Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Kamis, 22 April 2021

5 Keistimewaan Romadhon

5 Keistimewaan Bulan Ramadan yang Sangat Dinanti

Keistimewaan bulan Ramadan dijelaskan dalam Islam melalu berbagai bentuk seperti amalan yang dilakukan saat bulan Ramadan, pahala-pahala yang dilipat gandakan di bulan Ramadan, hingga dibukanya pintu surga serta ditutupnya pintu neraka saat bulan Ramadan, dan masih banyak lagi keistimewaan bulan Ramadan lainnya.

Segala keistimewaan bulan Ramadan ini sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Karena hanya setahun sekali saja bulan Ramadan itu terjadi. Bulan Ramadan juga hanya berlangsung selama satu bulan, sekitar 29 sampai dengan 30 hari saja.

Bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh umat Islam dan juga sangat dirindukan kedatangannya kembali. Keistimewaan bulan Ramadan juga dijelaskan di beberapa ayat dalam Al-Qur'an dan juga dijelaskan di beberapa hadist. Ayat dan hadist ini menjelaskan betapa mulia dan istimewa bulan Ramadan ini.

Banyak sekali keistimewaan yang bisa didapatkan secara mudah di bulan Ramadan. Ayat dan hadist tentang keistimewaan bulan Ramadan juga menjelaskan amalan-amalan yang bisa dilakukan saat bulan Ramadan seperti, sholat tarawih, bersedekah, pergi umrah saat bulan Ramadan, dan lain sebagainya.

Berikut ini keistimewaan bulan Ramadan untuk umat Islam di dunia yang sangat dinanti-nantikan sebagaimana dihimpun Liputan6.com Kamis (2/5/2019) dari berbagai sumber.

1. Merupakan Bulan Diturunkannya Al-Qur'an
Perbesar

Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadan, hal ini dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185 sebagai berikut:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

2. Bulan Pengampun Dosa
Perbesar

Keistimewaan bulan Ramadan berikutnya adalah di bulan ini dosa lebih banyak diampuni Allah SWT. Salah satu cara untuk menghapus dosa adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang makna puasa Ramadan, yang diriwayatlan oleh hadist Bukhari dan Muslim sebagai berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

3. Pahala Berlipat Ganda
Perbesar

Pahala akan berlipat ganda ketika kamu melakukan amalan atau ibadah saat bulan Ramadan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

فَإِذَا كَانَ رَمَضَانُ اعْتَمِرِى فِيهِ فَإِنَّ عُمْرَةً فِى رَمَضَانَ حَجَّةٌ

Artinya: Jika Ramadhan tiba, berumrahlah saat itu karena umrah Ramadhan senilai dengan haji (HR. Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256).

Selain itu ada hadist yang menyebutkan bahwa pahala amalan di bulan Ramadan dilipat gandakan beberapa kali lipat.

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة، وقيام ليله تطوعا ، من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه، ومن أدى فيه فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه

Artinya: Wahai sekalian manusia, telah datang pada kalian bulan yang mulia. Di bulan tersebut terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puasanya dijadikan sebagai suatu kewajiban. Shalat malamnya adalah suatu amalan sunnah. Siapa yang melakukan kebaikan pada bulan tersebut seperti ia melakukan kewajiban di waktu lainnya. Siapa yang melaksanakan kewajiban pada bulan tersebut seperti menunaikan tujuh puluh kewajiban di waktu lainnya. (HR. Al-Mahamili dalam Al-Amali 5: 50 dan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1887. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini munkar seperti dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 870)

4. Malam Lailatul Qadar
Perbesar

Keistimewaan bulan Ramadan berikutnya tidak ada di bulan-bulan lainnya, yaitu malam lailatul qadar. Ada beberapa ayat yang menjelaskan bahwa malam lailatul qadar bertepatan pada sepertiga malam ganjil di akhir bulan ramadan. Malam lailatul qadar di bahas dalam surat Q.S. Al-Qadar sebagai berikut:

(1)إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(2)وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ(3)لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ(4)تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (5)سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (1) Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (2) Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (3) Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (4) Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar(5)

5. Puasa Ramadan
Perbesar

Keistimewaan bulan Ramadan berikutnya adalah puasa yang dilakukan saat bulan Ramadan. Puasa di bulan ini memiliki banyak keistimewaan dan juga banyak menghasilkan pahala bagi yang menjalankannya. Bulan Ramadan juga menjadi bulan di mana umat muslim diwajibkan untuk melakukan ibadah puasa. Dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Allahu A'lam

Sabtu, 17 April 2021

Mesin Pencari Hadits

*MESIN PENCARI HADITS DAN TERJEMAH TERLENGKAP*

CariHadis.com

Alhamdulillah kini telah hadir untuk anda terjemah kitab hadis lengkap, disertai fitur untuk pencarian teks atau nomor hadis.

Berikut ini judul kitab yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia:

1. Shahih Bukhari http://carihadis.com/Shahih_Bukhari/1

2. Shahih Muslim http://carihadis.com/Shahih_Muslim/1

3. Sunan Abu Daud http://carihadis.com/Sunan_Abu_Daud/1

4. Sunan Tirmidzi http://carihadis.com/Sunan_Tirmidzi/1

5. Sunan Nasai http://carihadis.com/Sunan_Nasai/1

6. Sunan Ibnu Majah http://carihadis.com/Sunan_Ibnu_Majah/1

7. Muwatho Malik http://carihadis.com/Muwatho_Malik/1

8. Musnad Ahmad http://carihadis.com/Musnad_Ahmad/1

9. Musnad Darimi http://carihadis.com/Musnad_Darimi/1

10.  Musnad Syafii http://carihadis.com/musnad_syafii_terjemah/1

11. Mustadrak Hakim http://carihadis.com/mustadrak_hakim_terjemah/1

12. Shahih Ibnu Hibban http://carihadis.com/shahih_ibnu_hibban_terjemah/1

13. Shahih Ibnu Khuzaimah http://carihadis.com/shahih_ibnu_khuzaimah_terjemah/1

14. Sunan Daraquthni http://carihadis.com/Sunan_Daraquthni_Terjemah/1

15. Riyadhus Shalihin http://carihadis.com/terjemah_riyadhus_shalihin/1

16. Bulughul Maram http://carihadis.com/Terjemah_Bulughul_Maram/1

Kalau ada kesalahan, mohon infokan ke admin@carihadis.com

Jumat, 16 April 2021

Zakat Fitroh Dengan Uang,Apakah Harus Pindah Madzhab

Seperti lazimnya pada tiap bulan Ramadhan, kali ini pun banyak diskusi menarik seputar hukum puasa.
Pada awal Ramadhan, diskusi yang banyak seputar tatacara niat puasa.

Mayoritas umat Islam Indonesia adalah pengikut Mazhab Syafi’i sehingga niat puasanya mesti ikut Mazhab Syafi’i, yaitu harus niat puasa tiap malam.
Kadang, keharusan tersebut menjadi dilema bagi sebagian orang yang lupa niat puasa pada malam hari, sebab puasanya bisa jadi tidak sah.

Dengan alasan tersebut, banyak ulama yang menganjurkan melakukan niat puasa sebagaimana dalam Mazhab Maliki, yakni niat sekaligus satu bulan pada malam pertama puasa.
Atau, bisa juga ikut Mazhab Hanafi yang memperbolehkan niat pausa Ramadhan dilakukan pada siang hari sebelum zuhur.

Saat ini puasa sudah memasuki tahap akhir dan diskusi pun mulai bergeser pada kasus seputar penunaian zakat fitrah.
Yang sering kali menjadi bahan diskusi dan perdebatan adalah berkaitan dengan hukum menunaikan zakat fitrah menggunakan uang tunai bukan beras sebagaimana lazimnya dalam Mazhab Syafi’i.
Yang memperbolehkan mengeluarkan zakat menggunakan uang hanya Mazhab Hanafi, sehingga zakat fitrah menggunakan uang tunai boleh saja dengan mengikuti Mazhab Hanafi.

Pertanyaannya adalah, apakah ketika kita mengikuti mazhab lain mesti pindah sepenuhnya? Ketika kita ikut Mazhab Maliki maka apakah kita mesti mengikuti semua aturan puasa yang ada dalam Mazhab Maliki mulai dari syarat, rukun, dan yang lainnya? Ketika kita mau menunaikan zakat fitrah dengan uang, apakah harus ikut semua aturan zakat yang ada dalam Mazhab Hanafi? Atau, bolehkah kita talfiq, mengawinkan dua pendapat, seperti zakat fitrah menggunakan uang tetapi tetap mengikuti aturan zakat dalam Mazhab Syafi’i?

Hukum Talfiq

Sebelum membahas lebih detail mengenai hukum talfiq terlebih dahulu kita mesti membahas soal taklid. Pembahasan talfiq erat kaitannya dengan pembahasan taklid, sebab perbedaan hukum talfiq dipengaruhi oleh beberapa perbedaan dalam rumusan taklid, sebagaimana akan dijelaskan.

Taklid menurut termenologi ushul fiqh adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Semisal, ketika wudu kita mengusap sebagian kepada karena bertaklid pada Imam Syafi’i.
Mayoritas kita tidak mengetahui dalilnya, yang kita tahu hanya Imam Syafi’i berpendapat demikian. Itulah yang disebut dengan taklid.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa taklid dalam ranah akidah tidak diperbolehkan.
Ruang lingkup taklid hanya berkaitan dengan hukum-hukum praktis bukan hukum-hukum pokok.

Sungguh pun demikian, taklid dalam hukum-hukum praktis pun masih diperdebatkan antara yang pro dan yang kontra.
Jika dikerucutkan, setidaknya ada tiga pendapat.

Pertama, taklid tidak boleh secara mutlak, dengan kata lain setiap orang wajib melakukan ijtihad sendiri-sendiri.
Ini pendapat Mazhab Zahiri, Muktazilah, dan sekolompak Syi’ah Imamiyah.

Kedua, tidak boleh ijtihad dan yang wajib hanya taklid pasca masa imam mazhab yang empat. Ini pendapat sekte Hasyawiyah dan Taklimiyah.

Ketiga, diperinci terlebih dahulu. Orang yang alim yang sampai pada derajat mujtahid tidak boleh bertaklid, sedangkan orang awam atau orang alim yang tidak sampai pada derajat mujtahid maka harus taklid pada seorang mujtahid.

Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab yang empat.
Pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama adalah pendapat ketiga yang membedakan antara seorang mujtahid dan orang awam.

Lantas, apakah orang awam atau orang alim yang tidak ahli berijtihad wajib menetapi satu mazhab atau boleh berpindah-pindah mazhab? Ulama berbeda pendapat namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa tidak wajib menetapi satu mazhab.
Sebab, 1) kewajiban menetapi satu mazhab tidak ada dalilnya, dan 2) kewajiban semacam itu dapat menyebabkan kesulitan padahal agama Islam adalah agama yang mudah (penjelasan lengkapnya bisa dilihat di kitab Syehk Al-Buthi, Wahbah az-Zuhaili, dll).

Dengan demikian, kita boleh berpindah mazhab dalam kasus tertentu jika memang membutuhkannya dan tidak bertujuan tasahul (bermain-main).

Pembahasan mengenai wajib tidaknya menetapi satu mazhab tersebut memiliki andil besar dalam pembahasan talfiq. Menurut pendapat yang mengatakan wajib menetapi satu mazhab maka talfiq tidak boleh. Sebaliknya, jika menganut pendapat yang mengatakan tidak wajib menetapi satu mazhab maka talfiq hukumnya boleh.

Yang dimaksud talfiq sendiri adalah mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang mujtahid pun

(الإتيان بكيفية لا يقول بها مجتهد).

Maksudnya, menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam mujtahid).

Contoh, orang yang hendak salat dan melakukan wudu dengan cara Mazhan Syafi’i yang tidak mengharuskan memijat anggota wudu, kemudian dia menyentuh lawan jenis dan tidak berwudu kembali karena ikut pada pendapat Imam Malik yang mengatakan wudu tidak batal sebab menyentuh.
Lantas ia salat dengan wudu tersebut, maka dia telah menggabungkan dua pendapat yang sama-sama tidak diakui oleh kedua imam.

Imam Malik menganggap wudunya tidak sah sebab dia tidak memijat anggota wudunya, sedangkan menurut Imam Syafi’i sah wudunya meski tanpa memijat tetapi menjadi batal sebab bersentuhan dengan lawan jenis.

Lantas, bagaimana hukum talfiq sebenarnya?
Mengenai hukum talfiq sendiri, ada tiga pendapat.

Pertama, pendapat yang mengatakan tidak boleh talfiq. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama mutakhir. Mereka bahkan menjadikan ketiadaan talfiq sebagai syarat sahnya taklid.

Para pendukung pendapat pertama ini mengatakan bahwa ada ijmak atas ketidakbolehan talfiq. Namun, terhadap klaim ijmak tersebut banyak yang menyangsikannya tersebab dalam beberapa mazhab lain masalah talfiq termasuk dalam masalah yang masih diperdebatkan (mukhtalaf fih).

Andaikan sudah ada ijmaknya maka dalam mazhab yang lain pun pasti akan ada pernyataan ijmak tersebut. Dalam kaidah ushul fiqh Mazhab Syafi’i pun disebutkan bahwa berita ijmak yang tidak masyhur dan mutawatir tidak bisa disebut sebagai ijmak yang memiliki kekuatan hukum pasti (حجة قاطعة) hingga tidak boleh dilanggar sama sekali.
Maka, klaim ijmak tersebut tidak bisa dijadikan pijakan.
Dengan kata lain, masalah talfiq masih masuk dalam katagori mukhtalaf fih.

Kedua, pendapat yang mengatakan boleh talfiq secara mutlak.
Alasannya karena agama Islam dibangun di atas kemudahan dan keringanan.
Pelarangan talfiq bisa menyebabkan kesulitan, terutama bagi orang awam.
Pun, tidak ada dalil satu pun yang secara jelas dan tegas melarang talfiq.

Ketiga, pendapat yang mengatakan boleh talfiq tetapi dengan catatan tidak bertujuan hanya mengambil pendapat yang ringan tanpa ada kemaslahatan atau ada kebutuhan (hajat) atau dalam keadaan darurat.

Penulis pribadi lebih condong pada pendapat ketiga —yang mengatakan talfiq boleh dengan beberapa catatan.
Pendapat pertama tidak memiliki dukungan dalil naqli, sedangkan pendapat kedua bisa menimbul mafsadah yang lebih besar daripada maslahatnya karena terlalu longgar.
Berbeda dengan pendapat ketiga yang lebih menitikberatkan terhadap maslahat sehingga lebih sesuai dengan ruh syariat.
Di tambah dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak wajib menetapi satu mazhab tertentu yang dengan kata lain tidak ada keharusan mengetahui seluk beluk mazhab tersebut.
Pendapat ketiga ini sangat cocok bagi orang awam.

Lain dari itu, talfiq dalam kehidupan masyarakat pada umumnya sering kali terjadi. Semisal salat.
Dalam Mazhab Syafi’i salat harus menghadap tepat pada posisi Ka’bah berada (عين الكعبة), sedangkan dalam mazhab lain ada yang mengatakan cukup menghadap ke arah Ka’bah berada (جهة الكعبة), yaitu ke arah Barat (di Indonesia) tanpa harus tepat pada posisi Ka’bah berada.
Realitanya, banyak umat Islam di Indonesia yang hanya menghadap ke arah Barat dan tidak tepat pada posisi Ka’bah berada sebagaimana keharusan dalam Mazhab Syafi’i.
Apa mau dikatakan tidak sah semua salatnya? Bisa-bisa neraka overload!

Kembali pada kasus zakat fitrah menggunakan uang.
Bagi yang mau mengeluarkan zakat fitrah menggunakan mata uang silakan saja tanpa perlu repot-repot mempelajari seluk beluk konsep zakat dalam Mazhab Hanafi.
Cukum mengetahui ukuran/nominal zakat yang wajib dikeluarkan saja.
Yang terpenting alasan mengeluarkan zakat menggunakan uang dapat dibenarkan, yaitu karena lebih maslahat daripada komoditas.

Menurut penulis, sesuaikan dengan keadaan kita dan apa yang lebih dibutuhkan oleh para mustahiq.
Orang yang memiliki harta berlimpah dan mustahiqnya tidak hanya membutuhkan makanan maka lebih baik mengeluarkan zakat dalam bentuk uang dan dikrus menggunakan komoditas yang memiliki kualitas paling tinggi bukan yang paling rendah. Seperti beras, ada beras biasa, super, premium, dan lain-lain. Harganya berbeda-beda. Maka, orang yang hendak zakat harus mengkrusnya dengan harga beras yang paling tinggi.
Atau mau dikrus dengan menggunakan gandum maka mesti gandum yang memiliki kualitas tinggi.

Selain itu, ukuran zakat yang mesti dikeluarkan sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab fiqh adalah ukuran menimal.
Kita boleh menambahnya, yang terpenting tidak kurang dari ukurang minimal tersebut. Andai nominal zakat yang harus dikeluarkan 25.000 rupiah maka kita boleh menambahnya hingga 50.000 rupiah, misalnya.
Dengan demikian, masalahat dari mengeluarkan zakat menggunakan uang benar-benar tercapai.

Dalam Alquran Allah SWT berfiman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran [3]: 92)

Selain itu, penulis juga mendengar bahwa Syaikhona Cholil Bangkalan dalam kitabnya memperbolehkan zakat pakai uang.
Hanya saja di kalangan santri masih terjadi perdebatan, apakah pendapat tersebut hasil ijtihad pribadi Syaikhona atau taklid pada Mazhab Hanafi.
Menurut penulis, selama tidak ada mukhashish maka diarahkan ke pertama tidak lah jauh (ghairu-ba’id).

Rujukan:

اصول الفقه الاسلامي لدكتور وهبة الزهيلي
تبصير النجباء بتحقيق الإجتهاد والتقليد والتلفيق والإفتاء لدكتور محمد ابراهيم الحفناوي
عمدة التحقيق في التقليد والتلفيق لعلامة محمد سعيد بن عبد الرحمن الباني الحسني
التلفيق في الشريعة الاسلامية لدكتور نزار نبيل ابو منشار.

Zakat Fitroh Dengan Uang Shah Tidak Perlu Intiqol Madzhab

Sah, Zakat Fitrah dengan Uang Tidak Perlu Taqlid Mazhab Hanafi

Kontroversi dan diskursus tentang zakat fitrah dengan uang yang sempat viral beberapa waktu lalu kini menemukan titik terang. 

Dalam tulisan penulis beberapa hari yang lalu, penulis menanggapi fatwa tentang zakat fitrah bila dengan uang adalah Rp200 ribu.

Dalam tulisan itu penulis tidak sependapat jika zakat fitrah bila dibayarkan dengan uang harus menggunakan harga kurma (Rp200 ribu). 

Penulis berpendapat jikapun kita harus menuruti mazhab Hanafi, yaitu jika kita membayar zakat fitrah bukan dengan makanan yang manshus (yang diriwayatkan dalam hadits) yaitu: kurma, gandum dan syair, maka kita boleh menggunakan harga gandum.
Karena lebih murah dari harga kurma, yaitu setengah sho' (ukuran liter pada zaman Nabi) gandum. 

Dalam mazhab Hanafi, ukuran zakat fitrah bila menggunakan kurma dan syair adalah satu sho' tapi jika menggunakan gandum ukurannya hanya setengah sho'. 

Kenapa kita harus menggunakan yang ukurannya lebih besar jika ada yang ukurannya lebih kecil? Bukankah menggunakan ukuran yang lebih kecil itu lebih meringankan umat?. 

Hal  demikian sesuai dengan metodologi Imam Syafi'i yang disebut akhdzul aqol yaitu suatu metode yang digunakan Imam Syafi'i apabila ada beberapa pendapat tentang ukuran taklif (pembebanan hukum dari Allah SWT) yang harus dibayarkan maka Imam Syafi'i akan mengambil yang lebih kecil. Yang demikian pula sesuai dengan prinsip dan tujuan syariah yaitu untuk mencapai kemaslahat umat.

Namun pembahasan itu kini sudah ada titik terang, yaitu hukum diatas adalah apabila kita melaksanakan intiqol madzhab (berpindah mazhab dari mazhab Syafi'i dalam suatu masalah).
Hal itu dilakukan karena dalam mazhab  Syafi'i membayar zakat fitrah tidak dibolehkan dengan uang.
Hanya madzhab Hanafilah yang membolehkan zakat fitrah dengan menggunakan uang.
Maka jika kita membayar zakat fitrah dengan uang maka kita harus taqlid kepada Mazhab Hanafi.

Masalah jadi terang ketika penulis membaca dalam kitab Tabaqot al Fuqoha al syafi'iyyin karangan Syekh imaduddin Abul fida ibnu katsir juz II halaman 24, dikatakan dalam kitab itu bahwa Imam Arruyani, salah satu Ashabul Wujuh (para ulama besar madzhab Syafi'i yang memiliki pandangan pendapat yang di i'tibar dalam mazhab) membolehkan memberikan zakat fitrah dengan uang. 

Dari kitab ini kita dapat memahami bahwa, membayar zakat fitrah dengan uang dengan harga beras seperti yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia tidak keluar dari mazhab Syafi'i karena ada ulama mazhab Syafi'i yang memperbolehkan.
Oleh karena itu tidak diperlukan lagi taqlid kepada Mazhab Abu Hanifah.
---------------------------------
---------------------------------
Jumhur ulama madzhab (Maliki, Hambali, Syafii) mensyaratkan zakat fitrah dengan makanan pokok (qutil balad). Bahkan mazhab Hambali mengharuskan dengan makanan sesuai nash seperti kurma (tamar), zabib (anggur kering), jewawut (sya'ir), keju (aqit), gandum (qamh, burr) dll, jika tidak ada boleh dengan jenis makanan pokok yang lain

Madzahab Hanafi membolehkan bahkan menganggap utama dengan uang (qimah). Alasannya karena tujuan zakat fitrah agar orang-orang miskin tercukupi kebutuhannya di hari raya. Berdasar hadist Nabi,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ , وَقَالَ: «أَغْنُوهُمْ فِي هَذَا الْيَوْمِ»

"Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitri dan bersabda, ‘Cukupkan mereka (fakir miskin) pada hari ini (hari raya’)." (HR. Daruqutni dan Baihaqi).

Memberi kecukupan bisa dihasilkan dengan qimah (nilai uang ) bahkan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan. (Wahbah AlJuhaily,Fiqhul Islam Waadilatuhu 3:2045).

Demikian juga dalam hal fidyah dan kifarat, Abu Hanifah membolehkan dengan nilai uang.

Al Uwaidlah dalam kitabnya al Jami' Fi Ahkamil Shaum 482, mencatat bahawa sebagain pengikut Maliki memakruhkan zakat fitrah dengan uang. Menurutnya selain Abu Hanifah, Atsauri, Hasan Basri dan Umar Bin Abdul Aziz juga membolehkan mengeluarkan zakat dengan harga makanan pokok. Mereka berkata

لا بأس أن تعطى الدارهم فى صدقة الفطر

"Tidak jadi masalah beberapa dirham dibayarkan dalam zakat fitrah"(HR. Ibnu Syaibah)

جاءَنا كِتابُ عُمرَ بنِ عبدِ العزيزِ في صدَقةِ الفِطرِ: نِصفُ صاعٍ عن كلِّ إنسانٍ، أو قِيمتُه نِصفُ دِرهَمٍ

Telah datang keputusan Umar Bin Abdul Aziz kepada kami tentang sedekah fitrah; sebanyak setengah sho' dari setiap orang atau sebanding dengan nilainya yakni setengan dirham ( HR.Syaibah).

Muhamad Bakr Ismail dalam kitabnya Fiqhul Wadhih 1:510 mengatakan,

فإذا كانت مصلحته فى النقود كان إخرج النقود أولى
Apabila uang lebih manfaat maka mengeluarkan zakat fitrah dengan uang lebih utama. 

Baznas menetapkan zakat dengan beras sebagai makanana pokok orang indonesia sejumlah 2,5 kg atau dengan nilai uang sesuai harga beras.

Demikian semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wallahu alam bi al showab.

Rabu, 14 April 2021

Lupa/Ragu Jumlah Rakaat Shalat


Ketentuan ketika Lupa atau Ragu Jumlah Rakaat dalam Shalat

Lupa adalah sifat bawaan manusia seperti bunyi maqolah al-insan mahallul khatha’ wan nisyan. Begitu akutnya lupa bagi manusia, sehingga fiqih pun memberikan ruang istimewa bagi mereka yang benar-benar lupa. Misalkan lupa makan atau minum ketika berpuasa, maka hal itu dianggap sebagai rezeki dan tidak membatalkan puasa. Hadits Rasulullah saw mengatakan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَكَلَ أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَلَا يُفْطِرْ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ رَزَقَهُ

Barang siapa yang lupa, lalu makan atau minum ketika berpuasa, maka janganlah membatalkan puasanya, karena hal itu adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya. Bahkan dalam Lubbul Ushul Imam Zakariya Al-Anshari dalam muqaddimahnya mengatakan bahwa:

وَالأَصَحُّ إِمْتِنَاعُ تَكْلِيْفِ الْغَافِلِ وَالْمُلْجَأِ، لاَ الْمُكْرَهِ.

Demikianlah syariat memberikan jalan keluar bagi mereka yang lupa. Lupa biasa terjadi pada sesuatu yang sering dilakukan. Begitulah manusia, semakin sering melakukan sesuatu semakin tinggi kemungkinan terjadi lupa. Karena jika tidak melakukan sesuatu pastilah ia tidak lupa, begitu logikanya. Hanya orang yang melaksanakan shalatlah yang lupakan rukuk atau sujud. Dan hanya orang yang wudhu yang akan terancam lupa membasuh muka atau tangan. Lalu bagaimanakah jika hal ini benar-benar terjadi? Jikalau memang seseorang benar-benar lupa mengerjakan satu rukun tertentu, dan ia sama sekali tidak ingat dan tidak ada orang yang mengingatkannya maka ibadah itu hukumnya tetap syah.

Namun jika ia teringat kembali dan meyakini adanya kelalaian itu hendaklah ia memperbaikinya. Misalkan seseorang lupa meninggalkan satu atau dua rakaat dalam shalatnya, sedangkan ia telah mengucap salam sebagai tanda finish dalam shalat. Maka jikalau ingatan itu datang dalam waktu dekat hendaklah ia menambah rakaat yang ditinggalkannya dan mengakhirinya dengan sujud sahwi. Tetapi jikalau ingatan itu baru datang setelah beberapa lama (misalkan baru teringat setelah baca dzikir) maka orang tersebut wajib mengulangi shalatnya kembali.  Begitu keterangan dalam Majmu’

اذا سلم من صلاته ثم تيقن انه ترك ركعة او ركعتين اوثلاثا او انه ترك ركوعا اوسجودا اوغيرهما من الاركان سوى النية وتكبرة الاحرام فان ذكر السهوقبل طول الفصل لزمه البناء على صلاته فيأتى بالباقى ويسجد للسهو وان ذكر بعد طول الفصل لزمه استئناف الصلاة

Apabila seseorang telah salam (usai shalatnya) kemudian ia baru teringat bahwa ia telah melupakan (meninggalkan) satu atau dua atau tiga rakaat atau ia lupa telah meninggalkan rukuk atau sujud atau rukun lainnya kecuali niat dan takbiratul ihram, maka ia cukup menambahi (menyusuli) apa yang telah dilupakannya itu dengan sujud sahwi, jikalau ingatan itu segera datang. Tetapi jikalau ingatan itu datangnya setelah beberapa lama maka hendaklah ia mengulangi shalatnya kembali.

Berbeda ketika seseorang lupa meninggalkan satu rukun tertentu (ruku’ atau baca Fatihah) maka ketika ia ingat dan ia belum melakukan rukun yang sama pada rekaat setelahnya, hendaklah ia segera mengganti rukun yang ditinggalkan itu. Dan apabila ia lupa, maka itulah apapun yang dilakukannya sudah cukup dan dianggap sah karena memang lupa. Begitu keterangan dalam Fathul Mu’in Hamisy I’anathut Thalibin

ولو سها غير مأموم فى الترتيب بترك ركن كأن سجد قبل الركوع أو ركع قبل الفاتحة لغا مافعله حتى يأتي بالمتروك فان تذكر قبل بلوغ مثله أتى به والا فسيأتى بيانه... وإلا أي وان لم يتذكر حتى فعل مثله فى ركعة أخرى أجزأه عن متروكه ولغا ما بينهما هذا كله ان علم عين المتروك ومحله...

Ragu di tengah-tengah Shalat

Lupa berbeda dengan ragu-ragu. Jikalau yang terjadi adalah keragu-raguan, maka perlu meninjau masalahnya secara detail. Ketika seseorang mengalami keraguan di tengah-tengah shalatnya, apakah dia sudah melakukan satu fardhu tertentu (ruku,misalnya) atau belum. Maka masalah ini perlu diperinci lagi, jika keraguan terjadi sebelum orang itu melakukan fardhu yang ditinggal (ruku’) tersebut pada rakaat setelahnya, maka ia harus kembali untuk melakukan fardhu yang ditinggal (ruku’). Namun jika keraguan itu datang setelah ia melakukan fardhu yang sama yang ditinggalkannya (ruku’) pada rakaat setelahnya, cukuplah baginya meneruskan shalat dan menambah satu rakaat lagi, sebagai pengganti satu rukun yang ditinggalkannya itu. Begitu keterangan dalam Fathul Mu’in Hamisy I’anathut Thalibin

... أو شك هو أي غير المأموم فى ركن هل فعل أم لا كأن شك راكعا هل قرأ الفاتحة أوساجدا هل ركع أواعتدل أتى به فورا وجوبا ان كان الشك قبل فعله مثله أي مثل المشكوك فيه من ركعة أخرى

Ragu Setelah Shalat Selesai
Begitu juga ketika terjadi keraguan setelah shalat, apakah shalat yang telah dikerjakan itu telah lengkap ataukah ada rukun tertentu yang tertinggal, maka shalat semacam itu secara fiqih tetap dianggap syah dan tidak perlu mengulanginya kembali. Kitab Khasiyah Qulyubi wa Umairah menjelaskan

ولوشك بعد السلام فى ترك فرض لم يؤثر على المشهور – لان الظاهر وقوع السلام عن تمام

Jikalau setelah salam (selesai shalat) seseorang ragu dalam meninggalkan/ melaksanakan satu fardhu tertentu, maka hal itu tidak berpengaruh (tetap sah) menurut pendapat yang mashur. Karena dalam kenyataannya ia telah melakukan salam dan (shalat dianggap) sempurna.

Dengan kata lain, lupa dan ragu adalah dua hal yang berbeda. Begitu pula cara penyelesaiannya. Hukum lupa segera dicabut ketika datang ingatan. Selama seseorang dalam kondisi lupa ia akan terbebas dari tuntutan syariah, dan ketika ia teringat kembali, maka orang tersebut kembali terkena tuntutan syariah. Seperti contoh berpuasa, ketika seseorang lupa bahwa ia sedang menjalankan puasa, maka ia terbebas dari tuntutan syari’ah boleh makan dan minum. Namun ketika ia teringat kembali bahwa ia puasa, maka ia wajib menahan semuanya dan kembali berpuasa. Sedangkan ragu-ragu bisa hilang karena adanya keyakinan. Dan tidak ada keraguan yang dibarengi dengan keyakinan.

Catatan: Naskah ini terbit pertama kali di NU Online pada Selasa, 11 September 2012 pukul 16:02. Redaksi mengunggahnya ulang dengan sedikit penyuntingan.

Selasa, 13 April 2021

Hukum Baca Basmalah


Disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,

كُلُّ أَمْرٍ ذِى بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيهِ بِذِكْرِ اللهِ أَقْطَعُ

“Semua urusan penting yang tidak diawali dengan dzikrullah maka itu terputus (keberkahannya).” (HR. Daruquthni 896)

Makna dzikrullah dalam hadis di atas bisa basmalah, hamdalah maupun dzikir lainnya. Hanya saja, hadis ini dinilai dhaif oleh sebagian ulama, seperti Syaikh al-Albani (al-Irwa, 1/30).

Terkait basmalah, sebagian ulama menyebutkan bahwa bacaan ini memiliki 5 hukum: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram.

Abu Bakr Ad-Dimyathi dalam Hasyiyah-nya untuk I’anatul Thalibin – kitab Syafi’iyah – mengatakan,

البسملة مطلوبة في كل أمر ذي بال أي حال يهتم به شرعا بحيث لا يكون محرما لذاته ولا مكروها كذلك، ولا من سفاسف الأمور أي محقراتها

Basmalah diperintahkan untuk semua urusan yang penting, artinya keadaan yang diperhatikan syariat, di mana bukan termasuk perbuatan yang asalnya haram atau makruh. Demikian pula tidak dilakukan untuk perbuatan yang remeh.

Kemudian beliau melanjutkan,

فتحرم على المحرم لذاته كالزنا، لا لعارض كالوضوء بماء مغصوب. وتكره على المكروه لذاته كالنظر لفرج زوجته، لا لعارض كأكل البصل.
ولا تطلب على سفاسف الأمور، ككنس زبل، صونا لاسمه تعالى عن اقترانه بالمحقرات. والحاصل أنها تعتريها الأحكام الخمسة

Karena itu, membaca basmalah hukumnya haram untuk perbuatan yang asalnya haram, seperti berzina. Namun tidak terlarang untuk perbuatan haram yang sebab tertentu, seperti wudhu dengan air hasil ghasab. Dan membaca basmalah hukumnya makruh untuk perbuatan yang asalnya makruh, seperti melihat kemaluan istri. Namun tidak makruh untuk perbuatan makruh yang sebab tertentu, seperti makan bawang.

Juga tidak dianjurkan untuk perbuatan yang remeh, seperti ketika menyapu sampah. Tidak dianjurkan dalam rangka menjaga nama Allah Ta’ala agar tidak membersamai sesuatu yang remeh. Kesimpulannya, bacaan basamalah ada 5 hukum syar’i.

Selanjutnya Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menyebutkan beberapa contoh 5 hukum basmalah,

[1] Basmalah yang wajib
Seperti basmalah ketika shalat menurut mayoritas Syafiiyah.

[2] Basmalah yang disunahkan
(a) Dianjurkan untuk masing-masing individu, seperti basmalah sebelum wudhu atau mandi besar.
(b) Dianjurkan untuk kelompok (sunah kifayah), seperti basmalah ketika makan berjamaah atau ketika suami istri hendak melakukan hubungan, cukup salah satu yang membaca basmalah.

[3] Basmalah yang mubah
Seperti basmalah untuk perbuatan mubah, misalnya memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain.

[4] Basmalah yang makruh
Misalnya basmalah ketika hendak melakukan perbuatan yang asalnya makruh.

[5] Basmalah yang haram
Misalnya basmalah ketika hendak melakukan perbuatan yang asalnya haram.
(Hasyiyah I’anatul Thalibin, 1/9).

As-Suyuthi menjelaskan mengapa basmalah dalam perkara haram hukumnya dilarang.

لأن الغرض من البسملة التبرك في الفعل المشتمل عليه، والحرام لا يراد كثرته وبركته وكذلك المكروه

Karena tujuan membaca basmalah adalah ngalap berkah terhadap perbuatan yang dibacakan basmalah. Sementara perbuatan yang haram, tidak boleh diperbanyak jumlahnya atau dicari keberkahannya. Demikian pula hal yang makruh.

Demikian.

Allahu a’lam.

Kamis, 08 April 2021

Meninggalkan Puasa Romadhon Tanpa Udzur

MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN TERMASUK DOSA BESAR

Puasa memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Ia salah satu dari rukun Islam yang lima. Barangsiapa berpuasa untuk mencari ridha Allâh Azza wa Jalla dan sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia akan meraih kebaikan dan keutamaan yang sangat besar. Oleh karena itu kewajiban kaum Muslimin memperhatikan ibadah puasa dengan sebaik-baiknya.

MAKNA PUASA

Dalam bahasa Arab, puasa disebut dengan shaum atau shiyâm, artinya menahan. Adapun menurut istilah syari’at, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Shaum adalah: beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan menahan diri dari makan, minum, dan segala yang membatalkan, mulai terbit fajar (shadiq) sampai matahari tenggelam. (Syarhul Mumti’, 6/298)

MACAM-MACAM PUASA

Para ulama menyebutkan bahwa puasa ada dua: puasa wajib dan sunnah.

Puasa wajib, seperti puasa Ramadhân, kaffârah, dan nadzar.
Puasa sunnah, seperti puasa Senin dan Kamis, enam hari pada bulan Syawal, puasa Nabi Dawud, dan lainnya.
Selain itu ada juga puasa maksiat, seperti puasa pada hari ‘Idul Fithri dan Adh-ha, puasa mutih, puasa patigeni, puasa untuk mencari kesaktian, dan lainnya.

HUKUM PUASA RAMADHAN

Hukum Puasa Ramadhân sudah sangat dikenal oleh umat Islam, yaitu wajib, berdasarkan al-Qur’ân, al-Hadits, dan Ijma’. Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa Ramadhân, maka dia menjadi kafir. (Lihat al-Wajîz, hlm. 189)

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:183]

Puasa Ramadhân merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima tiang: Syahadat Laa ilaaha illa Allâh dan Muhammad Rasûlullâh; menegakkan shalat; memberikan zakat; haji; dan puasa Ramadhân”. [HR. al-Bukhâri, no. 8; Muslim, no. 16]

Syaikh Abdul ‘Aziz ar-Râjihi -hafizhahullâh- berkata, “Barangsiapa mengingkari kewajiban puasa (Ramadhân), maka dia kafir, murtad dari agama Islam. Karena dia telah mengingkari satu kewajiban besar dan satu rukun dari rukun-rukun Islam, serta satu perkara yang diketahui dengan pasti sebagai ajaran Islam. Barangsiapa mengakui kewajiban puasa Ramadhân dan namun dia berbuka dengan sengaja tanpa udzur, berarti dia telah melakukan dosa besar, dia dihukumi fasik dengan sebab itu, namun tidak dikafirkan menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat Ulama. Dia wajib berpuasa, dan Penguasa muslim (harus) menghukumnya dengan penjara atau dera atau kedua-duanya. Sebagian Ulama berkata, “Jika seseorang berbuka puasa Ramadhân dengan sengaja tanpa udzur, dia menjadi kafir”. [Ilmâm bi Syai-in min Ahkâmis Shiyâm, hlm. 1]

ANCAMAN MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN TANPA UDZUR (ALASAN)

Puasa Ramadhân merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, maka orang yang meninggalkannya atau meremehkannya akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat.

Di antara hadits dan riwayat tentang bab ini adalah :

عَنْ أَبْي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

Dari Abu Umâmah al-Bâhili, dia berkata: Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku, keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku, “Naiklah!” Aku menjawab, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, maka aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang tergantung (terbalik) dengan urat-urat kaki mereka (di sebelah atas), ujung-ujung mulut mereka sobek mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Mereka menjawab, “Meraka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya”. [HR. Nasâ’i dalam as-Sunan al-Kubra, no. 3273; Ibnu Hibbân; Ibnu Khuzaimah; al-Baihaqi, 4/216; al-Hâkim, no. 1568; ath-Thabarani dalam Mu’jamul Kabîr. Dishahihkan oleh al-Hâkim, adz-Dzahabi, al-Haitsami. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60]

Di dalam sebuah hadits diriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ فِي غَيْرِ رُخْصَةٍ رَخَّصَهَا اللَّهُ لَهُ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ الدَّهْرَ كُلَّهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân bukan dengan (alasan) keringanan yang Allâh berikan kepadanya, maka tidak akan diterima darinya (walaupun dia berpuasa) setahun semuanya. [HR. Ahmad, no. 9002; Abu Dâwud, no. 2396; Ibnu Khuzaimah, no.1987; dll]

Namun hadits didha’ifkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, syaikh Syu’aib al-Arnauth, syaikh al-Albani, dan lainnya, karena ada perawi yang tidak dikenal yang bernama Ibnul Muqawwis.

Walaupun hadits ini lemah secara marfû’ (riwayat dari Nabi) akan tetapi banyak riwayat dari para sahabat yang menguatkannya.

Diriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ لَقِيَ اللَّهَ بِهِ، وَإِنْ صَامَ الدَّهْرَ كُلَّهُ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan tanpa keringanan, dia bertemu Allâh dengannya, walaupun dia berpuasa setahun semuanya, (namun) jika Allâh menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Allâh menghendaki, Dia akan menyiksanya”.
[Riwayat Thabarani, no. 9459, dihasankan oleh syaikh Al-Albani, tetapi riwayat yang marfû’ didha’ifkan. Lihat Dha’if Abi Dawud –Al-Umm- 2/275]

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, bahwa dia berkata:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مُتَعَمِّدًا لَمْ يَقْضِهِ أَبَدًا طُولُ الدَّهْرِ

Barangsiapa berbuka sehari dari (puasa) bulan Ramadhân dengan sengaja, berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya”. [Riwayat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang laki-laki berbuka di bulan Ramadhân dia berkata :

لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَوْمُ سَنَةٍ

Berpuasa setahun penuh tidak bisa menggantinya. [Riwayat Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, 6/184]

Bahkan sahabat Ali bin Abi Thâlib memberikan hukuman dera (pukulan) kepada orang yang berbuka di bulan Ramadhân, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat :

عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي مَرْوَانَ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ أُتِيَ بِالنَّجَاشِيِّ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي رَمَضَانَ, فَضَرَبَهُ ثَمَانِينَ, ثُمَّ ضَرَبَهُ مِنْ الْغَدِ عِشْرِينَ, وَقَالَ: ضَرَبْنَاكَ الْعِشْرِينَ لِجُرْأَتِكَ عَلَى اللَّهِ وَإِفْطَارِكَ فِي رَمَضَانَ.

Dari Atha’ bin Abi Maryam, dari bapaknya, bahwa An-Najasyi dihadapkan kepada Ali bin Abi Thâlib, dia telah minum khamr di bulan Ramadhân. Ali memukulnya 80 kali, kemudian esoknya dia memukulnya lagi 20 kali. Ali berkata, “Kami memukulmu 20 kali karena kelancanganmu terhadap Allâh dan karena engkau berbuka di bulan Ramadhân”. [Riwayat Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla, 6/184]

an-Najasyi ini adalah seorang penyair, namanya Qais bin ‘Amr al-Hâritsi.
Dia mengikuti Ali sampai Ali menderanya, kemudian dia lari menuju Mu’awiyah. Lihat: al-Jâmi’ li Ahkâmis Shiyâm, 1/60)

Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa meninggalkan puasa sehari di bulan Ramadhan tanpa udzur merupakan dosa besar, maka bagaimana jika meninggalkan puasa sebulan penuh? Tentu dosanya lebih besar.
Oleh karena itu seorang yang ingin selamat di dalam kehidupannya, hendaklah dia melaksanakan perintah-perintah Allâh dan meninggalkan larangan-laranganNya, sehingga meraih keberuntungan di dunia dan akhirat.

Wallahul Musta’an.

Keutamaan Syukur

فضل الشاكرين
إذا داوم العبد على امتثال أوامر ربّه سبحانه، وكان له عبداً شكوراً؛ رفع الله قدره، وكتب له الأجر العظيم في الدنيا والآخرة، ومن فضائل الشكر التي يجنيها العبد الشكور:[٩]

1. يعدّ العبد الشكور من المؤمنين، حيث قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: (عجباً لأمرِ المؤمنِ، إن أمرَه كلَّه خير، وليس ذاك لأحدٍ إلّا للمؤمنِ، إن أصابته سراءُ شكرَ، فكان خيراً له).[١٠]
وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (النمل/40)

عَنْ أَبِي يَحْيَى صُهَيْبِ بْنِ سِنَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤمنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ»[1]؛ رواه مسلم.
Abu Yahya Suhaib bin Sinan semoga Allah meridhoi dia, berkata: Rasulullah saw: «Betapa indahnya orang beriman, memerintahkan semua kebaikannya, dan bukan kepada satu tetapi orang beriman: dia mengucap syukur, itu baik baginya, ia menanggung, dengan kesabaran, Baik untuknya »[1]; diriwayatkan oleh Muslim.

٢. يصل العبد الشكور بشكره إلى رضا الله تعالى، حيث قال الله عزّ وجلّ: (وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ).[١١]
٣. يأمن العبد الشكور عذاب الله -تعالى- بإذنه، حيث قال: (مَّا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِن شَكَرْتُمْ وَآمَنتُمْ).[١٢]
٤. يتمتّع العبد الشكور بزيادة الرزق والنِعم عليه، فالشكر سبب لزيادة النعم، قال الله تعالى: (لَئِن شَكَرتُم لَأَزيدَنَّكُم).[١٣]
٥. ينال العبد الشكور الأجر الجزيل من الله (Upah Besar)-سبحانه- في الآخرة، حيث قال: (وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ).[١٤]
Ladang Syukur Balik kana dirina sorangan
٦.ومَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ (النمل/40)

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman: 12)

Syukur bukanlah dengan maksiat, syukur seharusnya dengan ketaatan pada Allah.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata,
Abu Hazim mengatakan,

كل نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Hilyatul Awliya’, 1/497)

Mukhollad bin Al Husain mengatakan,

الشكر ترك المعاصي

“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.” (‘Iddatush Shobirin, hal. 49, Mawqi’ Al Waroq)

Abu Sulaiman mengatakan,

ذكر النعم يورث الحب لله

“Mengingat nikmat Allah akan mewariskan kecintaan pada-Nya.” (‘Iddatush Shobirin, hal. 49)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
أسأل الله الكريم رب العرش العظيم أن يتولاك في الدنيا والآخرة وأن يجعلك مباركا أينما كنت وأن يجعلك ممن إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر، فإن هؤلاء الثلاث عنوان السعادة.

Aku meminta kepada Alloh yang Maha Mulia, Rabbnya ‘Arsy yang agung untuk melindungimu di dunia dan akherat serta menjadikanmu diberkahi dimanapun kamu berada, juga menjadikanmu termasuk orang yang jika diberi bersyukur, jika mendapat ujian bersabar, serta jika berdosa beristighfar, maka sesungguhnya tiga hal itu adalah tanda-tanda kebahagiaan.

[كتاب قواعد الاربع)

Rabu, 07 April 2021

DALIL TAHLIL

D A L I L  T A H L I L A N

Kalau ada yang tanya dalil tahlilan itu di kitab orang dg agama apa..? Ya jawab aja di kitab orang islam, bukan kitab orang hindu,,

3 hari
7 hari
25 hari
40 hari
100 hari
1000 Hari

Tak henti-hentinya Wahabi Salafi menyalahkan Amaliyah ASWAJA, khususnya di Indonesia ini. Salah satu yang paling sering juga mereka fitnah adalah Tahlilan yang menurutnya tidak berdasarkan Dalil bahkan dianggap rujukannya dari kitab Agama Hindu. Untuk itu, kali ini saya tunjukkan Dalil-Dalil Tahlilan 3, 7, 25, 40, 100, Setahun & 1000 Hari dari Kitab Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan kitab dari agama hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨

Rasulullah saw bersabda: “Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayyit.”
Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”

Referensi : (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)

Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan ?

Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit.

ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎما، ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ : ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ

Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan–hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib:

Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang–orang pun mengulurkan tangannya masing–masing dan makan.

Referensi: [Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]

Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi:

ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﻭﺱ : ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ

Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”

ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ : ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ , ﻓﺎﻣﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ ﻭﺍﻣﺎﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ

Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari.”

Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi

ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺻﻮﻟﻬﻤﺎ ﻭﻣﻨﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ

bacaan alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi’i yang lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.

Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:

ﺍَﻣَّﺎ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَـِﺎﻧَّﻪُ ﻳَﻨْـﺘَـﻔِﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺎﺗِّـﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ. ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺭَﺩَﺕْ ﺑِﺬٰﻟِﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﺣَﺎ ﺩِﻳْﺚُ ﺻَﺤِﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻝِ ﺳَﻌْﺪٍ ( ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍِﻥَّ ﺍُﻣِّﻲْ ﺍُﻓْﺘـُﻠِﺘـَﺖْ ﻧَﻔْﺴُﻬَﺎ ﻭَﺍَﺭَﺍﻫَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَـﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﺗَﺼَﺪَّﻗَﺖْ ﻓَﻬَﻞْ ﻳَﻨْـﻔَـﻌُﻬَﺎ ﺍَﻥْ ﺍَﺗَـﺼَﺪَّﻕَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻧَـﻌَﻢْ , ﻭَﻛَﺬٰﻟِﻚَ ﻳَـﻨْـﻔَـﻌُﻪُ ﺍﻟْﺤَﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍْﻻُ ﺿْﺤِﻴَﺔُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻌِﺘْﻖُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺍْﻻِﺳْﺘِـْﻐﻒُﺭﺍَ ﻟَﻪُ ﺑِﻼَ ﻧِﺰﺍَﻉٍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔِ .

“Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315)

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:

ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺍُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻤَﻴِّﺖٍ ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺻِﻴﺎَﻡٍ ﺍَﻭْ ﺻَﻼَﺓٍ ﺍَﻭْ ﻗِﺮَﺋَﺔٍ ﺟَﺎﺯَ ﺫَﻟِﻚَ

Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an / kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322)

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;

ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔً ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻝُﻩَ. ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ: ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ خَتَمُوْا اْلقُرْآنَ كَانَ اَفْضَلَ ) المجموع جز 5 ص 258(

“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai mengha tamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;

ﻭَﻳُـﺴْـﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻠﺰَّﺍﺋِﺮِ ﺍَﻥْ ﻳُﺴَﻠِّﻢَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺰُﻭْﺭُﻩُ ﻭَﻟِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺍَﻫْﻞِ ﺍْﻟﻤَﻘْﺒَﺮَﺓِ. ﻭَﺍْﻻَﻓْﻀَﻞُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑِﻤَﺎ ﺛَﺒـَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭَﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃٰﻥِ ﻣَﺎ ﺗَﻴَﺴَّﺮَ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﻘِﺒَﻬَﺎ ﻭَﻧَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ. (ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺟﺰ 5 ص 258 )

“Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.

Referensi : (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮﺍَﺀَﺓِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻭَﻗَﺪْ ﺭُﻭِﻱَ ﻋَﻦْ ﺍَﺣْﻤَﺪَ ﺍَﻧَّـﻪُ ﻗَﺎﻝَ: ﺍِﺫﺍَ ﺩَﺧَﻠْﺘﻢُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺍِﻗْﺮَﺋُﻮْﺍ ﺍَﻳـَﺔَ ﺍْﻟﻜُـْﺮﺳِﻰِّ ﺛَﻼَﺙَ ﻣِﺮَﺍﺭٍ ﻭَﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍَﺣَﺪٌ ﺛُﻢَّ ﻗُﻞْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍِﻥَّ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ .

Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

Referensi : (al-Mughny II/566)

Dalam al Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:

ﻭَﺫَﻫَﺐَ ﺍَﺣْﻤَﺪُ ْﺑﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓـِﻌﻰ ﺍِﻟﻰَ ﺍَﻧـَّﻪُ ﻳَـﺼِﻞ
rizqi yang halal dan berkah adalah
TAHLILAN.

Semoga bermanfaat Aminnnn