Ferbedaan Fasakh dan Talak dalam Fiqih Munakahat
Batalnya nikah bisa melalui Talak,Khulu' dan Fasakh.
Adapun fasakh pada dasarnya adalah pembatalan akad nikah karena sebab atau aib yang terjadi atau diketahui setelah akad, baik setelah hubungan badan maupun sebelumnya.
Sebelumnya telah dikemukakan, pengertian, dasar hukum, alasan, dan ketentuan fasakh. Maka pada kesempatan kali ini akan diuraikan perbedaan fasakh dengan talak, konsekuensi hukum, dan hikmahnya.
Secara umum, perpisahan atau perceraian antara suami-istri bisa terjadi karena dua hal: talak atau fasakh.
Talak adalah berakhirnya pernikahan yang sah dengan ungkapan talak, baik ungkapan sharih (jelas dan tegas) maupun ungkapan kinayah (sindiran).
Adapun fasakh pada dasarnya adalah pembatalan akad nikah karena sebab atau aib yang terjadi atau diketahui setelah akad, baik setelah hubungan badan maupun sebelumnya, seperti keluarnya istri dari agama Islam, diketahui ada hubungan mahram antara suami-istri, suami atau istri mengalami tunagrahita, suami lemah syahwat, atau tertutupnya kemaluan si istri. (Lihat: az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid V, halaman 3598).
Dalam kaitan dengan fasakh dan talak, Syekh Abu Bakar ibn Muhammad Syatha dalam I’anatut Thalibin mengurai empat perbedaan antara keduanya, sekaligus konsekuensi keduanya:
(اعلم) أن الفسخ يفارق الطلاق في أربعة أمور: الأول أنه لا ينقص عدد الطلاق ... الثاني إذا فسخ قبل الدخول فلا شئ عليه .... الثالث إذا فسخ لتبين العيب بعد الوطئ لزمه مهر المثل... الرابع إذا فسخ بمقارن للعقد فلا نفقه لها وإن كانت حاملا.
Artinya, “Ketahuilah, fasakh itu berbeda dengan talak dalam empat hal.
Pertama, ia tidak mengurangi bilangan talak.
Kedua, jika seorang suami menjatuhkan fasakh sebelum hubungan intim, maka tidak kewajiban apapun baginya.
Ketiga, jika seorang suami menjatuhkan fasakh karena kejelasan aib setelah senggama, maka ada kewajiban mahar mitsli baginya.
Keempat, jika fasakh dalam keadaan hamil, maka tidak ada nafkah untuk istrinya.” (Lihat Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatut Thalibin, jilid III, halaman 383).
Perbedaan Fasakh dan Talak
Fasakh tidak mengurangi jumlah talak. Dengan demikian, jika seseorang menjatuhkan fasakh pernikahannya, kemudian memperbaharuinya, kemudian menjatuhkan fasakhnya lagi, maka tidak haram baginya menikahi kembali mantan istrinya walaupun telah tiga kali akad dan tiga kali fasakh.
Beda halnya dengan talak.
Jika seorang suami sudah menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, maka talaknya berstatus bain kubra.
Dengan demikian ia tidak boleh menikahi mantan istrinya kecuali mantan istri sudah pernah menikah dengan laki-laki lain (muhallil).
Jika melakukan fasakh nikah sebelum hubungan badan, maka tidak ada kewajiban apapun bagi suami yang menjatuhkan fasakh. Beda halnya dengan talak.
Jika ia mentalak istrinya sebelum hubungan badan, maka suami yang menjatuhkan talak memiliki kewajiban membayar separuh mahar.
Jika seorang suami menjatuhkan fasakh karena tampaknya suatu aib setelah hubungan badan, maka ada kewajiban baginya membayar mahar mistil.
Berbeda dengan talak.
Jika ia menjatuhkan talak setelah hubungan badan, maka suaminya berkewajiban membayar seluruh mahar musamma.
Jika seorang istri difasakh dalam keadaan hamil, maka tidak ada hak nafkah untuknya. Berbeda halnya dengan talak.
Ditambahkan oleh Musthafa Al-Khin, suami yang melakukan fasakh juga tidak berhak menarik kembali mahar yang telah diberikan kepada wali atau istri yang telah mengelabui dirinya.
Pengelabuan dimaksud adalah diamnya mereka tidak memberitahukan cacat atau penyakit yang diderita kepada suaminya walaupun cacat itu mereka ketahui sebelum hubungan badan. (Lihat Syekh Musthafa Al-Khin, Al-Fiqhul Manhaji, jilid IV, halaman 115).
Selain perbedaan yang telah dikemukakan di atas, konsekuensi hukum akibat cerai fasakh juga berbeda dengan cerai talak.
Dengan talak, ikatan suami istri tidak berakhir seketika kecuali dengan talak bain kubra.
Sedangkan dengan fasakh pernikahan berakhir seketika meski perempuan yang difasakh tetap memiliki masa iddah seperti talak biasa.
Dengan demikian, jika fasakh yang disebabkan karena cacat, penyakit, tidak mampu memberi nafkah, bukan karena tidak terpenuhinya syarat atau terhalangnya pernikahan, maka suami tidak boleh merujuk kepada istrinya walaupun masih dalam masa iddah.
Sebab, perceraian fasakh berstatus sebagai bain shugra.
Dengan kata lain, jika pasangan suami-istri ingin melanjutkan perkawinan, maka mereka harus melakukan akad baru, baik si istri masih memiliki masa iddah ataupun setelah habis masa iddah.
Hikmah Fasakh Pernikahan
1. Dengan alasan yang dibenarkan syariat, istri memiliki hak untuk melepaskan diri dari ikatan pernikahan bersama suaminya. Jika suami diberi hak talak, maka istri diberi hak fasakh.
2. Melindungi hak-hak perempuan lainnya, seperti hak mahar dan hak nafkah.
3. Dengan adanya fasakh, pernikahan bukan sekadar menyatukan laki-laki dan perempuan, tetapi juga melahirkan keturunan, menjalin kedekatan, dan melahirkan kebahagiaan lahir batin di antara keduanya.
4. Menjaga hubungan pernikahan antara laki-laki dan perempuan agar sesuai dengan ketentuan syarat.
5. Menunjukkan keadilan Allah terhadap para hamba-Nya, baik laki-laki maupun perempuan.
___________________________________
Hukum Menjatuhkan Fasakh Perkawinan tanpa Hakim Pengadilan Agama
Fasakh dapat dijatuhkan tanpa hakim ketika disyaratkan sewaktu akad.
Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus dilakukan di hadapan hakim.
Sebagaimana yang telah disampaikan, jika didapati salah satu cacat, penyakit, atau sebab lainnya setelah menikah, baik pada istri maupun pada suami, baik setelah hubungan badan ataupun belum, baik cacat yang menghalangi hubungan badan maupun yang tidak, maka ada hak fasakh bagi keduanya, dengan catatan fasakh dijatuhkan di hadapan hakim atau diputuskan oleh hakim.
Jika ada pasangan yang sepakat untuk menjatuhkan fasakh pernikahannya tanpa hakim, maka fasakhnya tidak jatuh, terutama fasakh yang disebabkan oleh cacat, penyakit, atau sebab yang membutuhkan pertimbangan hakim dan juga tim medis.
Demikian yang dijelaskan oleh Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha dalam I‘anatuth Thalibin.
إنما يصح الخيار فورا في فسخ النكاح إن كان حاصلا بحضور الحاكم، وذلك لأن الفسخ بالعيوب المذكورة أمر مجتهد فيه كالفسخ بإعسار فتوقف ثبوتها على مزيد نظر واجتهاد، وهو لا يكون إلا من الحاكم فلو تراضيا بالفسخ بها من غير حاكم لم ينفذ
Artinya, “Khiyar dalam fasakh nikah hanya sah jika dihadiri oleh penguasa (hakim).
Pasalnya, fasakh karena cacat-cacat tersebut di atas merupakan perkara ijtihadi. Begitu pula fasakh yang terjadi karena kesulitan memberi nafkah.
Maka penetapannya membutuhkan pandangan dan ijtihad lebih jauh. Walhasil, tidak sah fasakh kecuali atas putusan hakim.
Sehingga seandainya suami-istri sepakat untuk fasakh karena suatu cacat tanpa hakim maka tetap tidak terlaksana.” (Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I‘anatuth Thalibin, jilid III, halaman 383).
Lain halnya fasakh yang diakibatkan oleh sebab yang jelas. Ia dapat berlaku tanpa melalui putusan hakim. Contohnya fasakh karena ada hubungan mahram antara kedua mempelai. Hal ini ditegaskan oleh Syekh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.
(Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 115).
Demikian halnya fasakh dapat dijatuhkan tanpa hakim ketika syarat fasakh diajukan sewaktu akad.
Namun, bila disyaratkan sebelum akad, fasakh harus dilakukan di hadapan hakim.
ويجوز لكل من الزوجين خيار بخلف شرط وقع في العقد لا قبله كأن شرط في أحد الزوجين حرية أو نسب أو جمال أو يسار أو بكارة أو شباب أو سلامة من عيوب كزوجتك بشرط أنها بكر أو حرة مثلا فإن بان أدنى مما شرط فله فسخ ولو بلا قاض
Artinya, “Suami atau istri diperbolehkan untuk mengambil hak khiyar (fasakh) yang diikuti dengan syarat sewaktu akad, bukan sebelum akad seperti halnya disyaratkan pada salah seorang suami atau istri harus merdeka, berketurunan terpandang, berparas cantik atau tampan, berasal dari kalangan berada, masih perawan atau masih perjaka, atau selamat dari cacat.
Dengan demikian saat akad, si wali mengatakan, ‘Aku nikahkan engkau dengan syarat dia masih perawan atau merdeka,’ misalnya.
Maka jika terbukti si perempuan tidak memenuhi syarat, maka suami boleh menjatuhkan fasakh nikahnya walaupun tanpa hakim.” (Lihat: Syekh Zainudddin Al-Malaibari, Fathul Mu‘in, hal. 106).
Hanya saja ada pengecualian dalam cacat lemah syahwat. Jika cacat itu terjadi setelah hubungan badan, kemudian terjadi fasakh, maka hak istri berupa mahar menjadi gugur karena sudah tercapainya tujuan pernikahan, yaitu hubungan badan.
Begitu pula bila cacat si istri memungkinkan untuk dihilangkan, seperti dengan proses operasi, dan ia rela dengan proses itu, maka tidak ada hak fasakh bagi suaminya.
Sebab, tidak ada alasan kuat yang membolehkannya untuk menjatuhkan fasakh.
Selain itu, sejak penyakit lemah syahwat ditetapkan oleh hakim berdasarkan pengakuan suami atau sumpah istri, maka hakim harus memberikan tempo selama satu tahun qamariyah guna memberikan kemungkinan sembuhnya penyakit tersebut seiring perjalanan musim dan waktu.
Jika sembuh, maka fasakh batal. Jika tidak, maka fasakh dijatuhkan.
Kemudian, jika ada pasangan yang sudah mengetahui cacat atau penyakit pasangannya, namun ia tetap diam dan tidak segera mengajukan fasakh, maka hak fasakhnya gugur kecuali jika ia tidak tahu bahwa ada hak fasakh yang diberikan kepada dirinya. Demikian sejumlah ketentuan yang harus dipenuhui dalam mengambil hak fasakh, baik oleh suami maupun oleh istri.
Demikian perbedaan, konsekuensi hukum, dan hikmah fasakh.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar