Bismillahirrahmanirrahim,
Kalau istri Anda itu masih dalam masa idahnya (sebelum masa tunggu berakhir) dari talak satu yang memang dapat dirujuk, Anda boleh merujuknya tanpa akad nikah baru. Dan istri tidak berhak untuk menolak ajakan rujuk suami.
Dengan kata lain, rujuk tetap terjadi walaupun istri tidak setuju atau tidak menerima. Mengapa demikian? Ini berdasarkan firman Allah swt.:
Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan.
Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.
Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka.
[1]) Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 228).
Ketika menafsirkan ayat tersebut, mufasir Al-Qurthubi (nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Fazah, biasa dipanggil Abu Abdillah, lahir di Kordova [Arab: Qurthubah] dan wafat di El-Minya, Mesir, 671 H) mengatakan,
“Ulama-ulama sudah berkonsensus (bersepakat) bahwa seorang suami yang merdeka ketika ia menjatuhkan talak satu kepada istrinya –dan telah terjadi hubungan badan di antara mereka– bahwa suami lebih berhak untuk merujuknya kembali selama masa idahnya belum berakhir, walaupun perempuan itu tidak menyukai [untuk rujuk].”
(Lihat: Tafsir al-Qurthibi, vol. 3, hlm 120).
Artinya, persetujuan istri bukanlah syarat untuk sahnya rujuk dari perceraian talak 1 (satu) atau talak 2 (dua).
Sebab, seorang istri yang dijatuhi talak satu atau dua (yang boleh dirujuk) oleh suaminya, itu masih berada dalam tanggung jawab suami.
Suami masih berkewajiban menafkahinya, masih boleh melihat tubuhnya, masih boleh tinggal dalam satu rumah, dan sebagainya.
Yang tidak boleh adalah berhubungan badan selama belum ada rujuk.
Dengan kata lain lagi, jika sang istri ngotot tidak mau dirujuk oleh suaminya, istri itu dapat dikategorikan melakukan nusyuz.
Apa itu nusyuz? Nusyuz adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami yang tidak dibenarkan oleh hukum.
Istri yang melakukan nusyuz, bukan lagi menjadi tanggung jawab suami untuk menafkahinya sampai ia menyatakan bertobat dan menyesali perbuatannya.
Di sisi lain, istri juga memiliki hak untuk menggugat cerai suaminya jika memang benar-benar tidak mau rujuk.
Caranya? Mengajukan kepada hakim (dalam hal ini KUA) keberatan atas tindakan suaminya, lalu dipertimbangkan oleh hakim, dan istri itu sanggup membayar sejumlah uang tertentu sebagai ‘iwadh (dalam riwayat mengembalikan mahar dari suaminya), dan hakim agama menyetujui, baru terjadi perceraian. Jadi, yang menjatuhkan talak atas permintaan istri bukan istri itu sendiri, melainkan penguasa atau pemerintah yang dalam hal ini adalah KUA.
Untuk sekadar mengingat kembali, bahwa jika terjadi talak yang dapat dirujuk kembali (talak satu dan talak dua), suami-istri masih boleh tinggal dalam satu rumah, istri boleh berdandan untuk suaminya, suami boleh melihat tubuh istrinya, dan lain-lain.
Yang tidak boleh adalah berhubungan badan selama belum rujuk.
Mengapa demikian? Agama masih memberi kesempatan kepada masing-masing pihak untuk cooling down, untuk mengevaluasi diri, dan berpikir kemaslahatan yang lebih besar. Diharapkan dengan masih tinggal di dalam satu rumah, masing-masing pihak menyadari kekurangannya dan bertekad untuk membina rumah tangga yang lebih baik.
Demikian,
wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar