Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 22 Mei 2023

Hukum pajak diniati zakar

HUKUM PAJAK DINIATI ZAKAT, SAHKAH ?...

JAWABAN :

Wa'alaikumussalaam, kalau kita berpegangan dengan madzhab Syafi'i, maka hukumnya sebagaimana sudah maklum, pajak tidak bisa diniati zakat ( zakatnya tidak sah ). Ta'bir di bawah adalah berkaitan dengan penarikan kharaj (pajak) oleh imam sebagai pengganti 'usyur (penarikan seper-sepuluh dari zakat pertanian) maka hukumnya boleh. Hal itu disamakan dengan ketika imam dengan ijithadnya menarik zakat dengan qimah. Dengan demikian, hal di atas tidak berlaku untuk selain imam, kecuali jika sudah masuk kategori mujtahid atau taqlid kepada madzhab yang memperbolehkan.

Catatan:
Pertama: Berikut ta'bir di atas dan terjemahannya:

وَلَوْ أَخَذَ الْإِمَامُ الْخَرَاجَ عَلَى أَنْ يَكُونَ بَدَلًا عَنْ الْعُشْرِ كَانَ كَأَخْذِهِ الْقِيمَةَ فِي الزَّكَاةِ بِالِاجْتِهَادِ فَيَسْقُطُ بِهِ الْفَرْضُ، وَإِنْ نَقَصَ عَنْ الْوَاجِبِ تَمَّمَهُ اهـ

Jika imam menarik kharaj sebagai pengganti 'usyur, maka hal itu saa seperti ketika dia menarik zakat dengan qimah dengan ijtihad.Dengan penarikan tsb maka gugurlah kefardhuan mengeluarkan zakat.Jika masih ada kekurangan maka orang yang ditarik harus menyempurnakannya.

Kedua: Kebolehan di atas, jika memang imam melakukannya dengan ijithad atau taqlid yang benar, jika tidak maka kharaj (pajak) tidak bisa dijadikan sebagai pengganti zakat. Imam Ibnu Hajar menjelaskan dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj juz 12 halaman 101:

بِهَذَا يُعْلَمُ أَنَّ الْمَكْسَ لَا يُجْزِئُ عَنْ الزَّكَاةِ إلَّا إنْ أَخَذَهُ الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ عَلَى أَنَّهُ بَدَلٌ عَنْهَا بِاجْتِهَادٍ أَوْ تَقْلِيدٍ صَحِيحٍ لَا مُطْلَقًا خِلَافًا لِمَنْ وَهِمَ فِيهِ

- Hasyiyah Bujairomiy :

حاشية البجيرمي على شرح منهج الطلاب - (2 / 59)ولو نوى الدافع الزكاة والآخذ غيرها كصدقة تطوع أو هدية أو غيرها فالعبرة بقصد الدافع ولا يضر صرف الآخذ لها عن الزكاة إن كان من المستحقين فإن كان الإمام أو نائبه ضر صرفهما عنها ولم تقع زكاة ومنه ما يؤخذ من المكوس والرمايا والعشور وغيرها فلا ينفع المالك نية الزكاة فيها وهذا هو المعتمد ويؤيده إفتاء ابن الرداد شوبري أي لأن ما يأخذونه من ذلك لا يصرفونه مصرف الزكاة كما قرره شيخنا ح ف

Wallaahu A'lam.

Sabtu, 20 Mei 2023

SHALAT DITEMPAT YG BAWAHNYA ADA NAJIS DAN SHALAT DIATAS TOILET

Kalau sholat di atas tempat yang di bawahnya terdapat najis / mutanajis akan tetapi sudah tertutup dan tidak menyentuhnya ketika sholat, maka sah sholatnya akan tetapi makruh. Sholat di antara najis /mutanajis.

(ومكان) يصلى فيه (عن نجس) غير معفو عنه، فلا تصح الصلاة معه، ولو ناسيا أو جاهلا بوجوده، أو بكونه مبطلا، لقوله تعالى: * (وثيابك فطهر) * ولخبر الشيخين.ولا يضر محاذاة نجس لبدنه، لكن تكره مع محاذاته، كاستقبال نجس أو متنجس. والسقف كذلك إن قرب منه بحيث يعد محاذيا له عرفا.

Dan tempat yang dipakai sholat, wajib (suci dari najis) yang tidak diampuni, maka tidak sah sholat bersamanya meskipun lupa ataupun tidak tahu adanya najis tersebut. Ataupun (tidak tahu) adanya najis tersebut membatalkan sholat. Hal ini berdasarkan Firman Alloh swt : WATSIABAKA FATHOHHIR dan Hadits yang diriwayatkan imam Bukhori dan Muslim. Dan tidak apa-apa berhadapan dengan Najis, akan tetapi MAKRUH hukumnya, seperti sholat menghadap ke Najis atau barang yang mutanajis, dan begitu juga juga atap meskipun najis tersebut dekat dengannya. [FATHUL MU'IN : 25].

HUKUM SHALAT DIATAS TOILET

Jika kenyataannya seperti yang telah disebutkan, maka shalat di tempat yang ada toilet di bawahnya hukumnya boleh. Tidak ada masalah dan tidak makruh dalam hal ini -insya Allah.
Sebab tempat yang dimaksud dalam masalah ini bukan bagian dari toilet tersebut.

Inilah pendapat paling benar di antara pendapat para ulama mengenai masalah ini, sebagaimana dipaparkan oleh Imam Abu Muhammad Ibnu Qudamah al-Maqdisi- semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya yang berjudul “Al Mughni”.

إذا كان الواقع كما ذكر جاز أن يصلي على سطح دورة المياه المذكورة، ولا حرج إن شاء الله ولا كراهية في ذلك؛ لأن السطح لا يتبع الأصل في مثل هذا، وهذا هو الصحيح من قولي
( الجزء رقم : 6، الصفحة رقم: 214)
العلماء في هذه المسألة، كما صرح بذلك أبو محمد ابن قدامة المقدسي رحمه الله في كتابه (المغني).

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

وبالله التوفيق....

Kamis, 18 Mei 2023

Lafadz WALYATALATTOF

Benarkah Warna Merah Lafadz Walyatalattaf sebagai Tanda Tetesan Darah Usman,

Terdapat beberapa keterangan bahwa penulisan walyatalattaf dengan warna merah merupakan pengenang atas kematian Khalifah Usman bin Affan. Warna merah disebut sebagai tanda tetesan darah yang ketika Khalifah Usman dibunuh, beliau memegang mushaf Al Qur’an.
Apakah benar warna merah lafadz walyatalattaf sebagai tanda tetesan darah?

Kita perlu membedah terlebih dahulu perihal lafadz walyatalattaf.

Pertama, apakah semua mushaf Al Qur’an memberikan warna merah terhadap lafadz walyatalattaf?

Kedua, apakah alasannya sehingga lafadz walyatalattaf yang dipilih?

Hal dasar yang perlu kita pahami adalah, mushaf Al Qur’an berbeda dengan Al Qur’an itu sendiri.
Mushaf merupakan medium pengejawantahan tulisan Al Qur’an yang memang seiring berkembangnya waktu akan ada modifikasi.
Sementara Al Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah) tentu sampai kapanpun tidak akan berubah.

Dari pengetahun dasar ini, kita sebenarnya memaklumi berbagai ragam mushaf di kalangan Muslim seluruh dunia.
Termasuk dalam perihal yang akan kita bahas, yakni penulisan lafadz walyatalattaf.
Tentu tidak semua mushaf Al Qur’an baik berupa manuskrip maupun cetak menuliskan lafadz ini dengan tinta merah.
Ada juga yang ditulis dengan tinta hitam namun tebal, tapi ada juga yang ditulis sama dengan lafadz lainnya.

Ketika berbicara tentang lafadz walyatalattaf dan bertinta merah, biasanya kita akan kembali pada ingatan saat kecil dahulu.
Memang mushaf-mushaf dengan gaya huruf-huruf tebal, lebih dominan menyajikan lafadz walyatalattaf dengan warna merah.
Mushaf ini bernama mushaf Bombay, sebuah mushaf yang dicetak di Mumbai India, kemudian diikuti oleh sebagian percetakan mushaf di Indonesia.
Berikut contoh penulisan lafadz ini dengan tinta merah di mushaf Bombay.

Dari gambar di atas, selain lafadz walyatalattaf yang berwarna merah juga terdapat keterangan nisfu Al Qur’an (pertengahan Al Qur’an). Dari keterangan ini, sebenarnya alasan dasar mengapa warna merah itu dipilih, karena untuk membedakan lafadz tersebut dengan lafadz-lafadz yang lain.
Lantas bagaimana dengan pendapat bahwa penulisan warna merah ini sebagai tanda untuk mengenang darah Usman bin Affan yang dibunuh saat memegang mushaf Al Qur’an?

Memang diberbagai catatan, seperti Muhammad Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah menyebut bahwa Usman bin Affan terbunuh saat sedang membaca Al Qur’an. Hal ini senada dengan bukti mushaf Al Qur’an tertua yang disimpan di Tashkent, Uzbekistan.
Berdasarkan catatan reportase detikcom tentang mushaf tersebut, Penjaga Museum itu menyebut bahwa di mushaf tersebut terdapat bekas ceceran darah Usman saat dibunuh, dan itu menunjukkan pada Surat Al Baqarah.

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Amrah binti Arthah juga menyebut bahwa tetesan darah yang menimpa mushaf itu QS. Al Baqarah ayat 137.

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Dari uraian tersebut, nampaknya alasan penulisan walyatalattaf dengan tinta merah untuk mengenang kematian Usman bin Affan cenderung tidak tepat.
Karena darah yang menetes di mushaf Usman bin Affan justru menunjukkan surat Al Baqarah, bukan Al Kahfi sebagaimana kabar-kabar yang sering beredar.

Walyatalattaf  Pertengahan Al Quran
Sebenarnya ada beberapa pendapat tentang pertengahan Al Qur’an, terlebih jumlah ayat pun berbeda menurut para ulama.
Ada yang menyebut 6204 ayat, ada yang menyebut 6214 ayat, 6219 ayat, 6226 ayat, dan 6236 ayat.
Dari berbagai pendapat itu, jumlah kalimat dalam Al Qur’an menurut Al-Fadl Ibnu Syazan, dari Ata Ibnu Yasir, adalah 77.439 kalimat.
Sementara huruf keseluruhannya ada yang berpendapat sebanyak 321.180 huruf, namun ada juga yang menyebut 323.015 huruf.

Mengutip dalam kitab Tafsir At Tahrir wa Tanwir anggitan Ibnu Asyur yang menyebut beberapa pendapat tentang pertengahan mushaf Al Qur’an. Jumhur ulama menyebut bahwa huruf ta’ dalam lafadz walyatalattaf (QS. Al Kahfi :19) merupakan pertengahan Al Qur’an.
Namun ada pendapat lain, seperti Imam Ibnu Athiyah menyebut bahwa Imam Nawawi berpendapat bahwa pertengahan Al Qur’an adalah huruf nun dalam lafadz nukran (QS. Al Kahfi :74).

Dari penjelasan tersebut, nampaknya sudah cukup mewakili kegalauan kita, mengapa walyatalattaf di sebagian mushaf berwarna merah.

Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam.

Sabtu, 13 Mei 2023

DALIL SHALAT QOBLIYYAH JUM'AH


 بسم الله الرحمن الرحيم

سنة صلاة الجمعة القبلية([1])

 سماحة المفتي العام الدكتور نوح علي سلمان

من المعلوم أن صلاة الجمعة تحل محل صلاة الظهر - يوم الجمعة - في حق من وجبت عليه الجمعة، وهذا باتفاق المذاهب الأربعة كما تقدم.

ومن المعلوم أيضاً أن صلاة الظهر تتبعها سنة قبلية وسنة بعدية.

فهل لصلاة الجمعة سنة قبلية وسنة بعدية؟ هذا ما نبحثه في هذا الموطن فنقول:

أولا: السنة البعدية:

اتفقت المذاهب الأربعة على أن للجمعة سنة بعدية([2])، وحجتهم في ذلك قول النبي صلى الله عليه وسلم: (إذا صلى أحدكم الجمعة فليصل بعدها أربع ركعات)([3])

وعن ابن عمر رضي الله عنهما: (أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي بعد الجمعة ركعتين في بيته)([4])

ثانيا: السنة القبلية:

وأما قبل الجمعة:

فقد قال الحنفية([5])  والشافعية([6]) أن سنة الجمعة القبلية كسنة الظهر القبلية، وقتاً وعدداً.

وقال المالكية: يكره لشخص يُقتدى به - كعالم - التنفل عند الأذان الأول، لا قبله، لجالس في المسجد، لا داخل؛ خوف اعتقاد العامة وجوبه، أما عند الأذان الثاني فحرام، لكن هذا أيضاً في حق من يقتدى به([7]) من العلماء وولاة الأمور.

وقال الحنابلة([8]): ليس للجمعة سنة راتبة قبلها، بل يستحب أربع ركعات على وجه النفل المطلق.

وقد احتج القائلون بسنة الجمعة القبلية بما يلي:

1- عن ابن مسعود رضي الله عنه كان يصلي قبل الجمعة أربعاً وبعدها([9]): والظاهر أن هذا توقيف عن النبي صلى الله عليه وسلم وليس اجتهاداً من ابن مسعود رضي الله عنه.

2- قول النبي صلى الله عليه وسلم: (بين كل أذانين صلاة، قالها ثلاثاً، وقال في الثالثة لمن شاء)([10])

3- عن عبد الله بن الزبير رضي الله عنهما مرفوعاً: (ما من صلاة مفروضة إلا بين يديها ركعتان)([11]) وهذا بعمومه يشمل صلاة الجمعة.

قال ابن حجر رحمه الله: "وأقوى ما يتمسك به من مشروعية ركعتين قبل الجمعة عموم ما صححه ابن حبان من حديث عبد الله بن الزبير مرفوعاً: (ما من صلاة مفروضة إلا بين يديها ركعتان) ([12])

4- عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يركع قبل الجمعة أربعاً لا يفصل في شيء منهما([13])، وهذا - وإن ضعفه العلماء - لكن يشهد له الأحاديث الصحيحة التي قبله.

5- وعن ابن عمر رضي الله عنهما: (أنه كان يطيل الصلاة قبل الجمعة ويصلي بعدها ركعتين في بيته، وحدث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفعل ذلك)([14])

6- عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال: (جاء رجل والنبي صلى الله عليه وسلم يخطب الناس يوم الجمعة فقال: أصليت يا فلان، قال: لا، قال: قم فاركع ركعتين)([15])

وجاء هذا الحديث مفسراً في رواية ابن ماجه عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: (جاء سُليك الغطفاني ورسول الله صلى الله عليه وسلم يخطب، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: أصليت ركعتين قبل أن تجيء، قال لا، قال: فصلِّ ركعتين وتجوز فيهما)([16])

ووجه الدلالة في هذه الرواية أن قول النبي صلى الله عليه وسلم: (قبل أن تجيء) يدل على أن الركعتين سنة الجمعة القبلية، وليستا سنة تحية المسجد.

7- إن وقت صلاة الجمعة هو وقت صلاة الظهر، فتكون سنتها كسنة الظهر، وهذا ما جعل البخاري رحمه الله يقول في صحيحه: "باب الصلاة بعد الجمعة وقبلها" ثم ذكر حديث ابن عمر رضي الله عنهما: (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي قبل الظهر ركعتين وبعدها ركعتين، وبعد المغرب ركعتين في بيته وبعد العشاء ركعتين، وكان لا يصلي بعد الجمعة حتى ينصرف فيصلي ركعتين)([17])، فالإمام البخاري رحمه الله يرى الجمعة كالظهر، مع أن ابن عمر رضي الله عنهما ذكر ركعتين بعد الجمعة، ولم يذكر شيئاً قبلها، فرأى الإمام البخاري أن ما قبل الجمعة هو ما ذكره ابن عمر قبل الظهر، فقال: "الصلاة بعد الجمعة وقبلها".

ومن دراسة هذه الأقوال وأدلتها يبدو تقاربها، فكل المذاهب تحث على صلاة النافلة قبل جلوس الإمام على المنبر ليخطب الجمعة، عملاً بحديث: (لا يغتسل رجل يوم الجمعة ويتطهر ما استطاع من طهر، ويدهن من دهنه، أو يمس من طيب بيته ثم يخرج فلا يفرق بين اثنين، ثم يصلي ما كتب له، ثم ينصت إذا تكلم الإمام: إلا غفر له ما بينه وبين الجمعة الأخرى)([18])، وقد تقدم.

لكن هذه الصلاة النافلة التي قبل الجمعة هل هي نافلة مطلقة كما يرى المالكية والحنابلة، ولذا تكون قبل الأذان الثاني الذي بين يدي الخطيب، أم هي نافلة تابعة للجمعة تكون قبل الصلاة ولو كان الإمام على المنبر كما يرى الحنفية والشافعية؟

يقول ابن رجب رحمه الله: " بعد زوال الشمس وقبل خروج الإمام - يعني يوم الجمعة -: هذا الوقت يستحب الصلاة فيه بغير خلاف نعلمه بين العلماء سلفا وخلفا، ولم يقل أحد من المسلمين إنه يكره الصلاة يوم الجمعة، بل القول بذلك خرق لإجماع المسلمين - ثم ذكر آثارا كثيرة عن الصحابة في استحباب هذه الصلاة، ثم قال: - وقد اختلف في الصلاة قبل الجمعة: هل هي من السنن الرواتب كسنة الظهر قبلها، أم هي مستحبة مرغب فيها كالصلاة قبل العصر؟ وأكثر العلماء على أنها سنة راتبة، منهم: الأوزاعي والثوري وأبو حنيفة وأصحابه، وهو ظاهر كلام أحمد، وقد ذكره القاضي أبو يعلى في " شرح المذهب " وابن عقيل، وهو الصحيح عند أصحاب الشافعي. وقال كثير من متأخري أصحابنا : ليست سنة راتبة، بل مستحبة"([19])

لقد ساق الحنفية والشافعية أدلتهم، وبعضها في حق مَن دخل والإمام يخطب، وهو حديث سُليك الغطفاني، وأما المالكية والحنابلة فدليلهم عدم ورود نص في الموضوع من وجهة نظرهم، مع ملاحظة أنه لم يكن في زمن النبي صلى الله عليه وسلم إلا أذان واحد للجمعة عند جلوسه صلى الله عليه وسلم على المنبر، ولم تكن مراعاة التوقيت دقيقة كما هي في زماننا، ويبدو هذا مما سبق من خلاف في وقت الجمعة، فالبعض يرى أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعجل بها وكأنها قبل الزوال - كما يرى الحنابلة -، والبعض يرى أنه كان يؤخرها إلى ما بعد الزوال - كما هو مذهب المالكية والحنفية والشافعية - وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي كل السنن في بيته، فلعله كان يصلي سنة الجمعة القبلية في بيته، ثم يخرج فيصعد المنبر، ويؤذن المؤذن بين يديه.

فالمسألة تحتمل ما قاله كل مذهب، وإذا كانت صدور الفقهاء من المالكية والحنابلة واسعة في الموضوع، فصاحب كتاب "الجواهر الزكية" للشيخ أحمد بن ترك المالكي يقول: "يكره للجالس أن يتنفل عند الأذان الأول كما يفعله الشافعية والحنفية خيفة اعتقاد وجوبه".

أي أن سبب الكراهة خشية التباس السنة بالفريضة لا لورود نهي عنها.

ويقول الإمام الصفتي في الحاشية معلقاً على هذا: "فائدة: إذا كان شخص مالكي بحضرة جماعة شافعية أو حنفية فلا بأس أن يصلي عند الأذان - أي الأول - كما قرره بعض شيوخنا"([20])  

ورحم الله الشيوخ الذين يزنون كلامهم بميزان الفقه ويكرهون تفرق المسلمين واختلافهم.

وابن قدامة يقول في "المغني": "فأما الصلاة قبل الجمعة فلا أعلم فيه إلا ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يركع من قبل الجمعة أربعاً" رواه ابن ماجه، وروى عمرو بن سعيد بن العاص عن أبيه قال: كنت ألقى أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم فإذا زالت الشمس قاموا فصلوا أربعاً" ثم ذكر بعض ما احتج به الشافعية لمذهبهم([21])  فكأنه يميل إلى قول الشافعية والحنفية نظراً لأدلتهم، ولكنه ما أحب الخروج عن مذهبه في المسألة.

ومِن كل ما تقدم يبدو لي رجحان مذهب الحنفية والشافعية في هذه المسألة، وأن الجمعة لها سنة قبلية مثل صلاة الظهر، والأحاديث والآثار فيها كثيرة، وصرفها عن ظاهرها لا موجب له، والله تعالى أعلم.

([1]) هذا البحث كان مختصرا في الأصل، فأحببت أن أوسعه نظرا لكثرة الكلام فيه بين طلاب العلم في هذه الأيام، حتى صار البعض ينكر على من يصلي سنة الجمعة القبلية تأثرا بالمذهب الذي تفقه عليه.

([2]) انظر: عند الحنفية: "الاختيار": 1 /228، وعند المالكية "الاستذكار" (2 /630)، حديث رقم: (423)، قال: "ويركع الإمام في منزله بعد الجمعة ركعتين وكذلك من خلفه"، وانظر: "الشرح الصغير": (1 /511)، وعند الشافعية "المنهاج" للنووي (2 /215)، "مغني المحتاج" (1 /220)، وعند الحنابلة "الكافي" (1 /302) و"نيل المآرب" (1 /70).

([3]) رواه مسلم رقم: (2073)

([4]) روه البخاري رقم: (895)، ومسلم رقم: (2077).

([5]) الاختيار (1 /2228).

([6]) المنهاج (1 /216).

([7]) الشرح الصغير (1 /511).

([8]) نيل المآرب (1 /70)، الكافي (1 /300)، كشاف القناع (1 /496)، (2 /46).

([9]) روى الترمذي (2 /399، رقم: 523)

([10]) رواه البخاري رقم: (627)

([11]) رواه ابن حبان في صحيحه رقم: (2488)

([12]) فتح الباري (3 /351).

([13]) ابن ماجه رقم: (1129)

([14]) سنن البيهقي (2 /349)، وصحيح ابن حبان (6/220)

([15]) رواه البخاري رقم: (888)، ومسلم رقم: (875).

([16]) سنن ابن ماجه رقم: (1114)

([17]) انظر صحيح البخاري رقم: (895)

([18]) رواه البخاري رقم: (883)

([19]) فتح الباري (5 /541)

([20]) الجواهر الزكية (2 /74).

([21]) المغني (4 /220).

الله اعلم بالصواب.

PUASA DALAM DIMENSI SOSIAL

Puasa Dalam Dimensi Sosial.

Puasa Ramadhan tahun ini pelaksanaannya berbeda dengan tahun-tahun yang lalu.  
Kita, tidak bisa shalat  tarawih berjamaah di masjid, pengajian atau ceramah menjelang buka puasa, ceramah sebelum shalat  tarawih, dan kegiatan-kegiatan lain yang biasanya diselenggrakan selama Ramadhan, tahun ini semuanya ditiadakan. Ini akibat menjalarnya virus Corona, yang mengharuskan kita untuk tidak keluat rumah, tidak boleh ada kerumunan atau kumpul-kumpul sampai hari ini masih terjadi. Suasana Ramadhan tahun-tahun lalu yang meriah dan semarak, tahun ini tidak kita rasakan. Namun demikian, kita berharap adanya virus Corona ini tidak mengurangi kekhusyuk’an kita dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan tahun ini.

Peletakan perintah puasa di bulan Ramadhan  pada konteks sistem sosial Islam, secara implisit mengisyaratkan refleksi sosial dalam substansi puasa. Maksudnya, puasa bukan hanya ritual tahunan yang berfungsi membina individu Muslim.
Tapi, ia juga mengandung sejumlah imbasan positif dalam kehidupan masyarakat.

Dalam Islam ada banyak jenis ibadah.

Ada ibadah yang bersifat lisan (zikir), tindakan (shalat), harta (zakat) dan lainnya.

Ada juga yang menggabungkan beberapa sifat, seperti jihad dan haji yang memadukan antara harta dan perbuatan.

Ada lagi yang bersifat pasif. Artinya, perintahnya berisi larangan untuk melakukan suatu hal tertentu.
Puasa termasuk dalam golongan ini.
Sekalipun bersifat pasif, puasa sesungguhnya menyentuh banyak dimensi  —khususnya dimensi kejiwaan— yang pada akhirnya bersifat aktif.
Sebab, hampir semua efek puasa bermuara pada peningkatan pengendalian diri.

Surat Al-Baqarah ayat 183, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”

yang selalu menjadi landasan dalam melakukan perintah berpuasa, bukanlah perintah baru.
Semua umat terdahulu juga telah diwajibkan menjalani puasa. Hanya bentuk dan tata cara pelaksanaannya yang agak berbeda.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya, mengatakan bahwa puasa umat terdahulu –sejak nabi Nuh—adalah tiga hari setiap bulan.
Syariat itu baru dinasakh setelah Islam datang.
Itupun setelah Rasulullah saw, hijrah dari Mekah ke Madinah. Sebab, sebelum itu sahabat-sahabat Rasulullah saw juga berpuasa tiga hari setiap bulan.

Kedalaman akar historis syariat puasa itu, jelas menambah bobot urgensi puasa serta semua dimensi tarbawi yang tercakup di dalamnya.
Tapi bobot itu semakin terasa kuat, ketika kita mengaitkan momentum turunnya syariat puasa ini. Yaitu, pada bulan Ramadhan  bulan turunnya Al-Qur’an.
Puasa secara substansial, adalah sarana pembinaan masyarakat Islam yang dilaksanakan secara berkala.
Sebagai sarana, puasa memiliki keistimewaan tersendiri, karena ia menyentuh setiap individu masyarakat Muslim secara langsung.
Pada kaitan yang terakhir ini, syariat puasa dibangun sedemikian rupa berdasar keselarasan struktur psikis dan fisik manusia sebagai individu, serta keterkaitannya dengan pola kehidupan sosial masyarakat Muslim.

Manusia yang terdiri dari tanah dan ruh, selalu mengalami pertarungan internal, antara kehendak ruh untuk menjadi suci sesuci malaikat.
Dengan daya tarik tanah (dunia) untuk memenuhi tuntutan nafsu hewani dalam dirinya. Peristiwa menang-kalah dalam pertarungan itu merupakan siklus kehidupan rohani manusia. Melalui puasa, Allah SwT mensuplai manusia dengan kekuatan ruh untuk memenangkan kehendak-kehendak baik dalam dirinya, serta mematikan seluruh dorongan jahat yang bercokol dalam nafsunya.          Dorongan-dorongan jahat ketanahan dalam diri manusia mempunyai dua kecenderungan yakni, hewani dan syaitoni.
Dan keduanya, tertanam dalam instink manusia.
Lalu terdorong secara fisik setelah mendapat suplai makan dan minum atau rangsangan luar.
Maka, ketika ketiga hal tersebut dikeluarkan –untuk sementara waktu—dari bagian kehidupan manusia, ia secara otomatis akan merasakan ‘penguatan’ pada jiwanya.
Seluruh pikiran dan jiwanya akan terfokus pada tujuan-tujuan besar yang melandasi proses penciptaannya, yaitu ibadah kepada Allah SwT.
Pada waktu yang sama, kehendak-kehendak baiknya akan terdorong secara kuat untuk melaksanakan semua kebajikan yang menyampaikannya pada tujuan-tujuan besar itu.
Sekaligus merasa lebih tinggi dari semua bentuk daya tarik duniawi. Baik makan, minum atau menggauli wanita.

Karena puasa diwajibkan kepada kaum Muslimin, sudah tentu pengkondisian individu –seperti tersebut—akan mengimbasi pola dan nuansa kehidupan sosial masyarakat Muslim.

Dimensi sosial dari puasa paling tidak dapat dilihat dari beberapa hal.
Pertama, puasa dapat menimbulkan ikatan-ikatan kemanusiaan dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya kaum Muslim.
Lapisan masyarakat kaya, pada bulan puasa ini secara langsung maupun tidak langsung (ikut) merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat fakir-miskin. Itu merupakan bentuk pelatihan kepekaan sosial yang bernuansa imani.
Sehingga efeknya terasa lebih kuat dibanding bentuk sarana pelatihan lainnya.
Ini pula yang menyebabkan, mengapa kaum Muslim itu rata-rata mudah bersedekah dan berinfak di bulan Ramadhan .

Kedua, menguatnya semangat pembelaan dan pengorbanan dihati kaum Muslimin.
Karena, selama puasa mereka mengalami kemerdekaan jiwa dan iman dari segala bentuk perbudakan duniawi (hewani dan syaitoni) yang sering mengangkanginya diluar puasa. Keterlepasan jiwa dari pesona dunia itu telah meringankan langkah mereka menapaki ketinggian langit, mengeratkan hubungan dan ketergantungan mereka terhadap Allah sekaligus rasa percaya diri dan keberanian. Inilah rahasia besar, mengapa Allah SwT mensyariatkan jihad (perang) pertama, yaitu perang Badar, justru pada bulan Ramadhan .
Sebab, secara imani mereka lebih kondusif menerima beban berat.
Dibanding ketika tuntutan jasmani mereka mendominasi suasana hati mereka.

Ketiga, menurunnya dorongan-dorongan destruktif (merusak), karena gerak syahwat mereka terbatasi selama puasa. Dalam konteks kehidupan sosial, hal ini bisa dilihat dari menurunnya angka kriminalitas selama bulan Ramadhan .

Pada hakekatnya, puasa sebagai sarana bagi manusia untuk membentuk dua hubungan, yaitu hubungan dengan Allah SwT (hablun min Allah), dan hubungan dengan manusia (hablun min al-naas). Dikatakan sebagai pembentuk hubungan dengan Allah SwT, karena puasa mengandung tujuan penghambaan seumur hidup kepada Allah SwT.
Manusia lahir sebagai hamba Tuhan dan adanya manusia semata-mata untuk beribadah kepada Allah SwT.

Adapun sebagai pembentuk hubungan dengan manusia, karena dengan berpuasa manusia dapat merasakan penderitaan kelaparan orang-orang yang miskin. Sehingga dalam diri orang yang berpuasa, tumbuh solidaritas sosial yang tinggi untuk membantu saudaranya yang lain yang menderita kekurangan. Dengan puasa, seseorang dilatih untuk mengontrol dirinya atau dengan kata lain sebagai latihan kesabaran.
Kesabaran inilah yang pada akhirnya bisa digunakan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dengan hati dan pikiran yang tenang, tanpa tercampur dengan sifat emosi seperti yang terjadi saat ini.

Bagaimanapun juga, puasa merupakan sarana untuk membersihkan hati. Sedangkan hati adalah pusat dari kecerdasan ruhaniah yang perlu mendapatkan pendidikan ruhani. Karena dengan hati, Allah ingin memanusiakan manusia. Memuliakannya dari segala makhluk ciptaan-Nya.

Keutamaan bulan Ramadhan  ini, semestinya dilihat dalam konteks peningkatan amaliah ke-Islaman, baik itu yang bersifat fardi (individu) maupun jama’i (kolektif), yang mencakup seluruh permasalahan umat Islam saat ini. Secara individu semaksimal mungkin memanfaatkan Ramadhan  untuk tazkiyatunnufus (membersihkan jiwa), tafaquh fiddin (memperdalam agama) dan ikut mendukung rangakaian acara yang digelar pada bulan mulia ini.

Secara kolektif, adalah menanamkan kebersamaan di kalangan umat. Tergalangnya kerjasama dalam berbagai aktivitas, mengembangkan sikap saling mengisi antara umat yang sama-sama mengemban misi dakwah, dan memanfaatkan seluruh potensi umat untuk mengemban misi dakwah dan lain-lainnya. Alangkah naifnya apabila bulan Ramadhan  yang mulia ini kita isi dengan kegiatan yang penuh dengan hura-hura dan foya-foya.

Allahu A'lam.

Puasa Mengandung 5 Fungsi dan 3 Dimensi.


FILOSOFI PUASA

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif, M.A.
Pakar Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor

Puasa adalah ritual klasik yang terdapat pada semua agama wahyu. Inilah yang disitir dalam firman Allah, “Kama kutiba'alal ladzina min qablikum,” (QS al-Baqarah [2]: 183), sebagaimana diinstruksikan kepada umat-umat para nabi zaman dahulu yang notabene semuanya beragama Islam juga.

Bagaimana persisnya cara mereka berpuasa hanya dapat diduga-duga, mungkin begini dan mungkin begitu, namun sukar untuk dipastikan seperti apa praktiknya. 
Yang jelas, syariat Nabi Muhammad SAW sebagai syariat paling mutakhir telah menganulir sekaligus mengintrodusir bentuk final tata tertib puasa bagi kaum beriman (alladzina amanu) seperti Anda. 

Artinya, cara berpuasa yang tidak sejalan atau berbeda dengan regulasi yang ditetapkan dalam syariat Islam (yakni preskripsi Alquran dan tradisi Rasulullah) dianggap nihil.
Ditilik dari sudut semantik, lafaz ‘shiyām’ yang dipakai al-Qur’an untuk ‘puasa’ asalnya mengandung arti bertahan atau menahan diri, dari kata kerja refleksif shāma-yashūmu. 

Namun, dalam konteks syariat Islam, puasa (shiyām) yang dimaksud ialah menahan diri dari makan-minum dan kegiatan seksual sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan niat ibadah kepada Allah tentunya. Khusus di bulan suci Ramadhan, puasa merupakan kemestian perorangan (fardhu ‘ayn) setiap individu yang berakal dan tumbuh dewasa dengan beberapa pengecualian yang diuraikan detailnya dalam buku-buku fikih. 

Di luar bulan suci Ramadhan, kaum Muslim juga dibolehkan dan dianjurkan berpuasa secara sukarela (tathawwu‘) berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW di samping puasa denda dan kompensasi (qadhā’) sesuai dengan aturan yang berlaku.

Multifungsi Puasa
Seperti halnya yang lain, puasa adalah ibadah multifungsi dan multidimensi.

Ada 5 fungsi dan 3 dimensi puasa bagi orang Islam.

Fungsi pertama boleh kita namakan fungsi konfirmatif.

Jangan mengaku orang Islam dan beriman kalau tidak puasa pada bulan suci Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan. 

Berpuasa merupakan bukti pengukuh keislaman dan keimanan Anda.

Kedua, fungsi purifikatif.
Orang yang berpuasa sesungguhnya menyucikan dirinya.
Puasa adalah instrumen pembersih kotoran-kotoran jiwa seperti halnya shalat. 
Orang yang berpuasa tidak hanya menolak yang haram dan menjauhi yang belum tentu halal dan belum tentu haram. 
Jangankan yang syubhat dan yang haram sedangkan yang jelas halal pun tak dijamahnya.

Puasa berfungsi mematahkan dua syahwat sekaligus, yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan.
Demikian kata Imam ar-Razi dalam kitab tafsirnya (Mafatih al-Ghaib, cetakan Darul Fikr Lebanon 1426/2005, juz 4, jilid 2, hlm 68).

Syah Waliyyullah ad-Dihlawi menambahkan, puasa itu ibarat “tiryāq” penawar bagi racun-racun setan, semacam “detoksifikasi spiritual“. 
Dengan puasa, Anda memukul naluri kebinatangan (al-bahimiyyah) yang mungkin selama ini menguasai diri Anda. Puasa sejati melumpuhkan setan dan membuka gerbang malakut (Hujjatullah al-Balighah, cetakan Kairo 1355 H, juz 1, hlm 48-50). 

Itulah sebabnya mengapa dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mereka yang berhasil menamatkan puasa sebulan Ramadhan disertai iman dan pengharapan bakal dihapus dosa-dosanya sehingga kembali suci fitri bagaikan bayi baru dilahirkan dari rahim ibunya.

Ketiga, fungsi iluminatif. Para awliya’ dan orang-orang saleh diketahui amat suka berpuasa karena seperti dituturkan oleh Syekh Abdul Wahhab as-Sya‘rani dalam kitabnya, mereka justru memperoleh pencerahan batin (ghayat an-nuraniyyah) dan peneguhan rohani serta berbagai kebajikan yang berlimpah tatkala mereka berpuasa (Tanbih al-Mughtarrin, cetakan Damaskus, hlm 55). 

Hal itu karena puasa menaikkan status mereka ke derajat malaikat yang penuh taat dan hampa maksiat. Hasilnya, semakin dekat mereka kepada Allah, sumber hakiki segala ilmu, dan hikmah manusia. Puasa juga menjernihkan ruang komunikasi spiritual antara alam nasut dengan alam malakut. Pada saat berpuasa, sinyal-sinyal makrifat akan lebih jelas, mudah, dan banyak dapat ditangkap.

Keempat, fungsi preservatif. Selain menyucikan jiwa dan mencerahkan nurani, ibadah puasa juga berdampak positif terhadap kesehatan tubuh kita. Sebuah hadis yang disandarkan kepada Rasulullah menyatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu sehat” (shūmū, tashihhū), riwayat Imam at-Thabarānī dari Abi Hurayrah RA dan Ibn ‘Adiyy dari Sayyidina ‘Ali dan Ibn ‘Abbas RA. 

Meskipun jalur transmisi hadis ini masih diperdebatkan, kebenaran muatan atau isinya sudah banyak dibuktikan secara medis. Kalau kita makan tiga kali sehari maka rata-rata tiap delapan jam lambung kita mendapat tugas baru. 

Padahal, makanan ditampung dan dicerna oleh lambung selama empat jam, diolah sampai diserap oleh usus selama empat jam. Ini berarti perut kita terus-menerus bekerja tanpa istirahat sama sekali. Nah, puasa memberikan interval waktu bagi organ-organ pencernaan tersebut untuk merenovasi sel-sel yang rusak dan memberikan kesempatan energi tubuh memenuhi kebutuhan organ-organ lainnya.

Benarlah sabda Rasulullah, “Segala sesuatu ada zakatnya. Zakatnya tubuh adalah puasa (likulli syay’in zakah, wa zakatul jasad as-shawmu),” hadis riwayat Imam Ibn Majah dari Abi Hurairah ra (No 1745). Bukankah zakat itu makna dasarnya bersih dan tumbuh sehingga puasa berarti tazkiyatun nafs plus tazkiyatul jasad?

Penelitian mutakhir Hari Basuki dan Dwi Prijatmoko (2005) dari FKG Universitas Jember menyimpulkan bahwa puasa selama Ramadhan dapat menurunkan risiko kardiovaskuler melalui perubahan komposisi tubuh, tekanan darah, dan plasma kolesterol. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari puasa walaupun pada musim panas yang waktu siangnya lebih panjang dari dari waktu malam, seperti di Eropa atau di Australia.

Sebagaimana ditegaskan A. J. Carlson, Profesor Fisiologi di Universitas Chicago Amerika Serikat, seorang manusia normal yang sehat bisa bertahan hidup 50 hingga 75 hari tanpa makanan, asalkan tidak terkena unsur-unsur toksik dan atau tekanan emosi. Cadangan lemak dalam tubuh manusia diyakini lebih dari cukup untuk memberinya tenaga untuk bekerja selama beberapa minggu.

Kelima, di atas itu semua, puasa berfungsi mengubah. Ya, puasa merupakan ibadah transformatif. Puasa seperti disyariatkan oleh agama dapat mengubah diri anda menjadi orang bertaqwa: La‘allakum tattaqûn, firman Allah dalam kitab suci al-Qur’an (2:183).

Kalau latihan militer bisa mengubah seseorang yang asalnya lemah lembut lagi penuh kasih sayang menjadi keras dan bengis tak mengenal belas kasihan, maka latihan Ramadhan dapat mengubah seseorang yang tadinya fasiq (banyak melanggar hukum Allah) atau munafiq menjadi shaleh dan bertaqwa kepada Allah.

Hal ini cukup logis kalau kita ingat bahwa puasa itu merupakan ibadah rahasia, bukan ibadah publik yang dapat disaksikan oleh orang lain seperti halnya sholat, zakat dan haji. Hanya Allah dan kita sendiri sebagai pelakunya yang mengetahui apakah kita berpuasa ataukah tidak.

Dampak transformatif puasa juga terkait dengan kecerdasan emosi.
Daniel J. Goleman (1995) mengutip penelitian seorang psikolog terhadap sejumlah anak-anak TK usia 4 tahun. Anak-anak ini dipanggil satu per satu oleh guru mereka ke dalam sebuah ruangan dan disuguhkan sepotong kue lezat di atas meja.

Sang guru berkata: “Bu Guru akan keluar sebentar dan kamu boleh makan kue ini, tetapi kalau kamu tunggu beberapa menit sampai Bu Guru datang, kamu akan dapat dua (ditambah sepotong lagi).”

Empat belas tahun kemudian, setamatnya mereka dari sekolah menengah, anak-anak yang dulunya langsung makan kue tersebut ditemukan rendah prestasinya, labil emosinya, cenderung suka bertengkar, dan sulit mencapai target yang dikehendaki.

Sementara mereka yang sabar menunggu sampai Bu Guru datang dan karena itu mendapat imbalan dua potong kue, ditemukan lebih baik prestasinya, mempunyai emosi yang stabil, lebih berdikari, dan mampu mengendalikan diri dalam keadaan tertekan sekalipun. 

Begitu pula orang seperti Imam as-Syafi‘i dan para ilmuwan hebat lainnya sukses dalam kariernya berkat banyak puasa.

Multidimensi Puasa
Dalam salah satu kitabnya yang terkenal, Imam al-Ghazali menguraikan beberapa dimensi puasa yang baik diketahui jika kita menghendaki hasil optimal sebagaimana tersebut di atas dan bukan sekadar hasil minimal, yaitu gugurnya kewajiban dan tetapnya identitas diri sebagai mukmin Muslim. 

Menurutnya, Ada tiga dimensi puasa.

Pertama, dimensi eksoteris di mana Anda menahan diri dari makan-minum dan kegiatan seksual.
Beliau menyebutnya shaum al-bathn wa al-farj.
Dimensi ini penting karena menjadi syarat minimal puasa. 

Kedua, dimensi semi-esoteris di mana seseorang itu tidak hanya berpuasa perut dan kemaluannya, tetapi juga panca indra dan anggota badan lainnya. Yakni, apabila ia mengunci penglihatan, pendengaran, dan kaki tangannya dari segala yang haram dan syubhat. Imam al-Ghazali mengistilahkannya shaum al-jawarih.

Ketiga adalah dimensi esoteris di mana Anda berpuasa total, mencekik syahwat badaniah, dan syahwat batiniah sekaligus. 

Namanya shaum al-qalb, yaitu apa bila hati dan akal pikiran pun berpuasa dari pelbagai keinginan, kerinduan, dan harapan kepada sesuatu dan sesiapa jua, melainkan Allah. Menurut Imam al-Ghazali, seyogianya puasa kita merangkum tiga dimensi tersebut. (Lihat: Ihya Ulumuddin, juz 3, hlm 428-430). 

Semoga bermanfa'at.

Allahu A'lam

TIGA DIMENSI AJARAN ISLAM

Tiga Dimensi Ajaran Islam.
  

Ajaran Islam, setidaknya mengandung tiga dimensi di dalamnya.
Dimensi pertama, yaitu dimensi intelektual, kedua adalah dimensi ritual dan ketiga adalah dimensi sosial.

Kita masuk ke dimensi yang pertama, dimensi Intelektual.

Dimensi intelektual (dimensi pengetahuan), yaitu dimensi yang menunjukan tingkat pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
dalam agama Islam, dimensi ini termasuk dalam pengetahuan tentang Ilmu Fiqh, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Tasawuf.

Belum lagi Allah menyuruh kita untuk melaksanakan perintah sholat, melaksanakan perintah puasa, melaksanakan perintah zakat dan haji, terlebih dahulu Allah menyuruh kita untuk memiliki ilmu pengetahuan. Hal ini tertuang dalam wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW di gua hira’ yaitu surat Al Alaq ayat 1-5 pada bulan penuh keberkahan yaitu bulan Ramadhan.

اقْرَأْبِاسْمِرَبِّكَالَّذِيخَلَقَ (1) خَلَقَالْإِنسَانَمِنْعَلَقٍ (2) اقْرَأْوَرَبُّكَالْأَكْرَمُ (3) الَّذِيعَلَّمَبِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَالْإِنسَانَمَالَمْيَعْلَمْ (5)

(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan;
(2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah;
(4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena);
(5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-Alaq, 96:1-5)

Dari wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah, tersirat pesan agar setiap umat membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya dalam hadist Rasulullah disampaikan bahwa :

مَنْأَرَادَالدُّنْيَافَعَلَيْهِبِالْعِلْمِ, وَمَنْأَرَادَالأَخِرَةَفَعَلَيْهِبِالْعِلْمِ, وَمَن أَرَادَهُمَافَعَلَيْهِبِالْعِلْمِ

"Barangsiapa yang ingin berbahagia dunia, maka ia harus berilmu pengetahuan; dan barangsiapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, maka ia wajib berilmu pengetahuan, dan barang siapa yang ingin berbahagia kedua-duanya, maka ia wajib berilmu pengetahuan". (HR. Bukhari dan Muslim).

Dengan spektrum yang demikian luas, ilmu pengetahuan menjadi bekal utama bagi umat Islam untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Oleh karena itu selayaknya kita menjadikan Pendidikan sebagai fondasi dengan materi yang mampu terinternalisasi dan lekat di dalam diri setiap umat Islam.

Sehingga hendaknya pendidikan itu memberi warna bukan menyeragamkan, pendidikan itu memberi ruang untuk berkarya, bukan mematikan kreasi, dan yang terpenting pendidikan itu menyenangkan bukan menakutkan, sehingga ilmu pengetahuan dengan mudah dapat terinternalisasi ke dalam diri manusia.

Dimensi yang kedua yaitu Dimensi Ritual

Allah secara tegas menyampaikan bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam surat Ad Zariyat ayat 56 disampaikan bahwa :

وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالْإِنْسَإِلَّالِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah aku ciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepada Ku”.

Jelas sekali tersurat pesan yang disampaikan Allah bahwa ibadah merupakan salah satu tujuan diciptakannya manusia. Setelah manusia dibekali ilmu pengetahuan, dengan ilmu pengetahuan tersebut manusia beribadah kepada Allah SWT yaitu dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasaillam bersabda,

“Sesungguhnya perkara pertama kali yang dihisab pada hari kiamat dari amal seorang hamba adalah shalat. Jika shalatnya baik, maka sungguh dia beruntung dan selamat. Jika shalatnya buruk, maka sungguh dia celaka dan rugi.
Jika terdapat suatu kekurangan pada shalat wajibnya, Allah Ta’ala berfirman, “Periksalah, apakah hamba-Ku memiliki ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?” Lalu setiap amal akan diperlakukan sama seperti itu.” (HR. Tirmidzi)

Dari hadist Rasulullah tersebut dapat kita pahami bahwa selain ibadah wajib seperti sholat, puasa, zakat, dan haji, maka segala sesuatu yang kita lakukan diridhoi oleh Allah SWT, maka hal tersebut dinilai sebagai ibadah. Bahkan seorang muslim yang membuang duri di tengah jalan agar manusia lain tidak tertusuk oleh duri tersebut, maka hal itu sudah menjadi nilai ibadah di sisi Allah SWT.

Maka di bulan Ramadhan yang penuh hikmah ini selain melakukan ibadah-ibadah wajib, menjadikan ibadah-ibadah sunnah sebagai prioritas selanjutnya.
Sungguh ibadah sunnah tersebut kelak mampu menutupi kekurangan kita dalam melaksanakan ibadah wajib sehingga menjadi paripurna di mata Allah SWT.

Dimensi yang ketiga yaitu Dimensi Sosial

Selain mengatur tentang hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah), ajaran islam juga mengatur tentang hablum minannas (hubungan manusia dengan sesama manusia).
Baik hubungan dengan Allah, maupun hubungan dengan sesama manusia harus dilaksanakan secara seimbang. Manusia juga harus berhubungan dengan baik dengan makhluk ciptaan Allah lainnya termasuk dengan alam dan seisinya.

Dalam suasana pandemi Covid-19 ini manusia diuji demikian kerasnya oleh alam. Kita seolah diminta untuk melakukan evaluasi terhadap perlakuan diri selama ini kepada alam dan penghuninya.
Kita digiring untuk dapat memahami bagaimana semestinya memperlakukan alam dengan layak.
Bahwasanya kita sebagai penghuni bumi, harus mampu memahami cara memelihara bumi sebagai tempat satu-satunya kita bernaung di dunia.

Pandemi ini juga telah mengubah perspektif kita dalam melihat hubungan sosial.
Sudut pandang sosial kita menjadi lebih luas.
Peduli pada keluarga dengan tidak saling berkunjung, membuat kita memperluas pandangan kepada kerabat jauh bahkan mereka yang tak dikenal yang barangkali membutuhkan uluran bantuan.

Meningkatkan kepekaan kita pada mereka yang terdampak demikian besarnya akibat Covid-19, membantu mereka selagi mampu, bahkan dalam kondisi yang sama-sama sempit. Begitu pula mereka yang dibantu, menjadi mampu merasakan kasih sayang bersaudara sesama umat. Memercayai bahwa masih begitu banyak orang baik di dunia ini, menerima gelombang kasih sayang tanpa dahulu pernah saling kenal.
Bukankah dengan demikian hubungan sosial kita menjadi jauh lebih luas?

Oleh karenanya mari kita tengadahkan tangan lebih lama seusai shalat fardhu dan sunnah, semoga segala hal yang saat ini terjadi, pada akhirnya membawa kebaikan pada seisi bumi termasuk penghuninya. Pada akhirnya, semoga hal ini kelak memunculkan sikap menghargai di antara sesama umat manusia, mempertajam kepekaan, dan melembutkan hati-hati kita dalam bersikap kepada sesama manusia alam beserta isinya.

Demikianlah habluminannas kita dilecut pada pandemi yang barangkali tidak semua generasi merasakannya, akan ada “the new normal” yang nanti akan kita jelang. Semoga saja hal tersebut adalah sesuatu yang baik dan jauh bernilai.

Sebagai penutup, "Semua manusia adalah mati, kecuali yang berilmu, semua yang berilmu adalah terlelap kecuali yang beramal, semua yang beramal adalah tertipu kecuali yang ikhlas dalam amalannya".

Semoga kita senantiasa mengamalkan setiap nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran islam sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat nantinya.

Allahu A'lam

Selasa, 09 Mei 2023

Pedagang yang curang dan Etika BERBISNIS bagi Muslim

Pedagang yang Bermain Curang dalam Timbangan

Untuk meraup keuntungan besar, salah satu cara yang dilakukan pedagang adalah bermain curang dalam hal timbangan. Padahal bermain curang seperti ini terancam dalam ayat Al Quran.

Manakah ayat Al Quran yang menyebutkan masalah ini?

Allah Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ (1) الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ (2) وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ (3)

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. Al Muthoffifin: 1-3).

Kalimat Al Muthoffifin ditafsirkan dengan ayat selanjutnya, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi secara sempurna, tanpa boleh ada kekurangan. Namun saat mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka malah mengurangi. Bisa jadi dengan alat takaran atau timbangan yang mereka curangi. Mereka bisa pula berbuat curang dengan enggan menyempurnakan takaran atau timbangan, atau semisal itu. Ini sama saja merampas harta manusia tanpa lewat jalan yang benar.

Jika ancaman bagi yang beruat curang dalam timbangan timbangan atau takaran saja seperti itu, bagaimanakah lagi dengan orang yang merampas dan mencuri, tentu lebih parah dari Al Muthoffifin. Demikian penjelasan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya.

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir Al Quran Al ‘Azhim berkata bahwa yang dimaksud dengan Al Muthoffifin adalah berbuat curang ketika menakar dan menimbang. Bentuknya bisa jadi, ia meminta untuk ditambah lebih ketika ia meminta orang lain menimbang. Bisa jadi pula, ia meminta untuk dikurangi jika ia menimbangkan untuk orang lain. Itulah mengapa akibatnya begitu pedih yaitu dengan kerugian dan kebinasaan. Itulah yang dinamakan wail.

Ibnu Katsir juga berkata,

وأهلك الله قوم شعيب ودَمَّرهم على ما كانوا يبخسون الناس في المكيال والميزان

“Allah membinasakan dan menghancurkan kaum Syu’aib dikarenakan mereka berbuat curang dalam takaran dan timbangan.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 508).

Wail itu sendiri -menurut Tafsir Al Jalalain-,

كلمة عذاب أو واد في جهنم

“Kalimat yang menunjukkan siksa atau lembah di Jahannam.”

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

لما قدم نبي الله صلى الله عليه وسلم المدينة كانوا من أخبث الناس كيلا فأنزل الله: { وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ } فحسنَّوا الكيلَ بعد ذلك

“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk di kota tersebut sering bermain curang dalam takaran. Turunlah ayat ‘celakalah al muthoffifin’. Setelah itu barulah mereka memperbagus takaran mereka.” (HR. An Nasai dalam Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan dalam Sunan Ibnu Majah no. 1808).

Ayat lain yang membicarakan perintah untuk bagus dalam takaran atau timbangan,

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al Isra’: 35).

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (QS. Al An’am: 152).

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar Rahman: 9).

Semoga Allah beri hidayah pada para pedagang untuk berusaha dengan jujur. Hanya Allah yang memberi taufik.

—"

Keutamaan Pedagang Yang Jujur Dan Amanah
بسم الله الرحمن الرحيم

KEUTAMAAN PEDAGANG YANG JUJUR DAN AMANAH

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: « التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء –  يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).”[1]

Hadis yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang pedagang yang memiliki sifat-sifat ini, karena dia akan dimuliakan dengan keutamaan besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dikumpulkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat. Imam ath-Thiibi mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia termasuk golongan orang-orang yang taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat dusta dan khianat, maka dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang yang fasik (buruk/rusak agamanya) atau pelaku maksiat”.[2]

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadis ini:

– Maksud sifat jujur dan amanah dalam berdagang adalah dalam keterangan yang disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan penjelasan tentang cacat atau kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacatnya.[3]

– Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual beli, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut), maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”.[4]

– Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang disebutkan dalam hadis ini adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat y, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang shahih.[5] Adapun hadis “Sembilan persepuluh (90 %) rezeki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani.[6]

– Maksud dari keutamaan dalam hadis ini: “…bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)” bukanlah berarti derajat dan kedudukannya sama persis dengan derajat dan kedudukan mereka, tapi maksudnya dikumpulkan di dalam golongan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا. ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS an-Nisaa’: 69-70)[7].

EMPAT ETIKA BERBISNIS BAGI MUSLIM,

1. JUJUR

Berbisnis atau berdagang adalah sarana untuk membuka pintu rizki yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bisnis juga dapat dijadikan sarana untuk menyebarkan agama islam (berdakwah), jika kita melakukan bisnis seperti yang dilakukan oleh Rasulullah yang lebih spesifik terkait dengan etika dalam berbisnis (berdagang) seperti dalam Hadits berikut:

اْلبَيْعَانِ بِالْ خِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَ وَبَيَّنَابُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَاوَإِنْ كَذَبَ وَكَتَمَامُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا ( متّفق عليه

Artinya: “Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang” (Muttafaqun Alaihi).

Hadits di atas menjelaskan bahwasannya dalam berjual beli ada tawar- menawar selama belum berpisah. Dan menerangkan tentang etika kedua orang yang bertransaksi agar sama-sama jujur tidak merugikan salah satu pihak. Serta menjelaskan bahwa dalam berbisnis yang dicari bukan hanya profit saja melainkan menyertakan keberkahan juga, karena dengan berkahnya bisnis yang kita jalankan maka hidup kita akan ikut berkah dan diridho Allah sehingga kita mencapai hidup yang sejahtera.

 

2. AMANAH

عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: التَّا جِرُ اْلاَمِيْنُ الصَّدُوْقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ- وَفِيْ رِوَايَةٍ: مع النَّبِيِّنَ وَالصِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ- يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ (رواه إبن ماجه و الدارقطني و غير هم

Artinya: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).”

 

3. MURAH HATI

“Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu Al-Lisan IV/221).

Dari hadits diatas termasuk etika bisnis adalah bermurah hati pada konsumen, dengan sikap murah hati kita dapat menarik konsumen lebih banyak, mereka merasa dihargai, merasa dihormati, merasa nyaman , terciptanya sebuah kepuasan bisnis dan komunikasi yang baik.

 

4. TIDAK MELUPAKAN AKHIRAT

سَيَأ تِيْ عَلَى أُمَّتِيْ زَمَانٌ يُحِبُّوْنَ اْلخَمْسَ وَيَنْسَوْنَ اْلخَمْسَ: يُحِبُّوْنَ الدُّنْيَا وَيَنْسَوْنَ الأَخِرَةَ, وَيُحِبُّوْنَ اْلحَيَاةَ وَيَنْسَوْنَ اْلمَوْتَ, وَيُحِبُّوْنَ اْلقُصُوْرَ وَيَنْسَوْنَ اْلقُبُوْرَ, وَيُحِبُّوْنَ اْلمَالَ وَيَنْسَوْنَ اْلحِسَابَ, وَيُحِبُّوْنَاْلخَلْقَ وَيَنْسَوْنَاْلخَالِقِ.

Artinya: “ Akan datang kepada umatku suatu masa dimana mereka mencintai lima perkara dan melupakan lima perkara pula.

Mereka mencintai dunia dan melupakan akhirat,

Meraka mencintai kehidupan dan melupakan kematian,

Mereka mencintai gedung-gedung dan melupakan kuburan,

Mereka mencintai harta benda dan melupakan hisab di akhirat,

Mereka mencintai mahluk dan melupakan khaliqnya.

Berdagang adalah hal duniawi dalam agama kita mencari dunia bukanlah dilarang, namun perlu pembatasan agar dalam hidup kita selalu ingat tujuan kita diciptakan, yaitu selalu beribadah pada Allah dan ingat kepadanya dimanapun dan kapan pun.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين