Allah.

Demikian penjelasan hukum shalat dalam pesawat. 
Wallahu a’lam"
 

Selasa, 18 Februari 2025

AHLI SURGA DAN NERAKA TANPA HISAB

Inilah Ahli Surga dan Ahli Neraka Tanpa Hisab
Apakah kita termasuk golongan orang yang masuk Surga tanpa hisab, atau masuk neraka tanpa hisab, atau kah kita masih termasuk orang yang memerlukan hisab amal perbuatan untuk memasuki keduanya.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, pada momen Isra Mi’raj tahun ini, akan kita telaah tentang perhitungan amal manusia.


Sehubungan dengan hal itu, Allah SWT pada hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak akan menghitung semua amal perbuatan manusia.

Allah SWT berfirman:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ ۞

“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan”. (Q.S. Al-Anbiya: 47)

Ayat tersebut menjelaskan secara detil bahwa setiap manusia ditetapkan oleh Tuhan apakah ia menjadi penghuni surga ataukah neraka setelah perhitungan amalnya. Jika timbangan amal kebaikannya lebih berat dari keburukannya, maka ia masuk surga. Sebaliknya, jika timbangan amal keburukannya lebih berat dari kebaikannya, maka ia masuk neraka.

BACA JUGA: Tidak Ada Hal yang Tidak Mungkin bagi ALLAH ﷻ

Namun demikian, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa ada manusia-manusia istimewa yang menjadi penghuni surga namun tanpa melewati proses perhitungan amal perbuatannya, alias tanpa hisab. Begitupun penghuni neraka, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan bahwa ada di antara mereka yang tanpa proses perhitungan amal perbuatannya, alias bighairi (tanpa) hisab.

Jadi, untuk menjadi ahli surga, harus melalui dua proses; dengan perhitungan (bil-hisab) dan tanpa perhitungan (bighairi hisab). Demikian juga ahli neraka, mereka harus melewati dua proses juga; dengan perhitungan (bil-hisab) dan tanpa perhitungan (bighairi hisab).

Ahli Surga Tanpa Hisab

Mengenai golongan orang-orang yang akan dimasukkan ke surga tanpa hisab, alias tanpa perhitungan amal, akan kita ulas satu persatu berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Rasulullah SAW dalam Kitab-kitab klasik.

Di suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ، فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، ثُـمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْـجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمُ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي اْلإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللّٰهِ وَذَكَرُوْا أَشْيَاءَ، فَخَرَخَ عَلَيْهِمْ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيْهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمُ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ، فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ اُدْعُ اللّٰهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ، ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ اُدْعُ اللّٰهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ .

Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda: ‘Saya telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allâh, lalu saya melihat seorang Nabi bersama beberapa orang, seorang Nabi bersama seorang dan dua orang dan seorang Nabi sendiri, tidak seorangpun menyertainya. Tiba-tiba ditampakkan kepada saya sekelompok orang yang sangat banyak. Lalu saya mengira mereka itu umatku, tetapi disampaikan kepada saya: “Itu adalah Musa dan kaumnya”. Lalu tiba-tiba saya melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepada saya: “Ini adalah umatmu, bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang, mereka akan masuk surga tanpa hisab dan adzab.”


Kemudian Beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun saling berbicara satu dengan yang lainnya, ‘Siapakah gerangan mereka itu?’ Ada diantara mereka yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka itu sahabat Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam.’ Ada lagi yang mengatakan: ‘Mungkin saja mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam dan tidak pernah berbuat syirik terhadap Allâh.’ dan menyebutkan yang lainnya.

Ketika Rasulullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar, mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Beliau bersabda: ‘Mereka itu adalah orang yang tidak pernah minta diruqyah (pengobatan dari terkena sihir, santet, teluh, gendam, dan sejenisnya dengan cara rajah atau bacaan-bacaan yang mengandung mantra), tidak meminta di kay (pengobatan luka dengan besi panas) dan tidak pernah melakukan tathayyur (tidak memvonis nasib sial karena melihat burung) serta mereka bertawakkal kepada Rabb mereka.

Lalu Ukasyah bin Mihshan berdiri dan berkata: “Mohonkanlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ‘Engkau termasuk mereka’. Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: ’Mohonlah kepada Allâh, mudah-mudahan saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab: ’Kamu sudah didahului Ukasyah’.”

Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW juga ada bersabda:

وَقَالَ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْخُلُ أَرْبَعَةٌ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ : الْعَالِمُ الَّذِيْ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ، وَمَنْ حَجَّ وَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ حَتَّى مَاتَ، وَالشَّهِيْدُ الَّذِىْ قُتِلَ فِى الْمَعْرَكَةِ لِإِعْلَاءِ كَلِمَةِ الْاِسْلَامِ، وَالسَّخِيُّ الَّذِيْ إِكْتَسَبَ مَالًا مِنَ الْحَلَالِ وَأَنْفَقَهُ فِى سَبِيْلِ اللّٰهِ بِغَيْرِ رِيَاءٍ، فَهَؤُلَاءِ يُنَازِعُ بَعْضَهُمْ بَعْضًا أَيُّهُمْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَوَّلًا .

“Dan Nabi SAW bersabda: ketika hari kiamat datang ada empat orang yang akan masuk surga tanpa hisab (yaitu) orang alim yang mengamalkan ilmunya, orang berhaji dan dia tidak berkata-kata keji dan berbuat fasik sampai dia meninggal, tentara yang gugur mati syahid dalam medan pertempuran dalam menegakkan kalimat Islam, dan orang yang dermawan yang membelanjakan hartanya kepada yang halal dan menafkahkannya di jalan Allah tanpa diikuti sikap riya’. Mereka saling berbantah-bantahan siapa yang pertama memasuki surga”. (Kitab Mukasyafah Al-Qulub karya Imam Ghazali hal. 65)


Kemudian, Rasulullah SAW juga mengatakan dengan jelas bahwa 10 orang sahabat beliau masuk surga dengan tanpa menyebutkan syarat hisab:

Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Auf, Rasulullah SAW bersabda:

أَبُوْ بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدٌ بْنِ أَبِيْ وَقَاصٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيْدٌ بْنِ زَيْدٍ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُوْ عُبَيْدَةٍ بْنِ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ .

“Abu Bakar di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Thalhah di surga, Az-Zubair di surga, Abdurrahman bin Auf di surga, Sa’ad bin Abi Waqqas di surga, Sa’id bin Zaid di surga, Abu Ubaidah bin al-Jarrah di surga”. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan An-Nasai).

Dari tiga redaksi hadits di atas dapat diambil kesimpulan tentang kriteria masuk surga tanpa hisab, golongan orang-orang yang termasuk dalam kriteria tersebut, hingga para Nabi yang membawa serta umatnya dengan jumlah yang beraneka bilangan.

Adapun tentang kriteria ahli surga tanpa perhitungan (bighairi hisãb) adalah mutlak menjadi hak Allah SWT melalui rahmat-Nya. Sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:

لا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللّٰهِ .

“Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelamatkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (H.R. Muslim).

Tentunya, hak mutlak Allah SWT tidaklah mungkin memunculkan kesewenang-wenangan. Allah tidak mungkin mengingkari janji-Nya dan tidak mungkin berbuat dzhalim kepada hamba-Nya. Karena itulah, perhitungan amal perbuatan manusia (hisãb) menjadi dasar yang paling sederhana untuk menentukan seseorang menjadi ahli surga ataukah ahli neraka.

Ada seseorang yang seolah-olah terlihat sedikit kebaikannya, namun di antara amal baik yang sedikit itu terdapat perbuatan yang bernilai sangat besar dan sangat berarti bagi makhluk lain menurut penilaian Allah SWT. Perbuatan yang seolah sedikit implementasinya dalam pandangan manusia namun bernilai besar di hadapan Allah SWT adalah sikap tawakkal. Apa itu tawakkal?

Tawakal berasal dari kata وكل (wakala) yang berarti menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan suatu urusan kita kepada orang lain. Dalam kaitan ini penyerahan tersebut adalah kepada Allah SWT. Tujuannya, untuk mendapat kemashlahatan dan menghilangkan kemudharatan.

Secara istilah arti tawakkal adalah menyerahkan suatu urusan kepada kebijakan Allah SWT, yang mengatur segalanya-galanya. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT adalah salah satu perkara yang diwajibkan dalam ajaran agama Islam. Berserah diri (tawakkal) kepada Allah SWT dilakukan oleh seorang muslim apabila sudah melaksanakan ikhtiar (usaha) secara maksimal dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.

Tawakkal dilaksanakan setelah manusia melakukan ikhtiar dengan maksimal. Karena itu, tawakkal kepada Allah SWT tidak dibenarkan apabila belum melaksanakan usaha semaksimal mungkin. Demikian juga tawakkal yang ditujukan kepada selain Allah SWT termasuk perbuatan syirik yang harus dijauhi oleh setiap orang yang beriman.

Allah SWT berfirman:

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ ۞

“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang, dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman”. (QS. Al-Maidah [5]:23)

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia dikatakan beriman apabila sudah bertawakkal kepada Allah SWT. Dalam ayat lain, Allah SWT juga ada berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۚ إِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ۞

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]:159)


Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia akan disukai oleh Allah SWT bila bertawakkal kepada-Nya setelah melaksanakan usaha dengan maksimal.

Hanya saja, bagaimana Allah SWT menilai sifat-sifat tawakkal seorang hamba, itulah yang tak mungkin secara detil dapat diketahui oleh hamba yang lain, kecuali Allah anugerahkan kepadanya pengetahuan akan hal itu. Mengapa sikap tawakkal dinilai sangat besar?

Seseorang yang bertawakkal kepada Allah SWT akan melahirkan sifat-sifat syukur, sabar, ikhlas, qana’ah, amanah, jujur, empati, dst. Lalu bagaimana sifat-sifat tersebut ditunjukkan dalam perbuatan dan realitas kehidupan sehari-hari? Inilah realitas yang tak selalu sama antara manusia yang satu dengan yang lain, sehingga tak bisa digeneralisir dalam pandangan (perspektif) manusia sendiri. Kriteria itu hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Hanya Allah SWT sajalah yang rinci, detil dan adil dalam perhitungan-Nya.

Kemudian Rasulullah SAW diperlihatkan oleh Allah SWT tentang hamba-hamba-Nya yang akan menjadi penghuni surga tanpa hisab dan ‘adzab. Penglihatan Rasulullah SAW itu adalah dengan pandangan ‘ainul bashirah, yang tidak diberikan oleh Allah SWT kepada sembarang hamba.

Sifat tawakkal adalah sifat shamadiyyah (bersandar atau bergantung kepada Allah SWT) yang dimulai dari kriteria tauhîd (‘menyatu’ kepada Allah SWT). Tauhid bukanlah menyatakan atau menjadikan Allah itu Esa. Tauhid itu adalah sebuah sikap aktif seorang hamba yang dimulai dari kesadaran akan ke-Esa-an Allah SWT.

Jadi, segala sesuatu yang menjadi tujuan dan rujukannya hanyalah Allah SWT. Seseorang yang ketika melakukan perbuatan apapun di dunia ini dimulai dengan kesadaran bahwa perbuatan tersebut dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah. Tentunya didahului dengan pengetahuan mumpuni tentang baik buruknya perbuatan (tamyîz).

Dari Allah, dengan Allah dan untuk Allah adalah manifestasi dari kalimat lã haula wa lã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhîm (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung). Biasanya kalimat itu digandeng dengan sebuah pernyataan bertawakkal kepada-Nya, yakni:

بِسْمِ اللّٰهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللّٰهِ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Bismillãhi tawakkaltu ‘alallãhi wa lã haula wa lã quwwata illã billãhil ‘aliyyil ‘adzhîm

“Dengan Nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.

Biasanya, kalimat tersebut dipakai sebagai doa untuk keluar rumah. Namun demikian, doa tersebut bukanlah semata-mata ucapan, tapi lebih dalam dari itu. Pemahaman, kesadaran dan penghayatan terdalamnya dapat menjadi “penyapu bersih” dari segala sesuatu yang mengotori kesucian sifat tawakkal. Dengan kesadaran itu, akhirnya doa tersebut bisa dipakai untuk melakukan setiap perbuatan baik. Apalagi ketika sedang menghadapi bahaya, tekanan, himpitan dan kondisi-kondisi kehidupan yang berat.

Demikian penjelasan tentang bagaimana tawakkal yang didasari tauhid bisa menjadi penentu akan nilai sebuah perbuatan, sehingga ia menjadi kriteria untuk menjadi penghuni surga tanpa hisab. Wallãhu a’lamu bish-Shawãb.

Semoga kita termasuk golongan yang dikriteriakan tersebut, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

________________________________________

Ahli Neraka Tanpa Hisab

Jika ada ahli surga tanpa proses perhitungan amal (bighairi hisab), maka ada juga orang yang masuk neraka tanpa proses perhitungan (bighairi hisab).

Rasulullah SAW memberikan kriteria tersebut melalui sabdanya:

سِتَّةٌ يَدْخُلُوْنَ النَّارَ  قَبْلَ الْحِسَابِ بِسِتَّةٍ . قِيْلَ : يَا رَسُوْلَ‏ اللّٰهِ صَلَّى‏ اللّٰهُ عَلَيْكَ، مَن هُم؟ قَالَ : اَلْاُمَرَاءُ بِالْجَوْرِ، وَالْعَرَبُ بِالعَصَبِيَّةِ، والدَّهَاقِيْنُ بِالْكِبْرِ، وَالتُّجَّارُ بِالْخِيَانَةِ، وَأَهْلُ الرُّسْتَاقِ بِالْجَهَالَةِ، وَالْعُلَمَاءُ بِالْحَسَدِ . (رواه الديلمي من حديث ابن عمر وأنس)

“Ada enam golongan orang yang akan masuk neraka sebelum hisab”. Ada yang bertanya: “wahai Rasulullah shallallãhu ‘alaika, siapa saja mereka itu?”. Rasulullah SAW bersabda: “Umara yang dzhalim (1), orang Arab yang rasis atau berbuat mementingkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) (2), penguasa kecil yang merasa besar (sombong) (3), pengusaha yang berdagang dengan khianat (curang) (4), orang awam yang bodoh dalam masalah agama (ahlur rustaq) (5), dan ulama yang punya hati dengki (hasad) (6).”


Ada enam kelompok manusia yang akan masuk neraka tanpa melalui proses penghitungan amal ibadah (bighairi hisab). Mereka adalah orang-orang yang berbuat kedzaliman di dunia dan selalu merugikan banyak orang. Mereka bukan tidak mengerjakan amal ibadah yang diwajibkan dan amalan-amalan sunnah yang lain. Namun, amal ibadah yang mereka kerjakan sulit untuk mengalahkan dosa-dosa yang telah mereka perbuat.

Menurut Imam al-Ghazali dalam kitab Minhãj al-‘Ãbidîn, keenam kelompok orang itu (seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh ad-Dailamiy) adalah:

Pertama, pemimpin yang dzalim. Mereka adalah pemimpin yang tidak amanah di saat memegang jabatan. Jabatan yang dimiliki digunakan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan umat.

Padahal, dalam pandangan Islam, jabatan merupakan sebuah amanah yang besar. Pertanggungjawabannya bukan hanya kepada manusia melainkan juga kepada Allah SWT. Itulah mengapa para sahabat enggan untuk memegang jabatan sebagai pemimpin untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa jenazah Rasulullah baru dimakamkan tiga hari setelah beliau wafat. Ini disebabkan para sahabat menunggu siapa pemimpin sesudah Rasulullah.

Kedua, fanatisme golongan. Mereka memiliki rasa fanatisme yang berlebihan terhadap sebuah kelompok atau golongan. di Indoenesia, orang-orang tersebut disebut mementingkan dan melanggar SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Apa pun akan mereka lakukan asalkan demi golongannya. Mereka berjuang bukan untuk mencari ridha Allah SWT, melainkan untuk kepentingan golongan. Ketika umat Islam didzalimi mereka tidak beraksi tapi kalau kelompok mereka diganggu dan dianiaya mereka berjuang habis-habisan untuk membela kelompoknya.

Ketiga, penguasa kecil (pemimpin desa/daerah) yang mempunyai kesombongan besar. Terkadang kita jumpai di masyarakat bahwa pemimpin-pemimpin daerah justru ingin diperlakukan dengan istimewa bahkan terkadang melebihi pemimpin yang memiliki kekuasaan yang lebih besar. Mereka sombong dengan jabatan yang dikuasai. Padahal yang berhak sombong tidak lain adalah Allah SWT.

Keempat, pengusaha yang khianat (curang). Segala bentuk usaha yang dilakukan bertentangan dengan apa yang sudah ditentukan dalam Islam. Usahanya menggunakan cara-cara tidak terpuji seperti menipu.

Kalau ia seorang pedagang buah, di atas keranjang buah selalu ditempatkan buah-buah yang masih baru dan segar tetapi di bagian bawah, buahnya dalam keadaan jelek bahkan ada yang busuk. Islam pun melarang setiap pedagang untuk mengurangi timbangan karena dengan berbuat itu akan merugikan konsumen.

Kegiatan menimbun barang juga merupakan perbuatan yang ditentang dalam ajaran Islam. Alasannya, kegiatan itu biasanya digunakan untuk meresahkan masyarakat akibat mahalnya harga barang. Tindakan itu merugikan masyarakat.

Kelima, orang awam karena kebodohannya dalam masalah agama. Mereka hanya ikut-ikutan dengan sekelompok orang yang mereka anggap benar. Akibatnya, mereka tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Di dalam Al-Quran, Allah SWT menjelaskan, akan meninggikan derajat orang yang berilmu. Karena itu, mencari ilmu dalam Islam juga merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

Keenam, ulama yang mempunyai hati dengki. Ulama menurut arti bahasa adalah orang yang berilmu. Setiap ilmu yang dimiliki harus digunakan untuk kepentingan umat, bukan untuk kepentingan individu ataupun kelompok. Bukan pula untuk mencari popularitas dan persaingan dalam hal banyaknya jama’ah.

Biasanya, penyebab ulama memiliki hati dengki adalah dalam hal popularitas dan berbanyak-banyakan jama’ah atau pengikut. Antar-ulama saling dengki karena iri hati dengan popularitas dan jumlah jama’ahnya. Ulama semacam ini akan dimintai pertanggungjawaban yang lebih berat dari yang bukan ulama dalam hal sifat dengki (hasad). Dan, pastinya ilmu yang dimilikinya juga akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT.

Apa yang dikatakan Rasulullah SAW itu sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dikriteriakan sebagai penghuni neraka, apalagi neraka tanpa hisab, na’ûdzu billãhi min dzãlik (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu), âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

_____________


Selasa, 11 Februari 2025

ARAH QIBLAT SEBELUM ISRO MIRAJ DAN SHALAT SEBELUMNYA.


السؤال
الإخوة في موقع الإسلام المحترمين بارك الله فيكم، سؤالي هو: ما هي الفترة التي صلاها الرسول صلى الله عليه وسلم باتجاه المسجد الأقصى، وبأي اتجاه كان يصلي في مكة المكرمة، أنا سمعت أن الصلاة باتجاه المسجد الأقصى كانت لمدة ستة عشر شهرا، وكما هو معروف فإن تغيير القبلة حدث في المدينة، إذن فبأي اتجاه كان المسلمون يصلون خلال السنوات الثلاث عشرة الأولى؟ وجزاكم الله خيرا.

الإجابــة... 

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

فقد صلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى بيت المقدس ستة عشر شهرا, وذلك بعد هجرته صلى الله عليه وسلم إلى المدينة، وأما قبل هجرته فكان يصلي قبل الكعبة. 
وقيل: يجعل الكعبة بينه وبين بيت المقدس فيصلي، لما أخرجه محمد بن جرير الطبري في تفسيره بسنده عن ابن جريج: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى أول ما صلى إلى الكعبة ثم صرف إلى بيت المقدس فصلت الأنصار نحو بيت المقدس قبل قدومه ثلاث حجج وصلى بعد قدومه ستة عشر شهرا ثم ولاه الله جل ثناؤه إلى الكعبة.

وقال ابن كثير رحمه الله تعالى بعد ما ذكر جملة من الأقوال وساق بعضا من الروايات قال: وقد جاء في هذا الباب أحاديث كثيرة وحاصل الأمر أنه قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر باستقبال الصخرة في بيت المقدس فكان بمكة يصلي بين الركنين فتكون بين يديه الكعبة وهو مستقبل صخرة بيت المقدس, فلما هاجر إلى المدينة تعذر الجمع بينهما فأمره الله بالتوجه إلى بيت المقدس... واستمر الأمر على ذلك بضعة عشر شهرا وكان يكثر الدعاء والابتهال أن يوجه إلى الكعبة التي هي قبلة إبراهيم عليه السلام, فأجيب إلى ذلك وأمر بالتوجه إلى البيت العتيق فخطب رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس فأعلمهم بذلك, وكان أول صلاة صلاها إليها صلاة العصر.

وقد فرضت الصلوات الخمس على النبي صلى الله عليه وسلم قبل الهجرة بخمس سنين في حادثة الإسراء. 
واختلف هل كانت قبل ذلك صلاة أم لا، وقد فصلنا القول في ذلك في الفتوى رقم: 17665.
________________________________________

كم مرحلة تم فيها فرض الصلاة ؟.. 

الإجابــة
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

فرضت الصلاة ليلة الإسراء قبل الهجرة بنحو خمس سنين. وقيل: ست. وقيل: بعد البعثة بنحو سنة، قاله المرداوي في الانصاف.
وقال الحافظ ابن حجر رحمه الله: فائدة: ذهب جماعة إلى أنه لم يكن قبل الإسراء صلاة مفروضة، إلا ما وقع الأمر به من صلاة الليل من غير تحديد، وذهب الحربي إلى أن الصلاة كانت مفروضة ركعتين بالغداة وركعتين بالعشي، وذكر الشافعي عن بعض أهل العلم أن صلاة الليل كانت مفروضة ثم نسخت بقوله تعالى:فَاقْرَأُوا مَا تَيَسَّرَ مِنهَ [المزمل:20]، فصار الفرض قيام بعض الليل، ثم نسخ ذلك بالصلوات الخمس). انتهى من فتح الباري (554/1)
________________________________________


فقد اختلف أهل العلم هل كانت قبلة الرسول صلى الله عليه وسلم إلى الكعبة أو إلى بيت المقدس أولاً؟ قال القرطبي رحمه الله في التفسير: واختلفوا أيضاً حين فرضت عليه الصلاة أولاً بمكة، هل كانت إلى بيت المقدس أو إلى مكة، على قولين، فقالت طائفة: إلى بيت المقدس وبالمدينة سبعة عشر شهراً، ثم صرفه الله تعالى إلى الكعبة، قاله ابن عباس.انتهى.

ثم يقول القرطبي أيضا مشيراً للقول الثاني: وقال آخرون: أول ما افترضت الصلاة عليه إلى الكعبة، ولم يزل يصلي إليها طول مقامه بمكة على ما كانت عليه صلاة إبراهيم وإسماعيل، فلما قدم المدينة صلى إلى بيت المقدس ستة عشر شهراً أو سبعة عشر شهراً، على الخلاف، ثم صرفه الله إلى الكعبة، قال أبو عمر: وهذا أصح القولين عندي. قال غيره: وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة أراد أن يستأنف اليهود فتوجه إلى قبلتهم ليكون ذلك أدعى لهم، فلما تبين عنادهم وأيس منهم أحب أن يحول إلى الكعبة فكان ينظر إلى السماء، وكانت محبته إلى الكعبة لأنها قبلة إبراهيم، عن ابن عباس، وقيل: لأنها كانت أدعى للعرب إلى الإسلام، وقيل: مخالفة لليهود. انتهى. 

فلعل المسجد الأقصى يوصف بأنه أولى القبلتين لأنه القبلة الأولى لرسول الله صلى الله عليه وسلم ولأمته قبل أن يؤمر بالتوجه إلى البيت الحرام باعتبار القول الأول، أما على القول الثاني فالقبلة الأولى والأخيرة هي بيت الله الحرام، ولا تسليم بوصف المسجد الأقصى بأنه القبلة الأولى. 

هذا عن التسمية، وأما الصلاة قبل عهد النبي صلى الله عليه وسلم فكانت مفروضة على الأمم السابقة وإن اختلفت من أمة إلى أمة في العدد والكيفية والشروط والهيئات، ويدل عليه قوله تعالى حكاية عن إسماعيل عليه الصلاة والسلام:  {وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا} [مريم:55]، وقوله تعالى:  {يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ} [آل عمران:43]، ولما روى البخاري عن جابر قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم:  «أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي، نصرت بالرعب مسيرة شهر، وجعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً، فأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل....» الحديث.

قال في فيض القدير: قوله (مسجدا) أي محل سجود ولو بغير مسجد وقف للصلاة فلا يختص بمحل بخلاف الأمم السابقة فإن الصلاة لا تصح منهم إلا في مواضع مخصوصة من نحو بيعة أو كنيسة، فأبيحت الصلاة لنا بأي محل كان. انتهى.

وقال في الفواكه الدواني: بهذا علم الفرق بين الرخصة والعزيمة وهو من خصائص هذه الأمة لأن الأمم السابقة لا تصلي إلا بالوضوء، كما أنها كانت لا تصلي إلا في أماكن مخصوصة يعينونها للصلاة ويسمونها بيعا وكنائس وصوامع، ومن عدم منهم الماء أو غاب عن محل صلاته يدع الصلاة حتى يجد الماء أو يعود إلى مصلاه. انتهى.

وقال العدوي المالكي في حاشيته: قوله (جعلت صفوفنا.. إلخ) أي صفوفنا في المساجد في الصلوات كصفوف الملائكة في السماء في الصلاة، قال الحلبي: والأمم السابقة كانوا يصلون متفرقين كل واحد على حدته. انتهى. 

فمن هذه النصوص تبين أمران: الأول: أن الصلاة كانت مفروضة على الأمم السابقة. 

الثاني: أنها تختلف من أمة إلى أخرى.

 ونختم هذا الجواب بفائدتين: 

الأولى: أن الصلاة فرضت -على نبينا- ليلة الإسراء قبل الهجرة بنحو خمس سنين، وقيل: ست، وقيل: بعد البعثة بنحو سنة، قاله المرداوي في الإنصاف.

والفائدة الثانية: ذهب جماعة إلى أنه لم يكن قبل الإسراء صلاة مفروضة، إلا ما وقع الأمر به من صلاة الليل من غير تحديد، وذهب الحربي إلى أن الصلاة كانت مفروضة ركعتين بالغداة وركعتين بالعشي، وذكر الشافعي عن بعض أهل العلم أن صلاة الليل كانت مفروضة ثم نسخت بقوله تعالى: {فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ} [المزمل:20]، فصار الفرض قيام بعض الليل، ثم نسخ ذلك بالصلوات الخمس. قاله الحافظ ابن حجر رحمه الله في فتح الباري 554/1.

والله أعلم.

Sabtu, 08 Februari 2025

NABI ISA DIQUBUR DISAMPING NABI MUHAMMAD SAW

Disebutkan jika Nabi Isa AS masih hidup hingga saat ini. 
Karena beliau tidak diwafatkan oleh Allah SWT melainkan hanya diangkat ke langit. 

Melansir melalui Umma.id kelak di akhir zaman, Nabi Isa akan turun untuk membimbing manusia ke jalan yang benar sekaligus memerangi Dajjal. Hal ini bahkan sudah tertulis berdasarkan hadis riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah, bahwa Nabi Saw bersabda: 

"Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang berperang demi membela kebenaran sampai hari kiamat".

Kemudian Nabi Saw berkata; ‘Maka kemudian turun Nabi Isa bin Maryam (keselamatan atasnya). Pemimpin golongan yang berperang tersebut berkata kepada Nabi Isa; ‘Kemarilah, shalatlah mengimami kami.’ 

Nabi Isa menjawab; ‘Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain, sebagai penghormatan bagi umat ini.’

Setelah Nabi Isa selesai dengan tugasnya dan berada di bumi selama 45 tahun, maka beliau akan diwafatkan oleh Allah SWT. Ia akan dikuburkan bersama Nabi Muhammad SAW. 

Ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat Imam Sya’rani dalam Tazkiatul Qurthubi berikut: 

"Sesungguhnya Isa bin Maryam saat turun akan menikah dan memiliki anak. Kemudian dia menetap selama 45 tahun dan dikuburkan bersamaku dikuburanku. Kemudian aku dan Isa bangkit dari kuburanku, dan salah seorang di antara Sayidina Abu Bakar dan Umar". 

Diketahui, saat ini makam Nabi Muhammad SAW sudah menyatu dengan kompleks Masjdi Nabawi. 
Di sebelah makam Rasul pun terdapat 2 makam sahabat yakni Abubakar As-Siddiq dan Umar bin Khatab.

Namun, di samping makam Rasulullah juga masih terdapat 1 makam yang kosong. Makam kosong itu disebut-sebut sebagai makam Nabi Isa setelah dibangkitkan oleh Allah SWT kelak. 

Sabtu, 01 Februari 2025

QODHO SHALAT KARENA HAID, Apakah ada ? ,,,

Wanita Haid Wajib Qadha Shalat, Adakah?

Secara mendasar, haid itu menjadi penghalang wanita untuk shalat. 
Tetapi ada beberapa wanita yang haid tapi masih wajib qadha. 
Apa saja shalat itu ?.. 
Wanita haid harus qadha’ shalat ?...
Pernyataan itu bisa keliru, bisa benar. 
Ada beberapa model qadha’ shalat bagi wanita haid.

Haid Tidak Wajib Qadha’ Shalat

Wanita haid itu tidak boleh shalat. 
Hal itu didasari dari hadits Nabi:

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَتِ الحَيْضَةُ، فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ، فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي» صحيح البخاري (1/ 73)

Dari Aisyah r.a berkata, Nabi bersabda: Jika datang haid, maka tinggalkanlah shalat. 
Jika haidnya selesai, maka mandilah, bersihkan darahnya lalu shalatlah. (HR. Bukhari).

Secara mendasar, wanita haid selain dilarang shalat, mereka juga tidak diperintahkan mengganti shalatnya nanti saat suci. 
Hal itu didasari dari hadits Aisyah:

عَنْ مُعَاذَةَ، قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ. فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: «كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ، فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ» صحيح مسلم (1/ 265)

Aisyah berkata: Kita ketika haid, diperintahkan mengganti puasa tapi tidak diperintahkan mengganti shalat. (HR. Muslim).

Maka, wanita yang haid itu tak diwajibkan mengganti shalat yang telah ditinggalkan saat mereka haid.

Hanya saja memang ada beberapa model wanita yang haid, tapi dia tetap diperintahkan mengganti beberapa shalat yang ditinggalkan saat haid. 
Shalat itu adalah sebagai berikut:

Haid Wajib Qadha : 
Sudah Masuk Waktu, Belum Shalat Keburu Haid. 

Model pertama adalah wanita yang sudah melewati masuknya waktu shalat. Dia tidak segera shalat di awal waktu, malah datang haid duluan.

Maka, ketika haid dia tidak boleh shalat. Tetapi karena sudah masuk waktu shalat dan dia dalam keadaan masih suci, belum haid maka dia sudah mendapatkan kewajiban shalat.

Apakah dia berdosa karena tidak segera shalat ?...
Tidak berdosa. 
Karena waktu shalat masih ada, dia boleh shalat baik di awal waktu maupun di akhir waktu. 
Dan haid itu bukan sesuatu yang bisa diprediksi dengan presisi kapan keluar darahnya. 
Meskipun sebaiknya tetap shalat itu di awal waktu. 
Apalagi kalo sudah masuk waktu biasanya wanita datang haid.

Nanti jika dia sudah suci, maka shalat yang ditinggalkan itu wajib diganti. Sebagai contoh, ada wanita sudah jam 1 siang, tapi belum shalat. 
Ternyata datang haid,Maka nanti waktu suci, dia wajib qadha’ shalat dzuhur dahulu. 
Imam an-Nawawi menyebutkan:

وَنَصَّ فِيمَا إذَا أَدْرَكَتْ مِنْ أَوَّلِ الْوَقْتِ قَدْرَ الْإِمْكَانِ ثُمَّ حَاضَتْ أَنَّهُ يَلْزَمُهَا الْقَضَاءُ. (المجموع شرح المهذب، للنووي، 4/ 368)

Nash dari Imam Syafii, bahwa perempuan jika mendapati awal waktu shalat dan dia bisa shalat seharusnya, lantas haid. 
Maka nanti jika suci dia wajib qadha’. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 4/ 368)

Haid Wajib Qadha : 
Suci di Waktu Isya’, Wajib Qadha’ Maghrib,Suci di Waktu Ashar, Wajib Qadha’ Dzuhur. 

Model kedua adalah wanita yang suci dari haid di waktu isya’ atau waktu ashar. Maka jika sucinya di waktu isya’ sampai sebelum shubuh, setelah mandi wajib dia wajib shalat maghrib sebagai qadha’ dahulu lalu shalat isya’. 
Atau jika sucinya di waktu ashar, maka setelah mandi dia wajib shalat dzuhur dulu sebagai qadha’ lalu shalat ashar.

Selain suci di dua waktu tadi, maka tidak wajib shalat qadha’. 
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari Shahabat, Tabiin, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Dari kalangan Malikiyyah, Ubaidullah bin al-Husain al-Milikiy (w. 378 H) menyebutkan:

وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها... 
وإن طهرت في الليل وقد بقي عليها قبل طلوع الفجر قدر أربع ركعات صلت المغرب والعشاء لإدراكها آخر وقتها. 
(التفريع في فقه الإمام مالك بن أنس، عبيد الله بن الحسين بن الحسن أبو القاسم ابن الجَلَّاب المالكي (المتوفى: 378هـ)، 1/ 111)

Jika wanita haid itu suci, saat menjelang masuk waktu maghrib dia bisa shalat 5 rakaat, maka wajib bagi dia shalat dzuhur dan ashar. 
Karena dia telah mendapatkan waktu kedua shalat tadi... 
Jika dia sucinya di waktu malam menjelang masuk waktu shubuh, dia bisa shalat 4 rakaat, maka dia wajib shalat maghrib dan isya’. (Ubaidullah bin Husain, at-Tafri’ fi Fiqh al-Imam Malik, hal. 1/111)

Dari kalangan Syafi’iyyah, Imam Nawawi (w. 676 H) menyebutkan:

وإن كان ذلك (الطهر) في وقت العصر أو في وقت العشاء، قال في الجديد: يلزمه الظهر بما يلزم به العصر ويلزم المغرب بما يلزم به العشاء. (المجموع شرح المهذب 3/ 64)

Jika sucinya di waktu ashar atau waktu isya, maka Imam Syafii dalam qaul jadidnya mewajibkan perempuan untuk qadha’ dzuhur lantas shalat ashar, atau qadha’ maghrib lalu shalat isya’. 
(Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’, hal. 3/ 64)

Dari kalangan Hanbaliyyah, Imam Ibnu Qudamah menyebutkan :

مَسْأَلَةٌ: قَالَ: (وَإِذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَبَلَغَ الصَّبِيُّ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ، صَلَّوْا الظُّهْرَ فَالْعَصْرَ، وَإِنْ بَلَغَ الصَّبِيُّ، وَأَسْلَمَ الْكَافِرُ، وَطَهُرَتْ الْحَائِضُ قَبْلَ أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ، صَلَّوْا الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ) وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ فِي الْحَائِضِ تَطْهُرُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، وَابْنِ عَبَّاسٍ، وَطَاوُسٍ، وَمُجَاهِدٍ، وَالنَّخَعِيِّ، وَالزُّهْرِيِّ، وَرَبِيعَةَ، وَمَالِكٍ، وَاللَّيْثِ، وَالشَّافِعِيِّ، وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي ثَوْرٍ. قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: عَامَّةُ التَّابِعِينَ يَقُولُونَ بِهَذَا الْقَوْلِ، إلَّا الْحَسَنَ وَحْدَهُ قَالَ : لَا تَجِبُ إلَّا الصَّلَاةُ الَّتِي طَهُرَتْ فِي وَقْتِهَا وَحْدَهَا. وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ؛ لِأَنَّ وَقْتَ الْأُولَى خَرَجَ فِي حَالِ عُذْرِهَا، فَلَمْ تَجِبْ كَمَا لَوْ لَمْ يُدْرِكْ مِنْ وَقْتِ الثَّانِيَةِ شَيْئًا. (المغني لابن قدامة، 1/ 287)

(Masalah) Jika wanita haid suci, orang kafir masuk Islam, anak kecil balig sebelum matahari terbenam, maka dia wajib qadha’ dzuhur lalu shalat ashar. Jika sebelum fajar terbit, maka dia qadha’ maghrib lalu shalat isya’.

Ini adalah pendapat dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, Thawus, Mujahid, an-Nakhai, az-Zuhri, Rabiah, Malik, al-Laits, Syafii, Ishaq, Abu Tsaur.

Imam Ahmad berkata: Semua tabiin berpendapat seperti ini, kecuali Hasan saja. 
Dia tidak mewajibkan kecuali shalat yang di waktunya saja. Ini adalah pendapat at-Tsauri dan ashab ar-ra’yi. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 1/ 287).

Dalilnya apa?...
Pertama, ini adalah fatwa dari hampir semua shahabat dan tabiin dan juga ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah. 
Kedua, shalat dzuhur dan ashar, serta maghrib dan isya’ itu sebenarnya bagi orang yang punya udzur bisa dianggap satu waktu, karena bisa dijamak. 
Maka jika suci di waktu kedua, shalat di waktu pertama juga wajib diqadha’. Itulah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. 
Semoga bermanfaat. 
Waallahua’lam bisshawab.