Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Rabu, 08 September 2021

Meninggalkan Shalat Seumur Hidup Wajibkah Fidyah

Penjelasan tentang Fidyah Pengganti Shalat Orang Meninggal


Pendapat masyhur dalam mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa ibadah shalat mayit (orang yang sudah wafat) tidak dapat  diqadha’i oleh siapa pun, serta tidak dapat digantikan dengan pembayaran fidyah berupa menyedekahkan makanan pokok.

Pendapat lain mengatakan bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit semasa hidup dapat diqadha’i. Dalam qaul qadim Imam As-Syafi’i berpandangan bahwa jika mayit meninggalkan harta warisan (tirkah) maka wajib bagi wali mayit (anak, saudara, dll) untuk mengqadha’i shalatnya. Sedangkan pendapat terakhir menyebutkan bahwa setiap shalat yang ditinggalkan oleh mayit digantikan dengan pembayaran fidyah (pemberian makanan pokok) kepada fakir miskin sebesar satu mud (0,6 kilogram atau ¾ liter) makanan pokok.

Perbedaan pendapat tentang hal ini dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:

(فائدة) من مات وعليه صلاة، فلا قضاء، ولا فدية. وفي قول - كجمع مجتهدين - أنها تقضى عنه، لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه، ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي - إن خلف تركه - أن يصلي عنه، كالصوم.

وفي وجه - عليه كثيرون من أصحابنا - أنه يطعم عن كل صلاة مدا. وقال المحب الطبري: يصل للميت كل عبادة تفعل عنه: واجبة أو مندوبة. وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة أن للانسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله.

“Faidah. Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki tanggungan shalat, ia tidak wajib mengqadha’ dan membayar fidyah (atas shalat tersebut). Sedangkan menurut sebagian pendapat—seperti sekelompok mujtahid—shalat tersebut diqadha’i, berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan lainnya. Pendapat ini juga dipilih oleh para imam mazhab kita (Syafi’i) dan Imam as-Subki melakukan hal ini pada sebagian kerabatnya. Imam Ibnu Burhan menukil dari qaul qadim bahwa wajib bagi wali untuk menshalati atas shalat yang mayit tinggalkan, jika memang mayit meninggalkan harta tirkah (warisan). 

Menurut pendapat lain, yang diikuti oleh banyak ulama mazhab Syafi’i bahwa wali memberi makan satu mud pada setiap shalat (yang ditinggalkan). Imam al-Muhib at-Thabari berpendapat bahwa setiap ibadah yang dilakukan untuk mayit bisa sampai padanya, baik berupa ibadah wajib ataupun ibadah sunnah. Dalam kitab Syarah al-Mukhtar dijelaskan: ‘Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa seseorang bisa menjadikan pahala amal dan shalatnya untuk orang lain dan pahala tersebut bisa sampai padanya’” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 2, hal. 276)

Salah satu ulama Syafi’iyah yang berpandangan bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit dapat digantikan dengan memberi makanan satu mud adalah Imam al-Baghawi, seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:

{فرع} لو مات وعليه صلاة أو اعتكاف لم يفعلهما عنه وليه ولا يسقط عنه بالفدية صلاة ولا اعتكاف

* هذا هو المشهور في المذهب والمعروف من نصوص الشافعي في الام وغيره ونقل البويطي عن الشافعي أنه قال في الاعتكاف يعتكف عنه وليه وفى وراية يطعم عنه قال البغوي ولا يبعد تخريج هذا في الصلاة فيطعم عن كل صلاة مد

“Jika seseorang meninggal dan ia memiliki tanggungan shalat atau i’tikaf yang belum ia lakukan, maka pihak wali mayit tidak dapat melakukan kedua ibadah tersebut atas ganti mayit, dan membayar fidyah pun tidak menggugugurkan tanggungan shalat dan i’tikaf mayit. Pendapat ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i dan pandangan yang terkenal dalam nash Imam as-Syafi’i dalam kitab al-Um dan kitab yang lain.

Imam al-Buwaithi menukil dari Imam as-Syafi’i bahwa beliau berpandangan tentang I’tikaf bisa digantikan oleh pihak wali, sedangkan dalam sebagian riwayat digantikan dengan memberi makanan (fidyah) atas ganti tanggungan i’tikaf mayit. Imam al-Baghawi berkata: ‘Tidak jauh untuk memberlakukan hal ini dalam shalat, maka pihak wali memberi makanan (fidyah) satu mud atas setiap shalat’” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 372).

Pandangan bahwa shalat mayit dapat digantikan dengan fidyah ini, sesuai dengan salah satu Hadits mauquf dari sahabat Ibnu ‘Abbas:

لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ ، وَلاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ

“Seseorang tidak dapat shalat atas ganti shalat orang lain dan tidak dapat puasa atas ganti puasa orang lain, tetapi ia dapat memberi makan atas ganti (shalat atau puasa) orang lain, setiap hari satu mud dari gandum” (HR. An-Nasa’i)

Selain dalam mazhab Syafi’i, penggantian shalat yang ditinggalkan oleh mayit dengan membayar fidyah juga merupakan pendapat yang mu’tabar dalam mazhab Hanafiyah. Namun dalam hal ini, para ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit dapat digantikan dengan pembayaran fidyah hanya ketika mayit mewasiatkan untuk pembayaran fidyah atas shalat yang ia tinggalkan. Jika mayit tidak mewasiatkan tentang pembayaran fidyah ini, maka para ulama Hanafiyah tidak berpandangan bahwa pembayaran fidyah dapat menggantikan shalat yang ditinggalkan oleh mayit, kecuali menurut pandangan Muhammad bin Hasan yang mengatakan bahwa pembayaran fidyah tetap dapat mengganti atas shalat yang ditinggalkan oleh mayit, meskipun mayit tidak mewasiatkannya.

Pembayaran fidyah dalam mazhab Hanafi ini dapat memilih di antara dua komoditas, yaitu setengah sha’ (1,9 kilogram) gandum/tepung atau satu sha’ (3,8 kilogram) kurma atau anggur. Namun wali mayit juga dapat mengeluarkan fidyah dengan bentuk nominal uang yang setara dengan harga salah satu dari dua pilihan pembayaran tersebut, sehingga secara umum dapat dipahami bahwa pembayaran fidyah menurut mazhab Hanafi ini relatif lebih besar takarannya jika dibandingkan pembayaran fidyah dalam mazhab Syafi’i. Perincian tentang pandangan mazhab Hanafiyah dalam persoalan fidyah shalat ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

ذهب جمهور الفقهاء " المالكيّة والشّافعيّة والحنابلة " إلى أنّ الصّلاة لا تسقط عن الميّت بالإطعام. وذهب الحنفيّة إلى أنّه إذا مات المريض ولم يقدر على أداء الصّلاة بالإيماء برأسه لا يلزمه الإيصاء بها.

أمّا إذا كان قادراً على الصّلاة ولو بالإيماء وفاتته الصّلاة بغير عذر لزمه الإيصاء بالكفّارة عنها ، فيخرج عنه وليّه من ثلث التّركة لكلّ صلاة مفروضة ، وكذا الوتر لأنّه فرض عمليّ عند أبي حنيفة.

وقد ورد النّصّ في الصّيام ، وهو قوله صلى الله عليه وسلم : « ولكن يطعم عنه » والصّلاة كالصّيام باستحسان المشايخ لكونها أهمّ.

والصّحيح : اعتبار كلّ صلاة بصوم يوم ، فيكون على كلّ صلاة فدية ، وهي نصف صاع من برّ أو دقيقه أو سويقه ، أو صاع تمر أو زبيب أو شعير أو قيمته ، وهي أفضل لتنوّع حاجات الفقير. وإن لم يوص وتبرّع عنه وليّه أو أجنبيّ جاز إن شاء اللّه تعالى عند محمّد بن الحسن وحده لأنّه قال في تبرّع الوارث بالإطعام في الصّوم يجزيه إن شاء اللّه تعالى من غير جزم. وفي إيصائه به جزم الحنفيّة بالإجزاء

“Mayoritas ulama fiqih (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah) berpandangan bahwa shalat tidak gugur atas mayit dengan memberi makan  (pada orang lain). Sedangkan ulama mazhab Hanafiyah berpandangan bahwa ketika orang yang sakit meninggal, dan ia sebelumnya tidak mampu untuk melaksanakan shalat dengan berisyarat dengan kepalanya, maka ia tidak wajib untuk mewasiatkan tentang shalat yang tertinggal tersebut.

Jika ia mampu untuk melakukan shalat, walaupun dengan berisyarat, dan shalatnya tidak ia laksanakan dengan tanpa adanya uzur, maka wajib baginya untuk mewasiatkan pembayaran kafarat (denda) atas shalat tersebut. Maka pihak wali mayit mengeluarkan harta dari sepertiga harta peninggalan mayit untuk setiap shalat fardhu yang ditinggalkan, begitu juga untuk shalat witir, sebab sahalat witir merupakan amaliah fardhu menurut imam Abu Hanifah.

Dalil nash yang menjelaskan tentang fidyah ini terdapat pada permasalahan puasa, yakni sabda Rasulullah: ‘Tetapi (wajib) memberi makanan sebagai ganti dari puasa’, sedangkan shalat sama persis dengan puasa atas jalan istihsan (anggapan baik) para masyayikh (ulama fiqih Hanafiyah), sebab shalat dipandang lebih penting.

Menurut qaul shahih, setiap shalat disamakan seperti puasa satu hari, maka setiap satu shalat wajib satu fidyah yakni setengah sha’ dari gandum atau tepung atau gandum kecil; atau satu sha’ dari kurma, anggur, jerawut, atau harga dari komoditas tersebut. Memberi fakir miskin nominal harga dari komoditas tersebut dipandang lebih utama, sebab beraneka ragamnya kebutuhan orang-orang fakir.

Jika mayit tidak mewasiatkan tentang shalat yang ia tinggalkan lalu pihak wali mayit atau orang lain ber-tabarru’ (lepas tanggung jawab) untuk membayarkan fidyah, maka hal tersebut insyaallah diperbolehkan hanya menurut pandangan Muhammad bin Hasan saja. Sebab beliau berpandangan bahwa tabarru’-nya wali untuk memberikan fidyah (makanan) atas puasa mayit adalah hal yang mencukupinya insyaallah dengan tanpa adanya kemantapan (bimbang). Sedangkan dalam permasalahan ketika mayit ini mewasiatkan tentang membayar fidyah, maka ulama Hanafiyah mantap untuk berpandangan mencukupi bagi ibadah (shalat atau puasa) mayit” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 25, hal. 83)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembayaran fidyah merupakan salah satu dari pandangan para ulama tentang hal yang bisa menggantikan shalat yang telah ditinggalkan oleh mayit. Cara pembayaran fidyah—jika berpijak pada mazhab Syafi’i—adalah dengan memberi makanan pokok (beras) senilai satu mud (0,6 kilogram atau ¾ liter) kepada fakir miskin sebagai pengganti setiap satu shalat yang ditinggalkan oleh mayit. Sedangkan menurut mazhab Hanafiyah, pembayaran fidyah dapat berupa salah satu di antara dua pilihan, yakni setengah sha’ (1,9 kilogram) gandum atau tepung atau satu sha’ (3,8 kilogram) kurma atau anggur. Wali mayit (anak, saudara, dll) juga dapat mengeluarkan fidyah dengan bentuk nominal uang yang setara dengan harga salah satu dari dua pilihan pembayaran fidyah di atas.

Dua pendapat di atas sama-sama dapat diikuti dan diamalkan, tapi jika wali mayit merupakan penganut mazhab Syafi’i hendaknya konsisten untuk mengikuti pendapat dalam mazhab Syafi’i dalam hal pembayaran fidyah ini, agar tidak terjadi talfiq fil mazhab (pencampuradukan pendapat berbagai mazhab) dalam satu kasus hukum. Selain itu, wali mayit juga dapat memilih  pendapat lain tentang pengganti shalat yang ditinggalkan oleh mayit, misalkan dengan cara mengqadha’ setiap shalat yang ditinggalkan oleh mayit. Sebab persoalan ini sejak awal memang merupakan persoalan yang diperdebatkan di antara ulama. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar