Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Selasa, 26 Maret 2024

Hukum Jual Beli Akun Gime

Jual beli merupakan kegiatan yang umum dalam masyarakat. Seiring berkembangnya teknologi jaman sekarang ini, jual beli juga tersedia dalam bentuk online. Jadi, kita bisa melakukan jual beli menggunakan handphone melalui aplikasi. Salah satunya seperti jual beli akun game online. 

Game online ini menjadi sarana hiburan bagi anak-anak atau orang dewasa. Selain itu, game online digunakan sebagai peluang untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan.  Dilihat dari praktik jual beli akun game online banyak menimbulkan dampak negatif, seperti kerugian dalam bertransaksi. Adanya penipuan terutama bagi orang-orang yang masih awam atau belum terlalu mahir dalam penggunaan media online.  

Penggunaan aplikasi game online seperti Mobile Legend, PUBG, dan Free Fire itu merupakan aplikasi yang dimainkan sekedar untuk hiburan atau kebutuhan psikologis ternyata banyak menimbulkan dampak negatif. Diantaranya seperti kecanduan, dan kurang baik dalam me manage waktu sehingga banyak meninggalkan kegiatan yang sifatnya wajib seperti sholat atau yang sifatnya mubah seperti belajar.

Menurut Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqhu Al-Lahwi wa Al-Tarawihi menyatakan bahwa Islam melarang penggunaan game apabila terdapat unsur berbahaya seperti menyakiti orang lain, menampilkan aurat wanita, berbentuk judi, atau bahkan permainan yang dilakukan secara berlebihan. Banyaknya orang tua yang memberikan fasilitas handphone kepada anak-anaknya tanpa memperhatikan pengaruh yang akan terjadi. Dengan bermain game, anak-anak merasa terhibur tanpa harus pergi keluar rumah. Maka dari itu, mayoritas anak-anak, remaja bahkan orang dewasa akan sangat ketergantungan terutama dalam penggunaan game online. Hal tersebut dapat merusak pola pikir anak.


Adapun relevansi terhadap jual beli akun game online itu dapat diqiyaskan terhadap ayat yang mengharamkan jual beli khamr (QS. Al-Baqarah:219), yang menjelaskan bahwasanya khamr itu mengandung manfaat bagi manusia, namun kemudharatan khamr sendiri lebih besar daripada manfaatnya, oleh karenanya Allah mengharamkan segala sesuatu yang membahayakan bagi manusia. Dan dapat kita lihat bahwasanya penggunaan aplikasi game online saat ini banyak memberikan mudharat. Seperti banyaknya waktu yang terbang serta terganggunya konsentrasi berpikir.

Keberadaan maqoshid syariah ini adalah untuk memperoleh kemaslahatan dan meniadakan kemudharatan. Dapat dilihat bahwa penggunaan aplikasi game online sekarang ini memberikan rasa candu dan menimbulkan rasa ketidakpuasan. Butuhnya konsentrasi tinggi saat bermain game akan membuat lupa waktu sholat dan kewajiban lainnya. Selain itu juga, terlalu lama bermain game dapat menyebabkan ketegangan otot mata serta berpengaruh kepada sistem penglihatan.

Namun, jika dalam menggunakan aplikasi game online dengan seperlunya itu  boleh. Karena maksud dari "seperlunya" dalam Islam menjadikan sesuatu sebagai hiburan itu boleh asal tidak menyimpang dari syariat Islam.

Untuk praktik pemasaran jual beli akun game online ini selagi tidak melanggar aturan dan ketetapan hukum syariat itu boleh. Dapat dilihat juga bahwa praktik jual beli akun game online memenuhi rukun jual beli pada umumnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa hukum penggunaan aplikasi game online ini bisa harom apabila digunakan secara berlebihan atau terus menerus karena banyak mudharat yang ditimbulkan, kan tetapi bisa jadi hukumnya mubah apabila digunakan sekedar untuk hiburan. Untuk praktik jual belinya, selagi itu tidak melanggar aturan dan syariat dalam Islam maka diperkenankan.


Senin, 18 Maret 2024

Hukum Ketika Shalat Membaca Al-quran

Hukum Ketika Shalat Membaca Mushaf Al-Qur'an...?

Assalamualaikum. 
Pak kiai yang dirahmati Allah. 
Saya ingin bertanya bagaimana hukumnya shalat dengan membaca mushaf Al Qur’an, terimakasih. Wassalamualiakum wr.wb.

Wa’alaikum salal wr. wb.

Saudara penanya yang dimuliakan Allah.

Salah satu ibadah sunat paling utama yang dilakukan oleh umat Nabi Muhammad saw adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an terlebih apabila dilakukan dalam shalat. 
Bahkan hukum sunat ini dapat berubah menjadi wajib seperti  membaca surat Al-Fatihah dalam shalat  menurut madzhab Syafi’i.

Menanggapi permasalahan yang saudara kemukakan terkait dengan membaca mushaf al- Qur’an ketika shalat, dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhaddzzab karya Imam Nawawi  disebutkan sebuah redaksi: 

لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ.


Artinya: “Apabila  orang yang sedang shalat membaca Al-Qur’an dari mushaf maka shalatnya tidak batal, baik dia hafal Al-Qur’an atau tidak. 
Bahkan dia wajib melakukan hal itu jika dia tidak hafal surat Al-Fatihah sebagamaina keterangan yang telah dijelaskan. 
Apabila ia sampai membolak balik lembaran mushaf maka salatnya  tetap tidak batal.”

Dari  rujukan diatas, kami memberikan beberapa gambaran sebagai  berikut:

Pertama, apabila mushaf tersebut terletak dan terpampang didepan mushalli (orang yang shalat), maka hukumnya tidak masalah  seperti  mushaf yang dipigura atau dilaminating lalu dipasang didepan pengimaman dan imam membacanya ketika shalat.

Kedua, mushaf tersebut terletak disebelah atau disaku orang yang shalat. 
Apabila memang demikian kondisinya, maka yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan serta meletakkannya kembali berikut membukanya. Selama dalam proses pengambilan, meletakkan serta membuka tersebut tidak tergolong melakukan  banyak aktifitas, maka hukum membaca mushaf tersebut tetap dibenarkan. 
Sedangkan apabila dalam proses yang kami sebutkan dianggap melakukan banyak aktifitas, maka dalam pandangan madzhab Syafii  hal ini  dianggap dapat membatalkan shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mereka.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa membaca mushaf ketika sedang melaksanakan shalat hukumnya boleh selama tidak melakukan aktifitas-aktifitas yang dapat membatalkan shalat. 
Pendapat ini sekali lagi mengacu kepada pandangan madzhab Syafi’i. Berbeda dengan pendapat  sebagaian pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa hal yang demikian (membaca mushaf ketika shalat) dianggap membatalkan shalat.

Demi terhindar dari perbedaan pendapat antar madzhab sebagaimana disebutkan, alangkah lebih baik apabila diluar shalat kita memperbanyak bahkan sering membaca Al-Qur’an sehingga mampu menghafalnya, hingga dalam pelaksanaan shalat kita tidak perlu membaca atau membuka mushaf. 
Hal ini tentunya akan kian menambah fokus dan kekhusyu’an kita dalam beribadah.

Mudah-mudahan  jawaban ini bermanfaat dan semakin menggiatkan kita untuk lebih gemar membaca serta mencintai kalamullah. Amin.

Wallahu a’lam bi as-shawab.

Minggu, 17 Maret 2024

HUKUM BERHUBUNGAN INTIM DIDIANG ROMADHON BAGI MUSAFIR

Hukum Jimak Di Siang Hari Ramadhan Bagi Musafir

Pertanyaan :
Ust, Musafir kan boleh ga puasa. Trs klo melakukan jima’ / hubungan badan di siang hari apa jg boleh Tadz ?...
Syukron

Jawaban :

Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam’ala Rasulillah wa ba’du.

Melakukan jimak/berhubung badan di siang hari puasa adalah pembatal puasa yang paling berat. Disebut paling berat, karena konsekuensi dari pembatal ini tidak seperti pembatal puasa lainnya yang cukup dengan bertaubat; jika batal tanpa uzur dan wajib mengganti di hari yang lain.

Adapun puasa yang batal karena hubungan badan di siang Ramadhan, ada tiga konsekuensi yang harus dilakukan :

[1]. Bertaubat jujur kepada Allah, karena dia telah terjatuh dalam dosa besar.

[2]. Mengganti puasa yang batal karena hubungan badan.

[3]. Menunaikan kafarot, yaitu;

Memerdekakan budak.
Berpuasa dua bulan berturut-turut.
Memberi makan enam puluh orang miskin.
Tiga Kafarot di atas harus dipilih secara urut berdasarkan kemampuan.

Jimak Bagi Musafir Ketika Siang Ramadhan?
Musafir, termasuk orang yang mendapat keringanan boleh tidak puasa. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala,

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

Siapa sakit atau dalam perjalanan (Musafir), maka boleh tidak puasa namun wajib menggantinya di hari yang lain, sebanyak hari yang ditinggalkan. Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kalian di timpa kesukaran. (QS. Al-Baqarah : 185)

Baca : Orang yang Disebut Musafir

Mengingat musafir termasuk orang yang beruzur tidak puasa, maka dia boleh melakukan pembatal-pembatal puasa, seperti makan, minum, termasuk pula berhubungan badan di siang Ramadhan. Dia tidak berdosa (red. suami istri) dan tidak dikenai hukuman membayar kafarot di atas. Karena dia dalam kondisi beruzur yang legal menurut syariat.

Baca : Sopir Bus dan Truk Boleh Tidak Puasa Ramadhan?

Dalam Fatwa Lajnah Da-imah (Lembaga riset ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) dinyatakan,

يجوز الفطر في السفر لمسافر في نهار رمضان ويقضيه لقوله تعالى : ( َمَنْ كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ) البقرة/185 ، ويباح له الأكل والشرب والجماع ما دام في السفر” اهـ .

Seorang musafir, boleh tidak puasa di saat safarnya di siang hari bulan Ramadhan namun wajib menggantinya. Berdasarkan firman Allah (yang artinya): Siapa sakit atau dalam perjalanan (Musafir), maka boleh tidak puasa namun wajib menggantinya di hari yang lain, sebanyak hari yang ditinggalkan. (QS. Al-Baqarah : 185). Dia boleh makan, minum dan berhubungan badan selama kondisinya sedang safar.

(Fatawa Lajnah Da-imah, 10/203)

Syekh Sholih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya pertanyaan senada, berikut jawaban beliau,

لا حرج عليه في ذلك؛ لأن المسافر يجوز له أن يفطر بالأكل والشرب والجماع ، فلا حرج عليه في هذا ولا كفارة . ولكن يجب عليه أن يصوم يوماً عن الذي أفطره في رمضان

Tidak mengapa melakukan itu, karena seorang musafir boleh tidak puasa, boleh makan, minum dan boleh melakukan jimak. Jadi tidak berdosa dan tidak terkena kafarot. Namun dia wajib mengganti hari yang dia tidak puasa itu, di hari lain.

(Majmu’Fatawa Ibnu Utsaimin, 19/245)

Catatan: Jika safar dengan tujuan agar bisa melakukan hubungan badan, maka termasuk safar maksiat. Jika nekat melakukannya, wajib bagi pelaku untuk mengqadha dan membayar kafarat.

Wallahua’lam bis showab.

Sabtu, 09 Maret 2024

KISAH SALMAN ALFARISI

KISAH SINGKAT SALMAN ALFARISI

Salman Al-Farisi, Gubernur di Zaman Khalifah Umar yang Rendah Hati

SALMAN al-Farisi atau dengan nama asli Ruzbah lahir di desa Isfahan, Persia. Penduduk Persia ketika itu menyembah api sebagai perlambang cahaya.

Ketika tumbuh dewasa, salman resah dengan agama yang dianutnya. Ia kemudian memeluk agama Nasrani. Namun, ia kecewa karena pendeta yang diikutinya ternyata seorang yang korup. Salman akhirnya memutuskan untuk keluar dari Nasrani.

Salman lantas pergi ke negri Arab untuk mencari agama yang lebih baik yaitu dengan mengikuti serombongan pedagang. Ditengah jalan, ia dijual oleh pemimpin kafilah sebagai budak.

Selama di Madinah dia mendengar kedatangan Rasulullah SAW. Dia mencoba mendekati Rasulullah untuk memastikan bahwa ciri-ciri yang telah didengar dari berbagai sumber tentang kedatangan Rasul sebagai pembawa rislah kebenaran, benar-benar ada ppada diri Rasulullah.

Setelah berhasil menemukan kepastian, Salman akhirnya memeluk Islam. Dalam perjalanannya, Rasulullah membeli salman dan membebaskannya. Ia lantas memeluk Islam dengan bebas dan ikut serta dalam berperang membela Islam.

Ketika kaum Muslimin berhasil menaklukan Persia. Salman Al-Farisi merupakan orang yang ditunjuk menjadi amir atau gubernur oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Salman digaji 5000 dirham. Namun, seluruh gajinya ia bagikan kepada fakir miskin.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Salman menjual keranjang dari anyaman daun kurma. Penghasilan dari menjual keranjang tersebut hanya tiga dirham saja. Jumlah tersebut tak seberapa dibandingkan dengan 5000 dirham. Namun, inilah kerendahan hati serta kesederhanaan seorang salman Al-Farisi. Ia tidak mau menerima uang dari jabatannya.

Pada suatu hari Salman berjalan-jalan di Pasar dengan pakaian yang sederhana. Orang-orang yang melihatnya mengira bahwa Salman seorang yang fakir miskin. Tiba-tiba seorang musafir di pasar tersebut memanggilnya. Salman pun segera datang mendekat.

“Tolong bawakan barang-barangku ini!” ucap musafir tersebut sembari menunjuk kepada karung yang isinya begitu penuh.

“Iya, baiklah” jawab Salman, lalu barang itu diangkatnya dan ia mengikuti musafir tesebut dari belakang.

Tiba-tiba dalam perjalanan ada yang menyapa “Assalamu’alaikum, wahai Amir.”

“Wa’alaikumsalam wa rahmatullah,” jawab Salman.

Musafir tersebut kaget mendengarnya, bahkan rasa kagetnya semakin menjadi saja setelah beberapa orang lainnya kembali menyapa dengan mengatakan, “Wahai Amir, izinkanlah kami yang membawa barang tersebut.”

Akhirnya musafir tersebut bertanya kepada salah seorang laki-laki yang berada di pasar, “Siapa laki-laki miskin yang membawakan barangku ini?”

“Tidak tahukah engkau, bahwa ia adalah seorang Amir?”

Musafir tersebut seketika pucat pasi mendengar jawaban dari laki-laki tersebut. Ia merasa bersalah dan malu.

Barulah ia tahu laki-laki yang diperintahnya adalah seorang Amir.

“Maafkan saya tuan, saya sungguh tidak tahu bahwa engkau adalah seorang amir. Izinkan barang itu saya yang membawanya,” ucap sang musafir kepada Salman.

“Jangan! Biarkan aku selesaikan tugasku yaitu membawakan barang-barangmu.” Jawab salman dengan penuh kelembutan.

Begitulah sifat rendah hati seorang Salman Al-Farisi, dari kerendahan hatinya dan kesederhanaannya membuatnya jarang dikenali sebagai seorang amir melainkan seorang fakir miskin. Namun Allah menjamin surga baginya lantaran ia pemimpin yang adil.[]

Sumber: 77 Cahaya Cinta di Madinah.

Salman Al Farisi, Orang Persia Pertama yang Masuk Islam

Salman Al Farisi adalah orang Persia pertama yang masuk Islam.
Ia juga dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi Muhammad yang ikut berjuang dalam peperangan.
Salman Al Farisi adalah sahabat yang merekomendasikan pembuatan parit pada Perang Khandaq.
Selain itu, masih banyak kisah dan keistimewaan Salman Al Farisi setelah masuk Islam.

Berikut biografi Salman Al Farisi.

Dibesarkan sebagai Zoroastrian
Salman Al Farisi lahir pada sekitar tahun 568 di Isfahan, Persia, dengan nama Rouzbeh Khoshnudan.
Ia dibesarkan oleh sang ayah yang sangat taat pada agama Zoroaster, agama Persia
Salman sangat disayangi dan dijaga oleh ayahnya, bahkan jarang dibiarkan keluar rumah.
Karena ketaatannya, Salman pernah menjadi penjaga api di dalam kuil yang merupakan lambang kesucian agamanya.
Kendati demikian, Salman tetap berproses untuk mencari agama yang hakiki.
Masuk Kristen
Suatu ketika, Salman Al Farisi ditugaskan oleh sang ayah untuk pergi ke kebunnya yang luas.
Dalam perjalanan, ia melihat sebuah gereja dan mendengar suara orang-orang Kristen sedang beribadah.
Salman sama sekali tidak mengetahui tentang agama Kristen karena selalu berada di dalam rumah.
Ia pun penasaran dan masuk ke gereja untuk mencari tahu, hingga lupa tidak pergi ke kebunnya.
Saat hari menjelang malam, Salman pulang dan bercerita kepada sang ayah bahwa ia terkesan dengan agama Kristen.

Pengakuan itu membuat sang ayah marah dan merantai kakinya karena takut Salman akan berpindah agama.
Salman akhirnya berhasil kabur dari rumah dan pergi ke Suriah untuk mendalami agama Kristen.
Setelah beberapa tahun di Suriah, Salman teringat akan cerita kemunculan seorang nabi di tanah Arab.
Oleh karena itu, ia pun pindah ke tanah Arab dengan menumpang Suku Kalb.
Sayangnya Salman ditipu dan berakhir menjadi budak umat Yahudi di perkebunan kurma di Madinah.
Masuk Islam
Ketika Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah ke Madinah, Salman Al Farisi memberanikan diri menemui Nabi.
Kejujuran Rasulullah menjadi salah satu faktor yang membuat Salman yakin untuk masuk Islam.
Mabi Muhammad bahkan menebusnya dan membebaskannya dari perbudakan.
Sejak itu, Salman menjadi salah satu sahabat Nabi Muhammad yang ikut berjuang bersama umat Muslim lainnya pada awal kemunculan Islam.
Salah satu peperangan yang diikuti Salman adalah Perang Khandaq (626-627).
Ia menjadi inovator dalam strategi militer dan dikenal sebagai sahabat yang merekomendasikan pembuatan parit pada Perang Khandaq.
Berkat strategi yang belum pernah dilakukan di tanah Arab tersebut, kaum Muslim menang dalam Perang Khandaq.
Keistimewaan Salman Al Farisi
Setelah Nabi Muhammad wafat, tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin kedua, Umar bin Khattab, Salman Al Farisi berpartisipasi dalam penaklukan Kekaisaran Sasaniyah.
Usai Kekaisaran Sasaniyah runtuh, Salman menjadi Gubernur Al-Madain (sekarang Tisfon di Irak).
Selama menjadi gubernur, ia tetap bekerja di kebun kurma dan memilih menyedekahkan gajinya."
Selain dermawan, Salman juga dikenal sebagai sosok yang pandai dan sangat bijaksana. Sejak Nabi Muhammad masih hidup, Salman telah menerjemahkan Al Quran ke dalam Bahasa Persia. Ia pun menjadi orang pertama yang menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa asing. Salman Al Farisi meninggal pada pertengahan abad ke-7, ada yang mengatakan tahun 653 ada pula yang berpendapat tahun 656.
Semoga bermanfaat.aamiin

Minggu, 03 Maret 2024

ISRO MI'ROJ DITINJAU DARI SAINS MODERN

ISRA’ MI’RAJ NABI MUHAMMAD SAW: 
DARI SAINS MODERN.

Acapkali orang mempertanyakan kebenaran Islam lewat perspektif keilmuan, sementara metode keilmuan selama ini yang dipakai adalah metode keilmuan Barat yang sekuler. Inilah yang seringkali menimbulkan bias. Jika orang hendak melihat Islam secara ilmiah, maka perspektifnya harus dibangun dari perspektif keilmuan Islam. Bagaimana pendekatan studi Islam?

Dalam studi Islam dapat digunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan Rasional-spikulatif-idealistik dan Pendekatan rasional-empirik.

Pendekatan pertama adalah pendekatan filosofis (Ialah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya)  yaitu pendekatan yang digunakan terhadap teks-teks yang terkait dengan masalah yang bersifat metafisik/Metafisika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya,termasuk dalam hal ini adalah perisatiwa mi’raj nabi Muhammad saw. dari Masjidil Aqsha ke Sidrat al-Muntaha yang tidak membutuhkan jawaban empirik karena keterbatasan rasio manusia;
Kedua adalah pendekatan scientific (keilmuan), yaitu pendekatan terhadap teks-teks yang terkait dengan sunnatullah (ayat-ayat kauniyah), teks-teks hukum yang bersifat perintah dan larangan dan sejarah masa lampau umat manusia.

Mi’raj Nabi Muhammad saw.  dari  Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha pada  27 Rajab dalam waktu yang amat cepat merupakan peristiwa spektakuler yang mengundang reaksi keras dari kalangan kafir Quraisy saat itu, bahkan hingga sekarang. Ada yang mengatakan peristiwa itu terjadi dalam mimpi, bukan dalam alam nyata, atau terjadi pada diri Muhammad dengan ruhnya bukan jasadnya. 

Kaum emipris dan rasionalis boleh mempersoalkan dan menggugat dengan sejumlah sanggahan: Bagaimana mungkin kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui Muhammad tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang membakar tubuhnya? Bagaimana mungkin ia dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Menurut kaum empiris dan rasionalis hal ini tidak mungkin terjadi.

Ya, bisa dimaklumi jika kaum empiris dan rasionalis mempertanyakan peristiwa yang spektakuler itu. Sebab mereka memandang segala sesuatunya berdasarkan realita empiris dan yang rasional saja. Padahal Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang sublim.

Sebagaiman konsep keilmuan Barat, bahwa sesuatu disebut ilmiah (secara ontologis) jika lingkup penelaahannya berada pada daerah jelajah atau jangkuan akal pikiran manusia. Dan sesuatu dianggap benar jika didasarkan pada tiga hal: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Penganut positivisme hanya mengakui satu kebenaran, yaitu kebenaran yang bersifat inderawi, yang teramati dan terukur, yang dapat diulangbuktikan oleh siapa pun.  Dalam konsep keilmuan Barat, ilmu berhubungan dengan masalah empiri-sensual (induktif), empiri-logik (deduktif) atau logico-hipotetico-verificatif, artinya baru disebut sebagai ilmu jika telah dibuktikan kebenarannya secara empiris. Jelaslah dari sini, jika peristiwa Mi’raj dilihat dari perspektif keilmuan Barat, maka ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang ilmiah melainkan hanya bersifat dogma dan sistem kepercayaan (credo).

Namun, jika dilihat dari prespektif keilmuan Islam, maka persoalannya menjadi lain, ia tetap ilmiah dan benar, sebab dalam konsep Islam, ilmu di samping memiliki paradigma deduktif-induktif juga mengakui paradigma transenden, yaitu pengakuan adanya kebenaran yang datang dari Tuhan. Pengakuan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik (misalnya adanya Tuhan, malaikat, hari kebangkitan, surga, neraka dan seterusnya) merupakan kebenaran agama yang tak perlu adanya bukti empiris, melainkan persolan-persoalan metafisik tersebut benar adanya (realistis). Sesuatu yang tidak atau belum terjangkau oleh akal pikiran manusia tidaklah selalu menjadi dalih akan ketidakbenaran sesuatu itu sendiri, sebab Al-Qur’an menyebutkan : …. “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit sekali” (QS.17 : 85).

Apa yang ditegaskan Al-Qur’an tentang keterbatasan pengetahuan manusia tersebut juga diakui oleh para ilmuwan abad 20. Schwart misalnya –seorang pakar matematika kenamaan Perancis—menyatakan, bahwa fisikawan abad ke-19 berbangga diri dengan kemampunnya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak sekalipun. Sedangkan fisikawan abad 20 yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya meski yang disebut materi sekalipun. Teori Black Holes menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3 persen saja, sedangkan 97 persennya di luar kemampuan manusia. Itulah sebabnya seorang Kierkegaard tokoh eksistensialisme menyatakan, “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, melainkan karena ia tidak tahu“. Lalu Imanual Kant juga berkata, “Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi penyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya“.

Pesan Shalat Lima Waktu

Sebetulnya peristiwa Isra’ Mi’raj ini memiliki arti penting bagi pembinaan keperibadian manusia, karena dalam peristiwa Isra’ Mi’raj tersebut Nabi menerima perintah shalat lima waktu dalam sehari. Shalat inilah yang merupakan inti dari peristiwa besar tersebut, karena shalat merupakan tiang agama dan dasar dari pembangunan keperibadian manusia. Dalam pengertian lebih luas, shalat memiliki arti zikir dan senantiasa mengingat Allah dalam segala tindakannya, sehingga dengan menegakkan shalat ini diharapkan manusia tidak pernah memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan dan segala macam tindakan keji lainnya, sebagaimana penegasan Allah SWT melalui firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar” (QS. Al-‘Ankabut:35). Inti dari perisiwa inilah yang hingga sekarang menjadi tradisi wajib yang senantisa dikerjakan oleh setiap muslim. Pertanyaanya kemudian, shalat yang bagaimanakah yang mampu mencegah perilaku keji dan munkar itu? Kenapa sudah banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi justru kejahatan makin menjadi-jadi? Pertanyaan inilah yang sering terdengar di telinga kita.

Jauh sebelum zaman kita sekarang ini Nabi sudah memperingatkan kepada umatnya, bahwa suatu saat nanti akan datang kepada umat manusia, di mana banyak orang yang melaksanakan shalat tetapi (hakikatnya) mereka tidak shalat. Inilah fenomena zaman yang barangkali tengah kita alami sekarang ini, yang sering dipertanyakan orang mengenai relevansi shalat dengan fenomenan maraknya kejahatan dan tindak kezaliman lainnya. Apa artinya semua ini ?..

Tengara Nabi itu terbukti, yaitu telah tiba saatnya di mana banyak tempat peribadatan dibangun, tetapi aktivitas dan isinya minim. Tibalah saatnya generasi penerus (generasi yang miskin) yang menyia-nyiakan shalat dan mereka terbawa oleh nafsunya, inilah saatnya mereka akan menemui kesulitan dan krisis multi dimensi. Demikianlah kondisi yang digambarkan oleh Nabi yang dialami oleh orang-orang munafik. Ini pula yang dimaksud Al-Qur’an surat Al-Ma’un, yaitu banyak orang yang melakukan shalat tetapi yang diperoleh hanyalah kesengsaraan (digambarkan dengan siksa neraka Wel), karena mereka melalaikan shalat dan hanya ingin dilihat dan dipuji orang.

Ada tiga kategori manusia yang digolongkan sebagai “manusia yang melalaikan shalat” itu: Pertama, lalai waktu. Mereka ini suka mengolor-olor waktu shalat, sudah waktunya shalat, tetapi masih ditunda-tunda untuk melaksakannya, alias mereka tidak disiplin dan tidak tepat waktu. Itulah sebabnya ketika Nabi ditanya salah seorang sahabatnya mengenai amal yang afdhal, beliau menjawab “shalat yang tepat waktu”. Kedua, lalai tidak mengingat Allah dalam shalatnya, artinya selama dalam shalat, mereka lisannya mengucapkan bacaan-bacaan shalat, tetapi hatinya keluar dari kontesks shalat, pikirannya tertuju pada urusan duniawi, bahkan mereka tidak menghayati gerakan yang ada dalam shalat itu. (tiadak thuma’ninah). Ketiga, orang yang shalat, tetapi di luar shalat mereka tidak shalat, artinya mereka shalat, mungkin thuma’ninah dan tepat waktu, tetapi di luar tindakan shalat formal itu mereka tetap melakukan kejahatan. Contoh simpelnya, seusai shalat berjamaah di masjid misalnya, mereka masih mau mengambil sandal atau sepatu orang lain. Jika pada contoh yang lebih luas, mereka masih mau korupsi, manipulasi dan eksploitasi. Jadi mereka memisahkan antara shalat sebagai ibadah dengan urusan kehidupan dunia sehari-hari, inilah sesungguhnya yang disebut dengan “orang sekuler” atau sahun dalam bahasa Qur’an-nya.

Jika kita mampu mengeliminir (mendesekularisasi) sikap-sikap di atas, maka berarti kita termasuk kategori manusia yang disebut oleh Allah SWT sebagai aflah al-mu’minun, yaitu orang-orang mukmin yang paling beruntung, orang-orang yang khusyu’ dalam melaksanakn shalatnya (lihat QS. Al-Mu’minun:1-2). 

Shalat memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan orang mukmin. Sehingga Nabi pernah menyatakan “shalat itu sama dengan mi’raj-nya orang-orang mukmin”. Seperti halnya bagi orang yang tidak mampu pergi haji ke Makkah, maka shalat jum’ah bagi mereka dianggap sama nilainya dengan pergi haji ke Makkah. Itulah kemurahan Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya.
___________________________________
Dosen Filsafat dan Sosiologi Agama dan Wakil Rektor Bidang Akademik.

Pisika dan Refleksi Isro Mi'roj

Filsafah Metafisika = Fisika dan Refleksi Isra’ Mi’raj

A.      Metafisika

Metafisika mengandung Klasifikasi  yang meliputi   
Pertama,  Metaphysica Generalis (ontologi); ilmu tentang yg ada atau pengada.  
Kedua, Metaphysica Specialis terdiri atas: 
1). Antropologi; menelaah tentang hakikat manusia, terutama hubungan jiwa dan raga. 
2) Kosmologi; menelaah tentang asal-usul dan hakikat alam semesta.  
Dan  3). Theologi; Kajian tentang Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat pada-Nya.

Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas. 
Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: 
Teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada dapat tidaknya diserap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus  (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi).

Disiplin filsafat  pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi.  
Istilah  metafisika dengan sifatnya yang supra inderawi inilah memunculkan keengganan orang terhadap konsep – konesp metafisika. 
Kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan siqnifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.

Dengan membincangkan metafisika memberi pemahaman bahwa filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup Pokok Bahasan yang mencakup, pertama tentang kajian  Inkuiri ke apa yang ada (exist), atau apa yang betul-betul ada. Kedua tentang, Ilmu pengetahuan tentang realitas, sebagai lawan dari tampak (appearance)  Ketiga, Studi tentang dunia secara menyeluruh dengan segala Teori tentang asas pertama (first principle); prima causa  yang wujud di alam (kosmos).

            Bagian  metafisika yang membincang tentang hakikat  realitas disebut Ontologi. Sedangkan   Kosmologi adalah bagian metafisika tentang proses realitas sehingga menghasilkan obyek dalam kajian metafisika yang disebut dengan obyek partikular (materi)  dan obyek universal (ide)

B.   Falsafah Metafisika Agama      

Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.

Filsafat Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci (Numen) sakral : adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia.  Yang quddus itu dikonsepsikan sedemikian rupa sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepada-Nya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. 

Kekokohan konsepsi metafisika agama (Islam) dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah saripati dan hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan -minimal- menjawab dua hal pokok yang menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang supraindrawi,immateri dan; 
Pertama: pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua: Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas ini.

Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi ke -ilahiaan untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya. 

Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal.Yakni sebagai hal “penyelidikan tentang Tuhan”, bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang transenden”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya menghabiskan waktu yang tidak pendek. Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam perkembangan pemikiran Islam.  Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika  dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah  aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga islam menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensip. Misalnya pertanyaan-pertanyan yang menyangkut hal - hal  sebagai berikut bagaimana pemikir islam merumuskan hakekat metafisis Aqal dan Jiwa (hakekat metafisis Manusia), Bagaimana pemikir Muslim merumuskan hakekat metafisis Wujud (metafisika ketuhanan), dan Bagaimana Pemikir-pemikir Muslim  mengkonsepsikan hekakat Metafisis Falsafat Wahyu dan Nabi dan lain sebagainya. Pada hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan  hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan.

Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western science, Falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida(HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya .

Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang  secara konseptual riel seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan  metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.

Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan yang  falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis,juga maka  ajaran agama sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah ritual dan perintah – perintah agama  yang membentuk berbagai ritualitas agama hanya bermakna sebagai beban  yang sangat berat bagi umatnya. Dengan metafisika ilmiah lah kita bisa menghargai betapa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

            Problematika kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta (makrokosmos) bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Pada dasarnya tidak ada sesuatu halpun di alam  ini yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan.

 

C.  Manfaat Falsafah Metafisika

            Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan saintifik pada  umumnya maupun ilmu-ilmu pengetahuan berbasis keagamaan. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika  kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan histories.

2.      Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam.

3.      Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru.

4.      Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream, seperti: monisme, dualisme, pluralisme, sehingga  memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu.

5.      Metafisika menuntut orisinalitas berpikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara  berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.

6.      Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode skeptis.

7.      Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada,artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri, sesama, dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat dengan nilai (not value-free)

Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dlm ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetapi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan.

 

D.      Terbang dengan Kecepatan Cahaya: Refleksi Isra’ Mi’raj

 



 

Hari ini (17 Juni 2012) menurut Kalender pemerintah adalah bertepatan dengan perayaan/Peringatan Peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada tanggal27 Rajab 1433 Hijriyyah. Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan momen yang sangat penting dalam agama Islam, karena setelah peristiwa itulah, Sholat 5 waktu diwajibkan bagi setiap Muslim. Peristiwa ini sangat menarik untuk dikaji baik secara fisika maupun metafisika.

Secara istilah, Isra’ adalah berjalan di waktu malam hari, sedangkan Mi‘raj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad SAW pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha di Palestina. Miraj adalah kelanjutan perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjid Al Aqsha di Palestina ke langit ke-7 (Sidratul Muntaha). Di langit tertinggi ini tempat Nabi Muhammad saw “bertemu” dengan Allah SWT. Isra’ Miraj adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam waktu semalam(www.bambies.wordpress.com).

Prosesi sejarah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad termaktub dalam Qur’an Surat (QS) Al-Isra’ ayat 1 dan QS An-Najm ayat 13-18, yang berbunyi:

“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17. Al-Isra’ :1)

 

“Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)

 

E.                 Isra’ dan Mi’raj Antara Fenomena Fisika dan Metafisika

a.    Kajian Metafisika

Ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan peristiwa Isra’ dan Mikraj yang dialaminya, pada masa itu terdapat dua kubu, antara kubu (kaum) yang percaya (beriman) dan kaum yang tidak tidak percaya (kaum Quraisy). Bagi umat Muslim, bahwa seseorang disebut beriman, jika dia percaya kepada  hal-hal ghaib (metafisika) yang terangkum pada 6 rukun iman. Diantaranya:

(1) beriman (percaya) kepada Allah SWT,

(2) percaya kepada adanya Malaikat,

(3) percaya kepada Rasul-Rasul Allah,

(4) percaya kepada Kitab-Kitab Allah,

(5) percaya kepada adanya Hari Kiamat,

(6) percaya kepada Qada dan Qadar (Takdir Allah di alam semesta).

 

Berkaitan dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu, itu berarti seorang Muslim langsung mengimplementasikan keyakinannya kepada 6 rukun iman di atas.

(1)      Apa yang diwahyukan/disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW berarti semuanya benar. Ini implementasi rukun iman ke-3 dan ke-4

(2)      Rasulullah dibantu oleh Malaikat Jibril untuk perjalanan itu. Ini Rukun iman ke-2

(3)      Malaikat Jibril “membawa” Nabi ke Palestina dan ke Sidratul Muntaha (langit ke-7) tentu atas perintah dari Allah SWT. Ini rukun iman ke-1 dan ke-2

(4)      Selama perjalanan Mi’raj (ke langit), Nabi diperlihatkan bagaimana bentuk balasan dari umat manusia yang taat dan membangkang terhadap perintah Allah SWT setelah hari Kiamat kelak. Ini rukun iman ke-5.

(5)      Kita percaya kepada semua ketentuan Allah SWT di alam semesta ini baik kita inginkan maupun tidak kita inginkan, baik bisa diterima logika maupun belum. Ini yang disebut sebagai Qada dan Qadar. Dan Ini adalah bentuk aplikasi rukun iman ke-6.

 

b.        Kajian Fisika

Di dalam ilmu fisika modern, kecepatan partikel/benda yang paling cepat saat ini adalah kecepatan cahaya (light speed). Kecepatan cahaya adalah sebuah konstanta fisika yang disimbolkan dengan huruf c, Konstanta ini sangat penting dalam fisika dan bernilai 299.792.458 meter per detik. Nilai ini merupakan nilai eksak disebabkan oleh panjang meter didefinisikan berdasarkan konstanta kelajuan cahaya. Kelajuan ini merupakan kelajuan maksimum yang dapat dilajui oleh segala bentuk energi, materi, dan informasi dalam alam semesta. (www.wikipedia.org).

Nilai c hasil perhitungan => c = 299792.5 km/det

Nilai c hasil pengukuran:

1.    US National Bureau of Standards, c = 299792.4574 + 0.0011 km/det

2.    The British National Physical Laboratory, c = 299792.4590+0.0008 km/det

3.    Konferensi ke 17 tentang Ukuran dan Berat Standar “Satu meter adalah jarak tempuh cahaya dalam ruang hampa selama 1/299792458 detik (http://efrialdy.wordpress.com).

 

Malaikat terbuat dari Cahaya (Nur), seperti pada dalil berikut ini:

“Allah menciptakan malaikat dari cahaya, menciptakan jin dari nyala api, dan menciptakan Adam dari apa yang telah disifatkan (dijelaskan) kepada kalian.”(Diriwayatkan Muslim). DR. Mansour Hassab El Naby, pakar astrofisika dari Mesir  telah berhasil membuktikan pernyataan Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW bahwa Zat Malaikat adalah Cahaya. Dasar  El Naby adalah Al-Qur’an surah As-Sajadah ayat 5 yang menyatakan sebagai berikut:

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu”

Diketahui bahwa kecepatan cahaya sebesar 300.000 km per detik (bulatan angka 299.792,4989 km/detik temuan el-Naby). Jika benar materi malaikat adalah cahaya, maka mau tak mau kecepatan geraknya haruslah sesuai dengan ukuran kecepatan cahaya temuan para fisikawan.

Untuk hal itu, elNaby harus membuktikan  apakah benar pernyataan Al-Qur’an ini; kecepatan malaikat 1 : 1000 tahun adalah sama nilainya dengan 300.000 km/detik. Jika benar (1:1000) = 300.000 km/detik, berarti benarlah bahwa zat malaikat adalah cahaya. Apa hasilnya ? Ternyata 1 :1000. tahun = 300.000 km/detik!  (Sumber: Pettarani Bone, Kompasiana.com, 20 Januari 2012, “Umur 63 Tahun Tidak Sampai Satu Detik”).

Isro Mi'roj Kekuatan Spiritual dan Intrlrktual

Isra Mi`raj: Kekuatan Spiritual dan Kesadaran Intelektual

Isra mi`raj adalah dua peristiwa besar yang luar biasa, karena tidak ada seorang pun manusia yang dapat mengalaminya, kecuali hamba pilihan Allah SWT, yaitu Rasulullah Muhammad saw. Kata isra`, merupakan bentuk mashdar dari “asra` yusri isra-an” yang secara harfiah berarti “perjalanan di waktu malam”. Sedangkan kata mi`raj, bentuk isim alat dari `araja ya`ruju `urujan” yang mengandung arti “tangga”. Ulama mendefinisikan isra` sebagai peristiwa perjalanan Rasulullah saw di waktu malam dari Masjid al-Haram (Mekkah) sampai ke Masjid al-Aqsha (Yerusalem Palestina). Mi`raj ialah naiknya Rasulullah saw dari Masjid al-Aqsha ke Sidrat al-Muntaha melewati tujuh lapis langit.

Peristiwa isra` dijelaskan dalam QS al-Isra`/17:1, dan mi`raj di QS al-Najm/53:13-18. Awal perdebatan dimulai ketika Rasulullah saw menceritakan kepada masyarakat Mekkah tentang kejadian isra` yang dialaminya. Sebagai catatan, jarak antara Mekkah-Palestina yaitu 1.224,45 km, sehingga jika bolak-balik menjadi 2.448,90 km, dan orang-orang Arab saat itu menempuhnya dengan mengendarai kuda, serta memerlukan waktu selama dua bulan. Di kala Rasulullah saw menginformasikan bahwa perjalanan dari Mekkah ke Palestina hanya ditempuh kurang dari satu malam (lailan), masyarakat Mekkah gempar. Reaksi ini wajar, karena peristiwa yang dialami Rasulullah saw dianggap irasional dan tidak lazim dengan kebiasaan perjalanan yang dilakukan orang-orang Arab. Mereka menganggap Rasulullah saw sudah mengalami gangguan jiwa dan berhalusinasi. Ucapan provokatif ini juga berimplikasi terhadap keimanan sebagian kaum muslimin, yang mengakibatkan kembali kepada kekufuran (murtad). Dari sinilah tampil Abu Bakar yang menyatakan, jika Rasulullah saw menyampaikan peristiwa yang lebih dari isra` sekalipun, aku beriman dan meyakini kebenarannya. Sejak itulah Abu Bakar diberi gelar “al-Shiddiq”, yakni orang yang membenarkan perkataan Rasulullah saw.

Perspektif Imaniah

Rasio manusia terlalu kecil untuk menelaah peristiwa isra` dan mi`raj, sebab mengkomparasikan akal yang terbatas dan kekuasaan Allah SWT yang absolut tidaklah kompatibel. Dengan demikian, tinjauan keimanan (imaniyah) adalah alat ukur yang paling tepat dalam memahami peristiwa besar isra` dan mi`raj. QS al-Isra` ayat 1 menjelaskan:

سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي بركنا حوله لنريه من ايتنا إنه هو السميع البصير

“Maha Suci Dzat yang telah menjalankan hambanya (Muhammad) di waktu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami memperlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian dari bukti-bukti kebesaran Kami. Sungguh Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Surat al-Isra` ayat 1 diawali dengan kata سبحان (subhana), yaitu bentuk mashdar sama-`i dari sabbaha yusabbihu tasbihan wa subhana, yang berarti Maha Suci. Muhammad `Ali al-Shabuni menafsirkan makna subhana dengan ungkapan: 

تنزيه الله تعالى من كل سوء ونقص

 (menyucikan Allah SWT dari segala keburukan dan kekurangan). Atas dasar ini, fungsi kata subhana di awal surat al-Isra` untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah SWT (kamal al-qudrah) dan puncak kesuciannya dari sifat-sifat yang disematkan kepada makhluk (al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir: Jilid 2, 139-140). Penegasan kata subhana di awal surat al-Isra` sesungguhnya telah memosikan Allah SWT sebagai pemilik kekuasaan yang absolut dan penentu segala kejadian dalam hidup ini sesuai dengan kehendak-Nya.

Indikator bahwa Isra` adalah kekuasaan Allah, ditunjukkan dengan redaksi أسرى بعبده (asra` bi `abdih). Menurut ilmu bahasa Arab, kata asra` merupakan bentuk fi`il muta`addi, yakni kata kerja yang memiliki objek. Jika ditinjau dari sudut struktur tata bahasa Arab, maka redaksi kalimatnya cukup: أسرى عبده (Allah yang menjalankan hambanya). Huruf ba yang menempel di kata `abdihi disebut “ba zaidah” (tambahan) yang berfungsi “li al-ilshaq” (merapatkan kekuasaan Allah kepada tubuh Rasulullah saw). Jadi peristiwa isra` yang dialami Rasulullah saw hakikatnya bukan kekuatan makhluk dalam melakukan perjalanan kurang dari satu malam, melainkan kekuasaan Allah menjalankan hamba-Nya yang dikehendaki. Dalam konteks teologis, tidak ada yang sulit bagi Allah mewujudkan sesuatu yang dikehendaki-Nya, Dia cukup mengatakan “kun” (jadilah), maka akan terjadi (QS Yasin/:82).

Telaah Ilmiah

Rasulullah saw mengalami peristiwa isra` tidak sendirian, tetapi menaiki kendaraan “buraq” dan ditemani malaikat Jibril as. Imam Nawawi berkata:

 البراق إسم الدابة التي ركبها رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة الإسراء

“Buraq ialah nama seekor binatang yang pernah dinaiki Rasulullah saw pada malam isra`” (Syarah Shahih Muslim, Juz 2, h. 210).

 

Berdasarkan hadis-hadis sahih dan penegasan para ulama, buraq yang dikendarai Rasulullah saw ketika isra` itu benar-benar seekor binatang (hakiki), bukan sekadar kiasan (majazi) seperti anggapan sebagian orang. Dalam kitab shahih al-Bukhari disebutkan:

عن أنس بن مالك عن مالك بن صعصعة أن نبي الله صلى الله عليه وسلم حدثهم عن ليلة أسري به ... ثم أتيت بدابة دون البغل وفوق الحمار أبيض فقال له الجارود هو البراق يا أبا حمزة قال أنس نعم يضع خطوه عند أقصى طرفه فحملت عليه ... (رواه البخاري)

“Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha`sha`ah, bahwa Nabi saw telah menceritakan kepada para sahabat tentang malam ketika beliau diisra`kan … . Kemudian didatangkan kepadaku seekor binatang yang tubuhnya lebih kecil dari pada bighal dan lebih besar dari pada himar (keledai), putih rupanya. Lalu Jarud bertanya kepada Anas, “apakah itu buraq, wahai Abu Hamzah? Anas menjawab, ya binatang itu sekali melangkah, sejauh mata memandang.” Lantas aku (Nabi) ditunggangkan di atasnya… “ (Riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz 2, h.327).

Hadis tersebut diperkuat dengan riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, Juz 1, h. 81. Penjelasan-penjelasan mengenai buraq juga dapat dibaca dalam beberapa kitab, antara lain: Syihab al-Din al-Qasthalani, Irsyad al-Sari Syarah Shahih Bukhari, Juz 6, h. 204; Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 2, h. 210; Syeikh Nawawi, Nur al-Zhalam, h. 38; Imam Najum al-Din al-Ghaithi, al-Mi`raj al-Kabir, h. 61-62.

Dari keterangan hadis riwayat al-Bukhari, ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, keberadaan buraq sebagai kendaraan yang dinaiki oleh Rasulullah saw. Kedua, perihal kecepatan langkah kendaraan itu ketika berjalan. Kata buraq berasal dari ``barq” yang artinya kilat. Kecepatan buraq menurut penjelasan hadis, sekali melangkah sejauh mata memandang. Ini berarti, kecepatan perjalanan buraq sama dengan kecepatan cahaya, 300.000 kilometer per detik. Oleh karena itu, tidak heran jika Rasulullah saw dapat menempuh perjalanan dari Mekkah ke Palestina dalam tempo singkat. Saat ini, teknologi cahaya seperti hand phone, internet, google map telah membuktikan kecepatan mengakses data. Pertanyaannya, jika buraq itu makhluk berbadan cayaha, dan malaikat Jibril yang menemani Rasulullah saw juga makhluk bertubuh cahaya, maka apakah mungkin fisik Rasul dapat bertahan? Efek yang akan diterima oleh tubuh manusia apabila dikenakan kecepatan cahaya, maka badan manusia akan hancur menjadi partikel-partikel sub atom sebelum kecepatan cahaya itu dicapai.

Agus Mustofa (pakar nuclear engineering) memberikan skenario rekonstruksi dengan menggunakan teori “annihilasi” untuk menjawab masalah ketahanan tubuh Rasulullah saw dalam mengimbangi kecepatan cahaya di kala isra` mi`raj. Teori ini dikenal dalam fisika inti atau quantum, yaitu jika suatu materi bertumbukan dengan antimateri, maka akan terjadi fenomena annihilasi (saling menghilangkan), dan timbul dua berkas sinar gamma. Menurut Mustofa, agar Rasulullah saw dapat mengikuti kecepatan malaikat Jibril dan buraq, tubuh materi Rasul diubah menjadi badan cahaya. Hal ini dimaksudkan untuk mengimbangkan kualitas badan Rasulullah saw dengan Jibril dan buraq menjadi teman seperjalanan (Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, 2005).

Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dijelaskan, sebelum Rasulullah saw mengalami peristiwa isra` mi`raj, malaikat Jibril melakukan pembedahan dada Rasul, dan menyucikan kalbunya dengan air zamzam. Berdasarkan analisis teori annihilasi, pada saat inilah seluruh tubuh materi Rasulullah saw dimanipulasi oleh Jibril, yaitu diannihilasi menjadi badan cahaya. Dengan cara seperti ini, badan Rasulullah saw berubah menjadi substansi cahaya, sehingga kecepatan yang bagaimana pun dihadapi Rasul tidak menjadi masalah. Di dalam fisika quantum dikenal suatu teori, apabila seseorang melakukan perjalanan dengan kecepatan melebihi atau menyamai cahaya, maka secara teoretis ia akan masuk ke dalam dimensi-dimensi ruang waktu yang lain. Itulah mengapa Rasulullah saw dapat melihat penampakan-penampakan ketika isra` yang menyamai kecepatan cahaya dalam kondisi sadar. Rasul juga mendiskusikan hal tersebut dengan Jibril, dan beliau mampu untuk mengingat serta menceritakannya kembali (Agus Mustofa: 2005).

Hikmah Ubudiah

Ada pertanyaan, mengapa isra` dimulai dari Masjid al-Haram (Mekkah) dan berakhir di Masjid al-Aqsha (Yerusalem, Palestina)? Bukankah perjalanan itu lebih praktis jika dari Masjid al-Haram langsung ke Sidrat al-Muntaha? Muhammad Said al-Mubayyadh dalam kitab al-Isra` wa al-Mi`raj memaparkan, perjalanan isra` yang dialami Rasulullah SAW mengandung makna simbolik, yakni “intiqal al-qiyadah al-ruhaniyah min bani Israil ila bani Isma`il “ (peralihan kepemimpinan ruhani dari bani Israil ke bani Isma`il). Selama berabad-abad, Nabi dan Rasul selalu dari keturunan Israil (Nabi Ya`qub), dan setelah 3000 tahun (30 abad) dari wafatnya Nabi Isma`il, lahirlah seorang Rasul dari keturunan Isma`il, yaitu Muhammad saw.

Salah satu pengalaman Rasulullah saw ketika  berada di Masjid al-Aqsha ialah di kala menjadi imam salat untuk seluruh Nabi dan Rasul sejak dari Nabi Adam as. Ini jelas melambangkan persamaan dasar dan kontinuitas agama Allah yang dibawa oleh para Rasul, serta menegaskan bahwa Muhammad saw sebagai penutup para Nabi dan Rasul (khatam al-nabiyyin wa al-mursalin). Imamah seperti ini merupakan pengakuan nyata seluruh utusan Allah bahwa Islam adalah risalah Ilahiyah terakhir yang menjadi sempurna di tangan Rasulullah saw (QS Ali `Imran/3:81; QS Ali al-Maidah/5:3).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

“Perumpamaan antara aku dengan para Nabi sebelumku, adalah seperti seseorang yang membangun sebuah rumah. Rumah itu dibangunnya dengan baik dan indah, kecuali tempat untuk sebuah batu bata pada salah satu sudutnya saja. Lalu orang-orang berkerumun di sekelilingnya, dan dengan terheran-heran mereka mengatakan, tidakkah engkau pasang batu bata ini? Akulah batu bata itu, dan akulah penutup para Nabi” (Riwayat Bukhari Muslim).

Puncak dari perjalanan spiritual Rasulullah saw dalam isra` dan mi`raj adalah “perintah salat lima waktu”. Sebuah hadis riwayat Ahmad, al-Nasa-i, dan al-Tirmidzi menegaskan:

فرضت الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ليلة أسري به خمسين، ثم نقصت حتى جعلت خمسا، ثم نودي يا محمد: إنه لا يبدل القول لدي، وإن لك بهذه الخمس خمسين

“Salat telah difardhukan kepada Nabi saw pada malam isra` lima puluh waktu, kemudian dikurangi menjadi lima waktu. Lalu diserulah, wahai Muhammad, sungguh putusan-Ku tidak dapat diubah lagi, dan dengan salat lima waktu ini, engkau tetap mendapat pahala lima puluh waktu.”

Perintah salat lima waktu diterima Rasulullah saw di langit, bukan di bumi seperti kewajiban-kewajiban lain (puasa Ramadhan, zakat, ibadah haji dan sebagainya). Langit menunjukkan posisi tempat yang berada di atas, apalagi Sidrah al-Muntaha berarti merujuk pada lokus tertinggi. Filosofinya, salat lima waktu merupakan sentral dari ibadah yang menjadi tolok ukur amal kaum muslimin. Karena itu, salat lima waktu wajib dijaga, tidak boleh ditinggalkan dan dilalaikan waktunya (QS al-Nisa`/4:103 dan hadis riwayat Tirmidzi).

Perintah salat lima waktu diterima Rasulullah saw secara langsung tanpa perantaraan malaikat Jibril as. Ini mengilustrasikan bahwa salat merupakan komunikasi langsung (vertikal) antara hamba dengan Tuhannya, yang ditunaikan tanpa perantaraan seorang pun di antara makhluk-Nya. Dalam sebuah hadis disebutkan:

أقرب ما يكون العبد من ربه عز وجل وهو ساجد فأكثروا الدعاء (رواه مسلم)

“Posisi terdekat seorang hamba dengan Tuhannya (Allah SWT), yaitu ketika sedang sujud (salat). Maka perbanyaklah doa ketika itu” (Riwayat Muslim).

Salat sebagai martabat paling sempurna dalam menghambakan diri kepada Allah SWT. Dengan salat, seorang hamba menyebut nama Tuhannya dengan menggunakan hati, lidah, dan seluruh anggota tubuh. Dalam salat, masing-masing anggota tubuh memperoleh bagian untuk menghambakan diri kepada sang Pencipta (Khaliq). Inilah gambaran dari firman Allah SWT:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

“Tidaklah semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepadaKu” (QS al-Dzariyat/51:56).

Dari uraian mengenai isra` mi`raj, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Allah SWT begitu besar dan absolut. Ini menyadarkan akan keterbatasan akal dan ilmu manusia. Kasus orang-orang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ruh, Allah menurunkan surat al-Isra` ayat 85 sebagai jawabannya: “Katakan Muhammad, ruh itu urusan Tuhanku. Tidaklah Aku berikan pengetahuan kepada kalian, kecuali hanya sedikit.” Pernyataan QS al-Isra`/17:85 memberi peringatan agar manusia menyadari kekurangan dan keterbatasannya, sehingga tidak memosisikan diri sebagai “superior”.

5 Peristiwa dibulan Rojab

5 Peristiwa di Bulan Rajab,

Apa saja peristiwa penting dalam Islam yang bertepatan dengan bulan Rajab?..

Umat muslim sudah mulai memasuki bulan Rajab
Bulan ini juga dikenal sebagai bulan yang istimewa dalam Islam karena bertepatan dengan sejumlah peristiwa penting di dalamnya.
Rajab menjadi satu dari empat bulan suci sesuai firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 36. Melalui ayat ini, Allah SWT berfirman mengenai bulan-bulan yang diagungkan,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Artinya: "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. 
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa."

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم خَطَب في حجَّتِه، فقال: إنَّ الزَّمانَ قد استدار كهيئتِه يومَ خَلَق اللهُ السَّمواتِ والأرضَ، السَّنةُ اثنا عَشَرَ شَهرًا، منها أربعةٌ حُرُمٌ، ثلاثٌ متوالياتٌ: ذو القَعْدةِ، وذو الحِجَّةِ، والمحَرَّمُ، ورَجَبُ مُضَرَ الذي بين جُمادى وشَعبانَ
الراوي : أبو بكرة نفيع بن الحارث | المحدث : أبو داود | المصدر : سنن أبي داود | الصفحة أو الرقم : 

Berdasarkan catatan sejarah Islam, terdapat peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan sejarah hidup Rasulullah SAW dan dakwah beliau pada bulan Rajab ini. Salah satu peristiwa yang paling terkenal terjadi di bulan Rajab adalah Isra' Mi'raj.

Tidak hanya itu, bulan Rajab juga tercatat sebagai momen terjadinya salah satu peristiwa 'amul khuzni Rasulullah SAW. 
Peristiwa 'amul khuzni tersebut dimaknai sebagai tahun kesedihan Rasulullah SAW karena kehilangam beberapa orang terkasih di sampingnya.

"Paman Rasulullah SAW, Abu Thalib, yang selama beliau berdakwah menjadi pelindung dan benteng pertahanan yang selalu membela perjuangan Rasulullah. Wafat pada bulan Rajab, yaitu 6 bulan setelah keluar dari pemboikotan pada usia 87 tahun," tulis Ibnu Abhi Nashir dalam Panduan Lengkap Khutbah.

Adapun peristiwa penting dalam Islam lain yang bertepatan dengan bulan Rajab dapat disimak pada pemaparan berikut. 
Mulai dari turunnya wahyu salat saat Rasulullah melakukan Isra' Mi'raj hingga masa berakhirnya sistem khalifah.

5 Peristiwa Islam di Bulan Rajab.

1.Rasulullah ditinggal wafat orang orang kekasihnya yaitu pamannya Abu Thalib dan ditinggal istri tercinta Sayyidatina Khadijah,maka itu disebut Ammul Huzni.

2.Turun wahyu salat pertama kali
Peristiwa Isra' Mi'raj yang dilakukan oleh Rasulullah SAW berlangsung pada tanggal 27 Rajab tahun kesepuluh kenabian. 
Tepatnya, sebelum beliau hijrah ke Madinah.

"Isra' Mi'raj terjadi pada tahun 621 M, atau tahun 10/11 dari kenabian (Bi'tsah). 
Jumhur ulama menyebutkan tanggalnya adalah malam Jumat tanggal 27 Rajab," tulis buku di Balik 7 Hari Besar Islam karya Muhammad Sholikhin.

Isra' Mi'raj sendiri merupakan perjalanan Rasulullah SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa hingga Sidratul Muntaha. Saat peristiwa inilah, Allah SWT memerintahkan salat lima waktu sebagaimana yang tertuang dalam hadits berikut

هِيَ خَمْسٌ، وَهِيَ خَمْسُونَ، لاَ يُبَدَّلُ القَوْلُ لَدَيَّ". قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: رَاجِعْ رَبَّكَ. فَقُلْتُ: اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي

Artinya: "Lima waktu itu setara dengan lima puluh waktu. Tak akan lagi berubah keputusan-Ku." Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Aku kembali bertemu dengan Musa. Ia menyarankan, 'Kembalilah menemui Rabbmu'. Kujawab, 'Aku malu pada Rabbku'." (HR Bukhari).

3. Perang Tabuk
Salah satu perang terbesar dalam cerita Nabi Muhammad SAW ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke-9 setelah hijrah. Rasulullah SAW baru kembali ke Madinah pada 26 Ramadhan, usai perang yang tejadi sekitar satu bulan.

Perang ini berbeda dengan peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Rasulullah SAW menampakkan seluruh rencana perang, padahal biasanya menggunakan kode atau sandi yang tidak mudah diketahui musuh.

Rasulullah juga berangkat bersama 30 ribu pasukan saat musim panas sehingga terasa sangat sulit bagi pasukan muslim. Pasukan ini kemudian disebut dengan jaisyul usrrah akibat kesulitan tersebut.

Pada Perang Tabuk, diketahui pula pelaksanaan salat jamak mulai disyariatkan. Hal ini dijelaskan dalam hadits yang berbunyi,

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ أَخَرَّ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه البخارى)

Artinya: Dari Anas RA, ia berkata, "Apabila Rasulullah SAW berangkat menuju perjalanan sebelum tergelincir matahari, beliau akhirkan shalat dzuhur ke waktu ashar. Kemudian beliau berhenti untuk menjamak shalat keduanya. Dan jika matahari tergelincir sebelum ia berangkat, maka beliau shalat dzuhur terlebih dahlu kemudian naik kendaraan." (HR Bukhari).

4. Pembebasan Baitul Maqdis
Sesuai ajaran Islam, Allah SWT memerintahkan untuk menghindari pertumpahan darah kecuali atas namaNya atau umat Islam diserang lebih dulu. Hal inilah yang terjadi pada pembebasan Baitul Maqdis atau Al-Aqsa di Palestina pada 28 Rajab 583 Hijriah atau 2 Oktober 1187.

Baitul Maqdis berhasil dibebaskan Salahuddin Al-Ayubi atau Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi. Salahuddin mulai menggerakkan pasukkannya pada Jumadil Awal 583 Hijriah. Kemudian, mulai melakukan penyerangan pada 26 Rabi Al-Thani 583 Hijriah.

Setelah berhasil merobohkan dinding Palestina pada 25 Rajab 583 Hijriah, Salahuddin merebut kembali kota suci tiga agama tersebut dan membebaskan Baitul Maqdis. 
Salahuddin selanjutnya mempersilahkan penguasa Palestina sebelumnya angkat kaki tanpa ada pertumpahan darah.

5. Berakhirnya sistem khilafah
Terakhir, peristiwa penting di bulan Rajab adalah berakhirnya sistem khilafah yang pemimpinnya disebut khalifah. 
Khilafah terakhir adalah Kerajaan Utsmaniyyah yang runtuh pada 27 Rajab 1342 Hijriyah atau 3 Maret 1924.

Khilafah yang menguasai Turki ini dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk. 
Sebelumnya khilafah Islam berhasil menguasai 2/3 dunia selama beberapa generasi. 
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah adalah khilafah yang berhasil memberi nama baik dalam sistem pemerintahan Islam

Di antara sejumlah peristiwa yang pernah terjadi di bulan Rajab di atas, peristiwa apa yang belum pernah kamu ketahui sebelumnya, detikers?,,,
 Semoga bermanfaat.

Allahu A'lam Bishowab.