Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 26 Oktober 2020

CADAR (NIQOB)

Pendapat NU Soal Cadar (Niqab)

Menurut madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu termasuk aurat, tetapi lebih untuk menghindari fitnah.

فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ ، بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ

Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).

Minggu, 25 Oktober 2020

ULAMA TIDAK BERSALAH

*JANGAN TUDUH ULAMA BERSALAH, MESKIPUN MEREKA DIPENJARA ATAU DIBUNUH*

*Al-'Ulamaa" Warotsatul Anbiyaa"*

*IMAM SYAFI'IE*
Rahimahullaah.

Tangan dan kakinya dirantai lalu dibawa menghadap pemerintah dan hampir-hampir dipancung karena dituduh Syiah dan pemecah-belah masyarakat.

*IMAM HANAFI*
Rahimahullaah.

Ditangkap, dipenjara, dicambuk, disiksa dan dipaksa minum racun oleh pemerintah lalu meninggal dunia karena tidak setuju dengan dasar-dasar pemerintah.

*IMAM MALIK*
Rahimahullaah

Dicambuk dengan cemeti lebih kurang 70 kali sepanjang hayatnya oleh pemerintah kerana sering mengeluarkan per nyataan yang bertentangan dengan kehendak pemerintah.

*IMAM HAMBALI*
Rahimahullaah

Dipenjara oleh pemerintah dan dirotan belakangnya hingga hampir terlucut kainnya kerana mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan kehendak pemerintah. Pemerintah menganggap mereka lebih betul daripada ulama.

*SUFYAN AT TSAURI*
Rahimahullaah

Seorang wali Allah yang termasyhur. Ditangkap tanpa bicara karena berani menegur kesalahan khalifah dan dihukum gantung tetapi sewaktu hukuman hendak dijalankan kilat dan petir menyambar pemerintah dan menteri-menterinya lalu mereka mati tertimbun tanah.

*SAID BIN JUBAIR*
Rahimahullaah

Seorang wali Allah yang dikasihi harimau. Dibunuh karena didakwa memecah-belahkan masyarakat, menentang kerajaan dan berkomplot untuk menjatuhkan pemerintah.

*ABU YAZID AL-BUSTAMI*
Rahimahullaah.

Wali Allah yang terkenal dengan berbagai karomah. Dituduh sesat karena ilmu agamanya lebih tinggi daripada pemerintah. Dihukum pancung oleh pemerintah tetapi tiada siapapun berhasil memancungnya.

*ABUL HUSIN AN-NURI*
Rahimahullaah.

Wali Allah yang mampu menundukkan api. Ditangkap dan hampir dihukum karena dia menentang tindakan pemerintah yang membenarkan minuman arak berleluasa dalam negara.

*IMAM NAWAWI ADDIMASYQIY*
Rahimahullaah

Hampir-hampir dipukul dan telah dibuang negara oleh pemerintah karena menegur tindakan pemerintah menyalahgunakan uang rakyat. Juga seorang wali Allah yang terkenal sepanjang zaman.

Bahkan para nabi pun di kejar dan mau di bunuh oleh para penguasa dzolim di negara nya...

Nabi musa di kejar dan mau di bunuh oleh Fir'aun..
Dan para nabi lain nya dari masa kemasa hingga masa akhir zaman (Kita, umat Nabi) terakhir..

Bahkan Rosulullah pun dimasa kekuasaan kafir qurais dan penguasa" kafir dzolim,, mereka memburu dan memerintahkan utk membunuh nya...
Namun atas dan kehendak kekuasaan Allah, tidak ada satupun penguasa melebihi kekuasaan Allah...
Tidak ada makar yg lebih dahsyat dr makar Allah,,
Mereka (para penguasa dzolim) Allah binasakan...

Faham kah kita dalam sejarah ini ??

Mashaa Allah...
Allahu Akbar ...
Laa haula walaa quwwata illaa billaah....

Semoga Allah mewariskan keistiqomahan *al-'ulamaa" warotsatul anbiyaa"* kepada kita dalam  perjuangan kebenaran.

Wa shallallaahu 'alaa Sayyidina wa maulaanaa Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam...

Sabtu, 24 Oktober 2020

RUKHSOH

Sebagai seorang hamba, tentunya kita tidak pernah lepas dari beribadah kepada Allah. Dari sini kemudian kita akan menjumpai pelbagai hukum yang  bisa berbeda-beda.
Hal ini dikarenakan hukum yang diberikan Allah tidak semuanya berlaku permanen.
Allah memberikan keringan-keringan kepada orang tertentu dalam kondisi tertentu.

Mengingat keadaan hamba tidak semuanya berjalan sesuai rencana, terkadang ada beberapa hal yang membuat ia terhalang atau tidak bisa melakukan kewajiban sesuai ketentuan.

Nah, keringanan-keringanan tersebut dalam hukum Islam disebut rukhsah, yang oleh Abdul Wahhab Khalaf (w.1375 H) dalam kitab Ilm Ushul Fiqh didefinisikan sebagai keringan hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada orang mukalaf pada kondisi-kondisi tertentu yang menghendaki keringanan.

الرخصة هي ما شرعه الله من الأحكام تخفيفا على المكلف في حالات خاصة تقتضي هذا التخفيف

“Rukhsah adalah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah berupa ketentuan hukum yang ringan untuk orang mukalaf pada kondisi tertentu yang menghendaki keringanan” (Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 121)

Berikut ini adalah ulasan mengenai pembagian rukhsah yang terdapat dalam kitab Ushūl al-Fiqh al-Islāmī karya Syekh Wahbah Zuhaili (w. 1437 H).

Rukhsah terbagi menjadi empat bagian :

Pertama, rukhsah wajibah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan.

Contoh : kebolehan makan bangkai bagi orang yang hampir mati kelaparan.
Hukum asalnya adalah tidak boleh (haram) memakan bangkai, namun apabila seseorang hampir mati karena lapar, maka dia wajib hukumnya memakan bangkai jika tidak ada makanan lain lagi selain bangkai.
Hal ini dikarenakan menjaga jiwa yang telah diamanahkan oleh Allah hukumnya adalah wajib, berdasarkan penggalan firman Allah surah al-Baqarah ayat 195 :

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Baca Juga :  Suami Boleh Tidak Menafkahi Keluarga, Ini Penyebabnya!
Artinya :

“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri”

Kedua, rukhsah mandubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang sunah dikerjakan.

Contoh : kebolehan meringkas (qashar) salat bagi musafir yang beperjalanan lebih dari dua marhalah (81 km atau lebih) . Nah, rukhsah semacam ini membolehkan musafir meringkas salat yang awalnya empat rakaat menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas salat dalam keadaan normal (tidak sedang perjalanan), namun karena ia  sedang dalam perjalanan (musafir) maka diperbolehkan bahkan hukumnya sunah dilakukan supaya tidak mengalami kesulitan (masyaqqah) dalam perjalanannya.

Hal ini didasarkan atas sabda Rasulullah Saw. kepada Umar Ra. :

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

Artinya :

“Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya atas kalian. Maka terimalah sedekah-Nya”.  (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, jus 3 hal 141)

Ketiga, rukhsah mubahah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan atau ditinggalkan.

Contoh : kebolehan melakukan akad salam (pesanan). Hukumnya asalnya tidak diperbolehkan dikarenakan itu adalah melakukan akad terhadap sesuatu (barang) yang belum ada (bay’ al-ma’dum), namun akad salam (pesanan) diperbolehkan dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang semakin berkembang.

Keempat, rukhsah khilaf al-aulā. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang lebih utama ditinggalkan.

Contoh : kebolehan membatalkan puasa bagi musafir dimana ia masih mampu untuk berpuasa (tidak berbahaya bagi dirinya).

Hal ini didasarkan atas penggalan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 184 :

وَأَن تَصُومُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya : “Dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Nah, itulah sekelumit penjelasan mengenai macam-macam rukhsah (keringanan) yang ditawarkan oleh syariat kepada kita. Alangkah baiknya kita dapat mengamalkannya sesuai porsi yang dibutuhkan.
Wallahu a’lam

Kamis, 22 Oktober 2020

Menghukum Penghina Nabi

✍🏽 Uqubat;
MENGHUKUM PENGHINA NABI

Para ulama sepakat hukum mati bagi penghina nabi. Namun, menghukum oleh pribadi dengan dalih membela nabi tidak diperkenankan. Karena yang berhak menerapkan uqubat (sanksi, hukuman) itu adalah ulil amri (khalifah, Imamul muslimin, kepala negara atau yang ditunjuk).

Ibnu Taimiyah berkata,

إن من سب النَّبي صلى الله عليه وسلم من مسلم أو كافر فانه يجب قتله هذا مذهب عامة أهل العلم

“orang yang mencela Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam baik Muslim atau kafir ia wajib dibunuh. Ini adalah madzhab mayoritas ulama."
(Ash-Sharim al-Maslul ala Syatimi ar-Rasul, I/563).

Jika dilakukan sendiri semisal kasus terbaru yang menghebohkan di Prancis, dimana seorang pelajar muslim memenggal leher dosennya yang telah menunjukan karikatur berkonten penghinan pada Nabi SAW, disamping secara legal syariah dipertanyakan dampak kepada kaum muslimin akan menambah beban dakwah khususnya di negara negara yang Islampobianya sangat kental. Ini bisa dilihat bagaimana pemerintah Prancis langsung memantau dan membubarkan organisasi-organisasi ke-Islaman di sana.

Para ulama menegaskan tentang hak penerapan hukuman (tanfidzul uqubat) antara lain Imam An Nawawi dalam Al Majmu‘ Syarah Muhazdab 22/76 berkata:

أما الأحكام: فإنه متى وجب حد الزنا، أو السرقة، أو الشرب، لم يجز استيفاؤه إلا بأمر الإمام، أو بأمر من فوض إليه الإمام النظر في الأمر بإقامة الحد، لأن الحدود في زمن النبي صلى الله عليه وسلم وفي زمن الخلفاء الراشدين ـ رضي الله عنهم ـ لم تستوف إلا بإذنهم، ولأن استيفاءها للإمام

“adapun mengenai masalah hukum, ketika seseorang sudah layak dijatuhi hadd (hukuman) zina, atau mencuri atau minum khamr maka tidak boleh mengeksekusinya kecuali atas perintah imam (penguasa). Atau atas perintah dari orang yang mewakili imam dalam menegakkan hadd. Karena hukuman-hukuman di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga di zaman Khulafa Ar Rasyidin radhiallahu’anhum tidak dieksekusi kecuali atas izin mereka, dan karena hak untuk memunaikannya ada di tangan imam (penguasa)”

Adalah Rasulullah saat sebagaian sahabat di kota Makah merasa gerah dan marah atas perlakuan orang-orang kafir terhadap mereka. Para sahabat sudah terbiasa berperang dan waktu itu sahabat siap jika Nabi memerintahkan untuk memerangi kafir Makah. Namun nabi mencegahnya dan memerintah untuk bersabar. Karena di Makah posisi nabi dan sahabat sebagai jama'ah dakwah sementara negara ada dalam kuasa orang-orang kafir Makah.

Zaman ini memang penghinaan dari orang-orang kafir Eropa terhadap Islam, al Quran dan Nabi kian marak. Ini menunjukan kekalahan dan kerendahan intelektual mereka dihadapan Islam. Maka jawaban atas penghinaan mereka lebih utama adalah menjawab dengan argumen, apa yang dituduhkan oleh mereka adalah suatu kebodohan.

Syekh Shalaih Fauzan Alfauzan Hafidzahullah menjawab saat ditanya, apakah boleh membunuh orang yang telah  membuat kartun kartun bergambar penghinaan pada Nabi SAW?

هذا ليس طريقة سليمة الاغتيالات وهذه تزيدهم شرا وغيظا على المسلمين لكن الذي يدحرهم هو رد شبهاتهم وبيان مخازيهم وأما النصرة باليد والسلاح هذه للولي أمر المسلمين وبالجهاد في سبيل الله عز وجل نعم

“Ini bukanlah metode yang benar dalam membunuh. Hal Ini akan menambah keburukan dan kemarahan mereka kepada kaum muslimin. Akan tetapi, cara menolak mereka adalah dengan membantah syubhatnya dan menjelaskan perbuatan mereka yang sangat memalukan tersebut. Adapun membela (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dengan tangan dan senjata, maka ini hanyalah untuk para pemerintah kaum muslimin dan hanya melalui jihad di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. demikian“.

Terkadang berbagai propaganda dari kedengkian akibat kebodohan dan kemalasan berfikir mereka terhadap Islam dapat menarik minat sebagaian orang-orang Eropa untuk lebih dekat melihat apa itu Islam. Kemudian banyak dari mereka bersyahadat setelah mengetahui keagungan ajaran Islam.

Dari sini kita menyadari pula bahwa eksitensi kepemimpinan Islam ( ulil amri, khalifah, imam) mutlak adanya, untuk mencegah dan menghukumi mereka yang melakukan kejahatan terhadap Islam. Jika belum terwujud, berupayalah mendirikannya!

Rabu, 21 Oktober 2020

Ma'na Bersaksi Bahwa Nabi Muhammad Utusan Allah

قال الإمام محمَّد بن عبد الوهَّاب رَحِمَهُ اللهُ:
(وَمَعْنَىٰ شَهَادَة أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ:
1. طَاعَتُهُ فِيمَا أَمَرَ*.
2. وَتَصْدِيقُهُ فِيمَا أَخْبَرَ**.
3. واجْتِنَابُ مَا نَهَى عَنْهُ وَزَجَرَ***.
4. وأَلا يُعْبَدَ اللهُ إِلا بِمَا شَرَعَ****).
قال الشيخُ عبدُ الرحمٰن بن محمد بن قاسم رَحِمَهُ اللهُ:
"* وَقَدْ تَقَرَّرَ وُجُوبُ طَاعَتِهِ بِالْكتَابِ وَالسُّنَّةِ، وَقَرَنَ -سُبْحَانَهُ- طَاعَتَهُ بِطَاعَتِهِ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابِهِ، وَمَنْ عَصَاهُ فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ عَصَى اللهَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ.
** فَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمِينُ اللهِ عَلَىٰ وَحْيِهِ، فَكُلُّ شَيْءٍ أَخْبَرَ بِهِ فَهُوَ حَقٌّ وَصِدْقٌ، لا كَذِبَ فِيه وَلا خُلْفَ .
*** قال تَعَالَىٰ: {وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ} (الحشر: 7)، وَقالَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ:
«مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ؛ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُم، ومَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ؛ فَاجْتَنِبُوهُ»[1].
**** لا بِالأَهْوَاءِ وَالْبِدَعِ؛ فَإِنَّ الأصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّشْرِيعُ، وَ«كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ»[2]، هٰذَا مَعْنَىٰ شَهَادَةِ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ مِنْ طَرِيقِ اللُّزُومِ، وَلا رَيْبَ أَنَّهَا تَقْتَضِي الإيمانَ بِهِ، وَتَصْدِيقَهُ فِيمَا أَخْبَرَ بِهِ، وَطَاعَتَهُ فِيمَا أَمَرَ، وَالانْتِهاءَ عَمَّا عَنْهُ نَهَىٰ وزَجَرَ، وَأَنْ يُعَظَّمَ أَمْرُهُ وَنَهْيُهُ، وَلا يُقَدَّمَ عَلَيهِ قَوْلُ أَحَدٍ، وَلا بُدَّ مَعَ النُّطْقِ بِهَا مِنَ الْعَمَلِ بِمَا دَلَّتْ عَلَيه، فَقَوْلُهَا بِاللِّسَانِ دُونَ الْعَمَلِ بِمَا دَلَّتْ عَلَيهِ لا يَصِيْرُ بِهِ مِنْ أَهْلِ شَهَادَةِ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، كَمَا أَنَّ قَوْلَهُ: (لا إلٰهَ إلا اللهُ) بِدونِ الْعَمَلِ بِمَا دَلَّتْ عَلَيهِ؛ لا يَصِيْرُ بِهِ مِنْ أَهْلِ شَهَادَةِ أَنْ (لا إلٰه إلا اللهِ) عَلَى الْحَقِيقَةِ، فَأَوَّلُ مَا يَجِبُ عَلَى الإنْسَانِ أَنْ يَعْلَمَ بِقَلْبِهِ عِلْمَ يَقِينٍ، وَيَنْطِقَ بِلِسَانِهِ بِالشَّهَادَتَيْنِ، وَيَعْمَلَ بِمَا دَلَّتْ عَلَيهِ" اﻫ مِن "حاشية ثلاثة الأصول" 78 - 79.
~~~ فائدة~~~~~~~~~~~~~

قال العلامة ابن القيم -رَحِمَهُ اللهُ- في بيانه رأسَ الأدبِ مع الرَّسولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلىٰ آلِهِ وَسَلَّمَ:
"فَرَأَسُ الأَدَبِ مَعَهُ:
كَمَالُ التَّسْلِيمِ لَهُ.
وَالانْقِيَادُ لأَمْرِهِ.
وَتَلَقِّي خَبَرِهِ بِالْقَبُولِ وَالتَّصْدِيقِ. دُونَ أَنْ:
- يُحَمِّلَهُ مُعَارَضَةَ خَيَالٍ بَاطِلٍ، يُسَمِّيهِ مَعْقُولاً!
- أَوْ يُحَمِّلَهُ شُبْهَةً أَوْ شَكًّا.
- أَوْ يُقَدِّمَ عَلَيْهِ آرَاءَ الرِّجَالِ، وَزُبَالاتِ أَذْهَانِهِمْ.
فَيُوَحِّدُهُ بِالتَّحْكِيمِ وَالتَّسْلِيمِ، وَالانْقِيَادِ وَالإِذْعَانِ، كَمَا وَحَّدَ الْمُرْسِلَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ بِالْعِبَادَةِ وَالْخُضُوعِ وَالذُّلِّ، وَالإِنَابَةِ وَالتَّوَكُّلِ.
فَهُمَا تَوْحِيدَانِ؛ لا نَجَاةَ لِلْعَبْدِ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ إِلا بِهِمَا:
1) تَوْحِيدُ الْمُرْسِلِ.
2) وَتَوْحِيدُ مُتَابَعَةِ الرَّسُولِ.
فَلا يُحَاكِمُ إِلَىٰ غَيْرِهِ.
وَلا يَرْضَىٰ بِحُكْمِ غَيْرِهِ.
وَلا يَقِفُ تَنْفِيذُ أَمْرِهِ، وَتَصْدِيقُ خَبَرِهِ عَلَىٰ عَرْضِهِ عَلَىٰ قَوْلِ شَيْخِهِ وَإِمَامِهِ، وَذَوِي مَذْهَبِهِ وَطَائِفَتِهِ، وَمَنْ يُعَظِّمُهُ، فَإِنْ أَذِنُوا لَهُ؛ نَفَّذَهُ وَقَبِلَ خَبَرَهُ!
وَإِلا؛ فَإِنْ طَلَبَ السَّلامَةَ؛ أَعْرَضَ عَنْ أَمْرِهِ وَخَبَرِهِ وَفَوَّضَهُ إِلَيْهِمْ!
وَإِلا؛ حَرَّفَهُ عَنْ مَوَاضِعِهِ، وَسَمَّىٰ تَحْرِيفَهُ: تَأْوِيلاً، وَحَمْلاً، فَقَالَ: نُؤَوِّلُهُ وَنَحْمِلُهُ!
فَلأَنْ يَلْقَى الْعَبْدُ رَبَّهُ بِكُلِّ ذَنْبٍ عَلَى الإِطْلاقِ -مَا خَلا الشِّرْكَ بِاللَّهِ- خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِهٰذِهِ الْحَالِ.
وَلَقَدْ خَاطَبْتُ يَوْمًا بَعْضَ أَكَابِرِ هٰؤُلاءِ، فَقُلْتُ لَهُ:
سَأَلْتُكَ بِاللَّهِ! لَوْ قُدِّرَ أَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيٌّ بَيْنَ أَظْهُرِنَا، وَقَدْ وَاجَهَنَا بِكَلامِهِ وَبِخِطَابِهِ؛ أَكَانَ فَرْضًا عَلَيْنَا أَنْ نَتْبَعَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ نَعْرِضَهُ عَلَىٰ رَأْيِ غَيْرِهِ وَكَلامِهِ وَمَذْهَبِهِ؟ أَمْ لا نَتْبَعَهُ حَتَّىٰ نَعْرِضَ مَا سَمِعْنَاهُ مِنْهُ عَلَىٰ آرَاءِ النَّاسِ وَعُقُولِهِمْ؟
فَقَالَ:
بَلْ كَانَ الْفَرْضُ الْمُبَادَرَةَ إِلَى الامْتِثَالِ مِنْ غَيْرِ الْتِفَاتٍ إِلَىٰ سِوَاهُ.
فَقُلْتُ:
فَمَا الَّذِي نَسَخَ هٰذَا الْفَرْضَ عَنَّا؟ وَبِأَيِّ شَيْءٍ نُسِخَ؟
فَوَضَعَ إِصْبَعَهُ عَلَىٰ فِيهِ، وَبَقِيَ بَاهِتًا مُتَحَيِّرًا، وَمَا نَطَقَ بِكَلِمَةٍ!
هٰذَا أَدَبُ الْخَوَاصِّ مَعَهُ.
لا مُخَالَفَةُ أَمْرِهِ وَالشِّرْكُ بِهِ، وَرَفْعُ الأَصْوَاتِ، وَإِزْعَاجُ الأَعْضَاءِ بِالصَّلاةِ عَلَيْهِ وَالتَّسْلِيمِ، وَعَزْلُ كَلامِهِ عَنِ الْيَقِينِ، وَأَنْ يُسْتَفَادَ مِنْهُ مَعْرِفَةُ اللَّهِ، أَوْ يُتَلَقَّىٰ مِنْهُ أَحْكَامُهُ، بَلِ الْمُعَوَّلُ فِي بَابِ مَعْرِفَةِ اللَّهِ عَلَى الْعُقُولِ الْمَنْهَوْكَةِ الْمُتَحَيِّرَةِ الْمُتَنَاقِضَةِ، وَفِي الأَحْكَامِ عَلَىٰ تَقْلِيدِ الرِّجَالِ وَآرَائِهَا، وَالْقُرْآنُ وَالسُّنَّةُ إِنَّمَا نَقْرَؤُهُمَا تَبَرُّكًا، لا أَنَّا نَتَلَقَّىٰ مِنْهُمَا أُصُولَ الدِّينِ وَلا فُرُوعَهُ، وَمَنْ طَلَبَ ذٰلِكَ وَرَامَهُ؛ عَادَيْنَاهُ وَسَعَيْنَا فِي قَطْعِ دَابِرِهِ وَاسْتِئْصَالِ شَأْفَتِهِ!!
{بَلْ قُلُوبُهُمْ فِي غَمْرَةٍ مِنْ هٰذَا وَلَهُمْ أَعْمَالٌ مِنْ دُونِ ذٰلِكَ هُمْ لَهَا عَامِلُونَ (63) حَتَّىٰ إِذَا أَخَذْنَا مُتْرَفِيهِمْ بِالْعَذَابِ إِذَا هُمْ يَجْأَرُونَ (64) لَا تَجْأَرُوا الْيَوْمَ إِنَّكُمْ مِنَّا لَا تُنْصَرُونَ (65) قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ فَكُنْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ تَنْكِصُونَ (66) مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِرًا تَهْجُرُونَ (67) أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمُ الْأَوَّلِينَ (68) أَمْ لَمْ يَعْرِفُوا رَسُولَهُمْ فَهُمْ لَهُ مُنْكِرُونَ (69) أَمْ يَقُولُونَ بِهِ جِنَّةٌ بَلْ جَاءَهُمْ بِالْحَقِّ وَأَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ (70) وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ (71) أَمْ تَسْأَلُهُمْ خَرْجًا فَخَرَاجُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (72) وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (73) وَإِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ عَنِ الصِّرَاطِ لَنَاكِبُونَ (74)} (المؤمنون).
وَالنَّاصِحُ لِنَفْسِهِ الْعَامِلُ عَلَىٰ نَجَاتِهَا: يَتَدَبَّرُ هٰذِهِ الآيَاتِ حَقَّ تَدَبُّرِهَا، وَيَتَأَمَّلُهَا حَقَّ تَأَمُّلِهَا، وَيُنْزِلُهَا عَلَى الْوَاقِعِ؛ فَيَرَى الْعَجَبَ! وَلا يَظُنُّهَا اخْتَصَّتْ بِقَوْمٍ كَانُوا فَبَانُوا! فَـ(الْحَدِيثُ لَكِ، وَاسْمَعِي يَا جَارَةُ!) وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ" اﻫ مِن "مدارج السالكين" (3/ 204 - 206، ط 2، 1429 ﻫ، دار طيبة).
ليلة الأربعاء 27 صفر 1434ﻫ

[1] - في "صحيح مسلم" (1337) «مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ؛ فَاجْتَنِبُوهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ؛ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ».
[2] - جاء في حديث جابر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ "صحيح مسلم" (867) وغيره، وفي حديث العِرْباض بن سارية رَضِيَ اللهُ عَنْهُ؛ "سنن أبي داود" (4607) وغيره، وصحّحه أبي رَحِمَهُ اللهُ؛ "الإرواء" (2455).
سُكَينة بنت محمد ناصر الدين الألبانية في 1/08/2013

Selasa, 20 Oktober 2020

7 Masuk Sorga Lebih Awal

Allah Swt menciptakan surga sebagai tempat kembali orang-orang yang beriman. Adapun surga yang diciptakan Allah tersebut bermacam-macam di mana yang paling tinggi dan paling utama adalah surga Firdaus.

Dari Anas bin Malik ra, Nabi Muhammad saw bersabda, "Firdaus adalah surga yang paling tinggi, yang paling bagus, dan yang paling afdal (utama)." (HR. Turmudzi dan disahihkan oleh Al-Albani).

Jika demikian, kita sebagai manusia pasti berharap akan menjadi salah satu yang terpilih menjadi penghuni surga Firdaus.

Amalan-amalan Ringan yang Memudahkan Orang Masuk Surga

Untuk bisa mewujudkan itu, Allah Swt pada dasarnya telah memberikan bocoran siapa saja yang berhak masuk surga tertinggi itu.

Dalam Surah Al-Mu'minun ayat 1-11 Allah Swt berfirman yang artinya:

(بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ۝  ٱلَّذِینَ هُمۡ فِی صَلَاتِهِمۡ خَـٰشِعُونَ ۝  وَٱلَّذِینَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ۝  وَٱلَّذِینَ هُمۡ لِلزَّكَوٰةِ فَـٰعِلُونَ ۝  وَٱلَّذِینَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَـٰفِظُونَ ۝  إِلَّا عَلَىٰۤ أَزۡوَ ٰ⁠جِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَیۡرُ مَلُومِینَ ۝  فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَاۤءَ ذَ ٰ⁠لِكَ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ۝  وَٱلَّذِینَ هُمۡ لِأَمَـٰنَـٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَ ٰ⁠عُونَ ۝  وَٱلَّذِینَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَوَ ٰ⁠تِهِمۡ یُحَافِظُونَ ۝  أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلۡوَ ٰ⁠رِثُونَ ۝  ٱلَّذِینَ یَرِثُونَ ٱلۡفِرۡدَوۡسَ هُمۡ فِیهَا خَـٰلِدُونَ)
[سورة المؤمنون 1 - 11]

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Mu’minun: 1-11)

Dari sebelas ayat di atas, dikatakan akan ada tujuh golongan manusia yang berhak mewarisi (calon penghuni) surga Firdaus.

1. Orang yang khusyuk dalam salatnya

Khusyuk dalam salat meskipun berat tetapi harus selalu diusahakan dengan cara berserah diri, tulus, ikhlas dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah dalam menjalankannya.

2. Orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan tidak berguna

Mereka inilah yang senantiasa memilih perbuatan yang bermanfaat daripada yang membuang-buang waktu. Orang-orang ini akan selalu meninggalkan kebatilan dan sumpah yang tak perlu.

3. Orang-orang yang menunaikan zakat

Zakat sendiri menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang harus selalu dikeluarkan setiap tahunnya. Zakat membuktikan bahwa kita harus berbagi karena di dalam harta yang kita peroleh terdapat hak orang lain. Lebih dari itu, zakat berguna untuk menyucikan harta serta jiwa seseorang.

4. Orang-orang yang menjaga kemaluannya dari perbuatan keji dan zina

Perbuatan ini sangat dilarang oleh Allah meskipun hanya mendekatinya. Oleh sebab itu siapa saja yang berhasil menjauhinya jelas akan mendapat pahala yang besar.

5. Orang-orang yang menahan pandangannya

Nikmat bisa melihat wajib disyukuri oleh setiap manusia dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak baik.

6. Orang-orang yang mampu menjaga amanah dan janji yang telah dipikulnya

Bagi siapa pun yang memiliki amanah, maka wajib menjaganya dengan sebaik-baiknya terlebih bagi para pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Janji-janji harus ditepati karena janji adalah utang.

7. Orang-orang yang memelihara salatnya

Salat jelas merupakan amalan yang paling utama sebagai umat muslim. Memelihara di sini maksudnya adalah selalu salat tepat waktu serta menyempurnakan rukuk, sujud dan gerakan lainnya.

Demikianlah, semoga kita menjadi bagian dari penghuni surga Firdaus. Amin.

Wallahu a'lam.

Minggu, 18 Oktober 2020

MENIKAH ONLINE

Menikah Melalui HP dan Internet
Apa hukum aqad nikah melalui telpon?, bagaimanakah tata caranya yg benar menurut islam?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salah satu diantara syarat sah nikah adalah adanya saksi dalam pernikahan. Ini merupakan pendapat Jumhur ulama. (Fiqh Sunnah, 2/56)

Dan ini pendapat yang benar, berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ

Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi orang yang adil. (HR. Ibnu Hibban 4075 & ad-Daruquthni 3579, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Kemudian ulama berbeda pendapat, apakah posisi kedua saksi harus berada di satu majlis yang sama secara hakiki bersama wali dan pengantin lelaki? Ataukah mereka boleh terpisah, selama masih memungkinkan untuk dianggap satu majlis secara hukum.

Mengingat ini masalah baru yang beum ada di masa silam, kita tidak bisa mencarinya di buku fiqh klasik. Jika mengacu pada buku fiqh klasik, para ulama mempersyaratkan, semua yang terlibat dalam akad (Pengantin, wali dan dua saksi), harus ada secara bersamaan di majlis akad. Karena di masa silam, jika tidak satu majlis akad, mereka tidak bisa melakukan komunikasi langsung. Komunikasi hanya melalui surat dan tentu saja itu tertunda.

Al-Buhuti dalam Kasyaf al-Qana’ menyatakan,

وإن تراخى القبول عن الإيجاب صح ما داما في المجلس ولم يتشاغلا بما يقطعه عرفا ولو طال الفصل

Jika qabul tertunda sesaat, sehingga tidak langsung nyambung dengan ijab, hukumnya sah, selama dalam satu majlis. Dan pengantin tidak melakukan aktivitas yang memutus kesinambungan ijab qabul, meskipun ada jedah agak lama. (Kasyaf al-Qana’, 3/148)

Setelah ada fasilitas komunikasi modern, ulama berbeda pendapat, apakah persyaratan satu majlis ini tetap berlaku, ataukah boleh terpisah selama mereka bisa melakukan komunikasi secara langsung. Ada dua pendapat dalam hal ini,

[1] Harus satu tempat secara hakiki

Ini keputusan yang dikeluarkan Majma’ al-Fiqh al-Islami. Keputusan no. 52 (3/6) tentang hukum melakukan akad dengan media komunikasi zaman sekarang. Ada beberapa akad yang berlaku dan sah dilakukan secara jarak jauh, seperti jual beli. Selama memenuhi konsekuensi transaksi.

Kemudian Majma’ menyebutkan pengecualian,

إن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لاشتراط الإشهاد فيه

Bahwa kaidah-kaidah tentang akad jarak jauh di atas, tidak berlaku untuk akad nikah. Karena disyaratkan harus ada saksi. (Qararat Majma’ al-Fiqh al-Islami: http://www.fiqhacademy.org.sa/qrarat/6-3.htm).

Demikian pula yang difatwakan Lajnah Daimah, dengan pertimbangan,

[1] Mudahnya orang melakukan penipuan, dan meniru suara orang lain.

[2] Perhatian syariat dalam menjaga kehormatan dan hubungan lawan jenis

[3] Kehati-hatian dalam masalah akad nikah yang lebih besar nilainya dibandingkan kehati-hatian dalam masalah muamalah terkait harta,

Maka Lajnah Daimah menetapkan bahwa akad nikah tidak diperkenankan menggunakan alat komunikasi jarak jauh untuk melangsungkan akad nikah, dalam rangka mewujudkan maqasid syariah dan menutup celah terjadinya pelanggaran dari pihak  yang tidak bertanggung jawab.

(Fatawa Lajnah Daimah, 18/90).

[2] Boleh tidak satu tempat, selama mereka bisa komunikasi langsung

Selama saksi bisa memastikan bahwa orang yang bersangkutan adalah wali atau pengantin lelaki, dan dia yakin tidak ada penipuan dalam komunikasi jarak jauh ini, dan semua dilakukan dengan lancar tanpa terputus maka sudah bisa dihukumi satu majlis.

Ini merupakan pendapat Dr. Abdullah al-Jibrin.

Dalam syarh beliau untuk Umdatul Fiqh, beliau mengatakan,

ويجوز على الصحيح إجراء عقد النكاح مع تباعد اماكن تواجد الزوج والولي والشهود ، وذلك عن طريق الشبكة العالمية ( الإنترنت) ، فيمكن لأطراف العقد والشهود الاشتراك جميعاً في مجلس واحد حكماً وإن كانوا متباعدين في الحقيقة ، فيسمعون الكلام في نفس الوقت ، فيكون الإيجاب ، ويليه فوراً القبول ، والشهود يرون الولي والزوج ، ويسمعون كلامهما في نفس الوقت

Boleh melakukanakad nikah, sekalipun di posisi berjauhan, yang melibatkan pengantin pria, wali, dan saksi. Dan itu dilakukan melalui internet. Sehingga memungkinkan untuk dilakukan akad dan persaksian dalam waktu bersamaan, dan dihukumi (dianggap) satu majlis.. Meskipun hakekatnya mereka berjauhan. Mereka bisa saling mendengar percakapan dalam satu waktu. Ijab pertama, lalu langsung disusul dengan qabul. Sementara saksi bisa melihat wali dan pengantin lelaki. Mereka bisa menyaksikan ucapan keduanya dalam waktu yang sama. Akad ini shahiih.

Lalu beliau menegaskan,

فهذا العقد صحيح، لعدم إمكان التزوير أو تقليد الأصوات

Akad ini sah, karena tidak mungkin ada penipuan atau tiru-tiru suara…

Tarjih:

Kita bisa melihat pertimbangan dalam fatwa Lajnah Daimah, bahwa dalam masalah akad nikah, harus dipastikan syarat dan rukunnya terpenuhi. Karena konsekuensi akad nikah adalah masalah kehormatan dan kejelasan keturunan. Sehingga saksi harus menyaksikan mereka berdua, wali dan pengantin pria dalam waktu dan tempat yang sama. Karena itulah, pendapat yang lebih benar dalam hal ini adalah pendapat jumhur, bahwa akad nikah melalui alat komunikasi jarah jauh, tidak diperkenankan.

Allahu a’lam.

Rabu, 14 Oktober 2020

Hukum Menghibahkan Harta Keahli Waris

Hukum Menghibahkan Seluruh Harta Untuk Ahli Waris.

Para ulama dalam sekian banyak literatur fiqih telah menguraikan tentang pembagian hukum waris. Begitupula dengan hukum wasiat, yang mana para ulama berbeda pendapat terkait wasiat harta untuk ahli waris, ada yang mengharamkannya kecuali dengan ridho dan izin dari seluruh ali waris, dan ada yang mengharamkannya secara mutlak sekalipun para ahli waris telah saling ridho[1].

Namun tak sedikit orang-orang yang mengambil jalan lain demi mnghindari konflik antar keluarga, dengan memilih menghibahkan hartanya untuk semua ahli waris. Lantas bagaimana pandangan syariah terkait fenomena ini? Tentu sebelum mengambil kogklusinya, perlu kita fahami dulu definisi hibah, praktek, dan perbedaannya dengan wasiat. Serta pendapat para ulama tentang ini.

Makna Hibah

Hibah dalam istilah fiqih adalah:

عقد يفيد التمليك بلا عوض حال الحياة تطوعا
Transaksi kepemilikan tanpa adanya jaminan, yang diberikan semasa hidup dengan suka rela[2].

Melirik kepada definisi di atas,  dapat kita simpulkan sejumlah poin terkait kondisi hibah yang benar secara syar’i, sebagai berikut[3]:

Orang yang ingin menghibahkan hartanya memiliki kepemilikan penuh terhadap harta tersebut.
Orang yang akan menghibahkan hartanya dalam keadaan masih hidup, berakal, dan sehat.
Barang yang dihibahkan harus barang halal juga untuk dijual belikan. Maka tidak sah menghibahkan lahan curian, minuman keras, dan ternak babi.
Transaksi yang dilakukan adalah pemberian tanpa adanya jaminan atau kembalian.
Diberikan secara cuma-cuma tanpa ada faktor paksaan.
Pindahnya kepemilikan terjadi semasa hidup.
Perbedaan Hibah dan Wasiat

Perbedaan paling signifikan antara hibah dan wasiat adalah pada waktu akadnya. Akad dan pindahnya kepemilikan dari hibah dilakukan oleh pemberi dalam keadaan sehat, tidak saat sakit atau sekarat. Sementara wasiat diucapkan menjelang kematian dan pindah kepemilikannya setelah kematian orang yang berwasiat.

 Itulah kenapa apabila ada orang yang berkata “aku hibahkan kepemilikan tanahku untuk fulan setelah aku mati”. Oleh sebagian ulama tidak dianggap sebagai hibah tapi wasiat, karena berpindahnya kepemilikan terjadi setelah pemberi meninggal. Hal ini juga berdasarkan kaidah fiqhiyyah:

العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
“Yang menjadi patokan dalam akad adalah substansi dan makna, bukan redaksi atau penamaan[4]”

Jadi sekalipun dalam akadnya dinamakan hibah, tapi secara substansi syariat hal tersebut dihukumi wasiat. Dalam kitab al Hawi al Kabir dikatakan:

وإذا وهب المريض في مرضه، هِبَةً، فَإِنْ كَانَتْ لِوَارِثٍ، فَهِيَ مَرْدُودَةٌ، لِأَنَّ هِبَةَ الْمَرِيضِ وَصِيَّةٌ مِنْ ثُلُثِهِ، وَالْوَارِثُ مَمْنُوعٌ مِنَ الْوَصِيَّةِ
Dan apabila seseorang yag sakit dalam keadaan sakitnya menghibahkan sesuatu kepada ahli waris, maka hal tersebut tertolak, karena hibahnya orang yang sakit dianggap wasiat dari sepertiga hartanya. Dan ahli waris dilarang mendapatkan wasiat harta[5]

Perbedaan selanjutnya adalah, dalam perihal wasiat para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat harta kepada orang lain lebih dari sepertiga, karena yang dua pertiganya untuk dibagikan kepada ahli waris yang ditinggalnya. Sementara ketentuan kuantitas seperti itu tidak ada dalam hibah.

Hibah Untuk Ahli Waris

            Terkait hibah untuk ahli waris, sebagian besar ulama sepakat akan kebolehannya. Dalam kitab bidayatul mujtahid dikatakan:

وَعُمْدَةُ الْجُمْهُورِ: أَنَّ الْإِجْمَاعَ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَنَّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَهَبَ فِي صِحَّتِهِ جَمِيعَ مَالِهِ لِلْأَجَانِبِ دُونَ أَوْلَادِهِ، فَإِن كَانَ ذَلِكَ لِلْأَجْنَبِيِّ فَهُوَ لِلْوَلَدِ أَحْرَى.
Dan menurut pembesar ulama: bahwasanya boleh hukumnya secara Ijma’ bagi seseorang untuk menghibahkan seluruh hartanya kepada orang lain (yang bukan keluarganya) tanpa anak-anaknya di saat dia dalam keadaan sehat. Maka sekiranya hibah itu lebih utama diberikan kepada anak-anaknya dibanding kepada orang lain[6].

Ulama hanya berbeda pendapat tentang pembagiannya, apakah harus sama rata atau boleh dibedakan antara satu dari yang lainnya.

وَأما هبة جَمِيع مَاله لبَعض وَلَده دون بعض أَو تَفْضِيل بَعضهم على بعض فِي الْهِبَة فمكروه عِنْد الْجُمْهُور وَإِن وَقع جَازَ وَرُوِيَ عَن مَالك الْمَنْع وفَاقا للظاهرية وَالْعدْل هُوَ التَّسْوِيَة بَينهم وَقَالَ ابْن حَنْبَل للذّكر مثل حَظّ الْأُنْثَيَيْنِ.
Adapun menghibahkan seluruh hartanya untuk sebagian anaknya tanpa yang lannya, atau melebihkan bagian yang lain dari yang lainnya maka hukumnya adalah makruh menurut jumhur ulama, namun sah saja jika telah terjadi. Dan disebutkan dari pendapat imam Malik sesuai dengan pendapat Dzahiriyah tentang larangan hal tersebut, dan adil adalah kesamaan jatah di antara mereka, dan bin Hanbal mengatakan (tentang pembagian hibah untuk anak) adalah bagi laki-laki seperti dua perempuan[7].

Maka dalam hal ini bisa diklaisifikasikan sebagaimana berikut:

 bahwa Mayoritas Ulama menghukumi makruh apabila harta yang dihibahkan kepada anak tidak sama rata,

sementara imam Malik dan golongan Dzahiriah mewajibkan sama rata dengan asas keadilan. Mereka berdalil dengan hadist:

إِنَّ بَشِيرًا أَتَى بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَقَالَ: إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا؟ قَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: فَارْتَجِعْهُ
Nu’man Bin Basyir datang kepada nabi Muhammad SAW, seraya berkata : “ Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu ini kepada anakku. Kemudian Rasulullah bertanya : “Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu?” “Tidak Ya Rasulullah” : Jawab Nu’man. “Kalau begitu cabut kembali pemberian tersebut!” Kata Rasulullah. ( HR Bukhari dan Muslim )

Kemudian  Hanabilah berpendapat bahwa pembagiannya adalah bagian laki-laki dua kali lipat perempuan seperti salah satu prinsip dalam hukum waris.

            Kesimpulannya, menghibahkan harta kepada ahli waris hukumnya boleh jika seseorang melihat ada unsur maslahat. Namun yang perlu digaris bawahi adalah syarat sahnya akad hibah yang harus dipenuhi, seperti pindahnya kepemilikan langsung tanpa harus menunggu meninggalnya orang yang akan menghibahkan, dan penghibah harus dalam keadaan sehat wal afiat, dalam kata lain tidak dalam keadaan akan meninggal.

            Jika hal tersebut tidak terpenuhi, maka akan dihukumi sebagai wasiat, dan telah disebutkan sebelumnya tentang hukum wasiat bagi ahli waris, dalam artikel lain di rumah fiqih juga telah dijelaskan rinci tentang masalah tersebut. Tak kalah pentingnya, jika masih ada harta yang ditinggal oleh wahib (pemberi hibah) setelah dia meninggal, maka harta tersebut dibagi sesuai hukum waris.

Wallahu a’lam bisshowab.

 

[1] Imam As-Syairozy. Al-Muhadzzab fi Fiqhil Imam Assyafi’i. 2/342.

[2] Wahbah Az-Zuhaily. Al Fiqhu Al Islamiy Wa Adillatuhu. 5/3980

[3] Al Fiqhu Al muyassar fi Dhaw’i Al Kitab wa-s-sunnah. 1/269

[4] Lihat: Al mausu’ah Al fiqhiyyah Al Kuwaitiyah. 9/62. Lihat juga: Majallatul Ahkam Al-adliyyah. 16

[5] Imam Mawardi. Al Hawi Al kabir. 8/290

[6] Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid.  4/113

[7] Ibnu Juzay. Al Qawanin al Fiqhiyyah. 241

Kamis, 08 Oktober 2020

Tobat

SEGERALAH BERTAUBAT KEPADA ALLAH!

عَنِ اْلأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِي قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Dari Agharr bin Yasar Al Muzani, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,”Hai sekalian manusia! Taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali”[1]

MAKNA TAUBAT
Asal makna taubat ialah:

الرُّجُوْعُ مِنَ الذَّنْبِ.

(kembali dari kesalahan dan dosa menuju kepada ketaatan). Berasal dari kata:

تَابَ إِلَى اللهِ يَتُوْبُ تَوْباً وَتَوْبَةً وَمَتَاباً بِمَعْنَى أَنَابَ وَرَجَعَ عَنِ المَعْصِيَةِ إِلَى الطَّاعَةِ.

(orang yang bertaubat kepada Allah ialah, orang yang kembali dari perbuatan maksiat menuju perbuatan taat).

التَّوْبَةُ :َاْلإِعْتِرَافُ وَالنَّدَمُ وَاْلإِقْلاَعُ وَالْعَزْمُ عَلَى أَلاَّ يُعَاوِدَ اْلإِنْسَانُ مَا اقْتَرَفَهُ.

(seseorang dikatakan bertaubat, kalau ia mengakui dosa-dosanya, menyesal, berhenti dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan itu).[2]

SYARAH HADITS
Tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang wajibnya taubat. Bahkan taubat adalah fardhu ‘ain yang harus dilakukan oleh setiap muslim dan muslimah.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi (wafat th. 689 H.) rahimahullah berkata,”Para ulama telah ijma’ tentang wajibnya taubat, karena sesungguhnya dosa-dosa membinasakan manusia dan menjauhkan manusia dari Allah. Maka, wajib segera bertaubat.”[3]

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk bertaubat, dan perintah ini merupakan perintah wajib yang harus segera dilaksanakan sebelum ajal tiba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “: …Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (An Nur : 31). Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas) … (At Tahrim : 8). Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya, (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat. (Hud : 3).

Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”[4]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.”[5]

Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain. Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang jelas bahwa hukumnya haram, tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya. Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah.

Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Setiap hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon ampun kepada Allah sebanyak seratus kali. Bahkan dalam suatu hadits disebutkan, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah seratus kali dalam satu majelisnya.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ إِنْ كُنَّا لَنَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ، رَبِّ اغْفِرْلِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

“Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,”Kami pernah menghitung di satu majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa seratus kali beliau mengucapkan, ‘Ya Rabb-ku, ampunilah aku dan aku bertaubat kepadaMu, sesungguhnya Engkau Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang’.”[6]

Jika seorang muslim dan muslimah pernah berbuat dosa-dosa besar atau dosa yang paling besar, maka segeralah bertaubat. Tidak ada kata terlambat dalam masalah taubat, pintu taubat selalu terbuka sampai matahari terbit dari barat.
Dalam sebuah hadits dari Abu Musa ‘Abdullah bin Qais Al Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ النَّهَارِ وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيئُ اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu membuka tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di siang hari, dan Allah membuka tanganNya pada siang hari untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan di malam hari. Begitulah, hingga matahari terbit dari barat” [7]

Hadits ini dan hadits-hadits yang lainnya menunjukkan, bahwasanya Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi ampunan di setiap waktu dan menerima taubat setiap saat. Dia selalu mendengar suara istighfar dan mengetahui taubat hambaNya, kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu, jika manusia mengabaikan perkara taubat ini dan lengah dalam menggunakan kesempatan untuk mencapai keselamatan, maka rahmat Allah nan luas itu akan berbalik menjadi malapetaka, kesedihan dan kepedihan di padang mahsyar. Hal ini tak ubahnya seseorang yang sedang kehausan, padahal di hadapannya ada air bersih, namun ia tidak dapat menjamahnya, hingga datanglah maut menjemput sesudah merasakan penderitaan haus tersebut. Begitulah gambaran orang-orang kafir dan orang-orang yang durhaka. Pintu rahmat sebenarnya terbuka lebar, tetapi mereka enggan memasukinya. Jalan keselamatan sudah tersedia, namun mereka tetap berjalan di jalan kesesatan.

Dan apabila tanda-tanda Kiamat besar telah tampak, yakni matahari sudah terbit dari barat. Kematian sudah di ambang pintu, yakni nyawa sudah berada di tenggorokan, maka taubat tidak lagi diterima. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلَائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ

” Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau datangnya siksa Rabb-mu atau kedatangan beberapa ayat Rabb-mu. Pada hari datangnya beberapa ayat Rabb-mu, maka iman seseorang sudah tidak lagi berguna, yang sebelumnya itu tidak pernah beriman atau selama dalam imannya itu dia tidak pernah melakukan kebajikan. Katakanlah: “Tunggullah, sesungguhnya Kami akan menunggu”. [Al An’am/6:158]

Dalam surat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

“Taubat itu bukanlah bagi orang-orang yang berbuat kemaksiyatan, sehingga apabila kematian telah datang kepada seseorang di antara mereka lalu ia berkata: “Sungguh sekarang ini aku taubat” dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati dalam keadaan kafir. Bagi mereka Kami sediakan siksa yang pedih”. [An Nisa`/4 : 18].

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ.

“Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba, selama (ruh) belum sampai di tenggorokan”.[8]

SYARAT-SYARAT TAUBAT
Para ulama menjelaskan syarat-syarat taubat yang diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai berikut:

1. ِالإِقْلاَعُ(al iqla’u), orang yang berbuat dosa harus berhenti dari perbuatan dosa dan maksiat yang selama ini ia pernah lakukan.

2. النَّدَمُ (an nadamu), dia harus menyesali perbuatan dosanya itu.

3. اَلْعَزْمُ (al ‘azmu), dia harus mempunyai tekad yang bulat untuk tidak mengulangi perbuatan itu.

4. Jika perbuatan dosanya itu ada hubungannya dengan orang lain, maka di samping tiga syarat di atas, ditambah satu syarat lagi, yaitu harus ada pernyataan bebas dari hak kawan yang dirugikan itu. Jika yang dirugikan itu hartanya, maka hartanya itu harus dikembalikan. Jika berupa tuduhan jahat, maka ia harus meminta maaf, dan jika berupa ghibah atau umpatan, maka ia harus bertaubat kepada Allah dan tidak perlu minta maaf kepada orang yang diumpat.[9]

Di samping syarat-syarat di atas, dianjurkan pula bagi orang yang bertaubat untuk melakukan shalat dua raka’at yang dinamakan Shalat Taubat, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْباً ثُمَّ يَقُوْمُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللهَ إِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ ثُمَّ قَرَأَ هَذَهِ الآيَةَ (وَالَّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسَتَغَفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ.

“Jika seorang hamba berbuat dosa kemudian ia pergi bersuci (berwudhu’), lalu ia shalat (dua raka’at), lalu ia mohon ampun kepada Allah (dari dosa tersebut), niscaya Allah akan ampunkan dosanya”.

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang apabila mengejakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui”. [Ali ‘Imran : 135].”[10]

TINGKATAN MANUSIA YANG BERTAUBAT KEPADA ALLAH[11]
Tingkatan Pertama : Yaitu orang yang istiqamah dalam taubatnya hingga akhir hayatnya. Ia tidak berkeinginan untuk mengulangi lagi dosanya dan ia berusaha membereskan semua urusannya yang ia pernah keliru (salah). Tetapi ada sedikit dosa-dosa kecil yang terkadang masih ia lakukan, dan memang semua manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa kecil ini, namun ia selalu bersegera untuk beristighfar dan berbuat kebajikan, ia termasuk orang sabiqun bil khairat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

… وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ …

“Di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah ..” [Fathir/35 : 32)]

Taubatnya dikatakan taubat nashuha, yakni taubat yang benar dan ikhlas. Nafsu yang demikian dinamakan nafsu muthmainnah.

Tingkatan Kedua : Yaitu orang yang menempuh jalannya orang-orang yang istiqamah dalam semua perkara ketaatan dan menjauhkan semua dosa-dosa besar, tetapi ia terkena musibah, yaitu sering melakukan dosa-dosa kecil tanpa sengaja. Setiap ia melakukan dosa-dosa itu, ia mencela dirinya sendiri dan menyesali perbuatannya. Orang-orang ini akan mendapakan janji kebaikan dari Allah Subhanahu w Ta’ala. Allah Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ

“(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Luas ampunanNya…” [An Najm/53 : 32].

Dan nafsu yang demikian dinamakan nafsu lawwamah.

وَلآأُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ

“Dan aku bersumpah dengan nafsu lawwamah (jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri)”. [Al Qiyamah/75: 2].

Tingkatan Ketiga : Orang yang bertaubat dan istiqamah dalam taubatnya sampai satu waktu, kemudian suatu saat ia mengerjakan lagi sebagian dari dosa-dosa besar karena ia dikalahkan oleh syahwatnya. Kendati demikian ia masih tetap menjaga perbuatan-perbuatan yang baik dan masih tetap taat kepada Allah. Ia selalu menyiapkan dirinya untuk bertaubat dan berkeinginan agar Allah mengampuni dosa-dosanya. Keadaan orang ini sebagaimana yang Allah firmankan:

وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampuradukkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [At Taubah/9 : 102].

Nafsu inilah yang disebut nafsu mas-ulah

Tingkatan ketiga ini berbahaya, karena bisa jadi ia menunda taubatnya dan mengakhirkannya. Bahkan ada kemungkinan, sebelum ia berkesempatan untuk bertaubat, Malaikat Maut telah diperintah Allah k untuk mencabut ruhnya, sedangkan amal-amal manusia dihisab menurut akhir kehidupan manusia, menjelang mati.

Tingkatan Keempat : Yaitu orang yang bertaubat, tetapi taubatnya hanya sementara waktu saja, kemudian ia kembali lagi melakukan dosa-dosa dan maksiat, tidak peduli terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, serta tidak ada rasa menyesal terhadap dosa-dosanya. Nafsu sudah menguasai kehidupannya serta selalu menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang jelek. Ia termasuk orang yang terus-menerus dalam perbuatan dosa. Bahkan ia sudah sangat benci kepada orang-orang yang berbuat baik, dan malah menjauhinya. Nafsu yang demikian ini dinamakan nafsul ammarah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Yusuf/12 : 53].

Tingkatan keempat ini sangat berbahaya, dan bila ia mati dalam keadaan demikian, maka ia termasuk su’ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).

JANJI ALLAH KEPADA ORANG YANG BERTAUBAT DAN ISTIQAMAH DALAM TAUBATNYA
1. Taubat menghapuskan dosa-dosa, seolah-olah ia tidak berdosa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ.

“Orang yang bertaubat dari dosa seolah-olah ia tidak berdosa”.[12]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman dan beramal shalih, maka Allah akan ganti kejahatan mereka dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al Furqan/25 : 70].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَيَتَمَنَّيَنَّ أَقْوَامٌ لَوْ أَكْثَرُوْا مِنَ السَّيْئَاتِ الَّذِيْنَ بَدَّلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.

“Sesungguhnya ada beberapa kaum bila mereka banyak berbuat kesalahan-kesalahan, mereka bercita-cita menjadi orang-orang yang Allah Azza wa Jalla mengganti kesalahan-kesalahan mereka dengan kebajikan”.[13]

2. Allah berjanji menerima taubat mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hambaNya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [At Taubah/9 : 104]

Juga firmanNya:

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap (istiqamah) di jalan yang benar”.[Thaha/20 : 82].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ.

“Barangsiapa taubat sebelum matahari terbit dari barat, maka Allah akan menerima taubatnya”.[14]

3. Orang yang istiqamah dalam taubatnya adalah sebaik-baik manusia.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat” [15].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ أَنَّ الْعِبَادَ لَمْ يُذْنِبُوْا، لَخَلَقَ اللهُ خَلْقًا يُذْنِبُوْنَ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُوْنَ، ثُمَّ يَغْفِرُ لَهُمْ وَهُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

“Seandainya hamba-hamba Allah tidak berbuat dosa, niscaya Allah akan menciptakan makhluk yang berbuat dosa kemudian mereka istighfar (minta ampun kepada Allah), kemudian Allah mengampuni dosa mereka dan Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[16]

TERAPI MUJARAB AGAR BISA ISTIQAMAH DALAM TAUBAT DAN TIDAK TERUS-MENERUS BERBUAT DOSA DAN MAKSIAT
Setiap penyakit ada obatnya dan setiap penyakit ada ahli yang dapat menangani untuk menyembuhkannya. Obat penyakit-penyakit badan dan anggota tubuh manusia bisa diserahkan kepada dokter, tetapi penyakit hati hanya bisa diobati dengan kembali kepada agama yang benar.

Hati yang lalai merupakan pokok segala kesalahan. Dan penyakit hati ini lebih banyak dari penyakit badan, karena orang tersebut tidak merasa bahwa dirinya sedang sakit. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit ini, seolah-olah tidak dapat tampak di dunia. Oleh karena itu, obat yang mujarab bagi penyakit ini, sesudah ia kembali ke agama yang benar ialah:

1. Mengingat ayat-ayat Allah Azza wa Jalla yang menakutkan dan mengerikan tentang siksa yang pedih bagi orang yang berbuat dosa dan maksiat. Bacalah juz ‘Amma beserta artinya, dan sebaiknya hafalkanlah.

2. Bacalah hikayat para nabi ‘alaihimush shalatu was salam bersama ummatnya dan para salafush shalih, dan musibah-musibah yang menimpa mereka beserta ummatnya disebabkan dosa yang mereka lakukan.

3. Ingatlah, bahwa setiap dosa dan maksiat berakibat buruk di dunia maupun akhirat.

4. Ingat dan perhatikanlah satu per satu ayat-ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengisahkan tentang siksa akibat perbuatan dosa, seperti dosa minum khamr, dosa riba, dosa zina, dosa khianat, dosa ghibah, dosa membunuh, dan lain-lain.

5. Bacalah istighfar dan sayyidul istighfar setiap hari.
Sayyidul istighfar, do’a memohon ampun kepada Allah

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hambaMu. Aku akan setia pada perjanjianku denganMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan (apa) yang telah kuperbuat. Aku mengakui nikmatMu (yang diberikan) kepadaku, dan aku mengakui dosaku. Oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau”.[17]

Do’a memohon ampunan dan rahmat Allah

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tin-dakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”.[Ali ‘Imran : 147].

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”.[Al A’raf : 23].

FIQHUL HADITS
Pelajaran yang dapat diambil dari hadits dalam pembahasan ini ialah:
1. Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan.
2. Kita wajib bertaubat dan meninggalkan semua sifat yang tercela.
3. Bertaubat wajib dengan segera, tidak boleh ditunda.
4. Beristighfar dan bertaubat itu hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan berusaha mengadakan ishlah (perbaikan).
5. Pintu taubat masih tetap terbuka siang dan malam.
6. Allah Azza wa Jalla tidak akan menerima taubat, apabila ruh sudah berada di tenggorokan, dan apabila matahari telah terbit dari barat (hari Kiamat).
7. Nabi Muhammad n setiap hari beristighfar dan bertaubat.
8. Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang bertaubat. Allah Azza wa Jalla berfirman.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“… Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” [Al Baqarah/2 : 222].

Wallahu a’lamu bish shawab.

Maraji`:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Darus Salam.
2. Shahih Bukhari dan syarahnya Fathul Bari, Cet. Darul Fikr.
3. Shahih Muslim, dan Syarah Muslim Lil Imam An Nawawi.
4. Sunan Abu Daud.
5. Jami’ At Tirmidzi.
6. Sunan An Nasa-i.
7. Sunan Ibnu Majah.
8. Musnad Ahmad.
9. Al Mu’jamul Kabir, oleh Ath Thabrani.
10. Riyadhush Shalihin, oleh Imam An Nawawi.
11. Mukhtashar Minhajul Qashidin, oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
12. Madarijus Salikin, oleh Ibnul Qayyim, Cet. Darul Hadits, Kairo.
13. Shahih Jami’ush Shaghir, oleh Imam Al Albani.
14. Silsilah Ahadits Ash Shahihah, oleh Imam Al Albani.
15. Shahih Al Wabilish Shayyib Minal Kalimith Thayyib, oleh Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali.
16. Mu’jamul Wasith, dan kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2702 (42), Syarah Muslim, oleh Imam An Nawawi (XVII/24-25). Diriwayatkan juga oleh Ahmad (IV/211), Abu Dawud (no. 1515), Al Baghawi (no. 1288) dan Ath Thabrani dan Al Mu’jamul Kabir (no. 883).
[2]. Lihat Fat-hul Bari (XI/103), Al Mu’jamul Wasith, Bab Taa-ba (I/90).
[3]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 322, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan.
[4]. Madarijus Salikin (I/297), Cet. Darul Hadits, Kairo.
[5]. Syarah Shahih Muslim (XVII/59).
[6]. HR At Tirmidzi )no. 3434), Abu Dawud (no. 1516), Ibnu Majah (no. 3814). Lihat Shahih Sunan At Tirmidzi (III/153 no. 2731), lafazh ini milik Abu Dawud.
[7]. HR Muslim (no. 2759).
[8]. Hadits shahih riwayat At Tirmidzi (no. 3537), Al Hakim (IV/257), Ibnu Majah (no. 4253). Lafazh hadits ini menurut Imam At Tirmidzi.
[9]. Lihat Riyadhush Shalihin, Bab Taubat (hlm. 24-25) dan Shahih Al Wabilush Shayyib (hlm. 272-273).
[10]. Hadits hasan riwayat At Tirmidzi (no. 406), Ahmad (I/10), Abu Dawud (no. 1521), Ibnu Majah (no. 1395), Abu Dawud Ath Thayalisi (no. 1 dan 2) dan Abu Ya’la (no. 12 dan 15). Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/438), Cet. Darus Salam.
[11]. Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin (hlm. 335-336), oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. HR Ibnu Majah (no. 4250), dari Ibnu Mas’ud z . Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 3008).
[13]. Hadits hasan riwayat Al Hakim (IV/252), dari sahabat Abu Hurairah. Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 5359), dari sahabat Abu Hurairah.
[14]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 2703), dari sahabat Abu Hurairah.
[15]. Hadits hasan riwayat Ahmad (III/198), At Tirmidzi (no. 2499), Ibnu Majah (no. 4251) dan Al Hakim (IV/244). Lihat Shahih Jami’ush Shaghir (no. 4515), dari sahabat Anas.
[16]. Hadits shahih riwayat Al Hakim (IV/246), dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al Khaththab. Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah (no. 967-970).
[17]. HR Al Bukhari (no. 6306, 6323), Ahmad (IV /122-125) dan An Nasa-i (VIII/279-280).