Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 16 November 2019

Berhaji dengan harta HARAM


Hukum Haji dengan Uang Haram

Ulama berbeda pendapat ketika menentukan posisi kepemilikan harta dalam ibadah haji.

Apakah kepemilikan harta yang ada di tangan jamaah haji merupakan syarat sah haji. Dimana status keabsahan haji tergantung pada status kepemilikan harta. Sehingga jika harta ini dimiliki dengan cara yang tidak halal, maka haji tidak sah.

Ataukah keberadaan harta ini hanya syarat wajib hajib. Artinya, ketika seseorang bisa membiayai dirinya berangkat haji maka dia wajib haji. Terlepas dari sumber apapun dia mendapatkan biaya itu.

Pendapat pertama, hajinya sah, meskipun dia berdosa dengan menggunakan harta haram.

Ini merupakan pendapat Hanafiyah, Syafiiyah, dan salah satu pendapat dalam Malikiyah serta pendapat sebagian ulama hambali.

Mereka beralasan bahwa keberadaan harta, bukan syarat sah haji, namun syarat wajib haji. Karena inti haji adalah melaksanakan manasik sesuai yang dituntunkan. Dan ini tidak ada kaitannya dengan status harta yang digunakan untuk mendanai kegiatan itu.

Sebagaimana shalat tetap sah, sekalipun baju yang dikenakan hasil korupsi. Membaca al-Quran tetap sah, sekalipun mushaf yang dibaca hasil mencuri, dst.

Ketika hajinya dinilai sah, maka dianggap sudah menggugurkan kewajiban.

Ibnu Abidin menjelaskan berhaji dengan harta haram,

فقد يقال إن الحج نفسه الذي هو زيارة مكان مخصوص الخ ليس حراما بل الحرام هو إنفاق المال الحرام ولا تلازم بينهما كما أن الصلاة في الأرض المغصوبة تقع فرضا وإنما الحرام شغل المكان المغصوب لا من حيث كون الفعل صلاة

Alasan yang diberikan bahwa haji sendiri, yang kegiatannya mengunjungi tempat-tempat khusus, bukanlah amalan haram. Yang haram adalah penggunaan harta yang haram. Dan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Sebagaimana shalat di tanah ghasab (rampasan), dianggap menggugurkan kewajiban (sah). Namun yang haram adalah menggunakan tanah rampasan itu, dan bukan kegiatan shalatnya. (Hasyiyah Ibn Abidin, 2/456).

Dalam madzhab Malikiyah, al-Wansyarisi – ulama malikiyah – (w. 914 H) menjelaskan,

إذا حج بمال مغصوب ضمنه وأجزأه حجه، وهذا قول الجمهور

Ketika orang berhaji dengan harta hasil merampas, maka dia wajib ganti rugi, namun hajinya sah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. (al-Miyar al-Muarab, 2/44).

An-Nawawi – ulama syafiiyah – menjelaskan,

إذا حج بمال حرام، أوراكباً دابة مغصوبة أثم وصح حجه، وأجزأه عندنا، وبه قال أبو حنيفة ومالك والعبدري، وبه قال أكثر الفقهاء، وقال أحمد: لا يجزئه، ودليلنا أن الحج أفعال مخصوصة، والتحريم لمعنى خارج عنها

Orang yang berhaji dengan harta haram atau naik kendadaraan hasil merampas, maka dia berdosa dan hajinya sah serta telah menggugurkan kewajiban menurut kami. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, al-Abdari, dan pendapat mayoritas ulama. Sementara Imam Ahmad mengatakan, “Hajinya tidak sah.” Alasan kami (syafiiyah), bahwa haji merupaka amalan khusus. Sementara haramnya harta, itu faktor luar. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7/62).

Pendapat kedua, hajinya tidak sah.

Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali dan Malikiyah.

Karena biaya haji, bagian dari syarat sah pelaksanaan haji. Meskipun pada asalnya ini syarat wajib haji, namun syarat wajib dalam ibadah maliyah, sekaligus menjadi syarat sah.

Al-Wansyarisi menyebutkan keterangan sebagian ulama maliki,

وسئل بعضهم عمن حج بمال حرام، أترى ذلك مجزياً عنه، ويغرم المال لأصحابه؟ فأجاب: أما في مذهبنا فلا يجزئه، وأما في قول الشافعي فذلك جـائز، ويرد المـال، ويطيب له حجه

Sebagian ulama malikiyah ditanya tentang orang yang berangkat haji dengan harta haram, apakah menurut anda itu bisa menggugurkan kewajiban, dan wajib mengganti harta kepada pemiliknya?

Beliau menjawab,

Dalam madzhab kami, itu tidak sah. Sementara dalam madzhab as-Syafi’i, itu boleh. Dan dia wajib mengembalikan hartanya, dan berhaji dengan baik. (al-Mi’yar al-Muarab, 2/43).

Al-Wansyarisi juga menyebutkan keterangan Ibnul Muhriz,

الحج قربة، فلا ينفق فيه إلا الطيب من الكسب. فقد رُويَ عنه في الحديث صلى الله عليه وسلم أنه قال: مَنْ حَجَّ بمَالٍ حَرَام فَقَال لَبِّيْكَ نودي لا لّبَّيْك وَلاَ سَعْدَيك، فارجع مأزُوراً غَيْرَ مأجُورٍ

Haji itu ibadah. Karena itu, jangan didanai kecuali dari hasil yang halal. Diriwayatkan sebuah dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapa berhaji dengan harta haram, lalu dia bertalbiyah, “Labbaik..”  maka dijawab untuknya, “Tidak ada labbaik dan tidak ada sa’daik.., pulanglah dengan membawa dosa dan bukan pahala.”.’

(al-Mi’yar al-Muarab, 2/42)

Hadis yang dibawakan Ibnul Muhriz, disebutkan al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid, dan statusnya dhaif sekali.

Ibnu Rajab – ulama hambali – menjelaskan,

وأما الحج بالمال المغصوب ففي صحته روايتان فقيل لأن المال شرط لوجوبه وشرط الوجوب كشرط الصحة

Haji dengan harta hasil rampasan, tentang status keabsahannya, ada dua riwayat. Ada yang mengatakan, bahwa harta merupakan syarat wajib haji. Dan syarat wajib, seperti syarat sah. (al-Qawaid al-Fiqhiyah, hlm. 23)

Tarjih:

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa haji dengan harta haram hukumnya sah, telah menggugurkan kewajiban, meskipun sangat tidak berkualitas. Karena inti haji adalah aktivitas manasik selama masa haji, dengan aturan sebagaimana yang disebutkan dalam fiqh haji.

Selama jamaah haji melakukan semua aktivitas manasik itu dengan baik, memenuhi semua rukun, syarat dan tidak melakukan pembatal, maka hajinya sah.

Hanya saja kesimpulan ini tidak berkaitan dengan apakah hajinya diterima ataukah tidak. Karena yang dibahas dalam hal ini adalah apakah hajinya sah atau tidak. Jika sah, berarti telah menggugurkan kewajiban.

Sebaliknya, jika tidak sah, berarti belum menggurkan kewajiban.

Apakah diterima oleh Allah? Ini di luar pengetahuan manusia.

Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar