Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Selasa, 03 Juni 2025

LEBARAN HARI JUM'AT,APAKAH GUGUR SHALAT JUM'AT...?

Iedul Adha Jatuh Hari Jumat, Gugurkah Kewajiban Shalat Jumatnya?..

PERTANYAAN...?
Assalamu'alaikum Wr Wb.

Al Ustadz yang semoga dirahmati Allah.

Bagaimanakah hukum shalat Jum'at jika pagi hari sudah shalat Ied. 
Beberapa kawan menyatakan boleh diganti shalat Zhuhur biasa jika pagi harinya telah mengikuti shalat Ied. 
Tetapi bukankah ada pendapat yang menyatakan bahwa yang sunnah tidak bisa menggantikan yang wajib?

Syukron atas jawabannya

JAWABAN
 
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang ada kebingungan di tengah umat Islam terkait dengan kasus hari Jumat yang jatuh berbarengan dengan salah satu dari dua hari raya, yaitu Idul Fithr atau Idul Adha, apakah shalat Jumat gugur hukumnya dan boleh tidak dikerjakan, ataukah tetap wajib dikerjakan.

Penyebab kebingungan ini karena adanya nash yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW membolehkan sebagian shahabat untuk tidak melaksanakan shalat Jumat ketika harinya tetap jatuh di hari raya.

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata,“Aku melihat Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah ketika bersama Rasulullah SAW Anda pernah menjumpai dua hari raya bertemu dalam satu hari?” Zaid bin Arqam menjawab, “Ya, saya pernah mengalaminya”. Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika itu?. Zaid berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ

Siapa yang mau shalat Jumat maka lakukanlah shalat Jumat (HR. Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya:

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِى رَمْلَةَ الشَّامِىِّ قَالَ شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ رضي الله عنه وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ »

Artinya: “Dari riwayat Iyas bin Abi Ramlah Asy Syami, beliau berkata: “Aku pernah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu bertanya Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu: “Apakah kamu pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi dua id terkumpul dalam satu hari?”, ia menjawab: “Iya (pernah)”, Mu’awiyah bertanya: “Bagaimanakah yang beliau lakukan”, ia menjawab: “Beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat ‘ied kemudian memberikan keringanan untuk shalat Jum’at, beliau bersabda: “Barangsiapa yang hendak shalat maka shalatlah ia“. HR. Ahmad (4/372), Abu Daud (1/646, no. 1070), An Nasa-i (3/193, no. 1591), Ibnu Majah (1/415, no. 1310), Ad Darimi (1/378), Al Baihaqi (3/317), Al Hakim (1/ 288), Ath Thayalisi (hal. 94, no. 685) (dan dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahih Abu Daud, no.1070, pent)

Dan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam Sunannya juga, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قَدِ اجْتَمَعَ فِى يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Artinya: “Pada hari ini terkumpul bagi kalian dua hari raya, barangsiapa yang ingin mencukupkan dengan (shalat id) dari shalat Jum’at, maka itu cukup baginya, tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama“. HR. Abu Daud (1/647, no. 1073), Ibnu Majah (1/416, no. 1311), Al Hakim (1/277), Al Baihaqi (3/318-319) dan Al Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad (3/129)dan Ibnu al-Jauzy di dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah (1/437, no. 805), (dan dishaihihkan oleh al-Albani di dalam Shahih al- Jami’ (no. 4365), pent).

Hadits ini menunjukkan akan keringanan untuk tidak mendirikan shalat Jum’at bagi siapa yang telah melaksanakan shalat id pada hari itu, dan diketahui pula tidak ada keringanan bagi imam berdasarkan sabda beliau di dalam hadits: “Tetapi kami tetap shalat Jum’at bersama “.

Dalam hal ini, umumnya para ulama dari jumhur sepakat mengatakan bahwa hukum shalat Jumat tetap wajib dikerjakan, meski jatuh pada hari raya. Namun ada pendapat yang mengatakan sebaliknya, yaitu mazhab Al-Hanabilah.

1. Tetap Wajib

Jumhur ulama, yaitu para ulama dalam mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah sepakat menegaskan bahwa hukum shalat Jumat tetap wajib dikerjakan meski jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fithr atau Idul Adha.

Mazhab Asy-Syafi'iyah membedakan antara penduduk suatu negeri dengan mereka yang hidup di padang pasir (nomaden). Keringanan untuk tidak shalat Jumat ini hanya berlaku buat mereka yang tinggal di daerah pedalaman, yang memang pada dasarnya tidak memenuhi syarat-syarat kewajiban shalat Jumat. Karena mewajibkan mereka untuk menunaikan shalat Jumat setelah shalat Ied dapat menyebabkan kesulitan bagi mereka.

Ada banyak dalil yang dijadkan hujjah atas hal ini, antara lain :

a. Kuatnya Dalil Kewajiban Shalat Jumat

Shalat Jumat itu diwajibkan dengan ayat Al-Quran, yang dari segi nash merupakan nash sharih (jelas) dan qathi, baik dari segi tsubut maupun dari segi dilalah. Sehingga statusnya qath'iyuts-tsubut dan qath'iyud-dilalah.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli..(QS. Al-Jumu’ah : 9)

Sedangkan kebolehan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat hanya didasarkan pada nash yang tidak sharih dan juga tidak qath'i, yaitu hadits-hadits yang ketegasan dan keshahihannya masih diperselisihkan para ulama.

b. Rasulullah SAW dan Para Shahabat Tetap Shalat Jumat

Meski ada dalil dari Rasulullah SAW yang membolehkan sebagian orang untuk tidak shalat Jumat, namun dalam kenyataannya, Rasulullah SAW sendiri dan umumnya para shahabat tetap melakukan shalat Jumat. Hal itu terbukti dari hadits-hadits berikut ini :

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Rasulullah SAW bersabda,"Dua hari raya jatuh di hari yang sama. Siapa tidak shalat Jumat silahkan, tetapi kami tetap mengerjakan shalat Jumat. (HR. Abu Daud)

Artinya meski hari itu bertemu dua hari raya, tidak berarti masjid Nabawi meliburkan shalat Jumat. Shalat Jumat tetap dilakukan oleh penduduk Madinah saat itu, terkecuali hanya beberapa orang saja yang dibolehkan untuk tidak ikut, karena udzur-udzur tertentu.

c. Yang Tidak Mewajibkan Tetap Menyarankan Shalat Jumat

Meski ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat Jumat hukumnya tidak wajib, seperti mazhab Al-Hanabilah, namun mereka tetap menganjurkan untuk tetap melakukan shalat Jumat, demi keluar dari khilaf dan kehati-hatian. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama yang berpendapat tidak wajibnya shalat Jumat sekalipun juga tidak secara gegabah dalam berpendapat.

Oleh karena itu jumhur ulama menyimpulkan bahwa shalat Ied (hari raya) tidak bisa menggantikan shalat Jumat.

2. Tidak Wajib

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa shalat Jumat tidak wajib adalah mazhab Al-Hanabilah. Dalil yang mereka jadikan landasan tetap sama dengan dalil-dalil di atas, namun mereka mengambil kesimpulan bahwa keringanan itu berlaku untuk seluruh umat Islam, bukan hanya untuk penduduk yang tinggal di padang pasir.

Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Senin, 02 Juni 2025

SHALAT QOBLIYAH MAGHRIB

Sholat sunnah rawatib adalah sholat sunnah yang dikerjakan untuk mengiringi sholat fardhu lima waktu. 
Sholat ini dikerjakan sebelum sholat fardhu (qobliyah) dan sesudah sholat fardhu (ba'diyah).
Keutamaan dalam mengerjakan sholat sunnah rawatib juga termaktub dalam salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:

‏ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّي لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ ‏

Artinya: "Jika seorang hamba Allah SWT sholat karena Allah SWT dua belas rakaat (sunah) setiap hari, sebelum, dan setelah sholat wajib, maka Allah SWT akan membangunkannya sebuah rumah di surga atau rumah akan dibangun untuknya di surga. 
Aku tidak pernah absen melakukannya, sejak mendengarnya dari Rasulullah SAW." (HR Muslim).

Melansir dari buku yang berjudul Adakah Shalat Sunah Rawatib Setelah Asar dan Sebelum Maghrib? karya Ust. 
Mahmud asy-Syafrowi, para ulama telah membagi sholat sunnah rawatib menjadi dua macam berdasarkan hukum pengerjaannya, yaitu muakkad dan ghairu muakkad.

Muakkad berarti sholat sunnah rawatib yang sangat dianjurkan sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. 
Sementara itu, Ulama Hanabilah berpendapat bahwa sunnah ghairu muakkad adalalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan siksa.

Lantas, bagaimana dengan hukum mengerjakan sholat sunnah qobliyah maghrib?

Dikutip dari buku Hidup Bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
karya Daeng Naja, dari Abdullah bin Mughaffal Al-Muzani RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ . - قَالَ فِي الثَّالِثَةِ -: لِمَنْ شَاءَ ، كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

Artinya: "Shalatlah sebelum sholat maghrib," Rasulullah mengatakannya tiga kali dan pada yang ketiga, beliau berkata lagi, "Bagi yang mau," karena tidak ingin kalau umatnya menjadikan hal itu sebagai keharusan.

Hadits lainnya datang dari Anas bin Malik RA, ia berkata:

كُنَّا بِالْمَدِينَةِ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ لِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ابْتَدَرُوا السَّوَارِيَ، فَيَرْكَعُونَ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ، حَتَّى إِنَّ الرَّجُلَ الْغَرِيبَ لَيَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَيَحْسِبُ أَنَّ الصَّلاَةَ قَدْ صُلِّيَتْ، مِنْ كَثْرَةِ مَنْ يُصَلِّيهِمَا

Artinya: "Saat muadzin selesai beradzan untuk shalat Maghrib, mereka (para sahabat senior) saling berlomba mencari tiang-tiang, lalu mereka shalat 2 rakaat sampai ada orang asing yang masuk masjid untuk shalat mengira bahwa shalat maghrib sudah ditunaikan karena saking banyaknya yang melaksanakan shalat sunnah sebelum Maghrib." (HR. Muslim).

Dari Anas bin Malik RA kembali berceria, ia berkata:

كُنَّا نُصَلِّي عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ ، فَقُلْتُ لَهُ : أَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّاهُمَا ؟ قَالَ : كَانَ يَرَانَا نُصَلِّيهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا ، وَلَمْ يَنْهَنَا

Artinya: "Kami para sahabat pernah sholat sunnah setelah mahatari terbenam (sebelum sholat fardhu maghrib). 
Ketika itu Nabi SAW melihat kami mengerjakan shalat itu, beliau tidak memerintahkan kami dan tidak melarang kami." (HR. Muslim).

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

"Di antara setiap dua adzan (antara adzan dan iqamah) ada sholat, di antara setiap dua adzan (antara adzan dan iqamah) ada sholat, di antara setiap dua adzan (antara adzan dan iqamah) ada sholat, bagi yang mau," (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapat lainnya dikuatkan dari Ulama Syafi'iyah menganggap bawa waktu sholat maghrib hanya satu waktu, yaitu saat matahari tenggelam dengan lama waktu sekadar adzan, wudhu, menutup aurat, iqomah, dan sholat 5 rakaat (3 rakaat fardhu + 2 rakaat ba'diyah).

Artinya, tidak ada kesempatan untuk melaksanakan sholat sunnah sebelum maghrib. Hal ini dimungkinkan, sebab Rasulullah sendiri sebagaimana dengan hadits di atas, tidak ingin menganggap sholat sunnah qobliyah maghrib dianggap sebagai sunnah yang diwajibkan.

Dapat disimpulkan bahwa hukum mengerjakan sholat sunnah qabliyah maghrib, yaitu bukanlah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan. 
Melainkan, boleh dikerjakan tetapi tidak akan menjadi masalah jika ditinggalkan. Jadi, sholat sunnah qobliyah maghrib hukumnya adalah gairu muakkad.

Bagaimana, sahabat hikmah? Jangan bingung lagi untuk melaksanakan sholat sunnah qabliyah maghrib ya.

Allahu A'lam...

THOWAF IFADHOH/HAJI

Thawaf Ifadhoh

Thawaf ifadhah adalah di antara rukun haji yang mesti dilakukan. Jika tidak melakukan thawaf yang satu ini, maka hajinya tidak sah. Thawaf ini biasa disebut thawaf ziyaroh atau thawaf fardh. Dan biasa pula disebut thawaf rukn karena ia merupakan rukun haji. Setelah wukuf di ‘Arofah, mabit di Muzdalifah lalu ke Mina pada hari ‘ied, lalu melempar jumroh, lalu nahr (melakukan penyembelihan) dan menggunduli kepala, maka ia mendatangi Makkah, lalu thawaf keliling ka’bah untuk melaksanakan thawaf ifadhah.

Thawaf Ifadhah Bagian dari Rukun Haji

Allah Ta’ala berfirman,

وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29). Berdasarkan ijma’ (kata sepakat ulama), yang dimaksud dalam ayat ini adalah thawaf ifadhah.

Dalil dari hadits,

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَىٍّ زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حَاضَتْ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَحَابِسَتُنَا هِىَ » . قَالُوا إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ . قَالَ « فَلاَ إِذًا »

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Shofiyyah binti Huyai -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah mengalami haidh. Maka aku menyebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Apakah berarti ia akan menahan kita?” Mereka berkata, “Dia sudah melakukan thawaf ifadhah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu dia tidak menahan kita“. (HR. Bukhari no. 1757 dan Muslim no. 1211).

Dalil-dalil di atas yang menunjukkan bahwa thawaf ifadhah adalah rukun haji.

Syarat Thawaf Ifadhah

1- Disyaratkan thawaf ifadhah harus didahului dengan ihram terlebih dahulu.

2- Thawaf tersebut didahului dengan wukuf di Arafah. Jika seseorang melakukan thawaf ifadhah sebelum wukuf, maka thawaf tersebut harus diulang berdasarkan ijma’ atau kata sepakat ulama.

3- Berniat untuk thawaf, namun tidak mesti mengkhususkan niat untuk thawaf ifadhah menurut jumhur karena ia sudah berniat masuk dalam haji.

4- Thawaf ifadhah dilakukan dari tengah malam hari raya Idul Adha (malam 10 Dzulhijjah) bagi yang wukuf di ‘Arafah sebelumnya. Demikian pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Hambali.

Akhir Waktu Thawaf Ifadhah

Adapun waktu akhir thawaf ifadhah tidak dibatasi. Namun melakukan thawaf ifadhah di hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) lebih afdhol karena mengingat perkataan Ibnu ‘Umar,

أفاض رسول الله صلى الله يوم النحر

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf ifadhah pada hari Nahr.” (Muttafaqun ‘alaih).

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah rahimahullah, jika thawaf ifadhah diakhirkan dari hari tasyriq (artinya: dikerjakan setelah hari tasyriq), maka thawaf tersebut tetap dilaksanakan dengan ditambah adanya kewajiban damm. Namun murid-murid Abu Hanifah menyelisihi pendapat beliau.

Jika seseorang melakukan thawaf ifadhah setelah hari Idul Adha dan hari tasyrik atau bahkan setelah Dzulhijjah, maka selama itu ia masih dalam keadaan muhrim (berihram), tidak boleh ia menyetubuhi istrinya.

Thawaf ifadhah adalah rukun dan tidak bisa tergantikan, jadi tidak bisa tidak, mesti dijalani.

Cara Melakukan Thawaf Ifadhah

Sebagaimana thawaf lainnya, thawaf ifadhah dilakukan dengan tujuh kali putaran. Setiap putaran tersebut merupakan rukun menurut jumhur (mayoritas ulama).

Wajib bagi yang mampu untuk berjalan melakukan thawaf, demikian pendapat jumhur, berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap sunnah.

Disunnahkan ketika melaksanakan thawaf ifadhah untuk melakukan roml (jalan cepat dengan memperpendek langkah) dan idh-thibaa’ yaitu membuka bagian pundak kanan, ini berlaku bagi yang melakukan sa’i setelah itu. Jika tidak, maka tidaklah disunnahkan.

Setelah melakukan thawaf diwajibkan melakukan shalat dua raka’at menurut jumhur, sedangkan menurut Syafi’iyah dianggap sunnah.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Al Wajiz Al Muqorin fii Ahkam Az Zakah wash Shiyam wal Hajj, Syaikh Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubbi, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Wizaroh Al Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah, Kuwait, juz ke-17."


Boehkah Mengabungkan Thawaf Wada' dengan Ifadhah?...

Semakin membludak jamaah haji dari seluruh penjuru dunia desak-desakan ekstrim tidak lagi dapat dihindari, utamanya saat thawaf. Ibadah haji adalah ibadah badaniyah yang membutuhkan kondisi tubuh dalam keadaan fit. Kenyataannya ada beberapa kondisi seseorang merasa berat atau bahkan tidak mampu melaksanakan thawaf, padahal dalam ibadah haji setidaknya ada tiga kali thawaf yakni, thawaf qudum, ifadhah dan wada'. 

 
Karenanya bolehkan orang menggabungkan thawaf ifadhah dan thawaf wada' menjadi satu kali thawaf dengan dua niat dengan tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisi tubuh yang sedang tidak fit?  

 
Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum thawaf wada' diperselisihkan oleh ulama se​​​​​​bagai berikut: 

 
Pertama, menurut mazhab Syafi'i thawaf wada' hukumnya wajib menurut pendapat ashah dan sunah menurut pendapat lain. Terkait pendapat madzhab Syafi'i dapat dilihat misalnya dalam kitab Al-Majmu':

Baca Juga

Hukum Bersentuhan dengan Bukan Mahram Saat Thawaf
 
وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

 
Artinya, “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama—dan ini yang paling sahih—adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

 
Kedua, menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra: 

 
بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

 
Artinya, "Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

Baca Juga

Badal Thawaf Ifadlah Dibolehkan Dengan Syarat
 
Abu Barakat Ad-Dardiri (wafat 1230 H) yang bermazhab Maliki dalam kitabnya As-Syarhul Kabir mengatakan:

 
وتَأَدَّى الوداعُ (بالإفاضة و) بطواف (العمرة) أي سقط طلبه بهما ويحصل له ثواب طواف الوداع إن نواه بهما

 
Artinya, "Telah memenuhi thawaf wada' dengan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah. Maksudnya telah gugur tuntutan thawaf wada' dengan melakukan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah, dan telah hasil baginya pahala thawaf wada' jika ia meniatkannya dalam thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah." (Abu Barakat Ad-Dardiri, As-Syarhul Kabir, [Bairut, Dar-Fikr: tt], juz II, halaman 53). 

 
Kemudian, Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya: 

 
فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

 
Artinya, " Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

 
Ulama lain dari mazhab hambali, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata: 

 
 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع

 
Artinya, "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).

 
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa thawaf wada' hukumnya wajib menurut mazhab Syafi'i, sedangkan menurut mazhab Maliki, satu pendapat dalam mazhab Imam As-Syafi'i dan Mazhab Imam Ahmad, thawaf wada' hukumnya sunah.

 
Kemudian Madzhab Maliki dan Hanbali memperbolehkan mengumpulkan antara thawaf ifadhah dan wada' dalam satu kali thawaf. Hal ini berdasar pada tujuannya adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah, dan hal ini telah terlaksana dengan thawaf ifadhah.

 
Walhasil, mengingat dalam kondisi tertentu, pelaksanaan thawaf dua kali, yaitu thawaf ifadhah dan wada' secara terpisah akan sangat memberatkan (masyaqqah) terutama bagi jamaah haji dengan risiko tinggi, sakit dan lemah secara fisik, untuk meminimalisir risiko, maka dimungkinkan untuknya memilih teknis yang lebih mudah yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu waktu dengan dua niat, dan telah ia dapatkan pahala keduanya sekalipun hanya dengan satu kali thawaf. 
Wallahu a'lam bisshawab.

PERSIAPAN ARMUZNA,DARI TGL, 8 SAMPAI 13 DZULHIJJAH/THOWAF HAJI/IFADHOH DAN SA'I.

Dear bapak_ibu yth


*Reshare info*


*PERSIAPAN AGENDA ARMUZNA 1446 H 2025 M :*


Idul Adha hari Jumat, hari arofah tgl 9 hari Kamis, berarti persiapan mulai Rabu



*Rabu, 4 Juni / 8 Dzulhijjah :*

- Mandi pagi shubuh diniatkan mandi ihrom

- Shalat shubuh di Hotel

- Waktu dluha shalat sunnah ihrom

- Niat ihrom Haji saat akan naik bis ke Arofah

- Trip I pkl 10.00 WAS (waktu Arab) Trip II pkl 14.00 WAS

- Tiba di Arofah siang/sore, shalat berjama'ah, makan, istirahat bermalam di tenda


*Kamis, 5 Juni / 9 Dzulhijjah :*

- Shalat shubuh berjamaah, shalat dluha, istirahat di tenda

- Masuk waktu dluhur kegiatan Wukuf (di tenda mendengarkan khutbah Wukuf, shalat dluhur ashar jamak qashar berjamaah, berdzikir & berdo'a sampai waktu Maghrib)

- Shalat Maghrib & Isya jamak qashar berjamaah di tenda

- Siap2 mendapat giliran naik bis menuju Muzdalifah :


- * Jamaah Mabit mulai pkl 22.00 WAS

- Sekitar pkl 23.00 WAS jamaah yg mabit turun dari Bis di Mazdalifah,  menempati area yg telah ditentukan duduk berkumpul di lapangan terbuka, dan berdzikir, dg niat untuk Mabit. Tersedia beberapa kamar kecil untuk keperluan ke air


*Jumat 6 Juni / 10 Dzulhijjah :*

- Sekitar pkl 02.00 WAS siap2 antri naik Bis menuju Mina, antri di area pemberangkatan

- Sekitar menjelang shubuh tiba di Tenda Mina

- Shalat shubuh berjamaah, istirahat di tenda

- Sekitar pk 10.00 WAS jadwal melontar Jumroh Aqobah, jadwal bisa berubah sesusi yang di tentukan oleh syarikah

- Pelaksanaan melontar Jumroh Aqobah, dilanjutkan bercukur rambut (Tahallul Awal)

- Kembali ke tenda, jamaah laki2 bisa memakai pakaian berjahit

- Shalat dluhur, ashar, maghrib, isya berjamaah di tenda

- Bermalam di tenda Mina (Mabit)


*Sabtu, 7 Juni / 11 Dzulhijjah :*

- Shalat shubuh berjamaah, istirahat di tenda

- Sekitar pk 10.00 WAS jadual melontar Jumroh Ula, Wustha' dan Aqobah

- Pelaksanaan melontar Jumroh Ula, Wustha' dan Aqobah

- Kembali ke tenda, istirahat

- Shalat dluhur, ashar, maghrib, isya berjamaah di tenda

- Bermalam di tenda Mina (Mabit)


*Ahad, 08 Juni / 12 Dzulhijjah :*

- Shalat shubuh berjamaah, istirahat di tenda

- Sekitar pk 10.00 WAS jadual melontar Jumroh Ula, Wustha' dan Aqobah

- Pelaksanaan melontar Jumroh Ula, Wustha' dan Aqobah

- Kembali ke tenda, istirahat

- Shalat dluhur, ashar, maghrib, isya berjamaah di tenda

- Bermalam di tenda Mina (Mabit) untuk jamaah yg Nafar Tsani


- Untuk jamaah yg Nafar Awal ba'da Dluhur sekitar pk 14.00 WAS siap2 naik bis menuju Makkah/Hotel


*Senin, 09 Juni / 13 Dzulhijjah :*

- Shalat shubuh berjamaah, istirahat di tenda

- Sekitar pk 10.00 WAS jadual melontar Jumroh Ula, Wustha' dan Aqobah

- Pelaksanaan melontar Jumroh Ula, Wustha' dan Aqobah

- Shalat dluhur & ashar berjamaah jamak qashar di tenda 

- sekitar pk 14.00 WAS siap2 naik bis menuju Makkah


*Di Makkah :*

- Pelaksanaan thawaf haji/Ipadhoh dan saie haji.


Demikian gambaran skedul pelaksanaan kegiatan haji

Semoga dimudahkan, dilancarkan & diterima amal ibadahnya, Aamiin yra

Rabu, 28 Mei 2025

DAM PUASA 10 HARI BOLEH DINEGARA SENDIRI.


(فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب أو القول المختار في شرح غاية الإختصار)

Pengarang: Abu Abdillah Muhammad bin Qasim bin Muhammad Al-Ghazi ibn Al-Gharabili

Bidang studi: Fiqih madzhab Syafi'i

Dam /Denda (Dalam Ihram Haji dan Umroh)

(فصل): في أنواع الدماء الواجبة في الإحرام بترك واجب أو فعل حرام (والدماء الواجبة في الإحرام خمسة أشياء أحدها الدم الواجب بترك نسك) أي ترك مأمور به كترك الإحرام من الميقات. (وهو) أي هذا الدم (على الترتيب) فيجب أولاً بترك المأمور به (شاة) تجزىء في الأضحية (فإن لم يجد) ها أصلاً أو وجدها بزيادة على ثمن مثلها (فصيام عشرة أيام ثلاثة في الحج) تسن قبل يوم عرفة فيصوم سادس ذي الحجة وسابعه وثامنه (و) صيام (سبعة إذا رجع إلى أهله) ووطنه ولا يجوز صومها في أثناء الطريق، فإن أراد الإقامة بمكة صامها كما في المحرر، ولو لم يصم الثلاثة في الحج، ورجع لزمه صوم العشرة وفرق بين الثلاثة والسبعة بأربعة أيام، ومدة إمكان السير إلى الوطن وما ذكره المصنف من كون الدم المذكور دم ترتيب موافق لما في الروضة وأصلها، وشرح المهذب لكن الذي في المنهاج تبعاً للمحرر أنه دم ترتيب وتعديل، فيجب أولاً شاة فإن عجز عنها اشترى بقيمتها طعاماً وتصدق به، فإن عجز صام عن كل مد يوماً

(والثاني الدم الواجب بالحلق والترفه) كالطيب والدهن والحلق إما لجميع الرأس أو لثلاث شعرات (وهو) أي هذا الدم (على التخيير) فيجب إما (شاة) تجزىء في الأضحية (أو صوم ثلاثة أيام والتصدق بثلاثة آصع على ستة مساكين) أو فقراء لكل منهم نصف صاع من طعام يجزىء في الفطرة



(والثالث الدم الواجب بالإحصار فيتحلل) المحرم بنية التحلل، بأن يقصد الخروج من نسكه بالإحصار (ويهدي) أي يذبح (شاة) حيث أحصر ويحلق رأسه بعد الذبح



(والرابع الدم الواجب بقتل الصيد وهو) أي هذا الدم (على التخيير) بين ثلاثة أمور (إن كان الصيد مما له مثل) والمراد بمثل الصيد ما يقاربه في الصورة، وذكر المصنف الأول من هذه الثلاثة في قوله (أخرج المثل من النعم) أي يذبح المثل من النعم ويتصدق به على مساكين الحرم وفقرائه، فيجب في قتل النعامة بدنة، وفي بقرة الوحش أو حماره بقرة، وفي الغزال عنز وبقية صور الذي له مثل من النعم مذكورة في المطولات وذكر الثاني في قوله (أو قومه) أي المثل بدراهم بقيمة مكة يوم الإخراج (واشترى بقيمته طعاماً) مجزئاً في الفطرة (وتصدق به) على مساكين الحرم وفقرائه، وذكر المصنف الثالث في قوله (أو صام عن كل مد يوماً) فإن بقي أقل من مد صام عنه يوماً (وإن كان الصيد مما لا مثل له) فيتخير بين أمرين ذكرهما المصنف في قوله (أخرج بقيمته طعاماً وتصدق به) (وصام عن كل مد يوماً) وإن بقي أقل من مد صام عنه يوماً

(والخامس الدم الواجب بالوطء) من عاقل عامد عالم بالتحريم مختار سواء جامع في قبل أو دبر كما سبق (وهو) أي هذا الواجب (على الترتيب) فيجب به أولاً (بدنة) وتطلق على الذكر والأنثى من الإبل (فإن لم يجدها فبقرة فإن لم يجدها فسبع من الغنم فإن لم يجدها قوم البدنة) بدراهم بسعر مكة وقت الوجوب (واشترى بقيمتها طعاماً وتصدق به) على مساكين الحرم وفقرائه، ولا تقدير في الذي يدفع لكل فقير، ولو تصدق بالدراهم لم يجزه (فإن لم يجد) طعاماً (صام عن كل مد يوماً)

واعلم أن الهدي على قسمين أحدهما ما كان عن إحصار، وهذا لا يجب بعثه إلى الحرم، بل يذبح في موضع الإحصار، والثاني الهدي الواجب بسبب ترك واجب أو فعل حرام، ويختص ذبحه بالحرم، وذكر المصنف هذا في قوله (ولا يجزئه الهدي ولا الإطعام إلا بالحرم) وأقل ما يجزىء أن يدفع الهدي إلى ثلاثة مساكين أو فقراء (ويجزئه أن يصوم حيث شاء) من حرم أو غيره (ولا يجوز قتل صيد الحرم) ولو كان مكرهاً على القتل ولو أحرم ثم جن فقتل صيداً لم يضمنه في الأظهر (ولا) يجوز (قطع شجره) أي الحرم ويضمن الشجرة الكبيرة ببقرة، والصغيرة بشاة كل منهما بصفة الأضحية، ولا يجوز أيضاً قطع، ولا قلع نبات الحرم الذي لا يستثنيه الناس، بل ينبت بنفسه أما الحشيش اليابس، فيجوز قطعه لا قلعه (والمحل) بضم الميم أي الحلال (والمحرم في ذلك) الحكم السابق (سواء)

Dam dalam Ihram ada Lima

(Fasal) menjelaskan macam-macam dam yang wajib di dalam ihram sebab meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman.

Dam yang wajib di dalam ihram ada lima perkara.

Salah satunya adalah dam yang wajib sebab meninggalkan ibadah, maksudnya meninggalkan sesuatu yang diperintahkan seperti meninggalkan ihram dari miqat.

Dam ini dengan cara berurutan/ tertib.

Maka sebab meninggalkan sesuatu yang diperintahkan, pertama kali yang wajib adalah satu ekor kambing yang mencukupi digunakan untuk kurban.

Jika ia tidak menemukannya sama sekali, atau menemukan dengan harta di atas harga standar, maka wajib melakukan puasa sepuluh hari, tiga hari saat ihram haji.



Disunnahkan tiga hari tersebut dilaksanakan sebelum hari Arafah, maka ia berpuasa pada hari ke enam, tujuh dan delapan bulan Dzil Hijjah.

Dan puasa tujuh hari ketika ia sudah kembali ke keluarganya dan tempat tinggalnya.

Tidak diperkenankan melaksanakan puasa tujuh hari tersebut di tengah perjalanan pulang.

Jika ia berkehendak untuk bertempat tinggal di Makkah, maka lakukanlah puasa tersebut di sana, sebagaimana keterangan di dalam kitab al Muharrar.

Seandainya ia tidak melakukan puasa tiga hari saat masih ihram haji dan telah pulang ke daerahnya, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa sepuluh hari dan memisah antara tiga hari dan tujuh hari tersebut dengan empat hari di tambah lama masa perjalanan pulang ke daerahnya.



Apa yang telah disampaikan Mushannif bahwa dam tersebut adalah dam tertib, itu sesuai dengan keterangan di dalam kitab ar Raudlah, kitab asalnya Raudlah dan kitab Syarh al Muhadzdzab.

Akan tetapi keterangan di dalam kitab al Minhaj yang mengikut kepada kitab al Muharrar menjelaskan bahwa dam tersebut adalah dam tartib wa ta’dil.

Sehingga, pertama wajib membayar seekor kambing. Kemudian jika tidak mampu, maka wajib menggunakan kadar harga kambing tersebut untuk membeli bahan makanan dan mensedekahkannya.

Kemudian jika tidak mampu, maka wajib berpuasa sehari sebagai ganti dari setiap mudnya.

Yang ke dua adalah dam yang wajib sebab mencukur rambut dan enak-enakan seperti memakai wangi-wangian, memakai minyak -di rambut kepala atau jenggot- dan mencukur adakalanya seluruh rambut kepala atau tiga helai rambut saja.

Dam ini dengan cara takhyir (diperkenankan memilih).

Maka wajib adakalanya satu ekor kambing yang mencukupi digunakan kurban, atau puasa tiga hari, atau bersedekah tiga sha’ bahan makanan untuk enam orang miskin atau faqir, masing-masing mendapat setengah sha’ bahan makanan yang mencukupi digunakan untuk membayar zakat fitrahh.

Yang ke tiga adalah dam yang wajib sebab ihshar (tercegah dari wukuf).

Maka bagi orang yang ihram -yang di ihshar- wajib niat tahallul dengan menyengaja keluar dari ibadah hajinya sebab ihshar, dan memberi hadyah, maksudnya menyembelih satu ekor kambing di tempat di mana ia di ihshar, dan mencukur rambutnya setelah menyembelih kambing tersebut.



Yang ke empat adalah dam yang wajib sebab membunuh binatang buruan.

Dam ini dengan cara takhyir (diperkenankan memilih) di antara tiga perkara.

Jika binatang buruan tersebut memiliki binatang yang mirip. Yang dimaksud adalah binatang yang mirip dengan binatang buruan tersebut adalah binatang yang mendekati bentuknya. Mushannif menyebutkan yang pertama dari tiga perkara ini di dalam perkataan beliau, “ maka ia wajib mengeluarkan binatang ternak yang mirip dengan binatang buruan tersebut.

Maksudnya ia menyembelih binatang ternak yang mirip tersebut dan mensedahkannya kepada fakir miskin tanah Haram.

Maka di dalam membunuh burung onta, wajib mengeluarkan satu ekor onta. Di dalam membunuh sapi dan keledai liar, wajib mengeluarkan satu ekor sapi. Dan di dalam membunuh kijang, wajib mengeluarkan satu ekor kambing.

Untuk contoh-contoh binatang buruan lainnya yang memiliki kemiripan dengan binatang ternak, dijelaskan di dalam kitab-kitab yang diperluas penjelasannya.

Mushannif menyebutkan yang ke dua -dari tiga perkara tersebut- di dalam perkataannya, “atau mengkalkulasinya”, maksudnya ternak yang serupa tersebut dengan uang dirham disesuaikan dengan harga di negara Makkah di hari saat mengeluarkan denda tersebut. Hasil kalkulasinya digunakan untuk membeli bahan makanan yang mencukupi digunakan untuk zakat fitrahh, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin tanah Haram.



Mushannif juga menyebutkan yang ke tiga di dalam perkataan beliau, “atau berpuasa sehari sebagai ganti dari setiap mudnya”.

Jika masih tersisa kurang dari satu mud, maka sebagai gantinya ia berpuasa satu hari.

Jika binatang buruan tersebut tidak memiliki kemiripan, maka ia diperkenankan memilih di antara dua perkara yang dijelaskan mushannif di dalam perkataannya,

Maka ia mengeluarkan bahan makanan sejumlah kadar harga binatang tersebut dan mensedekahkannya.

Atau berpuasa satu hari sebagai ganti dari setiap mudnya. Jika masih tersisa kurang dari satu mud, maka menggantinya dengan puasa satu hari.

Yang ke lima adalah dam yang wajib sebab wathi’ yang dilakukan oleh orang yang berakal dan tahu akan keharamannya, baik jima’nya pada jalan depan atau belakang sebagaimana yang telah dijelaskan di depan.

Dam ini dengan cara tertib.

Sebab hal ini, maka pertama kali wajib membayar satu ekor onta badanah. Badanah diungkapkan untuk onta jantan dan betina.

Jika ia tidak menemukan, maka wajib membayar satu ekor sapi.

Jika tidak menemukan, maka wajib membayar tujuh ekor kambing.

Jika tidak menemukan tujuh ekor kambing, maka wajib mengkalkulasi harga onta badanah dengan dirham sesuai harga negara Makkah di waktu pelaksanaan kewajiban tersebut. Menggunakan hasil kalkulasi tersebut untuk membeli bahan makanan dan di sedekahkan kepada faqir miskin tanah Haram.

Tidak ada ukuran pasti di dalam bahan makanan yang diberikan kepada masing-masing orang faqir tersebut.

Seandainya ia mensedekahkan berupa dirham, maka hal itu tidak mencukupinya.

Jika tidak menemukan bahan makanan, maka ia berpuasa sehari sebagai ganti dari setiap satu mudnya.

Pelaksanaan Denda

Ketahuilah sesungguhnya binatang hadyah itu terbagi menjadi dua.

Salah satunya adalah hadyah sebab ihshar. Dan hadyah ini tidak wajib dikirimkan ke tanah Haram, bahkan disembelih di tempat terjadinya ihshar.


Yang ke dua adalah hadyah yang wajib sebab meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman. Penyembelihannya tertentu di tanah Haram.

Mushannif menyebutkan yang ke dua ini di dalam perkataan beliau, “pembayaran hadyah dan bahan makanan tidak mencukupi kecuali dilaksanakan di tanah Haram.”

Minimal perbuatan yang mencukupi adalah ia memberikan hadyah tersebut kepada tiga orang miskin atau faqir.

Dan mencukupi baginya untuk berpuasa di manapun yang ia kehendaki, tanah Haram atau yang lain.

Binatang Buruan dan Tanaman Tanah Haram

Tidak diperkenankan membunuh binatang buruan tanah Haram, walaupun ia dipaksa untuk membunuhnya.

Seandainya ada seseorang yang melakukan ihram kemudian gila, lalu ia membunuh binatang buruan, maka ia tidak wajib menggantinya menurut pendapat al adhhar.

Tidak boleh memotong tanaman tanah Haram.

Dan ia wajib mengganti tanaman yang besar dengan satu ekor sapi, dan tanaman yang kecil dengan satu ekor kambing, masing-masing dari keduanya harus memenuhi kriteria hewan kurban.

Dan juga tidak boleh memotong dan mencabut tanaman tanah Haram yang tidak ditanam oleh manusia, bahkan tumbuh sendiri.

Adapun rumput yang kering, maka diperkenankan memotongnya tidak mencabutnya.

Seorang muhil, dengan terbaca dlammah huruf mimnya, maksudnya orang yang halal, dan orang yang sedang ihram, di dalam hukum tersebut statusnya adala sama
_________________________________________

بسم الله الرحمن الرحيم... والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.. أما بعد:
سبق وقد سألت عن حكم من قام بتغطية رأسه في منى وهو محرم نتيجة البرد، وكان أحد الكفارات هو الصيام ثلاثة أيام، فسؤالي هو: هل الصيام يجب أن يكون في مكة أم في أي مكان آخر؟ وجزاكم الله عنا كل خير.

الإجابــة


الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

فالشخص المحرم بالحج أو العمرة إذا قام بتغطية رأسه أثناء الإحرام لبرد أو غيره فقد لزمته فدية: وهي إحدى ثلاث خصال على التخيير بحيث تجزئ أي واحدة من الثلاث إذا فعلها. وراجع في ذلك الفتوى رقم: 51020.

وإذا اختار الشخص الفدية بصيام ثلاثة أيام جاز له صيامها بمكة أو بأي مكان شاء، ففي حاشية الدسوقي على شرح الدردير لمختصر خليل المالكي: (قوله: ولم يختص بزمان، أو مكان) أي فيجوز الصوم في أي زمان يصح صومه وفي أي مكان... انتهى.

وفي المبسوط للسرخسي وهو حنفي: فإن اختار الصيام يصوم في أي موضع شاء من الحرم أو غير الحرم لأن الصوم عبادة في كل مكان. انتهى.

والله أعلم.

ORANG TIDAK MAMPU BAYAR DAM.

حكم من لا يستطيع الفدية ولا الصيام في الحج
السؤال: 
رجلٌ تجاوز الميقات دون إحرامٍ، ولم يجد قيمةَ الدم، ولا يستطيع الصيام، فماذا يفعل؟..
الجواب:
يبقى عليه الدم أو الصيام حتى يستطيع، إذا أحرم من دون الإحرام، جاوز الميقات ولم يُحرم، وأحرم من داخل مكة، أو من الطريق، فقد أساء، وعليه التوبة إلى الله، وعليه دمٌ متى قدر، فإن عجز يصوم عشرة أيام متى قدر، مثل: سائر الديون، يبقى دينًا كسائر الديون، فإن أوفى الله عنه في الدنيا وإلا فمعذورٌ، والحمد لله.
مجموع الفتاوى
مسيرة عطاء.
الموقع الرسمي لسماحة الشيخ الإمام ابن باز رحمه الله
موقع يحوي بين صفحاته جمعًا غزيرًا من دعوة الشيخ، وعطائه العلمي، وبذله المعرفي؛ ليكون منارًا يتجمع حوله الملتمسون لطرائق العلوم؛ الباحثون عن سبل الاعتصام والرشاد، نبراسًا للمتطلعين إلى معرفة المزيد عن الشيخ وأحواله ومحطات حياته، دليلًا جامعًا لفتاويه وإجاباته على أسئلة الناس وقضايا المسلمين.

DAM HAJI DENGAN CARA PUASA

Tata Cara Puasa Dam: Niat dan Ketentuannya

Puasa dam merupakan opsi kedua bagi jamaah yang melanggar ketentuan haji.

Puasa dam adalah sanksi puasa atas pelanggaran terhadap ketentuan haji. Puasa dam dilakukan oleh jamaah haji yang melanggar ketentuan ibadah haji. Ketentuan puasa dam disebutkan dalam Al-Qur’an.

Puasa dam dapat ditemukan pada potongan Surat Al-Baqarah ayat 196:

فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ

Artinya, “Apabila kalian telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji/tamattu), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna,” (Surat Al-Baqarah ayat 196).

Demikian ketentuan dan tata cara puasa dam:

1. Niat puasa pada malam hari.

Niat puasa disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan. Berikut ini adalah lafal niat puasa dam haji tamattu.

نَوَيْتُ صَوْمَ التَّمَتُّعِ لِلهِ تَعَالَى


Nawaytu shaumat tamattu’i lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku bermaksud puasa tamattu esok hari karena Allah ta’ala.”

Berikut ini adalah lafal niat puasa dam haji qiran.

نَوَيْتُ صَوْمَ الْقِرَانِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaytu shaumal qirāni lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku bermaksud puasa qiran esok hari karena Allah ta’ala.”

2. Melaksanakan puasa dam sesuai ketentuan puasa Ramadhan terkait hal yang boleh dan hal yang membatalkan puasa.

3. Melaksanakan puasa sebanyak 10 hari yang dibagi dua, tiga di Tanah Suci dan tujuh hari sisanya di Tanah Air.

4. Tiga hari puasa dam di Tanah Suci dilaksanakan pada tanggal 6, 7, dan 8 Dzulhijjah.

5. Puasa dam tidak boleh dilakukan pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

6. Pada tanggal 9 Dzulhijjah, jamaah haji dianjurkan tidak berpuasa. (An-Nawawi, Al-Idhah: 230).

7. Jika tiga hari puasa dam tidak dilaksanakan di Tanah Suci, maka jamaah haji tersebut wajib melaksanakan puasa 10 hari di Tanah Airnya.

Puasa dam harus dinyatakan dalam niatnya pada malam hari karena puasa dam merupakan puasa wajib. Karena puasa wajib, syarat dan ketentuan puasa wajib juga berlaku padanya. 

ويجب في هذا الصوم تعيينه من كونه تمتعا أو قرانا أو غيرهما وتبييت النية فيه لأنه واجب

Artinya, “Pada puasa dam ini, jamaah haji wajib menyatakan puasanya, apakah ia tamattu, qiran, atau lainnya. Jamaah haji juga wajib memasang niat pada malam harinya karena itu merupakan puasa wajib,” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Bandung, Syirkah Al-Ma’arif: tanpa tahun], halaman 217).

Puasa dam merupakan opsi kedua bagi jamaah yang melanggar ketentuan haji. Puasa dam 10 hari wajib ditempuh oleh jamaah haji bila ia tidak sanggup menyembelih seekor kambing (minimal) sebagaimana keterangan Surat Al-Baqarah ayat 196.

Adapun ketentuan haji yang seharusnya dilakukan terdiri atas ihram dari miqat; mabit di Mudzdalifah pada malam Nahar; mabit di Mina pada malam Tasyrik; bertolak dari Arafah sebelum maghrib; melontar tiga jumrah (kubro, wustha, lalu aqabah) dengan tujuh batu pada masing-masing jumrah; dan tawaf wada. 
Wallahu a‘lam. 

Minggu, 25 Mei 2025

MUSAFIR JAMA QOSHOR BERMAMUN KEIMAM MUQIM

"Bolehkah musafir yg akan jama’ qosor bermakmum dengan imam mukim?

Assalam Alaikum, ustadz ..
Saya sedang dalam perjalanan dari Denpasar Bali ke Jogja menggunakan pesawat. Di Bandara bertepatan dengan waktu sholat dhuhur saya sholat berjama’ah dengan para karyawan Bandara, saya niat sholat jama’ qosor. Setelah selesai 4 raka’at sholat dhuhur saya langsung melanjutkan sholat ashar (sendiri)2 raka’at. Bagaimana menurut Ustadz.

Jawaban :

Yang bapak lakukan sudah benar, sesuai sunnah. 
Di dalam Kitab Al Fiqhul Islami Jilid kedua Bab tentang hukum musafir bermakmum kepada muqim dan sebaliknya. Dalam Kitab tersebut dijelaskan sebagai berikut :

Para Ahli Fiqh sepakat bahwa musafir boleh bermakmum kepada kepada orang yang muqim (tidak dalam keadaan safar). 
Hanya Ulama madzhab malikiyah saja yang menghukumi makruh. Alasan makruh menurut mereka karena musafir tersebut meninggalkan kesunahan qahar baginya jika ia bermakmum kepada muqim sehingga ia wajib menyempurnakan 4 rakaat karena kewajiban mengikuti imam.

Begitupun sebaliknya, para ahli fiqh sepakat bahwa orang yang muqim boleh bermakmum kepada musafir. Dalam hal ini, ulama madzhab Malikiyah juga menghukumi makruh. 
Alasan kemakruhan menurut mereka karena berbedanya niat antara makmum dan imamnya. Jika seorang musafir menjadi imam dan shalatnya dua rakaat (mengambil Qashar ), maka makmumnya yang muqim tadi tidak ikut salam, tapi melanjutkan berdiri untuk menyempurnakannya menjadi 4 rakaat. (Dengan demikian, imam yang musafir tadi boleh Qashar sedangkan makmum muqim tidak). Dengan demikian, disunahkan imam yang musafir tadi setelah salam menyerukan kepada makmum yang muqim seperti ini : “sempurnakanlah shalat kalian (menjadi empat rakaat) karena saya adalah musafir (yang membolehkan qashar bagi saya). 
Seruan semacam ini boleh dilakukan sebelum takbiratul ihram atau sesudah salam agar makmum yang muqim tadi memahami bahwa qasharnya imam bukan karena lupa.
Dalil-dalil yang membolehkan masalah ini adalah :

Dalil bolehnya musafir bermakmum kepada yang muqim :

عَن ابن عَبَّاس أَنَّهُ قِيلَ لَه: مَا بَالُ المُسَافِرِ يُصَلّى رَكعَتَينِ فِى حَالِ الاِنفِرَاد, وَ أَربَعًا اِذَا أَتَمَّ ؟ فَقٌالَ : تِلكَ السُّنَّةُ

Dari Ibn Abbas RA, dia ditanya : Mengapa seorang musafir shalat dua rakaat (qashar) ketika ia shalat sendirian dan 4 raka’at apabila ia menyempurnakan (bermakmum kepada muqim) ? Ia menjawab : Yang demikian itu sesuai dengan sunnah”. (HR. Ahamad)
Demikian juga ada salah satu riwayat Nafi’ RA bahwa Ibnu Umar RA shalat  ketika beliau bermakmum dengan 4 rakaat dan beliau shalat 2 raka’at (qashar) jika shalat sendirian. (HR. Muslim)

Dalil bolehnya seorang muqim bermakmum kepada musafir.
Diriwayatkan dari Imran Ibn Hushain RA, dia berkata : Dalam keadaan safar, Rasulullah SAW selalu shalat qashar 2 raka’at sampai beliau SAW  kembali. 
Shalat tersebut beliau lakukan selama 18 malam ketika peristiwa Fathu Makkah. 
Beliau mengimami shat 2 raka’at dua raka’at (shalat qashar) kecuali shalat maghrib.
Kemudian beliau bersabda : “Wahai penduduk makkah, bangkitlah lalu shalatlah kalian dua raka’at lagi karena kami dalam keadaan safar. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Al Baihaqi).

Catatan : Makmum tidak bisa mengqashar shalat kepada imam yang muqim. 
Makmum harus mengikuti jumlah rakaat imam yang muqim, yaitu 4 raka’at. 
Makmum hanya bisa menjama’ shalatnya saja jika imamnya adalah muqim.

Wallahu A’lam"

Selasa, 20 Mei 2025

PAHALA SHALAT DIHOTEL HAROMAIN (MAKKAH& MADINAH)

Pahala Shalat di Hotel Makkah Dilipatgandakan seperti Keutamaan di Masjidil Harom

Jamaah haji lanjut usia (lansia), risiko tinggi (risti), dan disabilitas sangat riskan manakala berdesakan saat menunaikan shalat di Masjidil Haram. Padahal salah satu tujuan para jamaah itu mendapatkan pahala sebesar-besarnya dengan shalat di masjid itu.

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. 
Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173)

Hadits riwayat Ibnu Majah ini,menyebut keutamaan yang luar biasa shalat di Masjidil Haram. Allah melipatgandakan pahala shalat di Masjidil Haram sampai 100 ribu kali dibanding shalat di Masjid Nabawi. 
Sedangkan shalat di Masjid Nabawi lebih utama 1000 kali shalat di tempat lain.

Batasan tempat Masjidil Haram itu terdapat beberapa makna, yaitu bermakna Kabah atau sekitaran komplek masjid itu berada, akan tetapi terdapat pendapat ulama yang mengatakan Masjidil Haram yaitu seluruh kota Makkah.

"Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Masjidil Haram dalam hadits tersebut tidak dipahami secara harfiah, tetapi juga mencakup Tanah Suci Makkah secara keseluruhan," tulis Ustadz Hafiz dalam artikel Keutamaan Shalat di Hotel Sekitar Masjidil Haram dan Kota Makkah.

Alhafidz Imam Jalaluddin As-Suyuthi, dalam Al-Asybah wan Nazha’ir fil Furu’ yang menjelaskan bahwa pelipatgandaan pahala di Tanah Suci Makkah tidak bersifat khusus pada Masjidil Haram saja, tetapi meliputi seluruh kawasan Tanah Haram Makkah.

Rupanya pandangan ini sejalan dengan pendapat Imam An-Nawawi, yang menyatakan bahwa Kota Makkah memiliki keutamaan dibandingkan kota lain, sehingga pahala shalat, ibadah, dan segala kebaikan di Kota Makkah akan dilipatgandakan.

“Pelipatgandaan pahala shalat di Kota Makkah. Demikian juga dengan semua jenis ibadah,” (Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajji wal Umrah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 206)," kutipnya.

Hal ini juga dipahami oleh ulama sebelumnya, seperti Imam Az-Zarkasyi dan Imam Al-Mawardi, yang menguatkan bahwa pelipatgandaan pahala mencakup seluruh Tanah Haram. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya menegaskan bahwa pandangan ini juga diikuti oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Manasik-nya.

“Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ibadah shalat di Kota Makkah dilipatgandakan pahalanya. Demikian juga dengan semua jenis ibadah. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini ialah Mujahid dan Ahmad bin Hanbal. Imam Hasan Al-Basri berkata, ‘[Pahala] puasa sehari di Makkah dilipatgandakan 100.000 kali. Sedekah satu dirham dikalikan 100.000. Setiap kebaikan diganjar 100.000 kali.’ Oleh karena itu dianjurkan memperbanyak shalat, puasa, sedekah, tadarus Al-Qur’an, dan jenis kebaikan lain yang memungkinkan,” (An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajji wal Umrah, 212-213)," tulis kitab tersebut.

Jamaah haji Indonesia tidak perlu khawatir ketika lebih banyak melaksanakan shalat di hotel di kawasan Makkah. Asal masih di dalam kota Makkah insyaallah mendapat pahala ibadah yang besar.

"Jamaah haji tetap mendapatkan keutamaan shalat yang berlipat ganda dengan shalat di hotel masing-masing karena mereka masih harus menyiapkan energi dan stamina untuk tujuan utama kehadiran mereka di Arab Saudi, yaitu ibadah haji yang memerlukan kebugaran fisik dan kesehatan yang memadai.
Mudah-mudahan jemaah kita semua khususnya,umumnya jema'ah calon haji seindonesia dan dunia,Allah sehatkan lahir bathinnya selalu dijaga dan dibimbing dalam pelaksanaan rangkaian ibadah hajinya,dan amal ibadah lainnya,Aamiin
Semoga bermanfa'at
Allahu A'lam bissowab.
 

Sabtu, 17 Mei 2025

Kenapa Haji Qiran dan Tamattu Bayar Dam.

Kenapa Haji Qiran dan Tamattu Bayar Dam?

Sebagaimana yang telah jamak diketahui, bahwa ibadah haji ini bisa dilaksanakan dengan 3 model. 
Yaitu Haji Tamattu’, Qiran dan ifrad, model haji yang terakhir inilah yang paling afdhal dan tidak wajib membayar dam. 
Lalu kenapa kenapa haji qiran dan tamattu bayar dam?

Sebelum itu, mari kita ketahui terlebih dahulu dari definisi 3 model tersebut. Dijelaskan;


فصل في أوجه أداء النسكين: فيؤدي النسكان على أوجه أفضلها الإفراد إن اعتمر في سنة الحج وهو أن يحج ثم يعتمر ثم التمتع وهو أن يعتمر ثم يحج ثم القرآن بأن يحرم بهما أو بالعمرة ثم يحرم بالحج قبل الطوف

“Pasal menerangkan tentang model pelaksanaan haji dan umroh: seorang yang berhaji dan berumrah itu bisa melaksanakan keduanya dengan beberapa model, hanya saja yang lebih afdol atau utama itu adalah melakukannya dengan model haji ifrad (ketika ia berumroh di tahun Haji), yakni haji terlebih dahulu kemudian umroh. 

Kemudian model yang kedua adalah tamattu yaitu umroh terlebih dahulu kemudian haji. Lalu yang terakhir adalah Haji qiran yaitu melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan atau umroh terlebih dahulu kemudian Haji sebelum thawaf.” (Abdullah bin Abdurrahman Al-Hadhrami, Al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqh al-Sadat al-Syafi’iyyah halaman 195)

Adapun kenapa model haji ifrad yang afdol itu dijelaskan oleh komentator kitab tersebut, sebagaimana berikut;

(أفضلها: الإفراد)؛ لأن رواته أكثر، ولأن منهم، وهو أقدم صحبة وأشد عناية بضبط المناسك، ولأنه صلى الله عليه وسلم اختاره أوّلاً، وللإجماع على أنه لا كراهة فيه ولا دم، بخلاف التمتع والقران، والجبر دليل النقص.

Adapun yang paling afdol dalam model pelaksanaan haji dan umroh ialah dengan ifrad, karena perawi riwayat ini adalah paling banyak, karena sahabat Jabir itu memilih model ini (beliau merupakan sahabat yang paling berhati-hati dengan regulasi haji), Rasulullah SAW juga memilih model ini pada awal mulanya. 

Dan karena sudah ada konsensus di kalangan para ulama bahwasanya tidak ada kemakruhan dan dam atau denda dalam pelaksanaan model ini, lain halnya dengan model Haji tamattu dan qiron, denda itu merupakan bukti bahwasanya model tersebut itu ada sisi kurangnya. (Said Ba’asyun, Busyra al-Karim bi Syarh Masail al-Ta’lim  halaman 653)

Kenapa Haji Qiran dan Tamattu Bayar Dam?
Adapun alasan Haji tamattu dan haji qiron ini bayar dam atau denda sebagaimana berikut;

السبب الأول: أن يترك مأموراً به ولكن أذن الشارع للحاج بتركه بشرط الفدية وهذا السبب محصور في أن يحج متمتعاً أو قارناً فإن المأمورية في الأصل إنما هو الإفراد في مذهب الشافعي. ولكن لا مانع من أن يحرم متمتعاً أو قارناً، بشرط أن يذبح لقاء ذلك هدياً وهو شاة مما تجزىء به الأضحية. فإن لم يجد الشاة أو ثمنها صام ثلاثة أيام في الحج وسبعة إذا رجع لقوله تعالى: {َمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ} فإن لم يصم في الحج ثلاثة أيام صامها إذا رجع إلى أهله وفرق بينهما وبين السبعة بقدر أربعة أيام ومدة إمكان السير إلى أهله.

“Sebab yang pertama (dari perkara-perkara yang menciderai haji) adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang diperintah, hanya saja syariat itu melegitimasi jamaah haji untuk meninggalkannya, namun dengan syarat membayar fidyah atau denda. Perkara ini hanya terbatas pada konteks seorang jamaah haji yang melakukan model Haji tamattu atau qiran, karena model haji yang diperintah itu pada asalnya adalah Haji Ifrad menurut Mazhab Syafi’i. 

Hanya saja tidak ada larangan tegas pagi jamaah untuk melaksanakan Haji dengan modal tamattu atau qiron, namun dengan syarat membayar denda yaitu menyembelih kambing yang memenuhi kriteria sebagai hewan kurban. 

Jika tidak mendapatkannya maka ia harus membayar sesuai dengan harga kambing tersebut, jika tidak memilikinya maka ia harus berpuasa tiga hari di saat haji dan 7 hari di saat pulang sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 196.” (Al-Fiqh Al-Manhaji ala Madzhab al-Imam Al-Syafi’i,  Juz 2 Halaman 161) 

Alasan lain dikemukakan oleh pakar falsafah hukum Islam dari Al-Azhar, Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi menyatakan;

وإنما وجب الهدي على المتمتع والقارن لأنهما كانا ممنوعين بسبب تحريف الجاهلية. وهو أيضاً بمثابة شكر الله تعالى على تلك النعمة الحاصلة برفع هذا الأصر وهي حكمة بالغة.

 ” Menyembelih hewan kurban diwajibkan bagi jemaah haji tamattu  dan qiran, sebab dulu keduanya dilarang karena dipandang telah mengalami reduksi di tradisi jahiliyah. 

Selain itu, kurban adalah sebagai bukti syukur kepada Allah atas kenikmatan yang berasal dari Allah yang telah  membebaskan dari beban ini. 
Inilah hikmah agung yang terkandung di  dalamnya. (Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Juz 1 Halaman 191)

Kesimpulan 
Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya alasan kenapa haji dengan menggunakan model tamattu dan Qiran itu dikenai denda adalah karena pada dasarnya ibadah haji diperintahkan dengan menggunakan model haji ifrad. Wallahu a’lam bi al-shawab"
 

Kamis, 15 Mei 2025

DAM HAJI DAN JENIS JENISNYA

Dam Haji : 
Pengertian dam dan Jenis-jenisnya,

Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang mampu. 
Dalam menjalankan ibadah haji, terdapat sejumlah larangan dan kewajiban yang harus ditaati. 
Jika larangan tersebut dilanggar atau kewajiban yang ditinggalkan, maka jamaah haji akan terkena dam.

Pengertian Dam Haji
_____________________

Dam secara bahasa berarti mengalirkan darah dengan menyembelih hewan kurban yang dilakukan pada saat melaksanakan ibadah haji. Secara istilah, dam haji adalah denda yang wajib dibayar oleh jemaah haji karena melanggar larangan haji atau meninggalkan kewajiban haji.

Hal sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S al Baqarah [2] ayat 196;

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.

Artinya: "Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu) yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. 
Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban."

Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. 
Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidil Haram. 
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Keras hukuman-Nya.

Dam Bagi Orang Melanggar Wajib Haji
Menurut Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Qurratul ‘Ain  bi Bayani Muhimmatiddin [Beirut, dar Ibnu Hazm, 2004], halaman 301 

Menyebutkan, terdapat tahapan denda yang wajib dibayarkan jika orang yang haji meninggalkan manasik wajib. 
Pertama, denda seekor kambing kurban. 
Denda ini wajib dibayarkan jika orang yang haji meninggalkan wajib haji berupa menyembelih kurban di Mina. 

Kedua, denda puasa tiga hari sebelum hari kurban. 
Denda ini wajib dibayarkan jika orang yang haji tidak mampu membayar denda seekor kambing kurban :

Demikian ketentuan dan tata cara puasa dam:

1. Niat puasa pada malam hari.

Niat puasa disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan. 
Berikut ini adalah lafal niat puasa dam haji tamattu.

نَوَيْتُ صَوْمَ التَّمَتُّعِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaytu shaumat tamattu’i lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku bermaksud puasa tamattu esok hari karena Allah ta’ala.”

Berikut ini adalah lafal niat puasa dam haji qiran.

نَوَيْتُ صَوْمَ الْقِرَانِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaytu shaumal qirāni lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku bermaksud puasa qiran esok hari karena Allah ta’ala.”

2. Melaksanakan puasa dam sesuai ketentuan puasa Ramadhan terkait hal yang boleh dan hal yang membatalkan puasa.

3. Melaksanakan puasa sebanyak 10 hari yang dibagi dua, tiga di Tanah Suci dan tujuh hari sisanya di Tanah Air.

4. Tiga hari puasa dam di Tanah Suci dilaksanakan pada tanggal 6, 7, dan 8 Dzulhijjah.

Dan puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya. 
Denda ini juga wajib dibayarkan jika orang yang haji tidak mampu membayar denda seekor kambing kurban. 
*Puasa ini dilaksanakan pada hari-hari biasa, tidak harus berturut-turut*.

5. Puasa dam tidak boleh dilakukan pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

6. Pada tanggal 9 Dzulhijjah, jamaah haji dianjurkan tidak berpuasa. (An-Nawawi, Al-Idhah: 230).

7. Jika tiga hari puasa dam tidak dilaksanakan di Tanah Suci, maka jamaah haji tersebut wajib melaksanakan puasa 10 hari di Tanah Airnya.

Puasa dam harus dinyatakan dalam niatnya pada malam hari karena puasa dam merupakan puasa wajib. Karena puasa wajib, syarat dan ketentuan puasa wajib juga berlaku padanya. 

ويجب في هذا الصوم تعيينه من كونه تمتعا أو قرانا أو غيرهما وتبييت النية فيه لأنه واجب.
Artinya, “Pada puasa dam ini, jamaah haji wajib menyatakan puasanya, apakah ia tamattu, qiran, atau lainnya. 
Jamaah haji juga wajib memasang niat pada malam harinya karena itu merupakan puasa wajib,” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Bandung, Syirkah Al-Ma’arif: tanpa tahun], halaman 217).


Ketiga, denda puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya. Denda ini juga wajib dibayarkan jika orang yang haji tidak mampu membayar denda seekor kambing kurban. 
Puasa ini dilaksanakan pada hari-hari biasa, tidak harus berturut-turut.


ودم ترك مأمور ذبح فصوم ثلاثة وقبل نحر وسبعة بوطنه.

Artinya: “Wajib membayar dam (denda) sebab meninggalkan kewajiban haji yaitu menyembelih seekor kambing kurban, (jika tidak mampu) maka puasa tiga hari sebelum hari kurban (10 Dzulhijjah) dan puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya.”

Jenis-Jenis Dam Haji
Syekh Habib Syekh Habib Hasan bin Ahmad bin. Muhammad Al-Kaff dalam kitab al-Taqrirat al-Sadidah fi Al-Masail al-Mufidah halaman 506, menyebutkan ada empat kategori atau macam dam haji :

Pertama, dam tartib wa taqdir. Kedua, dam tartib wa ta’dil. 
Ketiga, dam takhyir wa ta’dil. 
Keempat dam takhyir wa tadil. 
Secara pengertian, yang disebut dengan tartib ialah jamaah haji yang melanggar larangan haji untuk membayar denda dan tidak diperbolehkan menggantinya dengan denda lain yang setara kecuali orang tersebut tidak mampu membayarnya. Ia berkata;

الترتيب : اي : لا يجوز الانقال الى خصلة الا اذا عجز عما قبلها

Artinya; "Urutannya tidak boleh beralih ke langkah berikutnya kecuali jika tidak mampu melakukan yang sebelumnya."

Kedua, Adapun pengertian dari takhyir adalah boleh mengganti dengan denda lain yang setara. Ia berkata;

التخير : يتخير بين الخصال الثلاثة

Artinya: "Takhyir adaah memilih di antara tiga sifat"

Ketiga, Taqdir maknanya menurut Habib Hasan Al-Kaff adalah denda pengganti yang setara, baik secara berurutan maupun dengan memilih. 
Pun, taqdir juga bisa berarti telah ditetapkan dendanya tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. 

التقدير : ان ينتقل الى شيء قدره الشارع لا يزيد ولا ينقص

Artinya; "Taqdir: berpindah ke sesuatu yang nilai telah ditetapkan syariat tidak  boleh bertambah dan tidak boleh berkurang."

Keempat, pengertian ta’dil adalah bahwasanya syariat memerintahkan untuk mencari denda lain dengan takaran yang setara berdasarkan nilai harga. 

التعديل : ان يقف على شيء غير مقدر من الشارع، بل يقومه

Artinya: "Bahwa terhenti atas sesuatu yang ukurannya tidak melebibihi tuntunan syariah, bahkan susuai nilai harganya."

Demikian sekilas tentang pengertian dan pembagian dam haji. 
Allahu A'lam
Semoga beramanfaat.

HUKUM NYEMBELIH HEWAN DAM DIINDONESI

Hukum Sembelih Dam Haji Tamattu’ dan Distribusikan Dagingnya di Luar Tanah Haram

Assalamu ’alaikum wr. wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Jamaah haji Indonesia mayoritas memilih haji tamattu’, di mana mereka diwajibkan membayar dam yaitu berupa kambing yang disembelih serta dibagikan untuk fakir-miskin tanah Mekkah. Padahal jika dilihat sepintas, kita lebih membutuhkan ketimbang mereka sehingga jika disembelih di sini dan dibagikan kepada fakir-miskin sekitar kita lebih bermanfaat.

Pertanyaan yang ingin kami ajukan adalah bolehkah menyembelih dam tamattu’ di luar tanah haram? Yang kedua, bolehkah mendistribusikan sembelihannya di luar tanah haram? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Haidar/Blitar)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada dua pertanyaan diajukan kepada kami. Pertama menyangkut soal tempat penyembelihan dam atau hadyu haji tamattu’. Kedua menyangkut soal pendistribusiannya. Karena keterbatasan ruang waktu kami akan menjawab pertanyaan pertama terlebih dahulu. Sedangkan untuk jawaban pertanyaan kedua insya Allah akan segera menyusul.

Apa yang dimaksud dengan hadyu menurut para ulama—sebagaimana dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi—adalah hewan persembahan atau yang lainnya untuk tanah haram. Namun dalam konteks ini dibatasi hanya hewan ternak (bahimatul an’am) berupa unta, sapi, atau kambing. Pembatasan ini menjadi sangat penting karena kata ‘hadyu’ acapkali digunakan untuk menyebut apa saja yang dipersembahkan.

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَالْهَدْيُ مَا يُهْدَى إِلَى الْحَرَمِ مِنْ حَيَوَانٍ وَغَيْرِهِ وَالْمُرَادُ هُنَا مَا يُجْزِئُ فِي الْاُضْحِيَّةِ مِنَ الْاِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ خَاصَّةً وَلِهَذَا قَيَّدَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ أَنْ يُهْدِيَ إِلَيْهَا مِنْ بَهِيمَةِ الْاَنْعَامِ فَخَصَّهُ بِبَهِيمَةِ الْاَنْعَامِ لِكَوْنِهِ يُطْلَقُ عَلَى كُلِّ مَا يُهْدَى

Artinya, “Menurut para ulama, hadyu adalah sesuatu yang dipersembahkan untuk tanah haram berupa hewan atau yang lainnya. Sedangkan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah khusus hewan yang bisa dijadikan kurban yaitu unta, sapi atau kambing. Atas dasar ini pengarang (Abu Ishaq As-Syirazi) membatasinya dengan perkataan, ‘hendaknya dipersembahkan untuk tanah haram berupa hewan ternak (bahimatul an’am/unta, sapi atau kambing)’. Pengkhususan dengan kalimat bahimatul an’am karena hadyu digunakan untuk menyebut apa saja yang dipersembahkan,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz VIII, halaman 320).

Hukum hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ itu sendiri—sebagaimana yang kita ketahui bersama—menurut kesepakatan (ittifaq) para fuqaha` adalah wajib. Pandangan tersebut mengacu kepada firman Allah swt dalam Al-Baqarah ayat 196. 
Menurut mereka, hadyu yang wajib, bisa berupa seekor kambing, sapi, unta, sepertujuh sapi maupun unta. Namun dalam hal ini Imam Malik berbeda pandangan dengan pendapat jumhurul ulama. Menurutnya, hadyu yang wajib adalah seeokor unta yang gemuk (badanah) sehingga tidak sah jika hanya dengan sepertujuh unta atau sapi.

إِتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْهَدْيُ عَلَى الْمُتَمَتِّعِ وَذَلِكَ بِنَصِّ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ قَال تَعَالَى : { فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ } وَالْهَدْيُ الْوَاجِبُ شَاةٌ أَوْ بَقَرَةٌ أَوْ بَعِيرٌ أَوْ سُبْعُ الْبَقَرَةِ أَوِ الْبَعِيرِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ . وَقَال مَالِكٌ هُوَ بَدَنَةٌ وَلاَ يَصِحُّ سُبُعُ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ

Artinya, “Para fuqaha` sepakat bahwa wajib menyembelih hadyu bagi orang yang berhaji tamattu’. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur`anul Karim: ‘Barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat’, (QS Al-Baqarah [2]: 196). Hadyu yang wajib menurut jumhurul ulama adalah seekor kambing, sapi, unta, sepertujuh sapi atau unta. Sedangkan menurut Imam Malik, dam itu adalah badanah (unta yang gemuk) dan hadyu tidak sah dengan sepertujuh unta atau sapi,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Beirut, Darus Salasil, juz XIV, halaman 12).

Lantas bagaimana dengan tempat penyembelihannya? Pendapat pertama menyatakan bahwa penyembelihan dam atau hadyu mesti dilakukan di tanah haram, tentunya termasuk di dalamnya adalah hadyu haji tamattu’. Alasannya adalah bahwa penyembelihan adalah hak yang terkait dengan hadyu karenanya ia khusus disembelih di tanah haram.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hadyu atau dam boleh saja disembelih di luar tanah haram tetapi dengan syarat dagingnya dikirim atau didistribuksikan ke tanah haram sebelum mengalami perubahan. Karena yang dimaksud dari sembelihan tersebut adalah dagingnya sehingga ketika telah didistribusikan kepada orang-orang miskin di tanah haram maka dianggap telah memenuhi tujuan tersebut.

( وَيَخْتَصُّ ذَبْحُهُ ) بِأَيِّ مَكَان ( بِالْحَرَمِ فِي الْأَظْهَرِ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى { هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ } وَلِخَبَرِ { نَحَرْتُ هَهُنَا } وَأَشَارَ إلَى مَوْضِعِ النَّحْرِ مِنْ مِنًى { وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ } ؛ وَلِأَنَّ الذَّبْحَ حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِالْهَدْيِ فَيَخْتَصُّ بِالْحَرَمِ كَالتَّصَدُّقِ .وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَذْبَحَ خَارِجَ الْحَرَمِ بِشَرْطِ أَنْ يُنْقَلَ وَيُفَرَّقَ لَحْمُهُ فِيهِ قَبْلَ تَغَيُّرِهِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ اللَّحْمُ فَإِذَا وَقَعَتْ تَفْرِقَتُهُ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ حَصَلَ الْغَرَضُ.

Artinya, “Menurut pendapat yang azhhar, penyembelihan hadyu khusus di tanah haram berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah (tanah haram)’ (QS Al-Maidah [5]: 95) dan riwayat yang menyatakan, ‘Aku (Nabi saw) menyembelih hadyu di sini—beliau menunjuk tempat menyembelih di Mina—dan setiap tanah di Mekkah adalah tempat penyembelihan’. Karena penyembelihan adalah hak yang berkaitkelindan dengan hadyu maka penyembelihan tersebut khusus dilakukan di tanah haram sebagai sedekah. 
Sedangkan pendapat kedua menyatakan boleh menyembelih hadyu di luar tanah haram dengan syarat daging ditransfer dan dibagikan di tanah haram sebelum mengalami perubahan. 
Sebab, tujuan utamanya adalah daging sehingga apabila telah dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah haram, maka tujuan tersebut sudah tercapai,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz III, halaman 359).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ (المائدة/95)

Namun ada sedikit pandangan yang berbeda yang dikemukakan Ath-Thabari—jika kami tidak keliru memahami—menurutnya, hadyu atau dam boleh disembelih di mana saja kecuali dam atau hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buran (dalam kondisi ihram). Alasan yang dikemukakan beliau adalah bahwa keduanya tidak boleh disembelih kecuali di tanah haram (Mekkah).

وَقَالَ الطَّبَرِيُّ: يَجُوزُ نَحْرُ الْهَدْيِ حَيْثُ شَاءَ الْمُهْدِي إِلَّا هَدْيَ الْقِرَانِ وَجَزَاءَ الصَّيْدِ فَإِنَّهُمَا لَا يُنْحَرَانِ إِلَّا بِالْحَرَمِ.

Artinya, “Ath-Thabari berkata, ‘boleh menyembelih hadyu di mana saja yang dikehendaki orang yang berhadyu kecuali hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buruan (dalam kondisi ihram) karena keduanya tidak boleh disembelih kecuali di tanah haram,” (Lihat Ibnu Abd Al-Barr, Al-Istidzkar Al-Jami’ li Fuqaha`i Madzahibil Amshar, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2000 M, juz IV, halaman 272).

Pandangan Ath-Thabari tampak menarik untuk dicermati. Jika ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka menurut Ath-Thabari boleh saja menyembelih hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ di luar tanah haram.

Tetapi pandangan ini jelas sangat kontroversial. Kami sampai saat ini belum menemukan pandangan yang mendukungnya. 
Di samping itu, hadyu atau dam itu sendiri mengandung pengertian iraqatud dam fil haram atau mengalirkan darah (menyembelih) di tanah haram.

Konsekuensinya adalah bahwa pada dasarnya hadyu atau dam tidak bisa disembelih di luar tanah haram. 
Sehingga hemat kami pandangan Ath-Thabari di atas perlu ditelisik lebih dalam lagi terutama oleh para pakar hukum Islam, sehingga dapat diketahui sejauh mana pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Berangkat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak boleh menyembelih hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ di luar tanah haram (Mekkah). 
Tetapi ada juga yang mengatakan boleh dengan syarat daging dikirim ke tanah haram. 
Sedangkan pendapat ketiga menyatakan boleh disembelih di luar tanah. 
Namun pendapat ketiga ini hemat kami masih harus diteliti lebih dalam lagi agar dapat diketahui sejauh mana dapat diterima.

Bagi para jamaah haji Indonesia agar berhati-hati terhadap oknum-oknum yang ditengarai kerap melakukan penipuan atas nama dam.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb


Sabtu, 10 Mei 2025

KELIRU MENYEBUT BUN DALAM IJAB QOBUL

Keliru Menyebutkan Bin dalam Ijab Kabul, Apakah Sah Akadnya?
PERTANYAAN
Assalamualaikum ustadz,

Saya langsung menanyakan permasalahan yang dititipkan kepada saya. Si fulan pd umur 4 tahun diangkat anak oleh A, sedangkan si A adalah adik kandung B dan dimana si B adalah ortu kandung si fulan. Setelah dirasa cukup mengerti, A memberitahu tentang keluarga kandung si fulan dan tidak terjadi perselisihan dan fulan tetap mengikuti si A. Dalam administrasi negara indonesia, si fulan terdaftar sebagai anak dr si A.

Pada saat pernikahan, orangtua kandung fulan (si B) ridho dan ikhlas dimana dalam pengucapan dan administrasi negara, si fulan akan disebutkan sebagai anak si A sehingga ktika ijab kabul maka wali nikah menyebutkan nama si fulan bin A bukan bin B,pun di buku nikah, dikarenakan apabila ktika menikah ijabnya berubah mnjadi fulan bin B maka mudhorat kepada semuanya dirasa lebih besar karena selama ini umum lbih tahu kalo fulan adalah anak A bukan anak B

1. Sah kah ijab dan pernikahan si fulan karena ktika ijab dia ber-bin orang tua angkatnya bukan ber-bin orang tua kandung?

2. Jikalau memang tidak sah, haruskah diadakan ijab kabul ganti dgn pengucapan si fulan ber-bin B? Terimakasih ustadz
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang jadi masalah dalam akad nikah sebenarnya bukan urusan embel-embel 'bin'-nya benar atau tidak. Sebab kata 'bin' itu sendiri boleh saja tidak disebutkan. Yang penting dalam akad itu jelas siapa yang jadi pengantin laki-laki dan siapa yang jadi pengantin perempuan.

Seandainya ada selip kata atau keliru dalam pengucapan 'bin' atau 'binti', asalkan bisa dipastikan sosok pasangan itu benar, tentu tidak menjadi masalah dengan sah atau tidaknya akad itu.

Masalah Wali Nikah

Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam ijab kabul dan sah atau tidaknya sebuah akad adalah pada sosok wali atas pengantin wanita. Sebab bila yang menjadi wali bukan orang yang dibenarkan secara syariah, maka akadnya menjadi tidak sah juga.

Ada sabda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina.
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil, nikahnya itu batil dan nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)

Di dalam hadits yang lain juga disebutkan :

لاَ تُزَوِّجُ المرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا

Dari Abi Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri. (HR. Ad-Daruquthny)

Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi".(HR Ahmad).

Sedangkan Abdullah bin Abbas berfatwa :

كُلُّ نِكاَحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ وَوَلِيُّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ

Semua pernikahan yang tidak menghadirkan empat pihak maka termasuk zina : suami, wali dan dua saksi yang adil.

Dalam kasus yang Anda tanyakan ini, sayang sekali Anda tidak menyebutkan jenis kelamin anak yang diangkat oleh A, apakah dia laki-laki atau perempuan. Tetapi kalau melihat sekilas Anda menyebut 'bin', kemungkinan dia adalah laki-laki.

Untuk itu dalam syariat Islam, pada dasarnya pengantin laki-laki tidak butuh wali dalam akad nikah. Sehingga dia bisa menikah tanpa adanya wali, dan kalau pun dalam penyebutkan 'bin'-nya tidak benar, tidak akan berpengaruh pada sah tidaknya akad nikah itu.

Yang jadi masalah dalam akad nikah adalah pengantin perempuan. Bila yang diangkat jadi anak angkat oleh A adalah seorang wanita, lalu ketika menikah yang jadi wali adalah ayah angkatnya, maka disitu baru terjadi masalah. Sebab A bukan ayah kandung, sehingga tidak sah kalau menjadi wali dalam akad nikah itu. Yang boleh jadi wali adalah ayah kandungnya, yaitu dalam hal ini adalah B.

Sebagai ayah kandung, sebenarnya B bisa saja tidak menikahkan puterinya secara langsung. Dalam hal ini, syariah Islam membolehkan B yang merupakan ayah kandungnya meminta orang lain untuk menggantikan posisinya menjadi wali. Sebutlah misalnya B meminta A untuk menjadi wakil atas dirinya, sehingga dalam akad nikah itu yang mengucapkan ijab bukan B teteapi A.

Syaratnya B memang secara sadar dan ikhlas meminta A untuk menjadi wali bagi puterinya dalam akad nikah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak Menyabut Nams ketika Akad

Salah Menyebut Nama Istri ketika Akad Nikah

Salah Menyebut Nama Istri
Assalaamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ustadz apa hukumnya ketika akad nikah calon suami salah menyebutkan nama calon istrinya, misalkan : nama calon istri
“Ani”, kemudian salah menyebut nama istri menjadi “Ami”??. Bagaimanakah hukum akad nikahnya tersebut??.
Jazaakumullaahi khoyron

Jawaban:

Wa alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh…

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Untuk memahami kasus yang anda sampaikan, ada beberapa catatan yang perlu kita pahami,

Pertama, salah satu syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’ memastikan orang yang menjadi pengantin. Artinya, orang yang menikah harus diketahui dengan pasti, siapa yang menjadi istri dan siapa yang menjadi suami. Sehingga tidak ada lagi kerancuan pada pengantin yang bersangkutan. Sebagaimana dalam jual beli, barang yang diperjual belikan harus jelas. 
Masing-masing antara penjual dan pembeli sama-sama tahu barang yang menjadi objek jual beli.

Ibnu Qudamah mengatakan,

من شرط صحة النكاح تعيين الزوجين لأن كل عاقد ومعقود عليه يجب تعيينهما‏,‏ كالمشترى والمبيع

Termasuk syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’, karena antara pelaksana akad dan apa yang diakadkan, harus dipastikan keduanya. Sebagaimana pembeli dan barang yang dibeli.

Kedua, ta’yin, upaya memastikan sesuatu, tidak harus dengan menyebutkan nama sesuatu itu. Bisa juga dilakukan dengan cara lain, misalnya menyebut ciri-cirinya atau dengan isyarat tunjuk.

Seperti misalnya, kita membeli barang A dan kita tidak tahu namanya, kemudian kita pegang barang itu, dan kita tanyakan ke penjual, ’Berapa?’ 
Penjual jawab, ’10 ribu’. 
Lalu kita bayar. Kita memegang barang tersebut ini sudah termasuk ta’yin, memastikan barang yang hendak dibeli.

Dalam pernikahan juga demikian, ketika suami istri sudah pasti orangnya, tidak disyaratkan harus menyebut nama. 
Bisa dengan isyarat atau keterangan lainnya, yang penting orang yang dimaksud sudah jelas. Ibnu Qudamah melanjutkan keterangannya,

ثم ينظر فإن كانت المرأة حاضرة‏,‏ فقال‏:‏ زوجتك هذه صح فإن الإشارة تكفى في التعيين فإن زاد على ذلك‏,‏ فقال‏:‏ بنتى هذه أو هذه فلانة كان تأكيدا، وإن كانت غائبة فقال‏:‏ زوجتك بنتى وليس له سواها جاز فإن سماها باسمها مع ذلك‏,‏ كان تأكيدا

Kemudian perlu diperhatikan, jika sang istri hadir di tempat akad, lalu wali mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan ini.’ Status pernikahan sah. 
Karena isyarat bisa sebagai ta’yin. Jika wali menambahkan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku yang ini’ atau ’dengan putriku yang bernama si x’, tambahan ini semakin menguatkan. 
Dan jika pengantin perempuan tidak ada di tempat, kemudian si wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ dan si wali hanya memiliki satu anak perempuan, maka nikahnya sah. 
BnJika si wali menyebut nama anaknya, ini sebagai penguat.

Ketiga, jika ada unsur ketidak jelasan, maka butuh keterangan lain untuk menegaskan siapa orang yang dimaksud.

Misal, seseorang memiliki dua anak perempuan kembar, si A dan si B. ketika ayahnya menikahkan, dia mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku.’ Kemudian pengantin lelaki menjawab, ’Aku terima nikahnya dengan mahar sekian.’

Pernikahan semacam ini tidak sah, karena belum jelas wanita mana yang menjadi istrinya. Karena itu, butuh keterangan tambahan untuk mempertegas, siapakah putri yang dimaksud.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

فإن كان له ابنتان أو أكثر فقال‏:‏ زوجتك ابنتى لم يصح حتى يضم إلى ذلك ما تتميز به من اسم أو صفة‏,‏ فيقول‏:‏ زوجتك ابنتى الكبرى أو الوسطى أو الصغرى فإن سماها مع ذلك كان تأكيدا

Jika si wali memiliki dua anak perempuan atau lebih, lalu dia mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ maka nikahnya tidak sah, sampai dia tambahkan nama atau keterangan lain yang membedakan satu anak dengan anak lainnya. 
Sehingga dia bisa mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putrinya yang sulung’ atau ’yang nomor 2’, atau ’yang bungsu.’ Jika dia menyebut namanya, sifatnya mempertegas.

Beliau juga menjelaskan kasus lain,

لو قال‏:‏ زوجتك ابنتى وله بنات لم يصح حتى يميزها بلفظه

Jika wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’, sementara dia memiliki beberapa anak perempuan, nikah tidak sah. Sampai dia tegaskan anak yang dimaksud dengan ucapannya.

[simak semua keterangan Ibnu Qudamah di atas dalam al-Mughni, 7/91].

Suami Salah Menyebut Nama Istri
Menegaskan wanita yang dinikahkan, ini dilakukan oleh pihak wali. Sedangkan pihak suami cukup menjawab ’Saya terima nikahnya’.

Karena itu, jika kesalahan penyebutan nama istri ini dari pihak suami, dan itu bentuknya jawaban (qabul), insyaaAllah tidak mempengaruhi ta’yin wanita yang dimaksud. Sehingga pernikahan statusnya sah.

Allahu a’lam

Sabtu, 26 April 2025

SHALAT DITANAH HARAM PAHALANYA SAMA DENGAN DIMASJIDIL HARAM

Shalat di Hotel dekat Masjidil Haram, Apakah Pahalanya juga Dilipatgandakan ?....

Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa bulan Dzulhijjah menjadi bulan istimewa bagi umat Islam, apalagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji. Tentu hal ini semakin menambah motivasi untuk beribadah di Tanah Suci Makkah.

Makkah, selain sebagai tempat kelahiran Nabi Muhammad dan sejarah peradaban Islam, memiliki kemuliaan tersendiri. Terutama Masjidil Haram. Bahkan siapa saja yang melaksanakan shalat di Masjidil Haram akan mendapatkan pahala berlipat.

Dalam salah satu hadis disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: Salat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram (HR. Bukhari: 2/60, Muslim: 3/1013, Tirmidzi:2/147, Baihaqi: 5/403)

Sedangkan dalam riwayat lain:

وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ.

Artinya: Dari Ibn az-Zubair, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa shalat di Masjid-ku ini lebih utama dibanding seribu shalat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedangkan shalat di Masjidil Haram lebih utama dibanding shalat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus shalat. (H.R. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban). 

Kedahsyatan balasan pahala yang berlipat ganda tersebut menjadi acuan dasar umat Islam untuk berlomba menunaikan shalat di Masjidil Haram, bahkan saking berdesakannya, ada sebagian orang yang melaksanakan shalat di luar Masjidil Haram, misalkan di penginapan. Pertanyaannya, apakah orang tersebut mendapatkan fadilah sebagaimana shalat di dalam Masjidil Haram?

Penjelasan hadis di atas oleh Badruddin Al-aini dalam kitab Umdatul Qari Syarh Sahih Bukhari disebutkan:

فَإِن قلت :هَل يخْتَص تَضْعِيف الصَّلَاة بِنَفس الْمَسْجِد الْحَرَام أَو يعم جَمِيع مَكَّة من الْمنَازل والشعاب وَغير ذَلِك أم يعم جَمِيع الْحرم الَّذِي يحرم صَيْده (قلت) فِيهِ خلاف وَالصَّحِيح عِنْد الشَّافِعِيَّة أَنه يعم جَمِيع مَكَّة وَصحح النَّوَوِيّ أَنه جَمِيع الْحرم

Artinya: Apabila engkau bertanya: apakah kelipatan pahala shalat itu tertentu di Masjidil Haram saja, atau meliputi seluruh kota Makkah seperti tempat tinggal/ penginapan, bukit, ataukah seluruh Tanah Haram yang dilarang membunuh hewan buruannya? Saya (Badruddin Al-Aini) jawab: Permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang sahih menurut ulama Syafii adalah seluruh Makkah, sedangkan Imam Nawawi memperjelas adalah seluruh Tanah Haram.

Begitu pula, salah satu ulama Syafii yang masyhur, yakni Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Asybah wan Nadzair menyatakan:

 أَنَّ التَّضْعِيفَ فِي حَرَمِ مَكَّةَ لَا يُخْتَصُّ بِالْمَسْجِدِ بَلْ يَعُمُّ جَمِيعَ الْحَرَمِ 

Artinya: Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah tidak khusus di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 523) 

Pendapat Imam Suyuti ini selaras dengan beberapa pendapat ulama madzhab lain:


 ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمَشْهُورِ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُضَاعَفَةَ تَعُمُّ جَمِيعَ حَرَمِ مَكَّةَ.

Artinya: Madzhab ulama Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Makkah itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, cet ke-2, 1427 H, juz, 37, h. 239)

Walhasil, merujuk dari beberapa keterangan di atas, dapat dipahami bersama bahwa siapa saja yang shalat di tempat tinggal, penginapan, hotel, maupun tempat lain yang masih termasuk wilayah Tanah Haram Makkah, maka pahalanya juga dilipatgandakan sesuai redaksi hadis di atas.

Namun harus diingat, bahwa bagaimanapun juga pahala shalat yang dilakukan di dalam Masjidil Haram jika diakumulasi tetap lebih banyak ketimbang shalat di penginapan, sebab beberapa kesunnahan dan fadilah di dalam Masjidil Haram seperti shalat sunnah tahiyyatul masjid, i’tikaf, berdoa di tempat mustajab, itu tidak dapat ditemukan di penginapan.
Allahu a'lam.

Rabu, 09 April 2025

MUSAFIR BERMAKMUM KEPADA MUKIM

Hukum Musafir Bermakmum Kepada Orang yang Bukan Musafir


Musafir boleh bermakmum kepada orang mukim dengan syarat tidak melakukan shalat qashar dan mesti shalat sempurna.

Shalat berjamaah sangat dianjurkan dalam Islam. Hukumnya sunnah muakkad. Ada banyak dalil dan keterangan dalam hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian. Salah satunya adalah hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda:
 
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
 
Artinya, “Shalat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian,” (HR Bukhari dan Muslim).
 
Shalat berjamaah juga disunnahkan bagi musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan. Apalagi pada masa sekarang, khususnya di Indonesia, mushala dan masjid sudah ada di mana-mana sehingga memudahkan orang yang dalam perjalanan (musafir) untuk melakukan shalat.
 
Namun bagaimana hukumnya bila musafir bermakmum kepada orang yang mukim atau orang yang bukan musafir?
 
Syekh Mushtafa Bugha dalam Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhab Imamil Syafi’i menjelaskan bahwa:
 
أن لا يقتدي بمقيم، فإن اقتدى به وجب عليه أن يتابعه في الإتمام ولم يجز له القصر
 
Artinya, “Musafir yang melakukan shalat qashar tidak boleh bermakmum kepada yang mukim, bila bermakmum kepada mukim dia mesti shalat sempurna dan tidak boleh shalat qashar.”
 
Musafir boleh saja mengikuti shalat berjamaah orang yang mukim atau bermakmum kepada orang yang bukan musafir asalkan shalat yang dikerjakannya bukan shalat qashar.
 
Dengan kata lain, kalau dia mengerjakan shalat zuhur mesti empat raka’at, tidak boleh diqashar menjadi dua rakaat bila bermakmum kepada yang mukim.
 
Sebaliknya, bila yang menjadi imam adalah musafir, maka dia boleh melakukan shalat qashar, meski jamaahnya orang mukim. Setelah selesai shalat dua rakaat, maka jamaah yang bukan musafir menyempurnakan shalatnya.
 
Syekh Musthafa Bugha menjelaskan:
 
أما العكس فلا مانع من القصر فيه، وهو أن يؤم المسافر مقيمين فله أن يقصر
 
Artinya, “Adapun sebaliknya, maka tidak masalah melakukan shalat qashar, ketika musafir menjadi imam bagi orang mukim, dibolehkan untuk mengqashar shalatnya.”
 
Simpulannya, musafir boleh bermakmum kepada orang mukim dengan syarat tidak melakukan shalat qashar dan mesti shalat sempurna. Sebaliknya, musafir dibolehkan melakukan shalat qashar bila menjadi imam bagi orang yang mukim, setelah selesai shalat orang mukim diwajibkan untuk menyempurnakan shalatnya. 
Wallahu a’lam.