Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 30 April 2017

Hukum menyentuh wanita

Menyentuh Wanita,
Apakah Membatalkan Wudhu..
Salah satu permasalahan yang diperdebatkan oleh para ulama adalah menyentuh wanita, apakah hal itu membatalkan wudhu atau tidak, perbedaan ini dikarenakan perbedaan mereka dalam memahami kata لامستم dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah An Nisa ayat 43 dan surah Al Maidah ayat 6: أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء Atau kamu menyentuh wanita dan tidak menemukan air (QS. Al-Maidah : 6) dan adanya beberapa hadits yang berlawanan dengan dzhahir ayat diatas. Para ualam yang berpendapat bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu juga berbeda, menyentuh seperti apa sebenernya yang membatalkan wudhu, bahkan tidak hanya itu, mereka juga berbeda jenis wanita mana saja yang jika disentuh maka akan membatalkan wudhu, berikut pendapat ulama dalam hal ini: 1. Madzhab Hanafi Al Kamal Ibnu Al Humam (w 681 H) dari madzhab hanafi di dalam kitab Fathul Qadir berpendapat bahwa menyentuh wanita tidak membatalakan wudhu secara muthlaq, baik dengan syahwat ataupun tidak, dan yang membatalkan wudhu adalah berhubungan suami istri, karena kata لامستم yang terdapat dalam ayat diatas menurut beliau adalah adalah jima’. ولا يجب من مجرد مسها ولو بشهوة ولو فرجها، خلافا للشافعي مطلقا، ولمالك إذا مس بشهوة. لنا في الأولى عدم دليل النقض بشهوة وبغير شهوة فيبقى الانتقاض على العدم، وقوله تعالى {أو لامستم النساء} مراد به الجماع وهو مذهب جماعة من الصحابة. “Dan tidak wajib berwudhu dari menyentuh wanita sekalipun dengan adanya syahwat, sekalipun pada kemaluannya, berbeda dengan imam syafii yang mengatakn bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu secara mutlaq, dan imam malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita mewajibkan wudhu jika disertai syahwat. Bagi kami tidak ada dalil yang menegaskan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu, baik dengan syahwat ataupun tidak, adapun firman allah: {أو لامستم النساء} yang dimaksud adalah Jima’, dan ini adlah pendapat sebagian sahabat”. [1] Untuk memperkuat pendapatnya beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mu’minin Aisyah radiallahu ‘anha: أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يقبل بعض نسائه و لا يتوضأ “Bahwasanya rasululah shallallahu alaihi wasallam mencium sebagian istrinya dan beliau tidak berwudhu setelah itu”. HR Bazzar 2. Madzhab Maliki Imam Ibnu Abdi Al Barr (w 463 H) dari madzhab maliki dalam kitab Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah mengatakan bahwa mulamasah dalam ayat itu bukan jima’ akan tetapi muqaddimah jima’ seperti mencium atau meraba dengan syahwat, maka menurut beliau hal-hal itu membatalkan wudhu baik perbuatan itu disertai taladzdzudz (menikmati) atau tidak, baik wanita ajnabiyah (asing) ataupun mahramnya. الملامسة، وهي ما دون الجماع من دواعي الجماع فمن قبل امرأة لشهوة كانت من ذوات محارمه أو غيرهن وجب عليه الوضوء التذ أم لم يلتذ. “Mulamasah adalah hal yang dilakukan suami isteri tetapi tidak sampai kepada Jima’ seperti foreplay, orang yang mencium perempuan disertai syahwat baik itu mahramnya ataupun bukan maka ia wajib berwudhu, baik dengan taladzdzudz atau tidak” .[2] Adapun hanya sekedar menyentuh perempuan baik secara langsung atau dengan adanya penghalang seperti baju atau sejenisnya maka hal itu tidak membatalkan wudhu, kecuali jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, kemudian beliau menyebutkan riwayat dari Imam Malik bahwa beliau tidak membedakan anggota tubuh mana yang membatalkan jika disentuh, baik itu rambutnya, giginya atau apapun dari tubuh wanita. ومن قصد إلى لمس امرأة فلمسها بيده انتقض وضوؤه إذا التذ بلمسها من فوق الثوب الرقيق الخفيف أو من تحته وسواء مس منها عند مالك شعرها أو سائر جسدها إذا التذ بلمس ذلك منها. “Seorang bermaksud menyentuh perempuan, kemudian ia menyentuhnya dengan tangannya maka wudhunya batal jika sentuhan itu disertai taladzdzudz, baik dari atas pakaian yang tipis (adanya penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung), baik yang ia sentuh itu -menurut imam malik- rambutnya atau apapun dari anggota tubuh wanita tersebut jika disertai taladzdzudz”.[3] Imam Al Qarafi Al Maliki (w 684 H) juga menyebutkan hal serupa yang disebutkan Imam Ibnu Abd Al Barr diatas Di dalam kitab Adz-Dzakhirah beliau menuliskan sebagai berikut: الملامسة مس أحد الزوجين صاحبه للذة من فوق ثوب أو من تحته أو قبلة في غير الفم يوجب الوضوء خلافا (ح) في اشتراطه التجرد والتعانق والتقاء الفرجين مع الانتشار وخلافا (ش) في عدم اشتراط اللذة مع نقضه. “Mulamasah adalah saling sentuhnya dua orang suami isteri yang disertai ladzdzah, baik dari atas pakaian (ada penghalang) atau dari bawahnya (secara langsung) atau ciuman pada selain mulut, maka hal tersebut mewajibkan wudhu, berbeda dengan Abu Hanifah yang mensyaratkan jima’ dan Imam Syafii yang tidak mensyaratkan ladzdzah dalam membatalkan wudhu”. Pendapat ini adalah hasil dari kompromi atas dua dalil yang saling kontradiksi yaitu ayat diatas tadi dengan hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya: عن عائشة، قالت: كنت أنام بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجلاي في قبلته فإذا سجد غمزني فقبضت رجلي، وإذا قام بسطتهما قالت: والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح Dari aisyah radiallahu anha beliau berkata: aku tidur didepan rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kedua kakiku berada tepat diarah kiblatnya, jika beliau ingin sujud beliau menyentuhku lalu aku menarik kakiku dan jika beliau bangun dari sujudnya aku mengluruskan kembali kakiku” dan Aisyah melanjutkan: “saat itu tidak ada lampu didalam rumah” HR: Muslim Dari hadits ini Imam Al Qarafi beserta ulama malikiyah yang lain berkesimpulan bahwa menyentuh wanita tanpa ladzdzah tidak membatalkan wudhu. [4] 3. Madzhab Syafi’i Imam An Nawawi (w 676 H) dari madzhab syafii di dalam kitabnya, Raudatu At Thalibin Wa Umdatu Al Muftin, berpendapat bahwa menyentuh kulit wanita dewasa selain mahramnya dan anak kecil membatalkan wudhu secara muthlaq, baik dengan syahwat atau tidak, baik sengaja atau lupa, karena menurut beliau kata mulamasah dalam ayat tersebut bermakna Al Lams yang berarti menyentuh. adapun menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita maka tidak membatalkan wudhu. Iamam An Nawawi juga menyebutkan bahwa dalam madzhab syafii ada perbedaan pendapat mengenai wudhu orang yang disentuh apakah wudhunya batal atau tidak, dan yang beliau pilih adalah pendapat yang mengatakan bahwa wudhunya juga batal. الناقض الثالث: لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا، أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح. وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على الأظهر. “Pembatal yang ketiga adalah menyentuh wanita yang mengundang syahwat, jika ia menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab. Begitu juga menyentuh mahram baik mahram senasab, sesusu atau sebab hubungan pernikahan. Jika ia menyentuh wanita yang sudah wafat atau wanita tua yang sudah tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang berlebih, atau ia menyentuhnya tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab, begitu juga wudhu orang yang disentuh”. [5] Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari (w 926 H), dari madzhab yang sama memaparkan hal serupa. Di dalam kitab Asna Al Matalib beliau menuliskan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu secara muthlaq. Begitu juga menyentuh mayit dan menyentuh anggota tubuh yang lumpuh, atau anggota tubuh yang berlebih. الثالث التقاء بشرته أي الذكر وبشرتها أي الأنثى ولو كان الذكر ممسوحا لقوله تعالى {أو لامستم النساء} أي لمستم كما قرئ به لا جامعتم لأنه خلاف الظاهر واللمس الجس باليد وبغيرها أو باليد فقط كما فسره به ابن عمر وغيره. لا إن كان محرما لها بنسب أو رضاع أو مصاهرة فلا ينقض الالتقاء ولا بشهوة لانتفاء مظنتها كانت الأنثى (صغيرة لا تشتهى) عرفا فلا تنقض. وتنقض أنثى ميتة وذكر ميت وعجوز وهرم وعضو أشل أو زائد لعموم الآية. “Pembatal yang ketiga adalah bertemunya kulit laki-laki dan wanita, sekalipun laki-laki tersebut hanya disentuh, sesuai firman allah: {أو لامستم النساء}maknanya adalah menyentuh, sebagaimana dalam sebagian qiraat, dan bukan jima’ karena bertentangan dengan dzahir ayat, dan Al Lams adalah menyentuh dengan tangan atau yang lainnya, atau hanya dengan tangan seperti yang ditafsirkan Ibnu Umar dan yang lain. Dan tidak membatalkan jika laki-laki itu mahram siwanita, baik mahram senasab, sesusu atau mahram dari hubungan pernikahan, sekalipun disertai syahwat karena tidak adanya praduga demikian, begitu juga jika wanita yang disentuh masih kecil dan tidak mengundang syahwat menurut ‘Uruf maka tidak membatalkan wudhu. Dan menyentuh wanita yang sudah mati begitu juga sebaliknya, dan wanita lanjut usia begitu juga sebaliknya, dan menyentuh anggota tubuh yang cacat atau anggota yang berlebih maka membatalkan wudhu sesuai keumuman ayat”. [6] Adapun jawaban dua ulama ini dan ulama syafiyah yang lain terhadap hadits yang mengatakan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam mencium istrinya dan tidak berwudhu adalah hadits dhaif. 4. Madzhab Hanbali Al Muwaffaq Ibnu Qudamah (w 620 H) dari madzhab hanbali di dalam kitabnya, yaitu Al-Mughni menyebutkan tiga riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal: pendapat pertama adalah, menyentuh perempuan jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak membatalkan. pendapat kedua dari Imam Ahmad adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq seperti madzhab Imam Abu Hanifah. pendapat ketiga adalah menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq seperti madzhab Imam Syafi’i. Tapi pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali menurut Ibnu Qudamah adalah pendapat pertama, yaitu menyentuh yang disertai syahwat membatlkan wudhu adapun yang tidak disertai syahwat maka tidak, baik wanita yang disentuh mahram atau bukan, anak kecil atau wanita dewasa, tetapi beliau membedakan antara sentuhan secara langsung dengan sentuhan yang tidak langsung dengan adanya penghalang, yang pertama membatalkan dan yang kedua tidak membatalkan, begitu juga-tidak membatalkan wudhu- menyentuh rambut, gigi dan kuku wanita. المشهور من مذهب أحمد - رحمه الله -، أن لمس النساء لشهوة ينقض الوضوء، ولا ينقضه لغير شهوة. وعن أحمد رواية ثانية، لا ينقض اللمس بحال. وعن أحمد، رواية ثالثة أن اللمس ينقض بكل حال. “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad rahimahullah bahwa menyentuh wanita disertai syahwat membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat. Dan riwayat kedua dari Imam Ahmad bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara muthlaq. Dan riwayat ketiga bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu secara muthlaq”. Kemudian Al Muwaffaq melanjutkan: ولنا، عموم النص، واللمس الناقض تعتبر فيه الشهوة، ومتى وجدت الشهوة فلا فرق بين الجميع. ولا ينقض مس شعر المرأة، ولا ظفرها، ولا سنها، وهذا ظاهر مذهب الشافعي. “Bagi kami keumuman Nash, dan sentuhan yang membatalkan adalah sentuhan yang disertai syahwat, jika sentuhan terhadap wanita itu disertai syahwat maka tidak ada perbedaan antara mahram dan wanita ajnabiyah (asing), wanita dewasa ataupun anak kecil. Dan menyentuh rambut wanita, kukunya atau giginya tidak membatalkan wudhu, dan ini adalah dzahir madzhab Syafi’i” Kemudian beliau memaparkan bahwa sentuhan yang tidak langsung atau dengan adanya penghalang antara kulit laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu: لنا، أنه لم يلمس جسم المرأة؛ فأشبه ما لو لمس ثيابها، والشهوة بمجردها لا تكفي، كما لو مس رجلا بشهوة، أو وجدت الشهوة من غير لمس. “Bagi kami ia tidak menyentuh tubuh wanita, maka sama seperti menyentuh pakaiannya, dan munculnya syahwat saja tidak cukup, sama seperti ia menyentuh laki-laki disertai syahwat atau munculnya syahwat ketika melihat wanita tanpa adanya sentuhan”. [7] Syaik Al Islam Ibnu Taymiyyah (w 728 H) juga menyebutkan pendapat seperti ini dan mengatakan bahwa madzhab hanbali adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah diatas. وأما لمس النساء ففيه ثلاثة أقوال مشهورة: قول أبي حنيفة: لا وضوء منه بحال وقول مالك وأهل المدينة - وهو المشهور عن أحمد -: أنه إن كان بشهوة نقض الوضوء وإلا فلا وقول الشافعي يتوضأ منه بكل حال. “Adapun menyentuh wanita maka dalam masalah ini ada tiga pendapat yang masyhur: pendapat Abu Hanifah bahwa tidak mewajibkan wudhu secara muthlaq, dan pendapat Malik dan penduduk madinah dan ini yang masyhur dari imam ahmad bahwa menyentuh wanita jika disertai syahwat maka membatalkan wudhu dan jika tidak disertai syahwat maka tidak, dan pendapat Syafii yang mewajibkan wudhu dari menyentuh wanita secara muthlaq”. [8] Pendapat yang disebutkan kedua ulama ini dikuatkan lagi oleh Imam Al Mardawi (w 885 H) dalam kitabnya Al Inshaf Fi Ma’rifat Ar Rajih min Al Khilaf jilid 1 hal. 213. Adapun yang membedakan pendapat ini (Hanabilah) dengan pendapat Malikiyah adalah bahwa mereka ulama Hanabilah membedakan antara menyentuh secara langsung dengan menyentuh tidak langsung dengan adanya penghalang, menyentuh secara langsung menurut mereka membatalkan wudhu dan yang tidak secara langsung (adanya penghalang) tidak membatalkan seperti yang dipaparkan Ibnu Qudamah, adapun ulama Malikiyah mereka tidak membedakan. 5. Madzhab Dzahiri Ibnu Hazm (w 456 H) dari madzhab dzahiri di dalam kitabnya Al-Muhalla berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis dengan sengaja dan tanpa ada penghalang dengan anggota tubuh yang manapun membatalkan wudhu, baik yang disentuh mahram atau bukan, anak kecil ataupun dewasa. Adapun menyentuh yang tidak disengaja dan dengan adanya penghalang maka tidak membatalkan wudhu. ومس الرجل المرأة والمرأة الرجل بأي عضو مس أحدهما الآخر، إذا كان عمدا، دون أن يحول بينهما ثوب أو غيره، سواء أمه كانت أو ابنته، أو مست ابنها أو أباها، الصغير والكبير سواء. “Menyentuhnya laki-laki seorang wanita atau sebaliknya dengan anggota manapun mereka saling menyentuh, jika hal itu disengaja dan tanpa ada penghalang seperti pakaian atau yang lain, baik yang disentuh laki-laki itu ibunya atau anak wanitanya, atau yang disentuh wanita itu anak laki-lakinya atau ayahnya, baik keil atau dewasa maka semuanya sama, membatalkan wudhu”. [9] Yang membedakan antara pendapat ibnu hazm ini dengan pendapat ulama Syafiiyah sebagaimana disebutkan diatas adalah beliau tidak membedakan antara mahram dan bukan mahram, serta orang dewasa atau anak kecil, satu lagi yang membedakan pendapat ini dengan pendapat madzhab Syafii ialah bahwa Ibnu Hazm membedakan antara menyentuh dengan sengaja dan tidak, menyentuh dengan sengaja menurut beliau membatalkan wudhu adapun yang tidak sengaja maka tidak membatalkan, berbeda dengan Syafiiyah yang tidak membedakan antara sengaja dengan tidak, keduanya menurut mereka membatalkan wudhu. Itulah pendapat-pendapat ulama lintas madzhab mengenai menyentuh wanita apakah membatalkan wudhu atau tidak. Allahu ‘alam [1] Al Kamal Ibnu Al Humam, Fath Al Qadir jilid 1 Hal 54- 55 [2] Ibnu Abd Al Barr, Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah Jilid 1 Hal. 148-149 [3] Ibnu Abd Al Barr, Al Kafi Fi Fiqhi Ahli Al Madinah Jilid 1 Hal. 148-149 [4] Al Qarafi, Adz Dzakhirah Fi Furu’ Al Malikyah jilid 1 Hal. 225-226 [5] Imam An Nawawi, Raudatu At Thalibin Wa Umdatu Al Muftin jilid 1 Hal. 74 [6] Syaikh Al Islam Zakariya Al Anshari, Asna Al Matalib jilid 1 Hal. 56-57 [7] Ibnu Qudamah, Al Mughni jilid 1 Hal. 141 [8] Ibnu Taymiyyah, Majmu’ Fatawa jilid 20 Hal. 367-368 [9] Ibnu Hazm, Al Muhalla Bi Al Atsar jilid 1 Hal. 227...

Sabtu, 29 April 2017

Dalil tawasul

Tawasul

Pengertian Secara bahasa tawasul artinya mengambil perantara secara istilah diartikan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Alloh SWT dan salah satu dari beberapa pintu tawajuh kepada Alloh SWT dengan menggunakan Wasilah (perantara) adapun yang dituju dari tawasul ini adalah Alloh semata. B. Dalil-dalil tawasul Ada beberapa daliltentang diperbolehkannya tawasul baik dalil Al’quran, as-sunnah maupun atsar. Diantaranya firman Alloh SWT: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh SWT. Dan carilah perantara untuk sampai kepada Alloh SWT. Berjihadlah kamu di jalan-Nya mudah-mudahan kamu dapat keuntungan.” (QS. Al-Ma’idah:35). Sayid Muhammad bin Alawi Al-Maliki memberikan komentar tentang ayat ini: Bahwa yang dimaksud dengan الوسيلةdalam ayat ini adalah setiap sesuatu yang dijadikan pendekatan/perantara kepada Alloh SWT lebih lanjut ia menjelaskan : وَلَفْظُ اْلوَسِيْلَةِ عَامٌ فِى اْلآيَهِ كَمَا تَرَى فَهُوَ شَامِلٌ لِلتَّوَاسُلِ بِاالذَّوَاتِ اْلفَاضِلَةِ مِنَ اْلاَنْبِيَاءِ وَالصَّالحِيِْنَ فِى اْلحَيَاةِ وَبَعْدَ اْلمَمَاتِ وَباِلْاتِيْاَنِ بِاْلاَعْمَالِ الصَّالِحَةِ عَلَى اْلوَجْهِ اْلمَأْمُوْرِ بِهِ وَلِلتَّوَاسُلِ بِهَا بَعْدَ وُقُوْعِهَا. Seperti yang kamu ketahui bahwa lafal الوسيلة pada ayat diatas bersifat umum yang memungkinkan artinyaberwasilah dengan dzat-dzat yang utama seperti para Nabi, orang-orang soleh,baik dalam masa hidup mereka maupun sudah mati juga memungkinka diartikan berwasilah dengan amal-amal soleh dengan menjalankan amal-amal soleh itu dan dijadikan perantara untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Dalam tafsir sowi dijelaskan: وَيَصِحُّ اَنَّ اْلمُرَادَ بِالتَّقْوَى اِمْتتَِالُ اْلمَأْمُوْرَاتِ الْوَاجِبَةِ وَتَرْكُ اْلمَنْهِيَّاتِ اْلمُحَرَّمَةِ وّابْتِغَاءِالْوَسِيْلَةَ مَايُقِرُّبِهِ اِلَيْهِ مُطْلَقًا، وَمِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَحَبَّةُاَنْبِيَاءِ اللهِ تَعَلَى وَاَوْلِيَائِهِ وَالصَّدَقَاتِ وَزِيَارَةِ اَحْبَابِ اللهِ وَكَشْرَةِ الدُّّعَاءِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَكَشْرَةِ الذِّكْرِ وَغَيْرِذَلِكَ.فَالْمَعْنَ​ى كُلُّ مَا يُقَرِّ بُكُمْ اِلَى اللهِ فَالْزَمُوْهُ وَاتْرُكُوْامَا يُبْعِدُكُمْ عَنْهُ اِذَاعَلِمْتَ ذَلِكَ. فَمِنَ الضَّلَالِ اْلمُِيْن وَالْخُسْرَانِ الظَّاهِرِ يَكْفِيْرُ الْمُسْلِمِيْنَ بِزِيَارَةِ أَوْلِيَاءِ اللهِ زَاعِمِيْنَ اَنَّ زِيَارَتَهُمْ مِنْ عِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ كَلَّا بَلْ هِيَ مِنْ جُمْلَةِ الْمَحْبَةِ فِى اللهِ الَّتِى قَالَ فِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلَا لَا اِيْمَانَ لِمَنْ لَا مَحَبَّةَ لَهُ، وَالْوَسِيْلَةِ لَهُ الَّتِى قَالَ اللهُ فِيْهَا: وَابْتَغُواْ اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ:.اھ ΅ Yang dimaksud dwngan taqwa yaitu menjalankan perintah-perintah yang wajib dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan juga mencari perantara untuk mendekatkan kepada Alloh, secara mutlak. Dan termasuk di dalamnya adalah mencari para Nabi, wali-wali Alloh, sodaqoh, menziarahi kekasih-kekasih Alloh, memperbanyak do’a, silaturahim, memperbanyak dzikir dan lain sebagainya. Artinya menjalankan sasuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh . Maka sesuatu yang dapat mendekatkan kita kepada Alloh dan meninggalkan sesuatu yang dapat menjauhkan kita dari Alloh. Maka suatu kesesatan yang jelas dan kerusakan yang jelas juga bila mengkairkan orang-orang yang berziarah kemakam-makam wali Al;loh dengan menganggap bahwa ziarah adalah sirik. Padahal ziarah itu sebagian bentuk mahabbah kepada Alloh seperti yang Rosululloh sabdakan” tiadakah iman bagi orang yang tidak mempunyai perantara kepada Alloh sp yang Alloh Firmankan: Carilah perantara untuk menuju Alloh.” Dalam ayat yang lain Alloh SWT berfirman: “Jika mereka telah berbuat aniaya pada dirinya (berbuat dosa),lalu mereka dating kepadamu (hai Muhammad)dan meminta ampunan kepada Alloh SWT, kemudian Rosul memohonkan ampunan untuk mereka, tentulah Alloh SWT Yang Maha menerima taubat dan yang Maha Penyayang akan menerima tobat mereka .”(QS. Al-Nisa ;64) . Imam Bukhori juga meriwayatkan hadist tentang tawasulnya sahabat umar bin khatab ketika melakukan shalat istis’qo : عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ اَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ اِذَاقَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعِبَاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ الَّلَهُمَّ اِنَا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمَّ نَبِيِّناَ فاَسْقِناَ قاَلَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخارى،٩٥٤) Dari Anas bin Malik R.A beliu berkata “Apabila terjadi kemarau, sahabat Umar bin alkhathab bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, kemudian berdo’a “Ya Alloh kami pernah berdo’a dan bwertawasul kepada-Mu dengan Nabi SAW, maka engkau turunkan hujan. Dan sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan.” Anas berkata “Maka turunlah hujan kepada kami.” (HR. al- Bukhori :954) Menyikapi tawasul sayyidina Umar R.A tersebut Sayyidina Abbas R.A berdo’a; اَللَّهُمَّ اِنَّهُ لَمْ يَنْزِلُ بَلَاءٌ اِلَّا بِذَنْبِ وَلَا يُكْشَفُ اِلَّا بِتَوْبَةِ قَدْ تَوَ جَّهَ اْلقَوْمُ بِي اِلَيْكَ لِمَكَا نِي… الج اخرجه الز بير بن بكار (التحذ ير من الأغترار١٢٥) Ya Alloh sesungguhnya malapetaka itu tidak akan turun kecuali karena dosa dan tidak akan sirna melainkan dengan taubat. Kini kaum muslimin bertawasul kepadaku untuk memohon kepada Mu karena kedudukanku disisi NabiMu….diriwatkan oleh al-Zubair bin Bakkar.:”(Al-Tahdzir min al-Ightirar, hlm. 125) Mengomentari hal ini Syaikh Abdul Hayyi al-amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan, pada hakikat nya tawasul yang dilakukan Sayyidina umar R.A dengan Sayyidina Abas R.A merupakan tawasul dengan Nabi SAW (yang pada waktu itu telah wafat) disebabkan posisi Abbas sebagai paman Nabi SAW dan karena kedudukannya disisi Nabi SAW. (Al-Tahdzir min al-Ightirar hal:6) قَلَ ابْنُ تَيْمِيِّ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْجَيِّ وَالْمَيِّتِ كَمَازَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَبدْ صَجَّ عَنْ بَعْضِ الصَّجَابَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَغْضُ الْمُجْتاَ جِيْنَ اَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّئ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِئ خِلَا فَتِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَ سَّلَ بِهِ قَقُضِئَتْ حَاجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانئِ Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirath al – Mustaqim : Tak ada perbedaan antara orang hidup dan mati seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadist sohih menegaskan : Telah diperintahkan kepada orang – orang yang memiliki hajat dimasa khalifah Ustman untuk bertawassul kepada nabi setelah dia wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Rosul, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath – Thabrany. Dalam kitab 40 masalah agama, jilid 1, hal 137 – 138 disebutkan: عَنْ اَنَسٍ اَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَئ باِلْعَباَّسِ بْنِ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقاَلَ اَللَّهُمَّ كُناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّناَ فَتُسْقَيْناَ وَاِناَّ نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِعَمِّ بِنَبِيِّناَ فاَسْقِناَ فَيُسْقَوْنَ. (رواه البخارى. Dari sahabat Annas, ia mengatakan : Pada zaman Umar bin Khaththab mengatakan : pernah terjadi musim peceklik. Ketika melakukan sholat istisqo Umar ber tawassul kepada paman Rosulullah, Abbas bin Abdul Muththlib ; Ya Tuhan, dulu kami mohon kepada – Mu dengan tawassul paman nabi – Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka. (HR. al – Bukhari). اِنَّ التَّوَسُّلَ وَالتَّشَفُّعَ بِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِجَاهِهِ وَبَرَكَاتِهِ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسِلِيْنَ وَسِيْرَةِ السَّلَفِ الصَّلِحِيْنَ. Sesungguhnya tawassul dan minta syafa’at kepada Nabi atau dengan keagungan dan kebesarannya, termasuk diantara sunnah (amal kebiasaan) para Rosul dan orang – orang Salaf Shalihin (para pendahulu yang soleh – soleh). Adpun kaitannya dengan ayat – ayat Al – Qur’an yang sering digunakan untuk mengharamkan tawassul seperti ayat – ayat dibawah ini : اَلَا للهِ الدَّيْنِ الْخَالِصُ وَالَّدِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُونِهِ اَوْلِياَءَ مَانَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوناَ اِلىَ اللهِ زُلْفَى (الزمر:٢٣ ) “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah – lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang – orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya.” (QS. Al – Zumr: 23). Setelah memperhatikan ayat tersebut dengan cermat, Syaikh Abdul Hayyi al –‘Amrawi dan Syaikh Abdul Karim Murad menyatakan “Perkataan para penyembah berhala “Kami menyembah mereka (berhala – berhala itu) supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat – dekatnya. Ayat ini menegaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk tujuan tersebut. Sedangkan orang yang bertawassul dengan orang alim atau para Rosul itu tidak menyembah mereka. Tetapi karena dia tau bahwa orang yang di – tawassul – i tersebut memiliki keutamaan dihadapan Allah Swt dengan kedudukannya sebagai Rosul, ilmu yang dimiliki atau kerena kenabiannya. Dan karena kelebihannya itulah kemudian ada orang yang melakukan tawassul dengan mereka.” (Al – Tahdzir min al – Ightitar, hal : 113). Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki juga memberikan komentarnya tentang ayat – ayat yang digunakan dalil untuk mengharamkan tawassul. Ayat – ayat itu diantaranya : فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ اَحَدً.الاية,لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِ وَالَّدِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ لَا يَسْتَجِيْبُوْنَ لَهُمْ بِشَيْئٍ. الاية Bahwa ayat – ayat ini ditujukan bagi orang – orang musyik yang menyembah berhala, tentunya berbeda dengan orang yang bertawassul yang hanya menjadikan sesuatu sebagai perantara menuju Allah Swt.

Jumat, 28 April 2017

Hukum berpindah-pindah madzhab

HUKUM BERPINDAH-PINDAH MAZHAB. Pertanyaan : Apa hukum berpindah-pindah mazhab ustadz ? Dan apa batasan kebolehan dan tidaknya ? Jawaban : Dalam permasalahan boleh tidaknya seseorang berpindah-pindah dalam mengikuti pendapat ulama mazhab, memang ada perbedaan pandangan dikalangan para ulama. Secara umum terbagi menjadi dua kubu pendapat. Kubu pertama berpendapat berpindah-pindah mazhab adalah perkara yang tidak dibolehkan, terkecuali dengan syarat dan tatacara yang memang membolehkannya. Sedangkan sebagian ulama lain cendrung membolehkannya secara mutlak. 1. Pendapat yang tidak membolehkan. Hujjah kalangan yang melarang seseorang berpindah-pindah mazhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam ibadah. Sebab tiap-tiap amaliyah suatu mazhab itu dihasilkan dari sebuah proses penyimpulan hukum (istimbath) yang menggunakan kaidah yang pakem. Sehingga apabila ada orang yang main oplos begitu saja pendapat mazhab-mazhab fiqih, hal seperti ini bukan lagi produk ibadah orisinil yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, tapi akan berubah menjadi ajang hawa nafsu dan cara beragama tanpa kaidah yang berpotensi merusak. Sehingga menurut kalangan ini, berpindah-pindah mazhab semaunya adalah praktek terlarang. Namun, jika diteliti lebih dalam, ternyata kalangan ini bukan mutlaq melarang seseorang berpindah pendapat fiqih. Yang dilarang itu ternyata adalah berpindah-pindah mazhab dengan tujuan mencari -cari perkara yang mudah dalam satu permasalahan agama. Misalnya dalam tatacara wudhu ia berwudhu dengan cara Malikiyah yang tidak mengharuskan tertib (mazhab ini membolehkan dibolak balik, misalnya membasuh kaki dulu, lalu muka dll) namun ketika membasuhkan air ia menggunakan mazhab syafi'i yang tidak mengharuskan adanya gosokan. (Mazhab Maliki mewajibkan anggota tubuh yang dibasuh digosok dengan tangan). Niatannya dia melakukan itu untuk tujuan mencari-cari yang mudah, itulah yang dilarang. Adapun berpindah-pindah mazhab jika bukan talfiq. (Talfiq adalah mengoplos pendapat mazhab dalam 1 permasalahan ibadah) ternyata mayoritas kelompok pendapat pertama ini membolehkan. Sekalipun niatannya untuk mencari-cari yang mudah-mudah dari pendapat fiqih, Misalnya seseorang berwudhu dengan mazhab Maliki, shalat dzuhur dengan mazhab Syafi'i, lalu shalat ashar dengan mazhab lain lagi. Ini dibolehkan karena bukan termasuk talfiq. Dalam mazhab Syafi'i, keterangan ini bisa kita dapatkan dalam kitab : I’anah at-Thalibin, (4/217) juga dalam Fath al-Mu’in, hal. 138: Kesimpulan pendapat pertama : Dianjurkan berpegang disatu pendapat mazhab, berpindah -pindah mazhab perkara mubah atau bisa makruh. Yang diharamkan adalah melakukan talfiq dengan tujuan mencari hukum yang mudah. Imam al-Ghazali menjelaskan alasan dilarangnya praktik talfiq karena condong pada mengikuti hawa nafsu, sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu. Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa nafsu. Pendapat pertama ini dianut oleh mayoritas ulama mazhab. 2. Kalangan yang membolehkan secara mutlak. Sekelompok ulama lainnya berpendapat bahwa berpindah pendapat mazhab bukanlah hal yang dilarang. Baik secara talfiq ataupun bukan. Hujjah kalangan ini adalah tidak adanya dalil yang memerintahkan seseorang untuk berpegang disatu pendapat. Yang ada hanya perintah dari Allah : "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43) Ayat diatas hanya mengisyaratkan seorang muslim bertanya kepada ulama mengenai urusan agama. Dan Allah tidak membatasi hanya kepada satu dua ulama, sebagaimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dahulu juga tidak membatasi orang-orang untuk bertanya dalam urusan agama kepada satu sahabat saja. Tapi beliau membolehkan siapapun sahabat kala itu untuk dijadikan rujukan persoalan agama. Yang secara lantang membolehkan praktek berpindah mazhab secara talfiq sekalipun adalah kalangan mazhab Hanafiyah diantaranya imam Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid/Ibn Humam (750-808 H) demikian juga ini diamini oleh sebagian kalangan Malikiyah. Khatimah. Mazhab adalah sarana untuk memudahkan kita dalam mengamalkan agama secara baik dan benar. Bukan untuk membuat ribet dan repot, meskipun disaat yang sama berfungsi untuk mengatur agar hukum agama tidak dijalankan seenak perutnya orang. Kalangan yang melarang, bukanlah melarang seseorang berpindah-pindah mazhab secara mutlaq. Yang dilarang adalah talfiq, karena berpotensi menjadi ajang mengamalkan agama semau dan sekenanya. Demikian juga kalangan yang membolehkan secara mutlak gonta-ganti pendapat fiqih. Yang dibolehkan adalah mengikuti pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan mengikuti hawa nafsu dan selera pribadi. Jika kita bisa memahami tujuan dan maksud baik dua kubu pendapat ini, kita akan bisa memadukan keduanya dalam sebuah prinsip sederhana : Sebaiknya memang bermazhab, tapi jangan fanatik. Wallahu a'lam. ©AST

Kamis, 27 April 2017

KHITAN

Khitan

Sunat Khitan dalam Islam

Sunat atau khitan (Arab, الختان) atau memotong kulup (kulit) yang menutupi ujung zakar kemaluan laki-laki adalah salah satu tindakan yang disyariatkan dalam Islam terutama karena sunat (Inggris, circumcision) itu mempermudah seorang muslim untuk mensucikan diri dari najis. Sedangkan suci dari najis menjadi prasyarat utama untuk sahnya salat. Di samping itu, khitan diakui secara universal memiliki manfaat kesehatan yang tidak sedikit. Ia misalnya dapat mengurangi resiko kanker pen1s dan infeksi air kencing juga membuat wanita yang menjadi pasangan pria yang sunat akan lebih kecil terkena kanker leher rahim.

DEFINISI KHITAN

Khitan secara etimologis (lughawi) merupakan bentuk masdar (verbal noun) dari fi'il madi khatana (خَتَن) yang berarti memotong. Dalam terminologi syariah Islam, bhitan bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutup hasyafah (kepala penis) kemaluan laki-laki sehingga semua hasyafah terbuka. Sedang bagi wanita khitan adalah memotong bagian bawah kulit yang disebut nawat yang berada di bagian atas faraj (kemaluan perempuan). Khitan bagi laki-laki disebut i'dzar sedang bagi perempuan disebut khifd. Jadi, khifd bagi perempuan sama dengan khitan bagi laki-laki.

DALIL QURAN DAN SUNNAH (HADITS) TENTANG KHITAN

QS An-Nahl :123

ثم أوحينا إليك أن اتبع ملة إبراهيم حنيفاً وما كان من المشركين). [النحل:123]
Artinya: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”

- QS Al Hajj 78

حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
Artinya: Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam (Al quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.

- Hadits riwayat Bukhary & Muslim

الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَتَقْلِيْمُ الأََظْفَارِ وَقَصُّ الشَّارِبِ
Artinya: Fithrah itu ada lima: Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis .

- Hadits riwayat Bukhary & Muslim. Lihat juga As-Syaukani dalam Nailul Autar 1/111

اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِينَ سَنَةً بِالْقَدُومِ
Artinya: Ibrahim ‘alaihissalam telah berkhitan dengan qadum (nama sebuah alat pemotong) sedangkan beliau berumur 80 tahun

- Hadits riwayat Abu Dawud

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
Artinya: Hilangkan darimu rambut kekafiran ( yang menjadi alamat orang kafir ) dan berkhitanlah

- Hadits riwayat Baihaqi

الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ ، مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ
Artinya: Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.

- Hadits riwayat Ar-Rafi'i dalam At-Takwin, As-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmuah, Al-Bahiri dalam As-Sabi'

اختنوا أولادكم يوم السابع فإنه أطهر وأسرع لنبات اللحم.
Artinya: Khitanlah anak laki-lakimu pada hari ketujuh karena sesungguhnya itu lebih suci dan lebih cepat tumbuh daging (cepat besar badannya)

- Hadits riwayat As-Syaukani dalam At-Talkhis Al-Jabir
من أسلم فليختتن
Artinya: Barangsiapa yang masuk Islam maka hendaknya dia berkhitan

- Hadits riwayat Ahmad, dan Baihaqi

الختان سنة في الرجال، مكرمة في النساء
Artinya: Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita.

- Hadits riwayat Tabrani, Baihaqi, Ibnu Adi, Daulabi, Al-Khatib, tentang khitan perempuan

إذا خفضت أَشِمِّي ولا تَنْهَكِي فإنه أحظى للزوج وأسرى للوجه
Artinya: Apabila Engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit dan jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami

- Hadits riwayat Abu Daud dari Ummu Atiyah

إن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: "لا تنهكي فإن ذلك أحظى للمرأة وأحب إلى البعل
Artinya: bahwasanya di Madinah ada seorang wanita yang (pekerjaannya) mengkhitan wanita, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jangan berlebihan di dalam memotong, karena yang demikian itu lebih nikmat bagi wanita dan lebih disenangi suaminya.

- Hadits riwayat Muslim

إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل
Artinya: Apabila seseorang laki-laki berada di empat cabang wanita (bersetubuh dengan wanita) dan khitan menyentuh khitan, maka wajib mandi

- Hadits riwayat Baihaqi

إنه عندما هاجر النساء كان فيهن أم حبيبة، وقد عرفت بختان الجواري فلما زارها رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لها يا أم حبيبة هل الذي كان في يدك هو في يدك اليوم؟ فقالت نعم يا رسول الله إلا أن يكون حراماً فتنهانا عنه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "بل هو حلال" وقال صلى الله عليه وسلم: " يا نساء الأنصار اختفضن (اختتن) ولا تنهكن أي لا تبالغن في الخفاض"

HUKUM KHITAN MENURUT PANDANGAN MADZHAB EMPAT

Berdasarkan sejumlah dalil dariQuran dan hadits di atas, maka ulama dari keempat madzhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali memiliki pandangan yang sama dalam satu hal: bahwa khitan itu dianjurkan dalam agama (masyruk - مشروع) baik bagi laki-laki dan perempuan. Namun, apakah anjuran tersebut bersifat wajib ataukah hanya sunnah, mereka berbeda pendapat dengan rincian sebagai berikut:

PANDANGAN MADZHAB SYAFI'I DAN HANBALI

Hukum khitan adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan menurut madzhab Syafi'i dan Hanbali. Alasan kedua madzhab adalah:
(a) ada hadits di mana Nabi berkata pada seorang pria yang baru masuk Islam: "Hilangkan darimu rambut kekafiran (yang menjadi alamat orang kafir) dan khitanlah " (HR Abu Daud - teks hadits lihat di atas.)
(b) Khitan adalah syiar umat Islam, maka ia hukumnya wajib sebagaimana syiar-syiar yang lain. Adapun dalil bahwa khitan tidak wajib bagi wanita menurut madzhab Hanbali adalah hadits: "الختان سنة للرجال، ومكرمة للنساء"

Pendapat mu'tamad (diunggulkan) dari madzhab Hanbali dan Syafi'i adalah khitan wajib bagi pria dan wanita.

Sedangkan Ibnu Qudamah (ulama madzhab Hanbali) dalam Al-Mughni mempunya pendapat sendiri yaitu khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan (makromah) bagi perempuan. Adapun perbedaan antara sunnah dan mukromah adalah kesunnahan mukromah berada sedikit di bawah sunnah.

PANDANGAN MADZHAB HANAFI DAN MALIKI

Hukumnya sunnah bagi laki-laki dan dianjurkan bagi perempuan menurut madzhab Hanafi dan Maliki berdasarkan pada hadits: الختان سنة في الرجال، مكرمة في النساء Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita. Hadits riwayat Ahmad, Baihaqi.

Dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dikatakan bahwa pendapat yang muktamad (diunggulkan) dalam madzhab Hanafi, Maliki dan pendapat minoritas dari madzhab Syafi'i adalah wajib khitan bagi pria dan sunnah bagi wanita.

CARA KHITAN BAGI LAKI-LAKI

Tindakan memotong kulup (kulit) yang menutupi ujung zakar atau kepala penis (Arab, hasyafah حشفة). Secara umum, sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Frenulum dari penis dapat juga dipotong secara bersamaan dalam prosedur yang dinamakan frenektomi.

KHITAN BAGI PEREMPUAN

Imam Nawawi menyatakan bahwa khitan pada perempuan adalah memotong bagian bawah kulit lebih dan menutupi yang ada di atas v4gina perempuan.

TUJUAN KHITAN (SUNAT) SECARA SYARIAH

1. Tujuan utama syariah kenapa khitan itu disyariatkan adalah karena menghindari adanya najis pada anggota badan saat shalat. Karena, tidak sah shalat seseorang apabila ada najis yang melekat pada badannya. Dengan khitan, maka najis kencing yang melihat disekitar kulfa (kulub) akan jauh lebih mudah dihilangkan bersamaan dengan saat seseorang membasuh kemaluannya setelah buang air kecil.

2. Mengikuti sunnah Rasulullah.
3. Mengikuti sunnah Nabi Ibrahim.

MANFAAT KHITAN BAGI KESEHATAN

Manfaat khitan dari sudut kesehatan terutama bagi laki-laki cukup banyak. Antara lain:

1. Lebih higines (sehat) karena lebih mudah membersihkan kemaluan (p3nis) dari pada yang tidak sunat. Memang, mencuci dan membasuh kotoran yang ada di bawah kulit depan kemaluan orang yang tidak disunat itu mudah, namun khitan dapat mengurangi resiko infeksi bekas air kencing. Menurut penelitian medis, infeksi bekas urine lebih banyak diderita orang yang tidak disunat. Infeksi yang akut pada usia muda akan berakibat pada masalah ginjal di kemudian hari.

2. Mengurangi resiko infeksi yang berasal dari transmisi seksual. Pria yang dikhitan memiliki resiko lebih rendah dari infeksi akibat hubungan seksual, termasuk HIV/AIDS. Walaupun seks yang aman tetap penting.

3. Mencegah problem terkait dengan p3nis. Terkadang, kulit muka pen1s yang tidak dikhitan akan lengket yang sulit dipisah. Dan ini dapat berakibat radang pada kepala pen1s (hasyafah).

4. Mencegah kanker p3nis (penile cancer). Kanker pen1s tergolong jarang terjadi, apalagi pada pen1s yang disunat. Di samping itu, kanker leher rahim (cervical cancer) lebih jarang terjadi pada wanita yang bersuamikan pria yang dikhitan.

Menyembelih hewan

Tata cara menyembelih
hewan ada

Nahr [arab: نحر], menyembelih hewan dengan melukai bagian tempat kalung (pangkal leher). Ini adalah cara menyembelih hewan unta.

Allah berfirman,

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ الله لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ الله عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا

Telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu bagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah… (QS. Al Haj: 36)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menjelaskan ayat di atas, (Untanya) berdiri dengan tiga kaki, sedangkan satu kaki kiri depan diikat. (Tafsir Ibn Katsir untuk ayat ini)

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, beliau mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menyembelih unta dengan posisi kaki kiri depan diikat dan berdiri dengan tiga kaki sisanya. (HR. Abu daud dan disahihkan Al-Albani).

Dzabh [arab: ذبح], menyembelih hewan dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, ayam, dst.

Pada bagian ini kita akan membahas tata cara Dzabh, karena Dzabh inilah menyembelih yang dipraktikkan di tempat kita -bukan nahr-.

Beberapa adab yang perlu diperhatikan:

1. Hendaknya yang menyembelih adalah shohibul kurban sendiri, jika dia mampu. Jika tidak maka bisa diwakilkan orang lain, dan shohibul kurban disyariatkan untuk ikut menyaksikan.

2. Gunakan pisau yang setajam mungkin. Semakin tajam, semakin baik. Ini berdasarkan hadis dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْح وَ ليُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim).

3. Tidak mengasah pisau dihadapan hewan yang akan disembelih. Karena ini akan menyebabkan dia ketakutan sebelum disembelih. Berdasarkan hadis dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,

أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِّ الشِّفَارِ ، وَأَنْ تُوَارَى عَنِ الْبَهَائِمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah ).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementar binatang itu melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini ?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad sahih).

4. Menghadapkan hewan ke arah kiblat.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah:
Hewan yang hendak disembelih dihadapkan ke kiblat pada posisi tempat organ yang akan disembelih (lehernya) bukan wajahnya. Karena itulah arah untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:196).
Dengan demikian, cara yang tepat untuk menghadapkan hewan ke arah kiblat ketika menyembelih adalah dengan memosisikan kepala di Selatan, kaki di Barat, dan leher menghadap ke Barat.

5. Membaringkan hewan di atas lambung sebelah kiri.
Imam An-Nawawi mengatakan,
Terdapat beberapa hadis tentang membaringkan hewan (tidak disembelih dengan berdiri, pen.) dan kaum muslimin juga sepakat dengan hal ini. Para ulama sepakat, bahwa cara membaringkan hewan yang benar adalah ke arah kiri. Karena ini akan memudahkan penyembelih untuk memotong hewan dengan tangan kanan dan memegangi leher dengan tangan kiri. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah, 21:197).

Penjelasan yang sama juga disampaikan Syekh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Hewan yang hendak disembelih dibaringkan ke sebelah kiri, sehingga memudahkan bagi orang yang menyembelih. Karena penyembelih akan memotong hewan dengan tangan kanan, sehingga hewannya dibaringkan di lambung sebelah kiri. (Syarhul Mumthi’, 7:442).

6. Menginjakkan kaki di leher hewan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

ضحى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بكبشين أملحين، فرأيته واضعاً قدمه على صفاحهما يسمي ويكبر

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor domba. Aku lihat beliau meletakkan meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah …. (HR. Bukhari dan Muslim).

7. Bacaan ketika hendak menyembelih.
Beberapa saat sebelum menyembelih, harus membaca basmalah. Ini hukumnya wajib, menurut pendapat yang kuat. Allah berfirman,

وَ لاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ الله عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ..

Janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (QS. Al-An’am: 121).

8. Dianjurkan untuk membaca takbir (Allahu akbar) setelah membaca basmalah
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih dua ekor domba bertanduk,…beliau sembelih dengan tangannya, dan baca basmalah serta bertakbir…. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

9. Pada saat menyembelih dianjurkan menyebut nama orang yang jadi tujuan dikurbankannya herwan tersebut.
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika didatangkan seekor domba. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dengan tangan beliau. Ketika menyembelih beliau mengucapkan, ‘bismillah wallaahu akbar, ini kurban atas namaku dan atas nama orang yang tidak berkurban dari umatku.’” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan disahihkan Al-Albani).
Setelah membaca bismillah Allahu akbar, dibolehkan juga apabila disertai dengan bacaan berikut:
hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud, no. 2795) Atau
hadza minka wa laka ’anni atau ’an fulan (disebutkan nama shohibul kurban). Jika yang menyembelih bukan shohibul kurban atau
Berdoa agar Allah menerima kurbannya dengan doa, ”Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shohibul kurban).” [1]

Catatan: Bacaan takbir dan menyebut nama sohibul kurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Sehingga kurban tetap sah meskipun ketika menyembelih tidak membaca takbir dan menyebut nama sohibul kurban.

10. Disembelih dengan cepat untuk meringankan apa yang dialami hewan kurban.
Sebagaimana hadis dari Syaddad bin Aus di atas.

11. Pastikan bahwa bagian tenggorokan, kerongkongan, dua urat leher (kanan-kiri) telah pasti terpotong.
Syekh Abdul Aziz bin Baz menyebutkan bahwa penyembelihan yang sesuai syariat itu ada tiga keadaan (dinukil dari Salatul Idain karya Syekh Sa’id Al-Qohthoni):

Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
Terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
Terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما أنهر الدم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السن والظفر

“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama Allah maka makanlah. Asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

12. Sebagian ulama menganjurkan agar membiarkan kaki kanan bergerak, sehingga hewan lebih cepat meregang nyawa.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Dianjurkan untuk membaringkan sapi dan kambing ke arah kiri. Demikian keterangan dari Al-Baghawi dan ulama Madzhab Syafi’i. Mereka mengatakan, “Kaki kanannya dibiarkan…(Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8:408)

13. Tidak boleh mematahkan leher sebelum hewan benar-benar mati.
Para ulama menegaskan, perbuatan semacam ini hukumnya dibenci. Karena akan semakin menambah rasa sakit hewan kurban. Demikian pula menguliti binatang, memasukkannya ke dalam air panas dan semacamnya. Semua ini tidak boleh dilakukan kecuali setelah dipastikan hewan itu benar-benar telah mati.

Dinyatakan dalam Fatawa Syabakah Islamiyah, “Para ulama menegaskan makruhnya memutus kepala ketika menyembalih dengan sengaja. Khalil bin Ishaq dalam Mukhtashar-nya untuk Fiqih Maliki, ketika menyebutkan hal-hal yang dimakruhkan pada saat menyembelih, beliau mengatakan,

وتعمد إبانة رأس

“Diantara yang makruh adalah secara sengaja memutus kepala” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 93893).
Pendapat yang kuat bahwa hewan yang putus kepalanya ketika disembelih hukumnya halal.
Imam Al-Mawardi –salah satu ulama Madzhab Syafi’i– mengatakan, “Diriwayatkan dari Imran bin Husain radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau ditanya tentang menyembelih burung sampai putus lehernya? Sahabat Imran menjawab, ‘boleh dimakan.”
Imam Syafi’i mengatakan,

فإذا ذبحها فقطع رأسها فهي ذكية

“Jika ada orang menyembelih, kemudian memutus kepalanya maka statusnya sembelihannya yang sah” (Al-Hawi Al-Kabir, 15:224).

Allahu a’lam.

Hukum menarik pajak

HUKUM MENARIK / MEMBAYAR PAJAK

JAWABAN :

Sebenarnya pemasukan kas negara(pemerintah) yang diperoleh dari rakyat, itu hanya berasal dari dua sektor :
1. Dari orang-orang kafir yang meliputi : jizyah, ghonimah, harta fai' dan khoroj (pajak tanah) dengan segala ketentuannya.

2. Dari orang-orang Islam yang meliputi : warisan yang tidak diketahui ahli warisnya, mal al-Dlo'i', zakat, khoroj dan para ahli ma'siat dalam rangka menghentikan kema'siatannya.

Namun dalam keadaan khajat/dlorurat (seperti kondisi Indonesia saat ini) pemerintah boleh mengusahakan pemasukan negara lewat pungutan dari semua lapisan masyarakat Islam yang kaya, demikian menurut madzhab Syafi'i sedangkan menurut madzhab Malikiyah , dalam keadaan hajat pemerintah boleh menarik pajak, baik aset bergerak atau tidak bergerak dengan syarat :
- Betul-betul ada kebutuhan yang mendesak.
- Ditashorufkan untuk kepentingan muslimin.
- Ditashorufkan dengan pertimbangan kemaslahatan.
- Dibebankan kepada orang-orang yang mampu, sekiranya tidak mengakibatkan dloror dari pajak yang dikenakan.
- Kekosongan Baitul mal itu tidak mungkin tertutupi pada waktu dekat dari sektor lain.

Catatan :
Penggunaan fasilitas umum tidak boleh dikenakan pajak/restribusi.
Dalam pembebanan pajak, pemerintah harus mempertimbangkan kondisi riil masyarakat dan kebutuhan negara.
Batasan orang kaya (mampu) yang dikenakan pajak dalam madzhab Syafi'I adalah orang yang aset maliyahnya mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya selama satu tahun.

Ibarat

المعيار المعزب الجزء غخدى عشرة ص 127-138(حكم فرض الخراج على الرعية) وسئل القاضي أبو عمر ابن منظور بما نصه : الحمد لله والصلاة السلام على رسول الله صلى الله عليه وسلم سيدنا رضي الله عنكم تفضلوا بجوابكم الشافي عن مسئلة وهي أن الوظائف الموظفة على الأرضين بجزيرة الأندلس المسماة بالمعونة كانت موضوعة في القديم على نسبة الدراهيم السبعينية بل على الستينية وظفت عليها لتقوم بها مصالح الوطن ووظف أيضا على الكسب في ذلك العهد بنسبة درهم ونصف إلى رأس من الغنم ثم إن السكة تبدلت ونقصت على ما في عملكم ثم ظهر الآن المعيار الحق وهي السكة الجديدة فهل يوخذون بها إذا ظهر ما قد كان لزمهم في قديم الأزمان بعد أن تحط عنهم الأجعال وما لزمهم من الملازم الثقل وما أحدث بعد تلك الأعصار أو يتركون على ما هم عليه من أخذ الدرهم باسمه دون معناه وحقيقته ؟ بينوا لنا ما الحكم في ذلك مأجورين مثابين بفضل الله تعالى ؟ والسلام على سيادتكم ورحمة الله تعالى وبركاته (فأجاب) الجواب وبالله التوفيق إن الأصل أن لا يطالب المسلمون بمغاريم غير واجبة بالشرع وإنما يطالبون بالزكاة وما أوجبه القرآن والسنة كالفيئ والركاز وإرث من يرثه بيت المال وهذا ما أمكن به حمل الوطن وما يحتاج له من جند ومصالح المسلمين وسد ثلم الإسلام فإذا عجز بيت المال عن أرزاق الجند وما يحتاج إليه من آلة حرب وعدة فيوزع على الناس ما يحتاج إليه من ذلك وعند ذلك يقال يخرج هذا الحكم ويستنبط من قوله تعالى قالوا يا ذالقرنين إن يأجوج ومأجوج مفسدون في الأرض فهل نجعل لك خرجا الآية لكن لا يجوز هذا إلا بشروط (الأول) أن تتعين الحاجة فلو كان في بيت المال ما يقوم به لم يجز أن يفرض عليهم شيء لقوله صلى الله عليه وسلم ليس على المسلمين جزية وقال صلى الله عليه وسلم لا يدخل الجنة صاحب مكر وهذا يرجع إلى إغرام المال ظلما (الثاني) أن يتصرف فيه بالعدل ولا يجوز أن يستأثر به دون المسلمين ولا أن ينفقه في شرف ولا أن يعطى من لا يستحق ولا يعطي أحدا أكثر مما يستحق (الثالث) أن يصرف مصرفه بحسب المصلحة والحاجة لا بحسب الغرض (الرابع) أن يكون الغرم على ما كان قادرا من غير ضرر ولا إجحاف ومن لا شيء له أو له شيء قليل فلا يغرم شيئا (الخامس) أن يتفقد هذا في كل وقت فربما جاء وقت لا يفتقر فيه لزيادة علىما في بيت المال فلا يوزع وكما يتعين المال في التوزيع، فكذلك إذا تعينت الضرورة للمعونة بلأبدان، ولم يكف المال، فإن الناس يجبرون على التعاون على الأمر الداعي للمعونة، بشرط القدرة وتعين المصلحة والافتقار إلى ذلك فإذا تقرر هذا فتقول في المسألة المسؤلة عنها :إذا جزم أمير المسلمين نصره الله وعزم على رفع الظلمات وأخذ على أيدي الأخذين للأجعال ورفع ما احدث في هذا الأزمان الفارطة القريبة مما لا خفاء بظلمه ولا ريب في جوره، وسلك باالمأخوذ الشروط التي ذكرناها حتى يعلم الناس أنهم لا يطالبون إلا ما جرت به العوائد وسلك بهم مسلك العدل في الحكم ولا يزال أيده الله يتفقد رعيته وولاته حتى يسيروا على نهج قومهم. فله أن يوزع من المال على النسبة المفسرة وما يراه صوابا ولا إجحاف فيه، حسبما ذكرناه أصلح الله أموره وكان له وجعله من الأئمة الراشدين-إلى أن قال- فإن قيل روي أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه شاطر خالد بن الوليد في ماله حتى أخذ رسوله فرد نعله وشطر عمامته.(قلنا) المظنون بعمر أنه لم يبدع العقاب بأخذ المال على خلاف المألوف من الشرع وإنما ذلك لعلمه باختلاط ماله بالأموال المستفادة من الولاية، واحاطته بتوسعه فيه ولقد كان عمر يراقب الولاة يعين كالية ساهرة فلعله ظن الأمر فرأى شطر ماله من فوائد الولاية وثمراتها فيكون ذلك كالاسترجاع للحق بالرد إلى نصابه، فأما أخذ المال المستخلص للرجل عقابا على جناية شرع الشرع فيها عقوبة سوى أخذ المال فهي مصلحة غريبة لا تلائم قواعد الشرع فتبين بهذا المثال أن إبداع أمر في الشرع لا عهد به لا وجه له وأنا في اتباع المصالح تتردد على ضوابط الشرع ومراسمه وقد ذهب إلى تجويز ذلك ذاهبون ولا وجه له انتهى......

الغياثي ص 130جواز مصادرة أموال العصاة عند حاجة الدولة لها411- نعم لا يبعد أن يعتني الإمام عند المسيس الحاجات بأموال العتاة، وهذا فيه أكمل مردع ومقمع، فإن العتاة العصاة إذا علموا ترصد الإمام لأموالهم لاضططراب حالاتهم عند اتفاقإضاقة أعوان المسلمين وحاجاتهم كان ذلك وازعالهم عن مخازيهم وزلاتهم412- فإن قيل أليس عمر بن الخطاب رضي الله عنه شاطر خلدر بن الوليد ماله، وشاطر عمرو بن العاص ماله حتى أخذ رسوله إليه نصف عمامته وفرد نعله ؟ قلنا ما فعله رضي الله عنه محمول على محمل سائغ واضح وسبيل بين لائح وهو أنهما كانا خامرا في إمرأة الأجناد والبلاد أموالا لله وكان لا يشد عنه رضي الله عنه مجاري أحوال مستخلفيه فلعله رآهما مجاوزين حدود الاستحقاق ثم أنعم النظر وأطال الفكر وقدم الرأي وأخر فرأى ما أمضى وشهد وغبنا وقدره أجل وأعلى من أنيتجاوز ويتعدى

إحياء علوم الدين الجزء الثاني ص 134 مكتبة الهداية سوراباياو كل ما يحل للسلطان سوى الأحياء وما يشترك فيه الرعية قسمان مأخوذ من الكفار وهو الغنيمة المأخوذة بالقهر والفيء وهو الذي حصل من مالهم في يده من غير قتال والجزية وأموال المصالحة وهي التي تؤخذ بالشروط والمعاقدة والقسم الثاني المأخوذ من المسلمين فلا يحل منه إلا قسمان المواريث وسائر الأمور الضائعة التي لا يتعين لها مالك والأوقاف التي لا متولى لها أما الصدقات فليست توجد في هذا الزمان وما عدا ذلك من الخراج المضروب على المسلمين و المصادرات وأنواع الرشوة كلها حرام فإذا كتب لفقيه أو غيره إدرار أو صلة أو خلعة على جهة فلا يخلو من أحوال ثمانية فانه أما أن يكتب له ذلك على الجزية أو على المواريث أو على الأوقاف أو على ملك أحياء السلطان أو على ملك اشتراه أو على عامل خراج المسلمين أو على بياع من جملة التجار أو على الخزانة فالأول هو الجزية وأربعة أخماسها للمصالح وخمسها لجهات معينة فما يكتب على الخمس من تلك الجهات أو على الأخماس الأربعة لما فيه مصلحة وروعي فيه الاحتياط في القدر فهو حلال بشرط أن لا تكون الجزية إلا مضروبة على وجه شرعى ليس فيها زيادة على دينار أو على أربعة دنانير فإنه أيضا في محل الاجتهاد وللسلطان أن يفعل ما هو في محل الاجتهاد وبشرط أن يكون الذمي الذي تؤخذ الجزية منه مكتسبا من وجه لا يعلم تحريمه فلا يكون عامل سلطان ظالما ولا بياع خمر ولا صبيا ولا امرأة إذ لا جزية عليهما فهذه أمور تراعى في كيفية ضرب الجزية ومقدارها وصفة من تصرف إليه ومقدار ما يصرف فيجب النظر في جميع ذلك الثاني المواريث والأموال الضائعة فهي للمصالح و النظر أن الذي خلفه هل كان ماله كله حراما أو أكثره أو أقله وقد سبق حكمه فان لم يكن حراما بقى النظر في صفة من يصرف إليه بأن يكون في الصرف إليه مصلحة ثم في المقدار المصروف الثالث الأوقاف وكذا يجرى النظر فيها كما يجري في الميراث مع زيادة أمر وهو شرط المواقف حتى يكون المأخوذ موافقا له في جميع شرائطه الرابع ما أحياه السلطان وهذا لا يعتبر فيه شرط إذ له أن يعطى من ملكه لمن شاء أي قدر شاء وإنما النظر في أن الغالب انه أحياه بإكراه الأجراء أو بأداء أجرتهم من حرام فإن الأحياء يحصل بحفر القناة و الأنهار وبناء الجدران وتسوية الأرض ولا يتولاه السلطان بنفسه فإن كانوا مكرهين على الفعل لم يملكه السلطان وهو حرام وان كانوا مستأجرين ثم قضيت أجورهم من الحرام فهذا يورث شبهة قد نبهنا عليها في تعلق الكرامة بالأعواض يقين حرام فهو موضع توقفنا فيه كما سبق......

أحكام السلطانية ص 147أرض الخراج تتميز عن أرض العشر في الملك والحكم والأرضون كلها تنقسم أربعة أقسام أحدها ما استأنف المسلمون إحياءه فهو أرض عشر لا يجوز أن يوضع عليها خراج والكلام فيها يذكر في إحياء الموات من كتابنا هذا والقسم الثاني ما أسلم عليه أربابه فهم أحق به فتكون على مذهب الشافعي رحمه الله أرض عشر ولا يجوز أن يوضع عليها خراج وقال أبو حنيفة الإمام مخير بين أن يجعلها خراجا أو عشرا فإن جعلها خراجا لم يجز أن تنقل إلى العشر وإن جعلها عشرا جاز أن تنقل إلى الخراج والقسم الثالث ما ملك من المشركين عنوة وقهرا فيكون على مذهب الشافعي رحمه الله غنيمة تقسم بين الغانمين وتكون أرض عشر لا يجوز أن يوضع عليها خراج وجعلها مالك وقفا على المسلمين بخراج يوضع عليها وقال أبو حنيفة يكون الإمام مخيرا بين الأمرين والقسم الرابع ما صولح عليه المشركون من أرضهم فهي الأرض المختصة بوضع الخراج عليها وهي على ضربين: أحدهما ما خلا عنها أهلها فحصلت للمسلمين بغير قتال فتصير وقفا على مصالح المسلمين ويضرب عليها الخراج ويكون أجرة تقر على الأبد وإن لم يقدر بمدة لما فيها من عموم المصلحة ولا يتغير بإسلام ولا ذمة ولا يجوز بيع رقابها اعتبارا لحكم الوقوف والضرب الثاني ما أقام فيه أهله وصولحوا على إقراره في أيديهم بخراج يضرب عليهم فهذا على ضربين : أحدهما أن ينزلوا عن ملكها لنا عند صلحنا فتصير هذه الأرض وقفا على المسلمين كالذي انجلى عنه أهله ويكون الخراج المضروب عليهم أجرة لا تسقط بإسلامهم ولا يجوز لهم بيع رقابها ويكونون أحق بها ما أقاموا على صلحهم ولا تنتزع من أيديهم سواء أقاموا على شركهم أم أسلموا كما لا تنتزع الأرض المستأجرة من يد مستأجرها ولا يسقط عنهم بهذا الخراج جزية رقابهم إن صاروا أهل ذمة مستوطنين وإن لم ينتقلوا إلى الذمة وأقاموا على حكم العهد لم يجز أن يقروا فيها سنة وجاز إقرارهم فيها دونها بغير جزية والضرب الثاني : أن يستبقوها على أملاكهم ولا ينزلوا عن رقابها ويصالحوا عنها بخراج يوضع عليها فهذا الخراج جزية تؤخذ منهم ما أقاموا على شركهم وتسقط عنهم بإسلامهم ويجوز أن لا يؤخذ منهم جزية رقابهم ويجوز لهم بيع هذه الأرض على من شاءوا منهم أو من المسلمين أو من أهل الذمة فإن تبايعوها فيما بينهم كانت على حكمها في الخراج وإن بيعت على مسلم سقط عنه خراجها وإن بيعت على ذمي احتمل أن لا يسقط عنه خراجها لبقاء كفره واحتمل أن يسقط عنه خراجها بخروجه بالذمة عن عقده من صولح عليها ثم ينظر في هذا الخراج الموضوع عليها فإن وضع على مسائح الجربان بأن يؤخذ من كل جريب قدر من ورق أو حب فإن سقط عن بعضها بإسلام أهله كان ما بقي على حكمه ولا يضم إليه خراج ما سقط بالإسلام

بغية المسترشدين ص 271 (فائدة) حكم العرف والعادة حكم منكر ومعارضة لأحكام الله ورسوله صلى الله عليه وسلم وهو من بقايا الجاهلية فى كفرهم بما جاء به نبينا محمد عليه الصلاة والسلام بإبطاله فمن استحله من المسلمين مع العلم بتحريمه حكم بكفره وارتداده واستحق الخلود فى النار نعوذ بالله من ذلك إهـ فتاوى بامخرمة ومنها تجب أن تكون الأحكام كلها بوجه الشرع الشريف وأما أحكام السياسة فما هى إلا ظنون وأوهام فكم فيها من مأخوذ بغير جناية وذلك حرام وأما أحكام العادة والعرف فقد مر كفر مستحله ولو كان موضع من يعرف الشرع لم يجز له أن يحكم أو يفتى بغير مقتضاه فلو طلب أن يحضر عند حاكم يحكم بغير الشرع لم يجز له الحضور هناك بل يأثم بحضوره. اهـ

بغية المسترشدين ص 271 (مسألة ك) من الحقوق الواجبات شرعا على كل غنى وحده من ملك زيادة على كفاية سنة له ولممونه ستر عورة العارى وما يقى بدنه من مبيح تيمم وإطعام الجائع وفك أسير مسلم وكذا ذمى بتفصيله وعمارة سور بلد وكفاية القائمين بحفظها والقيام بشأن نازلة نزلت بالمسلمين وغير ذلك إن لم تندفع بنحو زكاة ونذر وكفارة ووقف ووصية وسهم المصالح من بيت المال لعدم شىء فيه أو منع متوليه ولو ظلما فإذا قصر الأغنياء عن تلك الحقوق بهذه القيود جاز للسلطان الأخذ منهم عند وجود المقتضى وصرفه فى مصارفه.

إسعاد الرفيق الجزء الثاني ص 57(ومن معاصي البطن أكل الربا –إلى أن قال- (و) منها أكل ما يذخل على الشخص بسب (المكس) وهو ما ترتبه الظلمة من السلاطين فى أموال الناس بقوانين ابتدعوها، وقد عد في الزواجر جباية المكوس والدخول في شيء من توابعها كالكتابة عليها إلا بقصد حفظ حقوق الناس إلى أن ترد عليهم ان تيسر من الكبائر. قال فيها : هو داخل في آية "إنما السبيل على الذين يظلمون" الأية. والمكس بسائر أنواعه من جاني المكس وكاتبه وشاهده ووازنه وكائله وغيرها من أكبر أنواع الظلمة بل هو منهم...

العزيز الجزء السادس ص 223 (تعليق)قال النووي في زيادته : وليس للإمام ولا غيره من الولاة أن يأخذ ممن يرتفق بالجلوس والبيع ونحوه في الشوارع عوضا بلا خلاف وتعقبه البكري في حاشيته على الروضة فقال قال الشيخ البلقيني ما نصه في النهاية في آخر باب الشفعة عن أبي إسحاق المروزي أنه قال ثلاث مسائل أخالف فيها الأصحاب المصلحة عن حق الشفعة وحد القدف ومقاعد الأسواق منع أصحابي أخذ العوض في هذه الأسباب وأنا أجوز أخذ العوض عنها. انتهى فيرد هذا نفي الخلاف

تحفة المحتاج وحواشي الشرواني الجزء الثامن ص 30 دار الكتب العلمية(فصل) في بيان حكم منفعة الشارع وغيرها من المنافع المشتركة (منفعة الشارع) الأصلية (المرور) فيه لأنه وضع له (ويجوز الجلوس) والوقوف (به) ولو لذمي (لاستراحة ومعاملة ونحوهما) كانتظار (إذا لم يضيق على المارة) لخبر {لا ضرر ولا ضرار في الإسلام} وصح النهي عن الجلوس فيه لنحو حديث {إلا أن يعطيه حقه من غض بصر وكف أذى وأمر بمعروف}(ولا يشترط) في جواز الانتفاع به ولو لذمي (إذن الإمام) لإطباق الناس عليه بدون إذنه من غير نكير وسيأتي في المسجد أنه إذا اعتيد إذنه تعين فيحتمل أن هذا كذلك ويحتمل الفرق بأن من شأن الإمام النظر في أحوال العلماء ونحوهم دون الجالسين في الطرق ولا يجوز لأحد أخذ عوض ممن يجلس به مطلقا ومن ثم قال ابن الرفعة فيما يفعله وكلاء بيت المال من بيع بعضه زاعمين أنه فاضل عن حاجة الناس لا أدري بأي وجه يلقى الله تعالى فاعل ذلك (قوله : مطلقا) أي سواء أكان ببيع أم لا لاستدعاء البيع تقدم الملك وهو منتف ولو جاز ذلك لجاز بيع الموات ولا قائل به نهاية ومغني ( قوله : زاعمين أنه ) أي ما أخذوا عوضه . ا هـ . ع ش والأولى أي ذلك البعض.

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

"seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber kepada kepentingan mereka".

Guna mencapai suatu masyarakat yg adil dan makmur,maka pemerintah perlu mengadakan penataan dan pemberdayaan disegala bidang.oleh karena itulah butuh yg dinamakan keuangan negara.Telah diterangkan dalam Al-qur'an bahwa Allah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk,atas nama Allah,memungut uan dari rakyat yang mampu sebagai sumbepu utma keuangan negara.Dalam istilah syariat,pajak atas warga negara muslim disebut "zakat" dan bagi warga negara non muslim disebut "jizyah".

خذ من اموالهم صدقة تطهرهم و تزكيهم التوبة : ١٠٣

قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الاخر........حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرونالتوبة : ٣٠

Dengan demikian dalam pandangan islam,uang negara pada hakekatnya adalah uang Allah yg diamanatkan kepada pemerintah/negara,bukan untk penguasa melainkan untk ditasarufkan bg sebesar-besarnya kemaslahatan seluruh rakyat.

انما الصدقات للفقراء والمساكن و العاملين..........التوبة : ٦٠

Dgn demikian,pajak adalah suatu kewajiban,maka sbg warga yg baik,taatilah pajak...