Syukur kemerdekaan
Tujuh puluh opat tahun yang lalu, tepatnya di hari suci, hari Jum’at dan di bulan suci, bulan Ramadhan, persis tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Perjuangan panjang para pendahulu bangsa ini yang nota bane kaum muslimin, berjuang sabilillah melawan penjajah, dibawah teriakan takbir mereka melawan kaum kuffar, dibawah bendera laa ilaaha illa Allah mereka berkorban jiwa dan raga, banyak dari mereka yang menjadi syuhada’. Sehingga Allah swt memberikan nikmat kemerdekaan kepada bangsa ini.
Umat Islam yang berjumlah mayoritas di negeri ini sudah seharusnya mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya.
Mensyukuri kedaulatan dengan pembangunan dan persatuan.
Ini menjadi bukti penghargaan kepada para pendahulu bangsa ini, sekaligus agar Allah swt menambah nikmat-nikmatnya kepada bangsa ini.
Bukankah Allah swt pasti menambah nikmat-Nya bagi siapa saja yang bersyukur?
Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita mengisi kemerdekaan? Bagaimana mensyukuri nikmat kepemimpinan?
Dengan tegas Allah swt telah memberi arahan kepada bangsa ini bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan dan mensyukuri nikmat kepemimpinan. Allah swt berfirman,
Surah Al-Hajj, Verse 41:
الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Kalimat ”Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi” bisa berarti suatu bentuk kemerdekaan dari penjajahan, bisa dalam konteks kepemimpinan nasional, daerah, atau konteks yang lebih sempit seperti menjadi pemimpin dalam perusahaan. Nah, ada empat strategi yang harus dilaksanakan dalam mengisi kemerdekaan atau melaksanakan amanah kepemimpinan ini:
Pertama, Iqamatus Shalah, mendirikan shalat dalam rangka membangun moralitas dan akhlakul karimah.
Suatu bangsa atau institusi akan dapat langgeng ketika memiliki moralitas dan kredibilitas yang tinggi. Seorang penyair Mesir, Syauqi berpetuah:
”Sesungguhnya eksistensi suatu bangsa ditentukan oleh moralitas dan akhlakul karimah, jika moralitas menjadi panglima maka jayalah bangsa itu, sebaliknya, jika moralitas rendah, maka tunggulah kehancurannya”.
Nah, kunci membangun moralitas terletak pada pelaksanaan ibadah shalat, dan keta’atan kepada Allah swt. Shalat merupakan mi’rajul mukmin, jalinan langsung seorang mukmin dengan Tuhannya, disinilah qalbu menjadi luluh, pikiran menjadi terjernihkan dan tak jarang mata berderai. Ketika itu, kepribadian seseorang akan menjadi lembut, santun dan cenderung pada kebaikan, serta benci pada penyimpangan. Inilah rahasia firman Allah swt. ”Sesungguhnya shalat mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. QS. Al Ankabut: 45.
Shalat juga menjadi barometer sukses tidaknya seseorang di akhirat kelak, sebab pertama kali yang akan dihisab dari setiap manusia nanti adalah amaliyah shalat. Jika shalatnya baik, otomatis semua amalan yang lain akan dinilai baik, sebaliknya jika kualitas shalatnya buruk, maka dengan sendirinya seluruh perbuatannya dianggap buruk. Wal iyadzu billah. HR. Al Hakim.
Shalat juga suatu perintah yang diakhir hayat Rasulullah diwasiatkan pada umatnya agar jangan sampai meninggalkannya, Rasulullah berujar: Ash Shalah… Ash Shalah.
Pertanyaannya adalah: Shalat yang bagaimana yang dikehendaki oleh agama? Tentunya shalat yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukunnya, dibarengi dengan memahami bacaan dan do’a yang dilantunkannya serta ditunaikan dengan khusyu’. Tidak sekedar gerakan hampa dan ucapan kosong tanpa makna. Disinilah pentingnya umat Islam kembali mengkaji fiqih ibadah shalat dan mempraktekkannya.
Ayat ini juga menggunakan redaksi jama’ ”aqamush shalah” yang artinya banyak, yaitu dilaksanakan dengan berjama’ah di masjid. Makanya ketika Rasulullah saw ditanya oleh salah satu sahabatnya, amalan apa yang paling dicintai Allah swt? Rasulullah saw menjawab: ”Ash Shaltu ’ala waqtiha, shalat tepat waktu”. HR. Bukhari.
Shalat tepat waktu berjama’ah di masjid juga menjadi cermin syi’ar dan kekuatan umat Islam.
Dengan pelaksanaan shalat yang berkualitas seperti ini, moralitas tidaklah menjadi mimpi dan otopia belaka yang sulit diwujudkan.
Kedua, Iitauz zakah, menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial.
Agama Allah tidaklah hanya mengurusi masalah ruhani dan akhihrat saja, namun juga sangat memperhatikan keseimbangan kehidupan sosial bermasyarakat. Itu dibuktikan dengan anjuran dibanyak tempat di Al Qur’an, penyebutan perintah shalat selalu diiringi dengan perintah berzakat.
Zakat, atau mengeluarkan harta yang kita punya untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya adalah dalam rangka membersihkan pendapatan atau harta kita dari yang tidak halal atau yang masih samar-samar.
Zakat juga sebagai upaya untuk mengerem nafsu bakhil dalam diri seseorang, karena kecendrungan seseorang itu cinta terhadap harta dan dunia.
Zakat juga sebagai simbol kepedulian seseorang kepada sesama.
Dalam konteks institusi, zakat dan kepedulian sosial ini diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang memihak kepada rakyat dan program-program yang berorientasi pada kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.
Bukan untuk suatu kelompok dan golongan tertentu.
Sehingga kesejahteraan milik semua dan merata.
Ketiga, Amar makruf nahi munkar, jaminan kepastian dan penegakan hukum.
Kecenderungan kekuasaan adalah mendorong pelakunya untuk menyimpang dan menyalah gunakan jabatan. Banyak contoh dalam sejarah, fir’aun misalkan yang berupaya untuk melanggengkan kekuasaannya dengan segala cara, karena tidak ada perimbangan kontrol dari masyarakatnya.
Dalam kehidupan bernegara, oposisi itu dibenarkan oleh Islam, jika dalam rangka konstruktif dan kompetisi yang sehat dalam kebaikan.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, peran kontrol sosial mejadi sangat mendesak dilaksanakan, sehingga mampu mengerem banyaknya kemaksiatan dan penyimpangan agama.
Tingakatan amar makruf dan nahi mungkar sudah diatur dalam agama.
Yaitu dengan pendekatan kekuasaan atau tangan, bagi yang berwenang.
Dengan lisan atau nasihat bagi para du’at atau siapapun yang bisa memberikan nasehat. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka dengan pengingkaran dalam hati.
Inilah selemah-lemah iman seseorang.
Dalam konteks jaminan kepastian dan penegakan hukum, pernah ditegaskan Rasulullah saw, ketika ada usaha dari para sahabat untuk minta keringanan hukuman bagi seorang wanita bangsawan yang berzina. Namun dengan tegas Rasul menolak dan mengatakan, ”Ketahuilah, penyebab kehancuran umat terdahulu, adalah karena ketika orang kaya mencuri, maka tidak ditegakkan hukuman. Namun kalau yang mencuri itu rakyat kecil, seketika itu hukuman ditegakkan dengan seberat-beratnya. Ketahuilah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Subhanallah, seseorang sama dimata hukum. Hukum tidak bisa dibeli dan digadaikan.
Keempat, Mengembalikan urusan kepada Allah swt semata.
Ketika usaha untuk membangun moralitas dan akhlakul karimah lewat pelaksanaan ibadah shalat. Dan menumbuhkan kepedulian sosial yang dibuktikan dengan mengeluarkan zakat. Serta proses amar makruf dan nahi munkar sudah dijalankan dengan seimbang, maka selebihnya kita serahkan urusan kehidupan kepada kehendak Allah swt. Karena Dia-lah yang akan mengatur urusan seluruh manusia.
Dan Allah swt pasti menepati janji-Nya, yaitu akan menolong orang yang mengikuti kehendak-Nya. Allah swt berfirman:
Surah Aal-e-Imran, Verse 159:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(QS.Ali Imron 159)
Disini, manusia tidak perlu menyombongkan diri karena kecerdasan, kecanggihan perlengkapan atau bahkan banyaknya pendukung. Merasa semua bisa diatur, tanpa menyertakan Allah swt.
Manusia tidaklah apa-apa tanpa lindungan Allah swt. Buktinya, sampai sekarang kasus Lapindo belum terselesaikan, bola beton itu pun tidak bisa menyumbat keluarnya lumpur yang kian deras. Gempa bumi, banjir, longsor dan lain sebagainya yang bersal dari kehendak Allah swt, manusia tidak bisa menghindarinya.
Sungguh, manusia kecil tiada berarti jika dibandingkan dengan kehendak Allah swt. Oleh karena itu segala persoalan sudah seharusnya disandarkan pada Allah swt.
Tujuh puluh opat tahun Indonesia merdeka tidaklah waktu yang pendek, sesuai umur rata-rata manusia.
Namun kemerdekaan hakiki bangsa ini masih belum menjadi bukti. Memperingati kemerdekaan tidak sekedar perayaan serimonial saja, tidak sekedar semarak warna-warni bendera dan umbul-umbul, juga tidak sekedar aneka lomba yang tidak mendidik.
Sebagai generasi yang menghargai jasa para pendahulu, maka spirit perjuangan mereka, semangat pengorbanan jiwa dan raga mereka, harus senantiasa kita warisi.
Yaitu semangat pelayanan kepada publik, semangat berkorban untuk kebaikan dan semangat kompetisi dalam pembangunan.
Itu direfleksikan dalam bentuk pembangunan moral lewat pelaksanaan ibadah, penguatan ikatan sosial dengan cara menunaikan zakat, dan penegakan hukum dengan adil, juga gerakan amar makruf nahi munkar.
Semoga dengan kesungguhan menjalankan strategi yang Allah swt gariskan ini, Allah swt berkehendak baik, menjadikan bangsa ini, bangsa yang besar, maju dan bukti Islam rahmatan lil ’alamin bagi masyarakat dunia insya Allah.
Allahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar