Hukum Jumatan di Daerah Lain.
Salah satu syarat keabsahan shalat Jumat adalah dihadiri oleh minimal 40 orang laki-laki yang aqil baligh dan bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin). 40 orang tersebut harus dipastikan kehadirannya sejak dibacakan khutbah hingga pelaksanaan Jumat selesai.
Disyaratkan pula 40 jamaah tersebut mendengar dua khutbah.
Selama tidak ada kebutuhan yang mendesak, idealnya Jumatan dilakukan di desa sendiri.
Namun, terkadang karena beberapa hal, seperti mencari suasana baru, iseng atau memilih Jumatan yang lebih cepat selesai, seseorang lebih memilih Jumatan di desa lain, padahal di desanya juga dilaksanakan Jumatan. Bolehkah Jumatan di desa lain?
Jika dengan kepergiannya di desa lain, pelaksanaan Jumat di desa sendiri sudah memenuhi standar minimal jumlah jamaah yang mengesahkan Jumat, maka ulama sepakat memperbolehkan seseorang untuk berpindah Jumatan di desa lain.
Sebab kepergiannya ke tempat lain, tidak memberi efek apapun terhadap Jumatan di daerahnya sendiri.
Sementara jika dengan kepergiannya dapat menyebabkan jumlah minimal jamaah yang mengesahkan Jumat kurang dari 40 orang, semisal berkurang menjadi 39 orang, maka ulama berbeda pendapat.
Menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Syekh Al-Jamal Al-Ramli, Syekh Ibnu ‘Allan, Syekh Abul Hasan Al-Bakri dan Syekh Isma’il Az-Zain, hukumnya haram, sebab dengan kepergiannya Jumatan di desa lain dapat mengakibatkan ketidakabsahan Jumatan di daerahnya sendiri.
Pendapat ini mengatakan, penegasan ulama mengenai kebolehan pergi di malam Jumat dengan syarat tidak berdampak pada ketidakabsahan Jumatan di daerahnya karena berkurangnya minimal jamaah jumat yang mengesahkan pelaksanaan Jumat.
Syekh Abdul Hamid As-Syarwani mengatakan:
وَيُكْرَهُ السَّفَرُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ
قَوْلُهُ: وَيُكْرَهُ السَّفَرُ إلَخْ) وَلَا يَحْرُمُ هَلْ وَإِنْ تَعَطَّلَتْ بِخُرُوجِهِ جُمُعَةُ بَلَدِهِ فِيهِ خِلَافٌ فَأَطْلَقَ الشَّارِحُ امْتِنَاعَ السَّفَرِ مِنْ مَكَّةَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ إذَا لَمْ يَبْقَ بِهَا مَنْ تَنْعَقِدُ بِهِ الْجُمُعَةُ فِي حَاشِيَةِ الْإِيضَاحِ وَمُخْتَصَرِهِ وَفِي الْحَجِّ مِنْ شَرْحِ مُخْتَصَرِ الْإِيضَاحِ وَجَرَى عَلَيْهِ الْجَمَّالُ الرَّمْلِيُّ وَابْنُ عَلَّانَ فِي شَرْحِهِمَا عَلَى الْإِيضَاحِ وَالْأُسْتَاذُ أَبُو الْحَسَنِ الْبَكْرِيُّ فِي شَرْحِ مُخْتَصَرِهِ وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّارِحِ فِي الْحَجِّ مِنْ التُّحْفَةِ،
Artinya, “(Seseorang) makruh berpergian di malam Jumat. Ucapan Syekh Ibnu Hajar, ‘Makruh berpergian di malam Jumat dan seterusnya,’ maksudnya tidak haram. Kebolehan ini apakah juga berlaku ketika berdampak ketidakabsahan Jumatan daerahnya? Dalam hal ini terdapat ikhtilaf. Sang pensyarah (Syekh Ibnu Hajar) memutlakan tercegahnya berpergian dari kota Makkah pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah) bila tidak menyisakan jamaah yang mengesahkan shalat Jumat, keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan olehnya dalam Kitab Hasyiyatul Idhah dan Mukhtasharnya, demikian pula dalam bab haji dari Syarah Mukhtashar Al-Idhah.
Pendapat ini juga disetujui oleh Syekh Al-Jamal Ar-Ramli dan Syekh Ibnu ‘Allan dalam kitab syarah keduanya atas Kitab Al-Idhah, demikian pula Syekh Abul Hasan Al-Bakri dalam Kitab Syarh Mukhtashar Al-Idhah.
Pendapat ini adalah zhahir dari ucapan sang pensyarah (Syekh Ibnu Hajar) dalam bab haji dari Kitab At-Tuhfah,” (Syekh Abdul Hamid As-Syarwani, Hasyiyatus Syarwani ‘alat Tuhfah, juz II, halaman 417).
Keterangan tersebut senada dengan pendapat Syekh Isma’il Zain Al-Yamani dalam himpunan fatwanya sebagai berikut:
وَلاَ يَجُوْزُ ِلأَحَدٍ أَنْ يَتْرُكَ مَسْجِدَ جُمُعَتِهِ وِيُجَمِّعَ فِي مَسْجِدٍ آخَرَ إِلاَّ إِذَا كَانَ الْعَدَدُ تَامًّا فِي مَسْجِدِ جُمُعَتِهِ فَيَجُوْزُ حِيْنَئِذٍ فَإِنْ كَانَ اَلْعَدَدُ لاَيَتِمُّ إِلاَّ بِهِ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ أَنْ يَذْهَبَ إِلَى مَسْجِدٍ آخَرَ.
Artinya, “Tidak boleh bagi siapapun meninggalkan masjid Jumatan di daerahnya dan melaksanakan Jumatan di masjid daerah lain, kecuali apabila bilangan jamaah Jumat di masjid daerahnya telah sempurna, maka diperbolehkan.
Bila jumlah jamaah Jumat di daerahnya tidak sempurna kecuali dengan kehadirannya, maka haram baginya untuk pergi Jumatan ke masjid daerah lain,” (Lihat Syekh Isma’il Zain Al-Yamani, Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il Az-Zain, halaman 84).
Sementara menurut Syekh Ibnu Qasim Al-Ubbadi dan Syekh Ibnul Jamal, hukumnya diperbolehkan. Pendapat ini berargumen, bahwa meskipun kepergian seseorang dapat berdampak ketidakabsahan jumatan di desanya sendiri, namun ketidakabsahan tersebut tidak bisa dikaitkan dengan kepergiannya di daerah lain. Sebuah kaidah mengatakan:
لَا يَجِبُ عَلَى الشَّخْصِ تَصْحِيحُ عِبَادَةِ غَيْرِهِ
Artinya, “Tidak wajib bagi seseorang mengesahkan ibadah orang lain.”
Pendapat tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Hamid As-Syarwani sebagai berikut:
وَقَالَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ قَاسِمٍ فِي شَرْحِ أَبِي شُجَاعٍ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ حَيْثُ جَازَ السَّفَرُ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ فَوَاتُ الْجُمُعَةِ عَلَى أَهْلِ مَحَلِّهِ بِأَنْ كَانَ تَمَامُ الْأَرْبَعِينَ أَوْ لَا، وَإِنْ بَحَثَ بَعْضُهُمْ خِلَافَهُ وَظَاهِرٌ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ سَفَرِ الْكُلِّ أَوْ الْبَعْضِ انْتَهَى،
Artinya, “Dan cendekia yang sangat alim Syekh Ibnu Qasim dalam Syarh Abi Syuja’ berkata, zhahir ucapan fuqaha, ketika boleh berpergian, maka tidak ada perbedaan antara berdampak kepada ketidakabsahan Jumat atas penduduk desanya atau tidak, contoh bisa berdampak tidak sah semisal ia adalah orang yang menggenapi 40 orang jamaah yang mengesahkan Jumat.
Meski sebagian ulama berpendapat sebaliknya. Dan jelas, tidak ada perbedaan antara bepergian oleh semua penduduk desa atau sebagian dari mereka”.
وَقَالَ ابْنُ الْجَمَّالِ فِي شَرْحِ الْإِيضَاحِ التَّقْيِيدُ بِبَقَاءِ مَنْ تَنْعَقِدُ بِهِ لَمْ يَظْهَرْ وَجْهُهُ إذْ لَا يَجِبُ عَلَى الشَّخْصِ تَصْحِيحُ عِبَادَةِ غَيْرِهِ فَلْيُتَأَمَّلْ انْتَهَى اهـ كُرْدِيٌّ عَلَى بَافَضْلٍ وَتَقَدَّمَ عَنْ ع ش مَا يُؤَيِّدُهُ
Artinya, “Dan berkata Syekh Ibnu al-jamal dalam Syarh al-Idlah, pembatasan menyisakan jamaah yang mengesahkan Jumat, tidak jelas pertimbangannya, sebab tidak wajib bagi seseorang mengesahkan ibadah orang lain, maka hendaknya diangan-angan. Syekh Kurdi atas Kitab Bafadhal. Telah dijelaskan kutipan dari Syekh Ali As-Syibramalisi yang menguatkan pendapat ini,” (Lihat Syekh Abdul Hamid As-Syarwani, Hasyiyah As-Syarwani ‘alat Tuhfah, juz II, halaman 417).
Demikianlah penjelasan mengenai hukum berjumatan di desa lain. Meski boleh, sebaiknya seseorang melaksanakan Jumatan di daerah sendiri, sebab Jumatan di daerah sendiri selaras dengan hikmah pensyariatan Jumatan, yaitu mempererat silaturrahim dan menambah keharmonisan antar penduduk desa setempat.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar