Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Minggu, 25 Mei 2025

MUSAFIR JAMA QOSHOR BERMAMUN KEIMAM MUQIM

"Bolehkah musafir yg akan jama’ qosor bermakmum dengan imam mukim?

Assalam Alaikum, ustadz ..
Saya sedang dalam perjalanan dari Denpasar Bali ke Jogja menggunakan pesawat. Di Bandara bertepatan dengan waktu sholat dhuhur saya sholat berjama’ah dengan para karyawan Bandara, saya niat sholat jama’ qosor. Setelah selesai 4 raka’at sholat dhuhur saya langsung melanjutkan sholat ashar (sendiri)2 raka’at. Bagaimana menurut Ustadz.

Jawaban :

Yang bapak lakukan sudah benar, sesuai sunnah. 
Di dalam Kitab Al Fiqhul Islami Jilid kedua Bab tentang hukum musafir bermakmum kepada muqim dan sebaliknya. Dalam Kitab tersebut dijelaskan sebagai berikut :

Para Ahli Fiqh sepakat bahwa musafir boleh bermakmum kepada kepada orang yang muqim (tidak dalam keadaan safar). 
Hanya Ulama madzhab malikiyah saja yang menghukumi makruh. Alasan makruh menurut mereka karena musafir tersebut meninggalkan kesunahan qahar baginya jika ia bermakmum kepada muqim sehingga ia wajib menyempurnakan 4 rakaat karena kewajiban mengikuti imam.

Begitupun sebaliknya, para ahli fiqh sepakat bahwa orang yang muqim boleh bermakmum kepada musafir. Dalam hal ini, ulama madzhab Malikiyah juga menghukumi makruh. 
Alasan kemakruhan menurut mereka karena berbedanya niat antara makmum dan imamnya. Jika seorang musafir menjadi imam dan shalatnya dua rakaat (mengambil Qashar ), maka makmumnya yang muqim tadi tidak ikut salam, tapi melanjutkan berdiri untuk menyempurnakannya menjadi 4 rakaat. (Dengan demikian, imam yang musafir tadi boleh Qashar sedangkan makmum muqim tidak). Dengan demikian, disunahkan imam yang musafir tadi setelah salam menyerukan kepada makmum yang muqim seperti ini : “sempurnakanlah shalat kalian (menjadi empat rakaat) karena saya adalah musafir (yang membolehkan qashar bagi saya). 
Seruan semacam ini boleh dilakukan sebelum takbiratul ihram atau sesudah salam agar makmum yang muqim tadi memahami bahwa qasharnya imam bukan karena lupa.
Dalil-dalil yang membolehkan masalah ini adalah :

Dalil bolehnya musafir bermakmum kepada yang muqim :

عَن ابن عَبَّاس أَنَّهُ قِيلَ لَه: مَا بَالُ المُسَافِرِ يُصَلّى رَكعَتَينِ فِى حَالِ الاِنفِرَاد, وَ أَربَعًا اِذَا أَتَمَّ ؟ فَقٌالَ : تِلكَ السُّنَّةُ

Dari Ibn Abbas RA, dia ditanya : Mengapa seorang musafir shalat dua rakaat (qashar) ketika ia shalat sendirian dan 4 raka’at apabila ia menyempurnakan (bermakmum kepada muqim) ? Ia menjawab : Yang demikian itu sesuai dengan sunnah”. (HR. Ahamad)
Demikian juga ada salah satu riwayat Nafi’ RA bahwa Ibnu Umar RA shalat  ketika beliau bermakmum dengan 4 rakaat dan beliau shalat 2 raka’at (qashar) jika shalat sendirian. (HR. Muslim)

Dalil bolehnya seorang muqim bermakmum kepada musafir.
Diriwayatkan dari Imran Ibn Hushain RA, dia berkata : Dalam keadaan safar, Rasulullah SAW selalu shalat qashar 2 raka’at sampai beliau SAW  kembali. 
Shalat tersebut beliau lakukan selama 18 malam ketika peristiwa Fathu Makkah. 
Beliau mengimami shat 2 raka’at dua raka’at (shalat qashar) kecuali shalat maghrib.
Kemudian beliau bersabda : “Wahai penduduk makkah, bangkitlah lalu shalatlah kalian dua raka’at lagi karena kami dalam keadaan safar. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan Al Baihaqi).

Catatan : Makmum tidak bisa mengqashar shalat kepada imam yang muqim. 
Makmum harus mengikuti jumlah rakaat imam yang muqim, yaitu 4 raka’at. 
Makmum hanya bisa menjama’ shalatnya saja jika imamnya adalah muqim.

Wallahu A’lam"

Selasa, 20 Mei 2025

PAHALA SHALAT DIHOTEL HAROMAIN (MAKKAH& MADINAH)

Pahala Shalat di Hotel Makkah Dilipatgandakan seperti Keutamaan di Masjidil Harom

Jamaah haji lanjut usia (lansia), risiko tinggi (risti), dan disabilitas sangat riskan manakala berdesakan saat menunaikan shalat di Masjidil Haram. Padahal salah satu tujuan para jamaah itu mendapatkan pahala sebesar-besarnya dengan shalat di masjid itu.

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. 
Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 1406, dari Jabir bin ‘Abdillah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1173)

Hadits riwayat Ibnu Majah ini,menyebut keutamaan yang luar biasa shalat di Masjidil Haram. Allah melipatgandakan pahala shalat di Masjidil Haram sampai 100 ribu kali dibanding shalat di Masjid Nabawi. 
Sedangkan shalat di Masjid Nabawi lebih utama 1000 kali shalat di tempat lain.

Batasan tempat Masjidil Haram itu terdapat beberapa makna, yaitu bermakna Kabah atau sekitaran komplek masjid itu berada, akan tetapi terdapat pendapat ulama yang mengatakan Masjidil Haram yaitu seluruh kota Makkah.

"Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Masjidil Haram dalam hadits tersebut tidak dipahami secara harfiah, tetapi juga mencakup Tanah Suci Makkah secara keseluruhan," tulis Ustadz Hafiz dalam artikel Keutamaan Shalat di Hotel Sekitar Masjidil Haram dan Kota Makkah.

Alhafidz Imam Jalaluddin As-Suyuthi, dalam Al-Asybah wan Nazha’ir fil Furu’ yang menjelaskan bahwa pelipatgandaan pahala di Tanah Suci Makkah tidak bersifat khusus pada Masjidil Haram saja, tetapi meliputi seluruh kawasan Tanah Haram Makkah.

Rupanya pandangan ini sejalan dengan pendapat Imam An-Nawawi, yang menyatakan bahwa Kota Makkah memiliki keutamaan dibandingkan kota lain, sehingga pahala shalat, ibadah, dan segala kebaikan di Kota Makkah akan dilipatgandakan.

“Pelipatgandaan pahala shalat di Kota Makkah. Demikian juga dengan semua jenis ibadah,” (Imam An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajji wal Umrah, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 206)," kutipnya.

Hal ini juga dipahami oleh ulama sebelumnya, seperti Imam Az-Zarkasyi dan Imam Al-Mawardi, yang menguatkan bahwa pelipatgandaan pahala mencakup seluruh Tanah Haram. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam karyanya menegaskan bahwa pandangan ini juga diikuti oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Manasik-nya.

“Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa ibadah shalat di Kota Makkah dilipatgandakan pahalanya. Demikian juga dengan semua jenis ibadah. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini ialah Mujahid dan Ahmad bin Hanbal. Imam Hasan Al-Basri berkata, ‘[Pahala] puasa sehari di Makkah dilipatgandakan 100.000 kali. Sedekah satu dirham dikalikan 100.000. Setiap kebaikan diganjar 100.000 kali.’ Oleh karena itu dianjurkan memperbanyak shalat, puasa, sedekah, tadarus Al-Qur’an, dan jenis kebaikan lain yang memungkinkan,” (An-Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajji wal Umrah, 212-213)," tulis kitab tersebut.

Jamaah haji Indonesia tidak perlu khawatir ketika lebih banyak melaksanakan shalat di hotel di kawasan Makkah. Asal masih di dalam kota Makkah insyaallah mendapat pahala ibadah yang besar.

"Jamaah haji tetap mendapatkan keutamaan shalat yang berlipat ganda dengan shalat di hotel masing-masing karena mereka masih harus menyiapkan energi dan stamina untuk tujuan utama kehadiran mereka di Arab Saudi, yaitu ibadah haji yang memerlukan kebugaran fisik dan kesehatan yang memadai.
Mudah-mudahan jemaah kita semua khususnya,umumnya jema'ah calon haji seindonesia dan dunia,Allah sehatkan lahir bathinnya selalu dijaga dan dibimbing dalam pelaksanaan rangkaian ibadah hajinya,dan amal ibadah lainnya,Aamiin
Semoga bermanfa'at
Allahu A'lam bissowab.
 

Sabtu, 17 Mei 2025

Kenapa Haji Qiran dan Tamattu Bayar Dam.

Kenapa Haji Qiran dan Tamattu Bayar Dam?

Sebagaimana yang telah jamak diketahui, bahwa ibadah haji ini bisa dilaksanakan dengan 3 model. 
Yaitu Haji Tamattu’, Qiran dan ifrad, model haji yang terakhir inilah yang paling afdhal dan tidak wajib membayar dam. 
Lalu kenapa kenapa haji qiran dan tamattu bayar dam?

Sebelum itu, mari kita ketahui terlebih dahulu dari definisi 3 model tersebut. Dijelaskan;


فصل في أوجه أداء النسكين: فيؤدي النسكان على أوجه أفضلها الإفراد إن اعتمر في سنة الحج وهو أن يحج ثم يعتمر ثم التمتع وهو أن يعتمر ثم يحج ثم القرآن بأن يحرم بهما أو بالعمرة ثم يحرم بالحج قبل الطوف

“Pasal menerangkan tentang model pelaksanaan haji dan umroh: seorang yang berhaji dan berumrah itu bisa melaksanakan keduanya dengan beberapa model, hanya saja yang lebih afdol atau utama itu adalah melakukannya dengan model haji ifrad (ketika ia berumroh di tahun Haji), yakni haji terlebih dahulu kemudian umroh. 

Kemudian model yang kedua adalah tamattu yaitu umroh terlebih dahulu kemudian haji. Lalu yang terakhir adalah Haji qiran yaitu melaksanakan haji dan umrah secara bersamaan atau umroh terlebih dahulu kemudian Haji sebelum thawaf.” (Abdullah bin Abdurrahman Al-Hadhrami, Al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah fi Fiqh al-Sadat al-Syafi’iyyah halaman 195)

Adapun kenapa model haji ifrad yang afdol itu dijelaskan oleh komentator kitab tersebut, sebagaimana berikut;

(أفضلها: الإفراد)؛ لأن رواته أكثر، ولأن منهم، وهو أقدم صحبة وأشد عناية بضبط المناسك، ولأنه صلى الله عليه وسلم اختاره أوّلاً، وللإجماع على أنه لا كراهة فيه ولا دم، بخلاف التمتع والقران، والجبر دليل النقص.

Adapun yang paling afdol dalam model pelaksanaan haji dan umroh ialah dengan ifrad, karena perawi riwayat ini adalah paling banyak, karena sahabat Jabir itu memilih model ini (beliau merupakan sahabat yang paling berhati-hati dengan regulasi haji), Rasulullah SAW juga memilih model ini pada awal mulanya. 

Dan karena sudah ada konsensus di kalangan para ulama bahwasanya tidak ada kemakruhan dan dam atau denda dalam pelaksanaan model ini, lain halnya dengan model Haji tamattu dan qiron, denda itu merupakan bukti bahwasanya model tersebut itu ada sisi kurangnya. (Said Ba’asyun, Busyra al-Karim bi Syarh Masail al-Ta’lim  halaman 653)

Kenapa Haji Qiran dan Tamattu Bayar Dam?
Adapun alasan Haji tamattu dan haji qiron ini bayar dam atau denda sebagaimana berikut;

السبب الأول: أن يترك مأموراً به ولكن أذن الشارع للحاج بتركه بشرط الفدية وهذا السبب محصور في أن يحج متمتعاً أو قارناً فإن المأمورية في الأصل إنما هو الإفراد في مذهب الشافعي. ولكن لا مانع من أن يحرم متمتعاً أو قارناً، بشرط أن يذبح لقاء ذلك هدياً وهو شاة مما تجزىء به الأضحية. فإن لم يجد الشاة أو ثمنها صام ثلاثة أيام في الحج وسبعة إذا رجع لقوله تعالى: {َمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ} فإن لم يصم في الحج ثلاثة أيام صامها إذا رجع إلى أهله وفرق بينهما وبين السبعة بقدر أربعة أيام ومدة إمكان السير إلى أهله.

“Sebab yang pertama (dari perkara-perkara yang menciderai haji) adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang diperintah, hanya saja syariat itu melegitimasi jamaah haji untuk meninggalkannya, namun dengan syarat membayar fidyah atau denda. Perkara ini hanya terbatas pada konteks seorang jamaah haji yang melakukan model Haji tamattu atau qiran, karena model haji yang diperintah itu pada asalnya adalah Haji Ifrad menurut Mazhab Syafi’i. 

Hanya saja tidak ada larangan tegas pagi jamaah untuk melaksanakan Haji dengan modal tamattu atau qiron, namun dengan syarat membayar denda yaitu menyembelih kambing yang memenuhi kriteria sebagai hewan kurban. 

Jika tidak mendapatkannya maka ia harus membayar sesuai dengan harga kambing tersebut, jika tidak memilikinya maka ia harus berpuasa tiga hari di saat haji dan 7 hari di saat pulang sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 196.” (Al-Fiqh Al-Manhaji ala Madzhab al-Imam Al-Syafi’i,  Juz 2 Halaman 161) 

Alasan lain dikemukakan oleh pakar falsafah hukum Islam dari Al-Azhar, Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi menyatakan;

وإنما وجب الهدي على المتمتع والقارن لأنهما كانا ممنوعين بسبب تحريف الجاهلية. وهو أيضاً بمثابة شكر الله تعالى على تلك النعمة الحاصلة برفع هذا الأصر وهي حكمة بالغة.

 ” Menyembelih hewan kurban diwajibkan bagi jemaah haji tamattu  dan qiran, sebab dulu keduanya dilarang karena dipandang telah mengalami reduksi di tradisi jahiliyah. 

Selain itu, kurban adalah sebagai bukti syukur kepada Allah atas kenikmatan yang berasal dari Allah yang telah  membebaskan dari beban ini. 
Inilah hikmah agung yang terkandung di  dalamnya. (Hikmat al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Juz 1 Halaman 191)

Kesimpulan 
Dengan demikian bisa diketahui bahwasanya alasan kenapa haji dengan menggunakan model tamattu dan Qiran itu dikenai denda adalah karena pada dasarnya ibadah haji diperintahkan dengan menggunakan model haji ifrad. Wallahu a’lam bi al-shawab"
 

Kamis, 15 Mei 2025

DAM HAJI DAN JENIS JENISNYA

Dam Haji : 
Pengertian dam dan Jenis-jenisnya,

Haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi umat Islam yang mampu. 
Dalam menjalankan ibadah haji, terdapat sejumlah larangan dan kewajiban yang harus ditaati. 
Jika larangan tersebut dilanggar atau kewajiban yang ditinggalkan, maka jamaah haji akan terkena dam.

Pengertian Dam Haji
_____________________

Dam secara bahasa berarti mengalirkan darah dengan menyembelih hewan kurban yang dilakukan pada saat melaksanakan ibadah haji. Secara istilah, dam haji adalah denda yang wajib dibayar oleh jemaah haji karena melanggar larangan haji atau meninggalkan kewajiban haji.

Hal sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S al Baqarah [2] ayat 196;

وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ.

Artinya: "Sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Akan tetapi, jika kamu terkepung (oleh musuh), (sembelihlah) hadyu) yang mudah didapat dan jangan mencukur (rambut) kepalamu sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. 
Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepala (lalu dia bercukur), dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah, atau berkurban."

Apabila kamu dalam keadaan aman, siapa yang mengerjakan umrah sebelum haji (tamatu’), dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. 
Akan tetapi, jika tidak mendapatkannya, dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (masa) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. Ketentuan itu berlaku bagi orang yang keluarganya tidak menetap di sekitar Masjidil Haram. 
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Keras hukuman-Nya.

Dam Bagi Orang Melanggar Wajib Haji
Menurut Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari dalam kitab Qurratul ‘Ain  bi Bayani Muhimmatiddin [Beirut, dar Ibnu Hazm, 2004], halaman 301 

Menyebutkan, terdapat tahapan denda yang wajib dibayarkan jika orang yang haji meninggalkan manasik wajib. 
Pertama, denda seekor kambing kurban. 
Denda ini wajib dibayarkan jika orang yang haji meninggalkan wajib haji berupa menyembelih kurban di Mina. 

Kedua, denda puasa tiga hari sebelum hari kurban. 
Denda ini wajib dibayarkan jika orang yang haji tidak mampu membayar denda seekor kambing kurban :

Demikian ketentuan dan tata cara puasa dam:

1. Niat puasa pada malam hari.

Niat puasa disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan. 
Berikut ini adalah lafal niat puasa dam haji tamattu.

نَوَيْتُ صَوْمَ التَّمَتُّعِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaytu shaumat tamattu’i lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku bermaksud puasa tamattu esok hari karena Allah ta’ala.”

Berikut ini adalah lafal niat puasa dam haji qiran.

نَوَيْتُ صَوْمَ الْقِرَانِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaytu shaumal qirāni lillāhi ta‘ālā

Artinya, “Aku bermaksud puasa qiran esok hari karena Allah ta’ala.”

2. Melaksanakan puasa dam sesuai ketentuan puasa Ramadhan terkait hal yang boleh dan hal yang membatalkan puasa.

3. Melaksanakan puasa sebanyak 10 hari yang dibagi dua, tiga di Tanah Suci dan tujuh hari sisanya di Tanah Air.

4. Tiga hari puasa dam di Tanah Suci dilaksanakan pada tanggal 6, 7, dan 8 Dzulhijjah.

Dan puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya. 
Denda ini juga wajib dibayarkan jika orang yang haji tidak mampu membayar denda seekor kambing kurban. 
*Puasa ini dilaksanakan pada hari-hari biasa, tidak harus berturut-turut*.

5. Puasa dam tidak boleh dilakukan pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) dan hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

6. Pada tanggal 9 Dzulhijjah, jamaah haji dianjurkan tidak berpuasa. (An-Nawawi, Al-Idhah: 230).

7. Jika tiga hari puasa dam tidak dilaksanakan di Tanah Suci, maka jamaah haji tersebut wajib melaksanakan puasa 10 hari di Tanah Airnya.

Puasa dam harus dinyatakan dalam niatnya pada malam hari karena puasa dam merupakan puasa wajib. Karena puasa wajib, syarat dan ketentuan puasa wajib juga berlaku padanya. 

ويجب في هذا الصوم تعيينه من كونه تمتعا أو قرانا أو غيرهما وتبييت النية فيه لأنه واجب.
Artinya, “Pada puasa dam ini, jamaah haji wajib menyatakan puasanya, apakah ia tamattu, qiran, atau lainnya. 
Jamaah haji juga wajib memasang niat pada malam harinya karena itu merupakan puasa wajib,” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Bandung, Syirkah Al-Ma’arif: tanpa tahun], halaman 217).


Ketiga, denda puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya. Denda ini juga wajib dibayarkan jika orang yang haji tidak mampu membayar denda seekor kambing kurban. 
Puasa ini dilaksanakan pada hari-hari biasa, tidak harus berturut-turut.


ودم ترك مأمور ذبح فصوم ثلاثة وقبل نحر وسبعة بوطنه.

Artinya: “Wajib membayar dam (denda) sebab meninggalkan kewajiban haji yaitu menyembelih seekor kambing kurban, (jika tidak mampu) maka puasa tiga hari sebelum hari kurban (10 Dzulhijjah) dan puasa tujuh hari setelah kembali ke negaranya.”

Jenis-Jenis Dam Haji
Syekh Habib Syekh Habib Hasan bin Ahmad bin. Muhammad Al-Kaff dalam kitab al-Taqrirat al-Sadidah fi Al-Masail al-Mufidah halaman 506, menyebutkan ada empat kategori atau macam dam haji :

Pertama, dam tartib wa taqdir. Kedua, dam tartib wa ta’dil. 
Ketiga, dam takhyir wa ta’dil. 
Keempat dam takhyir wa tadil. 
Secara pengertian, yang disebut dengan tartib ialah jamaah haji yang melanggar larangan haji untuk membayar denda dan tidak diperbolehkan menggantinya dengan denda lain yang setara kecuali orang tersebut tidak mampu membayarnya. Ia berkata;

الترتيب : اي : لا يجوز الانقال الى خصلة الا اذا عجز عما قبلها

Artinya; "Urutannya tidak boleh beralih ke langkah berikutnya kecuali jika tidak mampu melakukan yang sebelumnya."

Kedua, Adapun pengertian dari takhyir adalah boleh mengganti dengan denda lain yang setara. Ia berkata;

التخير : يتخير بين الخصال الثلاثة

Artinya: "Takhyir adaah memilih di antara tiga sifat"

Ketiga, Taqdir maknanya menurut Habib Hasan Al-Kaff adalah denda pengganti yang setara, baik secara berurutan maupun dengan memilih. 
Pun, taqdir juga bisa berarti telah ditetapkan dendanya tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. 

التقدير : ان ينتقل الى شيء قدره الشارع لا يزيد ولا ينقص

Artinya; "Taqdir: berpindah ke sesuatu yang nilai telah ditetapkan syariat tidak  boleh bertambah dan tidak boleh berkurang."

Keempat, pengertian ta’dil adalah bahwasanya syariat memerintahkan untuk mencari denda lain dengan takaran yang setara berdasarkan nilai harga. 

التعديل : ان يقف على شيء غير مقدر من الشارع، بل يقومه

Artinya: "Bahwa terhenti atas sesuatu yang ukurannya tidak melebibihi tuntunan syariah, bahkan susuai nilai harganya."

Demikian sekilas tentang pengertian dan pembagian dam haji. 
Allahu A'lam
Semoga beramanfaat.

HUKUM NYEMBELIH HEWAN DAM DIINDONESI

Hukum Sembelih Dam Haji Tamattu’ dan Distribusikan Dagingnya di Luar Tanah Haram

Assalamu ’alaikum wr. wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang kami hormati. Jamaah haji Indonesia mayoritas memilih haji tamattu’, di mana mereka diwajibkan membayar dam yaitu berupa kambing yang disembelih serta dibagikan untuk fakir-miskin tanah Mekkah. Padahal jika dilihat sepintas, kita lebih membutuhkan ketimbang mereka sehingga jika disembelih di sini dan dibagikan kepada fakir-miskin sekitar kita lebih bermanfaat.

Pertanyaan yang ingin kami ajukan adalah bolehkah menyembelih dam tamattu’ di luar tanah haram? Yang kedua, bolehkah mendistribusikan sembelihannya di luar tanah haram? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Haidar/Blitar)

Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Ada dua pertanyaan diajukan kepada kami. Pertama menyangkut soal tempat penyembelihan dam atau hadyu haji tamattu’. Kedua menyangkut soal pendistribusiannya. Karena keterbatasan ruang waktu kami akan menjawab pertanyaan pertama terlebih dahulu. Sedangkan untuk jawaban pertanyaan kedua insya Allah akan segera menyusul.

Apa yang dimaksud dengan hadyu menurut para ulama—sebagaimana dikemukakan Muhyiddin Syarf An-Nawawi—adalah hewan persembahan atau yang lainnya untuk tanah haram. Namun dalam konteks ini dibatasi hanya hewan ternak (bahimatul an’am) berupa unta, sapi, atau kambing. Pembatasan ini menjadi sangat penting karena kata ‘hadyu’ acapkali digunakan untuk menyebut apa saja yang dipersembahkan.

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَالْهَدْيُ مَا يُهْدَى إِلَى الْحَرَمِ مِنْ حَيَوَانٍ وَغَيْرِهِ وَالْمُرَادُ هُنَا مَا يُجْزِئُ فِي الْاُضْحِيَّةِ مِنَ الْاِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ خَاصَّةً وَلِهَذَا قَيَّدَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ أَنْ يُهْدِيَ إِلَيْهَا مِنْ بَهِيمَةِ الْاَنْعَامِ فَخَصَّهُ بِبَهِيمَةِ الْاَنْعَامِ لِكَوْنِهِ يُطْلَقُ عَلَى كُلِّ مَا يُهْدَى

Artinya, “Menurut para ulama, hadyu adalah sesuatu yang dipersembahkan untuk tanah haram berupa hewan atau yang lainnya. Sedangkan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah khusus hewan yang bisa dijadikan kurban yaitu unta, sapi atau kambing. Atas dasar ini pengarang (Abu Ishaq As-Syirazi) membatasinya dengan perkataan, ‘hendaknya dipersembahkan untuk tanah haram berupa hewan ternak (bahimatul an’am/unta, sapi atau kambing)’. Pengkhususan dengan kalimat bahimatul an’am karena hadyu digunakan untuk menyebut apa saja yang dipersembahkan,” (Lihat Muhyiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah Al-Irsyad, juz VIII, halaman 320).

Hukum hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ itu sendiri—sebagaimana yang kita ketahui bersama—menurut kesepakatan (ittifaq) para fuqaha` adalah wajib. Pandangan tersebut mengacu kepada firman Allah swt dalam Al-Baqarah ayat 196. 
Menurut mereka, hadyu yang wajib, bisa berupa seekor kambing, sapi, unta, sepertujuh sapi maupun unta. Namun dalam hal ini Imam Malik berbeda pandangan dengan pendapat jumhurul ulama. Menurutnya, hadyu yang wajib adalah seeokor unta yang gemuk (badanah) sehingga tidak sah jika hanya dengan sepertujuh unta atau sapi.

إِتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْهَدْيُ عَلَى الْمُتَمَتِّعِ وَذَلِكَ بِنَصِّ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ قَال تَعَالَى : { فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ } وَالْهَدْيُ الْوَاجِبُ شَاةٌ أَوْ بَقَرَةٌ أَوْ بَعِيرٌ أَوْ سُبْعُ الْبَقَرَةِ أَوِ الْبَعِيرِ عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ . وَقَال مَالِكٌ هُوَ بَدَنَةٌ وَلاَ يَصِحُّ سُبُعُ بَعِيرٍ أَوْ بَقَرَةٍ

Artinya, “Para fuqaha` sepakat bahwa wajib menyembelih hadyu bagi orang yang berhaji tamattu’. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur`anul Karim: ‘Barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat’, (QS Al-Baqarah [2]: 196). Hadyu yang wajib menurut jumhurul ulama adalah seekor kambing, sapi, unta, sepertujuh sapi atau unta. Sedangkan menurut Imam Malik, dam itu adalah badanah (unta yang gemuk) dan hadyu tidak sah dengan sepertujuh unta atau sapi,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Beirut, Darus Salasil, juz XIV, halaman 12).

Lantas bagaimana dengan tempat penyembelihannya? Pendapat pertama menyatakan bahwa penyembelihan dam atau hadyu mesti dilakukan di tanah haram, tentunya termasuk di dalamnya adalah hadyu haji tamattu’. Alasannya adalah bahwa penyembelihan adalah hak yang terkait dengan hadyu karenanya ia khusus disembelih di tanah haram.

Pendapat kedua menyatakan bahwa hadyu atau dam boleh saja disembelih di luar tanah haram tetapi dengan syarat dagingnya dikirim atau didistribuksikan ke tanah haram sebelum mengalami perubahan. Karena yang dimaksud dari sembelihan tersebut adalah dagingnya sehingga ketika telah didistribusikan kepada orang-orang miskin di tanah haram maka dianggap telah memenuhi tujuan tersebut.

( وَيَخْتَصُّ ذَبْحُهُ ) بِأَيِّ مَكَان ( بِالْحَرَمِ فِي الْأَظْهَرِ ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى { هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ } وَلِخَبَرِ { نَحَرْتُ هَهُنَا } وَأَشَارَ إلَى مَوْضِعِ النَّحْرِ مِنْ مِنًى { وَكُلُّ فِجَاجِ مَكَّةَ مَنْحَرٌ } ؛ وَلِأَنَّ الذَّبْحَ حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِالْهَدْيِ فَيَخْتَصُّ بِالْحَرَمِ كَالتَّصَدُّقِ .وَالثَّانِي يَجُوزُ أَنْ يَذْبَحَ خَارِجَ الْحَرَمِ بِشَرْطِ أَنْ يُنْقَلَ وَيُفَرَّقَ لَحْمُهُ فِيهِ قَبْلَ تَغَيُّرِهِ ؛ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ هُوَ اللَّحْمُ فَإِذَا وَقَعَتْ تَفْرِقَتُهُ عَلَى مَسَاكِينِ الْحَرَمِ حَصَلَ الْغَرَضُ.

Artinya, “Menurut pendapat yang azhhar, penyembelihan hadyu khusus di tanah haram berdasarkan firman Allah ta’ala, ‘sebagai hadyu yang dibawa ke Ka’bah (tanah haram)’ (QS Al-Maidah [5]: 95) dan riwayat yang menyatakan, ‘Aku (Nabi saw) menyembelih hadyu di sini—beliau menunjuk tempat menyembelih di Mina—dan setiap tanah di Mekkah adalah tempat penyembelihan’. Karena penyembelihan adalah hak yang berkaitkelindan dengan hadyu maka penyembelihan tersebut khusus dilakukan di tanah haram sebagai sedekah. 
Sedangkan pendapat kedua menyatakan boleh menyembelih hadyu di luar tanah haram dengan syarat daging ditransfer dan dibagikan di tanah haram sebelum mengalami perubahan. 
Sebab, tujuan utamanya adalah daging sehingga apabila telah dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah haram, maka tujuan tersebut sudah tercapai,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz III, halaman 359).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انتِقَامٍ (المائدة/95)

Namun ada sedikit pandangan yang berbeda yang dikemukakan Ath-Thabari—jika kami tidak keliru memahami—menurutnya, hadyu atau dam boleh disembelih di mana saja kecuali dam atau hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buran (dalam kondisi ihram). Alasan yang dikemukakan beliau adalah bahwa keduanya tidak boleh disembelih kecuali di tanah haram (Mekkah).

وَقَالَ الطَّبَرِيُّ: يَجُوزُ نَحْرُ الْهَدْيِ حَيْثُ شَاءَ الْمُهْدِي إِلَّا هَدْيَ الْقِرَانِ وَجَزَاءَ الصَّيْدِ فَإِنَّهُمَا لَا يُنْحَرَانِ إِلَّا بِالْحَرَمِ.

Artinya, “Ath-Thabari berkata, ‘boleh menyembelih hadyu di mana saja yang dikehendaki orang yang berhadyu kecuali hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buruan (dalam kondisi ihram) karena keduanya tidak boleh disembelih kecuali di tanah haram,” (Lihat Ibnu Abd Al-Barr, Al-Istidzkar Al-Jami’ li Fuqaha`i Madzahibil Amshar, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2000 M, juz IV, halaman 272).

Pandangan Ath-Thabari tampak menarik untuk dicermati. Jika ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka menurut Ath-Thabari boleh saja menyembelih hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ di luar tanah haram.

Tetapi pandangan ini jelas sangat kontroversial. Kami sampai saat ini belum menemukan pandangan yang mendukungnya. 
Di samping itu, hadyu atau dam itu sendiri mengandung pengertian iraqatud dam fil haram atau mengalirkan darah (menyembelih) di tanah haram.

Konsekuensinya adalah bahwa pada dasarnya hadyu atau dam tidak bisa disembelih di luar tanah haram. 
Sehingga hemat kami pandangan Ath-Thabari di atas perlu ditelisik lebih dalam lagi terutama oleh para pakar hukum Islam, sehingga dapat diketahui sejauh mana pendapat tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Berangkat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak boleh menyembelih hadyu tamattu’ atau dam haji tamattu’ di luar tanah haram (Mekkah). 
Tetapi ada juga yang mengatakan boleh dengan syarat daging dikirim ke tanah haram. 
Sedangkan pendapat ketiga menyatakan boleh disembelih di luar tanah. 
Namun pendapat ketiga ini hemat kami masih harus diteliti lebih dalam lagi agar dapat diketahui sejauh mana dapat diterima.

Bagi para jamaah haji Indonesia agar berhati-hati terhadap oknum-oknum yang ditengarai kerap melakukan penipuan atas nama dam.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb


Sabtu, 10 Mei 2025

KELIRU MENYEBUT BUN DALAM IJAB QOBUL

Keliru Menyebutkan Bin dalam Ijab Kabul, Apakah Sah Akadnya?
PERTANYAAN
Assalamualaikum ustadz,

Saya langsung menanyakan permasalahan yang dititipkan kepada saya. Si fulan pd umur 4 tahun diangkat anak oleh A, sedangkan si A adalah adik kandung B dan dimana si B adalah ortu kandung si fulan. Setelah dirasa cukup mengerti, A memberitahu tentang keluarga kandung si fulan dan tidak terjadi perselisihan dan fulan tetap mengikuti si A. Dalam administrasi negara indonesia, si fulan terdaftar sebagai anak dr si A.

Pada saat pernikahan, orangtua kandung fulan (si B) ridho dan ikhlas dimana dalam pengucapan dan administrasi negara, si fulan akan disebutkan sebagai anak si A sehingga ktika ijab kabul maka wali nikah menyebutkan nama si fulan bin A bukan bin B,pun di buku nikah, dikarenakan apabila ktika menikah ijabnya berubah mnjadi fulan bin B maka mudhorat kepada semuanya dirasa lebih besar karena selama ini umum lbih tahu kalo fulan adalah anak A bukan anak B

1. Sah kah ijab dan pernikahan si fulan karena ktika ijab dia ber-bin orang tua angkatnya bukan ber-bin orang tua kandung?

2. Jikalau memang tidak sah, haruskah diadakan ijab kabul ganti dgn pengucapan si fulan ber-bin B? Terimakasih ustadz
JAWABAN
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang jadi masalah dalam akad nikah sebenarnya bukan urusan embel-embel 'bin'-nya benar atau tidak. Sebab kata 'bin' itu sendiri boleh saja tidak disebutkan. Yang penting dalam akad itu jelas siapa yang jadi pengantin laki-laki dan siapa yang jadi pengantin perempuan.

Seandainya ada selip kata atau keliru dalam pengucapan 'bin' atau 'binti', asalkan bisa dipastikan sosok pasangan itu benar, tentu tidak menjadi masalah dengan sah atau tidaknya akad itu.

Masalah Wali Nikah

Sesungguhnya yang menjadi masalah dalam ijab kabul dan sah atau tidaknya sebuah akad adalah pada sosok wali atas pengantin wanita. Sebab bila yang menjadi wali bukan orang yang dibenarkan secara syariah, maka akadnya menjadi tidak sah juga.

Ada sabda Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina.
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil, nikahnya itu batil dan nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)

Di dalam hadits yang lain juga disebutkan :

لاَ تُزَوِّجُ المرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا

Dari Abi Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri. (HR. Ad-Daruquthny)

Dari Al-Hasan dari Imran marfu'an,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi".(HR Ahmad).

Sedangkan Abdullah bin Abbas berfatwa :

كُلُّ نِكاَحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ وَوَلِيُّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ

Semua pernikahan yang tidak menghadirkan empat pihak maka termasuk zina : suami, wali dan dua saksi yang adil.

Dalam kasus yang Anda tanyakan ini, sayang sekali Anda tidak menyebutkan jenis kelamin anak yang diangkat oleh A, apakah dia laki-laki atau perempuan. Tetapi kalau melihat sekilas Anda menyebut 'bin', kemungkinan dia adalah laki-laki.

Untuk itu dalam syariat Islam, pada dasarnya pengantin laki-laki tidak butuh wali dalam akad nikah. Sehingga dia bisa menikah tanpa adanya wali, dan kalau pun dalam penyebutkan 'bin'-nya tidak benar, tidak akan berpengaruh pada sah tidaknya akad nikah itu.

Yang jadi masalah dalam akad nikah adalah pengantin perempuan. Bila yang diangkat jadi anak angkat oleh A adalah seorang wanita, lalu ketika menikah yang jadi wali adalah ayah angkatnya, maka disitu baru terjadi masalah. Sebab A bukan ayah kandung, sehingga tidak sah kalau menjadi wali dalam akad nikah itu. Yang boleh jadi wali adalah ayah kandungnya, yaitu dalam hal ini adalah B.

Sebagai ayah kandung, sebenarnya B bisa saja tidak menikahkan puterinya secara langsung. Dalam hal ini, syariah Islam membolehkan B yang merupakan ayah kandungnya meminta orang lain untuk menggantikan posisinya menjadi wali. Sebutlah misalnya B meminta A untuk menjadi wakil atas dirinya, sehingga dalam akad nikah itu yang mengucapkan ijab bukan B teteapi A.

Syaratnya B memang secara sadar dan ikhlas meminta A untuk menjadi wali bagi puterinya dalam akad nikah.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak Menyabut Nams ketika Akad

Salah Menyebut Nama Istri ketika Akad Nikah

Salah Menyebut Nama Istri
Assalaamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Afwan, ustadz apa hukumnya ketika akad nikah calon suami salah menyebutkan nama calon istrinya, misalkan : nama calon istri
“Ani”, kemudian salah menyebut nama istri menjadi “Ami”??. Bagaimanakah hukum akad nikahnya tersebut??.
Jazaakumullaahi khoyron

Jawaban:

Wa alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh…

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Untuk memahami kasus yang anda sampaikan, ada beberapa catatan yang perlu kita pahami,

Pertama, salah satu syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’ memastikan orang yang menjadi pengantin. Artinya, orang yang menikah harus diketahui dengan pasti, siapa yang menjadi istri dan siapa yang menjadi suami. Sehingga tidak ada lagi kerancuan pada pengantin yang bersangkutan. Sebagaimana dalam jual beli, barang yang diperjual belikan harus jelas. 
Masing-masing antara penjual dan pembeli sama-sama tahu barang yang menjadi objek jual beli.

Ibnu Qudamah mengatakan,

من شرط صحة النكاح تعيين الزوجين لأن كل عاقد ومعقود عليه يجب تعيينهما‏,‏ كالمشترى والمبيع

Termasuk syarat nikah adalah ’ta’yin az-zaujain’, karena antara pelaksana akad dan apa yang diakadkan, harus dipastikan keduanya. Sebagaimana pembeli dan barang yang dibeli.

Kedua, ta’yin, upaya memastikan sesuatu, tidak harus dengan menyebutkan nama sesuatu itu. Bisa juga dilakukan dengan cara lain, misalnya menyebut ciri-cirinya atau dengan isyarat tunjuk.

Seperti misalnya, kita membeli barang A dan kita tidak tahu namanya, kemudian kita pegang barang itu, dan kita tanyakan ke penjual, ’Berapa?’ 
Penjual jawab, ’10 ribu’. 
Lalu kita bayar. Kita memegang barang tersebut ini sudah termasuk ta’yin, memastikan barang yang hendak dibeli.

Dalam pernikahan juga demikian, ketika suami istri sudah pasti orangnya, tidak disyaratkan harus menyebut nama. 
Bisa dengan isyarat atau keterangan lainnya, yang penting orang yang dimaksud sudah jelas. Ibnu Qudamah melanjutkan keterangannya,

ثم ينظر فإن كانت المرأة حاضرة‏,‏ فقال‏:‏ زوجتك هذه صح فإن الإشارة تكفى في التعيين فإن زاد على ذلك‏,‏ فقال‏:‏ بنتى هذه أو هذه فلانة كان تأكيدا، وإن كانت غائبة فقال‏:‏ زوجتك بنتى وليس له سواها جاز فإن سماها باسمها مع ذلك‏,‏ كان تأكيدا

Kemudian perlu diperhatikan, jika sang istri hadir di tempat akad, lalu wali mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan ini.’ Status pernikahan sah. 
Karena isyarat bisa sebagai ta’yin. Jika wali menambahkan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku yang ini’ atau ’dengan putriku yang bernama si x’, tambahan ini semakin menguatkan. 
Dan jika pengantin perempuan tidak ada di tempat, kemudian si wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ dan si wali hanya memiliki satu anak perempuan, maka nikahnya sah. 
BnJika si wali menyebut nama anaknya, ini sebagai penguat.

Ketiga, jika ada unsur ketidak jelasan, maka butuh keterangan lain untuk menegaskan siapa orang yang dimaksud.

Misal, seseorang memiliki dua anak perempuan kembar, si A dan si B. ketika ayahnya menikahkan, dia mengatakan, ’Aku nikahkah kamu dengan putriku.’ Kemudian pengantin lelaki menjawab, ’Aku terima nikahnya dengan mahar sekian.’

Pernikahan semacam ini tidak sah, karena belum jelas wanita mana yang menjadi istrinya. Karena itu, butuh keterangan tambahan untuk mempertegas, siapakah putri yang dimaksud.

Ibnu Qudamah menjelaskan,

فإن كان له ابنتان أو أكثر فقال‏:‏ زوجتك ابنتى لم يصح حتى يضم إلى ذلك ما تتميز به من اسم أو صفة‏,‏ فيقول‏:‏ زوجتك ابنتى الكبرى أو الوسطى أو الصغرى فإن سماها مع ذلك كان تأكيدا

Jika si wali memiliki dua anak perempuan atau lebih, lalu dia mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’ maka nikahnya tidak sah, sampai dia tambahkan nama atau keterangan lain yang membedakan satu anak dengan anak lainnya. 
Sehingga dia bisa mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putrinya yang sulung’ atau ’yang nomor 2’, atau ’yang bungsu.’ Jika dia menyebut namanya, sifatnya mempertegas.

Beliau juga menjelaskan kasus lain,

لو قال‏:‏ زوجتك ابنتى وله بنات لم يصح حتى يميزها بلفظه

Jika wali mengatakan, ’Aku nikahkan kamu dengan putriku’, sementara dia memiliki beberapa anak perempuan, nikah tidak sah. Sampai dia tegaskan anak yang dimaksud dengan ucapannya.

[simak semua keterangan Ibnu Qudamah di atas dalam al-Mughni, 7/91].

Suami Salah Menyebut Nama Istri
Menegaskan wanita yang dinikahkan, ini dilakukan oleh pihak wali. Sedangkan pihak suami cukup menjawab ’Saya terima nikahnya’.

Karena itu, jika kesalahan penyebutan nama istri ini dari pihak suami, dan itu bentuknya jawaban (qabul), insyaaAllah tidak mempengaruhi ta’yin wanita yang dimaksud. Sehingga pernikahan statusnya sah.

Allahu a’lam