Hukum Pemanfaatan Barang Gadai dalam Pandangan "Madzahibul Arba"
... pemilik barang jaminan (agunan)berhak atas segala biaya barang jaminan itu.(HR. asy-Syafi'i dan ad-Duruquthni).
Para ulama fiqih juga sepakat mengatakan bahwa barang yang di jadikan barang jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindak ini termasuk tindakan menyia-nyiakan hartayang dilarang Rasulullah. (HR. at-Tirmidzi)
Jumhur ulama fiqh, "(Ibnu Rushd, hlm. 272) selain ulama Hanabilah, berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak memamlnfaatkan barang jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan, dan apabila yang berutang tidak mampu melunasi utangnya barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi piutangnya.
Akan tetapi, apabila pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan memanfaatkan barang itu selama di tangannya, maka sebagaian ulama Hanafiyah membolehkannya."(Ibnu Abidin, hlm. 47) Karena dengan adanya izin maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkan barang itu. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah laiannya "(Imam Al-Kasani, hlm.145) Ulama Malikiyah (Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, hlm. 241) dan Ulama Syafi'iyah (Imam As-Syafii, 1981 hlm. 147 ) berpendapat sekalipun pemilik barang itu mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Karena apabila barang jaminan itu dimanfaatkan maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang dilarang syara': sekalipun diizinkan dan diridhoi pemilik barang bahkan menurut mereka rida dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu.

Persoalan lain adalah apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah binatang ternak. Menurut sebagaian ulama Hanafiyah al-murtahin atau penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut boleh memanfaatkannya hewan ternak itu apabila mendapat izin dari pemiliknya. (Wahbah az-Zuhaili, 1984, hlm.257)
Ulama malikiyah, Syafi'iyah dan sebagian ulama hanafiah berpendirian bahwa apabila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus oleh pemiliknya maka al-murtahin boleh memanfatkannya baik seizin pemiliknya maupun tidak, karena, membiarkan hewan itu tersi-sia termasuk kedalam larangan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh tirmidzi atas. (Ibid, 1979 hlm. 555).
Ulama Hanabilah (Ibnu Qadamah, hlm. 432-433) berpendapat bahwa apabila yang dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang jaminan itu berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya, sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang barang jaminan. Akan tetapi menurut ulama' Hanabilah apabila barang jaminan itu bukan hewan atau sesuatu yang tidak memperlukan biaya pemeliharaan, seperti tanah , maka pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkannya ."(Ibid)
Ulama' Hanafiyah mengatakan apabila barang jaminan itu hewan ternak , maka pihak pemberi piutang (pemegang barang jaminan) boleh memanfaatkan hewan itu apabila mendapat izin dari pemilik barang. Sedang ulama' Malikiyah san syafi'iyah mengatakan bahwa kebolehan memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan oleh pemberi piutang,hanya apabila hewan itu dibiarkan saja tanpa diurus oleh pemiliknya (Wahbah az-Zuhaili,)
Disamping perbedaan diatas, para ulama fiqih juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan itu. Ulama' Hanafiyah (Imam al-Kasani, hlm. 146) Hanabilah (Ibnu Qadamah, hlm. 390) menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkanbpemiliknya yang menjadi jaminan barang itu jika diizinkan al-murtahin.Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya . apabila barang yang dimanfaatkan rusak, maka orangvyang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar ganti ruginya.
Ulama Syafi'iyah mengemukakan pendapat yang lebih longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah , karena apabila pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun ,tidak perlu ada izin pemegang dari pemegang al-marhunm Alasannya, barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak barang itu , baik kualitas dan kuantitasnya .OLeh sebab itu, apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika di manfaatkan pemiliknya. maka pemilik bertanggung jawab atas barnag itu.
Berbeda dengan pendpaat diatas ulama Malikiyah berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun baik diizinkan oleh murtahin maupun tidak. Karena barang itu berstatus sebagai jaminan utang, tidak lagi hak milik secara penuh."(Ad-Dardir dan ad-Dasuqi, hlm. 241)
Allahu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar