Seperti lazimnya pada tiap bulan Ramadhan, kali ini pun banyak diskusi menarik seputar hukum puasa.
Pada awal Ramadhan, diskusi yang banyak seputar tatacara niat puasa.
Mayoritas umat Islam Indonesia adalah pengikut Mazhab Syafi’i sehingga niat puasanya mesti ikut Mazhab Syafi’i, yaitu harus niat puasa tiap malam.
Kadang, keharusan tersebut menjadi dilema bagi sebagian orang yang lupa niat puasa pada malam hari, sebab puasanya bisa jadi tidak sah.
Dengan alasan tersebut, banyak ulama yang menganjurkan melakukan niat puasa sebagaimana dalam Mazhab Maliki, yakni niat sekaligus satu bulan pada malam pertama puasa.
Atau, bisa juga ikut Mazhab Hanafi yang memperbolehkan niat pausa Ramadhan dilakukan pada siang hari sebelum zuhur.
Saat ini puasa sudah memasuki tahap akhir dan diskusi pun mulai bergeser pada kasus seputar penunaian zakat fitrah.
Yang sering kali menjadi bahan diskusi dan perdebatan adalah berkaitan dengan hukum menunaikan zakat fitrah menggunakan uang tunai bukan beras sebagaimana lazimnya dalam Mazhab Syafi’i.
Yang memperbolehkan mengeluarkan zakat menggunakan uang hanya Mazhab Hanafi, sehingga zakat fitrah menggunakan uang tunai boleh saja dengan mengikuti Mazhab Hanafi.
Pertanyaannya adalah, apakah ketika kita mengikuti mazhab lain mesti pindah sepenuhnya? Ketika kita ikut Mazhab Maliki maka apakah kita mesti mengikuti semua aturan puasa yang ada dalam Mazhab Maliki mulai dari syarat, rukun, dan yang lainnya? Ketika kita mau menunaikan zakat fitrah dengan uang, apakah harus ikut semua aturan zakat yang ada dalam Mazhab Hanafi? Atau, bolehkah kita talfiq, mengawinkan dua pendapat, seperti zakat fitrah menggunakan uang tetapi tetap mengikuti aturan zakat dalam Mazhab Syafi’i?
Hukum Talfiq
Sebelum membahas lebih detail mengenai hukum talfiq terlebih dahulu kita mesti membahas soal taklid. Pembahasan talfiq erat kaitannya dengan pembahasan taklid, sebab perbedaan hukum talfiq dipengaruhi oleh beberapa perbedaan dalam rumusan taklid, sebagaimana akan dijelaskan.
Taklid menurut termenologi ushul fiqh adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.
Semisal, ketika wudu kita mengusap sebagian kepada karena bertaklid pada Imam Syafi’i.
Mayoritas kita tidak mengetahui dalilnya, yang kita tahu hanya Imam Syafi’i berpendapat demikian. Itulah yang disebut dengan taklid.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa taklid dalam ranah akidah tidak diperbolehkan.
Ruang lingkup taklid hanya berkaitan dengan hukum-hukum praktis bukan hukum-hukum pokok.
Sungguh pun demikian, taklid dalam hukum-hukum praktis pun masih diperdebatkan antara yang pro dan yang kontra.
Jika dikerucutkan, setidaknya ada tiga pendapat.
Pertama, taklid tidak boleh secara mutlak, dengan kata lain setiap orang wajib melakukan ijtihad sendiri-sendiri.
Ini pendapat Mazhab Zahiri, Muktazilah, dan sekolompak Syi’ah Imamiyah.
Kedua, tidak boleh ijtihad dan yang wajib hanya taklid pasca masa imam mazhab yang empat. Ini pendapat sekte Hasyawiyah dan Taklimiyah.
Ketiga, diperinci terlebih dahulu. Orang yang alim yang sampai pada derajat mujtahid tidak boleh bertaklid, sedangkan orang awam atau orang alim yang tidak sampai pada derajat mujtahid maka harus taklid pada seorang mujtahid.
Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama mazhab yang empat.
Pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama adalah pendapat ketiga yang membedakan antara seorang mujtahid dan orang awam.
Lantas, apakah orang awam atau orang alim yang tidak ahli berijtihad wajib menetapi satu mazhab atau boleh berpindah-pindah mazhab? Ulama berbeda pendapat namun pendapat yang kuat adalah yang mengatakan bahwa tidak wajib menetapi satu mazhab.
Sebab, 1) kewajiban menetapi satu mazhab tidak ada dalilnya, dan 2) kewajiban semacam itu dapat menyebabkan kesulitan padahal agama Islam adalah agama yang mudah (penjelasan lengkapnya bisa dilihat di kitab Syehk Al-Buthi, Wahbah az-Zuhaili, dll).
Dengan demikian, kita boleh berpindah mazhab dalam kasus tertentu jika memang membutuhkannya dan tidak bertujuan tasahul (bermain-main).
Pembahasan mengenai wajib tidaknya menetapi satu mazhab tersebut memiliki andil besar dalam pembahasan talfiq. Menurut pendapat yang mengatakan wajib menetapi satu mazhab maka talfiq tidak boleh. Sebaliknya, jika menganut pendapat yang mengatakan tidak wajib menetapi satu mazhab maka talfiq hukumnya boleh.
Yang dimaksud talfiq sendiri adalah mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang mujtahid pun
(الإتيان بكيفية لا يقول بها مجتهد).
Maksudnya, menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam mujtahid).
Contoh, orang yang hendak salat dan melakukan wudu dengan cara Mazhan Syafi’i yang tidak mengharuskan memijat anggota wudu, kemudian dia menyentuh lawan jenis dan tidak berwudu kembali karena ikut pada pendapat Imam Malik yang mengatakan wudu tidak batal sebab menyentuh.
Lantas ia salat dengan wudu tersebut, maka dia telah menggabungkan dua pendapat yang sama-sama tidak diakui oleh kedua imam.
Imam Malik menganggap wudunya tidak sah sebab dia tidak memijat anggota wudunya, sedangkan menurut Imam Syafi’i sah wudunya meski tanpa memijat tetapi menjadi batal sebab bersentuhan dengan lawan jenis.
Lantas, bagaimana hukum talfiq sebenarnya?
Mengenai hukum talfiq sendiri, ada tiga pendapat.
Pertama, pendapat yang mengatakan tidak boleh talfiq. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama mutakhir. Mereka bahkan menjadikan ketiadaan talfiq sebagai syarat sahnya taklid.
Para pendukung pendapat pertama ini mengatakan bahwa ada ijmak atas ketidakbolehan talfiq. Namun, terhadap klaim ijmak tersebut banyak yang menyangsikannya tersebab dalam beberapa mazhab lain masalah talfiq termasuk dalam masalah yang masih diperdebatkan (mukhtalaf fih).
Andaikan sudah ada ijmaknya maka dalam mazhab yang lain pun pasti akan ada pernyataan ijmak tersebut. Dalam kaidah ushul fiqh Mazhab Syafi’i pun disebutkan bahwa berita ijmak yang tidak masyhur dan mutawatir tidak bisa disebut sebagai ijmak yang memiliki kekuatan hukum pasti (حجة قاطعة) hingga tidak boleh dilanggar sama sekali.
Maka, klaim ijmak tersebut tidak bisa dijadikan pijakan.
Dengan kata lain, masalah talfiq masih masuk dalam katagori mukhtalaf fih.
Kedua, pendapat yang mengatakan boleh talfiq secara mutlak.
Alasannya karena agama Islam dibangun di atas kemudahan dan keringanan.
Pelarangan talfiq bisa menyebabkan kesulitan, terutama bagi orang awam.
Pun, tidak ada dalil satu pun yang secara jelas dan tegas melarang talfiq.
Ketiga, pendapat yang mengatakan boleh talfiq tetapi dengan catatan tidak bertujuan hanya mengambil pendapat yang ringan tanpa ada kemaslahatan atau ada kebutuhan (hajat) atau dalam keadaan darurat.
Penulis pribadi lebih condong pada pendapat ketiga —yang mengatakan talfiq boleh dengan beberapa catatan.
Pendapat pertama tidak memiliki dukungan dalil naqli, sedangkan pendapat kedua bisa menimbul mafsadah yang lebih besar daripada maslahatnya karena terlalu longgar.
Berbeda dengan pendapat ketiga yang lebih menitikberatkan terhadap maslahat sehingga lebih sesuai dengan ruh syariat.
Di tambah dengan pendapat yang mengatakan bahwa tidak wajib menetapi satu mazhab tertentu yang dengan kata lain tidak ada keharusan mengetahui seluk beluk mazhab tersebut.
Pendapat ketiga ini sangat cocok bagi orang awam.
Lain dari itu, talfiq dalam kehidupan masyarakat pada umumnya sering kali terjadi. Semisal salat.
Dalam Mazhab Syafi’i salat harus menghadap tepat pada posisi Ka’bah berada (عين الكعبة), sedangkan dalam mazhab lain ada yang mengatakan cukup menghadap ke arah Ka’bah berada (جهة الكعبة), yaitu ke arah Barat (di Indonesia) tanpa harus tepat pada posisi Ka’bah berada.
Realitanya, banyak umat Islam di Indonesia yang hanya menghadap ke arah Barat dan tidak tepat pada posisi Ka’bah berada sebagaimana keharusan dalam Mazhab Syafi’i.
Apa mau dikatakan tidak sah semua salatnya? Bisa-bisa neraka overload!
Kembali pada kasus zakat fitrah menggunakan uang.
Bagi yang mau mengeluarkan zakat fitrah menggunakan mata uang silakan saja tanpa perlu repot-repot mempelajari seluk beluk konsep zakat dalam Mazhab Hanafi.
Cukum mengetahui ukuran/nominal zakat yang wajib dikeluarkan saja.
Yang terpenting alasan mengeluarkan zakat menggunakan uang dapat dibenarkan, yaitu karena lebih maslahat daripada komoditas.
Menurut penulis, sesuaikan dengan keadaan kita dan apa yang lebih dibutuhkan oleh para mustahiq.
Orang yang memiliki harta berlimpah dan mustahiqnya tidak hanya membutuhkan makanan maka lebih baik mengeluarkan zakat dalam bentuk uang dan dikrus menggunakan komoditas yang memiliki kualitas paling tinggi bukan yang paling rendah. Seperti beras, ada beras biasa, super, premium, dan lain-lain. Harganya berbeda-beda. Maka, orang yang hendak zakat harus mengkrusnya dengan harga beras yang paling tinggi.
Atau mau dikrus dengan menggunakan gandum maka mesti gandum yang memiliki kualitas tinggi.
Selain itu, ukuran zakat yang mesti dikeluarkan sebagaimana yang ada dalam kitab-kitab fiqh adalah ukuran menimal.
Kita boleh menambahnya, yang terpenting tidak kurang dari ukurang minimal tersebut. Andai nominal zakat yang harus dikeluarkan 25.000 rupiah maka kita boleh menambahnya hingga 50.000 rupiah, misalnya.
Dengan demikian, masalahat dari mengeluarkan zakat menggunakan uang benar-benar tercapai.
Dalam Alquran Allah SWT berfiman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
Selain itu, penulis juga mendengar bahwa Syaikhona Cholil Bangkalan dalam kitabnya memperbolehkan zakat pakai uang.
Hanya saja di kalangan santri masih terjadi perdebatan, apakah pendapat tersebut hasil ijtihad pribadi Syaikhona atau taklid pada Mazhab Hanafi.
Menurut penulis, selama tidak ada mukhashish maka diarahkan ke pertama tidak lah jauh (ghairu-ba’id).
Rujukan:
اصول الفقه الاسلامي لدكتور وهبة الزهيلي
تبصير النجباء بتحقيق الإجتهاد والتقليد والتلفيق والإفتاء لدكتور محمد ابراهيم الحفناوي
عمدة التحقيق في التقليد والتلفيق لعلامة محمد سعيد بن عبد الرحمن الباني الحسني
التلفيق في الشريعة الاسلامية لدكتور نزار نبيل ابو منشار.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar