Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Sabtu, 31 Agustus 2024

TAKHOLLI,TAHALLI DSN TAJALLI

Takholli, Tahali, dan Tajalli

Takholli artinya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk,seperti: sombong, dengki, iri hati, cinta kepada dunia, cinta kedudukan, riya', dan sebagainya. 

Tahalli berarti menghiasi jiwa dengan sifat-sifat yang mulia, seperti: kejujuran, kasih sayang, tolong menolong, kedermawanan, sabar, keikhlasan, tawakal, kerelaan, cinta kepada Allah SWT, dan sebagainya, termasuk di dalahnya adalah banyak beribadah, berzikir, dan muraqabah kepada Allah SWT.
Setelah menempuh takhalli dan tahalli, sampailah para salik pada sesuatu yang dinamakan tajalli. Secara etimologi, tajalli berarti pernyataan atau penampakan. 

Tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan-Nya sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan keagungan-Nya. 
Istilah lain yang memiliki kedekatan,
Arti dengan tajalli adalah Ma'rifah, Mukasyafah, dan Musyahadah. 
Semua itu menunjuk pada keadaan di mana terbuka tabir (kasful-hijab) yang menghalangi hamba dengan Allah SWT.

Tajalli menurut Sufi

Ahli tasawuf berkata bahwa tasawuf tidak lain adalah menjalani takhalli, tahalli, dan tajalli. 
Jalan yang ditempuh oleh para Sufi adalah jalan takhalli, tahalli, dan tajalli. 
Mengosongkan jiwa dari sifat buruk, menghiasi jiwa dengan sifat yang baik dengan tujuan untuk menyaksikan dengan penglihatan hati bahwa sesungguhnya tuhan itu tidak ada, hanya Allah SWT yang Ada, "Tidak ada tuhan (lâ ilâha) selain (illâ) Allah SWT dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba, utusan, dan kekasih-Nya."

Selasa, 27 Agustus 2024

HUKUM MENERIMA UPAH MEMANDIKAN JENAZAH

Hukum Menerima UPAH Memandikan Jenazah

Saat ini banyak di antara kaum muslimin yang menerima upah dan bayaran ketika memandikan jenazah. Sebenarnya, bagaimana hukum menerima upah  memandikan jenazah atau dan bayaran ketika memandikan jenazah dalam Islam, apakah boleh?

Menurut kebanyakan ulama, menerima bayaran ketika seseorang memandikan jenazah hukumnya boleh, tidak makruh dan tidak haram. Karena itu, tidak masalah bagi seseorang yang memandikan jenazah untuk menerima dan mengambil upah, baik berupa uang atau lainnya.

Hanya saja meskipun boleh, namun menurut ulama Hanafiyah, sebaiknya seseorang memandikan jenazah secara gratis, tanpa upah dan bayaran apapun. Hal ini karena memandikan jenazah di dalam Islam termasuk perbuatan ibadah, dan jika seseorang melakukan perbuatan ibadah, maka tidak pantas baginya menerima upah dan bayaran.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;


أَخْذُ الأْجْرَةِ عَلَى تَغْسِيل الْمَيِّتِ: ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ أَخْذَ الأْجْرَةِ عَلَى تَغْسِيل الْمَيِّتِ جَائِزٌ، وَأَنَّهُ يُؤْخَذُ مِنْ تَرِكَةِ الْمَيِّتِ، كَالتَّجْهِيزِ وَالتَّلْقِينِ. وَصَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّ الأْفْضَل أَنْ يُغَسَّل الْمَيِّتُ مَجَّانًا، فَإِنِ ابْتَغَى الْغَاسِل الأْجْرَ جَازَ إِنْ كَانَ ثَمَّةَ غَيْرُهُ، وَإِلاَّ فَلاَ، لِتَعَيُّنِهِ عَلَيْهِ، لأِنَّهُ صَارَ وَاجِبًا عَلَيْهِ عَيْنًا، وَلاَ يَجُوزُ أَخْذُ الأْجْرَةِ عَلَى الطَّاعَةِ

Artinya:

Hukum mengambil upah atau bayaran memandikan mayit: Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa menerima upah memandikan mayit hukumnya adalah boleh, dan upah itu boleh diambilkan dari harta peninggalan mayit, sebagaimana masalah pengurusan mayit dan talqinnya.

Ulama Hanafiyah menegaskan bahwa yang paling utama adalah memandikan mayit secara cuma-cuma atau gratis. Namun jika orang yang memandikan minta upah, maka hukumnya boleh jika di sana ada orang lain.

Jika tidak ada orang lain, maka tidak boleh minta upah karena memandikan dalam keadaan itu menjadi wajib ain baginya, sementara menerima upah atas perbuatan ibadah atau taat hukumnya tidak boleh.

Dengan demikian, berdasarkan keterangan di atas, maka tidak masalah bagi seseorang menerima bayaran atas jasanya memandikan jenazah. Namun demikian, tetap yang lebih baik adalah memandikan jenazah karena ikhlas, tanpa perlu menerima bayaran apapun."
 Allahu A'lam....

Senin, 12 Agustus 2024

HUKUM TALAK TA'LIQ

Syarat dan Ketentuan Talak Ta‘liq 

"Ta'liq" berarti menggantungkan. 
Dengan bahasa lain, talak digantungkan pada peristiwa atau kegiatan tertentu.

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, talak dari segi waktu jatuhnya terbagi menjadi tiga: munajjaz, mudhaf, dan mu’allaq. Talak munajjaz atau mu‘ajjal jatuh pada saat shighat-nya diucapkan. 
Sedangkan talak mudhaf jatuh pada waktu yang akan datang, nanti malam, entah esok, pekan depan, Ramadhan nanti, atau lainnya sesuai dengan waktu yang menjadi sandaran.
 
Adapun talak mu‘allaq atau talak ta‘liq adalah talak yang digantungkan terjadinya pada suatu perkara di masa mendatang. 
Biasanya menggunakan kata-kata jika, apabila, kapan pun, dan sejenisnya. Contohnya ungkapan suami kepada istrinya, “Jika engkau masuk lagi rumah si ini, maka engkau tertalak.
” Atau, “Jika saya meninggalkanmu selama enam bulan berturut-turut, maka jatuh talak saya satu kepadamu.” 
 
Talak ta‘liq juga kerap disebut dengan sumpah majas. Sebab, pada hakikatnya ta‘liq adalah syarat dan pembalasan. 
Sehingga, secara tidak langsung, talak ta‘liq adalah majas karena di dalamnya terkandung makna sebab dan disertai dengan sumpah, dengan tujuan untuk mendorong, mencegah, atau memperkuat perkataan. Adapun ta‘liq sendiri adakalanya berupa lafdhi karena kata-kata syaratnya disebutkan dengan tegas, seperti apabila atau jika; ada pula yang berupa maknawi karena kata-kata syaratnya tidak disebutkan dengan tegas, seperti ungkapan, “Kamu begini, saya jatuhkan talak.” Ungkapan semacam ini tak lain bermaksud mewajibkan diri jatuhkan talak jika perkara yang disumpahkan terjadi. 
 
Adapun jenis tal‘iq atau persyaratannya boleh jadi berbentuk perkara pilihan (ikhtiyari), sehingga mungkin dilakukan mungkin juga tidak; boleh jadi bukan perkara pilihan. Perkara pilihan bisa berupa perbuatan suami, seperti perkataan suami, “Jika aku masuk ke rumah si ini, maka istriku tertalak.” Bisa juga berupa perbuatan si istri, seperti ungkapan suami, “Jika kamu keluar rumah tanpa izin, maka jatuh talakku kepadamu.” Atau ungkapan suami, “Jika kamu mau, aku jatuhkan talak kepadamu.” Sementara perkara yang bukan pilihan, misalnya kehendak Allah, terbitnya matahari, kematian seseorang, masuk awal bulan tertentu, kelahiran seseorang, dan sejenisnya. 
 
Dengan demikian, ta‘liq talak sendiri disyaratkan berupa perkara yang belum terjadi, namun mungkin terjadi, mungkin juga tidak. 
Jika talak digantungkan pada perkara yang telah terjadi, maka talaknya termasuk talak munajjaz. 
Contohnya ungkapan, “Jika kau kemarin pergi, maka engkau tertalak.” Ternyata si istri benar-benar pergi, maka talaknya jatuh pada saat itu pula. 
 
Lantas bagaimana talak digantungkan kepada perkara yang mustahil, seperti bisa terbang, naik ke langit, dan sebagainya? Contohnya ungkapan suami, “Jika kamu naik ke langit, maka engkau tertalak.” Termasuk perkara mustahil adalah kehendak Allah, seperti ungkapan, “Engkau tertalak insyaallah.
” Maka kedua ungkapan itu tidak menjatuhkan talak, terlebih jika “inysaallah” di sana dimaksudkan sebagai ta‘liq, sesuai dengan pandangan para ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi‘i. Hanya saja menurut ulama Hanbali, dengan ungkapan kedua, talak menjadi jatuh karena karena ta‘liq-nya tidak sah, sehingga ia sia-sia. Begitu pula ungkapan panggilan atau sapaan suami, “Hai tertalak, insyaallah!” maka, menurut ulama Syafi‘i, panggilan ini juga dapat menjatuhkan talak karena ta‘liq-nya tidak sah. 
 
Persyaratan ta‘liq berikutnya adalah si istri yang dijatuhi talak harus dalam keadaan siap ditalak, seperti sudah menjadi istri sah suami yang menjatuhi talak. Ini artinya, ungkapan seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang belum dinikah, “Jika kamu ngobrol lagi dengan si ini, maka engkau tertalak.” Maka dengan ungkapan itu si perempuan tidak tertalak. 
Sekalipun si perempuan menikah dengan laki-laki tersebut, kemudian mengobrol dengan orang dimaksud, maka talaknya tetap tidak jatuh, sebab waktu di-ta‘liq si istri tak berhak dijatuhi talak. 
 
Termasuk dalam keadaan siap dijatuhi talak manakala si istri sedang menjalani masa iddah raj‘i. Ungkapan suami kepada istrinya yang sedang masa iddah talak sebelumnya, “Jika berbincang dengan si ini, maka engkau tertalak.” Maka talaknya jatuh sebab si istri siap dijatuhi talak. 
 
Namun, tidak disyaratkan ketika terjadinya ta‘liq, sang suami termasuk orang yang sah talaknya. Sehingga setelah mengucapkan talak ta‘liq, misalnya, sang suami mengalami tunagrahita atau hilang ingatan, maka talaknya tetap jatuh. 
Sebab, ungkapan itu jatuh sewaktu ia masih sehat, sah talaknya, dan memenuhi syarat, sehingga pengaruh ungkapan itu tetap ada (lihat: Syekh al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6971). 
 
Namun, ungkapan talak mudhaf dan talak tali‘q tidak boleh disisipi kata “akan”, sebab kata “akan” salah satunya melekat pada fi‘il mudhari. 
Sedangkan fi‘il mudhari bukan ungkapan sharih (tegas) untuk menjatuhkan talak, sebagaimana petikan berikut. 
 
ألفاظ صريحة: وهي الألفاظ الموضوعة له، التي لا تحتمل غيره، وهي لفظ الطلاق وما تصرَّف منه، من فعل ماض، مثل: طلَّقتك، أو اسم فاعل، مثل: أنت طالق، أو اسم مفعول، مثل: أنت مطلقة. فهذه الألفاظ تدل على إيقاع الطلاق، دون الفعل المضارع أو الأمر، مثل: تطلقين واطلقي. 
 
Artinya: “Ungkapan-ungkapan sharih adalah ungkapan-ungkapan yang dibuat untuk tujuan menjatuhkan talak, di mana ia tidak memiliki makna selain makna talak. 
Ungkapan sharih adalah ungkapan yang mengandung kata talak itu sendiri, fi‘il madhi yang diderivasi dari kata itu, seperti ungkapan thallaqtuki (Saya [telah] mentalak kamu); isim fi’il bermakna maf‘ul, seperti anti thaliq (Kamu [telah] tertalak); atau ism maf‘ul, seperti anti muthallaqah (Kamu [telah] ditalak). 
Semua ungkapan itu menunjukkan jatuhnya talak. Namun dikecualikan kata talak dalam bentuk fi’il mudhari seperti tathluqin (Engkau akan tertalak), dan fiil amr seperti Uthluqi (Talaklah engkau!)” (Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau al-Kitab wa al-Sunnah, [Madinah: Majma Malik Fahd], 1424, jilid 1, hal. 313). 
 
Pertanyaannya, bagaimana jika seorang suami atau istri lupa melakukan sesuatu yang disyaratkan dalam talak ta‘liq atau tidak tahu bahwa perbuatannya merupakan ta‘liq, maka Syekh Zainuddin al-Malaibari, salah seorang ulama Syafi‘i, berpendapat talaknya tidak jatuh, sebagaimana berikut. 
 
يجوز تعليق الطلاق كالعتق بالشروط ولا يجوز الرجوع فيه قبل وجود الصفة ولا يقع قبل وجود الشرط ولو علقه بفعله شيئا ففعله ناسيا للتعلق أو جاهلا بأنه المعلق عليه لم تطلق.
 
“Diperbolehkan (suami) men-ta‘liq talaknya, sebagaimana ta‘liq memerdekakan budak, dengan sejumlah persyaratan. Namun talak ta‘liq tidak boleh dirujuk sebelum sifat yang digambarkan belum ada atau perkara yang disyaratkan belum terjadi. Kemudian seandainya suami men-ta‘liq talaknya dengan melakukan sesuatu, kemudian ia melakukan sesuatu tersebut karena lupa sebagai ta‘liq atau karena tidak tahu jika itu ta‘liq talaknya, maka istrinya tidak tertalak” (Syekh Zainuddin al-Malaibari, Fathul Mu‘in, [Beirut: Daru Ibnu Hazm], tanpa tahun, cet. pertama, hal. 517). 
 
Dari sini dapat disimpulkan tentang talak ta‘liq atau talak bersyarat, pertama, talak ta’liq tidak jatuh selama perkara yang dipersyaratkan tidak terjadi. 
Kedua, kehidupan suami istri berlangsung normal sebagaimana biasa selama perkara yang dipersyaratkan tidak terjadi. Ketiga, talak ta‘liq jatuh sejak perkara yang dipersyaratkan terjadi. 
Artinya, suami tidak perlu mengulangi lagi perkataan talaknya. 
 
Di antara shighat ta‘liq adalah yang biasa diucapkan pengantin pria sesaat setelah melakukan akad nikah. Selain sebagai upaya melindungki hak-hak istri, shighat ta‘liq di sana juga sekaligus sebagai janji setia dan upaya mengingatkan kewajiban suami. Berikut kutipannya: 
 
Sesudah akad nikah, saya: ....bin... berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya yang bernama ...binti ....dengan baik (mu‘asyarah bil ma‘ruf) menurut ajaran syariat agama Islam. 
 
Selanjutnya saya mengucapkan shighat ta’lik atas istri saya itu sebagai berikut: sewaktu-waktu saya (1) meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut, (2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; (3) atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; (4) atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya. 
 
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. 
 
Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang pengganti itu dan kemudian menyerahkannya kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaaan Syariah untuk keperluan ibadah sosial. 
 
Dengan shighat ta‘liq tersebut, talak suami jatuh setelah apabila yang disebutkan dalam ta‘liq tersebut terjadi kemudian diadukan oleh istrinya ke Pengadilan Agama serta diterima pengaduannya. Artinya, walaupun apa yang disebutkan dalam talak ta’liq telah terjadi, tetapi tidak diadukan oleh istri, atau diadukan tetapi tidak diterima pengaduannya oleh pengadilan, maka talaknya tidak jatuh. 
Wallahu ‘alam. 
 

HUKUM SUAMI TIDAK NGASIH NAFKAH

Suami Tak Beri Nafkah Lahiriah Selama Sebulan, Apa Hukumnya?

Assalamu’alaikum wr wb

Saya ingin bertanya, apa hukumnya jika suami tidak memberikan nafkah lahir atau uang belanja selama satu bulan lebih karena tidak ada pekerjaan?. Terimakasih.

Jawaban :

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, penanya yang semoga selalu berada dalam lindungan Allah ta’ala.

Islam mewajibkan para suami untuk menafkahi istrinya baik nafkah lahiriah maupun batiniah. 
Adapun nafkah lahiriah, maka suami diwajibkan memberi nafkah berupa biaya untuk pengurusan rumah tangga, pakaian yang digunakan istri, tempat tinggal dan lain-lain.

Mengenai hal ini, Ibnu Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib menjelaskan:

ونفقة الزوجة الممكنة من نفسها واجبة على الزوج

Artinya, “Nafkah untuk seorang istri yang telah memasrahkan dirinya hukumnya wajib bagi seorang suami.
” (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], jilid I, hal. 261).

Kesimpulan para ahli fikih terhadap kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahiriah kepada istri didasarkan hadits yang digunakan dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, ketika menjelaskan kewajiban nafkah seorang suami, haditsnya adalah:

اتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Artinya, “Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak mereka yang harus kalian penuhi adalah memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.” (An-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhazdzab, jilid XVIII, hal. 266).

Akan tetapi, dalam menjalani bahtera kehidupan, adakalanya suami mendapatkan kondisi lancar dalam mencari rejeki dan adakalanya kondisi tidak mendukung. 
Terlebih lagi melihat kondisi saat ini, di mana mencari pekerjaan adalah satu kesulitan sendiri.

Jika sang suami sudah berusaha untuk mencari rejeki namun belum dapat juga, sebenarnya dalam syara’, si suami tetap diwajibkan untuk memberikan nafkah minimal yang dapat mencukupkan pangan dan pakaian serta tempat tinggal istri dengan standar paling minimal orang susah di daerah tersebut (nafaqah al-mu’sir). (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, jilid I halaman 263).

Dalam kondisi sulit, di antara solusinya adalah istri dapat menggunakan uangnya sendiri dahulu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, atau meminjam kepada tetangga atau kerabat dan kenalan. Kemudian tanggungan tersebut dalam syara’ bisa dilimpahkan kepada suami sebagai kepala keluarga. Ibnu Qasim al-Ghazi berpendapat:

وإن أعسر بنفقتها أي المستقبلة فلها الصبر على إعساره وتنفق على نفسها من مالها أو تقترض ويصير ما أنفقته دينا عليه.

Artinya, “Jika suami tidak mampu memberi nafkah kepada istri, maksudnya nafkah di hari esok, maka istri hendaknya bersabar atas ketidakmampuan suami dan menafkahi dirinya dari hartanya sendiri, atau berhutang, sedangkan status harta tersebut menjadi hutang bagi si suami.” (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, jilid I halaman 263).

Terkait harta istri yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, yang statusnya menjadi hutang bagi suami, pun apabila istri ridha dan merelakan harta tersebut untuk digunakan pada kepentingan rumah tangga, maka hilang kewajiban suami untuk menggantinya.

Hal ini dikaitkan dengan hubungan suami istri bagi kebanyakan orang bukanlah hubungan transaksional dan hitung-hitungan, sehingga keduanya saling membantu, tolong menolong dan merelakan tenaga, waktu dan hartanya demi kelanggengan rumah tangga.

Kondisi ini berlaku bagi suami yang memang sudah berusaha untuk mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga tidak ada unsur ingin menelantarkan istri dan ana-anaknya. Sebab, apabila suami berniat demikian, maka dirinya berdosa. Rasulullah saw pernah bersabda:

 كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

Artinya, “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Dalam Shahih Muslim disebutkan hadits dari Rasulullah saw yang serupa:

  كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

Artinya, “Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR Muslim).

Apabila melihat tinjauan fikih, ada satu kondisi di mana jika si suami bahkan tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya, istri berhak untuk melakukan fasakh nikah atau pembatalan perkawinan sehingga status suami istri di antara mereka tidak berlanjut sejak dijatuhkan fasakh nikah oleh hakim. Terkait hal ini Imam an-Nawawi berkata:

إذا أعسر الزوج بنفقة المعسر فلها أن تفسخ النكاح

Artinya, “Apabila suami kesulitan memberi nafkah sesuai standar mu’sir (orang susah/miskin dengan kewajiban memberi 1.6 kilogram makanan pokok perhari) maka istri boleh melakukan fasakh nikah.” (An-Nawawi, al-Majmu’, jilid XVIII, hal. 267).

Kemudian, apabila si suami tidak mampu memberi nafkah karena tidak dapat bekerja disebabkan sakit, maka si istri harus melihat kondisi terlebih dahulu. Apabila sakitnya dapat sembuh sehari dua hari, maka tidak berhak fasakh, namun apabila sakitnya tidak dapat disembuhkan, istri berhak fasakh nikah. (An-Nawawi, al-Majmu’, jilid XVIII, hal. 267).

Mengutip al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab jilid XVIII, hal. 269:

فإنه إذا كان الزوج موسرا فصار معسرا فإنه ينفق على زوجته نفقة المعسر، ولا يثبت لها الخيار في فسخ النكاح، لان بدنها يقوم بنفقة المعسر وان أعسر بنفقة المعسر كانت بالخيار بين أن تصبر وبين أن تفسخ النكاح.

Artinya, “Jika suami awalnya berkecukupan kemudian berubah menjadi orang susah, maka ia wajib memberi nafkah kepada istrinya dengan standar nafkah mu’sir, dan istrinya tidak mempunyai pilihan untuk membatalkan perkawinan, karena tubuhnya masih bisa hidup dengan standar nafkah tersebut. Jika suami [bahkan] kesulitan memberi nafkah sesuai standar nafkah mu’sir, maka istri mempunyai pilihan antara bersabar atau membatalkan pernikahan. "

Dalam konteks Indonesia, ada yang dinamakan sighat ta’liq talak, yaitu:

Tidak meninggalkan istri selama 2 tahun berturut-turut,
Senantiasa memberi nafkah wajib kepada istri,
Tidak membiarkan atau menelantarkan istri selama lebih dari 6 bulan,
serta, Tidak menyakiti jasmani/fisik istri.

Di luar penjelasan dalam tinjauan fikih tentang fasakh nikah ini, penanya harus mengingat kembali bahwa hubungan pernikahan adalah hubungan kolaboratif antara suami dan istri. 
Tidak selalu problematika dalam pernikahan jalan keluarnya adalah fasakh nikah atau talak, kecuali jika segala cara sudah ditempuh namun tidak lagi menemukan jalan keluar.

Perlu ada komunikasi efektif antara penanya dengan suami mengenai solusinya. 
Keduanya harus saling berusaha untuk mempertahankan bahtera rumah tangga, juga jangan lupa berdoa kepada Allah supaya rejekinya selalu dilancarkan. Wallahu a’lam.

HUKUM TALAK MELALUI ORANG LAIN

Hukum Ucapan Talak Melalui Orang Lain

Assalamu 'alaikum. wr.wb.

Bagaimana hukum suami yang menalak istrinya, yang ucapan talaknya disampaikan lewat orang lain untuk menyampaikan talaknya kepada istrinya. Apakah jatuh talaknya? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr.wb.

Jawaban :

Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. 
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa talak adalah perkara yang halal namun tidak tidak disukai Allah SWT. 
Kendati demikian, talak dianggap sebagai solusi terakhir untuk memecah kebuntuan persoalan yang menimpa pasangan suami-istri.

Sampai pada titik ini sebenarnya tidak ada persoalan. Namun yang menjadi ganjalan adalah bagaimana jika cara menalak istrinya melalui orang lain. 
Tentu hal ini layak untuk dipertanyakan. Pertanyaan memang bukan terkait soal kepantasan, tetapi lebih pada soal boleh atau tidak boleh.

Sebagai pintu masuk untuk menjawab hal ini adalah terkait dengan wakalah atau perwakilan. 
Dalam konsep wakalah terdapat pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakil). 
Di samping itu juga adanya tindakan atau perbuatan yang diwakilkan oleh muwakkil kepada wakil.

Jika mengacu kepada pertanyaan di atas, maka tampak jelas bahwa suami sebagai pihak yang hendak menceraikan istri mewakilkan kepada pihak lain untuk menyampaikan talak kepada istrinya.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh penyampaian talak diwakilkan melalui pihak lain?... 
Para pakar hukum Islam (fuqaha`) menyatakan kebolehan untuk mewakilkan penyampaian talak melalui orang lain.

Argumen yang diajukan untuk mendukung kebolehan ini adalah adanya kebutuhan atau hajah sebagaimana kebolehan mewakilkan dalam akad jual-beli dan nikah karena adanya hajah.

وَيَجُوزُ التَّوْكِيلُ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ لِمَا رَوَي أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَكَّلَ عَمْرَو بْنَ أُمَيَّةَ الضَّمْرِيِّ فِي نِكَاحِ أُمِّ حَبِيبَةَ وَيَجُوزُ فِي الطَّلَاقِ وَالْخُلْعِ وَالْعِتَاقِ لِاَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إِلَى التَّوْكِيلِ فِيهِ كَمَا تَدْعُو إِلَى التَّوْكِيلِ فِي الْبَيْعِ وَالنِّكَاحِ

Artinya, “Boleh untuk mewakilkan dalam akad nikah karena ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mewakilkan kepada Amr Ibn Ummayah Adl-Dlamri dalam pernikahan beliau dengan Ummu Habibah. 
(Begitu juga) boleh mewakilkan dalam menalak, khulu`, dan membebaskan budak karena adanya kebutuhan untuk mewakilkan sebagaimana kebutuhan mewakilkan dalam akad jual-beli dan nikah,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun, juz I, halaman 380).

Berangkat dari penjelasan singkat ini, tampak jelas kebolehan untuk menyampaikan talak atau mewakilkannya melalui orang lain. Kebolehan ini dianalogikan (qiyas) dengan kebolehan mewakilkan dalam akad jual-beli dan nikah.

Hindari talak sedapat mungkin karena merupakan hal yang Allah tidak menyukainya. 
Jika terpaksa melakukannya, maka lakukan dengan cara-cara yang baik (ma’ruf).

Demikian jawaban singkat ini yang dapat kami kemukakan. 
Semoga bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat. 
Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallhul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr.wb.

Sabtu, 10 Agustus 2024

MENTALAK ISTRI SAAT EMOSI

Sahkah Talak dalam Kondisi Sangat Marah?...

Assalamu’alaikum wr.wb. 

Langsung saja, saja mau mau menanyakan tentang talak ketika dalam kondisi sangat marah. 
Tetangga saya adalah orang yang penyabar dan kalau bicara tidak pernah kasar.
Saya tahu dia orang baik karena memang kita sejak kecil berteman. 
Ia pernah bercerita bahwa dirinya pada suatu waktu pernah bertengkar hebat dengan isterinya. 
Ia sebenarnya sudah berusaha sabar, tetapi karena isterinya terus mengajak bertengkar akhirnya tanpa sadar karena emosi yang tak bisa terbendung ia mengucapkan kata talak. 
Yang ingin saya tanyakan apakah talak dalam kondisi sangat marah sehingga menghilangkan kesadaran normalnya itu sah (jatuh)? ...
Mohon kiranya pengasuh rubrik bahtsul masail menjelasakan. Dan atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih.

Wa’laikum salam wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. 
Dalam kehidupan rumah tangga perselisihan antara suami-isteri merupakan hal yang tak bisa dielakkan. Ini merupakan hal biasa dalam kehidupan rumah tangga. 
Namun acapkali di tengah-tengan perselisihan itu muncul kemarahan yang sangat luar biasa, sehingga tanpa sadar terucap kata talak dari pihak suami.

Sedang mengenai jatuh apa tidaknya talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah, para ulama terjadi perselisihan pendapat. 
Namun dalam kasus ini ada yang menarik dari penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, salah satu ulama pengikut madzhab hanbali.

Pertama-tama yang dilakukan beliau sebelum menetapkan sah atau tidaknya talak dalam kondisi marah. Beliau terlebih dahulu membagi bentuk kemarahan. 
Setidaknya ada tiga klasifikasi atau level kemarahan. Level pertama, kemarahan yang biasa, yang tidak mempengaruhi kesadarannya. 
Artinya, pihak yang marah masih menyadari dan mengetahui apa yang ia ucapkan atau maksudkan dalam kondisi tersebut. 
Dalam kasus kemarahan yang seperti ini jika sampai terucap kata talak maka talaknya sah atau jatuh.

Kedua, kemarahan yang sangat luar biasa sehingga menyebabkan orang yang mengalami kemarahan ini tidak menyadari apa yang terucap dan apa yang dikehendaki. 
Apa yang terucap ketika dalam kemarahan yang seperti ini tidak memiliki konsekwensi apa-apa. 
Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan kata talak dalam kondisi kemarahan yang sangat luar biasa maka talaknya tidak sah atau jatuh. 
Alasannya adalah ketika seseorang dalam kondisi marah yang sangat luar biasa itu seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang diucapkan dan tidak mengerti maksud dari apa yang diucapkan tersebut.

Ketiga, kemarahan yang berada di tengah yang berada antara kemarahan pada level pertama dan kedua. 
Kemaran pada level tidak menjadikan seseorang seperti orang yang gila. 
Bagi Ibnu al-Qayyim, jika ada seseorang mengalami kemarahan pada level ini kemudian terucap kata talak maka talak tersebut tidak sah atau tidak jatuh.

 قُلْتُ : وَلِلْحَافِظِ ابْنِ الْقَيِّمِ الْحَنْبَلِيِّ رِسَالَةٌ فِي طَلَاقِ الْغَضْبَانِ قَالَ فِيهَا : إنَّهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : أَحَدُهَا أَنْ يَحْصُلَ لَهُ مَبَادِئُ الْغَضَبِ بِحَيْثُ لَا يَتَغَيَّرُ عَقْلُهُ وَيَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ ، وَهَذَا لَا إشْكَالَ فِيهِ .وَالثَّانِي أَنْ يَبْلُغَ النِّهَايَةَ فَلَا يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَلَا يُرِيدُهُ ، فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ شَيْءٌ مِنْ أَقْوَالِهِ .الثَّالِثُ مَنْ تَوَسَّطَ بَيْنَ الْمَرْتَبَتَيْنِ بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ كَالْمَجْنُونِ فَهَذَا مَحَلُّ النَّظَرِ ، وَالْأَدِلَّةُ عَلَى عَدَمِ نُفُوذِ أَقْوَالِهِ  

“Saya berkata, bahwa al-hafizh Ibn al-Qayyim al-Hanbali memeliki risalah mengenai talak dalam kondisi marah. Dalam risalah tersebut ia mengatakan bahwa kemarahan itu ada tiga macam. 

Pertama, adanya dasar-dasar kemarahan bagi seseorang namun nalarnya tidak mengalami kegoncangan sehingga ia masih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan. 
Dan dalam konteks ini tidak ada persoalan sama sekali. 

Kedua, ia sampai pada puncak (kemarahannya) sampai tidak menyadari apa yang dikatakan dan dikehendaki. 
Dan dalam konteks ini tidak ada keraguan bahwa apa yang terucap tidak memeliki konsekwensi apa-apa. 

Ketiga, orang yang tingkat kemarahannya berada di tengah di antara level yang pertama dan kedua. 
Dan dalam konteks perlu ditinjau lebih lanjut lagi (mahall an-nazhar). 
Namun, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa apa yang terucap tidak memiliki konsekwensi apa-apa. (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyatu Durr al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 10, h. 488)

Namun jika seseorang mengalami kemarahan pada level ketiga, yaitu di antara level pertama dan kedua kemudian terucap darinya kata talak, maka menurut mayoritas ulama talaknya sah. 
Artinya dalam pandangan mereka kemarahan yang tidak sampai berakibat pada hilangnya kesadaran dan rasionalitas seseorang, meskipun menyebakan ia keluar dari kebiasaanya tetaplah jatuh. Sebab, ia tidak seperti orang gila.

اَلثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ الْغَضَبُ وَسَطًا بَيْنَ الْحَالَتَيْنِ بِأَنْ يَشَتَدَّ وَيُخْرِجُ عَنْ عَادَتِهِ وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ كَالْمَجْنُونِ الَّذِي لَا يَقْصِدُ مَا يَقُولُ وَلَا يَعْلَمُهُ وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْقِسْمَ الثَّالِثَ يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ 

“Ketiga, adanya kemarahan itu pada level sedang yaitu di antara level pertama dan kedua. Artinya, ada kemarahan yang sangat sehingga ia keluar dari kebiasannya, akan tetapi ia tidak seperti orang gila yang tidak menyadari kemana arah dan tujuan apa yang diucapkannya dan tidak mengetahuinya. 
Menurut mayoritas ulama talaknya seseorang yang mengalami kemarahan pada level ketiga ini jatuh” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 142 )

Hasil verifikasi atau tahqiq yang dilakukan para ulama dari kalangan madzhab hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang mengakibatkan seseorang keluar dari karakter dan kebiasannya, dimana igauan mendominasi perkataan dan tindak lakunya adalah ini tidak jatuh, meskipun ia menyadari apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan.

Alasan yang dikemukakan mereka adalah, bahwa ia dalam keadaan mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang kehendaki atau dimaksudkan tidak didasarkan pada pemahaman yang sahih. 
Jadi, ia seperti orang gila.

وَالتَّحْقِيقُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ الْغَضْبَانَ الَّذِي يُخْرِجُهُ غَضَبُهُ عَنْ طَبِيعَتِهِ وَعَادَتِهِ بِحَيْثُ يَغْلُبُ الْهَذَيَانُ عَلَى أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ فَإِنَّ طَلَاقَهُ لَا يَقَعُ وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ لِأَنَّهُ يَكُونُ فِي حَالَةٍ يَتَغَيَّرُ فِيهَا إِدْرَاكُهُ فَلَا يَكُونُ قَصْدُهُ مَبْنِيًّا عَلَى إِدْرَاكٍ صَحِيحٍ فَيَكُونُ كَالْمَجْنُونِ

“Hasil verifikasi kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa kemarahan yang menyebabkan seseorang keluar dari tabiat dan kebiasaannya, dimana igauan menguasai perkataan dan perbuatannya, maka talaknya tidak jatuh meskipun ia mengetahui apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. 
Sebab, ia berada dalam kondisi mengalami kegoncangan pemahaman. Karenanya, apa yang dikehendaki itu tidak didasarkan atas pemahaman yang sahih sehingga ia menjadi seperti orang gila” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 144 )

Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban untuk pertanyaan di atas adalah bahwa talaknya orang yang dalam kondisi sangat marah sehingga hilang kesadarannya adalah tidak jatuh atau tidak sah.

Begitu juga talak tidak sah ketika kemarahan itu sampai membuat seseorang keluar dari tabiat dan kebiasannya, meskipun ia menyadari apa yang diucapkan dan apa yang dimaksudkan. 
Dalam ini tentunya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama, yang menyatakan tetap jatuh atau sah talaknya.    

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. 
Semoga bisa dimengerti dengan baik. 
Bagi para suami agar selalu mengontrol kemarahannya, dan bagi para isteri agar tidak perlu memancing kemarahan suami. 
Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq

Wassalamu’alaikum.


STATUS MENGUCAPKAN TALAK TIGA SEKALIGUS

Hukum Mengucapkan Talak Tiga Sekaligus

Ulama berbeda pendapat perihal kedudukan ucapan talak tiga sekaligus.

Assalamu ’alaikum wr. wb.

Mohon perkenan untuk membahas tentang masalah talak 3 (tiga) yang diucapkan sekaligus. Apakah jatuh 1 (satu) atau jatuhnya 3 (tiga) talak? Terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Jawaban
Wa’alaikumussalam wr.wb.
Penanya dan pembaca yang budiman, semoga semakin bertambah luas wawasan keislamannya dan toleran. 
Terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ulama mengenai masalah talak tiga yang diucapkan sekaligus. 
Mencermati berbagai literatur fiqih di antaranya al-Majmû‘ karya Imam al-Nawawî (631-676 H.), Bidâyat al-Mujtahid karya Ibnur Rusyd (w. 565 H), dan al-Fiqh al-Islâmî wa-Adillatuh karya Syekh Wahbah al-Zuhailî, tentang masalah ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam.

Pertama, pendapat yang menghukumi talak tiga yang diucapkan sekaligus adalah jatuh talak tiga. Ini pendapat Empat Imam Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‘i, Hanbalî), Syiah Zaidiyyah dalam pendapat yang masyhur, dan suatu riwayat Imamiyah, serta pendapat Ibnu Hazm Az-Zhâhirî. 
Pendapat ini manqûl (diambil) dari pendapat jumhur sahabat, di antaranya Khulafâ’ur Rasyidun (selain Abu Bakar RA), Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amar, Ibnu ‘Abbâs, Ibn Mas’ûd, Abû Hurairah, dan para tabi’in.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa talak tiga sekaligus hanya jatuh talak satu. 
Ini pendapat Dâwud Az-Zhâhirî (mazhab Zhahiriyah selain Ibnu Hazm), Ibnu Ishâq, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Syiah Zaidiyah dalam satu riwayat, serta sebagian besar Syiah Imamiyah, seperti At-Thûsî (385-460 H). Pendapat ini, yang awalnya pendapat Abu Bakar RA, dipilih dan diberlakukan dalam undang-undang Mesir tahun 1929, dan undang-undang Suriah tentang Hukum Keluarga (Qânûn al-Ahwâl al-Syakhshiyyah) Pasal 91-92.

Ketiga, pendapat yang menafsil (memerinci), yakni memisahkan antara istri yang sudah digauli oleh suami yang menalaknya dan istri yang belum digauli oleh suaminya. 
Talak tiga yang diucapkan sekaligus terhadap istri yang sudah digaulinya, maka jatuh talak tiga, tetapi terhadap istri yang belum digaulinya, maka jatuh talak satu (talak raj’i).

Pandangan ketiga ini adalah pendapat murid-murid Ibnu ‘Abbâs RA di antaranya ‘Atha’, Sa‘îd bin Jubair, Abûs Sya‘tsâ’, ‘Amar bin Dînâr, yang merupakan mazhab Ishâq bin Râhawiyah. Dalilnya antara lain, HR Abû Dâwud: ”Taukah kamu bahwa bila seseorang menalak istrinya tiga kali sebelum ia berhubungan badan dengannya mereka menjadikan (menghukumi)nya talak satu?” (Lihat An-Nawawi, Kitâb Al-Majmû‘, [Jedah, Maktabah Al-Irsyâd: tanpa tahun], juz XVIII, halaman 275).

Keempat, pendapat yang menyatakan bahwa talak tiga sekaligus tidaklah jatuh talak sama sekali (laysa bisyai’), sebab merupakan bid‘ah muharramah (bid’ah yang diharamkan), tertolak dan batal, sebab menyalahi prosedur Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang talak. 
Ini pendapat Al-Hajâj bin Arthâh, Muhammad bin Ishâq, dan Syiah Imâmiyah dalam riwayat yang râjih (unggul).

Berikut di antara referensi tentang jatuhnya talak tiga tersebut:

وإيقاع الثلاث للإجماع الذي انعقد في عهد عمر على ذلك ولا يحفظ أن أحدا في عهد عمر خالفه في واحدة منهما. ثم قال: فالمخالف بعد هذا الإجماع مُـنـابذٌ لـه، والجمهور على عدم اعتبار مَن أحدث الاختلاف بعد الاتفاق.اهـ

Artinya, “Jatuhnya talak tiga-dalam kasus mengucapkan talak tiga sekaligus-itu karena ijmak yang terjadi pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Affân, dan tidak tercatat adanya seseorang pada masa beliau menentang pendapatnya tersebut… Maka orang yang menyalahi atau menentang setelah ada ijma’ ini berarti menentang pendapat beliau, dan Jumhur ulama memandang tidak ada penilaian terhadap orang yang membuat perbedaan pendapat setelah terjadi persepakatan tentang hukum tersebut.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalânî, Syarh Shahîhil Bukhârî [Beirut, Dârul Ma‘rifah: 1379 H], juz X, halaman 364).

Bahkan alangkah baiknya, terutama putusan hakim, mengikuti pendapat yang meringankan (takhfîf), sebagaimana yang telah diberlakukan dalam undang-undang di Mesir dan Suriah, sehingga bisa menjadi hukum yang lebih kuat (al-hukm al-aqwâ) untuk diterapkan, yang menetapkan talak tiga sekaligus adalah jatuh talak satu.

Mengambil atau memilih pendapat yang meringankan (takhfîf) ini, tidak berarti menentang putusan ‘Umar bin Khathab r.a. 
sebagaimana pula ditetapkan empat imam mazhab, karena persoalan norma hukum dikembalikan kepada (pertimbangan) aspek perubahan hukum sebab adanya perubahan ‘urf/adat-istiadat dan kondisi manusia.

Menerapkan pendapat yang takhfîf ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan (taisîr) bagi manusia, dan menjaga keutuhan hubungan suami istri, serta melindungi kemaslahatan anak-anak, karena ucapan talak tiga sekaligus itu biasanya untuk menakut-nakuti, dan jelas prinsip fiqih itu bersifat solutif (problem solving) dan mengembalikan relasi perkawinan (ruju’). Wallahu a’lam.  

Demikian jawaban ini, agar dapat dipahami dengan baik, dan kita terhindar dari menjatuhkan talak. Kami terbuka atas masukan pembaca yang budiman.

Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq
Wassalamu alaikum wa rahmatulllahi wa barakatuh

Jumat, 09 Agustus 2024

PENJELASAN TENTANG MUHALIL

Setelah Talak Tiga : 
Pernikahan Muhallil dan Permasalahannya

Hukum Islam mengatur mana pernikahan muhallil yang sah dan mana yang sebaliknya. 
Ilustrasi/Pinterest

Sebagaimana diketahui, perempuan yang telah ditalak tiga (ba’in kubra) tidak boleh dirujuk oleh suami yang mencerainya kecuali setelah dinikah oleh laki-laki lain, berdasarkan firman Allah, “Kemudian jika si suami menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga ia menikah dengan laki-laki lain,” (Q.S. al-Baqarah [2]: 230).

“Laki-laki lain” tersebut kemudian disebut dengan muhallil. 
Dengan kata lain, muhallil adalah laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan (tahlil) suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut.

Pernikahan muhallil yang bertujuan untuk membangun kehidupan suami-istri yang wajar dan langgeng tentunya tidak ada masalah, sebab itu pula yang dikehendali ayat di atas, hingga ia menikah dengan laki-laki lain. 
Namun, pernikahan muhallil yang singkat, sementara, bahkan disyaratkan harus bercerai setelah si perempuan dicampuri, inilah yang dipermasahkan. Sebab, masuk ke dalam kecaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya.

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ، وَالْمُحَلَّلَ لَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat muhallil dan muhallal lah, (HR Ibnu Majah).

Jika muhallil adalah laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut, maka muhallal lah adalah bekas suami yang menyuruh muhallil untuk menikahi mantan istrinya agar istri tersebut boleh dinikahinya lagi.

Karenanya, supaya pernikahan muhallil ini sah, para ulama telah merinci syarat dan ketentuannya. 
Antara lain 5 syarat yang dikemukakan oleh para ulama Syafi’iyah.

فإن طلقها ثلاثا لم تحل له إلا بعد وجود خمس شرائط انقضاء عدتها منه وتزويجها بغيره ودخوله بها وإصابتها وبينونتها منه وانقضاء عدتها منه

Artinya, “Jika sang suami telah menalaknya dengan talak tiga, maka tidak boleh baginya (rujuk/nikah) kecuali setelah ada lima syarat: 
(1) sang istri sudah habis masa iddahnya darinya, 
(2) sang istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil), 
(3) si istri pernah bersenggama dan muhallil benar-benar penetrasi kepadanya, 
(4) si istri sudah berstatus talak ba’in dari muhallil, 
(5) masa iddah si istri dari muhallil telah habis,

” (Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, Terbitan: Alam al-Kutub, tanpa tahun, hal. 33).

Sementara itu, Syekh al-Zuhaili menyebutkan, ada tiga syarat jika seorang suami ingin menikah kembali dengan perempuan atau mantan istrinya yang telah ditalak tiga. 
Pertama, si perempuan telah dinikah oleh laki-laki yang lain. 
Kedua, pernikahan si perempuan dengan suami keduanya haruslah pernikahan yang sah. 
Karena, jika pernikahannya rusak, kemudian sisuami kedua menggaulinya, maka tetap tidak halal bagi suami pertama. 
Pasalnya, pernikahan yang rusak pada hakikatnya bukan pernikahan.

Ketiga, suami kedua harus menggaulinya dengan cara penetrasi pada kemaluan. Andai digauli pada selain itu, seperti pada anus, maka tetap tidak halal bagi suami pertama. 
Untuk itu, disyaratkan suami kedua mampu bersenggama, yakni penetrasi atau bertemunya kedua khitan, walaupun tidak sampai keluar sperma, menurut jumhur ulama. 
Tidak termasuk ke dalam syarat ini jika si perempuan bersenggama dengan cara berzina. 
Sebab, perzinaan bukan pernikahan dan laki-laki yang menyenggama bukan suaminya (lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 7001).

Menurut Imam asy-Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsauri, dan al-Auza‘i, senggama suami kedua (muhallil) dianggap sah walaupun dilakukan pada waktu-waktu yang tidak diperbolehkan, seperti sedang haid atau nifas. 
Juga tidak dipermasalahkan status suami yang menggaulinya,apakah ia sudah baligh dan berakal, anak yang hampir dewasa, atau orang tunagrahita.

Hanya saja syarat ini bertolak belakang dengan syarat ulama Maliki dan Hanbali. 
Menurut mereka, senggama yang dilakukan harus pada waktu yang diperbolehkan. 
Selain itu, menurut Maliki, suami muhallil-nya harus baligh. 
Sementara menurut Hanbali, suaminya harus berumur 12 tahun. 
Alasannya, senggama yang tidak diperbolehkan haram bagi hak Allah.

Adapun pernikahan muhallil yang dianggap batal, menurut mazhab Syafi‘i, adalah pernikahan yang disyaratkan terputusnya saat akad. 
Seperti persyaratan : apabila si muhallil telah menggauli si perempuan, maka tidak ada lagi pernikahan antara keduanya. 
Atau, apabila si muhallil telah menikahinya hingga halal bagi suami pertama, maka ia harus menceraikannya. 
Ini mirip dengan pernikahan mut‘ah, yakni sebuah pernikahan bersifat sementara dan dipersyaratkan terputusnya, bukan tujuannya. 
Ini pula pernikahan muhallil yang dikecam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hadits di atas.

Lain halnya jika si muhallil menikahinya dengan niat akan mencerainya setelah menggaulinya, maka pernikahan ini hanya makruh. 
Sementara, jika ia menikahinya dengan niat agar menghalalkan suami pertama, bukan dengan syarat menceraikannya setelah senggama, maka akadnya tetap sah. 
Sebab, yang membatalkan pernikahan adalah syarat, bukan tujuan atau motifnya.

Walhasil, pernikahan muhallil yang diperbolehkan adalah pernikahan tanpa syarat cerai sewaktu akad. 

Adapun pernikahan muhallil dengan niat atau motif tersembunyi untuk menceraikan, tetap dihukumi sah hanya saja makruh menurut Syafi‘i. 
Pasalnya, secara zahir akad nikah sudah memenuhi syarat dan rukun. 

Makruh karena pernikahan bukan untuk membangun rumah tangga yang wajar, langgeng, berketurunan, bergaul secara ma’ruf, dan seterusnya. 
Tidak ada pengaruhnya motif yang tersimpan di belakang akad.

Singkatnya, pernikahan muhallil yang secara terang-terangan disyaratkan sewaktu akad untuk menghalalkan suami pertama, tidak diperbolehkan, bahkan haram menurut jumhur ulama—Malikiyyah, Syafi‘iyyah, Hanbaliyyah, Zhahiriyyah—dan makruh tahrim menurut ulama Hanafi. (Lihat: al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 7001). 

Wallahu ‘alam.