Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Selasa, 29 Desember 2020

Perut Mereka Tuhan2 nya

Merenungi kembali pesan2 baginda Rasulullah SAW:

سيأتي على الناس زمان بطونهم آلهتهم ونساؤهم قبلتهم ، ودنانيرهم دينهم ، وشرفهم متاعهم ، لا يبقى من الايمان إلا اسمه ، ومن الاسلام إلا رسمه ، ولا من القرآن إلا درسه ، مساجدهم معمورة ، وقلوبهم خراب من الهدى ، علماؤهم أشر خلق الله على وجه الأرض . حينئذ ابتلاهم الله بأربع خصال : جور من السلطان ، وقحط من الزمان ، وظلم من الولاة والحكام ، فتعجب الصحابة وقالوا : يا رسول الله أيعبدون الأصنام ؟ قال : نعم ، كل درهم عندهم صنم  .

Akan datang suatu zaman atas manusia. Perut-perut mereka menjadi Tuhan-tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar (uang) mereka menjadi agama mereka. Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka. Waktu itu, tidak tersisa iman sedikit pun kecuali hanya namanya saja. Tidak tersisa Islam sedikit pun kecuali ritual-ritualnya saja. Tidak tersisa Al-Quran sedikit pun kecuali pelajarannya saja. Masjid-masjid mereka makmur, akan tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi. Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka berbagai bencana : Kekejaman para penguasa, kekeringan masa, dan kekejaman para pejabat serta pengambil keputusan."
Maka takjublah para sahabat mendengar pembicaraan Nabi. Mereka bertanya, "Wahai Rasul Allah, apakah mereka ini menyembah berhala ?"
Nabi menjawab, "Ya ! Bagi mereka, setiap serpihan dan kepingan uang menjadi berhala”

سيأتي على الناس زمان همتهم بطونهم و شرفهم متاعهم و قبلتهم نساؤهم و دينهم دراهمهم و دنانيرهم . أولئك شر الخلق لا خلاق لهم في الأخرة .

Akan tiba suatu zaman atas manusia dimana perhatian (obsesi) mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya pada kekayaan (benda) semata, kiblat mereka hanya urusan wanita (seks) dan agama mereka adalah uang (harta, emas dan perak). Mereka adalah makhluk Allah swt yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian di sisi Allah swt di akhirat kelak. (HR. Ad-Dailami)

عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (من كانت الدنيا همه، فرق الله عليه أمره، وجعل فقره بين عينيه، ولم يأته من الدنيا إلا ما كتب له. ومن كانت الآخرة نيته، جمع الله له أمره، وجعل غناه في قلبه، وأتته الدنيا وهي راغمة).

Dari Zaid bin Tsabit ra berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: 'Siapa saja menjadikan dunia sebagai cita-cita besar (obsesi, orientasi) hidupnya, maka Allah cerai beraikan urusannya. Dia jadikan kemiskinan di depan matanya. Dunia pun tidak menghampirinya, kecuali hanya apa yang telah ditetapkan kepadanya. Sebaliknya, siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai orientasinya (obsesinya), Allah kumpulkan untuknya urusannya. Dia jadikan kaya dalam hatinya. Dunia pun menghampirinya, dengan tunduk dan patuh kepadanya.

Minggu, 27 Desember 2020

HAID TIDAK SETABIL

Ketika darah haid keluar tidak stabil

Kaum perempuan tentu tidak bisa terlepas dari menstruasi atau haid. Dari kebiasaan itu, bukan tidak mungkin perempuan juga mengalami dilema karena haid yang tidak stabil, alias darah haidnya terputus-putus saat menghadapi kewajiban berpuasa Ramadan.

Di luar hal itu seorang perempuan biasanya akan tahu berapa lama kebiasaan haidnya jika sudah mengalami tiga kali haid secara teratur.

Dalam ilmu fikih, sebenarnya yang dijadikan parameter bukanlah tanggal haidnya, tapi jumlah hari haidnya atau berapa lama haidnya dalam rentang waktu sebulan itu. Misal 6 hari, 7 hari, 8 hari, atau 15 hari (masa maksimal haid).

Jika lebih dari 15 hari, maka darah tersebut sudah dianggap sebagai istihadoh dan seorang perempuan wajib untuk menunaikan salat.

Lalu, bagaimana dengan perempuan yang darahnya terputus putus atau haidnya tidak teratur? Misalnya, si A biasanya haid 8 hari, tetapi di hari ke 4, 5, dan 6 darah haidnya berhenti, kemudian ia bersuci.

Namun di hari 7 setelah ia bersuci ternyata darahnya masih keluar lagi, bahkan melebihi jumlah hari kebiasaan haidnya, yaitu 10 hari. Bagaimanakah hukumnya?

Dalam hal ini jumhur ulama memiliki pandangan pendapat yang berbeda-beda:

Menurut madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam kitab Risalatul Mahid, jika darah terputus-putus, maksudnya darah berhenti lalu keluar lagi, itu masih termasuk dalam haid.

Jadi, dalam madzab ini walaupun darahnya terputus atau berhenti lalu ia suci kemudian ternyata darahnya keluar lagi, semua masa itu dianggap haid. Asalkan masih dalam rentang waktu 15 hari.

Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak ditemukan lendir putih. Jika masa tersebut dijadikan sebagai keadaan suci, berarti darah yang keluar sebelum dan sesudah suci tersebut termasuk kategori haid.

Sedangkan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian, pasti masa iddah dengan perhitungan quru’ (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Selain itu, akan merepotkan dan menyulitkan perempuan, karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari, padahal syariat tidaklah menyulitkan.

Menurut Madzhab Hanafi, perempuan yang mengalami darah haid terputus, lalu beberapa hari kemudian ternyata darahnya keluar lagi, maka darah kedua ini masih dianggap darah haid juga.

Dengan syarat darah keduanya keluar dalam rentang waktu 10 hari (maksimal haid menurut imam hanafi).

Yang membedakan antara Madzhab Syafii dan Hanafi adalah pada masa terputusnya darah itu, perempuan tersebut wajib melaksanakan shalat, karena dianggap suci.

Jika darah haidnya keluar lagi dalam rentang waktu 15 hari, maka ia dianggap haid dan tidak boleh menunaikan shalat. Pendapat Madzhab Hanafi ini juga sesuai dengan Madzhab Maliki.

Adapun menurut Madzhab Hambali, jika darah keluar berarti darah haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah darah Istihadhah.

Dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah menyebutkan,

"Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang disebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar, sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi perempuan pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu itu akan menyulitkan, padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “… dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu agama suatu kesempitan …” (QS. Al Hajj : 78)."

ALLAHU A'LAM

HAID TIDAK TERATUR

Empat Pendapat Shalatnya Perempuan yang Haid tak Teratur

Sebagian perempuan mengalami siklus haid tidak teratur. Kondisi tubuh tidak stabil atau sakit membuat perempuan bisa tak haid dalam beberapa bulan. Misal saja etelah melahirkan.Kemungkinan haid baru datang setelah enam bulan.

Ada pula yang mengalami masa haid sudah berhenti,selang beberapa hari darah tersebut keluar lagi. Padahal darah itu keluar masih dalam satu fase haid dan di bulan yang sama. Dalam kondisi tersebut, bagaimana shalat mereka?
Perempuan dengan siklus haid teratur diistilahkan dengan mu'taadah. Walau setiap wanita berbeda-beda masa haidnya, namun masa siklus haidnya tetap sama. Misalnya, setiap masa haid ia mengalami haid selama enam hari, tujuh hari, dan seterusnya. Cara menyimpulkannya dengan mengkalkulasikannya selama tiga kali haid.  Jika lamanya haid selalu stabil dan teratur, maka ia tergolong pada wanita mu'taadah.
Siklus perempuan mu'taadah inilah yang disepakati ulama fiqh. Jika darah haidnya telah yakin berhenti, kewajiban shalat langsung dibebankan kepadanya. Di hari akan berakhirnya masa haid, dia harus teliti dengan darah haidnya agar tidak melalaikan shalat. Jika darah haidnya sudah berhenti, ia harus segera mandi dan mendirikan shalat.
Yang menjadi perbedaan ulama adalah wanita yang tidak memiliki siklus haid teratur. Perempuan seperti ini pada dasarnya dianjurkan untuk berobat agar bisa menjalani siklus haid sesuai fitrah kaum perempuan. Dari segi kesehatan, haid yang tidak teratur bisa menjadi indikasi adanya gangguan reproduksi. Dari segi fiqh, ia akan mudah menentukan masa suci dan haid yang bersangkutan dengan ibadahnya.
Beberapa kasus haid tidak teratur seperti perempuan yang awalnya memiliki masa haid teratur, namun di fase berikutnya tidak teratur lagi. Ada yang mengalami berhentinya haid di tengah-tengah waktu kebiasaan. Setelah ia bersuci ternyata keluar lagi. Adapula yang darahnya masih keluar padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid. Berikut pandangan para imam mazhab tentang hukum shalat bagi perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur.

Mazhab Hanafi
Persoalan tentang haid tak teratur menuai berbagai pendapat para ulama fiqh. Dalam mazhab Hanafi, istilah mu’tadah berpatokan pada kebiasaan masa haid. Di luar kebiasaan tersebut, darah yang keluar adalah istihadhah. Darah istihadhah tetap mewajibkan wanita untuk shalat dan tidak menghalanginya untuk beribadah. Istihadhah bisa disebabkan penyakit dan tidak akan berhenti mengalir sampai reproduksinya sembuh.
Mazhab Hanafi meyakini, darahnya yang keluar setelah masa kebiasaan haid termasuk darah istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid tujuh hari setiap bulannya. Kemudian, pada satu masa haid selanjutnya darahnya masih tetap mengalir. Maka darah yang keluar setelah hari ketujuh tersebut dianggap istihadhah.
Namun jika masa haid si wanita lebih dari 10 hari setiap bulannya, maka Mazhab Hanafi berpendapat bahwa haid hanya 10 hari pertama saja. Darah yang keluar di hari ke-11 dan selanjutnya juga dihukum istihadhah. Mazhab Hanafi berdalil dari kebiasaan kaum wanita yang mana haidnya tidak akan lebih dari 10 hari 10 malam.
Bagaimana jika darah haid terputus di tengah-tengah masa haid kemudian keluar lagi? Menurut mazhab Hanafi, darah yang keluar kedua juga dianggap darah haid, bukan istihadhah. Namun tetap berpatokan pada kaidah masa haid 10 hari. Jika darah kedua lewat dari 10 hari, maka hari ke-11 kembali dihukum istihadhah.
Di masa haid tersebut terputus, Mazhab Hanafi tetap mewajibkan shalat bagi wanita. Misalkan, haid dimulai tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti di tanggal 5-6. Tanggal 7-9 darah tersebut keluar lagi. Wanita tetap diwajibkan shalat di tanggal 5-6 saat darah berhenti.

Mazhab Maliki
Pandangan Mazhab Maliki agak mirip dengan Mazhab Hanafi. Menurut Mazhab Maliki, apabila darah keluar di hari pertama, lalu terputus, kemudian keluar lagi. maka darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid.
Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari. Karena menurut mazhab ini, masa suci minimal adalah 15 hari. Sama seperti mazhab Hanafi, ketika haid terputus selama beberapa hari ini si wanita tetap diwajibkan shalat.
Secara umum, mazhab Hanafi dan Maliki hampir sama soal terputusnya darah di tengah-tengah masa haid. Perbedaannya, mazhab Hanafi menyebut minimal masa haid adalah tiga hari dan maksimal 10 hari. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan mu’tadah.

Mazhab Syafii
Dalam mazhab Syafi'i, masa haid yang terputus tetap dianggap sebagai satu rangkaian masa haid. Syaratnya, sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid, yakni 15 hari. Mazhab Syafi'i juga mensyaratkan darah pertama keluar sudah mencapai waktu sehari semalam. Demikian diterangkan dalam kitab Mughni al-Muhtaj (1/119).
Contohnya, seorang wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus di tanggal 5-7. Haidnya kembali keluar tanggal 8-12. Maka dari tanggal 1 sampai 12 dianggap keseluruhnya dalam keadaan haid. Artinya, ia tidak perlu shalat ketika haidnya terputus.

Mazhab Hambali
Dalam mazhab Hambali,apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus atau tidak, maka ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci.
Sementara, jika darahnya keluar lagi, maka berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. Demikian diterangkan dalam kitab al-Kaafi (1/186). Wallahu a'lam

DARAH TERPUTUS PUTUS

Darah Terputus-putus; Antara Haid & Istihadlah

Banyak wanita mengeluh karena siklus haid yang kadang tidak teratur. Tak jarang ada yang mengalami haid beberapa hari, kemudian berhenti darahnya, lalu selang beberapa hari keluar lagi, padahal masih dalam satu fase haid dan di bulan yang sama.

Ada pula wanita yang sudah terbiasa haid teratur dan stabil tapi tiba-tiba berubah menjadi tidak teratur karena sebab tertentu, misalnya habis melahirkan, atau sedang memakai alat kontrasepsi.

Wanita Dengan Siklus Haid Teratur

Dalam ilmu Fiqih ada istilah Mu’taadah, artinya: Wanita yang punya kebiasaan haid yang stabil dan teratur. Patokannya bukan tiap tanggal berapa dia haid setiap bulannya, akan tetapi berapa hari lamanya mengalami haid setiap bulannya.

Setiap wanita Mu’tadah berbeda mengenai berapa lama kebiasaan haidnya, ada yang biasa mengalami haid 6 hari, ada yang terbiasa 7 hari, 8 hari, atau mungkin 10 hari di tiap bulannya. Biasanya, wanita akan tahu kebiasaannya apabila sudah mengalami 3 kali haid dan setiap haid itu durasinya selalu stabil dan teratur.

Seluruh ulama ahli Fiqih sepakat jika darah Mu’tadah sudah tidak keluar lagi sebelum kebiasaan masa haidnya berakhir, maka wanita ini sudah suci dan boleh menunaikan shalat. Jika wanita terbiasa mengalami haid selama 6 hari, sedangkan pada satu waktu haid darahnya sudah berhenti di hari ke-4 dan tidak keluar lagi, maka ia sudah masuk masa suci mulai sejak berhentinya darah.

Akan tetapi dalam kondisi demikian, para ulama berbeda pendapat mengenai bolehnya jima’ dengan suami. Menurut jumhur (mayoritas) ulama fiqih dari madzhab Maliki, Syafi'i dan Hambali ia sudah boleh berjima dengan suaminya, karena memang sudah suci. Walaupun ulama dari kalangan madzhab Hanafi belum membolehkan itu sampai berlalu masa kebiasaan haidnya untuk ihtiyath atau berhati-hati. (lihat al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, jilid 18, hal. 304)

Wanita Dengan Siklus Haid Tidak Teratur

Bagaimana dengan para wanita yang siklus haidnya tidak teratur? Bisa jadi teratur di satu fase, tapi bisa jadi di waktu-waktu berikutnya tidak teratur lagi. Banyak yang mengalami berhentinya darah di tengah-tengah waktu kebiasaan, kemudian setelah bersuci ternyata keluar lagi. Adapula yang darahnya masih keluar padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid.

Berikut ini Penulis akan jelaskan pendapat para ulama Fiqih mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas:

a. Madzhab Hanafi

Madzhab hanafi sangat menggaris bawahi istilah Mu’tadah dan bukan Mu’tadah dalam menentukan darah haid dan istihadhah. Menurut madzhab ini, Mu’tadah yang darahnya keluar melewati masa kebiasaan haidnya maka dihukumi istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid 7 hari pada tiap bulannya, kemudian pada satu masa haid ternyata darahnya tetap mengalir di hari selanjutnya, maka darah yang keluar melewati 7 hari itu dianggap istihadhah.

Begitupula bila wanita terbiasa haid selama 6 hari, kalau tiba-tiba darahnya masih belum berhenti di hari ke-7 maka darah yang keluar di hari ke-7 dan selanjutnya itu dihukumi sebagai darah istihadhah.

Namun jika pada tiap bulannya ia terbiasa keluar haid melebihi 10 hari (misalnya terbiasa mengalami haid 11 hari atau 13 hari), maka yang dihukumi sebagai haid adalah 10 hari pertama, dan darah yang keluar melewati 10 hari dianggap istihadhah. Sebab  menurut madzhab ini masa maksimal keluarnya darah haid adalah 10 hari 10 malam. Maka darah yang keluar melewati batas 10 hari dihukumi istihadhah.

Bila darah terputus di tengah-tengah masa haid

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa wanita yang mengalami terputusnya darah haid, lalu beberapa hari kemudian darahnya keluar lagi, maka darah kedua ini dianggap darah haid juga. Dengan syarat darah kedua ini keluar di dalam masa rentang 10 hari (masa maksimal haid menurut madzhab ini)

Saat darah teputus, apakah wanita boleh shalat atau tidak?

Madzhab Hanafi mewajibkan wanita untuk menunaikan shalat di saat darahnya sedang berhenti keluar. Misalnya, bila wanita haid di tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti di tanggal 5-6, kemudian darah keluar lagi di tanggal 7-9. Pada kondisi ini, tanggal 1-4 dan tanggal 7-9 si wanita tidak boleh shalat karena sedang haid, sedangkan di tanggal 5-6 saat darah berhenti si wanita tetap wajib shalat.

b. Madzhab Maliki

Apabila darah keluar di hari pertama, lalu terputus, kemudian keluar lagi. Maka darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid. Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari (yakni masa minimal suci menurut madzhab ini).

Pada masa terputusnya / berhentinya darah itu, ia wajib melaksanakan shalat krna ia dianggap suci. Dan saat darah haid keluar lagi (dalam rentang masa 15 hari tersebut), maka ia kembali dianggap haid dan tidak boleh menunaikan shalat.

Misalnya, bila seorang wanita keluar haid di tanggal 1-5, kemudian darahnya terputus atau berhenti di tanggal 6-8, kemudian ternyata keluar lagi darahnya di tanggal 9-10. Maka, tanggal 1-5 dan tanggal 9-10 ia berada dalam keadaan haid, sedangkan tanggal 6-8 dianggap suci dan wajib melaksanakan shalat.

Teori dari madzhab Hanafi dan Maliki mengenai terputusnya darah di tengah-tengah masa haid agaknya hampir sama, hanya saja dua madzhab ini berbeda dalam menetapkan masa minimal dan maksimal haid.

Menurut Madzhab Hanafi, masa minimal haid adalah 3 hari, sedangkan maksimalnya adalah 10 hari. Sedangkan menurut madzhab Maliki, masa minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi Mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan Mu’tadah.

c. Madzhab Syafi'i

Ulama dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa darah yang berhenti kemudian keluar lagi dianggap seluruhnya satu 'paket' haid. Artinya, bahwa jika wanita haid mengalami masa terputusnya/berhentinya darah yang disusul keluarnya darah kedua, semua masa itu dianggap masa haid. Dengan syarat:

1. sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid (15 hari).

2. darah yang berhenti itu ada di antara 2 masa keluarnya darah yang sempat terputus.

3. darah pertama yang belum sempat terputus sudah keluar minimal sehari semalam. (Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 119)

Misalnya: bila wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus dan tidak keluar di tanggal 5-7, lalu darah keluar lagi di tanggal 8-12, maka dari tanggal 1 hingga tanggal 12 dianggap seluruhnya dalam keadaan haid. Konsekwensinya, selama 12 hari itu ia dilarang menunaikan shalat.

Madzhab ini sepertinya lebih memudahkan para wanita untuk menghitung hari-hari haidnya. Apalagi bagi wanita yang siklus haidnya tidak teratur.

d. Madzhab Hambali

Pendapat dar madzhab ini lebih sederhana, yakni apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus atau tidak, maka ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci. Dan jika darahnya keluar lagi pada rentang masa 'aadah atau kebiasaan haidnya, maka berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. (al-Kaafi juz 1 hal. 186)

Demikian pendapat dari masing-masing madzhab muktamad. Mudah-mudahan dapat membantu para muslimah dalam menentukan haid dan tidaknya. Hal ini penting, sebab dengan mengetahuinya, para muslimah dapat mengerti kapan ia harus melaksanakan ibadah-ibadah tertentu seperti shalat dan puasa, dan kapan ia tidak boleh melaksanakannya.

Wallahu A’lam Bisshawab.

Jalma Hasud Tidak Tenang


Kajian Kita pagi ini kita akan membahas Maqalah ke-14 pada bab ke 6 dalam kitab Nashoihul Ibad. Ada enam perkara yang dijelaskan oleh penulis kitab yang diangkat dari sebuah pernyataan dari Ahnaf bin Qays ra.  yang menyebutkan :


(و) المقالة الرابعة عشرة (قال احنف بن قيس رضي الله عنه : لا راحة للحسود )

            Perkara yang pertama di bahas dalam maqalah ini, sesuai dengan pernyataan Ahnaf bin Qays adalah : tidak ada sebuah keenakan bagi orang yang hasud. Keenakan yang dimaksud oleh Ahnaf bin Qays disini di jelaskan oleh Penulis kitab sebagai sebuah kenikmatan, kenyamanan atau ketentraman bagi seorang yang memiliki sifat hasud.

Artinya, orang yang memiliki sifat hasud tidak akan merasakan kenyamanan dan ketentraman dalam kehdupannya. Nikmat yang diberikan oleh Allah SWT tidak bisa dirasakan oleh seorang yang hasud. Sebab tidak pernah mensyukurinya.

Kemudian penulis memperkuat pendapat ini dengan pernyataan Abdul Mu’thi As-samlawi yang menuqil dari gurunya :

 قال عبد المعطي السملاوي نقلا عن شيخه البدر رحمه الله تعالى : يبلى الحسود بخمسة : حصول الذم له و حزن دائم وغلق باب التوفيق عليه ومصيبة دائمة لا اجر فيها و الغضب الشديد عليه من الله تعالى.

            “Akan rusak seorang yang hasud dengan 5 perkara : hasil dari celaan padanya, susah yang berkepanjangan, ditutupnya pintu pertolongan baginya, musibah berkepanjangan yang tidak ada pahala di dalamnya, dan murka Allah atas dirinya”

Jadi, jelas sudah bahwa tidak akan tentran hidup seorang yang memiliki sifat hasud di dalam hatinya. Bahkan dia akan rusak dengan perbuatannya sendiri serta mendapat murka Allah SWT.

ولا مروءة للكذوب) فالمروءة مراعاة الاحوال التي تكون على افضلها حتى لا يظهر منها قبيح عن قصد و لا يتوجه اليها ذم باستحقاق

            Yang kedua adalah tidak aka nada wibawa bagi seorang yang banyak berbohong. Wibawa yang dimaksudkan disini, dijelaskan sebagai dijaganya tingkah laku yang baik, sehingga tidak nampak perilaku buruk padanya dengan tidak merendahkan orang lain.

Artiya adalah bahwa seseorang yang suka berbohong tidak akan mendapat kehormatan ataupun wibawa di mata orang lain. Ini jelas, bahwa orang diketahui suka berbohong secara otomatis tidak akan dipercaya oleh orang lain. Saat itulah wibawanya akan hancur.

Diriwayatkan dari Nabi SAW :

 من عامل الناس فلم يظلمهم وحدثهم فلم يكذبهم ووعدهم فلم يخلفهم فهو ممن كملت مروءته وظهرت عدالته ووجبت اخوته.

            “Orang yang berbuat kepada manusia tanpa mendzalimi, yang berkata tanpa membohongi, yang berjanji tanpa mengingkari, maka dia termasuk dari orang-orang yang memiliki kehormatan yang sempurna, dan nampak jelas keadilannya. Maka wajib bagi kita untuk berkawan dengannya”

Dari hadis tersebut, semakin jelas bahwa orang yang sempurna wibawanya adalah mereka yang tidak suka dzalim, tidak suka berbohong dan tidak suka ingkar atas janji-janjinya.

 Kitab Nashoihul Ibad


ولاحيلة للبخيل) وحد السخاء بذل ما يحتاج اليه عند الحاجة وان يوصله الى مستحقه بقدرالطاقة. واذا كان السخاء محدودا, فمن وقف على حده سمي كريما وكان للحمد مستحقا, ومن قصر عنه كان بخيلا و كان للذم مستوجبا

            Yang ketiga adalah tidak adanya kekuatan bagi orang-orang yang bakhil (pelit). Adapun batasan-batasan orang bisa diaggap sebagai pemurah atau dermawan adalah ketika ia bisa memberikan apa yang dimiliki kepada orang lain berhak sedangkan ia masih membutuhkan.

Maksudnya adalah orang itu bisa dianggap dermawan ketika ia memiliki uang 100.000 (misal) dan dia masih punya kebutuhan dengan uang 100.000 tersebut. Tetapi, dia mau memberikan sebagian dari uang yang dimilikinya untuk membantu saudaranya yang membutuhkan.

Dan ketika seseorang sudah mencapai batasan dermawan tersebut, maka orang itu bisa disebut mulia, dan pujian berhak atasnya. Akan tetapi, jika belum sampai kepada batasan itu, bahkan jauh dari situ, maka dia termasuk kedalam golongan bakhil dan celaan pantas baginya.

. روي عن النبي ص.م انه قال : طعام الجواد دواء وكعام البخيل داء.

“Diriwayatkan dari Nabi SAW : Makanan orang yang dermawan adalah obat, dan makanan orang yang bakhil adalah penyakit”

 ولا وفاء للملوك ) لانه لا يستحي و لا يخاف من احاد الرعية)

            Perkara yang keempat adalah tidak akan mencukupi seorang ratu (penguasa). Karena ratu itu tidak mempunyai rasa malu dan takut kepada salah satu rakyatnya.

Jadi seorang ratu (pengguasa) tidak akan mampu memenuhi janjinya, ketika tidak memiliki malu dan takut kepada rakyatnya sama sekali.

 . روي انه صلى الله عليه وسلم قال  : صنفان من امتي ان صلحو صلحت الامة : الامراء و الفقهاء . رواه ابو نعيم

            “Dua golongan dari ummatku jika bagus maka bagus ummatku : pemerintah dan fuqoha’”

 . وروي انه صلى الله عليه وسلم قال : لن تهلك الرعية وان كانت ظالمة مسيئة اذا كانت الولاة هادية مهدية ولكن تهلك الرعية وان كانت هادية مهدية اذا كانت الولاة ظالمة مسيئة. رواه ابو نعيم.

            Diriwayatkan dari Nabi SAW : tidak akan rusak rakyat, meskipun rakyat tersebut dzalim dan berperilaku buruk selama pemerintah adalah orang yang menunjukkan dan diberi petunjuk. Tetapi akan rusak rakyat, meskipun termasuk golongan yang menunjukkan serta diberi petunjuk, jika pemerintahnya dzalim dan berperilaku buruk” (HR. Abu Nuaim)

 ولا سدود لسيئ الخلق ) روي انه صلى الله عليه وسلم قال : سوء الخلق شئم وشراركم اسوأكم  خلقا . رواه الخطيب)

            Yang kelima adalah tidak adanya kemulyaan bagi orang yang buruk akhlaknya. Diriwayatkan dari Nabi SAW : “Buruknya akhlak itu celaka, dan seburuk-buruknya kalian adalah yang menjelekkan akhlak”

و روي انه صلى الله عليه وسلم قال  احب عباد الله تعالى الى احسنهم خلقا. رواه الطبراني.

            Dan diriwayatkan dari Nabi SAW : “Hamba yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah yang bagus akhlaknya.” (HR. Tabrani)

و روي انه صلى الله عليه وسلم قال  : مكارم الاخلاق من اعمال الجنة . رواه الطبراني

            Dan diriwayatkan dari Nabi SAW : “Akhlak yang mulia adalah sebagian dari amal surga”

 

. انشدّ علي ابن ابي طالب رضي الله عنه :

ان المكارم اخلاق مطهرة # فالعقل اولها والدين ثانيها

والعلم ثالثها والحلم رابعها # والجود خامسها والعرف سادسها

والبر سابعها والصبر ثامنها # والشكر تاسعها و اللين عاشرها

            Berkaitan dengan akhlak yang mulia ini, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menjelaskan dalam sebuah sya’ir :

Sesungguhnya akhlak yang mulia itu membersihkan # Aqal yang pertama dan agama yang kedua

Ilmu yang ketiga dan murah hati yang keempat  # Dermawan yag kelima dan ‘Arif yang keenam

Berbuat kebaikan yang ketujuh dan sabar yang kedelapan # syukur yang kesembilan dan lemah lembut yang kesepuluh

Jadi menurut sayyidina Ali bin Abi Thalib, akhlak yang mulia akan membersihkan aqal, agama, ilmu kita, bisa mendatangkan kemurahan hati, kedermawanan, ke‘arifan, perbuatan baik, kesabaran, rasa syukur dan kelemah lembutan.

و لا راد لقضاء الله ) اي لتقديره الاشياء وارادته لها.)

            Yang keenam atau yang terakhir adalah tidak aka nada seseorang yang mampu menolak takadir Allah SWT.

Sabtu, 26 Desember 2020

MASBOQ SHALAT JUM'AT

Panduan bagi Orang yang Telat Shalat Jumat.

Idealnya, kita datang ke tempat pelaksanaan shalat Jumat sepagi mungkin. Namun, karena beberapa kendala, terkadang kita terlambat datang berjumatan, bahkan acap kali terlambat dalam pelaksanaan shalat Jumat. Persoalan yang dihadapi saat terlambat datang shalat Jumat, sangat kompleks. Kadang imam sudah dapat satu rakaat, terkadang sudah sampai tahiyyat akhir. Bagaimana panduan menjalankan shalat Jumat bagi orang yang terlambat datang?

Orang yang terlambat datang dalam pelaksanaan shalat Jumat disebut dengan masbuq, kebalikan dari makmum muwafiq.

Syekh Sa’id bin Muhammad Ba’isyun tentang definisi makmum muwafiq dan masbuq mengatakan:

هَذَا كُلُّهُ فِي الْمُوَافِقِ وَهُوَ مَنْ أَدْرَكَ مَعَ الْإِمَامِ قَدْرَ الْفَاتِحَةِ بِالنِّسْبَةِ اِلَى الْقِرَاءَةِ الْمُعْتَدِلَةِ لَا لِقِرَاءَةِ الْإِمَامِ وَلَا لِقِرَاءَةِ نَفْسِهِ عَلىَ الْأَوْجَهِ. اِلَى اَنْ قَالَ وَأَمَّا الْمَسْبُوْقُ وَهُوَ مَنْ لَمْ يُدْرِكْ مَا مَرَّ فِي الْمُوَافِقِ فِيْ ظَنِّهِ مِنَ الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى أَوْ غَيْرِهَا

Artinya: “Yang demikian tersebut berlaku untuk makmum muwafiq, yaitu makmum yang menemui durasi waktu membaca al-Fatihah bersama Imam sesuai dengan standar bacaan sedang, bukan bacaannya Imam dan makmum sendiri menurut pendapat al-aujah (yang kuat). Adapun masbuq yaitu orang yang tidak menemui kriteria yang disebutkan dalam makmum muwafiq sesuai dugaannya, baik di rakaat pertama atau lainnya.” (Al-Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’isyun, Busyra al-Karim bi Syarhi Masail al-Ta’lim, Jedah: Dar al-Minhaj, 2004, hal. 354-355).

Berkaitan dengan makmum masbuq dalam shalat Jumat, setidaknya ada dua perincian yang perlu dipahami sebagai berikut.

Pertama, masbuq yang menemui ruku’ rakaat yang kedua dari shalatnya imam.

Masbuq jenis ini sederhananya adalah makmum yang menemui satu rakaat bersama imam. Masbuq jenis pertama ini tergolong orang yang menemui rakaat shalat Jumat. Setelah imam salam, ia cukup menambahkan satu rakaat untuk menyempurnakan Jumatnya.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

(وَلَا تُدْرَكُ الْجُمُعَةُ إِلَّا بِرَكْعَةٍ ) لِمَا مَرَّ مِنْ أَنَّهُ يُشْتَرَطُ الْجَمَاعَةُ وَكَوْنُهُمْ أَرْبَعِيْنَ فِيْ جَمِيْعِ الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى فَلَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَى أَنْ يُسَلِّمَ أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ جَهْرًا وَتَمَّتْ جُمُعَتُهُ

Artinya: “Jumat tidak dapat diraih kecuali dengan satu rakaat, karena keterangan yang lampau bahwa disyaratkan berjamaah dalam pelaksanaannya serta jamaah Jumat berjumlah 40 orang dalam keseluruhan rakaat pertama. Dengan demikian, apabila makmum masbuq menemui ruku’ kedua dan berlanjut mengikuti imam sampai salam, maka ia menambahkan satu rakaat setelah salamnya imam dengan membaca keras dan telah sempurna jumatnya”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, juz.4, hal.359-360, cetakan Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan pertama tahun 2011 M).

Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Mahfuzh al-Termasi menambahkan keterangan sebagai berikut:

(قَوْلُهُ وَتَمَّتْ جُمُعَتُهُ) اَيِ الْمَسْبُوْقِ اَيْ لَمْ تَفُتْهُ فَفِي الْحَدِيْثِ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ رَكْعَةً فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ

Artinya: “Ucapan Syekh Ibnu Hajar "dan telah sempurna Jumatnya", maksudnya Jumat tidak terlewatkan dari makmum masbuq tersebut. Dalam hadits disebutkan, barangsiapa menemui dari shalat Jumat satu rakaat, maka ia menemui shalat Jumat, hadits riwayat imam al-Hakim dan beliau menshahihkannya.” (Syekh Mahfuzh al-Termasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah: Dar al-Minhaj-Jedah, 2011, juz 4, hal. 360).

Kedua, masbuq yang tidak menemui ruku’ rakaat yang kedua dari shalatnya imam.

Masbuq jenis kedua ini maksudnya adalah makmum yang sama sekali tidak menemui rakaatnya imam. Mengenai ketentuannya, ia wajib mengikuti jamaah shalat jumat dengan niat Jumat. Setelah salamnya imam, ia wajib menyempurnakannya sebagai shalat dhuhur, maksudnya wajib menambahkan empat rakaat. Saat menyempurnakan rakaatnya, ia tidak perlu niat dhuhur.

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

(فَإِنْ أَدْرَكَهُ بَعْدَ رُكُوْعِ الثَّانِيَةِ نَوَاهَا جُمُعَةً) وُجُوْبًا وَإِنْ كَانَتِ الظُّهْرُ هِيَ اللَّازِمَةَ لَهُ مُوَافَقَةً لِلْإِمَامِ وَلِأَنَّ الْيَأْسَ مِنْهَا لَا يَحْصُلُ إِلَّا بِالسَّلَامِ )وَصَلَّاهَا ظُهْرًا) لِعَدَمِ إِدْرَاكِ رَكْعَةٍ مَعَ الْإِمَامِ


Artinya: “Apabila masbuq menemui imamnya setelah ruku’ rakaat kedua, maka ia wajib niat shalat Jumat, meskipun dhuhur adalah kewajibannya, karena menyesuaikan dengan imam dan karena ketiadaan harapan menumi jumat tidak dapat dihasilkan kecuali dengan salam. Dan ia wajib melaksanakannya sebagai dhuhur, karena ia tidak menemui satu rakaat bersama imam”. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah: Dar al-Minhaj-Jedah, 2011, juz.4, hal. 363-364)

Dalam komentarnya atas kitab di atas, Syekh Mahfuzh al-Termasi menjelaskan:

(قَوْلُهُ وَصَلَّاهَا ظُهْرًا) اَيْ يُتِمُّ صَلَاتَهُ عَالِمًا كَانَ أَوْ جَاهِلًا بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ ظُهْرًا مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ تَعْبِيْرُهُمْ بِيُتِمُّ


Artinya: “Ucapan Syekh Ibnu Hajar, Dan ia wajib melaksanakannya sebagai dhuhur, maksudnya ia wajib menyempurnakan shalatnya sebagai dhuhur setelah salamnya imam, baik orang yang mengetahui atau orang yang bodoh, hal tersebut dilakukan tanpa harus niat dhuhur sebagaimana yang ditujukan oleh redaksi para ulama dengan bahasa “yutimmu”, menyempurnakan”. (Syekh Mahfuzh al-Termasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah: Dar al-Minhaj-Jedah, 2011 M, juz.4, hal. 364)

Syekh Mahfuzh juga menegaskan, bila setelah menyempurnakan dhuhurnya, masbuq jenis kedua ini menemukan jamaah shalat jumat, maka ia wajib mengikuti Jumat bersama mereka. Sedangkan shalat dhuhur yang sudah ia lakukan, dengan sendirinya berstatus shalat sunah.

Pakar fiqih dan hadits asal Pacitan-Jawa Timur ini menegaskan:

وَلَوْ أَدْرَكَ هَذَا الْمَسْبُوْقُ بَعْدَ صَلَاتِهِ الظُّهْرَ جَمَاعَةً يُصَلُّوْنَ الْجُمُعَةَ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَهَا مَعَهُمْ كَمَا قَالَهُ فِي النِّهَايَةِ وَيَتَبَيَّنُ انْقِلَابُ الظُّهْرِ نَفْلًا لِأَنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْوُجُوْبِ وَبَانَ عَدَمُ الْفَوَاتِ وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الْكَلَامَ عِنْدَ جَوَازِ التَّعَدُّدِ.

“Apabila setelah shalat dhuhur masbuq jenis ini menemui kelompok yang melaksanakan Jumat, maka ia wajib mengikuti Jumat bersama mereka seperti yang dikatakan Imam al-Ramli dalam kitab al-Nihayah. Dan telah nyata dhuhur yang dilakukannya berubah menjadi sunah, sebab ia tergolong orang yang berkewajiban Jumat, sementara nyatanya Jumat tidak terlewatkan untuknya. Dan merupakan hal yang maklum, dalam hal ini konteksnya adalah saat diperbolehkan berbilangnya pelaksanaan Jumat dalam satu desa”. (Syekh Mahfuzh al-Termasi, Hasyiyah al-Turmusi, juz.4, hal. 364, cetakan Dar al-Minhaj-Jedah, cetakan pertama tahun 2011 M).

Demikian panduan shalat Jumat bagi seseorang yang terlambat datang di tempat pelaksanaan shalat Jumat. Semoga kita dapat menjalankan ibadah Jumat dengan istiqamah dan tepat waktu.

Minggu, 20 Desember 2020

Poligami Bukti Keadilan Allah swt

Agama Islam yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi serta hikmah dan ketentuan hukum-Nya yang maha agung, adalah agama yang sempurna aturan syariatnya dalam menjamin kemaslahatan bagi umat Islam serta membawa mereka meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Allah Ta’ala berfirman,

{الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا}

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu” (QS. Al Maaidah:3).

Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah nikmat/anugerah Allah Ta’ala yang terbesar bagi umat Islam, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama ini bagi mereka, sehingga mereka tidak butuh kepada agama selain Islam, juga tidak kepada nabi selain nabi mereka (nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala menjadikan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau kepada (seluruh umat) manusia dan jin, maka tidak sesuatu yang halal kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan (dengan wahyu dari Allah Ta’ala), tidak ada sesuatu yang haram kecuali yang beliau haramkan, dan tidak ada agama kecuali yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan. Dan segala sesuatu yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan adalah benar dan jujur, tidak ada kedustaan dan kebohongan padanya, Allah Ta’ala berfirman,

{وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ}

“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-An’aam:115). Yaitu: (kalimat) yang benar dalam semua beritanya serta adil dalam segala perintah dan larangannya.

Maka ketika Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi umat ini, maka (ini berarti) nikmat (yang dilimpahkan-Nya) kepada mereka telah sempurna. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, serta telah Ku-ridhai Islam itu sebagai agamamu”. Artinya: Terimalah dengan ridha agama (Islam) ini bagi dirimu, karena inilah (satu-satunya) agama yang dicintai dan diridhai-Nya, dan dengannya dia mengutus (kepadamu) rasul-Nya yang paling mulia (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan menurunkan kitab-Nya yang paling agung (al-Qur’an)”[1].

Sikap Seorang Mukmin terhadap Syariat Allah
Di antara ciri utama seorang muslim yang benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir adalah merasa ridha dan menerima dengan sepenuh hati semua ketentuan syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ، وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا}

“Dan tidakkah patut bagi laki-laki dan perempuan yang (benar-benar) beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS al-Ahzaab:36).

Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام ديناً وبمحمد رسولاً”

“Akan merasakan kelezatan iman (kesempurnaan iman), orang yang ridha pada Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“[2].

Tidak terkecuali dalam hal ini, hukum-hukum Islam yang dirasakan tidak sesuai dengan kemauan/keinginan sebagian orang, seperti poligami, yang dengan mengingkari atau membenci hukum Allah Ta’ala tersebut, bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari agama Islam[3], na’uudzu billahi min dzaalik. Allah Ta’ala berfirman menceritakan sifat orang-orang kafir,

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).

Oleh karena itu, dalam memahami dan melaksanakan syariat Islam hendaknya kita selalu waspada dan behati-hati dari dua senjata utama godaan setan untuk memalingkan manusia dari ketaatan kepada Allah Ta’ala:

Yang pertama: sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam memahami dan menjalankan ketentuan syariat-Nya, terlebih lagi dalam menjalankan ketentuan syariat yang dirasakan cocok dengan kepentingan hawa nafsu.

Yang kedua: sikap meremehkan dan kurang dalam memahami dan melaksanakan ketentuan syariat Allah Ta’ala, yang ini sering terjadi pada sebagian hukum syariat Islam yang dirasakan oleh sebagian orang tidak sesuai dengan kemauan hawa nafsunya[4].

Salah seorang ulama salaf ada yang berkata, “Setiap Allah Ta’ala memerintahkan suatu perintah (dalam agama-Nya) maka setan mempunyai dua macam godaan (untuk memalingkan manusia dari perintah tersebut): [1] (yaitu godaan) untuk (bersikap) kurang dan meremehkan (perintah tersebut), dan [2] (godaan) untuk (bersikap) berlebih-lebihan dan melampaui batas (dalam melaksanakannya), dan dia tidak peduli dengan godaan mana saja (dari keduanya) yang berhasil (diterapkannya kepada manusia)”[5].

Hukum Poligami dalam Islam
Hukum asal poligami dalam Islam berkisar antara ibaahah (mubah/boleh dilakukan dan boleh tidak) atau istihbaab (dianjurkan)[6].

Adapun makna perintah dalam firman Allah Ta’ala,

{وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ}

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat” (QS an-Nisaa’:3).

Perintah Allah dalam ayat ini tidak menunjukkan wajibnya poligami, karena perintah tersebut dipalingkan dengan kelanjutan ayat ini, yaitu firman-Nya,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Maka dengan kelanjutan ayat ini, jelaslah bahwa ayat di atas meskipun berbentuk perintah, akan tetapi maknanya adalah larangan, yaitu larangan menikahi lebih dari satu wanita jika dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil[7], atau maknanya, “Janganlah kamu menikahi kecuali wanita yang kamu senangi”.

Ini seperti makna yang ditunjukkan dalam firman-Nya,

{وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ}

“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Rabbmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS al-Kahfi:29). Maka tentu saja makna ayat ini adalah larangan melakukan perbuatan kafir dan bukan perintah untuk melakukannya[8].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Abdulah bin Baz ketika ditanya, “Apakah poligami dalam Islam hukumya mubah (boleh) atau dianjurkan?” Beliau menjawab rahimahullah, “Poligami (hukumnya) disunnahkan (dianjurkan) bagi yang mampu, karena firman Allah Ta’ala (beliau menyabutkan ayat tersebut di atas), dan karena perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi sembilan orang wanita, Allah memberi manfaat (besar) bagi umat ini dengan (keberadaan) para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, dan ini (menikahi sembilan orang wanita) termasuk kekhususan bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita[9]. Karena dalam poligami banyak terdapat kemslahatan/kebaikan yang agung bagi kaum laki-laki maupun permpuan, bahkan bagi seluruh umat Islam. Sebab dengan poligami akan memudahkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga kemaluan (kesucian), memperbanyak (jumlah) keturunan, dan (memudahkan) bagi laki-laki untuk memimpin beberapa orang wanita dan membimbing mereka kepada kebaikan, serta menjaga mereka dari sebab-sebab keburukan dan penyimpangan. Adapun bagi yang tidak mampu melakukan itu dan khawatir berbuat tidak adil, maka cukuplah dia menikahi seorang wanita (saja), karena Allah Ta’ala berfirman,

{فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا}

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS an-Nisaa’:3).

Semoga Allah (senantiasa) memberi taufik-Nya kepada semua kaum muslimin untuk kebaikan dan keselamatan mereka di dunia dan akhirat[10].

Senada dengan ucapan di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “…Seorang laki-laki jika dia mampu dengan harta, badan (tenaga) dan hukumnya (bersikap adil), maka lebih utama (baginya) untuk menikahi (dua) sampai empat (orang wanita) jika dia mampu. Dia mampu dengan badannya, karena dia enerjik, (sehingga) dia mampu menunaikan hak yang khusus bagi istri-istrinya. Dia (juga) mampu dengan hartanya (sehingga) dia bisa memberi nafkah (yang layak) bagi istri-istrinya. Dan dia mampu dengan hukumnya untuk (bersikap) adil di antara mereka. (Kalau dia mampu seperti ini) maka hendaknya dia menikah (dengan lebih dari seorang wanita), semakin banyak wanita (yang dinikahinya) maka itu lebih utama. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Orang yang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya[11]”…[12].

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Adapun (hukum) asal (pernikahan) apakah poligami atau tidak, maka aku tidak mendapati ucapan para (ulama) ahli tafsir, yang telah aku baca kitab-kitab tafsir mereka yang membahas masalah ini. Ayat al-Qur’an yang mulia (surat an-Nisaa’:3) menunjukkan bahwa seorang yang memiliki kesiapan (kesanggupan) untuk menunaikan hak-hak para istri secara sempurna maka dia boleh untuk berpoligami (dengan menikahi dua) sampai empat orang wanita. Dan bagi yang tidak memiliki kesiapan (kesanggupan) cukup dia menikahi seorang wanita, atau memiliki budak. Wallahu a’lam”[13].

Hikmah dan Manfaat Agung Poligami
Karena poligami disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang mempunyai nama al-Hakim, artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah[14] yang maha sempurna, maka hukum Allah Ta’ala yang mulia ini tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di antaranya:

Pertama: Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak berpoligami. Maka masalah ini tidak akan bisa terselesaikan kecuali dengan poligami, insya Allah.

Kedua: Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta’ala berfirman,

{وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا}

“Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah (hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu Maha Kuasa” (QS al-Furqaan:54).

Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan (antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[15].

Ketiga: Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita, dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini merupakan tuntutan syariat.

Keempat: Di antara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri, sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya. Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta’ala terhadap manusia adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya[16].

Kelima: Terkadang setelah menikah ternyata istri mandul, sehingga suami berkeinginan untuk menceraikannya, maka dengan disyariatkannya poligami tentu lebih baik daripada suami menceraikan istrinya.

Keenam: Terkadang juga seorang suami sering bepergian, sehingga dia butuh untuk menjaga kehormatan dirinya ketika dia sedang bepergian.

Ketujuh: Banyaknya peperangan dan disyariatkannya berjihad di jalan Allah, yang ini menjadikan banyak laki-laki yang terbunuh sedangkan jumlah perempuan semakin banyak, padahal mereka membutuhkan suami untuk melindungi mereka. Maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kedelapan: Terkadang seorang lelaki tertarik/kagum terhadap seorang wanita atau sebaliknya, karena kebaikan agama atau akhlaknya, maka pernikahan merupakan cara terbaik untuk menyatukan mereka berdua.

Kesembilan: Kadang terjadi masalah besar antara suami-istri, yang menyebabkan terjadinya perceraian, kemudian sang suami menikah lagi dan setelah itu dia ingin kembali kepada istrinya yang pertama, maka dalam kondisi seperti ini poligami merupakan solusi terbaik.

Kesepuluh: Umat Islam sangat membutuhkan lahirnya banyak generasi muda, untuk mengokohkan barisan dan persiapan berjihad melawan orang-orang kafir, ini hanya akan terwujud dengan poligami dan tidak membatasi jumlah keturunan.

Kesebelas: Termasuk hikmah agung poligami, seorang istri memiliki kesempatan lebih besar untuk menuntut ilmu, membaca al-Qur’an dan mengurus rumahnya dengan baik, ketika suaminya sedang di rumah istrinya yang lain. Kesempatan seperti ini umumnya tidak didapatkan oleh istri yang suaminya tidak berpoligami.

Keduabelas: Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat merindukan suaminya.

Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah menunaikan perintah Allah Ta’ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan hukum yang disyariatkan-Nya[17].

Arti Sikap “Adil” dalam Poligami
Allah Ta’ala memerintahkan kepada semua manusia untuk selalu bersikap adil dalam semua keadaan, baik yang berhubungan dengan hak-Nya maupun hak-hak sesama manusia, yaitu dengan mengikuti ketentuan syariat Allah Ta’ala dalam semua itu, karena Allah Ta’ala mensyariatkan agamanya di atas keadilan yang sempurna[18]. Allah Ta’ala berfirman,

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS an-Nahl:90).

Termasuk dalam hal ini, sikap “adil” dalam poligami, yaitu adil (tidak berat sebelah) dalam mencukupi kebutuhan para istri dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan bermalam bersama mereka[19]. Dan ini tidak berarti harus adil dalam segala sesuatu, sampai dalam hal yang sekecil-kecilnya[20], yang ini jelas di luar kemampuan manusia[21].

Sebab timbulnya kesalahpahaman dalam masalah ini, di antaranya karena hawa nafsu dan ketidakpahaman terhadap agama, termasuk kerancuan dalam memahami firman Allah Ta’ala[22],

{وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ}

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS an-Nisaa’:129).

Marilah kita lihat bagaimana para ulama Ahlus sunnah memahami firman Allah yang mulia ini.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Sebagian dari para ulama ahli tafsir (menjelaskan makna firman Allah Ta’ala): “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu)…”, (artinya: berlaku adil) dalam perasaan yang ada dalam hati (rasa cinta dan kecenderungan hati), karena Allah Ta’ala mengampuni bagi hamba-hamaba-Nya terhadap apa yang terdapat dalam hati mereka. “…karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)…” artinya: janganlah kamu memperturutkan keinginan hawa nafsumu dengan melakukan perbuatan (yang menyimpang dari syariat). Dan penafsiran ini sangat sesuai/tepat. Wallahu a’lam”[23].

Imam al-Bukhari membawakan firman Allah Ta’ala ini dalam bab: al-‘adlu bainan nisaa’ (bersikap adil di antara para istri)[24], dan Imam Ibnu Hajar menjelaskan makna ucapan imam al-Bukhari tersebut, beliau berkata, “Imam al-Bukhari mengisyaratkan dengan membawakan ayat tersebut bahwa (adil) yang dinafikan dalam ayat ini (adil yang tidak mampu dilakukan manusia) adalah adil di antara istri-istrinya dalam semua segi, dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang shahih) menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan adil (dalam poligami) adalah menyamakan semua istri (dalam kebutuhan mereka) dengan (pemberian) yang layak bagi masing-masing dari mereka. Jika seorang suami telah menunaikan bagi masing-masing dari para istrinya (kebutuhan mereka yang berupa) pakaian, nafkah (biaya hidup) dan bermalam dengannya (secara layak), maka dia tidak berdosa dengan apa yang melebihi semua itu, berupa kecenderungan dalam hati, atau memberi hadiah (kepada salah satu dari mereka)…Imam at-Tirmidzi berkata, “Artinya: kecintaan dan kecenderungan (dalam hati)”, demikianlah penafsiran para ulama (ahli tafsir)…Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Yaitu: kecintaan (dalam hati) dan jima’ (hubungan intim)…[25].

Imam al-Qurthubi berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Ta’ala memberitakan ketidakmampuan (manusia) untuk bersikap adil di antara istri-istrinya, yaitu (menyamakan) dalam kecenderungan hati dalam cinta, berhubungan intim dan ketertarikan dalam hati. (Dalam ayat ini) Allah menerangkan keadaan manusia bahwa mereka secara (asal) penciptaan tidak mampu menguasai kecenderungan hati mereka kepada sebagian dari istri-istrinya melebihi yang lainnya. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (dalam doa beliau), “Ya Allah, inilah pembagianku (terhadap istri-istriku) yang aku mampu (lakukan), maka janganlah Engkau mencelaku dalam perkara yang Engkau miliki dan tidak aku miliki”[26]. Kemudian Allah melarang “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai)”, Imam Mujahid berkata, “(Artinya): janganlah kamu sengaja berbuat buruk (aniaya terhadap istri-istrimu), akan tetapi tetaplah berlaku adil dalam pembagian (giliran) dan memberi nafkah (biaya hidup), karena ini termsuk perkara yang mampu (dilakukan manusia)”[27].

Imam Ibnu Katsir berkata, “Arti (ayat di atas): Wahai manusia, kamu sekali-kali tidak akan dapat bersikap adil (menyamakan) di antara para istrimu dalam semua segi, karena meskipun kamu membagi giliran mereka secara lahir semalam-semalam, (akan tetapi) mesti ada perbedaan dalam kecintaan (dalam hati), keinginan syahwat dan hubungan intim, sebagaimana keterangan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Ubaidah as-Salmaani, Hasan al-Bashri, dan Dhahhak bin Muzahim”[28].

Kecemburuan dan Cara Mengatasinya
Cemburu adalah fitrah dan tabiat yang mesti ada dalam diri manusia, yang pada asalnya tidak tercela, selama tidak melampaui batas. Maka dalam hal ini, wajib bagi seorang muslim, terutama bagi seorang wanita muslimah yang dipoligami, untuk mengendalikan kecemburuannya. Karena kecemburuan yang melampaui batas bisa menjerumuskan seseorang ke dalam pelanggaran syariat Allah, seperti berburuk sangka, dusta, mencela[29], atau bahkan kekafiran, yaitu jika kecemburuan tersebut menyebabkannya membenci ketentuan hukum yang Allah syariatkan. Allah Ta’ala berfirman,

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ}

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada ketentuan (syariat) yang diturunkan Allah sehingga Allah membinasakan amal-amal mereka” (QS Muhammad:9).

Demikian pula perlu diingatkan bagi kaum laki-laki untuk lebih bijaksana dalam menghadapi kecemburuan para wanita, karena hal ini juga terjadi pada diri wanita-wanita terbaik dalam Islam, yaitu para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi semua itu dengan sabar dan bijaksana, serta menyelesaikannya dengan cara yang baik[30].

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Asal sifat cemburu adalah merupakan watak bawaan bagi wanita, akan tetapi jika kecemburuan tersebut melampuai batas dalam hal ini sehingga melebihi (batas yang wajar), maka itulah yang tercela. Yang menjadi pedoman dalam hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Atik al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesunguhnya di antara sifat cemburu ada yang dicintai oleh Allah dan ada yang dibenci-Nya. Adapun kecemburuan yang dicintai-Nya adalah al-ghirah (kecemburuan) terhadap keburukan. Sedangkan kecemburuan yang dibenci-Nya adalah kecemburuan terhadap (perkara) yang bukan keburukan”[31].[32]

Sebab-sebab yang mendorong timbulnya kecemburuan yang tercela (karena melampaui batas) adalah:
– Lemahnya iman dan lalai dari mengingat Allah Ta’ala.

– Godaan setan

– Hati yang berpenyakit

– Ketidakadilan suami dalam memperlakukan dan menunaikan hak sebagian dari istri-istrinya.

– Rasa minder dan kurang pada diri seorang istri.

– Suami yang menyebutkan kelebihan dan kebaikan seorang istrinya di hadapan istrinya yang lain[33].

Adapun cara mengatasi kecemburuan ini adalah:
– Bertakwa kepada Allah Ta’ala.

– Mengingat dan memperhitungkan pahala yang besar bagi wanita yang bersabar dalam mengendalikan dan mengarahkan kecemburuannya sesuai dengan batasan-batasan yang dibolehkan dalam syariat.

– Menjauhi pergaulan yang buruk.

– Bersangka baik.

– Bersikap qana’ah (menerima segala ketentuan Allah I dengan lapang dada).

– Selalu mengingat kematian dan hari akhirat

– Berdoa kepada Allah agar Dia menghilangkan kecemburuan tersebut[34].

Nasehat Bagi Yang Berpoligami dan Dipoligami[35]
1. Nasehat untuk suami yang berpoligami

– Bersikap adillah terhadap istri-istrimu dan hendaklah selalu bersikap adil dalam semua masalah, sampai pun dalam masalah yang tidak wajib hukumnya. Janganlah kamu bersikap berat sebelah terhadap salah satu dari istri-istrimu.

– Berlaku adillah terhadap semua anakmu dari semua istrimu. Usahakanlah untuk selalu mendekatkan hati mereka, misalnya dengan menganjurkan istri untuk menyusui anak dari istri yang lain. Pahamkanlah kepada mereka bahwa mereka semua adalah saudara. Jangan biarkan ada peluang bagi setan untuk merusak hubungan mereka.

– Sering-seringlah memuji dan menyebutkan kelebihan semua istri, dan tanamkanlah kepada mereka keyakinan bahwa tidak ada kecintaan dan kasih sayang yang (abadi) kecuali dengan mentaati Allah Ta’ala dan mencari keridhaan suami.

– Janganlah menceritakan ucapan salah seorang dari mereka kepada yang lain. Janganlah menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia, karena rahasia itu akan cepat tersebar dan disampaikannya kepada istri yang lain, atau dia akan membanggakan diri bahwa dia mengetahui rahasia suami yang tidak diketahui istri-istri yang lain.

– Janganlah kamu memuji salah seorang dari mereka, baik dalam hal kecantikan, kepandaian memasak, atau akhlak, di hadapan istri yang lain. Karena ini semua akan merusak suasana dan menambah permusuhan serta kebencian di antara mereka, kecuali jika ada pertimbangan maslahat/kebaikan yang diharapkan.

– Janganlah kamu mendengarkan ucapan salah seorang dari mereka tentang istri yang lain, dan tegurlah/laranglah perbuatan tersebut, supaya mereka tidak terbiasa saling menejelek-jelekkan satu sama yang lain.

2. Nasehat untuk istri pertama

– Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan ketahuilah bahwa sikap menentang dan tidak menerima akan membahayakan bagi agama dan kehidupanmu.

– Benahilah semua kekuranganmu yang diingatkan oleh suamimu. Karena boleh jadi itu merupakan sebab dia berpoligami. Kalau kekurangan-kekurangan tersebut berhasil kamu benahi maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas petunjuk-Nya.

– Berikanlah perhatian besar kepada suamimu dan sering-seringlah memujinya, baik di hadapan atau di belakangnya, terutama di hadapan keluargamu atau teman-temanmu, karena ini termasuk hal yang bisa memperbaiki hati dan lisanmu, serta menyebabkan keridhaan suami padamu. Dengan itu kamu akan menjadi teladan yang baik bagi para wanita yang menentang dan mengingkari syariat poligami, atau mereka yang merasa disakiti ketika suaminya berpoligami.

– Janganlah kamu mendengarkan ucapan orang jahil yang punya niat buruk dan ingin menyulut permusuhan antara kamu dengan suamimu, atau dengan madumu. Janganlah kamu mudah menyimpulkan sesuatu yang kamu dengar sebelum kamu meneliti kebenaran berita tersebut.

– Janganlah kamu menanamkan kebencian dan permusuhan di hati anak-anakmu kepada istri-istri suamimu dan anak-anak mereka, karena mereka adalah saudara dan sandaran anak-anakmu. Ingatlah bahwa tipu daya yang buruk hanya akan menimpa pelakunya.

– Jangalah kamu merubah sikap dan perlakuanmu terhadap suamimu. Janganlah biarkan dirimu menjadi bahan permainan setan, serta mintalah pertolongan dan berdolah kepada Allah Ta’ala agar Dia menguatkan keimanan dan kecintaan dalam hatimu.

3. Nasehat untuk istri yang baru dinikahi

– Ketahuilah bahwa kerelaanmu dinikahi oleh seorang yang telah beristri adalah kebaikan yang besar dan menunjukkan kuatnya iman dan takwa dalam hatimu, insya Allah. Pahamilah ini semua dan harapkanlah ganjaran pahala dari Allah atas semua itu.

– Gunakanlah waktu luangmu ketika suamimu berada di rumah istrinya yang lain dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan ceramah-ceramah agama yang bermanfaat, dan membaca buku-buku yang berfaedah, atau gunakanlah untuk membersihkan rumah dan merawat diri.

– Jadilah engkau sebagai da’i (penyeru) manusia ke jalan Allah Ta’ala dalam hukum-Nya yang mulia ini. Fahamkanlah mereka tentang hikmah-Nya yang agung dalam syariat poligami ini. Janganlah engkau menjadi penghalang bagi para wanita untuk menerima syariat poligami ini.

– Janganlah bersikap enggan untuk membantu/mengasuh istri-istri suami dan anak-anak mereka jika mereka membutuhkan pertolonganmu. Karena perbuatan baikmu kepada mereka bernilai pahala yang agung di sisi Allah dan menjadikan suami ridha kepadamu, serta akan menumbuhkan kasih sayang di antara kamu dan mereka.

– Janganlah kamu membeberkan kekurangan dan keburukan istri suami yang lain. Jangan pernah menceritakan kepada orang lain bahwa suami berpoligami karena tidak menyukai istrinya yang pertama, karena ini semua termasuk perangkap setan.

– Jangan kamu berusaha menyulut permusuhan antara suami dengan istrinya yang lain, agar dia semakin sayang padamu. Karena ini adalah perbuatan namiimah (mengadu domba) yang merupakan dosa besar. Berusahalah untuk selalu mengalah kepadanya, karena ini akan mendatangkan kebaikan yang besar bagi dirimu.

Penutup
Demikianlah keterangan tentang poligami yang menunjukkan sempurnanya keadilan dan hikmah dari hukum-hukum Allah Ta’ala. Semoga ini semua menjadikan kita semakin yakin akan keindahan dan kebaikan agama Islam, karena ditetapkan oleh Allah Ta’ala yang Maha Sempurna semua sifat-sifatnya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 26 Dzulqa’dah 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] Tafsir Ibnu Katsir (2/19).

[2] HSR Muslim (no. 34).

[3] Kitab “Fadhlu ta’addudiz zaujaat” (hal. 24).

[4] kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).

[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfan” (1/116).

[6] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 18).

[7] Maksudnya adil yang sesuai dengan syariat, sebagaimana yang akan kami terangkan, insya Allah.

[8] Lihat keterangan imam Ibnu Jarir dalam tafsir beliau (4/238).

[9] Sebagaimana yang diterangkan dalam bebrapa hadits yang shahih, diantaranya HR at-Tirmidzi (3/435) dan Ibnu Majah (1/628), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.

[10] Dinukil dalam majalah “al-Balaagh” (edisi no. 1028, tgl 1 Rajab 1410 H/28 Januari 1990 M).

[11] Atsar yang shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 4787).

[12] Liqaa-il baabil maftuuh (12/83).

[13] Fataawal mar’atil muslimah (2/690).

[14] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Ta’ala, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).

[15] Lihak keterangan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari” (9/143).

[16] Majmuu’ul fataawa syaikh al-‘Utsaimiin (4/12 – kitabuz zawaaj).

[17] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 31-32).

[18] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/596) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 447).

[19] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 69).

[20] Sebagaimana persangkaan keliru orang-orang yang tidak memahami pengertian adil yang sebenarnya.

[21] Sebagaimana penjelasan para ulama yang akan kami nukil setelah ini, insya Allah.

[22] Bahkan kesalahpahaman dalam memahami ayat ini menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa poligami tidak boleh dilakukan, karena orang yang berpoligami tidak mungkin bisa bersikap adil !!? Kita berlindung kepada Allah dari penyimpangan dalam memahami agama-Nya.

[23] Kitab “al-Umm” (5/158).

[24] Dalam kitab “shahihul Bukhari” (5/1999).

[25] Kitab “Fathul Baari” (9/313).

[26] Hadits ini adalah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2134), at-Tirmidzi (no. 1140), an-Nasa’i (no. 3943) dan Ibnu Majah (no. 1971), dinyatakan lemah oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, an-Nasa’i dan syaikh al-Albani dalam “Irwa-ul ghalil” (7/82).

[27] Kitab “Tafsiirul Qurthubi” (5/387).

[28] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/747).

[29] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 136).

[30] Ibid.

[31] HR an-Nasa’i (no. 2558) dan Ibnu Hibban (no. 295), dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.

[32] Kitab “Fathul Baari” (9/326).

[33] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 140).

[34] Ibid (hal. 141).

[35] Lihat kitab “Ahkaamut ta’addud fi dhau-il kitaabi was sunnah” (hal. 143-145).