Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 27 Desember 2020

HAID TIDAK TERATUR

Empat Pendapat Shalatnya Perempuan yang Haid tak Teratur

Sebagian perempuan mengalami siklus haid tidak teratur. Kondisi tubuh tidak stabil atau sakit membuat perempuan bisa tak haid dalam beberapa bulan. Misal saja etelah melahirkan.Kemungkinan haid baru datang setelah enam bulan.

Ada pula yang mengalami masa haid sudah berhenti,selang beberapa hari darah tersebut keluar lagi. Padahal darah itu keluar masih dalam satu fase haid dan di bulan yang sama. Dalam kondisi tersebut, bagaimana shalat mereka?
Perempuan dengan siklus haid teratur diistilahkan dengan mu'taadah. Walau setiap wanita berbeda-beda masa haidnya, namun masa siklus haidnya tetap sama. Misalnya, setiap masa haid ia mengalami haid selama enam hari, tujuh hari, dan seterusnya. Cara menyimpulkannya dengan mengkalkulasikannya selama tiga kali haid.  Jika lamanya haid selalu stabil dan teratur, maka ia tergolong pada wanita mu'taadah.
Siklus perempuan mu'taadah inilah yang disepakati ulama fiqh. Jika darah haidnya telah yakin berhenti, kewajiban shalat langsung dibebankan kepadanya. Di hari akan berakhirnya masa haid, dia harus teliti dengan darah haidnya agar tidak melalaikan shalat. Jika darah haidnya sudah berhenti, ia harus segera mandi dan mendirikan shalat.
Yang menjadi perbedaan ulama adalah wanita yang tidak memiliki siklus haid teratur. Perempuan seperti ini pada dasarnya dianjurkan untuk berobat agar bisa menjalani siklus haid sesuai fitrah kaum perempuan. Dari segi kesehatan, haid yang tidak teratur bisa menjadi indikasi adanya gangguan reproduksi. Dari segi fiqh, ia akan mudah menentukan masa suci dan haid yang bersangkutan dengan ibadahnya.
Beberapa kasus haid tidak teratur seperti perempuan yang awalnya memiliki masa haid teratur, namun di fase berikutnya tidak teratur lagi. Ada yang mengalami berhentinya haid di tengah-tengah waktu kebiasaan. Setelah ia bersuci ternyata keluar lagi. Adapula yang darahnya masih keluar padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid. Berikut pandangan para imam mazhab tentang hukum shalat bagi perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur.

Mazhab Hanafi
Persoalan tentang haid tak teratur menuai berbagai pendapat para ulama fiqh. Dalam mazhab Hanafi, istilah mu’tadah berpatokan pada kebiasaan masa haid. Di luar kebiasaan tersebut, darah yang keluar adalah istihadhah. Darah istihadhah tetap mewajibkan wanita untuk shalat dan tidak menghalanginya untuk beribadah. Istihadhah bisa disebabkan penyakit dan tidak akan berhenti mengalir sampai reproduksinya sembuh.
Mazhab Hanafi meyakini, darahnya yang keluar setelah masa kebiasaan haid termasuk darah istihadhah. Misalnya, bila ada wanita terbiasa haid tujuh hari setiap bulannya. Kemudian, pada satu masa haid selanjutnya darahnya masih tetap mengalir. Maka darah yang keluar setelah hari ketujuh tersebut dianggap istihadhah.
Namun jika masa haid si wanita lebih dari 10 hari setiap bulannya, maka Mazhab Hanafi berpendapat bahwa haid hanya 10 hari pertama saja. Darah yang keluar di hari ke-11 dan selanjutnya juga dihukum istihadhah. Mazhab Hanafi berdalil dari kebiasaan kaum wanita yang mana haidnya tidak akan lebih dari 10 hari 10 malam.
Bagaimana jika darah haid terputus di tengah-tengah masa haid kemudian keluar lagi? Menurut mazhab Hanafi, darah yang keluar kedua juga dianggap darah haid, bukan istihadhah. Namun tetap berpatokan pada kaidah masa haid 10 hari. Jika darah kedua lewat dari 10 hari, maka hari ke-11 kembali dihukum istihadhah.
Di masa haid tersebut terputus, Mazhab Hanafi tetap mewajibkan shalat bagi wanita. Misalkan, haid dimulai tanggal 1-4 lalu darahnya berhenti di tanggal 5-6. Tanggal 7-9 darah tersebut keluar lagi. Wanita tetap diwajibkan shalat di tanggal 5-6 saat darah berhenti.

Mazhab Maliki
Pandangan Mazhab Maliki agak mirip dengan Mazhab Hanafi. Menurut Mazhab Maliki, apabila darah keluar di hari pertama, lalu terputus, kemudian keluar lagi. maka darah yang pertama dan kedua dianggap satu fase darah haid.
Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau tidak berhenti lebih dari 15 hari. Karena menurut mazhab ini, masa suci minimal adalah 15 hari. Sama seperti mazhab Hanafi, ketika haid terputus selama beberapa hari ini si wanita tetap diwajibkan shalat.
Secara umum, mazhab Hanafi dan Maliki hampir sama soal terputusnya darah di tengah-tengah masa haid. Perbedaannya, mazhab Hanafi menyebut minimal masa haid adalah tiga hari dan maksimal 10 hari. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan maksimalnya adalah 18 hari bagi mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan mu’tadah.

Mazhab Syafii
Dalam mazhab Syafi'i, masa haid yang terputus tetap dianggap sebagai satu rangkaian masa haid. Syaratnya, sejak pertama darah keluar hingga habisnya darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid, yakni 15 hari. Mazhab Syafi'i juga mensyaratkan darah pertama keluar sudah mencapai waktu sehari semalam. Demikian diterangkan dalam kitab Mughni al-Muhtaj (1/119).
Contohnya, seorang wanita mengalami haid pada tanggal 1-4, kemudian darah terputus di tanggal 5-7. Haidnya kembali keluar tanggal 8-12. Maka dari tanggal 1 sampai 12 dianggap keseluruhnya dalam keadaan haid. Artinya, ia tidak perlu shalat ketika haidnya terputus.

Mazhab Hambali
Dalam mazhab Hambali,apabila darah haid wanita berhenti, baik karena terputus atau tidak, maka ia dihukumi sebagaimana wanita yang suci.
Sementara, jika darahnya keluar lagi, maka berarti ia kembali haid dan tidak boleh melaksanakan shalat. Demikian diterangkan dalam kitab al-Kaafi (1/186). Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar