BOLEHKAH SHALAT ‘ID DUA KALI?
Pada masa kini kadang kala terjadi perbedaan pendapat antara satu organisasi Islam dengan organisasi Islam yang lainnya, dalam menentukan tibanya hari raya (‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha). Sehingga ada sebuah keluarga yang mudik kemudian shalat ‘Id lebih dulu dari pada orang tuanya kemudian keesokan harinya ia shalat ‘Id lagi karena tidak enak hati dan menghormati orang tuanya. Bolehkah dua kali melaksanakan shalat ‘Id ?
Sebagian orang buru-buru menjawab : “Yah itu urusan masing-masing”. Memang, pada zaman sekarang masalah agama menjadi uruasan masing-masing. Namun tidak ada salahnya jika sikap kita bukan berlandaskan logika semata melainkan perlu memahami duduk perkaranya dan mengetahui landasan atau alasan masing-masing.
Sebenarnya hal ini tidak akan menjadi persoalan jika umat Islam sepakat mengakui pemerintah sebagai Ulil Amri yang berhak menetapkan perbedaan yang timbul. Karena Al-Qur’an pun memerintahkan agar mentaati ulil amri :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa’ [4] : 59)
Ada yang menyahut : “Ulil Amri yang bagaimana dulu?” Ya, ya karena pada zaman sekarang ini berbeda dengan zaman khalifah muslim dulu, dimana zaman dulu, ulil amri mendapat legitimasi untuk memutuskan perkara politis sekaligus juga masalah agama. Sedangkan zaman sekarang, akibat dari konsep sekuler yang memisahkan antara agama dan politik, (hal ini mengikuti pada perkataan kitab kaum non-muslim yang mengatakan berikan hak raja untuk raja dan hak pendeta untuk pendeta) maka wajar jika pemerintah pada zaman sekarang tidak digugu tidak dituruti dalam mengatur masalah agama. Karena agama zaman saekarang adalah urusan pribadi, paling maksimal agama adalah urusan masing-masing jama’ah dan organisasi. Dengan logika sekuler ini, keputusan soal agama adalah hak asasi tiap pribadi, dan paling maksimal ia akan menuruti tokoh masyarakat, imam masjid, keputusan jama’ah atau organisasi.
Maka jangan menggerutu dan menyalahkan orang yang tidak mau mengikuti pemerintah dalam masalah agama karena toh kita juga yang menyepakati konsep sekularisme ini. Di satu sisi mereka mengatakan “jangan campur adukkan antara agama dan politik” lalu “negara kita bukan negara agama” namun di sisi lain menuntut umat agar manut dan nurut pada pemerintah dalam masalah agama? Ya plin-plan namanya. Baiklah, pembahasan masalah ulil amri ini kita bahas kapan-kapan saja.
Kembali pada soal perbedaan pendapat dalam penentuan waktu hari Raya, hal ini telah terjadi sejak zaman Rasulullah s.a.w. namun pada masa itu, beliau s.a.w. menjadi pemimpin negara Madinah, sekaligus sebagai pemimpin spiritual atau agama. Sehingga masalah perbedaan ini selesai dan diputuskan oleh Rasulullah s.a.w. dan semua pihak tidak ada yang menyempal atau bertindak semaunya sendiri. Dalam sebuah hadits diceritakan sekelompok orang bersaksi melihat hilai (akhir Ramadhan) lalu Rasulullah s.a.w pun memutuskan untuk menetapkan akhir Ramadhan atau awal 1 syawal aman damai tak ada perbedaan dalam hal ini :
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ja’far bin Abu wahsyiyah dari Abu ‘Umair bin Anas dari paman-pamannya yang juga sahabat Rasulullah s.a.w. bahwa suatu rombongan datang kepada Nabi s.a.w., mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka beliau memerintahkan mereka (masyarakat) untuk berbuka puasa, dan keesokan harinya, mereka berpagi-pagi menuju ke tempat shalat (untuk melaksanakan shalat hari raya Idul Fitri).” (H.R. Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, serta Khalaf bin Hisyam Al Muqri`, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Manshur dari Rib’i bin Hirasy dari seorang sahabat Nabi s.a.w., ia berkata; orang-orang berselisih mengenai akhir hari Ramadhan. Kemudian terdapat dua orang badui yang datang dan memberikan persaksian di hadapan Nabi s.a.w. dengan nama Allah, sungguh mereka telah menyaksikan Hilal ( 1 syawal) kemarin sore. Kemudian Rasulullah s.a.w. memerintahkan orang-orang agar berbuka. Khalaf menambahkan dalam haditsnya; dan agar mereka pergi ke lapangan. (H.R. Abu Daud No. 1992) Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini shahih
Namun setelah Rasulullah s.a.w. wafat perbedaan dalam menentukan waktu ini pun terjadi perbedaan pendapat dan masing-masing boleh berpegang pada pendapatnya. Hal ini misalnya terjadi perbedaan antara Ibnu Abbas r.a. yang berada di Madinah dengan Mu’awiyyah yang kala itu menjabat sebagai gubernur wilayah Syam :
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ja’far, telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abu Harmalah, telah mengabarkan kepadaku Kuraib, bahwa Ummu Al Fadhl binti Al Harits telah mengutusnya pergi kepada Mu’awiyah di Syam. Ia berkata; aku datang ke Syam, dan menunaikan keperluannya, kemudian telah nampak hilal Ramadhan sementara aku berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku. -kemudian ia menyebutkan hilal. Kemudian Ibnu Abbas berkata; kapan kalian melihat hilal? Aku katakan; aku melihatnya pada malam Jum’at. Ia berkata; apakah engkau melihatnya? Aku katakan : “ya, dan orang-orang pun melihatnya”. Mereka berpuasa dan Mu’awiyah pun berpuasa. Ibnu Abbas berkata : “ Akan tetapi kami melihatnya pada malam sabtu, dan kami masih berpuasa hingga kami menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihat hilal”. Aku (Kuraib) katakan; tidakkah engkau cukup dengan (ru`yah) yang dilihat Mu’awiyah dan puasanya? Ia (Ibnu Abbas) berkata : “ tidak, demikianlah Rasulullah s.a.w. memerintahkan kami”. (H.R. Abu Daud No. 1985 Muslim No. 1918, Nasa’i No. 2084, Ahmad No. 2653)
Hadits di atas ada yang menafsirkan bahwa wilayah yang berjauhan memiliki ketetapan sendiri karena posisi kemunculan bulan berbeda. Inilah yang dimaksud dengan perkataan mengapa ia tidak mengikuti ru’yat Mu’awiyah ? Ibnu Abbas menjawab : Tidak. Demikianah Rasulullah s.a.w. memerintahkan kami. Maknanya adalah orang Madinah tidak melihat hilal, adapun Mu’awiyah melihat hilal di wilayah Syam tidak bisa dipakai sebagai patokan bagi penduduk Madinah. Maka yang utama adalah melihat hilal tersebut pada masing-masing wilayah. Maka perbedaan ini dibolehkan jika wilayahnya jauh.
Namun pada zaman sekarang ini perbedaan terjadi pada wilayah yang sama bahkan satu kota yang sama bisa melaksanakan shalat Id dua kali. Bolehkah ini dilakukan ?
Boleh Melaksanakan Shalat ‘Id Keesokan Harinya
Menyikapi perbedaan waktu hari raya, sebenarnya ada beberapa alternatif. Belum tentu ia harus melaksanakan shalat ‘Id dua kali, karena sebenarnya walaupun seseoran meyakini hari raya jatuh pada hari ini, shalat ‘Idul fitri boleh ditunda beberapa hari esoknya. Apalagi jika hari raya ‘Idul Adha maka shalat ‘Id bisa dilaksanakan sampai 3 hari berikutnya (hari tasyrik).
Jika kita melihat hilal pada sore hari menjelang maghrib pada hari ini, maka malamnya kita melakukan takbir dan keesokan harinya kita melaksanakan shalat ‘Id.
Telah menceritakan kepada kami Isma’il telah mengabarkan kepada kami Ayyub dari Nafi’ dari Ibnu Umar ia berkata, ” Abdullah bin Umar mengutus seseorang untuk melihat hilal, bila hilal terlihat maka besok berarti hari Ied, namun bila tidak terlihat (hilal) dan tidak ada mendung ataupun asap yang menutupi pandangannya, maka keesokan harinya ia berbuka (tidak berpuasa), namun bila ada mendung atau asap yang menutupi pandangannya maka pada keesokan harinya ia berpuasa.” (H.R. Ahmad No. 4258)
Namun suatu ketika Rasulullah s.a.w. pernah baru mengetahui bahwa kemarin sudah terlihat hilal, berarti seharusnya hari ini sudah melaksanakan shalat ‘Id namun beliau masih berpuasa karena tidak tahu. Maka hari itu beliau memerintahkan berbuka dan baru pada keesokan harinya lagi melaksanakan shalat ‘Id. Ini berarti shalat ‘Id di adakan selang 2 hari setelah terlihatnya hilal (kemarin lusa).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Bisyr dari Abu Umair bin Anas dari kebanyakan para sahabat Nabi s.a.w. bahwa serombongan orang datang kepada Nabi s.a.w., kemudian mereka bersaksi bahwa mereka kemarin melihat hilal, lalu beliau menyuruh orang-orang untuk berbuka dan agar besoknya mereka keluar (untuk shalat id).” Syu’bah berkata; “Aku mengiranya saat itu terjadi di akhir siang (sore).” (H.R. Ahmad No. 19670 No. 19675) Hadits ini munkar karena tidak disebutkan atau tidak jelas Umair bin Anas mendengar dari sahabat siapa sampai kepada Nabi s.a.w.
Namun hadits di atas mendapat syahid (kesaksian) yang menguatkan dari hadits lain yang lebih shahih
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Umair bin Anas bin Malik ia berkata; telah menceritakan kepadaku paman-pamanku dari kalangan Anshar -mereka adalah para sahabat Rasulullah s.a.w. mereka berkata, “Kami tidak dapat melihat hilal bulan Syawal, maka pada pagi harinya kami masih berpuasa, lalu datanglah kafilah di penghujung siang, mereka bersaksi di sisi Nabi s.a.w. bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah s.a.w. pun memerintahkan mereka berbuka, dan keluar untuk merayakan hari rayanya pada hari esok. ” (H.R. Ibnu Majah No. 1643 Abu Daud No. 977) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadist ini shahih.
Telah mengabarkan kepada kami ‘Amr bin ‘Ali dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yahya dia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr dari Abu ‘Umair bin Anas dari bibinya, bahwa ada suatu kaum yang melihat hilal (bulan Sabit, masuknya bulan Syawal), lalu mereka datang kepada Rasulullah s.a.w.. Kemudian beliau s.a.w. memerintahkan mereka untuk berbuka puasa setelah hari agak siang dan keluar ke tempat shalat Id (hari raya) besoknya. (H.R. Nasa’i No. 1539)
Hal ini karena Rasulullah s.a.w. baru mendengar (bahwa kemarin sore sudah muncul hillal) pada siang atau sore hari sehingga tidak memungkinkan melaksanakan shalat ‘Id pada sore hari. Maka boleh melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan harinya lagi.
Maka berdasarkan hadits di atas mayoritas ulama berpendapat boleh menunda melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan harinya lagi (2 hari sejak terlihatnya hilal) (Lihat Ad-Durr Al Mukhtar Jilid 1 hal 782, Tabyiin Al Haqaa’iq Jilid 1 Hal 226), Al Fatawa Al Hindiyah Jilid 1 Hal. 142, Al Muhadzdzab Jilid 1 Hal. 131, Al Mughni Al Muhtaaj Jilid 1 Hal 215, Al Mughni Jilid 2 Hal. 291 dan Kasysyaf Al-Qinaa’ Jilid 2 Hal 56)
Namun jika diketahuinya kabar terlihat nya hilal pada hari sebelumnya itu masih pagi hari maka harus dilaksanakan shalat ‘Id hari itu juga (Hasyiah Syarwani, Jilid III Hal. 55, Fiqhul Islam Jilid II Hal. 368)
Maka madzhab Maliki berpendapat tidak boleh melaksanakan shalat ‘Id pada keesokan harinya jika sudah mengetahui kemarin terlihat hilal dan hari ini bisa melakukan shalat ‘Id, kecuali hal itu terjadi seperti Rasulullah s.a.w. karena tidak tahu dan tidak memungkinkan melaksanakan shalat ‘Id pada hari itu karena sudah sore (Al-Qawaaniin Al-Fiqhiyyah hal. 85)
Boleh Melaksanakan Shalat Yang Sama Dua Kali
Boleh juga jika melaksanakan shalat ‘Id pada hari ini kemudian melaksanakan lagi shalat ‘Id pada hari berikutnya. Hal ini karena pertama, pada dasarnya shalat ‘Id itu masih bisa dilakukan selama beberapa hari ke depan. Kedua, karena jangankan shalat sunnah, shalat fardlu lima waktu pun boleh dilaksanakan beberapa kali misalkan untuk mendampingi orang lain agar dapat pahala shalat berjamaah. Hal ini pernah dilakukan pada zaman Rasulullah s.a.w. :
Suatu ketika Mu’adz pernah shalat Isya berjamaah dengan Rasulullah s.a.w. namun ketika kembali ke kaumnya ia mengimami lagi shalat berjamaah :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Ghundar berkata, telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari ‘Amru berkata, Aku mendengar Jabir bin ‘Abdullah berkata : “Mu’adz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi s.a.w., dia lalu kembali pulang dan mengimami kaumnya shalat ‘Isya “ (H.R. Bukhari No. 660)
Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu ‘Ajlan telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidulloh Bin Muqsim dari Jabir bin Abdullah “sesungguhnya Muadz Bin Jabal sholat isya’ bersama Rasulullah s.a.w., kemudian mendatangi kaumnya lalu sholat menjadi imam mereka sholat isya’ juga”. (H.R. Ahmad No. 13723)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Ma’n bin Isa dari Sa’id bin As-Sa`ib dari Nuh bin Sha’sha’ah dari Yazid bin Amir dia berkata : Saya pernah datang ke Masjid sementara Nabi s.a.w. dalam keadaan shalat. Saya lalu duduk dan tidak shalat bersama mereka. Lalu Rasulullah s.a.w. pergi dan melihat Yazid sedang duduk. Beliau bersabda: “Apakah kamu belum masuk Islam wahai Yazid.” Dia menjawab; Tentu wahai Rasulullah, saya telah masuk Islam. Beliau bersabda: “Lalu apa yang menghalangimu untuk shalat bersama jama’ah?” Dia menjawab; Saya telah shalat di rumahku dan saya menyangka kalian telah selesai shalat. Maka beliau bersabda: “Apabila kamu datang ke shalat jama’ah, lalu kamu mendapati orang-orang sedang shalat, maka shalatlah bersama mereka, meskipun kamu telah shalat, shalatmu itu sebagai nafilah (shalat sunnah) bagimu, dan yang ini (yang sebelumnya) menjadi yang wajib.” (H.R. Abu Daud No. 489 Ahmad No. 18209)
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim, Duhaim Ad Dimasyqi telah menceritakan kepada kami Al Walid telah menceritakan kepada kami Al Auza’i telah menceritakan kepadaku Hassan bin ‘Athiyyah dari Abdurrahman bin Sabith dari Amru bin Maimun Al Audi dia berkata; Mu’adz bin Jabal mendatangi kami sebagai utusan Rasulullah s.a.w. Dia (Mu’adz) berkata; Rasulullah s.a.w. pernah bersabda kepadaku: “Apa yang akan kalian lakukan apabila pemimpin kalian nanti melaksanakan shalat bukan pada waktunya?” Saya berkata; Apa yang engkau perintahkan kepadaku apabila aku mendapatinya wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Shalatlah pada waktunya, dan jadikanlah shalat kamu bersama mereka sebagai nafilah (tambahan).” (H.R. Abu Daud No. 368 Ad-Darimi No. 1200)
Pada hadits di atas disebutkan fatwa dari Rasulullah s.a.w. bahwa apabila penduduk suatu negeri semuanya terlambat shalat tidak tepat pada waktunya, maka shalat lah sendirian tepat pada waktunya kemudian boleh mengikuti shalat lagi berjamaah bersama penduduk negeri tersebut dan status shalatnya adalah sebagai nafilah (shalat sunnah).
Wallahua’lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar